Review Bagian II buku Toward a Political Economy of Culture KAPITALISME, KOMUNIKASI DAN RUANG PUBLIK Oleh Yoseph Andreas Gual Ketegangan antara kapitalisme, komunikasi dan ruang publik merupakan pikiran utama dari bagian kedua buku Toward a Political Economy of Culture yang diedit oleh Andrew Calabrese dan Colin Spark. Empat bab dalam bagian ini mencoba menggali historitas konseptual dari masing-masing point dan mencoba mengaitkan point-point tersebut. Secara umum, bagian kedua dari bunga rampai ini terpilah dalam dua kategori. Tulisan pertama dan kedua merupakan hal-hal konseptual sedangkan bagian ketiga dan keempat merupakan implementasi konsep dalam realitas masyarakat. Dengan pola penyusunan tulisan semacam ini membantu pembaca memahami maksud besar dari tulisan yang disajikan. Di Amerika Serikat konsep kebebasan berdagang dan kebebasan berpendapat (pers) masih menjadi perdebatan. Ada kelompok yang berpendapat bahwa keduanya harus disamakan namun ada yang berpandangan demokrasi, kapitalisme dan tanggung jawab kapitalisme media kepada masyarakat perlu dibedakan. Untuk mengetahui akar persoalannya, Jhon Durham Peters dalam The Marketplace of Ideas: A History of the Concept mencoba menggali sejarah lahirnya konsep (metafora) pasar ide yang juga merupakan dasar dari falsafah libertarian. Peters mendalami teks Areopagitica (1644) milik Jhon Milton, On Liberty (1859) milik Jhon Stuart Mill dan pemikiran Oliver Wendell Holmes Jr. Ternyata konsep pasar ide dalam perjalanan waktu mengalami perkembangan. Awalnya pasar ide dimaknai sebagai proses pencaharian kebenaran menggunakan kebebasan. Namun pada tahun 1930-an direproduksi oleh situasi politik Amerika Serikat dengan mencampur aduk cita-cita demokrasi dan situasi pasar yang cenderung privat (pandang bulu). Pada tahun 1940-an, libertarian sipil menggunakan konsep ini sebagai senjata retoris dalam perang dingin dengan komunis, dan pada tahun 1980-an metafora ini menjadi bagian dari perdebatan yang lebih luas tentang politik dan kebijakan media di AS. Konsep ini akhirnya memiliki banyak makna dalam perkembangan selanjutnya.i Tulisan mengenai historitas metafor pasar ide ini menarik secara konseptual terutama berhubungan dengan dua variabel penting yakni kebebasan warga negara dalam mengekspresikan diri dan monopoli ekonomi media yang merupakan implikasi lanjutan dari kebebasan itu sendiri. Kemenarikan konsep yang lahir beberapa abad lalu ini masih menjadi perdebatan sengit dalam tataran teoretis sekaligus implemetasinya. Dalam kesimpulannya, Peters dengan skeptis menyarankan bahwa konsep ini lebih baik dikategorikan sebagai sebuah masalah etis dan bukan masalah politik. Pada titik ini, sebenarnya Peters tidak memiliki keberanian intelektual untuk mengemukakan secara tegas bahwa ketimpangan sosial dalam masyarakat modern sebenarnya diakibatkan oleh kebijakan politis dari penafsiran atas konsep pasar ide ini. Jika konsep ini hanya bergerak dalam tataran etis maka perlawanan terhadap ketimpangan sosial juga hanyalah bersifat voluntir. Artikel kedua, Kapitalisme dan Komunikasi yang ditulis Bernard Miȇge menekankan pendekatan ekonomi politik dalam melihat media dan masyarakat modern yang penekanannya pada gerakan sosial dan alternatif-alternatif gerakan sosial. Sebelum pendekatan ekonomi politik, para ahli lebih menitikberatkan aspek fungsional, cybernetik dan struktur dari hubungan media-masyarakat. Dalam konteks ekonomi politik, menurut Miȇge ada tiga hal yang perlu disingkapi yakni redefinisi akan media, komunikasi harus dilihat dalam konteks kekinian yakni kapitalisme dan mengembangkan sebuah kritik atas masyarakat informasi. Sekarang, media merupakan bagian dari kehidupan sosial dan memberi efek bagi kehidupan sosial dengan semua aktivitas kesosialannya. Hal ini disebabkan oleh konvergensi media. Karena itu, ilmu sosial secara umum harus dipelajari sebagai basis kita dalam menganalisis media. Sementara untuk memahami hubungan komunikasi-informasi dengan kapitalisme, Miȇge mengemukakan tiga hal mendasar. (1) Komunikasi-informasi sekarang berorientasi pada pasar dan industrialisasi. (2) Aktivitas komunikasi sedang berkembang menjadi internasionlisasi, aktivitas yang sulit dipahami. Industri komunikasi mengambil bagian dalam