BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Nilai religi Nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Definisi lain tentang nilai dikemukakan oleh Merril (dalam Murdiyono, 2010:2), menurutnya nilai adalah patokan atau standar pola-pola pilihan yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah satisfaction, fulfillment, and meaning. Religi berasal dari kata religion. religio berarti ikatan dan pengikatan diri kepada Tuhan atau lebih tepat manusia menerima ikatan Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan (Djojosantoso dalam Hariyani, 2008:15). Menurut Bouman (dalam Pudjiono, 2006:15) religion bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar selalu dalam bimbingan Tuhan sang pencipta. Religion atau agama menurut Koentjaraningrat (dalam Pudjiono, 2006:15) adalah salah satu sistem religi. Dari sudut femalogis, Mangunwidjaja (1986:82) menjelaskan bahwa agama lebih menitik beratkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembahan menusia kepada penciptanya dan mengarah kepada aspek kuantitas, sedangkan religi lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Sedangkan menurut Glok dan Stark (dalam Pudjiono, 2006:15) memahami religi sebagai percaya tentang ajaran-ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Moeljanto dan Sunardi (dalam Pudjiono, 2006:16) menyatakan bahwa semakin orang religis, hidup orang itu semakin nyata atau semakin sadar terhadap kehidupanya sendiri. Dalam sebuah pengantar bukunya, Nurcholis Madjid (dalam hariyani, 2008:16) mengatakan bahwa setiap manusia memiliki naluri religiusitas—naluri untuk berkepercayaan. Naluri itu muncul bersamaan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup dan alam raya menjadi lingkungan hidup itu sendiri. Karena setiap manusia pasti memiliki keinsafan apa yang dianggap “makna hidup”. Nilai religi merupakan akhlak yang mulia (Muhaimin, 2009:111) sebagai salah satu faktor internal siswa yang mempunyai andil dalam prestasi belajar. Siswa pada hakikatnya merupakan masa transisi dari anak-anak menuju remaja. Pada masa ini dimulai pembentukan dan perkembangan sistem moral sejalan dengan pertumbuhan pengalaman agama. Dalam perkembangan lebih lanjut pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit semakin mantap sebagai suatu unit yang otonom yang merupakan organisasi yang disebut “nilai-nilai religi” sebagai hasil peranan fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi, dan intelegensi. Nilai-nilai religil merupakan dasar dan arah dari kesiapan siswa mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsang yang datang dari luar. Semua tingkah laku dalam kehidupannya seperti belajar, bergaul dan bermasyarakat diwarnai oleh sistem nilai-nilai religiusnya. Sehingga, jika siswa yang tinggi nilai-nilai religiusnya maka besar kemungkinan mereka akan menjadi siswa yang baik, rajin belajar dan taat pada tata tertib sekolah. Siswa tersebut akan belajar dengan penuh kesadaran tanpa ada unsur paksaan sebab mereka sadar bahwa belajar merupakan salah satu kewajiban dari ajaran ke-Tuhanan. B. Tujuan pendidikan nasional Tujuan Pendidikan Nasional yang tercantum dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal 3 adalah : Untuk mengembangkan potensi dasar peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kriteria pertama dan utama yang harus dimiliki oleh peserta didik dari hasil proses pendidikan adalah menjadi manusia yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. (kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual). Setelah nilai-nilai keimanan dan ketakwaan tertanam pada jiwa peserta didik, selanjutnya anak didik dibekali ilmu pengetahuan, kecakapan, keahlian dan keterampilan ( penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi atau kecerdasan intelektual). Khusus untuk biologi, berdasarkan Permendiknas tahun 2005 nomor19 tentang Standar Isi, menjabarkan mata pelajaran Biologi dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan