Artikel Telaahan Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Policy Strategy of Tackling Poverty in Indonesia Abu Huraerah Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung Abstrak Sebagai suatu masalah yang berdimensi luas, kemiskinan harus dipandang sebagai masalah kompleks atau multi dimensi. Oleh karena itu, pemecahan masalah kemiskinan harus dilakukan melalui pendekatan multi dimensi. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah kemiskinan dituntut memiliki komitmen yang kuat, dan pelaksanaan komitmen tersebut perlu menerapkan strategi yang didukung pendekatan multi disiplin. Kecenderungan pemerintah yang hanya memandang kemiskinan sebagai masalah ekonomi semata adalah menjadi salah satu penyebab kegagalan penanganan masalah kemiskinan. Bagaimanapun juga pemecahan masalah kemiskinan bukan sekadar pemberian bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Masyarakat harus dipandang lebih sebagai subyek daripada obyek, dan mereka harus diberi kesempatan mewarnai kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan. Pemerintah tidak boleh mendominasi perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya sebagai fasilitator, sehingga strategi dan pendekatan penanggulangan kemiskinan benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Kata kunci: kemiskinan, fasilitator, strategi, penanggulangan. Abstract Poverty is a complex problem , because it has wide dimension. So, the problem solving poverty need to be done through multi approach dimension. Government as party that most take responsibility in poverty problem tackling peosecuted own commitment that is strong, and implementation commitment need to apply strategy that supported by multi approach discipline. Tendency government that only look poverty as economic problem it is become one of problem handling failure cause poverty. However problem solving poverty not just subsidization in framework meet poor need community. Community should be viewed more as subyek of object, and they should granted by chance tint policy and poverty tackling strategy. Government cannot dominate planning, implementation until poverty tackling evaluation, but only as facilitator, until strategy and really appropriate poverty tackling approach with condition and need community. Keywords: poverty, facilitator, strategy, poverty tackling. Pendahuluan Kemiskinan merupakan konsep berdimensi ganda (multidimensional), yang yaitu dimensi ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat 3 Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013 digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks adalah dalam arti luas, tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2.100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan jumlah pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut. Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri si miskin, yang secara 4 langsung maupun tidak langsung mempengaruhi akses si miskin terhadap sumber daya yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraannya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul dari dalam diri si miskin (faktor internal), sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal, yang datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan antara lain adalah birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin untuk dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional itu kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya. Komitmen Pemerintah Pemerintah sebagai pelaksana amanat kedaulatan rakyat tentu memiliki tanggung jawab dalam mensejahterakan masyarakat. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari prinsip negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana ditegaskan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Salah satu implementasinya adalah tanggung jawab Pemerintah dalam mengatasi kemiskinan. Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut Pemerintah telah merumuskan, menetapkan dan mengimplementasikan berbagai program. Misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No. 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Penanggulangan Kemiskinan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan masalah kemiskinan secara berkelanjutan di desadesa miskin. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensional, juga telah diluncurkan program pengentasan kemiskinan, yaitu Program Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Belum lagi di sejumlah provinsi, sebagai daerah otonom, masing-masing juga menetapkan dan mengimplementasikan program pengentasan kemiskinan. Pemda DKI Jakarta misalnya, mengeluarkan program khusus dalam menggalang potensi masyarakat untuk menangani masalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui Instruksi Gubernur mengenai pembentukan “Kelompok Kerja Kesejahteraan Sosial Usaha Masyarakat (Pokja Kesuma)” di tingkat kelurahan. Kemudian pada tahun 2002 yang lalu, Pemda DKI Jakarta mengeluarkan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK), yaitu program pemberdayaan masyarakat yang secara khusus menyediakan bantuan masyarakat dengan pendekatan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Setelah itu, muncul kembali program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), yang kemudian dilanjutkan dengan program penanggulangan kemiskinan yang beberapa tahun terakhir ini digulirkan, yang cukup populer dengan nama PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)-Mandiri. Belum lagi, beraneka ragam program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan di setiap departemen/kementerian serta di setiap provinsi maupun kota/kabupaten. Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, namun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap saja tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Perubahan nasib dari kondisi kemiskinan yang mereka alami selama ini kepada kehidupan yang lebih layak, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, pasti ada yang salah dalam strategi kebijakan kemiskinan tersebut. penanggulangan Kesalahan Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan memperlihatkan dengan jelas beberapa kekeliruan, antara lain : Pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi dari pada aspek multidimensional. Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Fenomena kemiskinan sangat beraneka ragam, tidak hanya meliputi dimensi ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan dimensi budaya dan dimensi struktural atau politik. Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lain-lain. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural akan miskin dalam bidang material (ekonomi). Kedua, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) dibandingkan dengan produktivitas. Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan mampu memunculkan dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk melakukan ikhtiar dan berupaya bagaimana mengatasi kemiskinan yang dihadapinya. Mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Dengan demikian, jangan berharap mereka akan menjadi produktif. Padahal program penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif. Ketiga, lebih memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dari pada subyek. 5 Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013 Masyarakat miskin diposisikan sebagai obyek, yaitu kelompok yang dijadikan sasaran perubahan, bukan sebagai subyek yakni sebagai pelaku perubahan. Jika mereka diperlakukan sebagai obyek, berarti menjadikan mereka sebagai manusia pasif. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. Keempat, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerap kali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Tindakan seperti ini justru mengabaikan potensi (sekecil apapun potensi itu) yang dimiliki masyarakat miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya adalah mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Paradigma baru mengenai identifikasi orang miskin lebih menekankan „apa yang dimiliki orang miskin‟ ketimbang „apa yang tidak dimiliki orang miskin‟. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.1 Penanggulangan Kemiskinan Kurang Efektif Dalam realitasnya menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan belum membawa hasil yang maksimal. Kemiskinan semakin bertambah dan beban rakyat pun semakin berat saja. Sudah saatnya semua elemen bangsa ini ikut proaktif memikirkan solusi atas masalah kemiskinan yang bagaikan penyakit akut, tidak hanya menghujat dan mencari siapa yang salah. Persoalan kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama. Aparat pemerintah mulai dari pengambil kebijakan hingga petugas operasional di lapangan, legislatif, media massa, serta komponen masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diidentifikasikan beberapa faktor yang menyebabkan strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan itu tidak efektif, selain kesalahan paradigmatik penanggulangan kemiskinan di atas, juga disebabkan antara lain: Pertama, kurangnya koordinasi antar institusi yang terlibat dalam penanganan masalah kemiskinan, adanya ketidakseragaman indikator 6 kemiskinan, tidak validnya data kemiskinan serta masih ditemukannya indikasi KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam penyaluran bantuan program penanggulangan kemiskinan. Kurangnya koordinasi antar institusi yang menangani masalah kemiskinan tersebut menyebabkan pelaksanan program berjalan lambat dan cenderung sendiri-sendiri. Masingmasing institusi melaksanakan programnya sendiri, sehingga efektivitas program penanggulangan kemiskinan tidak tercapai. Sudah saatnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan menciptakan suatu program yang terintegrasi dan saling bersinergi dalam menangani masalah kemiskinan. Kedua, pangkalan data jumlah penduduk miskin masih lemah. Pangkalan data yang berfungsi sebagai data dasar bagi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan belum mampu menyediakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor, seperti: 1) Perbedaan indikator kemiskinan dari masing-masing sektor atau departemen atau kementerian yang mengeluarkan data kemiskinan menimbulkan banyaknya versi data kemiskinan. Hal ini menyebabkan kekacauan pelaksanaan program-program penggulangan kemiskinan. 