PERAN IKLIM PERSAINGAN USAHA YANG SEHAT DALAM MEWUJUDKAN SISTEM INOVASI NASIONAL, UMKM YANGKUAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN Tresna Priyana Soemardi Alumni Teknik Mesin ITB Angkatan 1975 Guru Besar Bidang Perancangan Mekanikal dan Pengembangan Produk Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005-saat ini Guru Besar Tamu Bidang Inovasi dan Strategic Management Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2005-saat ini Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU-RI), Januari 2010-saat ini Komisioner Pada Komisi Pengawas Persaingan Usaha Repunlik Indonesia (KPPU-RI), Jamuari 2007-saat ini. ABSTRAK 1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Republik Indonesia yang merupakan amanat seluruh rakyat ketika memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda selama 350 tahun dan dari penjajahan Jepang selama 3,5 tahun untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang merdeka untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar negara Indonesia, merupakan dasar dalam menyusun sistem negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Dalam perjalanannya sebagai bangsa yang merdeka, Negara Republik Indonesia baru menganggap penting Persaingan Usaha yang Sehat pada tahun 1999 setelah 54 tahun merdeka, suatu proses belajar yang cukup panjang. Setelah 50 tahun lebih Negara Indonesia merdeka barulah lahir Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain setelah 50 tahun lebih merdeka, barulah rakyat Indonesia yang bekerja sebagai pelaku usaha atau pebisnis diproklamasikan kemerdekaannya dalam berusaha pada tahun 1999 dengan ditanda tanganinya UU No.5 tahun 1999 oleh Presiden pada saat itu Prof.Dr.ing. B.J. Habibie. Selama 50 tahun lebih praktek monopoli dan praktek anti persaingan tidak diatur secara hukum alias dihalalkan dalam dunia usaha di Indonesia. Persekongkolan antara Pemerintah/Lembaga Negara dengan pelaku usaha/BUMN menciptakan diskriminasi dan Kesempatan berusaha yang tidak sama antara pelaku usaha (besar, menengah dan kecil), dengan menghilangkan persaingan antar pelaku usaha (lessening competition) dan menciptakan konsentrasi kelompok interest atau pasar berbentuk oligopolistik, yang akhirnya mematikan sistem inovasi nasional bahkan berjalan dengan waktu secara sistemik menciptakan pengangguran, inflasi yang tinggi dan kemiskinan di masyarakat. 3. Paper ini berusaha menjelaskan bagaimana fenomena persaingan usaha yang tidak sehat dan praktek monopoli yang ada dalam sistem pembangunan ekonomi nasional dapat menghancurkan sistem inovasi nasional, melemahkan sektor riil UMKM dan menciptakan kemiskinan rakyat Indonesia secara struktural dalam sektorsektor penting seperti pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, kerajinan rakyat, pasar tradisional dsb. 4. Paper ini juga berusaha merumuskan rekomendasi harmonisasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang belum harmonis dengan nilai-nilai persaingan usaha yang sehat. ---PERSAINGAN SEHAT SEJAHTERAKAN RAKYAT--- 1. PENDAHULUAN: ERA PEMBANGUNAN NASIONAL TANPA KELEMBAGAAN PERSAINGAN USAHA, 1945-2000 1945-1965: Era Stagnasi Pembangunan Ekonomi dan Inflasi berkepanjangan Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno sampai tahun 1960-an tidak menunjukkan suatu konstruksi kelembagaan negara yang semakin kokoh, tetapi yang terjadi adalah dinamika turbulensi politik, perubahan UUD dari UUD 1945 ke Konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 dan akhirnya kembali ke UUD tahun 1945 melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 sekaligus membubarkan konstituante hasil Pemilu tahun 1955 yang bertugas membuat UUD atau konstitusi baru menggantikan UUDS tahun 1950. Pembangunan ekonomi pada masa itu, tidak kunjung terwujud pembangunan ekonomi secara sistemik dan berkesinambungan menciptakan kesejahteraan rakyat melalui pembangunan ekonomi yang berazaskan kekeluargaan, gotong royong dan usaha bersama. Perhatian terhadap pembangunan ekonomi juga semakin buruk dengan “mundurnya” Wakil Presiden Moh.Hatta pada tahun 1956 yang mengundurkan diri dari kancah perpolitikan Indonesia, yang membuat Soekarno semakin jauh dari memenuhi cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera. Perusahaanperusahaan dan pabrik-pabrik milik Belanda yang diambil alih oleh pemerintah Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan tidak dikelola secara terencana strategik dan jangka panjang menghasilkan komoditi kebutuhan pokok masyarakat yang beragam, berkualitas dan terjangkau. Juli 1959 parlemen dibubarkan Soekarno dan menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Dinamika partai politik juga menunjukkan suatu perkembangan penguatan partai komunis yang berupaya dekat dan menguasai kekuatan militer. Di sisi lain, Soekarno berusaha mengokohkan konsep pembangunan politik “demokrasi terpimpin” nya, dengan mengupayakan penyatuan kekuatan politik dari jalur nasionalis, agama dan komunis yang dinamakan “nasakom”. Pembangunan politik dan ekonomi pada masa “demokrasi terpimpin” ini, PKI yang menjadi demikian kuat dan kaum borjuis nasional, ternyata tidak berhasil menekan pergerakanpergerakan independen buruh dan tani, dan gagal dalam memecahkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang perioritas pada saat itu, misal, mengatasi kebutuhan bahan pokok, inflasi terus meningkat yang mencapai 650%, pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa (foreign reserves) menurun terus, dan korupsi dikalangan birokrat dan militer menjadi wabah. Tahun 1960 sampai 65, Inflasi yang demikian tinggi membuat harga makanan pokok melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri untuk memperoleh beras, minyak, gula, dan barangbarang kebutuhan pokok lainnya. Banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, beras bulgur, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya. Untuk sandangpun masyarakat banyak menggunakan kain dari karung/goni sebagai bahan pakaian mereka. Boleh dikatakan, pada masa pemerintahan Soekarno, sejak 1945 sampai 1965, dalam pembangunan ekonominya, Indonesia menjadi semakin “terasing”, keluar dari PBB dan tidak menerima bantuan asing untuk pembangunan ekonomi, dan berusaha “berdikari” berdiri diatas kaki sendiri yang berbeda dengan konsep “swadesi” yang diterapkan Gandhi di India, yang memperkuat produksi dan penggunaan produk dalam negeri. Kebijakan pemerintahan Soekarno ini menimbulkan krisis inflasi dan stagnasi ekonomi berkepanjangan. Keadaan politik-ekonomi ini mengalami puncaknya pada peristiwa G30S PKI yang merupakan upaya kudeta pengawal istana (cakrabirawa) dan PKI yang berhasil ditumpas oleh Mayjen Soeharto yang kemudian memimpin Negara Kesatuan RI melalui Surat Perintah 11 Maret 1966, dimana Soekarno memberi Soeharto kekuasaan tak terbatas yaitu untuk mengambil “langkahlangkah yang sesuai” untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawa Soekarno. 