Masjid Shirathal Mustaqim, Pesona Pusaka

advertisement
TEMU ILMIAH IPLBI 2013
Masjid Shirathal Mustaqim, Pesona Pusaka Arsitektur Tropis
di Tepi Sungai Mahakam
Anna Rulia
Sejarah dan Teori Arsitektur/Kota, Program Studi Arsitektur, Politeknik Negeri Samarinda
Abstrak
Pusaka arsitektur merupakan saksi ‘hidup’ perkembangan sebuah kota. Ia bertutur tentang
peradaban serta manusia-manusia yang melintaskan hidup disekitarnya. Demikian pula dengan
masjid Shirathal Mustaqim yang merupakan cikal bakal berdirinya kota Samarinda. Terletak di
kawasan tepi Sungai Mahakam, masjid ini merupakan cikal bakal berdirinya ibukota Kalimantan
Timur. Meskipun usianya sudah mencapai 122 tahun masjid ini belum banyak dikenal apalagi
menjadi perbincangan di dunia arsitektur. Akibatnya, keberadaannya sebagai pusaka arsitektur mulai
terabaikan. Karena itulah penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran terhadap kondisi
masjid yang terletak di waterfront Mahakam. Penelitian ini sendiri bersifat kualitatif. Data-data
dikumpulkan melalui survery, observasi serta dokumentasi. Data selanjutnya dianalisis dengan
metode deskriptif analitik. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan akan
kekayaan arsitektur pusaka Indonesia, terutama yang terletak pada kawasan muka air atau
waterfront.
Kata-kunci : masjid, kawasan, pusaka arsitektur, waterfront
Pengantar
Kawasan pusaka sejatinya adalah bagian yang
amat penting dalam sebuah kota karena ia
merupakan kekayaan budaya dalam bentukan
yang terukur (tangible). Kota tanpa kawasan
pusaka masa lalu seperti manusia tanpa masa
lalu. Kawasan pusaka yang ada di sebuah kota
merupakan cerminan perjalanan hidup kota
tersebut dari waktu ke waktu. Seiring berjalannya waktu, kota pun terus-menerus berkembang. Menempati lokasi-lokasi baru, membentuk
pusat-pusat aktivitas baru (nodes) dan meninggalkan bagian kota yang tua menjadi terpinggir
dan terlupakan. Padahal, perlindungan pusaka
arsitektur amat penting. Pada prinsipnya, aspek
yang perlu dilindungi sesuai dengan Piagam
Athena 1931 adalah adalah monument historis
yang mempunyai makna signifikan baik sejarah,
ilmu pengetahuan, cultural dan lain-lain (Mulyandari, 2011). Awalnya obyek yang dilindungi
hanya meliputi bangunan namun dikembangkan
lagi dalam Piagam Burma (1994) yakni meliputi
tempat (place) dan aspek cultural. Perlindungan
pusaka arsitektur amat penting bagi masa lalu,
masa kini dan masa depan sebuah kota.
Tercatat sebagai salah satu Negara maritime
terbesar di dunia, amat wajar jika di Indonesia
banyak sekali peninggalan sejarah yang terletak
pada kawasan waterfront. Demikian pula dengan Masjid Shirathal Mustaqim. Berada di
tepian Mahakam, masjid ini merupakan cikal
bakal berdirinya kota Samarinda.
Seiring berjalannya waktu, kawasan ini seperti
tenggelam dalam hiruk pikuk pembangunan di
Kota Tepian. Perkembangan kota selama beberapa dekade berlangsung dengan pesat di sisi
lain kota (terpisah oleh sungai Mahakam) membuat kawasan ini menjadi terlupakan. Pada saat
pusat kota sudah tidak mampu lagi menampung
kelajuan pembangunan, perkembangan mengarah ke sisi Samarinda Seberang di mana terdapat masjid Shirathal Mustaqim menjadikan
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | D - 1
Masjid Shirathal Mustaqim, Pesona Pusaka Arsitektur Tropis di Tepi Sungai Mahakam
kekhawatiran akan keberlangsungan kehidupan
kawasan pusaka ini.
