Keberadaan dan Kegiatan Tao sebagai Agama

advertisement
BAB II
TAO DALAM KONSEP AGAMA
2.1. Definisi Agama
Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah
definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes1. Definisi itu
dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult,
dan community-structure. Swidler dan Mojzes menjelaskan 4 Cs sebagai berikut:
1. Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything
that goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life.
2. Code of behavior or ethics includes all the rules and customs of
action that somehow follow from one aspect or another of the
Creed.
3. Cult means all the ritual activities that relate the follower to one
aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly.
Prayer is an example of the former, and certain formal behavior
toward representatives of the transcendent, such as priests, is an
example of the latter.
4. Community-structure refers to the relationship among the
followers. This can vary widely, from a very egalitarian
relationship, as among quakers, through a”republican” structure
1
Swidler, Leonard and Mojzes, Paul. 2000. The Study of Religion in an Age Of Global
Dialogue. Philadelphia: Temple University Press. Hlm. 7-8.
18
as Presbyterians have, to a monarchical structure, as with some
Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe.
Menurut Ahmad Syafi’i Mufid, peneliti bidang keagamaan dari Badan
Penelitian dan Diklat Keagamaan Republik Indonesia dengan merujuk kepada
penjelasan John A Titaley dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga bahwa
jika suatu institusi sosial itu telah memenuhi persyaratan ke-4 Cs itu, maka
institusi sosial tersebut dapat disebut sebagai agama2. Dijelaskan oleh Mufid, 4 Cs
tersebut memiliki pengertian yaitu (1) Creed merupakan kepercayaan tentang
sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran
itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk
yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya; (2) Code
merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan
di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas
kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3)
Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang
dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau
memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak
kepercayaan tadi; (4) Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas)
yang terkait dalam kepercayaan itu.
2
Titaley, John A. Tt. “Hubungan Agama dan Negara dalam Menjamin Kebebasan
Beragama di Indonesia”. dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed).
Kebebasan Beragama. Hlm. 25.
19
Sedangkan Professor John A Titaley dalam buku karyanya yang berjudul
Religiositas Di Alinea Tiga3 menjelaskan tentang cara yang paling positif untuk
memperlakukan institusi social yang disebut agama itu adalah dengan
menggunakan definisi agama yang fungsional bahwa agama itu sekurangsekurangnya memiliki 4 C yaitu Creed, Code, Cult, dan Community. Creed adalah
pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut Yang Mutlak itu yang
berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya Yang Mutlak itu
sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang disebut Non-Theos.
Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa, yang disebut
Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa berarti bukan
illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja. Code yaitu seperangkat
tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam Creed tadi seperti harus berbuat
kebajikan dan sebagainya. Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam
hubungan dengan Creed tadi sebagai cara untuk menyelaraskan diri dengan isi
Creed tadi, baik berupa memahami kehendak-Nya atau memperbaiki hubungan
yang rusak dengan-Nya supaya mendapat ganjaran dan sebagainya. Community
yaitu umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan Cult yang sama.
Proses penetapan kategori “agama” oleh Pemerintah Indonesia dijelaskan
oleh Sita Hidayah dalam Jurnal Kawistara, Vol. 2, No. 2, 17 Agustus 2012: 121139 sebagai berikut:
There are two ways to reconstruct the “condition of possibility” of
“Agama”. The first is namely the People’s Assembly in which the discourse of
3
Titaley, John A. 2013. Religiositas Di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme, dan
Transformasi Agama-Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hlm.8485.
20
“agama” was first established in 1952. That year The Ministry of Religions
(formerly Kementerian Agama which later became the Ministry of Religious
Affairs) proposed a restricted definition of “agama”. The idea was this: to be
legitimated as an ‘official’ religion, a particular religion should have a prophet
and a holy book, and also be acknowledged internationally. In 1961, the Ministry
of Religion (Menteri Agama) again proposed the perimeter of “agama” as
indicating equal validity as gestured in the previous propositions. “Agama” as
authorized by the Indonesian state includes requirements that it (1) be an
encompassing way of life with concrete regulations, (2) a teaching about the
oneness of God; (3) include a holy book, which codifies a message sent down to
prophet(s) through a holy spirit; and (4) be led by a prophet.