1966-1996: Era rehabilitasi perekonomian Indonesia yang bertumpu pada bantuan dan investasi asing. Dalam era orde-baru, era kepemimpinan Soeharto, Pembangunan politik dan ekonomi menunjukkan pemantapan secara sistemik lebih baik, melalui konsep trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan-stabilitas dan pemerataan. Soeharto pada era ini mulai kembali merangkul para teknokrat ekonom (Sumitro Djojohadikusumo, Widjojo Nitisastro dkk) untuk membangun ekonomi nasional yang sudah sangat memprihatinkan. Merekalah yang membimbing proses pengintegrasian kembali perekonomian Indonesia dengan perekonomian dunia. Ekonomi tumbuh dari Pelita ke Pelita, mulai Pelita-I, dan khususnya sejak deregulasi tahun 1985 sampai tahun 1995 telah menunjukkan hasil yang diharapkan. Industrialisasi telah menciptakan transformasi struktur industri ke sektor modern. Demikian pula, pertumbuhan nilai tambah sektor industri manufaktur pada periode setelah deregulasi meningkat melebihi rata-rata nasional. Perjalanan kebijakan pembangunan ekonomi yang berlaku atau paling tidak diusahakan pada era orde baru digambarkan oleh Emil Salim,1 sebagai pendulum atau jarum jam yang bergerak ke kiri dan ke kanan, dari liberal ke sosialis dan ke arah liberal lagi tetapi, menurut teknokrat orde baru itu, akhirnya mencapai titik keseimbangan di tengah-tengah yang disebutnya Sistem Ekonomi Pancasila, yaitu sistem pasar yang dikendalikan melalui intervensi negara. Dari perspektif dua pendekatan kapital dan manusia sebagai modal utama, sistem ekonomi orde baru tampaknya cenderung pada pendekatan kapital pascakolonial, tetapi ciri-cirinya tetap sama dengan pendekatan kapital-kolonial, meminjam istilah Hatta. Dengan meminjam istilah Peter B Evans,2 pembangunan yang terjadi adalah pembangunan ketergantungan (dependent development). Dualisme sosial-ekonomi yang merupakan ciri ekonomi kolonial tetap berlangsung, bahkan dalam derajat yang lebih parah. Perekonomian Indonesia bergantung pada luar negeri dalam hal modal dan teknologi. Tahun 1973-1974, Indonesia mengalami boom minyak pertama, negara mendadak mendapat harta kekayaan luar biasa besarnya. Sebagaimana diamati Richard Robinson dan Jeffrey Winters,3 rezeki minyak yang melimpah erfungsi untuk menyisihkan kaum teknokrat-ekonom dari posisi mereka sebagai perancang utama kebijakan ekonomi. Dengan dukungan negara, sejumlah industri hulu padat modal dibangun atas nama membangun kapasitas perekonomian Indonesia untuk berdiri sendiri. Proyek penjalinan secara struktural dan menyeluruh berbagai sektor ekonomi Indonesia di bawah pimpinan negara-dulu disebut dengan “Indonesia Incorporation.” – mendapat dukungan kuat kelompok teknokrat insinyur (dan banyak ditentang kaum teknokrat ekonom). Dan akhirnya BJ Habibie muncul dengan model pembangunan melalui 8 wahana industri strategis yang berteknologi tinggi tanpa memperhatikan apa yang disebut oleh para ekonom sebagai faktor comparative advantage perekonomian Indonesia.4 1 Lihat Emil Salim, Ekonomi Pancasila. Prisma-LP3ES tahun 1979 2 Lihat, Peter B Evans, Dependent Development: The Alliance of Multinational, State, and Local Capital in Brazil (New Jersey: Princenton, University Press, 1979). 3 Lihat, Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital (Sydney: Allen and Unwin, 1986); Jeffrey A Winters, Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (Ithaca: Cornell University Press, 1996). 4 Lihat, Ian Chalmers dan Vedi R Hadiz (eds), The Politics of Economic Development in Indonesia: Contending Perspective (London: Routledge, 1997), terutama Bab 3 dan Bab 7; Vedi R Hadiz, Krisis Ekonomi Dunia dan Indonesia (Prisma No.1. 2009). Di sisi lain, Pembangunan nasional, pada masa Soeharto sangat sentralistik, mengandalkan keunggulan komparatif sdm murah dan kekayaan sumberdaya alam, tanpa implementasi UU dan kelembagaan yang mengawasi persaingan usaha yang sehat, sehingga sarat dengan praktek Oligopoli dan monopoli, korupsi, kolusi/persekongkolan dan nepotisme. Strategi industrialisasi banyak mengandalkan akumulasi modal, perlindungan (proteksi), dan padat teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan. Fakta menunjukkan bahwa di dalam sektor manufaktur yang modern hidup berdampingan kelompok yang tidak dilindungi (non-protected industry) dan yang dilindungi (protected industry). Dualisme dalam sektor manufaktur tersebut tampak nyata jika dilihat dari kinerjanya. Kelompok perusahaan besar dan protektif tumbuh karena fasilitas yang mereka terima, sementara yang lain harus bersaing dengan kemandirian dan daya saingnya. Industri nasional juga berkarakter pada dikotomi antara pelaku-pelaku usaha berorientasi ekspor yang efisien dan pelaku-pelaku usaha yang tidak efisien dan berorientasi ke dalam negeri. Pelaku usaha yang tidak efisien dilindungi oleh tarif impor yang relatif tinggi dan juga perlindungan bukan-tarif. Konsumen pembeli produk manufaktur di dalam negeri harus membayar lebih tinggi dibandingkan tingkat harga internasional. Dilain pihak, kelompok pelaku usaha yang dominan didalam negeri yang menikmati perlindungan dari pemerintah, tidak mampu bersaing dengan produk-produk sejenis dari luar negeri. Sebagai contoh produk-produk yang dilindungi pada era orde-baru seperti besi-baja, logam, kertas, dan sebagainya. Dalam derajat tertentu, pembangunan pada masa orde baru, perlu diakui telah menghasilkan kemajuan-kemajuan ekonomi seperti stabilitas moneter, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (rata-rata 7 persen per tahun), peningkatan pendapatan masyarakat disertai dengan pengurangan derajat kemiskinan dan pembentukan modal masyarakat. Suatu hal yang belum banyak berubah dalam pembangunan ekonomi nasional di era orde baru, atau boleh dikatakan konstan dalam semua perkembangan diuraikan di atas, adalah ketidak berdayaan rakyat dalam mengontrol sumberdaya ekonomi Indonesia supaya tidak dipergunakan untuk memupuk modal pribadi dengan praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat dan cara-cara yang mengakibatkan kemiskinan masyarakat dengan dalih nasionalisme/proteksionisme atau pasar bebas. Perekonomian Indonesia menjadi semakin terproteksi dan tidak efisien. Modal asing dibatasi lewat sejumlah kebijakan yang merintangi masuknya mereka dalam berbagai sektor perekonomian yang mengharuskan investor asing mengikut sertakan mitra dalam negeri. Pada masa orde baru itu pula, akibat kebijakn pemberian monopoli serta subsidi dan kredit negara