Pelestarian Pusaka Arsitektur di Indonesia
Indonesia terkenal sebagai Negara yang kaya
akan budaya. Dengan lebih dari 17.000 pulau
serta lebih dari 300 bahasa, kekayaan budaya
Indonesia tersebar sampai ke pelosok nusantara. Pelestarian pusaka arsitektur sebenarnya
bukan merupakan hal baru. Hal ini dapat dilihat
dengan ditetapkannya UU nomor 11 tahun 2010
tentang Cagar Budaya. Merujuk pada UU tersebut maka pusaka arsitektur dapat dikategorikan
sebagai bangunan dan kawasan cagar budaya
baik terletak di darat maupun di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memliki nilai
penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan atau kebudayaan. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa untuk meningkatkan
potensi nilai, informasi dan promosi dapat
dikembangkan melalui berbagai langkah, salah
satunya adalah penelitian. Karena itu, penulis
mengangkat isu ini dengan tujuan untuk menyampaikan informasi tentang keberadaan pusaka arsitektur yakni Masjid Shirathal mustaqim
yang terletak di tepi Sungai Mahakam Samarinda. Hal ini amat penting untuk mengingatkan
semua pihak berkaitan dengan penyelamatan
asset-aset arsitektur pusaka yang terletak pada
kawasan muka air (waterfront) yang merupakan
tantangan besar bagi Negara maritime seperti
Indonesia.
Metode
Metode pengumpulan data yang digunakan,
adalah survei, observasi, dokumentasi serta studi literatur. Dua metode pertama dilakukan untuk pendataan aspek-aspek arsitektural Masjid
Shirathal Mustaqim. Metode dokumentasi dilakukan untuk perekaman data baik berupa foto
maupun pengambaran dengan computer. Ketiga
metode tersebut dilakukan untuk memberikan
deskripsi yang lengkap tentang obyek penelitian.
Data yang kedua dilakukan untuk mendapatkan
literatur yang berkaitan dengan sejarah kawasan serta kajian tentang pusaka arsitektur. Selanjutnya, untuk analisis data, metode yang
digunakan adalah deskriptif analitik sesuai
D - 2 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
dengan tujuan penelitian. Deskripsi ditampilkan
melalui hasil pengumpulan data untuk kemudian
dianalisis menjadi hasil penelitian. Diharapkan
ulasan mengenai pusaka arsitektur ini akan
tersampai dengan baik.
Sejarah Masjid Shirathal Mustaqim dan
Kota Samarinda
Berdasarkan dari hasil studi literature diketahui
sejarah bangunan ini dimulai pada tahun 1880,
ketika Said Abdurachman bin Assegaf dengan
gelar Pangeran Bendahara, seorang pedagang
muslim dari Pontianak, datang ke Kesultanan
Kutai. Ia memilih kawasan Samarinda Seberang
sebagai tempat tinggalnya dan ditanggapi oleh
Sultan Kutai saat itu, Aji Muhammad Sulaiman
setelah melihat ketekunan dan ketaatan Said
Abdurachman dalam menjalankan syariat Islam
menjalankan syariat Islam. Selanjutnya pada
tahun 1881 keempat soko guru mulai didirikan.
Meliputi luas bangunan sekitar 625 m² dan
lahan seluas 2.028 meter persegi, pembangunan
masjid memakan waktu sekitar sepuluh tahun.
Lokasi dari Masjid ini berada di Samarinda
Seberang tepatnya berada di pertigaan antara
Jalan Pangeran Bendahara dan Jalan Penguhulu.
Bagian muka masjid adalah tepian Sungai
Mahakam yang membelah kota Samarinda.
Sungai ini merupakan bagian yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan masyarakat hingga
saat ini. Masjid sendiri sampai tahun 1972
merupakan tempat ibadah utama bagi umat
Islam di Samarinda. Seiring dengan perkembangan waktu, jumlah masjid di Samarinda pun
semakin meningkat dengan gaya yang makin
beragam, tidak bisa dipungkiri membuat masjid
pusaka ini semakin terpinggirkan.