The
state
views
all
religions
outside
these limitations as ‘tribal’ beliefs, and therefore are ‘superstitious’ within the
working frameworks of this discourse. With the Ministry of Home Affairs (Menteri
Dalam Negeri) decree No. 477/74054 on November 18th 1978, the government
explicitly states that the religions ‘acknowledged’ in Indonesia are
Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism and Buddhism” .
Dalam konsep sosiologi, agama termasuk bagian dari lembaga sosial yang
memiliki sifat universal, tetapi bentuknya sangat bervariasi. Dalam perspektif
sosiologis, agama bukan sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai
sesuatu yang profan berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya. Robert N.
Bellah sebagaimana yang dikutip oleh Djamali4 mendefinisikan agama dengan
mengikuti Paul Tillich, yakni “agama sebagai struktur bermakna yang digunakan
manusia
untuk
menghubungkan
dirinya
dengan
kepedulian-kepedulian
utamanya”.
Parsudi Suparlan, dalam Roland Robertson5 bahwa agama dapat
didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan
manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan
4
Djamali, R. Abdoel. 2003. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Raja
Grafindo Persada. Hlm.140.
5
Suparlan, Parsudi. 1991. dalam Ronald Robertson. Agama dalam Aplikasi dan
Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. v.
21
manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin,
sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung-nya tidak nampak tercakup di
dalamnya. Karena itu, secara khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini
sebagai yang gaib dan suci.
Menurut Emile Dukheim, agama merupakan salah satu kekuatan yang
mampu membentuk tanggung jawab moral dalam individu pemeluknya untuk
memenuhi tuntutan masyarakat yang bersang-kuttan, bahkan semenjak kehadiran
masyarakat manusia paling awal, agama menjadi demikian penting bagi para
pemeluknya baik secara individual maupun secara kolektif. Dalam karyanya “The
Elementary Forms of The Religious Life”, Dukheim mengatakan bahwa agama
adalah suatu suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang
bersifat relatif terhadap hal-hal yang secred, yakni segala sesuatu yang dihindari
atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang mengajarkan
moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti,yang disebut gereja dimana semua
orang mengidentifikasikan diri pada-nya.6
Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin,
memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut:
“Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol
(seperti kata dan isyarat, cerita dan praktek, objek dan tempat) yang secara
religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh
6
Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free
Press. Hlm. 62.
22
partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan
sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”.
Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan
agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin
bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang
menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat
mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak
(Ultimate Reality).
Hal inilah yang oleh Joachim Wach7 disebut sebagai pengalaman
keagamaan, yakni suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas
Mutlak. Pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi, yakni
pemikiran keagamaan, peribadatan atau ritual keagamaan, dan kemasyarakatan
atau sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, simbol dapat mempertemukan antara dua realitas yang
memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga banyak ilmuwan yang memandang
simbol sebagai salah satu inti dalam sistim agama. Geertz, misalnya,
memposisikan simbol sebagai hal pertama yang menentukan seluruh rangkaian
dalam aktivitas keagamaan yang dijalani oleh manusia.Hal ini terlihat pada
definisi agama yang dirumuskan oleh Geertz8 (1973: 90), yakni:
“Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan
perasaan-perasa-an (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat,
menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara
7
8
Wach, Joachim. 1985. Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengamalan
Keagamaan (Terj.). Djamanuri. Jakarta: Rajawali. Hlm. 39.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Hlm. 90.
23
menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang
berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti
konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencer-minkan
kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut
nampaknya se-cara tersendiri (unik) adalah nyata ada”.
Dengan demikian, simbol dalam agama mengandung pengertianpengertian sebagai sebuah wahana makna yang menghasilkan kecocokan bagi
pelakunya. Sistim simbol agama secara inheren melekat dan dilekatkan maknamakna tertentu, yang kemudian membentuk suatu tradisi bagi para pelakunya.
Kemudian manusia melakukan relasi secara lebih dekat dengan Realitas Mutlak
melalui simbol-simbol yang dipandang memiliki makna tertentu.
