Tugas Review Buku : Embedded Autonomy

advertisement
PASAR MODERN DAN HANCURNYA HAK SOSIAL-EKONOMI
PEDAGANG TRADISIONAL
(Studi Kasus Menjamurnya Pasar Modern dan Dampaknya terhadap Hak Berusaha
Pedagang Tradisional di Kota Surabaya)
Oleh : Umar Sholahudin
Abstrak
Along with the more expansive modern market presence, blatantly destroying the socioeconomic rights of the people (traders). These conditions require the presence of local
governments' role is more serious, firm and brave, that is reviewing the policy and
privatization programs in different economic sectors, especially the privatization and
modernization of the market. There should be a paradigm change and urban development
policy to be oriented toward empowering capitalistic society that is humane. Development
paradigm of capitalism manifestly incapable of providing solutions for improving people's
lives, especially for small business sectors. Policy makers need to deconstruct the ideology of
development, and raises the ideological construction of alternative development is more
empowerment, pro-public interest
Seiring dengan semakin ekspansifnya keberadaan pasar modern, secara nyata telah
menghancurkan hak sosial ekonomi masyarakat (pedagang tradisional). Kondisi ini menuntut
hadirnya peran pemerintah daerah yang lebih serius, tegas dan berani, yakni mengkaji ulang
kebijakan dan program swastanisasi diberbagai sektor ekonomi, terutama swastanisasi dan
modernisasi pasar. Perlu ada perubahan paradigma dan kebijakan pembangunan kota yang
kapitalistik menjadi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat yang bersifat humanis.
Paradigma pembangunan kapitalistime nyata-nyata tak mampu memberikan solusi perbaikan
bagi kehidupan masyarakat, terutama bagi sektor ekonomi usaha kecil. Pembuat kebijakan
perlu mendekonstruksi idiologi pembangunan, dan memunculkan konstruksi idiologi
pembangunan alternatif yang lebih empowerment, berpihak pada kepentingan masyarakat.
Key Word : Pasar Modern, Hak Sosial-Ekonomi, Pedagang Tradisional
A. Pendahuluan
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Udang Dasar 1945, disebutkan secara
jelas dan tegas
bahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan
penghidupan yang layak bagi kemausiaan”. Pasal ini secara eksplisit
menandaskan bahwa Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan dan
memenuhi lapangan pekerjaan yang layak, lapangan usaha ekonomi yang
menjadikan warga negaranya dapat meningkatkan tingkat kesejahteraannya.
Dalam rangka meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat,
kebijakan pembangunan ekonomi nasional harus berpihak pada kepentingan
masyarakat, terutama masyarakat kelas ekonomi lemah. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 tentang perekonomian nasional,
disebutkan bahwa (1). Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas

Penulis adalah Dosen Sosiologi dan Sosiologi Hukum FH Universitas Muhammdiyah
Surabaya, Alamat Kontak : [email protected], www.umar.sholahudin.blogspot.com, Hp.
081-23-539375
1
azaz kekeluargaan, (2). Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan,
bernuansa lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
dan kesatuan ekonomi nasional.
Dua pasal dalam UUD 1945 tersebut menjadi dasar konstitusional bagi
setiap warga negara untuk mendapatkan hak atas kehidupan ekonomi atau
usaha ekonomi yang layak, yang mampu meningkatkan kesejahteraannya.
Namun amanat konstitusional ini tak seindah realitasnya. Tidak sedikit
kebijakan pembangunan ekonomi yang justru melanggar hak-hak sosialekonomi masyarakat. Jangankan memenuhi dan melindungi hak-hak sosialekonomi, terutama hak untuk berusaha secara layak dan adil, Negara justru
dalam banyak hal melakukan “pembunuhan” hak-hak sosial ekonomi
masyarakat secara sistematis dan massif, melalui kebijakan pembangunan
ekonomi yang kapitalistik.
Pembunuhan hak-hak sosial-ekonomi masyarakat tersebut salah
satunya nampak pada kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang begitu
rajin mengobral surat-surat ijin pendirian usaha-usaha ekonomi besar, yakni
pasar-pasar modern di berbagai daerah sampai tingkat RT/RW. Usaha besar
seperti “jejaring laba-laba” tersebut adalah usaha ritel modern. Pedagangan
dan pasar tradisional –yang notabene- banyak dihuni oleh kelompok usaha
kecil menengah dengan modal yang pas-pasan, kian terjepit oleh ekspansi
usaha ritel modern yang sangat kapitalistuk. Dalam rentang waktu 2003-2008,
pertumbuhan gerai ritel modern sungguh fantastis, yakni 162%. Bahkan
pertumbuhan gerai Minimarket mencapai 254,8%, yakni dari 2.058 gerai pada
tahun 2003 menjadi 7.301 gerai pada tahun 2008. Sementara jumlah pasar
trandisional dalam kurun waktu lima tahun cenderung stagnan. Bahkan saat
ini jumahnya semakin menurun.1
Pesatnya pertumbhan ritel modern itu seiring dengan gencarnya
penetrasi asing ke Indonesia. Data Binfocus 2008 menyebutkan, jika pada
tahun 1970-1990 pemegang merek asing yang masuk ke Indonesia hanya lima
dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 merek ritel asing yang masuk sudah
1
Saat ini di berbagai daerah kabupaten/kota di Indonesia, termasuk di Jawa Timur, dengan
semakin menjamurnya ritel-ritel modern yang memiliki jaringan sampai tingkat RT/RW (Indormart,
Alfamart, Alfamidi, dan ritel-ritel modern lainnya), semakin mematikan keberadaan pasar tradisional.
Para pedagang tradisional atau yang memiliki usaha ekonomi dengan modal kecil banyak yang gulung
tikar, karena tidak mampu bersaing dengan pasar modern. Membanjirnya ritel modern yang mengalir
deras ke daerah-daerah, tidak saja mengakibatkan efek domino terhadap usaha ekonomi nasional dan
daerah, tapi juga akan menimbulkan efek adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak Industri
besar, menengah, dan bahkan kecil yang padat karya akan mengurangi tenaga kerjanya atau bahkan
usahanya sendiri terancam gulung tikar, karena produknya tidak laku di pasaran. Jika PHK massal
terjadi, maka efek lanjutannya, tingkat pengangguran meningkat, dan jika tingkat pengangguran
meningkat, potensi tingkat kemiskinan juga meningkat, dan jika tingkat kemiskinan meningkat,
demikian juga dengan tingkat kriminalitas meningkat. Dengan kata lain, kebijakan liberalisasi ekonomi
di tengah kondisi Indonesia yang belum siap, akan berpotensi mengakibatkan biaya sosial-politik, dan
ekonomi yang sangat tinggi. Apalagi jika pemerintah tidak melakukan upaya-upaya pencegahan dan
penyelamatan yang mendasar dan strategis.
