ANALISIS TERHADAP PENGATURAN INDUSTRI RITEL KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA 2007 LATAR BELAKANG Ritel modern yang tumbuh pesat akhir-akhir ini selain membawa dampak positif juga telah menyebabkan dampak sosial ekonomi yang sangat besar. Hal ini disebabkan pertumbuhan tersebut disertai oleh tersingkirnya ritel tradisional yang umumnya merupakan usaha kecil Di sisi lain, juga muncul fenomena baru berupa munculnya ritel modern sebagai kekuatan yang memiliki potensi untuk mengeksploitasi pemasok Kompleksitas permasalahan industri ritel menjadi persoalan ekonomi Indonesia karena ritel kini menjadi tempat bekerja terbesar kedua (18.9 juta) setelah sektor pertanian (48.1 juta). Dari 22, 7 juta jumlah usaha di Indonesia, 10.3 juta atau sekitar 45% merupakan usaha ritel Persoalan ini kemudian mendorong Pemerintah untuk melakukan pengaturan dalam bentuk peraturan Presiden dengan tujuan untuk melindungi ritel usaha kecil. Industri Ritel Perkembangan Industri ritel terjadi sangat pesat di berbagai belahan dunia. Ritel kini menjadi bagian penting dari value chain management distribusi produk dari produsen sampai di tangan konsumen Kecenderungan Ritel – Tidak lagi hanya menawarkan ketersediaan produk berbasis penawaran lama : produk dan harga – Tetapi mulai menawarkan berbagai atribut lainnya seperti kebersihan, kenyamanan, kemudahan, variasi produk dan kualitasnya. – Kecenderungan ini merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi pada pola hidup masyarakat sebagai konsumen industri ritel Ritel tidak hanya penting bagi konsumen tetapi juga bagi produsen/pemasok barang Industri Ritel Tuntutan terhadap atribut di luar produk dan harga, yang lebih terkait dengan aspek-aspek psikologis konsumen dapat dengan mudah ditangkap oleh pemodal kuat (di saat Pemerintah melepaskan keterlibatannya) Maka berkembanglah industri ritel modern dengan beberapa pemodal kuat : Carrefour, 7 Eleven, Wall Mart, Tesco, Hypermart, Giant, Sogo, Seibu dan sebagainya. Pasar tradisional dan ritel kecil semakin tersisih Pasar Tradisional/Ritel Kecil VS Ritel Modern Pasar tradisional terbagi atas dua jenis, yaitu pasar tradisional yang menjual bahan sandang dan pangan dan pasar tradisional yang hanya menjual sandang. Akan tetapi persepsi masyarakat akan pasar tradisional adalah pasar yang dikelola pemerintah dan kondisinya kotor serta tidak terawat seperti pasar sayur-mayur, padahal terdapat pasar tradisional terutama yang hanya menjual sandang memiliki kondisi fisik yang lebih baik. Ritel Modern memiliki sejumlah kelebihan antara lain Modal yang lebih besar , sehingga memungkinkan fasilitas yang lebih nyaman, area yang luas, menjual jenis barang yang lebih variatif, dapat menjual barang secara lebih murah serta memiliki variasi mutu produk Industri Ritel Indonesia Liberalisasi ritel Indonesia – Keputusan Presiden No 96/2000 No 118/2000 yang mencabut ritel dari negative list Investasi. Persaingan menjadi sangat ketat Industri Ritel Indonesia sangat menggiurkan – Omset total Rp 600 triliun (Akademika Bekasi) – Omset Ritel Modern Rp 49 Triliun (2006, dengan kecenderungan terus tumbuh di atas 15%). Bermunculan raksasa bisnis ritel Hypermart (Matahari), Carrefour, Giant (Hero), Indomaret, Alfamart dan sebagainya Industri Ritel Indonesia Struktur pengecer di Indonesia Sektor Toko Tradisional 2004 2005 1.745.589 1.787.897 154 115 6.560 7.606 956 1.141 5.604 6.456 Large format store 90 107 Hipermarket 68 83 Warehouse clubs 22 24 1.752.393 1.795.725 17.699 16.663 218 245 17.917 16.908 Convenience store Supermarket Sub-Supermarket Minimarket Total took eceran Toko Obat Traditional