11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hukum Persaingan

advertisement
11
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha
1. Dasar Hukum dan Pengertian Hukum Persaingan Usaha
Dalam perkembangan sistem ekonomi Indonesia, hukum persaingan usaha
menjadi salah satu instrumen hukum ekonomi. Hal ini ditunjukan melalui
terbitnya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU No. 5
Tahun 1999) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Sebelum lahirnya UU No.5 Tahun 1999, pengaturan mengenai hukum
persaingan usaha diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebelumnya, diantaranya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1984 tentang Perindustrian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.7
Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan persaingan usaha, maka hukum persaingan usaha merupakan
instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu harus
dilakukan.8
7
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat,( Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2003) hlm. 42.
8
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,( Jakarta: Kencana
Prenada Media.2008) hlm. 1.
12
Adapun tujuan lain dari UU No. 5 Tahun 1999 sebagai bagian dalam penegakan
hukum persaingan usaha sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah:
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha
yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha, sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Prinsip dalam hukum persaingan usaha yang diberlakukan terutama sekali adalah
apa yang disebut dengan effects doctrine (prinsip efek). Menurut prinsip ini,
otoritas yang membidangi kebijakan persaingan bisa melakukan tindakan
menentang segala macam bentuk pembatasan persaingan yang berdampak pada
persaingan disetiap pasar dalam negeri, tanpa memperhatikan di negara mana
praktek-praktek yang merugikan persaingan itu terjadi. Tentunya UndangUndang ini terbentuk dengan tujuan utama yaitu mengawasi persaingan usaha
agar persaingan tersebut menjadi sehat.
2. Persaingan Usaha Sehat dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Arie Siwanto berpendapat bahwa persaingan usaha sehat adalah:9
a. Persaingan yang pelaku usahanya tidak terpusat pada tangan tertentu dan
tersentralisasi pada beberapa pihak saja, akan tetapi berjalan sesuai
9
Arie Siswanto. ”Hukum Persaingan Usaha, ( Jakarta: Ghalia. Indonesia, 2002), hlm.17.
13
mekanisme pasar yang sehat yaitu dalam dunia ekonomi semua pelaku usaha
mempunyai hak kewajiban yang sama.
b. Persaingan yang sehat adalah dimana bila ada perikatan berbentuk perjanjian
tidak merugikan secara sepihak kepada pihak lain yang tidak terlibat dalam
perjanjian tersebut;
c. Persaingan yang sehat yaitu dalam kegiatannya tidak adanya penguasaan
terhadap produksi barang dan jasa baik dari produksi sampai pada
pemasarannya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999, persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur
atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.10
3. Bentuk Larangan dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999
Undang-Undang Persaingan Usaha (Fair Competition Law) merupakan tuntutan
atau keseluruhan rambu-rambu yuridis dalam hubungan bisnis antarbangsa. Dari
sisi kehidupan nasional jelas bahwa bisnis kultural (asas kekeluargaan) dan
konstitusional (demokrasi ekonomi) kita memang sama sekali menolak praktikpraktik monopolisti dalam kehidupan ekonomi yang merugikan rakyat. Dari sisi
10
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori Praktiknya di Indonesia,
(Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 18.
14
hubungan antarbangsa pun, apalagi dengan munculnya fenomena globalisasi
ekonomi yang mengandung makna semakin meningkatnya ketergantungan
antarbangsa di berbagai bidang kehidupan (ekonomi), mengharuskan berbagai
bangsa menaati rambu-rambu (peraturan) baku dalam bisnis antar bangsa, sebagai
konsekuensi WTO, APEC, AFTA, NAFTA, EC, dan lain sebagainya.11 Tiga prinsip
pokok larangan dalam hukm persaingan usaha yang terdapat dalam UU No. 5
Tahun 1999 adalah perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, dan posisi
dominan, adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian yang Dilarang
Perjanjian yang dilarang diatur dalam BAB III Pasal 4-16 UU No. 5 Tahun 1999.
Definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang-Undang ini bahwa perjanjian
adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri
terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun baik tertulis
maupun tidak tertulis. Sepintas bahwa definisi perjanjian pada Pasal 1 di atas
tidak berbeda dengan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum
(KUHPerdata) Pasal 1313 “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya kepada orang lain atau lebih.12
Perjanjian dalam teori hukum persaingan usaha adalah upaya dua pelaku usaha
atau lebih dalam konteks strategi pasar. Dengan demikian, esensi perjanjian
adalah saling bersepakatnya antarpesaing tentang tingkah laku pasar mereka, baik
11
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia ,(Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 4.
12
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999),
hlm. 2.
15
seluruhnya ataupun menyepakati tingkah laku bagian tertentu dari keseluruhan
tingkah laku pasar. Setiap perjanjian mensyaratkan paling sedikit dua pihak yang
saling bersepakat tentang prilaku di pasar. Penting ditegaskan, latarbelakang
kesepakatan tidak menjadi penting untuk diperhatikan. Sebab, perjanjian dalam
persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling”untuk menyatakan
harga dan mengikuti pola pesaing lainnya.13
Unsur-Unsur perjanjian menurut konsep UU No. 5 Tahun 1999 meliputi:
(1) Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan
(2) Perjanjian tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam
perjanjian
(3) Perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis
(4) Tidak menyebutkan tujuan perjanjian. 14
UU No. 5 Tahun 1999 mengatur bentuk-bentuk perjanjian yang dilarang, yaitu:
(1) Oligopoli, yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) dan (2);
(2) Penetapan harga, yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (1);
(3) Pembagian wilayah, yang diatur dalam Pasal 9;
(4) Pemboikotan, yang diatur dalam pasal 10 Ayat (1) dan Ayat (2)
(5) Kartel, yang diatur dalam Pasal 11;
(6) Trust, yang diatur dalam Pasal 12;
(7) Oligopsoni, yang diatur dalam Pasal 13 Ayat (1) dan (2);
(8) Integrasi Vertikal, yang diatur dalam Pasal 14;
13
14
Mustafa Kamal Rokan , Op.Cit. hlm. 85-86.
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm. 38.
16
(9) Perjanjian Tertutup, yang diatur dalam Pasal 15 Ayat (1) sampai (3);
(10)Perjanjian dengan pihak luar,yang diatur dalam Pasal 16.
b. Kegiatan yang Dilarang
Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak terdapat definisi kegiatan, namun demikian
jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi perjanjian yang diberikan
dalam UU No. 5 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya yang
dimaksud dengan kegiatan adalah tindakan atau perbuatan hukum sepihak yang
dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tanpa ada
keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya.15
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang
dilarang, meliputi:
(1) Monopoli, yang diatur dalam Pasal 17 Ayat (1) dan (2);
(2) Monopsoni, yang diatur dalam Pasal 18 Ayat (1) dan (2);
(3) Penguasaan pasar, yang diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21;
(4) Persekongkolan dalam tender, yang diatur dalam Pasal 22 sampai dengan 24.
c. Posisi Dominan yang Dilarang
Pasal 1 Ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan posisi dominan adalah keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar
yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya
di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan
15
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Op.Cit, hlm. 31.
17
akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. UU No.5 Tahun 1999
melarang posisi dominan karena mengakibatkan pihak yang mempunyai posisi
dominan dapat dengan mudah mendikte pasar dan menetapkan syarat-syarat yang
tidak sesuai dengan kehendak pasar.16
Posisi dominan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 tersebut meliputi:
(1) Posisi dominan secara umum, yang diatur dalam Pasal 25 Ayat (1) dan (2);
(2) Jabatan rangkap, yang diatur dalam Pasal 26;
(3) Pemilikan saham minoritas, yang diatur dalam Pasal 27;
(4) Penggabungan,peleburan, dan pengambilalihan, yang diatur dalam Pasal 28
Ayat (1) sampai (3).