Gambar 1. Lokasi masjid Shirathal Mustaqim
Anna Rulia
Bangunan-bangunan Pada Kawasan
Masjid ini merupakan sebuah kompleks yang
terdiri dari bangunan utama dilengkapi oleh bangunan-bangunan pendukung. Bangunan pendukung berfungsi sebagai rumah kaum, tempat
wudhu dan tempat pembelajaran Alquran (TPA).
Seluruh bangunan menggunakan gaya arsitektur
tropis khas Kalimantan dengan konstruksi kayu
dan atap sirap.
Gambar 4. Perspektif masjid
Gambar 2. Situasi masjid
Bangunan Utama
Bangunan utama masjid merupakan bangunan
paling besar yang dapat menampung sekitar
660 jamaah. Bangunan ini merupakan bangunan
asli yang sampai saat ini masih berdiri. Luasan
bangunan utama adalah 17m x 17m. Dengan
pelebaran pada sisi teras maka luasan bangunan
menjadi 20m x 20m. tinggi bangunan sekitar
19m. Pada bagian tengah terdapat 4 kolom
utama yang berdimensi 50x50 dan kolom-kolom
pendukung yang berukuran lebih kecil.
Seluruh dari bangunan ini menggunakan material kayu dan didalam bangunan masjid ini terdapat 1 buah mimbar dan lemari brankas yang
terletak didepan tempat imam.
Gambar 3. Tampak depan
Gambar 5. Denah
Tempat Wudhu
Terletak di sisi belakang masjid, bangunan
tempat bersuci ini memiliki ruang terpisah bagi
laki-laki dan perempuan. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang memilki luas
5m x 8m. Selain tempat wudhu juga terdapat
toilet di dalamnya.
Gambar 6. Tempat wudhu
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 |D - 3
Masjid Shirathal Mustaqim, Pesona Pusaka Arsitektur Tropis di Tepi Sungai Mahakam
Rumah Kaum
Bangunan ini berfungsi sebagai rumah tinggal
bagi kaum yang merawat masjid ataupun yang
telah berjasa pad masjid tersebut. Bangunan ini
telatak dibelakang masjid dan berada disebelah
tempat wudhu. Memiliki tiga bagian rumah
untuk 3 kepala keluarga.
masjid. Dan disebelahnya digunakan untuk
menaruh keranda jenazah. Bangunan ini terletak
disebelah kanan bangunan sekretariat
Gambar 8. Pendopo
Gambar 7. Rumah kaum
Sekretariat
Bangunan TPA
Bangunan sekretariat masjid ini berfungsi sebagai kesekretariatan Masjid. Selain itu
bangunan ini berfungsi untuk menampung kegiatan IRMA serta ruang di sebelah kanan
berfungsi untuk menampung barang-barang peninggalan dari masjid sejak awal di bangun.
Bangunan ini terletak disebelah tempat wudhu
di mana di sore hari anak-anak ramai untuk
pergi mengaji. Dulu bangunan ini sempat menjadi pusat ajaran islam di Samarinda sangatlah
ramai anak-anak mengaji. Tetapi sejalan beriringnya waktu semakin banyak masjid dan TPA
yang dibangun maka TPA di Masjid ini mulai
berkurang dan menjadi sepi.
Gambar 9. Sekretariat
Menara
Gambar 8. Bangunan TPA
Pendopo
Di bagian lain dari wilayah masjid ini terdapat
sebuah bangunan pendopo yang berfungsi menampung kegiatan-kegiatan yang ada pada
D - 4 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
Sama seperti bangunan utama (masjid), menara
ini juga merupakan bangunan asli yang masih
berdiri. Menara ini dibangun atas bantuan
seorang 1901 Henry Dasen, seorang saudagar
kaya berkebangsaan Belanda pada tahun 1901.