peristiwa alam sekitar. Penyelesaian masalah yang bersifat kualitatif dan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pemahaman dalam bidang matematika, fisika, kimia dan pengetahuan pendukung lainnya. Mata pelajaran Biologi bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Membentuk sikap positif terhadap biologi dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain. 3. Mengembangkan pengalaman untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, serta mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis 4. Mengembangkan kemampuan berpikir analitis, induktif, dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip biologi 5. Mengembangkan penguasaan konsep dan prinsip biologi dan saling keterkaitannya dengan IPA lainnya serta mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri 6. Menerapkan konsep dan prinsip biologi untuk menghasilkan karya teknologi sederhana yang berkaitan dengan kebutuhan manusia 7. Meningkatkan kesadaran dan berperan serta dalam menjaga kelestarian lingkungan. Berdasarkan tujuan-tujuan yang tersebut, keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia menjadi pondasi dasar, konstruksi pertama dan bingkai utama dalam jiwa anak didik, maka berbagai ilmu pengatahuan dan teknologi yang dikuasainya akan mampu mengangkat derajat, meninggikan harkat martabat dan kehormatan anak didik. Kemudian apabila setiap anak didik memiliki kriteria tersebut di atas, akan terbentuk suatu komunitas warga negara yang berkualitas tinggi sehingga mampu menciptakan kondisi masyarakat yang berperadaban tinggi. Akhirnya, akan disegani dan dihormati oleh seluruh masyarakat dunia. Semua pihak perlu mengakui dengan jujur bahwa isi tujuan pendidikan Nasional belum dipahami secara tepat dan akurat oleh para pendidik khususnya dan oleh masyarakat bangsa Indonesia umumnya, sehingga karena salah pemahaman mengakibatkan salah penerapan dan implementasinya dalam proses belajar mengajar. Keterpurukan kondisi bangsa Indonesia yang dirasakan dewasa ini, penyebab utamanya karena nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia, umumnya belum tertanam dalam jiwa bangsa Indonesia. Keterbelakangan bangsa kita saat ini bukan karena kalah bersaing dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk membuktikan bahwa iman dan takwa belum begitu nyata dalam realita, mari kita pahami dahulu apa arti iman dan taqwa. Iman berasal dari kata amana yang berarti percaya atau membenarkan. Taqwa adalah taat melaksanakan perintah Allah dan mampu menjauhi segala yang dilarang-Nya. Contoh : Allah SWT memerintahkan manusia agar suka memberi melalui infak, sadaqah dan zakat, sebaliknya Allah melarang mencuri, menipu dan berbuat curang. Maka orang yang bertakwa akan memilki sifat suka memberi dan anti mencuri, suka menyumbang dan anti berbuat curang. Giat berbuat kebaikan dan enggan melakukan kejahatan. Maraknya berbagai tindak korupsi oleh pejabat birokrasi, politisi dan pegawai negeri, dari pemerintahan tingkat pusat, tingkat daerah bahkan sampai tingkat desa. Menjamurnya perilaku tidak jujur, meningkatnya tindak kriminal dalam kehidupan sosial masyarakat. Itu semua terjadi akibat lemah bahkan hilangnya nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam hati manusia (Suherman, 2011:2). C. Pembelajaran problem based instruction Dewasa ini, model pembelajaran ini mulai diangkat, sebab ditinjau secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yag autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukam pemyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2010:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respon, merupakan hubungan dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan member masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem syaraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik (Trianto, 2010:89). 