drugstore Chain drugstore Total took obat Sumber : AC Nielsen 2006/Bisnis Indonesia Pangsa Pasar Ritel Modern VS Ritel Tradisional Persentase kontribusi omzet 51 kebutuhan sehari-hari Tahun Pasar tradisional Pasar modern 2001 75,2 24,8 2002 74,8 25,1 2003 73,7 26,3 2004 69,6 30,4 2005 67,6 32,4 2006* 65,6 34,4 Sumber : AC Nielsen Indonesia, 2006/Bisnis Indonesia *) Januari-Juni 2006 Permasalahan Industri Ritel Indonesia Ketidaksebandingan VS Persaingan Usaha Tidak Sehat – Permasalahan yang terjadi adalah terkait dengan ketidaksebandingan antara ritel modern dan ritel kecil – Permasalahan ketidaksebandingan ini dalam beberapa kesempatan sering dikonotasikan sebagai persaingan usaha tidak sehat. – Banyak tuntutan kepada KPPU untuk aktif menangani permasalahan ini. – Permasalahan lebih banyak terkait dengan tidak adanya equal playing field, bukan masalah persaingan usaha. – Kasus Indomaret membuktikan hal tersebut Permasalahan Industri Ritel Indonesia Peritel VS Pemasok – Peritel tumbuh menjadi kekuatan besar dengan market Power yang mampu mendikte pemasok – Terjadi ketidakseimbangan daya tawar antara peritel dan pemasok – Potensi persaingan usaha tidak sehat dapat muncul dalam bentuk penyalahgunaan market power. Hal ini antara lain muncul dalam trading term antara peritel dan pemasok. – Kasus Carrefour menjadi bukti hal tersebut. – Tetapi selama trading term tidak melanggar persaingan usaha yang sehat, maka persoalan kembali lebih menyentuh ketidaksebandingan ketimbang persaingan usaha tidak sehat. Hal ini misalnya karena semua trading term berlaku bagi terhadap seluruh pemasok tanpa kecuali. Kebijakan Pemerintah di Sektor Ritel Melakukan perlindungan terhadap usaha kecil ritel dengan mengeluarkan kebijakan yang memfasilitasi terciptanya equal playing field (harmoni) antara usaha kecil, menengah dan besar. Meningkatkan daya saing usaha kecil dalam pasar ritel, antara lain dengan memberikan berbagai bantuan bagi pembenahan pengelolaan usaha ritel kecil agar sesuai dengan tuntutan konsumen. Melakukan pengaturan agar interaksi dalam bisnis ritel juga terhindar dari upaya eksploitasi satu pihak terhadap pihak lain. Upaya untuk menjaga terjadinya harmoni dalam industri ritel di banyak negara pengaturannya dituangkan dalam UU. Contoh Kasus Negara Lain Pada tahun 1995, kota Bangkok terbuka bagi peritel hypermarket asing. Pada awal peritel Hipermarket masuk di kota Bangkok, mereka berdalih bahwa segmen pasarnya berbeda dengan peritel tradisional, sehingga tidak akan mengganggu penjualan peritel tradisional. Akan tetapi Thailand yang 10 tahun lalu terdapat 20 pasar tradisional. Dalam jangka 6 tahun setelah itu hanya bersisa 2 pasar tradisional, sedangkan pembukaan gerai hipermarket mencapai 40 unit. Melihat permasalahan tersebut, maka pemerintahan Thailand pun sangat serius menangani masalah ritel, terbukti dengan diberlakukannya undang-undang ritel (ritel act). Dengan adanya undang-undang tersebut, maka Bangkok memiliki zona perdagangan eceran Kewenangan KPPU Dalam Industri Ritel Mengacu kepada UU No 5 Tahun 1999, maka tugas KPPU ada dua yakni melakukan penegakan hukum persaingan dan memberikan saran pertimbangan kepada Pemerintah. Tugas KPPU dalam industri ritel hanya terbatas pada apa yang tersurat dalam UU No 5 Tahun 1999. Bentuk keterlibatan KPPU dalam sektor ritel adalah kasus Indomaret Putusan KPPU No.03/KPPU-L/I/2000 dan kasus Carrefour Putusan KPPU No. 02/KPPU – L/2005 Selain itu sebagai bentuk kepedulian KPPU kepada usaha kecil ritel, KPPU juga berulangkali mendorong Pemerintah untuk melakukan keberpihakan kepada usaha kecil. Sinergi Pemerintah dan KPPU Dalam upaya