4. Pendekatan Hukum dalam Persaingan Usaha
Rumusan pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 secara material menentukan
pendekatan dalam penentuan pelanggarannya sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan terciptanya monopoli. Adanya proses pemeriksaan terhadap
dugaan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 yang diperiksa oleh KPPU, maka
KPPU harus mengkaji rumusan pasal terkait dengan berbagai bentuk larangan
terhadap kegiatan usaha atau perjanjian yang dapat menimbulkan praktik
monopoli dan persaingan usaha. Untuk membuktikan dugaan pelanggaran
tersebut, KPPU menggunakan dua pendekatan yaitu:17
16
17
Munir Fuadiy, Op.Cit,hlm. 85.
Rilda Murniati,Op.Cit, hlm. 78.
18
a. Pendekatan Per se illegal
Larangan dalam pendekatan yang bersifat per se illegal adalah larangan yang
memang secara ilmiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan
tersebut pada persaingan, karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan
tidak sehat. Kegiatan yang dapat disebut Per se adalah suatu praktik bisnis yang
dilakukan oleh pelaku usaha secara tegas dan mutlak dilarang, sehingga tidak
tersedia ruang untuk melakukan pembenaran atas praktik tersebut.
Penyelesaian perkara yang dugaan pelanggarannya bersifat per se illegal, KPPU
dibolehkan untuk tidak melakukan pembuktian lebih lanjut. Hal ini dikarenakan,
jika dugaan pelanggaran tersebut bersifat per se illegal, maka sudah dapat
diperkirakan pelaku usaha tersebut nantinya akan terbukti melanggar.
b. Pendekatan Rule of Reason
Larangan dalam pendekatan yang bersifart rule of reason adalah suatu larangan
yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat rule of reason dapat diartikan
bahwa dalam melakukan praktik bisnisnya, pelaku usaha tidak secara otomatis
atau semena-mena dilarang. Pelanggaran terhadap pasal ini membutuhkan
pembuktian lebih lanjut.
19
B. Perjanjian Tertutup
1. Pengertian Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup merupakan bagian dari salah satu bentuk perjanjian yang
dilarang dalam hukum persaingan usaha, perjanjian tertutup diatur dalam Pasal 15
UU No. 5 Tahun 1999. Perjanjian tertutup (exclusif dealing) adalah suatu
perjanjian yang terjadi antara mereka yang berada pada level yang berbeda pada
proses produksi atau jaringan distribusi suatu barang atau jasa yang terdiri dari
Exclusif Distribution Agreement, Tying Agreement, dan Vertical Agreement on
Discount.
Perjanjian tertutup adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha agar
dapat menjadi sarana dan upaya bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan
pengendalian oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha lain secara vertikal
(“Pengendalian Vertikal”), baik melalui pengendalian harga maupun melalui
pengendalian non-harga, sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 UU
No. 5 Tahun 1999.
Strategi perjanjian tertutup ini pada umumnya lebih banyak dilakukan pada level
distribusi produk barang dan/atau jasa. Berdasarkan Pasal 15 UU No. 5 Tahun
1999, ditentukan bentuk-bentuk perjanjian tertutup yaitu sebagai berikut:
a. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
20
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut
kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
b. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat
persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
c. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa
pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
(1) Harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha
pemasok; atau
(2) Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
2. Unsur-Unsur Perjanjian Tertutup
Perjanjian tertutup yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999, haruslah memenuhi
unsur-unsur, sebagai berikut:18
a. Adanya suatu perjanjian
b. Perjanjian tersebut dibuat oleh atau bersama dengan pelaku usaha lain.
c. Perjanjian tersebut telah memenuhi salah satu unsur yang disebutkan
sebelumnya dalam klasifikasi perjanjian tertutup.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pedoman pasal 15 (perjanjian tertutup) telah menjabaran unsur-unsur yang harus
18
Suyud Margono, Op.Cit,hlm. 99.
21
dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai perjanjian tertutup dalam Pasal 15 UU
No. 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
(1) Pelaku Usaha
Pelaku usaha menurut Pasal 1 Angka 5 adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
(2) Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk
mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.
(3) Pelaku Usaha Lain
Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai hubungan vertikal
maupun horisontal yang berada dalam satu rangkaian produksi dan distribusi
baik di hulu maupun di hilir dan bukan merupakan pesaingnya.