kampanye yang paling dinamis dan agresif di dunia. (3) Ada penyebaran ideologi baru yakni globalisasi. Ideologi ini penting untuk mengimplisitkan transformasi produksi kapitalis. Sementara untuk kritik masyarakat informasi, Miȇge mengemukakan masyarakat telah terdeterminasi oleh teknologi komunikasi-informasi karena itu untuk memahaminya kita harus memanfaatkan riset ekonomi, sosiologi, komunikasi dan simbolik. Saya sepaham dengan Miȇge, bahwa perkembangan teknologi komunikasi membawa dampak luar biasa bagi semua aspek kehidupan masyarakat. Karena itu, tinjauan terhadap fenomena komunikasi seharusnya didekati dengan berbagai disiplin ilmu. Dengan pendekatan lintasdisplin ini, penjelasan tentang fenomena komunikasi menjadi lebih luas, mendalam dan menyeluruh yang pada gilirannya dapat memberikan subangsih pendekatan baru dalam mengintervensi kehidupan sosial ke arah yang lebih baik. Tatsuro Hanada dalam Kugai: The Lost Public Sphere in Japanese History mencoba menggunakan konsep “Space” Hendri Lefebvre untuk menjelaskan konstruksi ruang publik dan pengaruhnya bagi masyarakat. Hanada menggunakan konsep ini untuk menggambarkan ruang publik (Kugai) khas Jepang yang sudah ada sejak abad pertengahan. Kemudian, Hanada mencoba mendudukannya dengan konsep ruang publik yang dikenal di Eropa. Kugai sebenarnya diciptakan oleh para musafir, biksu-rahib, para penghibur yang berkelana dan bukan oleh masyarakat petani. Kugai adalah ruang-ruang di mana orangorang bisa berkumpul misalnya, jembatan, jalan, pasar, biara, hutan, gunung, sungai dan pantai. Karena itu, berdirinya Kugai tidak pernah dikonsepkan dan dilembagakan. Kehadiran para pengelana ini membentuk ruang-ruang (Kugai) yang pada gilirannya menjadi kota. Kugai diikat oleh konsep relasi (muen) yakni adat istiadat, prinsip-prinsip legalitas, kekuatan sosial dan regulasi kekuasaan. Hal ini berbeda dengan konsep ruang publik yang ada di Eropa yang merupakan hasil konsep pemikiran sosial dan terlembagakan. Karena merupakan hasil pemikiran maka ruang publik diciptakan oleh realitas masyarakat kota. Ada hal menarik dari tulisan Hanada tentang konsep ruang publik ini. Ruang publik ada di setiap budaya dan bukan hanya pada masyarakat Eropa. Namun sayangnya, dalam literatur-literatur ilmiah konsep ini cenderung didominasi oleh pemikiran Eropa. Akibatnya, secara tidak sadar ilmu pengetahuan diasumsikan berasal dari barat dan jika ada dari masyarat lokal, kelasnya masih di bawah. Dalam konteks realitas, tulisan Hanada ini menyadarkan pembaca bahwa masyarakat lokal memiliki kearifan lokal sendiri mengenai konsep ruang publik. Namun sayang, konsep ini mulai menghilang karena tidak/kurang diperhatikan. Karena itu, butuh pendekatan ilmiah, sosial budaya dan kebijakan untuk menghidupkan kembali tradisi ini. Saya yakin bahwa konsep ruang publik ini memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat lokal. Di balik perdebatan sengit mengenai dominasi dan hegemoni AS sehubungan dengan pelaksanaan dan penegakan HAM, Artikel Robert Horwitz, Truth Commissions, National Building, and Internasional Human Right menandaskan bahwa media, terutama media visual berperan memberikan informasi tentang hak asasi manusia di negara-negara dunia ketiga yang memiliki kedaulatan dan pandangan kulturalnya sendiri tentang manusia. Media dalam tataran ini berperan sebagai jembatan psikologis antara mereka yang tertindas HAM-nya dengan mereka yang bersimpati. Saya berpikir bahwa pemikiran semacam ini cenderung menyesatkan. Masyarakat barat selalu mendefinisikan masyarakat dunia ketiga menurut standar dan cara pandang mereka sendiri. Mereka enggan melihat masyarakat dunia ketiga dalam konteks dan kompleksitasnya. Hal serupa juga terjadi dalam media. Media barat membingkai masyarakat dunia ketiga dengan kaca mata mereka akibatnya masyarakat dunia ketiga selalu negatif di mata barat. Pemberontakan masyarakat dunia ketiga terhadap cara pandang media barat ini yang memunculkan konsep pers pembangunan. Bagi saya, media barat juga harus belajar dari masyarakat negara berkembang agar laporan mereka memang merupakan representasi dari keinginan dan kebutuhan masyarakat negara berkembang. i Dwayne Winseck, Carleton University. www.rowmanlittlefield.com diunduh 15 Oktober 2011.