2
menjadi 18 dengan 532 gerai.2 Bahkan saat ini, seiring dengan kebijakan
ekonomi yang semakin liberalistik-kapitalistik, merek ritel asing semakin
menjamur dengan ribuan gerai ritel modern. Semakin menjamurnya ritel
modern, pada saat yang sama semakin menghancurkan usaha-usaha ekonomi
kecil para pedagang tradisional.
Fakta tersebut semakin mengkonfirmaskan kepada publik bahwa
dominannya pengaruh dan kendali asing dalam kebijakan ekonomi nasional
tidak mampu disikapi secara tegas oleh Negara. sebaliknya, Negara justru
memberikan “ruang bebas” kepada pihak asing untuk “membunuh” secara
legal usaha-usaha ekonomi kecil menengah masyarakat Indonesia melalui
legalisasi terhadap keberadaan usaha ritel modern asing. Praktik legalisasi
ritel modern milik asing (baca : obral ijin-ijin pendirian ritel modern) oleh
Negara, tidak hanya melanggar konstitusi, tapi juga telah membunuh hak-hak
sosial-ekonomi masyarakat, terutama para pedagang tradisional. .
Kasus : Menjamurnya Pasar Modern di Surabaya
Proses pembangunan Kota Surabaya bergerak dan berkembang begitu
cepat dan pesat. Sesuai dengan visi dan misi yang tertera dalam Rencana
Pembangunan Jangka Mengengah Daerah (RPJMD), Surabaya akan dijadian
sebagai Kota asa dan Perdagangan. Konsekwensi dari garis kebijakan ini,
Pemerintah Kota lebih mendepankan pambangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan semata.3 Para investor, baik dalam negeri
maupun asing, diberi kebebasan untuk membuka dan mengembangkan
jaringan bisnisnya di Surabaya. Dan salah satu kebijakan untuk menaikkan
angka pertumbuhan, Pemkot memberi kemudahan dan bahkan cederung
mengobral surat ijin pembangunan atau pendiirian pusat-pusat perbelanjaan
mewah. Akibat obral surat ijiin tersebut, wajah kota dibanjiri pusat-pusat
perbelanjaan mewah dan ritel-ritel modern.
Menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah dan ritel modern
tersebut, -terutama yang dibangun pihak swasta- mengundang keresahan dan
kekhawatiran para pedagang tradisional. Saat ini jumlah pasar modern di
Kota Surabaya jauh lebih banyak dibanding pasar tradisional. Setidaknya 65
persen sarana perbelanjaan di Surabaya didominasi pasar modern, baik
berupa factory outlet, supermarket, minimarket, department store, maupun mal.4
Bisa dibayangkan, bagaimana mungkin seorang pedagang kecil dengan
2
Kompas, 15 Maret 2010
Vic George dan Paul Wilding (1992) mengatakan kebijakan yang berorientasi pertumbuhan
dan hanya mengutamakan kesamaan berkompetisi –yang secara konsepsioal berlawanan dengan
pembangunan berdimensi kerakyatan- semakin kehilangan daya tariknya karena terbukti kebijakan
yang egaliter ternyata tidak menghasilkan hasil yang egaliter, yang terjadi justru ketimpangan dan
ketidakdilan sosial-ekonomi. Orientasi pertumbuhan yang diadopsi dari sistem kapitalisme ini hanya
menguntungkan pemilik modal besar, dan sebaliknya merugikan para pengusaha/pedagang kecil.
Terkait dengan ini bisa dilihat pada Bagong Suyanto, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa
Timur, dalam Jatim 5 Tahun ke Depan; tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar Propinsi Jatim 2008.
4
Radar Surabaya, 13 Januari 2010.
3
3
modal pas-pasan, dapat bersaing dengan pengusaha besar yang sudah
memiliki asset lebih, baik dari segi modal, teknologi, sumber daya manusia
maupun jaringan bisnis luas?
Menurut Sekretaris Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia
(APPSI) Surabaya, Buchori Imron mengatakan dampak dari menjamurnya
mal-mal yang menjual dengan harga grosir sangat dirasakan para pedagang
tradisional. Rata-rata pendpaatan pasar tradisional menurun hingga 70
persen. Supermarket dan pusat-pusat perbelanjaan mewah yang menjual
harga murah bisa mematikan pedagang tradisional. Contoh yang paling
terpuruk sekarang adalah pedagang di Pasar Turi. Pada pedagang di Pasar
Turi dulu di kenal banyak yang kaya karena perputaran uang dan bisnis
mereka lancar. Namun, setelah kini muncul Mal-Mal yang menjual barang
dengan harga grosir, pendapatan mereka turun drastis. Penurunan
pendapatan ini tidak hanya terjadi di Pasar Turi saja, tapi juga di beberapa
pasar tradisional lainnya seperti Keputran, Tambahrejo, dan pasar lainnya.5
Berdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Perdagangan dan
Penanaman Modal Kota Surabaya tahun 2007, dari tahun ke tahun jenis pasar
modern yang berdiri di Surabaya ini semakin meningkat. Jenis pasar modern
yang ada di Surabaya diantaranya adalah factory outlet, supermarket,
minimarket, department store, mall/plaza, dan waralaba asing. Pada tahun
2004 jumah pasar modern sebanyak 289 pasar, tahun 2005 meningkat menjadi
295 pasar, tahun menjadi 299 pasar dan bombing pada tahun 2007 menjadi 311
pasar (lihat tabel).
Tahun
No
Jenis Pasar Modern
2004
2005
2006
2007
1
Factory Outlet
35
33
31
31
2
Supermarket
41
43
45
47
3
Minimarket
176
180
182
187
4
15
15
14
15
Departement Store
5
22
24
27
28
Mall/Plaza
6
0
0
0
23
Waralaba Asing
Total
289
295
299
331
Sumber Data: Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Penanaman Moda
Kota Surabayal, 2007, diolah
Khusus untuk ritel, Data Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia
(Aprindo) Jawa Timur menyebutkan, saat ini di Surabaya terdapat 190 gerai
minimarket. Jumlah gerai sebanyak itu merupakan bagian dari total gerai di
Jatim yang mencapai 1.200 unit, diantaranya sekitar 650 gerai milik Alfamart
dan Indomart. Dan yang lebih memprihatinkan, menjamurnya pasar modern
tersebut berlokasi dekat pemukiman bahkan tidak sedikit yang
berdampingan dengan pasar tradisional. Ke depan, seiring dengan
5
Metropolis Jawa Pos, 14 Mei 2007
4
pembangunan ekonomi kapitalistik Kota Surabaya, gerai-gerai minimarket itu
dipastikan akan bertambah lagi di seantero Surabaya. Praktis usaha kecil
warga berupa prancangan berlahan tapi pasti semakin terpinggirkan dan
akhirnya banyak yang gulung tikar.