(4) Pihak yang Menerima
Pihak yang menerima adalah pelaku usaha yang menerima pasokan berupa
barang dan/atau jasa dari pemasok.
(5) Barang
Barang menurut Pasal 1 Angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
22
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen
atau pelaku usaha.
(6) Jasa
Jasa menurut Pasal 1 Angka 17 adalah setiap layanan yang berbentuk
pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
(7) Memasok Kembali
Memasok kembali menurut penjelasan Pasal 15 adalah menyediakan pasokan,
baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli.
(8) Pihak Tertentu
Pihak tertentu adalah pihak lain yang membeli barang dan/atau jasa dari pihak
yang menerima barang dan/atau jasa dari pemasok.
(9) Tempat Tertentu
Tempat tertentu adalah suatu wilayah geografis di mana barang dan/atau jasa
tersebut akan diperdagangkan.
(10)Barang dan Jasa Lain
Barang menurut Pasal 1 Angka 16 adalah setiap benda, baik berwujud maupun
tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen
atau pelaku usaha. Jasa menurut Pasal 1 Angka 17 adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat
untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
23
(11) Harga
Adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan/atau jasa
sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
(12) Potongan Harga
Merupakan potongan harga (diskon) yang merupakan insentif yang diberikan
oleh seorang produsen kepada distributor ataupun dari distributor kepada
pengecernya, dimana harganya menjadi lebih murah daripada harga yang
seharusnya dibayarkan.
C. Penguasaan Pasar
1. Pengertian Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar ini diatur pada Bagian Ketiga Pasal 19 UU No.5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan
merupakan salah satu bagian dari kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang
ini. Dalam pasal ini pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa
kegiatan, sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yaitu:
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan;
24
d. Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Ukuran penguasaan pasar tersebut tidak harus 100%, adanya penguasaan sebesar
50% atau 75% saja sudah dapat dikatakan mempunyai “market power”, pelaku
usaha yang mempunyai market power ini harus benar-benar dijadikan perhatian
oleh pihak yang berwenang mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Anti
Monopoli, karena pelaku usaha seperti inilah yang dapat melakukan penguasaan
pasar seperti yang diatur dalam pasal-pasal yang disebutkan diatas.19
2. Unsur-Unsur Penguasaan Pasar
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Pedoman pasal 19 telah menjabaran unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat
dikatakan sebagai penguasaan pasar dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
untuk
melakukan
Kegiatan menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan terjadi bila pelaku usaha
melakukan penolakan atau menghalangi pelaku usaha tertentu yang bertujuan
untuk menghambat baik bagi pelaku potensial yang akan masuk ke pasar
bersangkutan atau kepada pesaing yang sudah ada pada pasar bersangkutan.
Penolakan atau penghalangan dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama melalui
berbagai cara misalnya: tidak diikut sertakan dalam suatu kerjasama atau
19
Asril Sitompul,Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,( Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti,1999),hlm. 30.
25
kesepakatan atau tidak memberikan ijin penggunaan akses kepada fasilitas yang
esensial untuk proses produksi. Bentuk pelanggaran ini dapat terjadi pada
hubungan usaha yang bersifat horizontal atau vertikal.
b.
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;
Kegiatan menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu terjadi pada
hubungan pelaku usaha yang bersifat vertikal dalam bentuk larangan kepada
konsumen atau pelanggan untuk tidak melakukan hubungan dengan pelaku usaha
pesaingnya melalui kontrak penjualan atau kontrak pemasokan eksklusif
(exclusive dealing). Perjanjian eksklusif melihat apakah di pasar persaingan interbrand (antar merek) kuat atau tidak. Tindakan menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaing dilakukan melalui perjanjian eksklusif atau
pengaturan tujuan, bentuk serta jumlah barang yang dapat dipasok.
c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar
bersangkuran;
Kegiatan membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan dilakukan dimana pelaku usaha menekankan pembatasan saluran
pemasokan atau penerimaan melalui persyaratan penggunaan produk tertentu dari
pelaku usaha tersebut.
26
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu terhadap
pelaku usaha tertentu.