Ia memberikan sejumlah hartanya untuk pembangunan menara masjid berbentuk segi delapan
yang mengecil pada bagian ujungnya, setinggi
21 meter. Angka 21 sendiri tidak mengandung
arti khusus namun ketinggian tersebut berhasil
membuat vocal point pada kawasan. Ketinggian
Anna Rulia
ini juga berguna agar suara muazin pada jaman
dahulu bisa terdengar dari wilayah yang jauh.
Menara itu berdiri tepat di samping masjid.
Menurut cerita penduduk pendirian menara tersebut dilakukan karena saudagar ini menikah
dengan seorang wanita setempat. Hingga kini
menara tersebut tetap berdiri dan menjadi vocal
point pada kawasan.
Gambar 10. Menara Masjid
Tipologi Arsitektur
Bentukan masjid Shirathal Mustaqim dapat dilihat sebagai cerminan local wisdom masyarakat
Samarinda dahulu. Local wisdom sendiri dapat
dipahami sebagai gagasan setempat (local)
yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang diikuti oleh anggota masyrakatnya
(Sartini, 2004). Lokal wisdom tersebut mewujud
dalam bentukan arsitektur yang selaras dengan
lingkungan di mana ia berada. Menurut para
penjaga masjid gaya dari menara ini masih
mengadopsi gaya arsitektur Yaman yang digabung dengan Cina. Tetapi jika dilihat menara ini
masih menggunakan ukiran Kutai yang terletak
pada lisplang dan pagar menara. Sementara itu,
bentukan arsitektur masjid memiliki beberapa
kemiripan dengan masjid-masjid kuno yang ada
di Kalimantan seperti Masjid Jami Sultan Syarif
Abdurrahman di Pontianak serta Masjid Jami Aji
Amir Hasanuddin di Tenggarong.
Secara keseluruhan bangunan memiliki gaya
arsitektur tropis khas Kalimantan. Hal ini dapat
dilihat dari material kayu yang digunakan se-
bagai material utama bangunan baik pada bangunan utama maupun bangunan pendukung.
Hal ini dapat dimaklumi karena melimpahnya
hasil hutan Kalimantan pada waktu dulu. Kayu
digunakan mulai dari system pondasi, dinding,
kolom, balok, rangka atap, kusen, serta pagar
bangunan. Menara setinggi 21 meter pun
terbuat sepenuhnya dari konstruksi kayu. Kayu
yang digunakan adalah kayu ulin atau dikenal
juga dengan kayu besi yang merupakan kayu
kelas 1 khas Kalimantan.
Pada bagian fasad bangunan masjid menggunakan pintu kupu-kupu yang sama dengan
jendela yang digunakan, sehingga sirkulasi
udara secara silang dapat berjalan dengan baik
sehingga suhu dalam bangunan ini sangat
nyaman dan sejuk. Pencahayaan secara alami
pun amat optimal sehingga sama sekali tidak
memerlukan lampu di siang hari. Atap bertingkat-tingkat memberi kesan monumental serta
memberikan penghawaan yang baik bagi bangunan masjid. Pada tingkat pertama dan kedua
atap berbentuk limas segi empat dan pada
tingkat ketiga berbentuk prisma segi empat.
Warna-warna yang digunakan dalam masjid ini
antara lain hijau, kuning, hitam pudar pada
fasad sementara pada interior warna-warna
tersebut tetap hadir dengan ditambah dominasi
warna putih pada permukaan dinding. Warna
kuning dianggap melambangkan kemuliaan.
Warna ini juga banyak digunakan pada artefakartefak kesultanan Kutai, Dayak serta Banjar.
Kuning juga diambil sebagai analogi dari warna
Sungai Mahakam yang berkilauan ditimpa sinar
matahari. Warna hijau digunakan karena dianggap sebagai warna kenabian. Warna hijau juga
merupakan representasi dari alam Kalimantan
yang kaya akan hutan hujan tropis. Warna
hitam pudar merupakan warna alami dari kayu
ulin. Sementara putih merupakan symbol kesucian. Penggunaan warna ini juga member kesan
luas dan bersih pada interior bangunan.