Menjamurnya pasar modern tersebut Kondisi tersebut dikhawatirkan
bakal menggerus keberadaan pasar-pasar tradisional, yang berdampak
tersingkirnya puluhan ribu bahkan ratusan ribu pedagang kecil. Secara
teoritik, manjamurnya pusat-pusat perbelanjaan mewah sudah diprediksi
akan memarginalkan bahkan mematikan pasar-pasar tradisional yang di
dalamnya dihuni banyak usaha ekonomi kecil dari golongan ekonomi lemah.
Dan itu sudah menjadi kenyataan yang terjadi di mana-mana.
Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI)
menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar
tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Saat hypermarket belum
begitu menggejala seperti sekarang, di kota besar seperti Jakarta dan
Surabaya, terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap
tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket. Saat ini, pasar modern di
Indonesia tumbuh 31,4% per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut
8% per tahun. Jika kondisi ini tetap di biarkan, ribuan bahkan juataan
pedagang kecil akan kehilangan mata pencahariannya.6
Ancaman gulung tikar sangat dirasakan oleh salah satu pedagang
tradisional di Surabaya. Sebut saja, Ny. Tris, pedagang tradisonal di pasar
Pahing, Rungkut, Surabaya Timur yang mengatakan kalau siang sudah sepi.
Pedagang umumnya telah menutup kios, terutama berada di lantai dua. “Ya
begini. Kalau sudah pukul 11.00 ke atas tidak ada pembeli yang tutup saja.
Buat apa bertahan wong tidak ada pembeli yang dtalang lagi kok”. Meskinpun
pasar Pahing tersebut letaknya strategis, namun pemebeli mulai enggan
untuk masuk ke pasar Pahing. Para pemeli lebih memilih masuk ke pasar
modern dan swalayan yang baru berdiri di sekitar pasang Pahing tersebut.
Menurut para pedagang buah di pasar Pahing, kehadiran pasar modern atau
hipermarket di tengah kota berdampak luas terhadap keberadaan pasar
tradisional. Rata-rata omset penjualan per hari makin turun, yakni sekitar Rp
300.000-400.000. Padahal sebelum ada pasar modern; hipermarket dan pasar
swalayan bisa mencapai Rp 1 juta.7
B. Rumusan Masalah
Menjamurnya pasar modern di berbagai daerah, termasuk di Kota
Surabaya yang sebagian besar dikendalkan para pemodal besar baik domestik
maupun asing merupakan konsekwensi dari sistem ekonomi Indonesia yang
semakin terbuka. Pengembangan pasar modern yang semakin ekspansif
tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada
keberadaan pedagang atau pasar tradisional.
6
7
http://Appsi.com/opini
Kompas Jatim, 17 Maret 2005
5
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia, secara umum dan
pemerintah daerah secara khusus dihadapkan pada dilema, apakah
membiarkan “kaum kapitalis” pasar modern membangun istana binisnya
dengan harapan mendapatkan angka pertumbuhan ekonomi yang maksimal,
ataukah akan berpihak pada kepentingan ekonomi kerakyatan, dengan jalan
menyelamatkan para pedagang tradisional dari serbuan dahsyat kaum
kapitalis?
Pengembangan pasar modern, jika dibiarkan tumbuh-sumbur akan
sangat mengancam keberadaan pasar dan pedagang tradisional. Para
pedagang kecil dan menengah yang memiliki modal usaha pas-pasan, akan
semakin tergerus oleh penetrasi pasar-pasar modern yang semakin massif dan
ekspansif. Karena itu, negara dalam hal ini pemerintah daerah harus
mengambil peran strategis dan mendasar dalam menyelamatkan nasib
pedagang tradisional. Kebijakan dan peran apa yang harus dilakukan
Pemerintah daerah dalam menyelamatkan usaha ekonomi para pedagang
tradisional tersebut?
C. Kajian Ini Bertujuan :
1. Untuk mengetahui dan mengkaji maraknya keberadaan pasar modern
di Surabaya.
2. Untuk mengkaji secara analisitis dampak dari maraknya keberadaan
pasar modern terhadap kegiatan usaha pedagang tradisional di Kota
Surabaya.
3. Menentukan solusi dan peran apa yang harus dilakukan pemerintah
daerah (eksekutif dan legislatif) dalam rangka menyelamatkan usaha
ekonomi pedagang tradisional dari gempuran pasar modern.
D. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dan
analisa kualitatif dengan metode kajian deskriptif. Penggalian bahan dan data
diperoleh dari Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), kajian
literatur, informasi media massa dan sumber-sumber lain yang mendukung.
Fokus kajiannya pada maraknya keberadaan pasar modern yang semakin
ekspansif dan dampaknya terdap keberadaan pedagang atau pasar
tradisional. Lalu bagaimana peran pemerintah daerah dalam menyelamatkan
pedagang atau pasar tradisional dari gempuran pasar modern yang semakin
ekspansif tersebut.
Data-data yang telah diperoleh dikumpulkan, kemudian diseleksi dan
dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pemikiran
yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena
yang diteliti. Yang menjadi fokus dari analisa kualitatif ini sesungguhnya
pada penunjukkan makna deskripsi, penjernihan dan penempatan data pada
konteksnya masing-masing (Sanapiah Faisal, 1989:269).
6
E. Kerangka Teoritik
Sistem Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalisme sebagai model pembangunan
pertumbuhan, saat ini sedang banyak digandrungi oleh banyak negara,
terutama negara-negara berkembang. Model pembangunan pertumbuhan
yang pada dasarnya dibangun di atas landasan kapitalisme. Pandangan
kapitslisme jika digali secara teoritik, pada dasarnya bersumber dan berakar
dari pandangan filsafat ekonomi klasik, terutama ajaran Adam Smith (1776).
Keseluruhan filsafat pemikiran ekonomi klasik tersebut dibangun di atas
landasan filsafat ekonomi liberalism. Mereka percaya pada kebebasan
individu (person liberty), pemilikan pribadi (private liberty), dan inisiatif
individu serta usaha swasta (private enterprise).8
Dalam
perkembangannya,
faham
ekonomi
liberal
yang
bermetamorafose menjadi neo-klasik atau neo-liberal, pendirian ekonomi neoliberal pada prinsipnya tidak mengalami pergeseran sedikitpun. Dalil
mengenai konsep ini adalah: “Transaksi ekonomi harus diserahkan pada
pasar agar setiap orang dapat mengejar kepentingan masing-masing,
sehingga yang diuntungkan bukan hanya beberapa orang akan tetapi juga
masyarakat luas.” Negara dilarang ikut campur dalam transaksi ekonomi,
karena akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini
dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin
dengan sumber daya yang terbatas. Mekanisme pasar yang di
metamorfosiskan dengan invisible hand akan mengatur bagaimana jalannya
keseimbangan penawaran dan permintaan di pasar.9
Sistem ekonomi neo-liberal ini, saat ini sedang menjadi rujukan bagi
negara-negara berkembang dalam menjalankan kebijakan pembangunannya.