Pasal 19 huruf d berbeda dengan ketiga kondisi di atas dalam hal pihak yang
dirugikan. Jika pada Pasal 19 a sampai c pihak yang dirugikan adalah pelaku
usaha yang menjadi pesaing pelaku pada pasar yang bersangkutan, maka pihak
yang dirugikan pada Pasal 19 huruf d merupakan pelaku usaha yang bekerjasama
dengan perusahaan diskriminatif (pemasok atau pelanggan) yang mungkin bukan
pesaing dari perusahaan diskriminatif tersebut.
D. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut sebagai (KPPU)
adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan
pemerintah serta pihak lainnya dan bertanggung jawab kepada Presiden selaku
kepala Negara.
1. Keanggotaan dan Tugas KPPU
KPPU terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil anggota
sekurang-kurangnya 7 orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua komisi
dipilih dari dan anggota komisi. Anggota komisi diangkat dan diberhentikan oleh
presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dengan masa jabatan paling
lama 2 periode masing- masing 5 tahun periode.20
20
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 53.
27
a. Ketua Komisi
Ketua Komisi adalah seorang ketua yang mempunyai tugas memfasilitasi seluruh
kegiatan penanganan perkara dengan berpegang pada prinsip-prinsip efektifitas
dan transparansi. Dalam Bab I, pasal 3 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010
tentang Tata Cara Penanganan Perkara, Ketua komisi memiliki wewenang:
(1) menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan;
(2) menetapkan perlu atau tidaknya Pemeriksaan Lanjutan;
(3) menetapkan status Terlapor, perjanjian dan/atau kegiatan Terlapor yang
diduga melanggar, dan ketentuan UndangUndang yang diduga dilanggar;
dan/atau
(4) membentuk Majelis Komisi.
Wewenang tersebut ditetapkan dengan Keputusan Komisi yang terlebih dahulu
mendapat persetujuan Rapat Komisi.
b. Wakil Ketua Komisi
Dalam hal Ketua Komisi berhalangan, tugas dan wewenang Ketua Komisi
dilaksanakan oleh Wakil Ketua Komisi seperti yang termasuk dalam Bab II, Pasal
4 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara .
Dalam melaksanakan tugasnya, Wakil Ketua Komisi berwenang mengambil
tindakan sesuai dengan wewenang Ketua Komisi.
28
c. Majelis Komisi
Keanggotaan Majelis Komisi ditetapkan dengan Keputusan Komisi. Sesuai
dengan Bab III, Pasal 5 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara, Majelis Komisi bertugas:
(1) melakukan Pemeriksaan Pendahuluan;
(2) melakukan Pemeriksaan Lanjutan;
(3) menilai, menyimpulkan, dan memutuskan terjadi atau tidak terjadinya
pelanggaran;
(4) menjatuhkan sanksi;
(5) membacakan Putusan Komisi.
Majelis Komisi pun mempunyai wewenang:
(1) melakukan Pemeriksaan Pendahuluan dan Pemeriksan Lanjutan;
(2) meminta keterangan dari Instansi Pemerintah;
(3) meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti dalam Laporan
Dugaan Pelanggaran;
(4) mendapatkan surat, dokumen, atau alat bukti lain;
(5) meminta bantuan Penyidik untuk menghadirkan Terlapor, Saksi, Ahli dan
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran yang tidak bersedia
memenuhi panggilan untuk memberikan keterangan dan/atau data.
(1) memberikan kesempatan kepada Terlapor untuk menyampaikan pembelaan
terkait dengan dugaan pelanggaran;
(7) mempelajari dan menilai semua hasil Pemeriksaan;
29
(8) menentukan waktu Sidang Majelis untuk Pemeriksaan dan pembacaan Putusan
Komisi;
(9) menandatangani Putusan Komisi;
(10) memberikan rekomendasi kepada Ketua Komisi untuk memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah;
(11) menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang.
