BAB II TAO DALAM KONSEP AGAMA 2.1. Definisi Agama Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes1. Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community-structure. Swidler dan Mojzes menjelaskan 4 Cs sebagai berikut: 1. Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life. 2. Code of behavior or ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one aspect or another of the Creed. 3. Cult means all the ritual activities that relate the follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly. Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter. 4. Community-structure refers to the relationship among the followers. This can vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through a”republican” structure 1 Swidler, Leonard and Mojzes, Paul. 2000. The Study of Religion in an Age Of Global Dialogue. Philadelphia: Temple University Press. Hlm. 7-8. 18 as Presbyterians have, to a monarchical structure, as with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe. Menurut Ahmad Syafi’i Mufid, peneliti bidang keagamaan dari Badan Penelitian dan Diklat Keagamaan Republik Indonesia dengan merujuk kepada penjelasan John A Titaley dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga bahwa jika suatu institusi sosial itu telah memenuhi persyaratan ke-4 Cs itu, maka institusi sosial tersebut dapat disebut sebagai agama2. Dijelaskan oleh Mufid, 4 Cs tersebut memiliki pengertian yaitu (1) Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya; (2) Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3) Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi; (4) Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam kepercayaan itu. 2 Titaley, John A. Tt. “Hubungan Agama dan Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia”. dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed). Kebebasan Beragama. Hlm. 25. 19 Sedangkan Professor John A Titaley dalam buku karyanya yang berjudul Religiositas Di Alinea Tiga3 menjelaskan tentang cara yang paling positif untuk memperlakukan institusi social yang disebut agama itu adalah dengan menggunakan definisi agama yang fungsional bahwa agama itu sekurangsekurangnya memiliki 4 C yaitu Creed, Code, Cult, dan Community. Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang disebut Non-Theos. Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa, yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya. Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed tadi sebagai cara untuk menyelaraskan diri dengan isi Creed tadi, baik berupa memahami kehendak-Nya atau memperbaiki hubungan yang rusak dengan-Nya supaya mendapat ganjaran dan sebagainya. Community yaitu umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan Cult yang sama. Proses penetapan kategori “agama” oleh Pemerintah Indonesia dijelaskan oleh Sita Hidayah dalam Jurnal Kawistara, Vol. 2, No. 2, 17 Agustus 2012: 121139 sebagai berikut: There are two ways to reconstruct the “condition of possibility” of “Agama”. The first is namely the People’s Assembly in which the discourse of 3 Titaley, John A. 2013. Religiositas Di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hlm.8485. 20 “agama” was first established in 1952. That year The Ministry of Religions (formerly Kementerian Agama which later became the Ministry of Religious Affairs) proposed a restricted definition of “agama”. The idea was this: to be legitimated as an ‘official’ religion, a particular religion should have a prophet and a holy book, and also be acknowledged internationally. In 1961, the Ministry of Religion (Menteri Agama) again proposed the perimeter of “agama” as indicating equal validity as gestured in the previous propositions. “Agama” as authorized by the Indonesian state includes requirements that it (1) be an encompassing way of life with concrete regulations, (2) a teaching about the oneness of God; (3) include a holy book, which codifies a message sent down to prophet(s) through a holy spirit; and (4) be led by a prophet. The state views all religions outside these limitations as ‘tribal’ beliefs, and therefore are ‘superstitious’ within the working frameworks of this discourse. With the Ministry of Home Affairs (Menteri Dalam Negeri) decree No. 477/74054 on November 18th 1978, the government explicitly states that the religions ‘acknowledged’ in Indonesia are Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism and Buddhism” . Dalam konsep sosiologi, agama termasuk bagian dari lembaga sosial yang memiliki sifat universal, tetapi bentuknya sangat bervariasi. Dalam perspektif sosiologis, agama bukan sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai sesuatu yang profan berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya. Robert N. Bellah sebagaimana yang dikutip oleh Djamali4 mendefinisikan agama dengan mengikuti Paul Tillich, yakni “agama sebagai struktur bermakna yang digunakan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan kepedulian-kepedulian utamanya”. Parsudi Suparlan, dalam Roland Robertson5 bahwa agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan 4 Djamali, R. Abdoel. 