Sosiologi dan Krisis Keuangan Global

advertisement
Sosiologi dan Krisis Keuangan Global
Kamis, 2 April 2009 | 03:09 WIB
September 2008 dunia mulai menyadari krisis keuangan global sedang menghantam pertahanan budaya,
ekonomi, dan sosial segenap lapisan masyarakat. Seperti biasa, politisi dan ekonom di Barat optimistis
menanggapi krisis ini: ekonomi dunia akan pulih kembali akhir 2008 atau pada 2009.
Akhir Maret lalu Academia Sinica, pusat ilmu pengetahuan prestisius Taiwan, menyelenggarakan
konferensi sosiologi sedunia. Diselenggarakan di Taipei, konferensi yang dihadiri sosiolog dari 50 negara
ini menampilkan dua pembicara utama: Michel Wieviorka, sosiolog Perancis sekaligus Presiden Asosiasi
Sosiologi Internasional, dan Michael Burawoy, mantan Presiden Asosiasi Sosiologi Amerika.
Burawoy dikenal sebagai pencetus gagasan sosiologi publik, gagasan yang kini menjadi perdebatan
sosiolog di seluruh dunia. Wieviorka memaparkan pemikirannya mengenai krisis keuangan global dan
menawarkan jalan keluar yang berbeda dibandingkan dengan politisi dan ekonom.
Kerusakan sistem
Menurut Wieviorka, krisis ini disebabkan kerusakan sistem kapitalisme dunia yang pada awal milenium ini
telah berkembang ke tingkat superkapitalisme. Sistem ini ditandai oleh dominasi perusahaan keuangan
dalam menggerakkan ekonomi dunia. Bila pada masa lalu perusahaan keuangan berfungsi sebagai
penghubung antara pengusaha dan konsumen, pada masa kini mereka mengontrol hampir semua sektor
ekonomi dunia.
Sistem ini juga ditandai oleh hilangnya hubungan sosial antara pemerintah, pemilik saham, serikat
pekerja, dan masyarakat konsumen. Mekanisme mengatur diri sendiri telah menjadi ”tulang sumsum” di
tubuh superkapitalisme. Mekanisme ini yang, dalam ilmu ekonomi, diyakini dapat meningkatkan efisiensi
dan telah menjelma menjadi binatang buas tak terkendali.
Dalam wawancara dengan BBC, mantan Wakil Presiden Perusahaan Keuangan Enron Sherron Watkins
mengungkapkan kebengisan perusahaan keuangan di Amerika Serikat. Katanya, tidak sedikit
perusahaan keuangan memanipulasi laporan keuangan. Berkolusi dengan lembaga pengawas keuangan
dan ditopang oleh pengacara yang tangguh, mereka dapat mengancam siapa saja yang membeberkan
kecurangan mereka ke media.
Krisis keuangan global ini sesungguhnya tidak tiba-tiba muncul. Sebab-sebab terjadinya krisis ini dapat
ditelusuri jauh ke belakang. Pada pertengahan dasawarsa 1970-an dunia menyaksikan redupnya
kapitalisme kesejahteraan. Paradigma ini pelan, tetapi pasti diganti dengan paradigma kapitalisme
pemegang saham.
Dalam kurun waktu itu, dunia Barat, terutama AS, menyaksikan redupnya serikat buruh, peralihan
interaksi antarkelompok ke tangan para penjamin berlapis- lapis, dan sistem yang memungkinkan
gerakan modal global yang amat lentur. Kapitalisme pemegang saham tumbuh dan mendominasi
kehidupan ekonomi tanpa menghadapi perlawanan kelompok mana pun di AS.
Krisis global ini tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosiologi dan ilmu sosial di seluruh dunia. Pada era
kapitalisme pemegang saham, kita menyaksikan dominasi sosiologi Amerika di seluruh penjuru dunia.
Jenis sosiologi ini, sungguhpun tidak semua, telah lama meninggalkan pemikiran sosiologi klasik yang
telah mengilhami pemimpin politik di Barat membangun kapitalisme berwajah kemanusiaan.
Burawoy menawarkan perlunya mengembangkan sosiologi alternatif sebagai jalan keluar menghadapi
dominasi tersebut. Dengan kemunculan sosiologi alternatif ini, sosiologi di tingkat global menjadi bersifat
multipolar. Sosiolog dari luar Amerika dan Eropa perlu mengontekstualkan konsep dan teori Barat
dengan mengkritik, memperbaiki, dan memperkaya ilmu sosial Barat, dan bukan sebaliknya: menelan
mentah-mentah.
Ada dua pelajaran berharga yang dapat dipetik dari konferensi ini. Pertama, sungguhpun kapitalisme
pemegang saham belum mendominasi ekonomi Indonesia, kecenderungan berkembangnya jenis
kapitalisme ini— terutama di sektor properti, pertambangan, dan konsumsi—sudah terasa sejak 10 tahun
lalu. Sosiolog Indonesia perlu mempelajari akibat sosial, ekonomi, dan politik yang dipikul masyarakat
bila perusahaan-perusahaan di sektor tersebut dimiliki oleh pemilik saham yang berdomisili di
mancanegara.
Kedua, selama 10 tahun terakhir, Indonesia dibanjiri pelbagai macam konsep dari Barat, seperti
privatisasi dan good governance. Sosiolog Indonesia perlu mengontekstualkan konsep tersebut untuk
situasi Indonesia. Dengan cara semacam ini, Indonesia tak lagi perlu mematuhi begitu saja saran
lembaga keuangan multilateral dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan publik.
Download