E. Kerjasama Pemasaran Produk Asuransi melalui Bank
1. Dasar Hukum Pemasaran Produk Asuransi melalui Bank
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 426/KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi (selanjutnya disebut KMK No. 426 Tahun 2003) dalam Pasal 39 dan
Pasal 40 diatur tentang pemasaran melalui kerjasama dengan bank. Perusahaan
asuransi
dapat
melakukan
pemasaran
melalui
kerjasama
dengan
bank
(bancassurance) bertanggung jawab atas semua tindakan bank yang berkaitan
dengan transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerjasama dengan bank.
Adapun landasan hukum lain yang khusus mengatur pemasaran produk asuransi
ini yaitu Surat Edaran Bank Indonesia 12/35/DPNP (selanjutnya disebut SEBI
12/35/DPNP Tahun 2010) yang bertujuan untuk meningkatkan penerapan
manajemen risiko oleh Bank, melindungi kepentingan nasabah bank dan sejalan
dengan KMK No. 426 Tahun 2003 serta sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
30
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4292) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029).
Bank yang melakukan bancassurance harus mematuhi ketentuan terkait yang
berlaku dibidang perbankan dan perasuransian, antara lain ketentuan Bank
Indonesia yang terkait dengan manajemen risiko, rahasia bank, transparansi
informasi produk, dan ketentuan otoritas pengawas perasuransian terutama yang
terkait dengan bancassurance. Dalam melakukan bancassurance, bank dilarang
menanggung atau turut menanggung risiko yang timbul dari produk asuransi yang
ditawarkan. Segala risiko dari produk asuransi tersebut menjadi tanggungan
perusahaan asuransi mitra bank sebagaimana dinyatakan dalam butir II.B.3 SEBI
No.12/35/DPNP Tahun 2010. Bank yang melakukan bancassurance hanya
dibolehkan memasarkan produk asuransi yang dinyatakan dalam perjanjian
kerjasama antara Bank dengan perusahaan asuransi mitra bank.
2. Perjanjian Kerjasama
Perusahaan asuransi yang akan melakukan pemasaran melalui kerjasama dengan
bank harus mengajukan permohonan kepada Menteri Keuangan dengan
menyampaikan produk yang akan dipasarkan, prosedur penutupan dan
pembayaran premi, prosedur penyelesaian klaim dan konsep perjanjian kerja sama
dengan bank yang telah diparaf oleh para pihak. Petugas bank yang akan
31
melakukan pemasaran produk asuransi harus memenuhi ketentuan yaitu memiliki
sertifikasi keagenan asuransi yang dikeluarkan oleh asosiasi terkait dan telah
memperoleh pelatihan mengenai produk asuransi yang akan dipasarkan.
Perjanjian kerjasama dalam rangka bancassurance antara Bank dengan
perusahaan asuransi mitra bank telah diatur dalam SEBI No.12/35/DPNP Tahun
2010 butir II.B.2, dalam perjanjian kerjasama bancassurance wajib disusun
dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan paling kurang memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. Kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak (bank dan perusahaan
asuransi mitra bank), terutama adanya klausula yang menyatakan tanggung
jawab masing-masing pihak dalam melakukan bancassurance, antara lain
sebagai berikut:
(1)
Untuk model bisnis Referensi dan/atau Kerjasama Distribusi, bank tidak
menanggung Risiko atas produk asuransi yang dijual.
(2)
Untuk model bisnis Integrasi Produk, bank hanya bertanggung jawab
sebatas risiko dari produk bank.
b. Klausula khusus terkait dengan model bisnis dan/atau fitur khusus produk
asuransi untuk model bisnis Kerjasama Distribusi terkait produk unit link, yaitu
antara lain perusahaan asuransi mitra bank harus mencatat dan mengelola
secara khusus kekayaan dan kewajiban perusahaan asuransi yang bersumber
dari investasi produk unit link.
c. Setiap perjanjian bancassurance hanya dapat memuat secara spesifik 1 (satu)
model bisnis untuk 1 (satu) produk asuransi atau 1 (satu) bundled produk yang
32
dipasarkan.
d. Jangka waktu perjanjian.
e. Kejelasan tanggung jawab masing-masing pihak yaitu bank atau perusahaan
asuransi mitra bank dalam melaksanakan kewajiban customer due diligence
(CDD) atau know your customer (KYC).