2003. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. Hlm.140. 5 Suparlan, Parsudi. 1991. dalam Ronald Robertson. Agama dalam Aplikasi dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. v. 21 manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung-nya tidak nampak tercakup di dalamnya. Karena itu, secara khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Menurut Emile Dukheim, agama merupakan salah satu kekuatan yang mampu membentuk tanggung jawab moral dalam individu pemeluknya untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang bersang-kuttan, bahkan semenjak kehadiran masyarakat manusia paling awal, agama menjadi demikian penting bagi para pemeluknya baik secara individual maupun secara kolektif. Dalam karyanya “The Elementary Forms of The Religious Life”, Dukheim mengatakan bahwa agama adalah suatu suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang secred, yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang mengajarkan moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti,yang disebut gereja dimana semua orang mengidentifikasikan diri pada-nya.6 Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin, memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut: “Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol (seperti kata dan isyarat, cerita dan praktek, objek dan tempat) yang secara religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh 6 Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free Press. Hlm. 62. 22 partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak”. Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak (Ultimate Reality). Hal inilah yang oleh Joachim Wach7 disebut sebagai pengalaman keagamaan, yakni suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi, yakni pemikiran keagamaan, peribadatan atau ritual keagamaan, dan kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan. Dalam konteks ini, simbol dapat mempertemukan antara dua realitas yang memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga banyak ilmuwan yang memandang simbol sebagai salah satu inti dalam sistim agama. Geertz, misalnya, memposisikan simbol sebagai hal pertama yang menentukan seluruh rangkaian dalam aktivitas keagamaan yang dijalani oleh manusia.Hal ini terlihat pada definisi agama yang dirumuskan oleh Geertz8 (1973: 90), yakni: “Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasa-an (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara 7 8 Wach, Joachim. 1985. Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan (Terj.). Djamanuri. Jakarta: Rajawali. Hlm. 39. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Hlm. 90. 23 menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencer-minkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya se-cara tersendiri (unik) adalah nyata ada”. Dengan demikian, simbol dalam agama mengandung pengertianpengertian sebagai sebuah wahana makna yang menghasilkan kecocokan bagi pelakunya. Sistim simbol agama secara inheren melekat dan dilekatkan maknamakna tertentu, yang kemudian membentuk suatu tradisi bagi para pelakunya. Kemudian manusia melakukan relasi secara lebih dekat dengan Realitas Mutlak melalui simbol-simbol yang dipandang memiliki makna tertentu. Nilai-nilai budaya yang menjadi spirit dan roh berasal dari kepercayaan tradisional yang lahir dan telah ada sejak lama, bahkan telah ada sebelum agamaagama besar masuk ke wilayah Nusantara, seperti Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Islam, dan Konghucu. Kepercayaan keagamaan ini bersifat lokal, bukan aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, dan bukan agama-agama besar sebagaimana yang dibina oleh Kementerian Agama, melainkan agama atau kepercayaan lokal yang dulunya sudah pernah ada dan hingga sekarang tetap bertahan atau berkembang terus serta dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat. Dalam penelitian ini, menurut analisis peneliti bahwa Tao diposisikan sebagai agama lokal yang dimaksud adalah suatu kesatuan sistem keyakinan dan ritual yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Kelompok masyarakat Etnik Tionghoa yang 24 meyakini Tao sebagai agama nenek moyang yang berasal dari ajaran Kitab Suci Dao De Tjing. Pemahaman agama seperti ini dapat diperuntukkan bagi kepercayaan lokal yang memiliki seperangkat gagasan atau ide-ide yang dijadikan sebagai doktrin untuk bertindak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan lokal ini bukan aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan bukan pula sebagai agama-agama besar, melainkan kepercayaan yang sudah pernah adsejak dulu dan tetap bertahan hingga sekarang karena dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat. Agama dalam pengertian seperti ini dapat dikatakan sebagai religi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat9 bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari 4 (empat) komponen, yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap relijius; (2) sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahlukmahluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut (dalam komponen 2), dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut (dalam komponen 3). Dengan menggunakan istilah religi, Koentjaraningrat 10 membedakan tiga pengertian, yaitu (1) agama dipakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan 9 Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Cet. VI. Jakarta: PT. Gramedia. 10 Ibid. 25 Buddha, (2) religi untuk sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, dan gerakan-gerakan kebatinan, dan sebagainya, (3) kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, yaitu, komponen kedua dalam tiap agama maupun religi (sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, supernatural, serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan). Agama merupakan suatu ajaran yang berasal dari Tuhan yang berisikan tentang norma- norma yang berfungsi menjadi acuan bagi perilaku manusia di dunia ini. Agama-agama yang berkembang dalam masyarakat, dapat dipandang dari perspektif teologis sekaligus sosiologis. Namun demikian kedua perspektif ini akan bertemu dan bermuara pada satu hal yang sama yaitu masyarakat itu sendiri. Bahkan agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal oleh karena semua masyarakat memiliki suatu cara berfikir dan pola perilaku yang layak disebut sebagai agama atau dipandang sebagai sikap religius yang diwujudkan dalam simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik guna menunjukkan atau memahami eksistensi keberadaan dirinya dalam kehidupan ini11. Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu 11 Sonderson, Stephen K. 1993. Macrosociology. (terj.). Farid Wajidi dkk. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 517. 26 masyarakat12 yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann13, bahwa agama merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti pendapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence. Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius. Menurut Sonderson14 harus ada tiga elemen pokok yang menunjang terbentuknya definisi agama, yaitu: a. Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktek maupun seperangkat kepercayaan, di mana kepercayaan ritual itu terorganisir secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota masyarakat atau beberapa segmen masyarakat. b. Kepercayaan-kepercayaan yang bersangkutan dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan memvaliditaskan secara empirik karena tidak ada sangkut pautnya dengan pembuktian dan kesahihan ilmiah. c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah. 12 Berger, Peter L. 1991. The Secred Canopy. (terj.). Hartono. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Hlm. 59. 13 Ibid. Hlm.205. 14 Sonderson, Stephen K. Op.cit. Hlm. 520. 27 Agama dalam kehidupan manusia dapat dipahami dan diamalkan menurut atau sesuai dengan pemahaman dan pengalaman pemeluk agama tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wach bahwa pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi pengalaman keagamaan tersebut mencakup: dimensi pemikiran keagamaan, dimensi peribadatan atau ritual keagamaan, dan dimensi kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan15. Berangkat dari berbagai pengertian agama di atas, dapat digarisbawahi bahwa agama adalah bagian yang penting dan sentral di dalam kehidupan manusia, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Agama secara hakiki mengandung unsur-unsur yang suci dan ilahi yang dapat menolong manusia untuk memaknai kehidupannya di dunia dalam relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alamnya. Di samping itu agama adalah bagian dari struktur sosial masyarakat. Sifat historis dan empirik agama ini dapat dilihat dari fungsinya di dalam masyarakat. Salah satu fungsi sosial agama menurut Durkheim adalah menjamin daya rekat masyarakat (social cohesion). Oleh karena itu, sesungguhnya pengertian agama lebih tepat didekati sebagai keagamaan, oleh karena setiap tindakan manusia dan masyarakat yang mengakui adanya unsur-unsur yang suci dan ilahi dalam kehidupan tidak bisa disangkal adalah tindakan religius. Dalam penelitian ini, agama dipahami sebagai bagian yang integral dengan kebudayaan masyarakat penganutnya yang terwujud dalam bentuk pandangan hidup, nilai-nilai sosial, dan tradisi-tradisi. 15 Wach, Joachim. Op.cit. 108. 