Nilai-nilai budaya yang menjadi spirit dan roh berasal dari kepercayaan
tradisional yang lahir dan telah ada sejak lama, bahkan telah ada sebelum agamaagama besar masuk ke wilayah Nusantara, seperti Hindu, Budha, Kristen,
Katholik, Islam, dan Konghucu. Kepercayaan keagamaan ini bersifat lokal, bukan
aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh Kementerian Pendidikan dan
kebudayaan, dan bukan agama-agama besar sebagaimana yang dibina oleh
Kementerian Agama, melainkan agama atau kepercayaan lokal yang dulunya
sudah pernah ada dan hingga sekarang tetap bertahan atau berkembang terus serta
dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat.
Dalam penelitian ini, menurut analisis peneliti bahwa Tao diposisikan
sebagai agama lokal yang dimaksud adalah suatu kesatuan sistem keyakinan dan
ritual
yang
dianut
oleh
suatu
kelompok
atau
masyarakat
dalam
menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan
diyakini sebagai yang gaib dan suci. Kelompok masyarakat Etnik Tionghoa yang
24
meyakini Tao sebagai agama nenek moyang yang berasal dari ajaran Kitab Suci
Dao De Tjing. Pemahaman agama seperti ini dapat diperuntukkan bagi
kepercayaan lokal yang memiliki seperangkat gagasan atau ide-ide yang dijadikan
sebagai doktrin untuk bertindak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kepercayaan lokal ini bukan aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan bukan pula sebagai agama-agama besar,
melainkan kepercayaan yang sudah pernah adsejak dulu dan tetap bertahan hingga
sekarang karena dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat.
Agama dalam pengertian seperti ini dapat dikatakan sebagai religi,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat9 bahwa tiap religi
merupakan suatu sistem yang terdiri dari 4 (empat) komponen, yaitu (1) emosi
keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap relijius; (2) sistem keyakinan
yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat
Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural), serta segala nilai, norma dan
ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan
usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahlukmahluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial yang
menganut sistem keyakinan tersebut (dalam komponen 2), dan yang
melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut (dalam komponen 3).
Dengan menggunakan istilah religi, Koentjaraningrat 10 membedakan
tiga pengertian, yaitu (1) agama dipakai untuk menyebut semua agama yang
diakui secara resmi dalam negara kita: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan
9
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Cet. VI. Jakarta: PT.
Gramedia.
10
Ibid.
25
Buddha, (2) religi untuk sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi,
seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, dan gerakan-gerakan
kebatinan, dan sebagainya, (3) kepercayaan yang mempunyai arti yang khas,
yaitu, komponen kedua dalam tiap agama maupun religi (sistem keyakinan yang
mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan,
tentang wujud dari alam gaib, supernatural, serta segala nilai, norma dan ajaran
dari religi yang bersangkutan).
Agama merupakan suatu ajaran yang berasal dari Tuhan yang berisikan
tentang norma- norma yang berfungsi menjadi acuan bagi perilaku manusia di
dunia ini. Agama-agama yang berkembang dalam masyarakat, dapat dipandang
dari perspektif teologis sekaligus sosiologis. Namun demikian kedua perspektif
ini akan bertemu dan bermuara pada satu hal yang sama yaitu masyarakat itu
sendiri. Bahkan agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang
universal oleh karena semua masyarakat memiliki suatu cara berfikir dan pola
perilaku yang layak disebut sebagai agama atau dipandang sebagai sikap religius
yang diwujudkan dalam simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik guna
menunjukkan atau memahami eksistensi keberadaan dirinya dalam kehidupan
ini11. Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam
suatu
masyarakat
menunjukkan
saling
ketergantungan
keduanya
dalam
membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu
11
Sonderson, Stephen K. 1993. Macrosociology. (terj.). Farid Wajidi dkk. Sosiologi
Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Hlm. 517.
26
masyarakat12 yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku
personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut.
Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann13, bahwa agama
merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya
melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara
moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti
pendapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence.
Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga
segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius.
Menurut Sonderson14 harus ada tiga elemen pokok yang menunjang
terbentuknya definisi agama, yaitu:
a. Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktek maupun seperangkat
kepercayaan, di mana kepercayaan ritual itu terorganisir secara sosial dan
diberlakukan oleh anggota-anggota masyarakat
atau beberapa segmen
masyarakat.
b. Kepercayaan-kepercayaan
yang
bersangkutan
dipandang
benar
hanya
berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan
memvaliditaskan secara empirik karena tidak ada sangkut pautnya dengan
pembuktian dan kesahihan ilmiah.
c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di
balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah.
