Hikmah dari Putusan KPPU atas Temasek Oleh. Ditha Wiradiputra Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI Tanggal 19 November 2007 mungkin menjadi salah satu tanggal yang akan sulit dilupakan oleh kelompok usaha Temasek di Indonesia, dimana pada tanggal tersebut KPPU memvonis Temasek telah melanggar Pasal 27 UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atas kepemilikan saham di Indosat dan Telkomsel. Dan tidak hanya itu, KPPU juga dalam putusannya turut menghukum Telkomsel, karena dianggap telah terbukti melanggar Pasal 17 ayat (1) UU No.5 Tahun 1999 atas tindakannya menghambat interkoneksi dan mempertahankan harga yang tinggi. Kemudian KPPU menjatuhkan hukuman kepada kelompok usaha Temasek harus melepaskan salah satu kepemilikan sahamnya di Indosat atau Telkomsel, serta mendenda Temasek beserta anggota kelompok usahanya masing-masing sebesar Rp. 25 miliar. Sedangkan Telkomsel didenda Rp. 25 miliar, dan ditambah perintah untuk menghentikan pengenaan tarif tinggi serta menurunkannya hingga sekurang-kurangnya 15 persen. Beragam tanggapan diberikan atas putusan tersebut, ada yang menyambut positif bahwa putusan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi konsumen dan masa depan perkembangan industri telekomunikasi di tanah air, ada pula yang menyikapinya dengan hati-hati, karena mengkhawatirkan reaksi negatif yang mungkin muncul dari putusan tersebut, terlebih putusan ini masih belum berkekuatan hukum tetap. Kekhawatiran dari beberapa pihak tersebut cukup beralasan, karena perkara persaingan usaha merupakan salah satu perkara hukum yang cukup rumit penanganannya dibandingkan perkara hukum lainnya, dimana analisa dari segi ekonomi untuk beberapa perkara sangat diperlukan dalam proses pembuktiannya, sehingga menurut John E. Kwoka, Jr. dan Lawrence J. White peran para ahli ekonomi dalam hampir setiap penanganan perkara persaingan usaha memiliki peranan yang cukup penting (The Antitrust Revolution, 1989) . Selanjutnya, dalam penanganan perkara persaingan usaha juga terkadang melibatkan cukup banyak dokumen yang harus diperiksa, bahkan jumlah halamannya jika ditotal bisa mencapai ribuan hingga ratusan ribu halaman, dan sudah barang tentu membutuhkan waktu, tenaga, serta biaya yang tidak sedikit untuk memeriksanya. Sebagai contoh kasus persaingan usaha IBM dan AT&T di Pengadilan Amerika Serikat pernah melibatkan kurang lebih satu juta halaman dokumen yang harus diperiksa pengadilan, sehingga menurut Richard Posner (seorang ahli hukum persaingan) prosedur persidangan yang biasa berlaku di Amerika Serikat pada waktu itu tidak mampu menangani permasalahan ini dengan baik sehingga diperlukan mekanisme tersendiri untuk menanganinya (Antitrust Law: An Economic Perspective, 1976). Sayangnya penyusun UU No.5 Tahun 1999 ketika mengatur mengenai masalah jangka waktu penanganan perkara persaingan usaha kurang memahami bagaimana kompleksitas yang ada dalam penanganan suatu perkara persaingan usaha, sehingga hasilnya jangka waktu penanganan perkara persaingan usaha diatur secara terbatas. Dimana undang-undang memberikan waktu kepada KPPU untuk menyelesaikan perkara persaingan usaha ditingkat KPPU kurang lebih lima bulan, sedangkan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung masingmasing diberikan waktu untuk memeriksa hingga memutuskan perkara keberatan dan kasasi kurang lebih dua bulan. Pengaturan waktu yang cukup terbatas ini mungkin dimaksudkan agar dapat lebih memberikan jaminan kepastian hukum, supaya penanganan perkara persaingan usaha tidak mengalami sebagaimana perkara hukum lainnya, dimana penyelesaiannya begitu berlarut-larut. Namun penyusun Undang-undang lupa memperhatikan karakteristik dari perkara hukum persaingan usaha yang berbeda dengan perkara hukum lain, dimana terkadang untuk perkara tertentu khususnya yang membutuhkan pembuktian secara ekonomi biasanya tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Keterbatasan waktu dalam penanganan perkara inilah yang kemudian ditenggarai telah mempengaruhi kualitas dari beberapa putusan yang dihasilkan oleh KPPU, Pengadilan Negeri, dan Mahkamah Agung. Meskipun sepertinya MA dalam penanganan perkara persaingan usaha tidak terlalu terikat dengan jangka waktu yang telah ditentukan UU No.5 Tahun 1999. Terbatasnya waktu yang tersedia juga telah menyebabkan proses penanganan perkara persaingan usaha tidak dapat dijalankan secara maksimal, dan tidak jarang dalam proses pembuktiannya sering kali mengambil jalan pintas, yang terkadang kurang sesuai dengan kaidah yang berlaku di dalam ilmu