Pelaksanaan agenda liberalisme seperti kebijakan yang anti proteksi pada
rakyat; jauhkan campur tangan pemerintah dalam perdagangan melelui
deregulasi; tingkatkan perlindungan bagi investasi dan proses produksi;
hilangkan subsidi pada rkayat; namun tegakkan hukum yang melindungi
industry; serta kembangkan pemerintahan yang bersih (good governance) dan
transparansi.10
Berbeda dengan pendekatan liberal, ekonomi-politik klasik
menggunakan metodologi yang mempertimbangkan nilai-nilai etika dan
moral. Melalui metode interpretivis dan instropektis, ekonomi-politik klasik
mempelajari bukan hanya bagaimana membuat individu menjadi makmur,
akan tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyelesaian bagi masalah
kemiskinan dan perbaikan kondisi hidup umat manusia. Pendukung sistem
ekonomi-politik klasik menyakini bahwasannya perilaku manusia tidak
8
Mansour Faqih, 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSIST Press – Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, halaman 45-46.
9
Abdul Aziz, SR, 2009, Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Makalah singkat
untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan Ekonomi Lokal bagi Pegawai di lingkungan
pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa Timur, tidak dipublikasikan.
10
Mansour Faqih, Ibid, halaman 207
7
hanya dituntun oleh rasionalitas, melainkan juga diimbangi dengan rasa
tanggung jawab sosial. Pasar, menurut pendukung ini bukanlah lembaga
yang begitu penting karena banyak proses produksi ditentukan oleh lembagalembaga social lainya seperti keluarga atau birokrasi. Dalam pendekatan ini
yang diutamakan adalah peran lembaga sosial dan politik, kekuasaan dan
manifestasi sosio-kultural dalam kehidupan ekonomi.
Neo-liberalisme merupakan perkembangan dari sistem kapitalisme
yang mutakhir. Ditujukan untuk mengatasi periode stagnasi dan perlambatan
(slowdown) pertumbuhan kapitalis dinegara-negara maju dan memperluas
penetrasi dinegara-negara berkembang guna memperluas zona akumulasi
profit. Ditangan Von Hayek, guru besar yang menghidupkannya kembali,
neoliberalisme menghendaki pelepasan yang radikal peran negara
(intervensi) terhadap mekanisme pasar. Aturan dasar kaum neoliberal adalah
'liberalisasikan perdagangan dan finance’; 'biarkan pasar menentukan harga’,
'akhiri inflasi', 'stabilisasi ekonomi makro', 'privatisasi', 'pemerintah harus
menyingkir dari menghalangi jalan' (Chomsky, 1999). Arsitek tata dunia ini
ditetapkan dalam apa yang dikenal sebagai The Neo-liberal Washington
Consensus, yang terdiri dari para pembela ekonomi privat terutama wakil dari
perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan menguasai ekonomi
intemasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi informasi
kebijakan dalam rangka membentuk opini public.11
Ide pasar sebagai prinsip untuk mengatur masyarakat dan sebagai
bentuk sosialisasi, secara sejarah dan logika ada kaitannya dengan kelas
menengah (middle class). Pada mentalitet kelas menengah, mahluk yang
“beradab” itu, adalah manusia-manusia yang yakin bahwa “keinginan untuk
kaya” adalah suatu inovasi alamiah dan universal. Bagi J.S. Mill (dalam
Bethoud, 1992), keinginan untuk kaya dihadapkan pada dua “prinsip yang
antagonis” atau dua “motif yang bertentangan secara abadi”, yakni
“keengganan pada kerja” dan “keinginan untuk sekarang juga menikmati
kegemaran yang mahal”. Dalam pandangan kelas menengah, sifat manusia
yang suka mengumpulkan harta harus dipandang menurut dua kategori
sederhana yang telah lama ada, yaitu dikotomi antara kaya dan miskin, serta
antara pemilik kekayaan dengan mereka yang bekerja.
Negara dan Pasar
Bagaimana hubungan pasar dengan negara? Hobbes, pada abad ke-16,
berbicara soal state of nature (kondisi alamiah) dan menganjurkan perlunya
“leviathan” sebagai pengatur dalam kehidupan masyarakat, dan wujudnya
adalah negara. Negara menurutnya harus memainkan penting dalam
kehidupan masyarakat untuk mengatasi kondisi “bellum omnium contra omnes”
(von Schmid, 1984). Tetapi ketika munculnya Adam Smith, bapak ekonomi
11
Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti Baju,
dalam http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreement-ftaperdagangan.html)
8
modern, dengan karya monumentalnya An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations pada akhir abad ke-18 justru menganjurkan hal yang
sebaliknya. Artinya, peran negara dibatasi dan pasarlah yang harus
memainkan peran penting dan mendapat kebebasan yang luas dalam
kehidupan ekonomi.
Dalam sistem ekonomi pasar atau neo-liberal, negara dilarang ikut
campur dalam transaksi ekonomi, karena akan menganggu stabilitas pasar
dan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Sistem ekonomi ini dipengaruhi
oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan
sumber daya yang terbatas. Mekanisme pasar dengan kekuatan invisible handnya akan mengatur sendiri bagaimana jalannya keseimbangan penawaran
dan permintaan di pasar terjadi. Salah satu ekonom Indonesia yang setuju
ekonomi pasar, Chatib Basri, ekonom dari Universitas Indonesia, yang
mengatakan dirinya lebih cenderung memilih model ekonomi yang di
dalamnya peran pemerintah relatif terbatas. Alasan utamanya adalah sistem
itu justru bisa memberikan banyak manfaat kepada orang banyak.12
Pasar, melalui mekanismenya sendiri, diasumsikan akan hidup dan
berkembang dengan baik. Dengan kekuatan the invisible hand yang ada di
dalamnya, pasar akan mengatur persaingan-persaingan dalam kehidupan
ekonomi (Caporaso dan Levine, 1997). Dalam hubungan ini, negara lebih
berhendak untuk mengatur, sementara pasar lebih suka untuk tidak diatur,
dan keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
Kendati Smith merupakan pendukung faham laissez-faire, tetapi dia
masih menyisakan peran negara setidaknya dalam empat hal penting, yakni:
[1] menjamin kebebasan masyarakat untuk menghadang serangan atau agresi
dari luar kendati harus membutuhkan cost ekonomi yang besar; [2]
melindungi warga masyarakat dari ketidakadilan serta penindasan dari
warga masyarakat lainnya; [3] menjamin kesejahteraan serta menjaga tetap
tersedianya lapangan pekerjaan berikut adanya pranata-pranata yang
bermanfaat bagi masyarakat serta negara bertanggung jawab untuk
menyediakan infrastruktur; dan [4] menciptakan hukum-hukum ekonomi,
terutama pada situasi-situasi tertentu, untuk menghindari terjadinya
monopoli dan praktik-parktik yang eksploitatif. Kata Ebenstein, apa pun
bentuk pemerintahan sebuah negara – demokratis atau totaliter, monarki atau
republik, komunis atau fasis, kapitalis atau kolektif – masyarakat
membutuhkan pelayanan dari badan-badan pemerintah (Ebenstein, 1960).