2) Adanya sikap ego sektoral di kalangan institusi pengelola data, yang senantiasa menganggap data yang mereka hasilkan sebagai data yang paling akurat dan benar. Menyebabkan tidak adanya proses pemeriksaan silang terhadap data lintas sektoral. 3) Masyarakat tidak dilibatkan secara aktif, terutama masyarakat miskin, pada setiap proses pendataan, mulai dari penentuan indikator sampai pada penetapan siapa yang tergolong miskin. Ketiga, tidak adanya sinergisme program penanggulangan kemiskinan yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan sebagai akibat dari masih adanya ego sektoral dan tumpang tindihnya tugas pokok dan fungsi antar-SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Dalam struktur kewenangan pemerintahan sekarang, ujung tombak penanggulangan kemiskinan adalah pemerintah daerah. Pemerintah pusat lebih berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan guna mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk mewujudkan efektivitas pemerintah daerah dalam penggulangan kemiskinan dengan dukungan aktif para pemangku kepentingan (stakeholders) diperlukan perbaikan sistem koordinasi melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) daerah. Keempat, program penanggulangan kemiskinan masih diwarnai adanya indikasi KKN dalam penyaluran bantuan untuk keluarga miskin, baik oleh oknum aparat maupun oleh masyarakat sendiri. Hal ini tentu saja menyebabkan program penanggulangan kemiskinan menjadi salah sasaran. Alih-alih mengurangi beban masyarakat miskin, program tersebut justru sering memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Peranan masyarakat, LSM, legislatif, media masa dituntut untuk lebih aktif dalam hal pengawasan pelaksanaan program, sehingga kebocoran yang selama ini terjadi bisa dikurangi atau diminimalisir. Strategi Kebijakan yang Seharusnya Diterapkan Pemerintah Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan kemiskinan di atas, maka strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah sebagai berikut: pertama, karena kemiskinan itu adalah masalah yang bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi, melainkan juga memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan nonekonomik. Oleh karena itu, strategi pengentasan kemiskinan hendaknya juga diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lainlain. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis. Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, maka strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking) serta informasi pasar. Ketiga, melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan. Keempat, strategi pemberdayaan. Kelompok agrarian populism yang dipelopori kelompok pakar dan aktivis LSM, menegaskan bahwa masyarakat miskin adalah kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya. Oleh karena itu, jalan keluar yang diusulkan dalam rangka memberantas kemiskinan adalah pemberdayaan (empowerment). Dalam kaitan ini, Ginandjar Kartasasmita menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat setidaktidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik tolak bahwa setiap manusia dan masyarakat memilki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan (3) memberdayakan pula mengandung arti melindungi. Artinya, bahwa dalam proses pemberdayaan, harus dicegah terjadinya proses melemahkan pihak yang sudah lemah.2 Untuk proyeksi ke masa depan sangat dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam mengatasi kemiskinan. Strategi penanggulangan kemiskinan seperti yang dipaparkan di atas, adalah perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam setiap program pengentasan kemiskinan sebagai upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Hal ini perlu dilakukan, agar kita tidak terbiasa “terjebak” dalam bias-bias penanggulangan kemiskinan. Kritik terhadap Implikasi Kebijakan Sikap skeptis berbagai kalangan terhadap implikasi kebijakan didasarkan pada pemahaman Dye dan beberapa pakar yang juga mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mengetahui kebijakan yang dibuat. Menurut 7 Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013 Dye (1981), ada sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam studi evaluasi kebijakan, yang belakangan dideskripsikan sebagai eksperimentasi kebijakan: Pertama, penentuan