hukum persaingan usaha pada umumnya. Pasar Bersangkutan Sebagai salah satu contoh, di dalam UU No.5 Tahun 1999 terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan masalah struktur pasar, seperti antara lain: pasal mengenai monopoli, oligopoli, penguasaan pasar, dan posisi dominan. Kemudian apabila otoritas penegakkan hukum persaingan usaha (dalam hal ini KPPU) hendak mengenakan pasal-pasal tersebut kepada pelaku usaha yang diduga telah melanggar UU No.5 Tahun 1999, maka terlebih dahulu KPPU harus dapat menentukan pasar bersangkutan (relevant market) dari pelaku usaha tersebut. Salah satu hal yang cukup rumit serta membutuhkan waktu yang tidak singkat adalah menentukan secara tepat mengenai pasar bersangkutan, dimana pasar bersangkutan didefenisikan oleh UU No.5 Tahun 1999, sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut. Atau dengan kata lain pasar bersangkutan merupakan pasar dimana persaingan berlangsung. Dan untuk menentukannya dilihat dari dua komponen yaitu pasar produk (product market) dan pasar geografis (geographic market). Dalam menentukan pasar produk dan pasar geografis biasanya dilakukan melalui serangkaian penelitian empiris yang tidak mudah, dan tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Karena terbatasnya waktu yang tersedia, maka terkadang serangkai penelitian empiris yang seharusnya dilakukan untuk dapat menentukan pasar produk dan pasar geografis tidak dapat dilakukan secara maksimal. Bahkan terkadang penentuan pasar produk atau pasar geografis ini hanya berdasarkan dari pendapat para ahli industri yang bersangkutan, yang terkadang metode yang digunakan kurang sesuai dengan metode yang berlaku dalam ilmu hukum persaingan usaha. Hasilnya seperti pada kasus Carrefour, KPPU menentukan pasar bersangkutan dari Carrefour adalah pasar Hipermarket, dan pesaing dari Carrefour adalah Giant, Hypermart dan Club Store. Jika seandainya dilakukan penelitian dengan mengikuti pedoman yang ada pada umumnya dalam menentukan pasar bersangkutan sudah barang tentu hasilnya mungkin tidak akan seperti itu. Begitupun dalam putusan Temasek, KPPU mendefenisikan pasar bersangkutan dalam putusannya adalah industri layanan telekomunikasi seluler diseluruh wilayah Indonesia, dan KPPU mengesampingkan layanan Fixed Wireless Acces (FWA)/telepon bergerak tetap sebagai salah satu pesaing dari layanan seluler. Sehingga beberapa kalangan menilai penentuan defenisi pasar bersangkutan yang dilakukan sepertinya kurang melihat kepada kenyataan yang ada di lapangan. Namun sebagai sebuah lembaga penegakan hukum yang baru terbentuk (kurang dari tujuh tahun), sudah barang tentu KPPU menghadapi banyak kendala dan permasalahan dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang dimilikinya secara baik, dan salah satunya bersumber dari beberapa kekurangan yang ada di dalam UU No.5 Tahun 1999 khususnya dalam hal ini masalah pengaturan jangka waktu penangan perkara yang dianggap kurang sesuai untuk menangani perkara persaingan usaha yang begitu kompleks. Sehingga jangan sampai demi lebih memberikan jaminan kepastian hukum tetapi keadilan hukum terabaikan, dan juga jangan sampai karena keterbatasan waktu yang ada otoritas penegak hukum persaingan usaha bekerja secara serampangan. Penulis mengajar pada mata kuliah Hukum Persaingan Usaha pada program studi S-1 FHUI, serta aktif menjadi pembicara pada Pendidikan Profesi Advokat untuk materi Hukum Persaingan Usaha yang diselenggarakan oleh PERADI, Penulis juga aktif menjadi pembicara maupun moderator dalam beberapa seminar mengenai persaingan usaha, Konsultan pada beberapa instansi pemerintahan seperti Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pekerjaan Umum, Bank Indonesia, Departemen Kehakiman dan HAM, KPPU, konsultan lembaga Internasional seperti GTZ, Koordinator Tim Ahli Revisi Undang-Undang No.5/1999, dan menjadi anggota Tim Penyusunan beberapa Peraturan-perundangan, Penyusun Modul Pendidikan dan Kurikulum Materi Hukum Persaingan Usaha untuk Hakim Pengadilan Niaga, dan juga untuk staff KPPU, dan beberapa tulisan mengenai Hukum Persaingan Usaha pernah dimuat pada beberapa Jurnal Ilmiah, Harian Bisnis Indonesia, Koran Tempo, tabloid Kontan. Penulis sekarang sedang menyelesaikan studi Pasca Sarjana pada Magister Program Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI. Untuk korespodensi dapat menghubungi melalui: HP No. 0816713673 atau Lembaga Kajian Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia No.telp. 7270003 ext 57, alamat fax No.7270052. e-mail: [email protected] / [email protected]