Kesadaran akan peran negara bagi kepentingan pelayanan publik
berikut hadirnya gagasan negara kesejahteraan (welfare state) sekaligus
merupakan kritik terhadap faham liberalisme klasik yang sangat laissez-faire.
Hal ini muncul terutama di Eropa dan Amerika Serikat pada abad ke-18 dan
awal abad ke-19 yang di dalamnya turut digerakkan oleh faktor-faktor
ekonomi, politik, dan psikologi. Inilah yang kemudian mendorong
12
Chatib Basri, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang Demokrasi
Liberal, Freedom Institute, Pustaka Alvabet, 2006, halaman 69
9
munculnya gagasan wellfare state (Ebenstein, 1960). Namun, gagasan ekonomi
neoliberalisme ini (Adamisme) kemudian mendapat kritik tajam dari John
Maynard Keynes. Menurut Keynes, dalam sistem ekonomi yang tidak stabil
(baca: krisis), sifat spekulasi mendominasi aksi para kapitalis. Pasar dipenuhi
oleh spekulasi dan ketidakpastian. Karena itu, peran negara harus ada untuk
menstabilkan ketidakpastian pasar. Gagasan Keynes ini didukung oleh
Hyman Minsky dalam Stabilizing an Unstable Economy, yang mengatakan
instabilitas bersifat alamiah pada sebuah sistem perekonomian.13
Perdebatan tentang batas-batas peran antara negara dan pasar
sesungguhnya masih terus berlangsung hingga saat ini. Ada kalanya para ahli
ekonomi politik mengedepankan peran dan kebebasan pasar, tetapi pada saat
yang lain berusaha mendorong peran dan intervensi negara. Francis
Fukuyama (1992), pada awal 1990-an berbicara soal keunggulan kapitalisme
dan demokrasi liberal. Menurutnya, pasca-keruntuhan komunisme di Uni
Sovyet dan negara-negara Eropa Timur, kapitalisme (dan juga demokrasi
liberal) praktis tampil sebagai ideologi dan “pemain” tunggal yang tanpa
saingan. Baginya, liberalisme dan kapitalisme telah memenangkan
pertarungan ideologi, sehingga tibalah apa yang disebutnya akhir sejarah (the
end of history).
Fukuyama sesungguhnya juga hendak menegaskan tentang
pentingnya kebebasan dan peran pasar. Tetapi beberapa tahun kemudian –
pasca-krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara di kawasan Asia dan
pasca-tragedi 11 September 2001 dan peledakan Pentagon di Amerika
Serikat– Fukuyama pun justru berbicara tentang pentingnya peran negara.
Menurutnya, hampir sepanjang abad ke-20 peran negara melemah, dan
karena itu harus segera dibangkitkan kembali untuk turut mengatasi berbagai
persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu peran dan fungsi negara
yang dikemukakan Fukuyama (2005) adalah menangani kegagalan pasar. 14
F. Pembahasan dan Analisis
Sistem Ekonomi Pasar
Secara teroritis, menjamurunya pasar modern yang berkembang pesat
di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Surabaya, tak lepas dari sistem
ekonomi yang dianut Indonesia, yakni sistem ekonomi liberal-kapitalisme.15
Sistem ekonomi pasar sangat begitu dominan memainkan peran politikekonomnya ke seluruh jagad dunia. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa
negara seperti Ingris dan Amerika Serikat menjadi pemimpin dunia karena
13
Herry Suhardiyanto, pada kata pengantar buku Didin S. Damanhuri, Negara, Civil Society,
dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, Lembaga Penerbit FE Univeritas Indonesia, 2009, halaman ix
14
Abdul Aziz, SR, ibid.
15
Sistem ini tentu saja bertentangan dengan sistem ekonomi yang yang dianut Indonesia,
sebagaimana dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 33 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa sistem
ekonomi kita berdasarkan asas kekeluargaan. Sistem ini yang disebut oleh Ekonom UGM, Mubyarto
sebagai “Sistem Ekonomi Pancasila”
10
komitmen mereka terhadap kebijakan pasar bebas.16 Kebijakan tersebut lebih
mendorong pertumbuhan pasar dari pada mendorong arus finansial dan
perdagangan yang diatur negara. Strategi ini meminimalkan jangkauan
regulasi pemerintah sembari mendukung kepemilikan swasta terhadap
sumber daya, usaha, dan bahkan gagasan.
Dalam konkteks globalisasi ekonomi, Indonesia sebagai bagian kecil
dari sistem ekonomi dunia, tak bisa lari dari kenyataan. Dalam sistem
ekonomi pasar, peran-peran negara akan semakin minimalis, yang berlaku
adalah kekuatan pasar. Intervensi negara ke pasar dalam perspektif teori
ekonomi liberal/neo-liberal dinilai akan menghambat pertumbuhan dan
kemajuan ekonomi negara. Para penganut faham ekonomi neo-liberal percaya
bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi
bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar
bebas” adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber
daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.17
Dan pelbagai pernjanjian internasional yang diberlakukan dalam
kegiatan ekonomi dunia merupakan salah satu wujud dari sistem ekonomi
pasar. Dan ketika negara lepas kontrol terhadap struktur yang mulai
disintegrasi, Indonesia mulai dipaksa menerima investasi asing demi
pertumbuhan. Dan menjamurnya investor asing yang mendirikan pasar-pasar
modern di berbagai kota-kota besar di Indonesia, termasuk di Surabaya,
menunjukkan kuatnya cengkeraman sistem ekonomi kapitalisme di
Indonesia. Sistem yang hanya menguntungkan segelintir elit, sebalilknya
memberangus usaha ekonomi rakyat lemah.
Kondisi tersebut yang disebut Walden Bello sebagai krisis model
pembangunan di Asia Tenggara. Pembangunan di negara-negara tersebut
selain berhasil meningkatkan pertumbuhan luar biasa, di dalamnya juga
tertanam bibit-bibit yang akan tumbuh menghancurkan sistem dan model itu
sendiri.18 Model pembangunan ekonomi kapitalistik diberlakukan negaranegara berkembang, termasuk Indonesia, hanya menguntungkan segelintir
orang saja (baca: pemodal besar), sementara pada saat yang sama
menghancurkan usaha ekonomi tradisional.
Pembunuhan Hak Sosial-Ekonomi
Banyak orang beranggapan bahwa konsep atau teori pembangunan
dengan berbagai varian-variannya seperti teori ekonomi kapitalisme klasik
David Richardo dan Adam Smith, modernisasi, pertumbuhan, motivasi,
struktural-fungsionalimse sampai pada teori pembangunan ekonomi modern
16
Rezim kebijakan ini kemudian dikenal sebagai “liberalism”. Dalam bentuk modernnya
disebut “neoliberalisme”. Istilah “neo-liberalisme” merujuk pada doktrin-doktrin pasar bebas yang
dikaitkan dengan para ekonom “liberal” klasik abad 18 dan 19 (Adam Smith dan David RIchardo). Lihat
uraian Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press 2008, halaman 11.