1. Ciri-ciri model pembelajaran berbasis masalah Ciri-ciri khusus pengajaran berbasis masalah: a) Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pengajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang keduaduanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi tersebut. b) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin Meskipun pengajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu ( IPA, Matematika, Ilmu-ilmu Sosial), masalah yang akan diselidiki harus telah dipilih yang benar-benar secara nyata agar dalam pemecahannya siswa mampu meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. c) Penyelidikan autentik Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah yang sedang dipelajari. d) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim dan Nur, 2000:5-7 dalam Trianto, 2010:94) Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa bekerja sama satu sama lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil). 2. Tujuan pengajaran berdasarkan masalah Pembelajaran berdasarkan masalah memiliki tujuan sebagai berikut: a) Membantu siswa mengembangkan keterampilan berfikir dan keterampilan memecahkan masalah. b) Belajar peranan orang dewasa yang autentik. c) Menjadi pembelajar yang mandiri. 3. Sintaks pengajaran berdasarkan masalah Menurut Ibrahim (dalam Trianto, 2010:97) peran guru di dalam kelas PBI antara lain sebagai berikut: a) Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari. b) Memfasilitasi penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen. c) Memfasilitasi dialog siswa. d) Mendukung belajar siswa. Sintaks pengajaran berdasarkan masalah: Tahap-1 : orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Tahap-2 : mengorganisasi siswa untuk belajar. Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Tahap-3 : membimbing penyelidikan individual maupun kelompok. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Tahap-4 : mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru membantu siswa dalam merecanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temanya. Tahap-5 : menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. D. Tinjauan Konsep nilai religi dalam pembelajaran biologi pada materi pokok pencemaran lingkungan Tinjauan konsep nilai religi dalam pembelajaran biologi pada materi pokok pencemaran lingkungan dapat dijabarkan pada tabel berikut: Tabel 1. Penjabaran nilai religi pada materi pokok pencemaran lingkungan No Nilai religi 1. Kesadaran 2. Tanggung jawab 3. Kebersihan diri 4. Kebersihan lingkungan integrasi dalam pembelajaran a. Kesadaran sebagai seorang hamba Allah b. Kesadaran sebagai khalifah di muka bumi a. Memiliki tanggung jawab dalam kelestarian lingkungan a. Menjaga kebersihan pakaian b. Menjaga kebersihan badan a. Menjaga kabersihan kelas b. Menjaga kebersihan lingkungan sekolah c. Mengupayakan kelestarian lingkungan baik di sekolah maupun dirumah Sumber: Muhaimin (2009:112) E. Integrasi nilai religi dalam pembelajaran Integrasi dapat dimaknai sebagai proses memadukan nilai-nilai tetentu terhadap sebuah konsep lain sehingga menjadi suatu kesatuan yang koheren dan tidak bisa dipisahkan atau proses pembauran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat. Integrasi antara nilai religi dan pelajaran umum esensinya adalah perpaduan antara dimensi agama dan ilmu. Menurut Sadulloh (dalam Sauri, 2010:3) sekurang-kurangnya terdapat empat ciri agama, pertama, adanya kepercayaan terhadap yang Maha Gaib, Maha Suci, Maha Agung, sebagai pencipta alam semesta. Kedua, Melakukan hubungan dengan hal-hal di atas, dengan berbagai cara misalnya dengan mengadakan upacara-upacara ritual, pemujaan, pengabdian dan sebagainya. Dalam Islam melakukan hubungan dengan Maha Pencipta (Rabb), dengan mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai awal pengakuan bahwa Allah sebagai Rab dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, melaksanakan shalat lima waktu melaksanakan puasa, membayar zakat bagi yang sudah nisab, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu. Adanya suatu ajaran (doktrin) yang harus dijalankan oleh setiap penganutnya. Dalam Islam doktrin itu terdiri dari tiga aspek yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Menurut pandangan Islam, bahwa ajaran atau doktrin tersebut diturunkan oleh Rabb tidak langsung pada setiap manusia, melainkan melalui nabi-nabi dan rasul-rasulNya sebagai orang-orang suci. Maka menurut pandangan Islam, adanya rasul dan kitab suci merupakan syarat mulak adanya agama. Adapun Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, ilmu dapat diartikan juga sebagai organisasi sistematik dari suatu bangunan pengetahuan (body of knowledge) beserta pengembangannya. Ilmu juga merupakan kegiatan intelektual tentang dunia fisik untuk menemukan penjelasan umum tentang gejala dan hubungan gejala yang terjadi secara alamiah. Poedjawijatna dalam Sauri (2010:3) memberikan batasan pengertian tentang ilmu bahwa Ilmu adalah pengetahuan yang sadar menuntut kebenaran yang bersistem dan berlaku universal. Pada umumnya ilmu diperoleh melalui observasi dan eksperimentasi dalam kerangka penelitian ilmiah. Dalam menginternalisasikan nilai-nilai religi; Simon, Howe, dan Kirschenbaum (dalam Murdiyono, 2010:3) menawarkan 4 (empat) pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan penanaman moral, pendekatan transmisi nilai bebas, pendekatan teladan, dan pendekatan klarifikasi nilai. Menurut Kirschenbaum (dalam Murdiyono, 2010:3) pendidikan nilai perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara komprehensif. Pendekatan secara komprehensif dalam pendidikan nilai maksudnya adalah pendidikan nilai yang menyeluruh atau komprehensif yang dapat ditinjau dari segi metode yang digunakan, pendidik yang berpartisipasi (guru, orang tua), dan konteks berlangsungnya pendidikan nilai (sekolah, keluarga). F. Hasil Belajar Aspek Afektif Hasil belajar menurut Taksonomi Bloom (dalam Sudrajat, 2008:8) terbagi menjadi tiga kawasan (domain) perilaku individu beserta sub kawasan dari masing-masing kawasan, yakni : (1) kawasan kognitif; (2) kawasan afektif; dan (3) kawasan psikomotor. Kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral. Penilaian hasil belajar afektif kurang mendapat perhatian dari guru. Target afektif mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagaimana menurut Krathwohl (dalam Depdiknas, 2008:4) bila ditelusuri hampir semua tujuan kognitif mempunyai komponen afektif. Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu: receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization. Hal tersebut dijabarkan dalam Yulaelawati (2004: 62) yaitu: A1 (menerima/receiving) merupakan kesadaran dan kepekaan atau bertoleransi terhadap suatu gagasan; A2 (menanggapi/responding) merupakan kemampuan memberikan tanggapan atau respon terhadap suatu gagasan; A3 (menilai/valuing) merupakan kemampuan memberikan tanggapan atau respon terhadap suatu gagasan, benda, bahan, atau gejala tertentu; A4 (mengelola/organization) merupakan kemampuan mengatur atau mengelola berhubungan dengan tindakan penilaian dan perhitungan yang telah dimiliki; A5 (menghayati/characterization) merupakan tindakan puncak dalam perwujudan perilaku seseorang yang secara konsisten sejalan dengan nilai atau seperangkat nilai-nilai yang dihayati secara mendalam. Secara gamblang dirinci sebagai berikut: 1. Penerimaan (receiving/attending), kawasan penerimaan diperinci ke dalam tiga tahap, yaitu : a. Kesiapan untuk menerima (awareness), yaitu adanya kesiapan untuk berinteraksi dengan stimulus (fenomena atau objek yang akan dipelajari), yang ditandai dengan kehadiran dan usaha untuk memberi perhatian pada stimulus yang bersangkutan. b. Kemauan untuk menerima (willingness to receive), yaitu usaha untuk mengalokasikan perhatian pada stimulus yang bersangkutan. c. Mengkhususkan perhatian (controlled or selected attention). Mungkin perhatian itu hanya tertuju pada warna, suara atau kata-kata tertentu saja. 2. Sambutan (responding), mengadakan aksi terhadap