secara sangat tidak transparan, muncul konglomerat-konglomerat raksasa semacam Salim Group. Tahun 1980-1985, terjadi lagi perubahan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu berakhirnya boom minyak secara mendadak. Perubahan ini memicu krisis baru atas sumber pendapatan negara yang kemudian memicu terbitnya deregulasi dengan kebijakan-kebijakan yang lebih pro-pasar bebas. Namun demikian, perubahan tersebut tidak menandakan kemenangan mutlak “pasar bebas” di Indonesia, dengan berakhirnya peran negara dan mereka yang menguasainya. Yang terjadi justru penunggangan kebijakan deregulasi oleh kepentingankepentingan predatoris dengan berubahnya pola monopoli sektor-sektor tertentu dalam perekonomian dari negara kepada monopoli swasta yang dipegang oleh para pengusaha yang dekat dengan penguasa. Karena itu aktor-aktor ekonomi yang diuntungkan oleh fase proteksionisme, kembali mengeruk keuntungan besar setelah krisis ekonomi awal than 1980-an dengan mendesakkan perubahan kebijakan (deregulasi). Kebijakan deregulasi perbankan, misalnya, yang sempat dipuji oleh lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, memungkinkan para konglomerat memanfaatkan bank-bank baru sebagai sapi perahan-sumber untuk mendapatkan dana murah dari masyarakat tanpa menghiraukan azas perbankan yang sehat. Akhirnya, penggabungan cronyism politik dengan keikut sertaan dalam pasar global secara bebas membawa perekonomian Indonesia pada titik nadir baru pada 1997-1998 dan menyebabkan tumbangnya orde baru. Ditambah lagi, iklim usaha pada masa orde baru, masih menghalalkan praktek monopoli dan perilaku pengusaha yang anti persaingan. Dapat diambil contoh monopoli BPPC dalam distribusi cengkeh, masuknya PT.Timor sebagai industri otomotif nasional dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, monopoli industri migas oleh Pertamina dsb, yang semuanya itu menciptakan kondisi ekonomi nasional yang sangat tidak efisien dan ekonomi biaya tinggi. Pada masa orde baru kemitraan pengusaha besar, sedang dan kecil masih sangat kurang. Karena praktek anti persaingan dan monopoli melalui kemudahan, diskriminasi, bahkan fasilitas dukungan dana dari pemerintah/penguasa, iklim usaha ini menciptakan abuse dari posisi yang dominan atau abuse dari posisi yang dilindungi/disubsidi penguasa yang menciptakan entry-barrier bagi usaha menengah dan kecil yang harus menghadapi konglomerasi atau integrasi vertikal pengusaha besar yang dilindungi. Pada sisi konsumen akhirnya menciptakan harga yang tidak wajar dengan keuntungan eksesif. Dan jika ini terjadi pada kebutuhan bahan pokok masyarakat adalah inflasi yang tinggi yang akhirnya menciptakan kualitas hidup masyarakat yang semakin buruk, karena terlilit hutang dan jatuh pada kemiskinan. Sistem Inovasi Nasional Yang Semu Jika pasar kental dengan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka tidak ada persaingan di sana, yang berarti sistem inovasi tidak akan bekerja. Investasi yang sudah dilakukan membangun LIPI, PUSPIPTEK, Perguruan Tinggi dengan lembaga risetnya, tidak berperan signifikan dalam menciptakan efisiensi ekonomi, harga yang murah dan kualitas produk yang tinggi, atau menciptakan inovasi dalam persaingan usaha. Pelaku usaha tidak didorong melakukan inovasi atau R&D untuk mencapai harga yang murah dan kualitas barang yang tinggi karena tidak adanya iklim persaingan usaha yang sehat. Kerjasama tripartit ABG yang sering didengung-dengungkan Menristek pada masa orde baru dan pasca orde-baru, yaitu kerjasama antara Academician-Businessman-Government (ABG) tidak akan pernah diarus-tengahkan secara nyata dan alamiah (mainstreaming) dalam pembangunan ekonomi nasional. Jika Prof.Sumitro Djojohadikusumo mengatakan bahwa kebocoran utang pembangunan mencapai 30% adalah hal yang dipercayai semua orang walaupun sampai saat belum ada penelitian yang membuktikannya. Penulis beranggapan bahwa kebocoran tersebut pada masa orde baru, saat ini masih belum banyak berubah, melihat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat melalui maraknya persekongkolan dalam tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta berpindahnya semua ini kedaerah karena implementasi kebijakan otonomi daerah yang tidak dibarengi oleh kesiapan yang memadai dalam berbagai aspeknya. Tingginya praktek monopoli dan persaingan tidak sehat dalam iklim usaha nasional di era orde baru dapat dimodelkan seperti diagram pada gambar 1 dibawah ini, yang dapat menyebabkan entry barrier bagi sektor riil UMKM sehingga mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan. Krisis moneter pada tahun 1998 yang menyebabkan nilai rupiah sangat jatuh dan mencapai Rp.14.000 pada Juli 1998 terhadap US$, sehingga banyak perusahaan besar yang collapse karena ketergantungan yang tinggi pada impor dalam proses produksinya yang akhirnya berdampak pada Industri UMKM terkait, yang pada akhirnya menciptakan pengangguran dan kemiskinan yang masif. 2. PRAKTEK MENIADAKAN MONOPOLI INOVASI, DAN PERSAINGAN MELEMAHKAN UMKM USAHA DAN TIDAK SEHAT MENCIPTAKAN KEMISKINAN: TINJAUAN PADA ERA ORDE-BARU DAN TRANSISI ERA UU PERSAINGAN, 1985-2010 Pada Bagian ini penulis ingin mengangkat berbagai contoh praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang berdampak pada efisiensi ekonomi nasional yang buruk, inflasi dan kemiskinan. Kasus Petani Jeruk Salah satu masalah serius yang sering dihadapi para petani di Indonesia adalah sistem tata niaga yang merugikan mereka dengan adanya praktek monopoli dalam sistem tersebut. Masalah ini dihadapi oleh petani-petani jeruk Pontianak, Kalimantan, terutama pada era orde baru (era soeharto), tepatnya sekitar awal dekade 90-an ketika diberlakukan tata niaga jeruk yang monopolistik oleh pemerintah. Setiap jeruk petani harus dijual kepada PT.Bina Citra Mandiri (BCM) yang merupakan perusahaan milik Tommy Suharto. Bukan Cuma harga jeruk yang ditentukan PT.BCM, tetapi quota jeruk juga diberlakukan dengan sangat ketat. Sistem monopoli dalam tata niaga ini melarang petani menjual jeruk hasil produksinya yang melimpah kepada pihak lain di luar PT.BCM. Pedagang pengumpul hanya boleh menjual sekitar 10% dari total omsetnya. Ketentuan ini dengan sendirinya membuat pasokan di pasar sedikit, yang berakibat pada peningkatan harga jeruk yang significant dan yang mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga tersebut adalah hanyalah PT.BCM. Sistem tata niaga jeruk seperti itu menjadi suatu faktor disinsentif bagi petani untuk meneruskan atau meningkatkan produksinya. Bahkan sejak diterapkan kebijakan tata niaga itu, banyak petani jeruk di Pontianak (dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia) membiarkan jeruk mereka membusuk di