f. Penetapan klausula yang memuat kondisi yang menyebabkan berakhirnya
perjanjian
kerjasama,
termasuk
klausula
yang
memungkinkan
Bank
menghentikan kerjasama sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.1.d atau atas perintah Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.4.g.
g. Kejelasan penyelesaian hak dan kewajiban masing-masing pihak (bank atau
perusahaan asuransi mitra bank), termasuk kewajiban kepada pihak
tertanggung dan/atau pihak penerima manfaat, apabila perjanjian kerjasama
berakhir, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerjasama maupun
karena dihentikan sebagaimana dimaksud pada huruf f.
h. Kejelasan batas tanggung jawab bank dan perusahaan asuransi mitra bank pada
setiap produk yang dipasarkan apabila terjadi perselisihan dengan nasabah.
i. Kewajiban para pihak untuk menjaga kerahasiaan data nasabah.
3. Produk Asuransi
Dalam Undang-Undang Perasuransian terbaru, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian khususnya dalam Pasal 1
angka (1) dinyatakan bahwa Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu
33
perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan
premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
(1) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga yang mungkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti; atau
(2) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat
yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan
dana.
Dalam kegiatannya asuransi memiliki produk yang dipasarkan kepada konsumen
yang berupa perlindungan terhadap resiko yang akan diasuransikan. Produk
asuransi adalah:
a. Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih
risiko yang dapat diasuransikan dengan memberikan penggantian kepada
perseorangan atau badan hukum karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau akibat tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti;
b. Program yang menjanjikan perlindungan terhadap 1 (satu) jenis atau lebih
risiko yang terkait dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang
dipertanggungkan; dan/atau
34
c. Program yang memberikan jaminan atas kemampuan pihak yang dijamin
(principal) dalam melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian pokok
antara pihak yang dijamin (principal) dan pihak penerima jaminan (obligee).
4. Bentuk Aktivitas Pemasaran
Dalam butir I (UMUM) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/35/DPNP Tahun
2010 tentang Penerapan Manajemen Resiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas
Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance). Bentuk
kerja sama pendistribusian produk asuransi melalui bank (Bancassurance) dapat
dilakukan dalam 3 (tiga) model bisnis sebagai berikut:
a. Referensi
referensi merupakan aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi, dengan bank
berperan hanya mereferensikan/ merekomendasikan suatu produk asuransi kepada
nasabah bank. aktivitas ini terdapat 2 (dua) jenis aktivitas yaitu referensi dalam
rangka produk bank dan referensi tidak dalam rangka produk bank. Dalam
referensi
dalam
rangka
produk
bank,
bank
mereferensikan
atau
merekomendasikan produk asuransi yang menjadi persyaratan untuk memperoleh
suatu produk perbankan kepada nasabah.
Persyaratan keberadaan produk asuransi tersebut dimaksudkan untuk kepentingan
dan perlindungan kepada bank atas risiko terkait dengan produk yang diterbitkan
atau jasa yang dilaksanakan oleh bank kepada nasabah. Dalam hal ini, pada
hakikatnya produk asuransi juga untuk melindungi debitur sebagai pihak
35
tertanggung meskipun dalam polis dicantumkan banker’s clause karena bank
sebagai penerima manfaat.
Contoh produk bank yang mempersyaratkan keberadaan asuransi adalah:
(1)
Kredit pemilikan rumah yang disertai kewajiban asuransi kebakaran
terhadap rumah atau bangunan yang dibiayai oleh bank serta asuransi jiwa
terhadap nasabah peminjam (debitur).
(2)
Kredit kendaraan bermotor yang disertai kewajiban asuransi kerugian
terhadap kendaraan bermotor yang dibiayai oleh bank.
(3)
Kredit kepada pegawai/pensiunan yang disertai kewajiban asuransi jiwa
terhadap nasabah peminjam (debitur).