mengoptimalkan kinerja sektor ritel dan mengatasi permasalahannya, maka Pemerintah dan KPPU dapat melakukan sinergi dengan fokus pada tugas dan kewenangannya masing-masing – KPPU dalam penegakan hukum persaingan dan kebijakan persaingan – Pemerintah dalam melakukan pengaturan industri ritel yang umumnya dilakukan dengan melakukan perlindungan dan pemberdayaan ritel usaha kecil. – Tidak muncul tumpang tindih peran antara KPPU dan Pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan ritel Indonesia Sikap KPPU terhadap RPP Memperhatikan substansi RPP : – Berisi upaya perlindungan Ritel usaha kecil Pemasok usaha kecil – Perlindungan dilakukan dengan menciptakan entry barrier Zonasi Waktu buka Persyaratan perizinan Kewajiban kemitraan Kewajiban memasarkan produk dalam negeri – KPPU selama ini menyuarakan perlunya penataan industri ritel yang berbasis perlindungan usaha kecil sebagai implementasi salah satu tujuan UU No 5 Tahun 1999 Sikap KPPU terhadap RPP Maka – KPPU tidak masuk ke dalam perumusan substansi pengaturan. Menyerahkan sepenuhnya substansi pengaturan kepada Pemerintah. – Memberikan penekanan peran KPPU dalam pengaturan industri ritel melalui klausul tambahan sebagai berikut : Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat 1. Pelaku usaha ritel dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. SARAN PERTIMBANGAN KPPU Berdasarkan analisis tersebut di atas serta memperhatikan tengah disusunnya RPP Penataan dan Pembinaan Usaha Pasar Modern dan Usaha Toko Modern, KPPU telah mengirimkan saran pertimbangan kepada Presiden melalui surat No 77/K/III/2007 dengan tembusan kepada Komisi VI dan Menteri Perdagangan dengan substansi saran pertimbangan : 1. KPPU mendukung sepenuhnya substansi pengaturan yang dilakukan dalam upaya perlindungan usaha kecil ritel dan tradisional serta perlindungan terhadap pemasok ritel modern. Menyangkut substansi pengaturan KPPU memahami sepenuhnya bahwa hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah. SARAN PERTIMBANGAN KPPU 2. Dalam beberapa substansi pengaturan, KPPU mengharapkan agar substansi pengaturan memperhatikan potensi-potensi terjadinya persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No 5 tahun 1999. Hal tersebut antara lain menyangkut pengaturan pembatasan jumlah pelaku usaha berbasiskan analisis terhadap supply dan demand. Diharapkan pembatasan jumlah pelaku usaha tidak menjadi instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk melakukan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melalui eksploitasi terhadap konsumen. Misalnya saja dengan melakukan praktek kartel antar pelaku usaha yang jumlahnya terbatas atau bahkan praktek monopoli karena hanya ada satu pelaku usaha di satu wilayah. SARAN PERTIMBANGAN KPPU 3. Terkait dengan hubungan pemasok dan peritel modern, diusulkan agar hal tersebut tidak hanya menyangkut pemasok kecil, tetapi juga pemasok menengah dan besar. Hal tersebut mengingat daya tawar ritel modern yang sangat tinggi tidak hanya berefek terhadap pelaku usaha kecil saja tetapi juga usaha menengah dan besar. Selain itu, dalam pengaturan juga perlu ditegaskan bahwa segala bentuk hubungan transaksi antara pemasok dan peritel modern tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. SARAN PERTIMBANGAN KPPU 4. Apabila keterlibatan KPPU mau didefinisikan secara eksplisit dalam substansi pengaturan, maka diusulkan terdapat klausul tambahan dalam bab/pasal tersendiri sebagai berikut : Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat – Pelaku usaha ritel dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. – Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.