17
Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001, halaman 216
18
Mansour Faqih, ibid. halaman 88
11
dan berbagai teori sepadanannya adalah resep yang cukup menjanjikan bagi
proses perubahan sosial dan perbaikan kondisi masyarakat.
Tapi kenyataannya yang terjadi adalah proses dehumanisasi yang
membunuh kemanusiaan yang begitu parah. Masyarakat jadi korban-korban
keganasan idiologi pembangunan ini. Hak-hak sosial-ekonomi, budaya
masyarakat tercerabut dari akarnya. Konsepsi di atas persis seperti apa yang
terjadi dalam proses pembangunan di Kota Surabaya ini. Berbagai proyek
pembangunan berskala besar dan mewah bermuculan bagaikan cendawan di
musin hujan.
Salah satu proyek pembangunan yang sedang digalakan Pemerintah
Kota Pemkot Surabaya adalah proyek modernisasi pasar. Janji Pemkot
Surabaya yang akan menjadikan proyek modernisasi pasar tradisional akan
menguntungkan para pedang tradisional hanyalah isapan jempol. Justru
sebaliknya, proyek modernisasi pasar memarginalkan para dan bahkan
mematikan usaha pada pedagang pasar tradisional. Kondisi ini diperparah
lagi dengan proyek mallisasi dan ritelisasi yang merambah kampungkampung warga. Dampak negatifnya sangat dirasakan para pedagang kecil.
Kehidupan sosio-ekonomi, terutama usaha ekonominya sangat begitu
terancam dengan kehadiran pasar-pasar mewah yang dikendalikan para
kaum pemodal (baca: kapitalis). Dalam kondisi semacam ini, para pedagang
tradisional sulit untuk bersaing dengan para pedagang kelas kakap. Bahkan
dalam pandangan kaum kapitalis pasar, para pedagang tradisonal dianggap
sebagai kelompok yang menggangu ketertiban dan kenyamanan, karena itu
harus dilenyapkan. Dan inilah memang salah satu karakter kaum kapitalis.
Dalam konsep pasar modern, yang berlaku adalah hukum besi
ekonomi yang sangat berkarakter kapitalistik. Siapa yang beruang atau
memiliki kapital banyak, merekalah yang akan menguasai pasar ekonomi.
Ekonomi kapitalisme tidak toleran dan bahkan tidak memiliki idiologi
kemanusiaan. Kapitalisme akan membunuh siapa saja yang menghalangi
pencapaian profit yang sebesar-besarnya dengan menggunakan cara
”machavellian” atau menghalalkan segala cara.
Dan cara-cara machavellian inilah yang selama ini masih dipakai
pembuat kebijakan di Pemerintahan Kota untuk ”melegalkan” lahirnya pasarpasar modern di Surabaya ini. Pihak Pemkot dan bahkan Pemprop Jatim
sangat begitu mudah ”mengobral” ijin-ijin pembangunan pasar-pasar modern
oleh pihak swasta. Para kapitalis sangat begitu leluasa membangun pasarpasar mewah tanpa adanya teguran, apalagi hukuman. Bahkan realitas yang
terjadi adalah persengkokolan antara pihak penguasa dan pengusaha untuk
mengegolkan ambisi kapitalismenya dengan membangun pasar-pasar
modern baru sampai tingkat RT/RW. Persengkongkolan inilah yang
kemudian melahirkan korban-korban pembangunan kapitalistik, yakni para
pedagang tradisional, seperti prancangan di kampung-kampung warga.
Praktik ini yang disebut sebagai praktik pembunuhan hak-hak sosial-ekonomi
12
warga yang berlangsung secara sistematis dan massif melalui praktik
legalisasi “yang tertutup” terhadap keberadaan pasar modern.
Contoh yang paling terasa di Kelurahan Ketintang tempat penulis
tinggal, pasca di bangunnya ritel baru; Indormart, Alfamart, dan Alfamidi,
salah seorang pedagang prancangan di sekitar Ketintang mengeluhkan
pendapatannya menurun hingga 90 persen setelah dibukanya ketiga ritel
tersebut. “kalau dulu rata-rata saya mendapat Rp 500.000 per hari. sekarang
makin menurun, paling-paling sehari dapat Rp 50.000,’tuturnya”. Hal serupa
dialami mayoritas pedagang kecil lainnya yang “kampungnya” di serbu ritelritel baru. Para pembeli lebih memilih berbelanja ke pasar modern, karena
lebih mudah dan nyaman serta mungkin lebih bergengsi.
Kekeluhan para pedagang kecil tersebut bisa saja merupakan
representasi dari sebagian besar pedagang tradisional yang menjadi korban
proyek menjamurnya pasar modern di kampung-kampung di Kota Surabaya,
baik yang difasilitasi oleh Pemkot Surabaya sendiri maupun yang dibangun
oleh pidak swasta. Bahkan Pemkot sendiri ”mengobral” surat-surat ijin baru
kepada pihak swasta untuk membangun pusat perbelanjaan mewah baru.
Dan korban-korban lainnya akan segera menyusul, mengingat proyek
“ritelisasi” dan swastanisasi pasar di Surabaya saat ini masih akan terus
berjalan dan tak terkendali.
Pelan tapi pasti, keberadaan pasar tradisional semakin ditinggalkan
para konsumennya. Selain karena faktor eksternal (baca: menjamurnya pasar
modern), faktor internal juga mempengaruhi para konsumen meninggalkan
pasa tradisional. Salah satnya adalah masalah sarana dan prasana pasar
tradisional yang dianggap kumuh, tidak nyaman dan tidak aman. Besarnya
minat konsumen di perkotaan untuk berbelanja di supermarket daripada
pasar tradisional merupakan tantangan besar bagi pasar tradisional. Pasar
tradisional harus mulai melakukan inovasi dan revolusi, terutama dalam
memenuhi keinginan konsumen dalam berbelanja.
Berdasar survei lembaga riset Retailer and Business Development "AC
Nielsen" terhadap 15.000 responden di Asia Pasifik 2003 mengenai tren orang
berbelanja, kebanyakan konsumen menghabiskan uangnya (berbelanja) di
supermarket (39 persen). Untuk Indonesia, di antara 1.019 responden di
Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sebanyak 33 persen berbelanja di
supermarket. Sementara itu, 30 persen responden berbelanja di toko barangbarang konsumen yang masih dilayani pemilik atau pekerjanya. Sementara
itu, pusat perbelanjaan modern telah berkembang pesat lebih dari 31,4 persen
dalam kurun dua tahun saat dilakukan survei. Hal itu disebabkan kebutuhan
konsumen yang semakin beragam serta masalah kenyamanan, kualitas, dan
harga yang murah daripada supermarket maupun minimarket.