28 Kehidupan beragama dipandang sebagai fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama dan penyikapan masyarakat terhadap agama itu sendiri16. Fenomena sosial tersebut dapat kita kategorikan dalam dua hal, yaitu Pertama, fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama berupa struktur sosial, pranata sosial, dan dinamika masyarakat. Kedua, sikap masyarakat terhadap agama, seperti pola pemahaman, stereotype komitmen dan tingkat keberagamaan, perilaku sosial sebagai manifestasi keyakinan doktrin agama. Fenomena sosial itu dapat kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimanakah struktur sosial, pranata sosial, dan dinamika sosial komunitas umat tridharma sebagai refleksi keagamaan mereka. Dalam kehidupan beragama menurut konsep Wach yaitu bahwa agama adalah sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial atau kemasyarakatan. Sedang dalam pengalaman keagamaan menurut Wach dapat terwujud dalam tiga aspek yaitu aspek kepercayaan, aspek peribadatan, dan aspek kemasyarakatan17. Karena itu, dalam hal ini akan dilihat tentang agama dalam ketiga aspek tersebut, sehingga tidak hanya pada aspek kepercayaan saja. Dimensi pemikiran diterapkan untuk mengungkap tentang materi pembinaan dalam pemikiran atau keyakinan keagamaan. Pada dimensi ini akan mencakup konsepsi ketuhanan, sifat-sifat Tuhan, dewa, makhluk halus, hakekat hidup sesudah mati. Sistem keyakinan erat hubungannya dengan sistem upacara 16 17 Suprayogo, Imam. dan Tabrani. Op.cit. Hlm.16. Wach. Op.cit.17. 29 serta menentukan tata urut dari unsur dan rangkaian acara serta peralatan yang dipakai dalam upacara18 . Dimensi peribadatan merupakan pengamalan keagamaan yang nyata yaitu suatu tanggapan total mendalam atau integritas atas Tuhan. Pada dimensi ini akan digunakan untuk pengungkapan materi pembinaan dalam aspek ritual atau peribadatan. Sedang upacara/ritual ini sebuah sistem upacara yang terdiri atas aneka macam upacara seperti berdoa, bersujud, berkurban, bersesaji, berpuasa dan lainnya. Beberapa jenis upacara keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara siklus atau berkala, dan ada pula upacara yang dilakukan hanya sekali waktu atau tidak berkala19. Dimensi yang ketiga, yaitu persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan. Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu organisasi penyiaran agama20. Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Menurut Kuntjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan21. Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur- 18 Koentjaraningrat. 1994. Budaya Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 147. 19 Ibid. Hlm.147. 20 Ibid. Hlm.148. Ibid. Hlm. 377. 21 30 unsur rangkaian upacara serta Koentjaraningrat, peralatan upacara22. Sistem upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai upacara seperti berdo’a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya23. Berbicara tentang negara kita akan melihat bahwasanya negara memiliki sejarah panjang secara genus, yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan memiliki kekhususannya sendiri. Dan akhirnya negara modern adalah hasil dari proses historis tersebut untuk menemukan suatu bentuk institusi yang terorganisasikan dasar-dasar penggunaan kekuasaan, salah satu bentuk akhirnya dikenal sebagai negara kebangsaan24. Anasir umum tentang negara dewasa ini mensyaratkan sejumlah entitas yang harus dipenuhi ketika negara itu berdiri. Pertama, adanya suatu wilayah. Kedua, adanya warga negara (staatsnationalen,staasburger) atau bangsa-bangsa (staatsvolk). Ketiga, adanya suatu pemerintahan yang berdaulat25 . Soepomo dengan teori negara integralistik-nya, berpendapat bahwa negara dengan karakteristik sebagai organisasi kekuasaan dengan susunan masyarakat yang bersifat integral seluruh anggota yang tergabung di dalamnya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Atau dapat disimpulkan seorang anggota negara - dalam hal ini warga negara memiliki korelasi yang erat dengan negara dalam suatu relasi kekuasaan. 22 Ibid. Hlm. 157. Ibid. Hlm. 24 Haryono. Op.cit.Hlm.53. 23 25 Utrecht, E. 1957. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan Ke-empat. Jakarta: Ichtiar . 31 Agama menjadi suatu fokus bahasan yang menarik bagi setiap orang dan hal ini berlangsung sejak awal manusia berada di dunia, tidak hanya para filsuf era Yunani hingga Freud, semua tertantang untuks membicarakan tentang konsepsi agama. Herodotus (484-425 BC) yang menjelaskan Dewa Amon dan Horus yang diyakini oleh masyarakat Mesir dianggapnya memiliki persamaan dengan Dewa Zeus dan Apollo yang dipuja di Yunani, pemikiran Herodotus ini menukilkan bahwa kemunculan teori-teori atau konsepsi tentang agama telah dimulai sejak lama. Namun baru pada medio pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 kaum intelektual ingin melakukan investigasi yang mendalam tentang agama dengan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah seperti studi-studi arkeologi, sejarah, antropologi, etnografi, dan mitologi yang