12
Berger, Peter L. 1991. The Secred Canopy. (terj.). Hartono. Langit Suci: Agama
Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Hlm. 59.
13
Ibid. Hlm.205.
14
Sonderson, Stephen K. Op.cit. Hlm. 520.
27
Agama dalam kehidupan manusia dapat dipahami dan diamalkan menurut
atau sesuai dengan pemahaman dan pengalaman pemeluk agama tersebut.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wach bahwa pengalaman keagamaan dapat
terwujud dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi pengalaman keagamaan tersebut
mencakup: dimensi pemikiran keagamaan, dimensi peribadatan atau ritual
keagamaan, dan dimensi kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan15.
Berangkat dari berbagai pengertian agama di atas, dapat digarisbawahi
bahwa agama adalah bagian yang penting dan sentral di dalam kehidupan
manusia, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Agama secara hakiki
mengandung unsur-unsur yang suci dan ilahi yang dapat menolong manusia untuk
memaknai kehidupannya di dunia dalam relasi yang harmonis dengan Tuhan,
sesama manusia, dan lingkungan alamnya. Di samping itu agama adalah bagian
dari struktur sosial masyarakat. Sifat historis dan empirik agama ini dapat dilihat
dari fungsinya di dalam masyarakat. Salah satu fungsi sosial agama menurut
Durkheim adalah menjamin daya rekat masyarakat (social cohesion).
Oleh karena itu, sesungguhnya pengertian agama lebih tepat didekati
sebagai keagamaan, oleh karena setiap tindakan manusia dan masyarakat yang
mengakui adanya unsur-unsur yang suci dan ilahi dalam kehidupan tidak bisa
disangkal adalah tindakan religius. Dalam penelitian ini, agama dipahami sebagai
bagian yang integral dengan kebudayaan masyarakat penganutnya yang terwujud
dalam bentuk pandangan hidup, nilai-nilai sosial, dan tradisi-tradisi.
15
Wach, Joachim. Op.cit. 108.
28
Kehidupan
beragama
dipandang
sebagai
fenomena
sosial
yang
ditimbulkan oleh agama dan penyikapan masyarakat terhadap agama itu sendiri16.
Fenomena sosial tersebut dapat kita kategorikan dalam dua hal, yaitu Pertama,
fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama berupa struktur sosial, pranata
sosial, dan dinamika masyarakat. Kedua, sikap masyarakat terhadap agama,
seperti pola pemahaman, stereotype komitmen dan tingkat keberagamaan,
perilaku sosial sebagai manifestasi keyakinan doktrin agama. Fenomena sosial itu
dapat kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimanakah struktur sosial, pranata
sosial, dan dinamika sosial komunitas umat tridharma sebagai refleksi keagamaan
mereka. Dalam kehidupan beragama menurut konsep Wach yaitu bahwa agama
adalah sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat
penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi
sosial atau kemasyarakatan. Sedang dalam pengalaman keagamaan menurut Wach
dapat terwujud dalam tiga aspek yaitu aspek kepercayaan, aspek peribadatan, dan
aspek kemasyarakatan17. Karena itu, dalam hal ini akan dilihat tentang agama
dalam ketiga aspek tersebut, sehingga tidak hanya pada aspek kepercayaan saja.
Dimensi pemikiran diterapkan untuk mengungkap tentang materi
pembinaan dalam pemikiran atau keyakinan keagamaan. Pada dimensi ini akan
mencakup konsepsi ketuhanan, sifat-sifat Tuhan, dewa, makhluk halus, hakekat
hidup sesudah mati. Sistem keyakinan erat hubungannya dengan sistem upacara
16
17
Suprayogo, Imam. dan Tabrani. Op.cit. Hlm.16.
Wach. Op.cit.17.
29
serta menentukan tata urut dari unsur dan rangkaian acara serta peralatan yang
dipakai dalam upacara18 .
Dimensi peribadatan merupakan pengamalan keagamaan yang nyata yaitu
suatu tanggapan total mendalam atau integritas atas Tuhan. Pada dimensi ini akan
digunakan untuk pengungkapan materi pembinaan dalam aspek ritual atau
peribadatan. Sedang upacara/ritual ini sebuah sistem upacara yang terdiri atas
aneka macam upacara seperti berdoa, bersujud, berkurban, bersesaji, berpuasa dan
lainnya. Beberapa jenis upacara keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara
siklus atau berkala, dan ada pula upacara yang dilakukan hanya sekali waktu atau
tidak berkala19.