kebun. Saat ini mulai tahun 2000 dari pohon yang masih tersisa, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Universitas Tanjungpura Pontianak serta berbagai instansi lainnya yang peduli mulai mengembangkan kembali jeruk Pontianak dengan bibit unggulan. Kini jeruk Pontianak perlahan- lahan bangkit kembali dan petanipun mulai bergairah kembali menanam jeruk Pontianak. Hanya satu yang diinginkan petani, jangan ada lagi tata niaga jeruk yang terbukti telah menghancurkan jeruk Pontianak. Contoh kasus ini jelas menunjukkan bahwa persaingan yang tidak sehat, akan menghilangkan persaingan itu sendiri yang selanjutnya menghilangkan inovasi (R&D) yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap sisi suplai/produksi, yang selanjutnya mengurangi kesempatan kerja dan meningkatkan kemiskinan. Andaikata setiap petani jeruk mengerjakan rata-rata dua orang buruh tani, dapat dibayangkan berapa besarnya peningkatan kemiskinan di daerah-daerah yang merupakan sentra-sentra perkebunan jeruk jika semua pemilik perkebunan jeruk menghentikan produksi mereka. Terkecuali jika mereka beralih ke komoditas-komoditas lainnya, maka dampak negatifnya bisa lebih kecil. Kasus Sektor Penerbangan Melalui saran pertimbangan, KPPU juga berkontribusi terhadap dinamika sektor penerbangan yang makin meningkat. Salah satu contoh perubahan kebijakan sebagai respon terhadap saran KPPU adalah terkait dengan saran pertimbangan dalam industri penerbangan. Pada tahun 2000, KPPU mengamati adanya indikasi kartel dalam industri penerbangan, karena penetapan tarif dilakukan oleh INACA (Indonesian National Air Carrier Association). Para operator penerbangan bersepakat malakukan penetapan harga yang kemudian diajukan untuk dilegalkan oleh pemerintah. Menindaklanjuti temuan tersebut, KPPU kemudian memberikan saran pertimbangan kepada Pemerintah untuk mencabut kewenangan INACA dalam menetapkan tarif. Terhadap saran pertimbangan KPPU tersebut, Pemerintah melakukannya dengan mencabut kewenangan INACA dan pemerintah menetapkan tarif batas atas. Dampak kebijakan adalah terjadinya penurunan tarif mencapai hampir 50 % lebih dalam setiap rute. Kemudian rute-rute baru pun bermunculan seiring dengan kemunculan maskapai penerbangan yang baru. Masyarakat yang tadinya tidak mampu menggunakan moda transportasi penerbangan karena mahal, kini dengan mudah memilih maskapai dengan tarif yang sangat kompetitif. Pada tahun 2008 saja, penumpang pesawat terbang tercatat mencapai sekitar 38 juta penumpang. Bila saja ada penghematan sebesar Rp 50.000 saja per penumpang, maka total penghematan yang dicapai adalah sebesar Rp 1.9 Triliun. Dalam hal ini banyak sekali manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya iklim persaingan yang semakin sehat dan adil. Selain kasus kartel tarif oleh maskapai penerbangan nasional, belakangan ini terjadi lagi kasus kartel Fuel Surcharge oleh maskapai penerbangan dengan jalur penerbangan berjadwal domestik. Seharus penerapan fuel surcharge yang memang diijinkan oleh pemerintah mengantisipasi kenaikan aftur, dibebankan kepada konsumen sesuai dengan selisih kenaikannya jadi tidak ada yang tersisa menjadi pendapatan fuel surcharge yang masuk ke maskapai penerbangan. Dalam perkara ini KPPU menemukan dengan bukti-bukti dan analisis ekonominya adanya penetapan harga fuel surcharge antar airline yang eksesif. Berdasarkan perhitungan KPPU diperkirakan kerugian konsumen dalam bentuk kelebihan FS yang ditarik dari konsumen pada 2006-2009 adalah sekitar Rp.13,84 triliun. Dengan terbuktinya kartel FS ini, KPPU menghukum denda mencapai Rp.80 milyar dan ganti rugi mencapai Rp. 505 milyar. Kasus Perdagangan Ritel Modern Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor ekonomi di Indonesia yang sangat rawan terhadap praktek-praktek monopoli atau monopsoni, terutama di subsektor perdagangan ritel. Salah satu kasusnya adalah PT.Carrefour, yang pada tahun 2005 perusahaan tersebut dihadapkan oleh putusan perkara No.02/KPPU-L/2005 dari KPPU tentang pelanggarannya terhadap syaratsyarat perdagangan. PT.Carrefour melakukan hubungan usaha jual beli berbagai macam produk dengan banyak pemasok menggunakan sistem jual putus. Hubungan usaha tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis yang dinamakan National Contract, yang di dalamnya memuat syarat-syarat jual beli (yang dapat dinegosiasikan dengan pemasok, antara lain: listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store dan penalty). Banyak pemasok atas produk (makanan dan minuman dalam kemasan siap saji, kebutuhan sembilan bahan pokok serta produk segar, produk rumah tangga, dan elektronik) mengeluh bahwa syarat-syarat jual beli tersebut memberatkan, khususnya mengenai listing fee dan minus margin, karena setiap tahunnya carrefour melakukan penambahan jenis item, menaikkan biaya dan persentase fee. Carrefour memiliki kekuatan tawar terhadap pemasok dalam menegosiasikan item dalam syarat-syarat jual beli dan menggunakan kekuatan tawarnya untuk menekan pemasok. Bentuk tekanan yang dilakukan antara lain berupa penahanan pembayaran yang jatuh tempo, memutuskan secara sepihak untuk tidak menjual produk pemasok dengan tidak mengeluarkan perintah pembelian, dan mengurangi jumlah pemesanan jumlah produk pemasok. Berdasarkan bukti memberlakukan minus margin tersebut mengakibatkan salah satu pemasok Carrefour menghentikan pasokannya kepada pesaing Carrefour yang menjual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga jual di gerai Carrefour untuk produk yang sama. Keputusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 menyatakan bahwa terlapor (Carrefour) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dan menghukum Carrefour membayar denda sebesar Rp. 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Memang bentuk atau pola persaingan yang terjadi hingga saat ini antara ritel modern dengan ritel tradisional sangat baik untuk digunakan sebagai penguji tingkat efektivitas dari pelaksanaan UU nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di lapangan. Potensi persaingan tidak sehat dapat muncul dalam bentuk penyalahgunaan kekuatan pasar, antara lain, dalam bentuk syarat-syarat jual beli antar peritel dan pemasok seperti dalam kasus Carrefour tersebut. Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa apabila persaingan yang terjadi di sektor ritel selama ini tidak sehat, maka jumlah pelaku ritel tradisional akan terus berkurang sedangkan jumlah pelaku ritel modern akan bertambah terus. Atau, jumlah omset atau rata-rata per-unit usaha di kelompok pertama itu menurun sedangkan di kelompok kedua tersebut meningkat. Hipotesa ini tentu harus didasarkan pada asumsi bahwa faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perubahan jumlah unit usaha (pedagang) atau omset di sektor tersebut, seperti misalnya modal, informasi pasar, teknologi, infrastruktur, dll. Tetap, tidak berubah. Dalam beberapa tahun belakangan ini, pertumbuhan omset dari ritel modern sangat pesat melebihi pertumbuhan omset dari ritel tradisional, khususnya di Jakarta. Menurut Data Biro Perekonomian DKI Jakarta, pada tahun1985 terdapat 156 pasar tradisional versus hanya 42 ritel modern; tahun 1995 perbandingannya 159:249, dan pada tahun 2004 adalah 151:449. Menurut survei AC Nielsen (Hidayat, 2007), diantara beberapa bentuk ritel modern seperti supermarket, minimarket, pusat grosir, dan hipermarket, pertumbuhan paling cepat dialami oleh hipermarket. Tahun 2003 terdapat 43 hipermarket beroperasi di Indonesia. Tahun 2005, sudah tercatat 83 hipermarket di Indonesia. Sementara supermarket bertambah dari 896 unit pada tahun 2003 menjadi 961 unit pada tahun 2005. Sektor Industri Susu Berdasarkan evaluasi dan kajian dampak dari kebijakan pemerintah (Direktorat Kebijakan Persaingan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008) mengenai persaingan usaha dalam industri susu, pola pengembangan peternakan dan jalur distribusi susu sapi ditandai dengan adanya ketergantungan koperasi/peternak terhadap industri pengolahan susu (IPS). Ketergantungan tersebut mengakibatkan IPS memiliki posisi dominan sehingga dapat menetapkan standar teknis dan kebijakan harga beli secara sepihak. Dari sisi koperasi/peternak, banyak masalah hingga saat ini, yang dapat diduga (secara empiris belum terbukti) juga disebabkan oleh sistem ketergantungan tersebut. Pertama, walau ada peningkatan produktifitas namun tingkatnya masih relatif rendah, dan secara agregat, pemilikan sapi perah per peternak masih di bawah ambang skala ekonomis. Kedua, tingkat kesesuaian mutu teknis masih rendah. Ketiga, pasokan maupun harga bahan pakan ternak serta konsentrat (yang secara finansial, kedua pos tersebut mendominasi struktur biaya usaha sapi perah).dalam kondisi tertentu relatif tidak stabil. Memang, kenaikan harga bahan baku susu internasional yang sering terjadi belakangan ini membuat permintaan dan harga beli susu domestik naik, yang menguntungkan peternak. Namun kenaikan harga beli susu domestik belum berkesinambungan, jika dilihat dari sisi kesejahteraan peternak, karena masih sangat rentan dipengaruhi oleh harga bahan baku susu dunia. Selama ini kekuatan tawar dari koperasi/peternak terhadap IPS masih lemah, dan beresiko besar terhadap kelangsungan peternak sapi perah dalam periode jangka panjang. Penguatan kekuatan tawar koperasi/peternak tentu akan menambah peningkatan pendapatan peternak jangka panjang, yang selanjutnya lewat kekerkaitan bisnis maupun konsumsi dengan sektorsektor lainnya akan berdampak positif terhadap penambahan kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan. Kasus Indomobil (Persekongkolan Tender) Bahwa dengan adanya persekongkolan dalam tender penjualan saham PT. IMSI, Negara hanya memperoleh penerimaan sebesar Rp. 625.000 000.000,00 (enam ratus dua puluh lima miliar rupiah). Padahal, menurut valuasi PT. DTT sebagai financial advisor pada tender tersebut, dari tender penjualan saham PT. IMSI ini dapat diharapkan nilai perolehan sebesar Rp. 853.000.000.000,00 (delapan ratus lima puluh tiga miliar rupiah). Bahwa dengan demikian terjadi kerugian (opportunity lost) Negara setidaknya sebesar Rp. 228.000.000.000,00 (dua ratus dua puluh delapan miliar rupiah) yang diakibatkan terjadinya persekongkolan pada tender ini. Besaran ganti rugi: Rp. 228 milyar dibebankan ke terlapor (Cipta Sarana Duta Perkasa). Nilai ganti rugi diperoleh dari selisih antara nilai divestasi saham indomobil berdasarkan harga lelang dengan harga yang seharusnya (harga wajar) berdasarkan estimasi yang dilakukan oleh financial adviser (PT. DTT). Harga lelang akibat dari persekongkolan tender adalah Rp. 625 milyar sementara harga yang wajar adalah sebesar Rp. 853 Milyar (versi financial advisor). Selisih antara harga actual dengan harga wajar adalah sebesar Rp. 228 milyar yang dianggap oleh majelis komisi sebagai kerugian negara. Kasus Divestasi VLCC Pertamina Kasus ini adalah menyangkut penjualan tanker oleh Pertamina. Harga pasar VLCC pada saat itu berkisar US $ 90,000,000 (sembilan puluh juta US Dollar). Waktu pembuatan VLCC berkisar antara 2 (dua) sampai 3 (tiga) tahun, maka harga VLCC milik Pertamina yang langsung bisa dipergunakan memiliki nilai yang lebih tinggi. Present value dari VLCC Pertamina , berdasarkan return on investment hasil kajian dari Japan Marine, adalah sebesar 11, 83% atau sekitar US $ 20,000,000 (dua puluh juta US Dollar) sehingga harga pasar per VLCC milik Pertamina adalah sekitar US $ 110,000,000 (seratus sepuluh juta US Dollar) Berdasarkan artikel dari TradeWinds (http://www.tradewinds.no per tanggal 14 Juni 2004) harga pasar VLCC pada saat itu adalah sekitar US $ 102,000,000 (seratus dua juta US Dollar)(Bukti C1). Sesuai dengan keterangan Ahli, harga pasar VLCC pada saat itu berkisar antara US $ 105,000,000 (seratus lima juta US Dollar) – 120,000,000 (seratus dua puluh juta US Dollar) Bahwa nilai penjualan 2 (dua) unit VLCC Pertamina adalah sebesar US $ 184,000,000 (seratus delapan puluh empat juta US Dollar) sedangkan harga pasar VLCC pada saat itu berkisar antara US $ 204,000,000 (dua ratus empat juta US Dollar) – US $ 240,000,000 (dua ratus empat puluh juta US Dollar) sehingga terdapat potensi kerugian negara antara US $ 20,000,000 (dua puluh juta US Dollar) – US $ 56,000,000 (lima puluh enam juta US Dollar) atau setara dengan Rp 180.000.000.000 (seratus delapan puluh milyar Rupiah) – Rp 504.000.000.000 (lima ratus empat milyar Rupiah) dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.000,00 per US $ 1. Besar ganti rugi total adalah Rp. 180 milyar (Dibebankan ke terlapor yaitu Goldman Rp 60 milyar, Frontline Rp. 120 milyar) Kasus kartel dan anti persaingan di sektor telekomunikasi Kasus Kartel Tarif SMS Kartel yang terjadi antara operator SMS menimbulkan kerugian yang nyata bagi konsumen. Kerugian konsumen tersebut berupa (i) hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga SMS yang lebih rendah, (ii) hilangnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan SMS yang lebih banyak pada harga yang sama, (iii) kerugian intangible konsumen lainnya, (iv) serta terbatasnya alternatif pilihan konsumen, selama kurun waktu 2004 sampai dengan April 2008. Perhitungan aktual mengenai kerugian-kerugian konsumen tersebut di atas memerlukan analisis ekonomi yang mendalam dengan didukung oleh data yang memadai. Dalam hal ini KPPU menyampaikan perkiraan biaya SMS berdasarkan penelitian