Selain itu, tantangan krusial bagi pengembangan pasar tradisional
adalah sempitnya ruang bersaing pedagang pasar tradisional yang kini mulai
sangat terbatas. Selama ini, pasar tradisional dianggap memiliki comparative
advantages dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak
13
komoditas. Namun saat ini, menjamurnya pengecer (ritel) modern yang
memiliki skala ekonomis cukup luas dan akses langsung terhadap produsen
dapat menurunkan harga pokok penjualan. Mereka pun mampu menawarkan
harga yang lebih rendah. Sebaliknya, para pedagang pasar tradisional
umumnya mempunyai skala kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang
cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan
biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.
Peran Pemerintah
Faham dan praktik ekonomi pasar melalui liberalasasi perdagangan,
dalam pandangan kritis dinilai tidak akan memberikan kontribusi positif bagi
pembangunan ekonomi negara, terutama negara-negara sedang berkembang
atau miskin. Ekonomi pasar yang memberikan peran yang terbatas pada
negara, akan menjemuruskan ekonomi negara pada keterpurukan. Krisis
ekonomi dan moneter yang terjadi di berbagai negara, terutama negaranegara berkembang yang berdampak pada kehidupan masyarakat,
merupakan salah satu akibat dari lepasnya kontrol peran negara atas ekonomi
domestik suatu negara. Ekonomi domestik negara sudah dikendalikan oleh
kekuatan pasar. Dan kita semua tahu bahwa kekuatan pasar itu bukan
sesuatu yang netral, berjalan alamiah, akan tetapi dikendalikan oleh negaranegara industry maju. Dengan kata lain, negara-negara industry maju
memiliki mission terselurung dalam mengendalikan sistem ekonomi negaranegara di dunia.19
Di tengah persaingan usaha yang tidak sehat, antara pasar modern
dengan pasar tradisional, pemikiran Peter Evans saya pikir perlu
dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai solusi menyelamatkan nasib
pedagang dan pasar tradisional yang semakin tergerus. Evans mengatakan,
perlu ada intervensi terhadap pasar yang sudah begitu “liar” dikuasai para
pemodal besar. Pemda tidak mesti mengikuti selera ekonomi pasar yang
kapitalistik tersebut secara keseluruhan. Pemerintah harus memproteksi
kepentingan ekonomi kerakyatakan, terutama para pedagang tradiisonal
yang memiliki modal usaha pas-pasan.20
Dalam pandangan para ekonom pro pasar, ekonomi pasar atau
liberalisasi ekonomi -yang salah satunya diwujudkan dalam bentuk
pembangunan pasar modern, mallisasi, dan ritelisasi di suatu negaradianggap sebagai jalan keluar bagi kemacetan pertumbuhan ekonomi bagi
dunia ini, sejak awal oleh mereka dari kalangan ilmu sosial kritis dan yang
memikirkan perlunya tata dunia ekonomi yang adil serta bagi kalangan yang
19
Umar Sholahudin, ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas, Jurnal Transisi
Volume ke-4 No. 1 Tahun 2010 di terbitkan oleh Intrans Institute, Malang
20
Peter Evans, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation, Princeton
University Press, 1995, halaman 21
14
melakukan pemihakan terhadap yang lemah, telah dicurigai sebagai bungkus
baru dari imperalisme dan kolonialsime.21
Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan melahirkan lebih
banyak lagi kebijakan pembangunan ekonomi yang bisa dirasakan langsung
oleh masyarakat pasar tradisional sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah
kota kepada publik, yakni dengan membuat regulasi yang tegas untuk
melindungi pasar tradisional, dukungan perbaikan infrastruktur serta
penguatan manajemen dan modal pedagang di pasar tradisional. Sedangkan
untuk pasar modern perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai target
konsumen dan komponen barang yang dijual, termasuk mengenai harga.22
Secara yuridis, upaya untuk menyelamatkan nasib pasar tradisional
dari serangan dahsyat pasar modern sudah ada. Sebut saja misalnya
pemerintah pusat telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.
112/2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern pada 27 Desember 2007. Sebagai tindaklanjut,
Pemerintah Propinsi bersama DPRD Jatim sudah membuat Rancangan Perda
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan
Pasar Modern di Jawa Timur. Namun sudah berjalan dua tahun ini, Raperda
tersebut belum disahkan.
Berlarut-larutnya pengesahan Raperda tersebut tentu saja akan
memberi ruang “bebas” bagi para pemodal besar atau ritelist untuk
membangun jaringan ritel-ritel di berbagai tempat. Dan pada saat yang
bersamaan, nasib pasar-pasar tradisional diperkampungan akan semakin
terjepit dan terancam gulung tikar.
Karena itu, Pemerintah propinsi agar segera mengesahkan Raperda
Pasar Tradisional sehingga bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah kab/kota
untuk melahirkan Perda yang lebih implementatif dan protektif terhadap
pasar tradisional. Dalam Perda di tingkat kab/kota harus berani mengatur
pembatasan pembangunan pasar modern. Jangan sampai Perda yang telah
disahkan nanti menjadi “macan ompong”, tak mampu menjerat para
kapitalist ritel. Selain itu, kalau bisa tak sekedar membatasi, tapi melarangnya.
Mengingat pasar-pasar modern yang ada saat ini sudah terlalu banyak. Dan
dampaknya sudah sangat terasa dan terlihat. Dengan regulasi yang jelas dan
tegas, setidaknya dapat melindungi dan menyelamatkan pedagang tradisonal
dari keterpurukan ekonomi akibat serangan pegadang kelas kakap yang
sangat kapitalistik.23
Secara konstitusional, negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab
yang besar untuk melindungi kedaulatan dan kepetingan nasional. Cita-cita
kemerdekaan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :
“….Melindungi segenap bangsa Indonesia dan sluruh tumpah darah Indonesia dan
21
Mansour Faqih, Ibid, halaman 211
http://alisjahbana.com/2009/10/pasar-tradisional-dan-pasar-modern-yang-sinergi
23
Umar Sholahudin, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar Surabaya, 28 Mei
22
2010
15
mamajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” harus
menjadi pondasi dasar dan nafas kolektif bagi pemerintah dalam
menajalankan program pembangunan ekonomi nasional. Menurut pakar
ekonomi kerakyatan, Sri Edi Swasono, cita-cita kemerdekaan yang
merupakan tuntutan kostitusonal tersebut jangan sampai tergadaikan dan
menjadi komoditas di era pasar bebas yang sangat kapitalistik dan berdasar
liberalism (paham perfect individual liberty).24
G. Simpulan
Selama ini kita dijejali oleh idiologi-idiologi pembangunan positivistik
yang cenderung berwatak rekayasa. Posisi masyarakat tidak mendapat
tempat dalam konteks idiologi ini. Mereka dianggap sebagai objek
pembangunan yang harus “patuh”. Kita butuh subjektivitas masyarakat
dalam melahirkan satu idiologi alternatif yang partisipatif. Dengan kata lain
kita sudah waktunya mendekonstruksi teori atau idiologi pembangunan dan
varian-variannya, dan memunculkan konstruksi idiologi atau teori alternatif
yang lebih empowerment.