Dimensi yang ketiga, yaitu persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini
sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan.
Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan
organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu
organisasi penyiaran agama20.
Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan.
Menurut Kuntjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi
tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai,
norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan21. Sistem kepercayaan erat
berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur-
18
Koentjaraningrat. 1994. Budaya Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 147.
19
Ibid. Hlm.147.
20
Ibid. Hlm.148.
Ibid. Hlm. 377.
21
30
unsur rangkaian upacara serta Koentjaraningrat, peralatan upacara22. Sistem
upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai
upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya23.
Berbicara tentang negara kita akan melihat bahwasanya negara memiliki
sejarah panjang secara genus, yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan
memiliki kekhususannya sendiri. Dan akhirnya negara modern adalah hasil dari
proses historis tersebut untuk menemukan suatu bentuk institusi yang
terorganisasikan dasar-dasar penggunaan kekuasaan, salah satu bentuk akhirnya
dikenal sebagai negara kebangsaan24.
Anasir umum tentang negara dewasa ini mensyaratkan sejumlah entitas
yang harus dipenuhi ketika negara itu berdiri. Pertama, adanya suatu wilayah.
Kedua, adanya warga negara (staatsnationalen,staasburger) atau bangsa-bangsa
(staatsvolk). Ketiga, adanya suatu pemerintahan yang berdaulat25 .
Soepomo dengan teori negara integralistik-nya, berpendapat bahwa negara
dengan karakteristik sebagai organisasi kekuasaan dengan susunan masyarakat
yang bersifat integral seluruh anggota yang tergabung di dalamnya berhubungan
erat satu sama lain dan merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Atau
dapat disimpulkan seorang anggota negara - dalam hal ini warga negara memiliki korelasi yang erat dengan negara dalam suatu relasi kekuasaan.
22
Ibid. Hlm. 157.
Ibid. Hlm.
24
Haryono. Op.cit.Hlm.53.
23
25
Utrecht, E. 1957. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan Ke-empat. Jakarta:
Ichtiar .
31
Agama menjadi suatu fokus bahasan yang menarik bagi setiap orang dan
hal ini berlangsung sejak awal manusia berada di dunia, tidak hanya para filsuf era
Yunani hingga Freud, semua tertantang untuks membicarakan tentang konsepsi
agama. Herodotus (484-425 BC) yang menjelaskan Dewa Amon dan Horus yang
diyakini oleh masyarakat Mesir dianggapnya memiliki persamaan dengan Dewa
Zeus dan Apollo yang dipuja di Yunani, pemikiran Herodotus ini menukilkan
bahwa kemunculan teori-teori atau konsepsi tentang agama telah dimulai sejak
lama.
Namun baru pada medio pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20
kaum intelektual ingin melakukan investigasi yang mendalam tentang agama
dengan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah seperti studi-studi arkeologi, sejarah,
antropologi, etnografi, dan mitologi yang sangat mengedepankan bukti-bukti
empiris yang mungkin tidak ditemukan dalam teologi.
Melalui bahasa, agama yang berkembang dalam suatu sistem masyarakat
dapat diketahui, bila nilai-nilai moral didalamnya merupakan hasil olah wicara
dari anggota masyarakat tersebut dengan mempersonifikasi benda-benda di sekitar
mereka sebagai Dewa atau Tuhan, seperti yang terjadi pada orang-orang Yunani.
Contoh, dari asal kata “Appolo” berarti “matahari” dan “Daphen” yang berarti
“fajar”, hingga kemudian ekstensifikasi makna timbul akibat penyakit bahasa
(dissease of language) menjadi nama Dewa Appolo dan Dewi Daphne.
Antropolog Edward Burnet Tylor menilai untuk memahami agama kita
harus menggunakan pendekatan sejarah, serta penekanan pada etnologi dan
etnografi. Tylor menyatakan bahwa tidak hanya bahasa yang menyokong
32
kelahiran “agama” dalam suatu masyarakat, agama lebih dari sekedar suatu
kesalahan bahasa dalam aplikasinya. Agama lebih mendekati dengan keyakinan
manusia untuk percaya pada mahluk spiritual, Tylor menyadari karakteristik
agama esensinya adalah animisme (berasal dari bahasa latin, anima, berarti roh).