harga interkoneksi yang dilakukan oleh OVUM serta formulasi perhitungan biaya SMS oleh BRTI. Berdasarkan laporan keuangan ke-enam operator yang terkait dalam kartel di atas (Telkomsel, XL, Telkom, Bakrie, Mobile-8 dan Smart, ditemukan pendapatan operator-operator tersebut sejak tahun 2004 sampai 2007 adalah sebesar 133,885 triliun rupiah Penghitungan ganti rugi atau consumer loss dilakukan berdasarkan selisih harga kartel sms off net terendah yaitu Rp. 250 dengan harga estimasi dari pemerintah dan lembaga riset yaitu OVUM yaitu sebesar Rp. 114 per sms off net. Selisih tersebut dikalikan jumlah traffic pemakaian sms dan pangsa pelanggan sehingga diperoleh besaran estimasi kerugian yang diderita konsumen sebesar Rp. 2.7 trilliun. Dampak dari keputusan KPPU yang menghentikan praktek kartel sms ini adalah terjadinya persaingan yang sehat dan harga yang wajar menuju pada tarif antara Rp.75-Rp.100/sms. Jumlah pelanggan mobile phone saat ini telah mencapai 150 juta lebih pelanggan, jika selama 4 tahun tarif sms berada pada kisaran Rp.300 s/d Rp.350 per sms, dan setelah keputusan KPPU turun menjadi Rp.100/sms bahkan sudah ada tarif gratis, dengan asumsi 5 sms per pelanggan per hari dan penurunan tarif sebesar Rp.200 per sms maka penghematan uang pelanggan diperkirakan mencapai Rp. 5,5 triliun per-tahun. Kasus Temasek (Pemilikan Silang Telkomsel dan Indosat oleh Temasek) Dalam kasus ini KPPU telah menemukan hubungan sebab akibat yang jelas antara kepemilikan silang oleh Temasek dengan kerugian konsumen. Kelompok Usaha Temasek telah mencegah Indosat untuk bersaing dengan Telkomsel, sehingga menyebabkan pangsa pasar Telkomsel meningkat dan pangsa pasar Indosat menurun pada kurun waktu 2002-2006. Dengan struktur pasar yang semakin terkonsentrasi pada Telkomsel telah membuat kekuatan pasar Telkomsel meningkat, sehingga Telkomsel semakin memiliki kekuatan untuk menjadi penentu harga yang tinggi sehingga menyebabkan timbulnya kerugian konsumen. KPPU memperkirakan kerugian konsumen dalam analisisnya sebesar 14.7 trilliun sampai 30.8 trilliun rupiah (tidak dibebankan ke para terlapor tetapi masyarakat dapat menuntutnya melalui class action) Pengukuran kerugian konsumen dilakukan atas dasar temuan excessive price yang di proxy kan melalui tingkat ROE aktual diatas ROE yang wajar. Tingkat ROE yang aktual sebesar 45% 55% selama periode 2003-2006 dianggap sebagai excessive dimana tim pemeriksan memperhitungkan tingkat ROE yang wajar adalah sebesar 20%-35%. Berdasarkan ROE yang excessive tersebut, tim pemeriksa melakukan estimasi terhadap excess revenue yang dinikmati oleh para terlapor dan juga terhadap potensi penurunan harga yang dapat terjadi. Untuk ROE yang wajar sebesar 30% maka estimasi penurunan harga yang potensial adalah 21.32% dan untuk ROE yang wajar sebesar 35% maka estimasi potensi penurunan harga mencapai 15%. Besaran estimasi potensi penurunan harga itu kemudian dikalikan revenue aktual para terlapor untuk memperoleh besaran excessive profit yang merupakan kerugian konsumen. Kasus Minyak Goreng Dalam kasus ini ditemukan adanya praktek kartel dan oligopoli di pasar minyak goreng sawit. Berdasarkan data KPPU memperkirakan 68% produsen minyak goreng terintegrasi dari hulu sampai hilir, sehingga sebagian besar memproduksi CPO sekaligus menjual minyak goreng. Pada 2008, harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng telah mengalami penurunan, tetapi tidak diikuti oleh penurunan harga minyak goreng sehingga menimbulkan kerugian konsumen, dalam analisisnya kerugian konsumen 2007-2008 adalah - Untuk Minyak goreng curah mencapai sekitar Rp. 374 Milyar - Untuk Minyak Goreng Kemasan mencapai sekitar Rp. 1,2 trilliun Dalam kasus ini KPPU menjatuhkan denda kepada kepada produsen terlapor keseluruhan Rp.290 milyar. Kasus Kartel Semen Kasus kartel semen saat ini masih dalam proses pemeriksaan di KPPU. Menurut analisis penulis dalam paper kajian penulis, melihat kecendrungan harga semen yang terus naik disisi lain mengindikasikan turunnya biaya komponen utama produksi semen seperti kebutuhan batu-bara. Penulis memperkirakan dari kartel semen ini ada kerugian konsumen antara tahun 2006-2008. Berdasarkan kajian penulis,5 ingin mengetengahkan turunnya efisiensi ekonomi di sektor industri semen nasional akibat adanya kartel sesama pemain besar melalui pengaturan harga dan wilayah pasar. Sebagai dampak adalah terjadinya harga tidak wajar dan ketidak sejahteraan masyarakat. Pada Tabel dibawah ini dapat dilihat selama tahun 2006 sampai 2008 terjadi potensi hilangnya kesejahteraan konsumen dari perbedaan harga yang wajar dengan harga kartel, sebesar lebih dari 10 triliun rupiah. Tabel Kerugian Konsumen akibat perbedaan harga wajar dan harga kartel semen nasional 20062008. Tahun 2006 2007 2008 5 Permintaan (juta ton) 30 32 36 Kapasitas 32 34 38 Harga Kartel (Rp.000/ton) 600 700 800 Delta harga (Rp.000/ton) 100 200 Loss (Triliun Rp) 3,2 T 7,2 T Lihat , Tresna P.Soemardi, Kartel Internasional: Fenomena Kartel Internasional dan Dampaknya Terhadap Persaingan Usaha dan Ekonomi Nasional. Studi Kasus Industri Semen di Indonesia dan Studi Banding Kartel Industri Kimi di Amerika Serikat, (Jurnal Persaingan Usaha, KPPU, Edisi 2, tahun 2009, hal.41-71). 3. PERAN HUKUM, KEBIJAKAN DAN KELEMBAGAAN PERSAINGAN USAHA DALAM MEMPERKOKOH SISTEM INOVASI NASIONAL DAN PENGENTASAN KEMISKINAN: 1999-SAAT INI Dipandang dari konteks Pembangunan ekonomi nasional, sistem inovasi nasional, sdm-barang dan jasa unggulan yang mampu bersaing secara global, UMKM yang kuat dan Pengentasan Kemiskinan, sudah banyak dibuktikan oleh negara-negara maju bahwa implementasi hukum dan kebijakan persaingan usaha yang sehat merupakan suatu iklim dan nilai-nilai yang harus diciptakan oleh suatu negara jika ingin mencapai daya saing yang tinggi dan kesejahteraan rakyat yang hakiki. Lahirnya Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat serta Pembentukan KPPU-RI, dalam rangka penegakan hukum, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia memiliki tugas dan kewenangan melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran hukum persaingan serta memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait. Meskipun menghadapi berbagai kendala, KPPU RI telah melakukan berbagai upaya untuk menegakkan hukum persaingan di Indonesia. Bahkan, dalam usia yang relatif pendek (9 tahun), lembaga PBB, yakni UNCTAD, telah memberikan sebuah award sebagai penghargaan kepada KPPU RI atas kinerja dan efektifitasnya yang relatif baik. Berbagai keberhasilan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut: Pertama, kesadaran stakeholder terhadap pentingnya persaingan usaha yang sehat dapat mengalami peningkatan