sangat mengedepankan bukti-bukti empiris yang mungkin tidak ditemukan dalam teologi. Melalui bahasa, agama yang berkembang dalam suatu sistem masyarakat dapat diketahui, bila nilai-nilai moral didalamnya merupakan hasil olah wicara dari anggota masyarakat tersebut dengan mempersonifikasi benda-benda di sekitar mereka sebagai Dewa atau Tuhan, seperti yang terjadi pada orang-orang Yunani. Contoh, dari asal kata “Appolo” berarti “matahari” dan “Daphen” yang berarti “fajar”, hingga kemudian ekstensifikasi makna timbul akibat penyakit bahasa (dissease of language) menjadi nama Dewa Appolo dan Dewi Daphne. Antropolog Edward Burnet Tylor menilai untuk memahami agama kita harus menggunakan pendekatan sejarah, serta penekanan pada etnologi dan etnografi. Tylor menyatakan bahwa tidak hanya bahasa yang menyokong 32 kelahiran “agama” dalam suatu masyarakat, agama lebih dari sekedar suatu kesalahan bahasa dalam aplikasinya. Agama lebih mendekati dengan keyakinan manusia untuk percaya pada mahluk spiritual, Tylor menyadari karakteristik agama esensinya adalah animisme (berasal dari bahasa latin, anima, berarti roh). Agama berarti mempercayai akan adanya anima (roh) yang bersifat sakral, transeden, dan memiliki suatu realitas kesempurnaan yang berbeda dengan manusia. Seiring dengan perjalanan peradaban manusia dan perkembangan logika berpikir animisme berkembang menjadi politeisme dalam mitologi Yunani (masyarakat dunia lainnya), hingga mencapai kepercayaan pada wujud Tuhan tertinggi yang muncul pada agama-agama peradaban tinggi laiknya Yahudi dan Kristen26 (Pals, 2001:46). Mircea Elliade dalam bukunya yang berjudul The Sacred and The Profane mengungkapkan teorinya tentang asal-usul agama, untuk memahami agama kita harus mengetahui apa yang terjadi pada masa sebelum peradaban modern. Bagi masyarakat purba (archaic people) terdapat kehidupan yang didasarkan pada dua bidang yang berbeda, yakni bidang sakral dan bidang profan. Bidang sakral (suci), adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan penting. Sementara bidang profan bersifat kontraris dengan bidang sebelumnya, bidang profan bersifat fana, yang menghilang dan mudah pecah, penuh bayang-bayang. Maka yang sakral bersifat abadi, penuh dengan 26 Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. (Dari Animisme E.B.Tylor, Materalisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C.Geertz). Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm.274-282. 33 substansi dan realitas keteraturan dan kesempurnaan dari dewa atau sang pencipta, sedang profan adalah wilayah mahluk, yang dapat berubah-ubah, dan sering kacau. Elliade27 kemudian menambahkan pendapatnya dalam karya selanjutnya Patterns in Comparative Religion Dia percaya akan independensi agama, yang menurutnya tidak dapat dijelaskan melalui perspektif diluar fenomena keagamaan itu sendiri: Hanya akan dianggap demikian jika ia dipegang menurut tingkatannya sendiri, yakni, jika ia dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Mencoba untuk menangkap esensi dari fenomena semacam ini dengan alat fisiologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, atau studi yang lain adalah salah; ia kehilangan suatu unsur yang unik dan tak dapat direduksi di dalamnyaunsur yang sakral. Elliade meyakini bahwa pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para ahli dengan menggunakan pendekatan ilmiah, akan mereduksi makna dari agama itu sendiri. Seperti yang kita tahu pendekatan ilmiah melalui serangkaian disiplin ilmu pengetahuan hanya mengedepenkan objektifitas dari bukti-bukti empiris terhadap keberadaan Tuhan, dimana sains adalah cara paling handal untuk mengungkapkan kebenaran, sementara agama adalah kekuatan terbesar untuk menciptakan makna28 Dan dari pendekatan ilmiah segala dogmatika teologis yang 27 Elliade, Mircea. 1949. “Patterns in Comparative Religion (Terj.Rosemary Sheed)”. New York: Meridian Books. dalam Daniel L.Pals. 2001. “Seven Theories of Religion (Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C.Geertz)”. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm. xiii. 28 Capra, Fritjof: 2003, The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisme Timur. Jakarta: Jalasutra. Hlm.13. 34 harus dipercayai dan diyakini oleh umat mampu dibuktikan, ekstremnya ekspektasi akan keberadaan Tuhan dapat dilihat secara kasat mata. Beberapa pendapat yang diungkap oleh tokoh-tokoh diatas memberikan gambaran bahwa munculnya agama sepanjang perkembangan peradaban manusia memang diawali dengan adanya keyakinan terhadap suatu wujud yang sakral, diluar keberadaan manusia, yang tidak terjangkau dengan nalar. Religiusitas seseorang pemeluk agama (umat) tidak dapat dicampuri oleh negara melalui interpretasi normatif, negara tidak dapat mengalienasi keberadaan agama dan mereduksi hak-hak umat hanya karena deskripsi suatu agama tertentu berbeda dengan spesifikasi umum. 35