stimulus, yang meliputi p roses sebagai berikut : a. Kesiapan menanggapi (acquiescene of responding). Contoh : mengajukan pertanyaan, menempelkan gambar dari tokoh yang disenangi pada tembok kamar yang bersangkutan, atau mentaati peraturan lalu lintas. b. Kemauan menanggapi (willingness to respond), yaitu usaha untuk melihat halhal khusus di dalam bagian yang diperhatikan. Misalnya pada desain atau warna saja. c. Kepuasan menanggapi (satisfaction in response), yaitu adanya aksi atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha untuk memuaskan keinginan mengetahui. Contoh kegiatan yang tampak dari kepuasan menanggapi ini adalah bertanya, membuat coretan atau gambar, memotret dari objek yang menjadi pusat perhatiannya, dan sebagainya. 3. Penilaian (valuing). Pada tahap ini sudah mulai timbul proses internalisasi untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi. Penilaian terbagi atas empat tahap sebagai berikut : a. Menerima nilai (acceptance of value) atau menilai, yaitu kelanjutan dari usaha memuaskan diri untuk menanggapi secara lebih intensif. b. Menyeleksi nilai yang lebih disenangi (preference for a value) yang dinyatakan dalam usaha untuk mencari contoh yang dapat memuaskan perilaku menikmati, misalnya lukisan yang memiliki nialai seni yang memuaskan. c. Komitmen yaitu kesetujuan terhadap suatu nilai dengan alasan-alasan tertentu yang muncul dari rangkaian pengalaman. d. Komitmen ini dinyatakan dengan rasa senang, kagum, terpesona. Kagum atas keberanian seseorang, menunjukkan komitmen terhadap nilai keberanian yang dihargainya. 4. Pengorganisasian (organization). Pada tahap ini yang bersangkutan tidak hanya menginternalisasi satu nilai tertentu seperti pada tahap komitmen, tetapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu sistem nilai. Proses ini terjadi dalam dua tahapan, yakni : a. Konseptualisasi nilai, yaitu keinginan untuk menilai hasil karya orang lain, atau menemukan asumsi-asumsi yang mendasari suatu moral atau kebiasaan. b. Pengorganisasian sistem nilai, yaitu menyusun perangkat nilai dalam suatu sistem berdasarkan tingkat preferensinya. Dalam sistem nilai ini yang bersangkutan menempatkan nilai yang paling disukai pada tingkat yang amat penting, menyusul kemudian nilai yang dirasakan agak penting, dan seterusnya menurut urutan kepentingan.atau kesenangan dari diri yang bersangkutan. 5. Karakterisasi (characterization). Karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayati atau mempribadikan sistem nilai Kalau pada tahap pengorganisasian di atas sistem nilai sudah dapat disusun, maka susunan itu belum konsisten di dalam diri yang bersangkutan. Artinya mudah berubah- ubah sesuai situasi yang dihadapi. Pada tahap karakterisasi, sistem itu selalu konsisten. Proses ini terdiri atas dua tahap, yaitu : a. Generalisasi, yaitu kemampuan untuk melihat suatu masalah dari suatu sudut pandang tertentu. b. Karakterisasi, yaitu mengembangkan pandangan hidup tertentu yang memberi corak tersendiri pada kepribadian diri yang bersangkut (Depdiknas, 2008:8). Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. 1. Sikap Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. 2. Minat Minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. 3. Konsep Diri Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat. 4. Nilai Sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. 5. Moral Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang. G. Tinjauan Konsep pencemaran lingkungan Penemaran lingkungan adalah masuknya bahan anorganik dan organik atau organisme kedalam lingkungan yang dapat mengganggu atau membahayakan organisme di lingkungan tersebut. Pencemaran dapat terjadi secara alami atau sebagai akibat kegiatan manusia. Seiring dengan pertambahan penduduk, semakin banyak pula pencemaran lingkungan (Tim Abdi Guru, 2007:166). 