yang ditandai antara lain dengan peningkatan jumlah laporan dari masyarakat. Perkembangan laporan ke KPPU oleh masyarakat terus meningkat, dari tahun ke tahun. Sampai saat ini laporan yang masuk telah mencapai 1200 lebih laporan dari tahun 2000 sampai 2009, dan 5 tahun terakhir rata-rata 200 laporan yang masuk. Perkembangan juga menunjukkan bahwa sebaran pelaporan juga semakin merata dan meningkat, hal ini terjadi seiring dengan adanya peningkatan daya jangkau KPPU melalui kehadiran kantor perwakilan di 5 (lima) daerah ditambah dengan upaya advokasi dan sosialisasi ke berbagai daerah. Perkembangan sebaran laporan dapat dilihat dari grafik berikut ini. Kedua, penanganan perkara juga terus meningkat intensitasnya. Selain bersumber dari laporan, perkara di KPPU juga berasal dari hak inisiatif KPPU, yang dilakukan melalui kegiatan kajian industri, penelitian, dan monitoring pelaku usaha. Sejak tahun 2000 sampai 2009, KPPU telah melaksanakan sebanyak 110 kegiatan (seratus sepuluh). Saat ini porsi perkara terkait persekongkolan tender mencapai 62.5%, masih mendominasi penanganan perkara di KPPU, walaupun telah menurun dari periode awal yang mencapai antara 70%–80%. Dari laporan masyarakat dan hak inisiatif, KPPU telah melakukan proses penanganan perkara yang sampai dengan saat ini jumlahnya telah mencapai 205 (dua ratus lima) perkara (termasuk yang sedang berjalan). Dari proses penanganan perkara, terdapat sejumlah perkara yang telah selesai berupa putusan 139 dan penetapan 21 dan sisanya masih sedang ditangani. Dari perkara yang telah diputus oleh KPPU, beberapa di antaranya diajukan keberatan oleh terlapor ke pengadilan negeri dan selanjutnya kasasi ke mahkamah Agung. Dari 139 (seratus tiga puluh sembilan) putusan oleh KPPU, sampai dengan bulan Oktober terdapat 100 (seratus) putusan yang menyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap UU No 5 tahun 1999. Dari jumlah tersebut, sebanyak 52 atau 52% perkara diajukan keberatan ke pengadilan negeri. Pengadilan Negeri telah memutus keberatan terhadap Putusan KPPU sebanyak 47 putusan dimana 55% atau sebanyak 26 Putusan Pengadilan Negeri menyatakan menguatkan Putusan KPPU dan sebesar 45% atau sebanyak 21 Putusan membatalkan Putusan KPPU. Beberapa pihak yang tidak menerima putusan Pengadilan Negeri, kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Saat ini terdapat 42 perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung. Dari 42 perkara tersebut, 25 perkara sudah selesai diputus dengan proporsi 18 atau 72 % menguatkan dan 7 atau 28% membatalkan putusan KPPU. Perkembangan ini tentu saja menggembirakan, karena lembaga Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung telah mengambil peran aktif dalam memberdayakan posisi dan peran KPPU RI dan penegakan hukum persaingan di dalam sistem hukum dan peradilan Indonesia. Sejumlah perkara yang pernah ditangani KPPU RI yang menarik perhatian publik dan berdampak luas: a. Kasus Tender Divestasi Indomobil (2002) b. Kasus Diskriminasi Cineplex 21 (2002) c. Kasus Persekongkolan Tender divestasi VLCC Pertamina (2004) d. Kasus Persekongkolan tender Tinta KPU (2004) e. Kasus Penyalahgunaan posisi dominan oleh Carrefour (2005) f. Kasus Kartel oleh Semen Gresik (2005) g. Kasus diskriminasi Logo Pertamina (2006) h. Kasus kepemilikan silang Temasek (2007) i. Kasus kartel tarif SMS (2007) j. Kasus penyelenggaraan hak siar liga Inggris oleh Astro (2008) k. Kasus penyalahgunaan posisi dominan oleh Carrefour (2009) l. Kasus kartel Fuel Surcharge Airlines (2010) m. Kasus Kartel Minyak Goreng (2010) n. Kasus Kartel Semen (2010) o. Kasus Kartel obat (2010) Dari seluruh pelaksanaan tugas dan fungsinya, KPPU RI memilih prioritas yang menjadi fokus program dan langkah-langkah kegiatan, di antaranya pada sektor/industri/ pelaku usaha dengan indikasi: • Adanya penetapan atau kenaikan harga yang tidak wajar (excessive) • Adanya kelangkaan atau hambatan dalam pasokan pasar; • Adanya praktek monopoli atau penguasaan pasar oleh pelaku usaha (terutama oleh BUMN/BUMD) dalam sektor pelayanan publik; • Adanya persekongkolan dalam pemberian konsesi/ lisensi (hak monopoli) dari pemerintah serta dalam pengadaan barang/ jasa Beberapa sektor yang telah dan sampai saat ini mendapat perhatian khusus dari KPPU antara lain : a. Minyak dan Gas b. Air Minum c. Telekomunikasi d. Ketenagalistrikan e. Bahan Pokok : Gula, Beras, Minyak Goreng, Tepung Terigu, Susu, Kedelai f. Semen g. Transportasi (Darat, Laut dan Udara serta Perkeretaapian) h. Penyelenggaraan Haji i. Penyiaran j. Perbankan k. dan sebagainya Selain itu, jumlah dan kualitas saran pertimbangan kepada pemerintah juga mengalami kemajuan. Kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah sering mendapat perhatian KPPU RI dan berujung pada pemberian saran pertimbangan untuk melakukan tindakan korektif jika terdapat potensi pelanggaran terhadap UU No.5/1999. Dalam kaitan ini, sejumlah saran pertimbangan dari KPPU telah diakomodasi dan ditindaklanjuti oleh Pemerintah dengan melakukan perbaikan terhadap kebijakan/regulasi yang diduga menyimpang dari prinsip-prinsip persaingan sehat sesuai UU No.5/1999. Dampak Hukum Persaingan dan Peran Kelembagaan Persaingan dalam Pembangunan Ekonomi Meskipun hanya setitik, KPPU telah mencatat sejumlah kinerja yang terukur di tengah berbagai kendala dan keterbatasan yang dihadapi. Secara kualitatif, kinerja KPPU RI dapat diukur dari tingkat efisiensi, daya saing, dan kesejahteraan masyarakat. Namun diakui, bahwa parameter kinerja akan lebih objektif jika dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Hal ini masih sulit dilakukan akibat keterbatasan dana dan sumberdaya manusia yang kompeten. Tetapi sebagai gambaran kinerja KPPU, kita dapat menjelaskan outcome dari sejumlah perkara dan saran pertimbangan yang ditangani KPPU. Sebagai contoh, dari penanganan perkara Temasek, perkara kartel SMS, para operator seluler di Indonesia telah menunjukkan tumbuhnya iklim persaingan yang lebih sehat. Hal ini sangat menguntungkan bagi 150 juta lebih pelanggan. Dengan persaingan yang lebih sehat, para operator telah menurunkan tarif secara signifikan baik tarif bicara maupun tarif SMS, sehingga para pelanggan dapat secara signifikan menghemat pengeluaran atau menabung penghasilannya (income saving). Secara keseluruhan disektor telekomunikasi dampak iklim persaingan usaha yang sehat mampu menciptakan income saving di masyarakat sekitar 5-10 triliun pertahun. Disektor penerbangan dengan adanya fungsi pengawasan persaingan masyarakat dapat menikmati income saving sekitar 2-5 triliun per tahun dengan tarif yang wajar untuk penumpang yang akan mencapai 50 juta pertahun. Pada komoditi kebutuhan bahan pokok