Berdasarkan pemetaan terhadap bentuk bangunan peninggalan tersebut di atas, sedikitnya dapat diketahui bahwa pola dasar bentuk segitiga telah dipergunakan secara berkesinambungan, yaitu dari sejak masa pra sejarah , masa Hindu , masa Islam, bahkan hingga masa sekarang. Dari temuan tersebut akan dijadikan titik tolak untuk membahas awal mula perwujudan bangunan masjid di Indonesia. dalam kaitannya dengan kerangka pembahasan berdasarkan teori arsitektur, maka bangunan peninggalan sejarah tersebut dapat di analisa berdasarkan teori yang berlaku umum dalam sejarah peradaban masyarakat di berbagai wilayah di dunia. Bila ditinjau secara arsitektural, konsep perwujudan bangunan masjid awal di Indonesia, memiliki persamaan prinsip dan unsur-unsur dengan yang terdapat pada bangunan masa pra Islam. seperti persamaan pada prinsip penentuan proporsi atau perbandingan struktur bangunan yang konsepnya dilandasi oleh tradisi lokal . diantaranya dalam cara penataan ruang di dasarkan pada tradisi yang mempercayai adanya susunan jagat raya (kosmik), yaitu dunia bawah - dunia tengah dan dunia atas , dalam -paling dalam dan terdalam , atau suci - paling suci dan tersuci. Dalam kaitannya dengan penataan ruang pada denah bangunan masjid, konsep prinsip bangunan yang dilandasi tradisi tersebut, memiliki keselarasan dengan tradisi Islam . sebagaimana ruang pada bangunan masjid, di susun berdasarkan pembagian seperti : serambi (areal shalat umum) dianggap suci, lalu ruang tengah (areal shalat umum) dianggap paling suci dan ruang terdalam yaitu mihrab (areal khusus) dianggap ruang tersuci. Ruang mihrab secara khusus berfungsi untuk aktivitas ritual bagi pemimpin shalat (Imam) dan penceramah agama (khatib). Persamaan prinsip lainnya yaitu bercirikan bentuk atap tumpang yang mempergunakan pola dasar segitiga . Bentuk atap tumpang pada bangunan masjid merupakan kelanjutan dari bentuk yang terdapat pada bangunan masa pra Islam, seperti atap bangunan meru (kuil Hindu). Jumlah susunan atap tumpang biasanya di dasarkan pada bilangan ganjil (gasal), seperti : 3, 5, 61 7 dan sembilan. Susunan atap bangunan masjid awal di Indonesia umumnya berjumlah 3 susun. Mengenai pemilihan angka ganjil untuk jumlah susunan atap seperti pads bangunan meru (masa Hindu), dalam penerapannya pada bangunan masjid tidak bertentangan dan bahkan memperoleh keselarasan dengan prinsip ajaran Islam. Bilangan ganjil banyak ditemukan dalam al-Qur'an baik secara tersurat maupun tersirat. Dalam Islam, banyak di ajarkan tentang keyakinan terhadap Kemahatunggalan Tuhan (meng - Esakan Tuhan atau Tauhid), sebagaimana diajarkan dalam "kalimah syahadah" dan juga dalam al-Qur'an yaitu dalam surat al-Ikhlas. Demikian pembahasan singkat tentang hubungan bentuk berdasarkan aspek estetika dan simbolik yang terdapat pads berbagai bangunan peninggalan sejarah, khususnya bangunan masjid awal di Pulau Jawa . Mengenai pembahasan secara lebih terperinci akan dilakukan pada bab selanjutnya. Bertolak dari kajian singkat di atas peneliti akan mencoba menyusun bagan bangunan masjid berdasarkan kerangka teori seni bangunan. Gambar 15. Bagan Masjid masa awal Islam di Indonesia. 62