1. Pencemaran air Pencemaran air adalah masuknya bahan pencemar kedalam lingkungan air. Tanda–tanda pencemaran air dapat lihat secara: a. Fisis, yaitu pada kejernihan air, perubahan suhu, perubahan rasa, dan perubahan warna air. b. Kimia, yaitu adanya zat kimia yang terlarut dan perubahan pH. c. Biologi, yaitu, adanya mikroorganisme di dalam air tersebut. Akibat pencemaran air: a. Zat yang memperkaya perairan sehingga merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Akibatnya kadar oksigen dalam air berkurang sehingga mengganggu makhluk hidup air lainnya. Sampah organik pada air akan mengalami penguraian yang merangsang mikroorganisme seperti ganggang akan tumbuh subur sehingga akan menutupi ekosistem air. Peristiwa ini disebut eutrofikasi. c. Zat-zat yang bersifat racun akan membunuh organisme yang hidup di air. Zat yang bersifat racun contohnya pestisida yang penggunaannya secara berlebihan sisanya dapat sampai lingkungan air. Karena sisa pertisida itu sulit diuraikan oleh mikroorganisme. Hal ini akan menyebabkan turunnya kandungan oksigen dalam air tersebut. Polutan dapat berasal dari limbah industri, rumah tangga dan pertanian. c. Timbulnya endapan, koloidal dan bahan terlarut. d. Perubahan pH perubahan warna, bau dan rasa (Teguh dan Eny, 2008:253) Untuk mengatasi polusi air dapat dilakukan upaya antara lain: a. Mengelola limbah cair industri dan rumah tangga sebelum dibuang ke perairan. b. Tidak membuang sampah keperairan atau selokan. c. Tidak membuang sisa pestisida keperaiaran. d. Secara rutin membersihkan perairan (Tim Abdi Guru, 2007:167). 2. Pencemaran udara Penceemaran udara didefinisikan sebagai masuk atau dimasukkanya makhluk hidup, zat, energy dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam sehingga kualitas udara menurun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukanya. Zat pencemar udara diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu : a. Partikel yang merupakan butiran halus dan masih munglin terlihat dengan mata seperti uap air, debu, asp dan kabut. b. Zat pencemar barupa gas yang hanya dapat dirasakan melalui penciuman. Dampak terjadinya pencemaran udara adalah sebagai berikut: (a) Rusaknya lapisan ozon, (b) Pemanasan global, (c) Hujan asam, (d) Pengaruh polusi udara terhadap organ tubuh manusia. Upaya untuk mengatasi polusi udara adalah sebagai berikut: (a) Lokalisasi industry, (b) Tidak membakar sampah dipekarangan, (c) Pembuatan taman kota, (d) Mencegah penebangan dan kebakaran hutan (TAG, 2007:168). 3. Pencemaran tanah Penyebab pencemaran tanah karena adanya sampah–sampah yang tidak dapat diuraikan, seperti plastik, kaleng, dan kaca. Akibat pencemaran tanah: kesuburan tanah menurun dan pertumbuhan tanaman terganggu. Upaya mengatasi pencemaran tanah, antara lain : a. Melakukan daur ulang sampah yang tidak dapat diuraikan oleh mikroorganime. b. Memisahkan sampah plastik dengan non plastik. c. Jangan membuang sampah di sembarang tempat. Beberapa penyebab terjadinya kerusakan hutan, yaitu: a. Berladang yang berpindah–pindah. b. Penebangan kayu secara liar. Akibat kerusakan hutan : (a). Kondisi kesuburan tanah menurun. (b). Air tanah berkurang. (c) Peningkatan suhu tubuh. (d). Flora dan fauna terancam. (Teguh dan Eny, 2008:253). 4. Pencemaran suara Sumber pencemaran suara adalah suara bising. Suara bising merupakan bunyi yang tidak diinginkan dari suatu usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menggangu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Suara bising dapat berasal dari suara mesin pabrik, mesin kendaraan dan mesin pesawat. Sumber suara yang mengeluarkan suara di atas 80 dB akan menggangu kesehatan manusia. Hilangnya pendengaran dimulai pada tingkat kebisingan 80-90 dB selama 8 jam, pada tingkat 120 dB akan membuat telinga sakit, dan dapat membunuh manusia pada tingkat 180 dB. Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran suara adalah sebagai berikut: a. Membuat dinding kedap suara b. Melengkapi alat peredam suara pada mesin-mesin pabrik c. Menggunakan penutup telinga jika bekerja dekat mesin bersuara bising.