Agama berarti mempercayai akan adanya anima (roh) yang bersifat sakral,
transeden, dan memiliki suatu realitas kesempurnaan yang berbeda dengan
manusia.
Seiring dengan perjalanan peradaban manusia dan perkembangan logika
berpikir animisme berkembang menjadi politeisme dalam mitologi Yunani
(masyarakat dunia lainnya), hingga mencapai kepercayaan pada wujud Tuhan
tertinggi yang muncul pada agama-agama peradaban tinggi laiknya Yahudi dan
Kristen26 (Pals, 2001:46).
Mircea Elliade dalam bukunya yang berjudul The Sacred and The Profane
mengungkapkan teorinya tentang asal-usul agama, untuk memahami agama kita
harus mengetahui apa yang terjadi pada masa sebelum peradaban modern. Bagi
masyarakat purba (archaic people) terdapat kehidupan yang didasarkan pada dua
bidang yang berbeda, yakni bidang sakral dan bidang profan.
Bidang sakral (suci), adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa,
mengesankan dan penting. Sementara bidang profan bersifat kontraris dengan
bidang sebelumnya, bidang profan bersifat fana, yang menghilang dan mudah
pecah, penuh bayang-bayang. Maka yang sakral bersifat abadi, penuh dengan
26
Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. (Dari Animisme E.B.Tylor,
Materalisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C.Geertz). Yogyakarta:
Penerbit Qalam. Hlm.274-282.
33
substansi dan realitas keteraturan dan kesempurnaan dari dewa atau sang pencipta,
sedang profan adalah wilayah mahluk, yang dapat berubah-ubah, dan sering
kacau.
Elliade27 kemudian menambahkan pendapatnya dalam karya selanjutnya
Patterns in Comparative Religion Dia percaya akan independensi agama, yang
menurutnya tidak dapat dijelaskan melalui perspektif diluar fenomena keagamaan
itu sendiri:
Hanya akan dianggap demikian jika ia dipegang menurut tingkatannya
sendiri, yakni, jika ia dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Mencoba
untuk menangkap esensi dari fenomena semacam ini dengan alat fisiologi,
psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, atau studi yang lain adalah salah;
ia kehilangan suatu unsur yang unik dan tak dapat direduksi di dalamnyaunsur yang sakral.
Elliade meyakini bahwa pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para
ahli dengan menggunakan pendekatan ilmiah, akan mereduksi makna dari agama
itu sendiri. Seperti yang kita tahu pendekatan ilmiah melalui serangkaian disiplin
ilmu pengetahuan hanya mengedepenkan objektifitas dari bukti-bukti empiris
terhadap keberadaan Tuhan, dimana sains adalah cara paling handal untuk
mengungkapkan kebenaran, sementara agama adalah kekuatan terbesar untuk
menciptakan makna28 Dan dari pendekatan ilmiah segala dogmatika teologis yang
27
Elliade, Mircea. 1949. “Patterns in Comparative Religion (Terj.Rosemary Sheed)”.
New York: Meridian Books. dalam Daniel L.Pals. 2001. “Seven Theories of
Religion (Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi
Budaya C.Geertz)”. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm. xiii.
28
Capra, Fritjof: 2003, The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan
Mistisme Timur. Jakarta: Jalasutra. Hlm.13.
34
harus dipercayai dan diyakini oleh umat mampu dibuktikan, ekstremnya
ekspektasi akan keberadaan Tuhan dapat dilihat secara kasat mata.
Beberapa pendapat yang diungkap oleh tokoh-tokoh diatas memberikan
gambaran bahwa munculnya agama sepanjang perkembangan peradaban manusia
memang diawali dengan adanya keyakinan terhadap suatu wujud yang sakral,
diluar keberadaan manusia, yang tidak terjangkau dengan nalar. Religiusitas
seseorang pemeluk agama (umat) tidak dapat dicampuri oleh negara melalui
interpretasi normatif, negara tidak dapat mengalienasi keberadaan agama dan
mereduksi hak-hak umat hanya karena deskripsi suatu agama tertentu berbeda
dengan spesifikasi umum.
35
Download