Sedangkan referensi tidak dalam rangka produk bank, bank mereferensikan
produk asuransi yang tidak menjadi persyaratan untuk memperoleh suatu produk
perbankan kepada nasabah. Aktivitas kerjasama pemasaran ini dapat dilakukan
melalui:
(1)
Bank meneruskan brosur, leaflet, dan/atau hal-hal sejenis yang memuat
penawaran, informasi, dan/atau penjelasan dari perusahaan asuransi mitra
Bank atas suatu produk asuransi kepada nasabah bank, baik secara tatap
muka maupun melalui surat dan media elektronik, termasuk menggunakan
website bank. Dalam hal nasabah memerlukan informasi lebih lanjut atau
bermaksud membeli produk asuransi yang direferensikan melalui pemasaran
tersebut, maka bank harus mengarahkan nasabah ke perusahaan asuransi
mitra bank yang bersangkutan.
36
(2)
Bank menyediakan ruangan di dalam lingkungan kantor bank yang dapat
digunakan oleh perusahaan asuransi mitra bank dalam rangka pemasaran
produk asuransi (in-branch sales) kepada nasabah.
(3)
Bank menyediakan data nasabah yang dapat digunakan oleh perusahaan
asuransi mitra bank dalam rangka pemasaran produk asuransi dengan
mematuhi prinsip prinsip sebagaimana dimaksud dalam butir II.B.3.
b.
Kerjasama Distribusi
yaitu aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi, dengan bank
berperan
memasarkan produk asuransi dengan cara memberikan penjelasan mengenai
produk asuransi tersebut langsung kepada nasabah bank; dan
c.
Integrasi Produk
yaitu aktivitas kerjasama pemasaran produk asuransi, dengan bank berperan
memasarkan produk asuransi kepada nasabah bank dengan cara menggabungkan
produk asuransi dengan produk bank (bundled product).
37
F.
Kerangka Pikir
Perusahaan Asuransi
1. PT. Asuransi Jiwa
Bringin Jiwa
Sejahtera
2. PT. Heksa Eka Life
Insurance
Bank
PT. Bank Rakyat
Indonesia ( BRI)
Bancassurance
Dugaan Pelanggaran dalam
Pasal 15 Ayat 2 dan Pasal 19
huruf a UU No. 5 Tahun 1999
Putusan KPPU Nomor
05/KPPU/-I/2014
Pertimbangan Majelis
Komisi
Akibat Hukum
Keterangan :
Bancassurance merupakan kegiatan pemasaran produk asuransi melalui bank.
Kegiatan pemasaran ini telah dilakukan oleh beberapa bank dan perusahaan
asuransi yang menjadi mitra kerjanya. Salah satu contoh yang telah melakukan
38
kerjasama bancassurance adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan
perusahaan asuransi mitranya yaitu PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera
(Bringin Life) dan PT. Heksa Eka Life Insurance (Heksa Life).
Dalam hal ini BRI telah membuat perjanjian kerjasama dalam pemasaran produk
asuransi jiwa bagi debitur Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) BRI. KPR
merupakan salah satu produk perbankan yang mempersyaratkan adanya asuransi
jiwa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) menduga ketiganya talah melakukan pelanggaran terhadap hukum
persaingan usaha karena ketiganya diduga menolak dan atau menghalangi
perusahaan asuransi jiwa lain untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada
pasar produk asuransi jiwa KPR di BRI. Dugaan pasal yang dilanggar oleh
ketiganya dalam UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat yaitu Pasal 15 Ayat 2 tentang Perjanjian Tertutup
dan Pasal 19 huruf a tentang Penguasaan Pasar .
Berdasarkan beberapa bukti yang ada dalam perkara ini, Majelis Komisi telah
memutus dan menetapkan perkara ini dalam Putusan KPPU Nomor 05/KPPU/I/2014. Untuk itu, penelitian ini akan mengkaji mengenai dugaan pelanggaran
dalam pemasaran produk asuransi, pertimbangan Majelis Komisi dalam memutus
perkara ini sebagai perjanjian tertutup dan penguasaan pasar yang melanggar
hukum persaingan usaha dan akibat hukum atas Putusan KPPU Nomor
05/KPPU/-I/2014 terhadap pemasaran produk asuransi yang melanggar hukum
persaingan usaha.
Download