Karena itu, sudah saatnya pihak Pemkot mengkaji ulang kebijakan dan
program swastanisasi diberbagai sektor ekonomi, terutama swastanisasi dan
modernisasi pasar. Dan lebih dari itu yang lebih mendasar dan strategis
adalah bagaimana merubah paradigma pembangunan kota yang kapitalistik
ini menjadi pembangunan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat
yang bersifat humanis.
Paradigma pembangunan kapitalistime sudah nyata-nyata tidak
mampu memberikan solusi perbaikan bagi kehidupan masyarakat, tetutama
bagi sektor ekonomi usaha kecil atau lemah. Sudah waktunya kita dan
terutama para pembuat kebijakan pembangunan mendekonstruksi teori atau
idiologi pembangunan dan varian-variannya, dan memunculkan konstruksi
idiologi pembangunan alternatif yang lebih empowerment dan berpihak pada
kepentingan masyarakat.
24
Sri Edi Swasono, kata sambutan dalam buku Didin S. Dmanhuri; Negara, Civil Society, Pasar
dalam Kemelut Globalisasi, FE-UI Press, 2009, halaman v
16
Daftar Pustaka
Aziz, Abdul, SR., Pasar Modern dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, makalah
singkat untuk bahan diskusi disampaikan pada Pelatihan
Ekonomi Lokal bagi pegawai di lingkungan pemerintahan
Kabupaten/Kota se-Jawa Timur. Diselenggarakan oleh Badan
Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Malang: 27 April
– 1 Mei 2009, tidak dipublikasikan.
Basri, Chatib, 2006, Ekonomi Pasar, dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang
Demokrasi Liberal, Freedom Institute, Pustaka Alvabet, Jakarta
Chang, Ha-Joon dan Ilene Grabel, 2008, Membongkar Mitos Neolib, INSIST Press,
Yogyakarta
Damanhuri, Didin S., 2009, Negara, Civil Society, dan Pasar dalam Kemelut
Globalisasi, Lembaga Penerbit FE-UI Jakarta.
Evans, Peter., 1995, Embedded Autonomy; State and Industrial Transformation,
Princeton University Press, New Jersey, USA.
Fukuyama, Francis, 1992, The End of History and the Last Man, Avon Boos, New
York
Faqih, Masour., 2001, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press
Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Basri, Chatib., 2006, Ekonomi Pasar dalam Membela Kebebasan; Percakapan tentang
Demokrasi liberal, Fredeem Institute, Pustka Alvabet, Jakarta.
Sholahudin, Umar, ACFTA dan Revitalisasi Peran Negara di Era Pasar Bebas, Jurnal
Transisi Volume ke-4 No. 1 Tahun 2010 di terbitkan oleh Intrans
Institute, Malang
_______________, Ritelisasi dan Nasib Pedagang Tradisional, Opini Radar SBY, 28
Mei 2010
Suyanto, Bagong., 2008, Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial Di Jawa Timur, dalam Jatim
5 Tahun ke Depan; Tantangan dan Solusinya, Dewan Pakar
Propinsi Jatim.
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945
Surat Kabar dan media online:
http://Appsi.com/opini
http://alisjahbana.com/2009/10/pasar-tradisional-dan-pasar-modern-yang-sinergi
Rudi Hartono, FREE TRADE AGREEMENT (FTA);Perdagangan Bebas Yang Berganti
Baju,
dalam
http://arahkiri2009.blogspot.com/2008/07/free-trade-agreementftaperdagangan.html)
Harian Kompas Jatim, 17 Maret 2005
Metropolis Jawa Pos, 14 Mei 2007
Radar Surabaya 13 Januari 2010
Harian Kompas, 15 Maret 2010
17
A. IDENTITAS PENULIS
1
NAMA
2
TEMPAT/TGLLAHIR
3
PEKERJAAN
4
ALAMAT RUMAH
5
ALAMAT KAMPUS
6
7
NO. HP
EMAIL
UMAR SHOLAHUDIN
TEGAL, 27 MEI 1976
DOSEN SOSIOLOGI dan SOSIOLOGI HUKUM
FH UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURABAYA
RUMDIN SDN WATES 2,
JL. KAMBOJA NO 4 KOTA MOJOKERTO, JAWA
TIMUR
JL. SUTOREJO 59 SURABAYA
TELP. 031-3811966, FAKS. 031-3813096
081-23-539375
[email protected],
[email protected]
Blog pribadi :umarsholahudin.blogspot.com
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
NO PENDIDIKAN
1
SDN 04 SLAWI-WETAN, TEGAL
2
SMPN 02 SLAWI, TEGAL
3
SMAN 03 SLAWI, TEGAL
5
S-1: PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN
ILMU POLITIK UNIV. AIRLANGGA SBY
6
S-2: PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
KONSENTRASI
SOSIOLOGI
HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIV. AIRLANGGA SBY
C. HASIL KARYA
NO KARYA
1
600 lebih TULISAN OPINI TERSEBAR DI BERBAGAI
MEDIA MASSA (JAWA POS, SUARA KARYA,
KOMPAS Jatim, Suara Pembaruan, REPUBLIKA,
SURYA, RADAR SURABAYA, SURABAYA POST,
BHIRAWA, DLL)
2
KONTRIBUTOR TULISAN BUKU DITERBITKAN :
“FORUM WARGA DAN STRATEGI POLITIK EKSTRAPARLEMENTER,
(FITRA
TUBAN-PATNERSHIP,
JAKARTA)
3
KONTRIBUTOR TULISAN BUKU DITERBITKAN :
“PETA KORUPSI DI DAERAH” (MCW-YAPPIKA
JAKARTA)
4
KONTRIBUTOR TULISAN BUKU DITERBITKAN :
“PARLEMEN LOKAL; FUNGSI DAN PERAN DPRD DI
ERA OTODA”, Intrans-Malang, 2009
5
KONTRIBUTOR TULISAN BUKU DITERBITKAN
18
TAHUN
1982 – 1988
1988 – 1991
1991 – 1994
1995 - 2000
2009 - 2011
TAHUN
1999- Sekarang
AGUSTUS 2006
OKTOBER 2006
FEBUARI 2009
6
:“NEOLIBERALISME DAN ILUSI KESEJAHTERAAN
DI INDONESIA”, Intrans-Malang
BUKU DITERBITKAN : “HUKUM DAN KEADILAN
MASYARAKAT”, Intrans-Malang, 2011
19
FEBUARI 2010
Desember 2011
Download