Setiap tingkatnya diberi jendela yang berguna
untuk ventilasi dan penerangan. Setiap tingkatan atap mesjid ini diperindah dengan lisplang
(cornice) yang berbentuk seperti renda berbentuk setengah lingkaran. Penggunaan lisplang
memang umum pada rumah-rumah tradisional
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 |D - 5
Masjid Shirathal Mustaqim, Pesona Pusaka Arsitektur Tropis di Tepi Sungai Mahakam
di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Desain lisplang memang sederhana karena sesuai dengan ajaran di mana tidak menggunakan
bentukan-bentukan yang menyerupai manusia
ataupun binatang (Sjahbandi, 1996). Atap
mesjid ini memakai bahan sirap sementara kayu
ulin digunakan pada dinding dibagian tingkat
atap mesjid ini. Warna khas dari atap didapat
dari warna alami sirap yaitu hitam pudar. Warna
hijau digunakan pada lisplang sementara pada
dinding. Pada atap tingkat ke-3 terdapat ukiran
pada ujungnya. Atap siring pernah direnovasi
total karena faktor usia. Hal ini wajar mengingat
sirap merupakan lembaran ulin setebal 3 mm
sampai 5 mm yang rentan retakan jika lama
digunakan. Atap jenis ini saat ini termasuk material yang jarang digunakan. Selain mahal
seiring menipisnya persediaan kayu, juga rentan
jika terjadi kebakaran. Hal ini dapat dilihat
sebagai suatu keuntungan dalam arti kekhasan
material yang digunakan yang membuatnya berbeda dari bangunan-bangunan disekitarnya
yang kebanyakan menggunakan material genteng dan seng. Di samping itu keuntungan dari
atap sirap adalah memberi kesejukan bagi
ruangan di bawahnya.
Kompleks bangunan masjid ini ditetapkan sebagai cagar budaya di masa pemerintahan
walikota Achmad Amins. Namun sayangnya hal
ini tidak dibarengi dengan rencana tata bangunan dan lingkungan yang mendukung posisi
kawasan tersebut sebagai penanda kota lama
Samarinda. Posisinya yang jauh dari pusat perkembangan kota saat ini membuatnya terpinggirkan. Apalagi semenjak berdirinya kompleks Islamic Center Samarinda yang juga
berdiri di tepi Sungai Mahakam di sisi yang
berbeda serta seolah menjadi magnet baru bagi
penanda kota Samarinda.
Gambar 11. Perspektif kawasan masjid
D - 6 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat dilihat Kompleks Masjid
Shirathal Mustaqim sebagai pusaka arsitektur
yang terletak di tepian sungai Mahakam. Dengan gaya arsitektur tropis yang mengadaptasi
iklim Kalimantan dengan baik, Masjid Shirathal
Mustaqim merupakan pusaka arsitektur yang
mempesona di tepian Mahakam. Namun sayingnya, bentuknya yang khas serta adaptif terhadap iklim tropis tidak menjadi rujukan bagi
masjid-masjid baru yang ada di kota Samarinda.
Selain itu, juga disadari masih banyak lagi kekayaan arsitektur pusaka yang terdapat di
tepian Sungai Mahakam. Diharapkan penelitian
ini bisa membuka wawasan untuk penelitian
selanjutnya berkaitan dengan pelestarian pusaka arsitektur yang berada pada kawasan
waterfront baik di Kalimantan Timur maupun di
seluruh Indonesia.
Daftar Pustaka
Mulyandari, Hestin. (2011). Pengantar Arsitektur Kota.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Sartini, (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara:
Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat Jilid 37 Nomor
2.
Sjahbandi, H. (1996). Wujud Arti dan Fungsi Puncak-
puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan
Timur. Samarinda: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2010 Tentang
Perlindungan Cagar Budaya
Download