seperti minyak goreng, obat-obatan dan semen dapat memberikan income saving total atau terhindari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan menghindari kerugian konsumen mencapai 15 triliun per tahun. Jika APBN 2010 sekitar 1000 triliun untuk target pertumbuhan ekonomi sekitar 6%, maka Penciptaan Iklim Persaingan Usaha yang sehat akan memberikan kontribusi nyata 0,5-1% kepada pertumbuhan ekonomi sebagai implikasi terjadinya harga barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat, inflasi yang rendah karena harga wajar, sistem inovasi nasional yang bekerja karena pelaku usaha ”harus” menciptakan semakin banyaknya pilihan kualitas dan harga barang dan jasa, dan paling hakiki dalam pembangunan ekonomi nasional adalah pengentasan kemiskinan dan tercapai kesejahteraan rakyat. Memang iklim persaingan usaha bukan satu-satunya elemen yang ”harus” ada untuk berjalannya sistem inovasi nasional seperti yang ditunjukan OECD dalam gambar dibawah ini. Tetapi paling tidak karena ada enforcement harga wajar dengan kualitas yang bersaing maka, kegiatan inovasi dan R&D yang dimulai dari pasar dan oleh pelaku usaha akan lebih konkrit mewujudkan kerjasamanya dengan unsur-unsur Pemerintah dan Akademisi, yang pada akhirnya mendorong budget kegiatan Riset dan Teknologi lebih baik lagi. tercatat mencapai sekitar 38 juta penumpang. Bila saja ada penghematan sebesar Rp 50.000 saja per penumpang, maka total penghematan yang dicapai adalah sebesar Dalam menjatuhkan hukuman sanksi administratif, KPPU menetapkan di antaranya denda dan ganti rugi yang menjadi potensi penerimaan bagi negara di luar pajak. Berdasarkan data selama tahun 2000-2009, jumlah denda yang telah dijatuhkan KPPU mencapai sekitar Rp Rp.585.809.494.090,- dan ganti rugi sekitar Rp 414.691.129.987,-. Tahun 2009 Total denda dan ganti rugi telah mencapai sekitar Rp 1,0 trilyun lebih. pertengahan tahun 2009 telah mendekati 2 triliun, sementara anggaran APBN yang telah digunakan oleh KPPU dalam periode 2000-2008 masih sangat terbatas yaitu mencapai sekitar Rp 139 milyar. Perlu mengakui bahwa kinerja sebagaimana disebutkan di atas bukanlah hasil kerja keras sendirian oleh KPPU, melainkan sebagai hasil kerjasama keberhasilan lembaga dan pihak terkait membangun kapasitas semua, termasuk jajaran Mahkamah Agung, pemerintah, legislatif, dan dunia usaha. Gambar. Elemen-elemen Sistem Inovasi Nasional menurut konsep OECD Macroeconomic and Regulatory Context Communication system Education and Training systems Global innovation Networks Nati onal Inno vati on Syst em Firms Capabilities and Networks Research Bodies Science Systems Supportin g Institution generation, s Knowledge diffusion and use National innovation System Clu ster of Indu strie s Factor market conditions Product market conditions National Innovation Capacity Macroeconomic and Regulatory Context 4. PENUTUP Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga terkait erat dengan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, sudah menjadi penyakit kronis dan meluas di Indonesia. Berbagai upaya mewujudkan iklim persaingan yang sehat dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan dan regulasi dan penegakan hukum persaingan sudah dilakukan. Namun demikian, untuk mainstreaming nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek pembangunan eknomi nasional tidak dapat dilakukan hanya dengan penegakan hukum dengan kehadiran UU No. 5 dan lembaga KPPU-RI. Gerakan Persaingan yang sehat dalam dunia usaha harus menjadi gerakan rakyat secara nasional dan oleh semua lapisan. Tidak ada kata lain bagi bangsa Indonesia selain melakukan segala upaya untuk memberantas praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat yang menghancurkan sendi-sendi perekonomian nasiona, melemahkan sistem inovasi nasional dan menciptakan kemiskinan dan kebodohan, terutama dalam kegiatan usaha dan bisnis di Indonesia. Dari sisi ilmu ekonomi, praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat mengandung potensi sangat besar menyuburkan kolusi, korupsi dan nepotisme. Perilaku kartel, penyalahgunaan posisi dominan, merger dan akuisisi, serta bentuk persekongkolan lainnya oleh pelaku usaha dengan ekspektasi untuk memperoleh keuntungan supernormal. Meskipun hanya ekspektasi, pelaku usaha dengan senang hati bersedia mengeluarkan sejumlah dana kepada pihak manapun agar ekspektasi tersebut dapat terealisasi. Apalagi pernah berhasil meraup keuntungan supernormal, maka potensi dana yang cukup besar telah tersedia untuk melakukan hal yang sama guna merealisasikan ekspektasi berikutnya, mempertahankan keuntungan atau bahkan melakukan ekspansi pasar. Demikian seterusnya sehingga pola hubungan korupsi dan persaingan tidak sehat membentuk lingkaran setan (vicious circle) yang makin lama makin susah diputus. Melalui upaya penegakan hukum persaingan usaha yang sehat akan mendorong terwujudnya level playing field. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah juga akan lebih memperhatikan aksesibilitas, perlakuan, dan kesempatan yang sama bagi pelaku usaha, tanpa diskriminasi. Masyarakat tentu saja akan lebih sejahtera karena mampu menghemat pengeluaran atau income saving dan melakukan pilihan-pilhan rasional di pasar. Sementara dunia usaha mampu tumbuh menjadi besar jika iklim persaingan semakin sehat karena persaingan akan mendorong peningkatan efisiensi, produktifitas, dan daya saing. Para pelaku usaha akan tetap memperoleh keuntungan tetapi pada tingkat yang wajar dan sustainable. Selanjutnya, dengan keuntungan pada tingkat yang wajar, maka semakin kecil potensi bagi pelaku usaha untuk memberikan kick back atau suap kepada pejabat terkait. Sangat diyakini oleh banyak negara maju, iklim persaingan usaha yang sehat, menjadi lokomotif sistem inovasi nasional untuk bekerja, yang selama ini dapat dikatakan tidur dan kegiatankegiatan riset selama ini masih tidak terkait langsung sebagai pendorong keberhasilan produkproduk nasional dalam pembangunan ekonomi nasional untuk kebutuhan dalam negeri maupun produk ekspor yang unggul dan diminati dalam menembus pasar global. Dengan penegakan hukum, diseminasi nilai-nilai persaingan dalam seluruh aspek dan sendisendi pembangunan ekonomi nasional secara konkrit seperti yang telah diungkap dalam tulisan ini, dengan income saving dan tabungan serta daya beli masyarakat yang tinggi sebagai implikasi harga wajar komoditi kebutuhan pokok masyarakat ditambah dengan kebijakan fiskal pajak maka pembangunan UMKM khusus Usaha Mikro dan Kecil dapat dipacu untuk berkembang menjadi usaha menengah yang tangguh, menciptakan usaha mikro-kecil lebih banyak lagi dan akhirnya mengentaskan kemiskinan dengan kemandirian. Semoga!