apa tujuan yang akan dicapai oleh program. Siapa kelompok target dan apa efek yang diharapkan dari implementasi program itu? Pemerintah seringkali menghendaki tujuan yang bertentangan untuk memuaskan berbagai kelompok sekaligus. Ketika tidak ada kesepakatan mengenai tujuan program dan kebijakan, maka studi evaluasi kebijakan akan diperhadapkan pada konflik kepentingan yang besar. Kedua, sejumlah program dan kebijakan lebih memiliki nilai simbolis. Program dan kebijakan tersebut tidak secara aktual mengubah kondisi kelompok target, melainkan semata-mata menjadikan kelompok tersebut merasa bahwa pemerintah “memperhatikan”. Ketiga, agen pemerintah memiliki kepentingan tetap yang kuat dalam “mencoba” apakah program yang diimplementasikan itu membawa dampak positif. Administrator seringkali melakukan percobaan untuk mengevaluasi dampak program yang dibuat bagaikan mencoba membatasi atau merusak programnya atau mempertanyakan kompetensi administrator. Keempat, agen pemerintah biasanya memiliki investasi besar – organisasi, finansial, fisikal, dan psikologikal – pada program dan kebijakan yang sedang dikerjakan. Kelima, sejumlah studi empiris mengenai dampak kebijakan yang dikerjakan oleh agen pemerintah mencakup sejumlah gangguan terhadap kegiatan program yang sedang berjalan. Keenam, evaluasi program memerlukan pembiayaan, fasilitas, waktu, dan pegawai yang mana agen pemerintah tidak ingin berkorban dari program yang sudah berjalan. Studi dampak kebijakan, seperti halnya sejumlah penelitian, membutuhkan dana untuk membiayai. Studi itu tidak dapat dilakukan dengan baik, hanya bagaikan kegiatan ekstrakurikuler atau paruh waktu. Penyiapan sumber daya untuk studi tersebut berarti pengorbanan sumber daya program yang tidak ingin dilakukan oleh administrator. 3 Selain sikap skeptis di atas, administrator pemerintah dan pendukung progam memikirkan berbagai cara untuk 8 memberikan alasan mengapa temuan negatif dampak kebijakan harus ditolak. Begitu pula ketika menghadapi fakta empiris bahwa program yang diunggulkan tidak berguna atau kontra-produktif, pihak tersebut menyatakan : (1) efek program tersebut bersifat jangka panjang dan tidak dapat diukur pada saat sekarang; (2) efek program tersebut menyebar dan bersifat umum, tidak ada keriteria tunggal atau kesesuaian indeks untuk mengukur apa yang dicapai; (3) efek progam tidak jelas dan tidak dapat diidentifikasi dengan ukuran kasar atau statistik; (4) fakta yang ditemukan mengenai tidak adanya perbedaan orang yang penerima pelayanan dan orang yang tidak menerima berarti bahwa progam itu tidak intensif dan mengindikasikan perlunya lebih banyak mengeluarkan sumber daya program tersebut; (5) kegagalan mengidentifikasi sejumlah sejumlah efek positif suatu program dapat menandai ketidaksesuain atau bias dalam peneltian, bukan pada program. Berdasarkan uraian di atas, dapat bahwa sikap skeptis teoritisi dan praktisi seperti itu tidak sepenuhnya dapat diterima, karena realitas yang ditemukan di lapangan justru “berbeda”. Perbedaan dan bukti nyata dapat dipahami berdasarkan dampak kebijakan publik secara teori dan sejumlah praktek berikut ini. Dampak Kebijakan Dampak kebijakan adalah keseluruhan efek yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 1981). Anderson (1984) mengemukakan semua bentuk manfaat dan biaya kebijakan, baik yang langsung maupun yang akan datang, harus diukur dalam bentuk efek simbolis atau efek nyata. Output kebijakan adalah berbagai hal yang dilakukan pemerintah. Kegiatan ini diukur dengan standar tertentu. Angka yang terlihat hanya memberikan sedikit informasi mengenai outcome atau dampak kebijakan publik, karena untuk menentukan outcome kebijakan publik perlu diperhatikan perubahan yang terjadi dalam lingkungan atau sistem politik yang disebabkan oleh aksi politik. Pengetahuan mengenai jumlah dana per kapita yang digunakan untuk siswa dalam sistem persekolahan atau untuk kasus lainnya, tidak dapat memberikan informasi mengenai efek Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan persekolahan terhadap kemampuan kongnitif, afektif, dan psikomotorik siswa. 4 Menurut sebagian pakar (Dye, 1981; Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan, yakni : Pertama, dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok target. Obyek yang dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas. Misalnya masyarakat miskin (berdasarkan keriteria tertentu), para pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah yang termarjinalkan, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran tersebut dijadikan fokus masa analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami bahwa kebijakan kemungkinan membawa konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Faktanya, implikasi atau dampak kebijakan berbagai program penanggulangan kemiskinan (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan lain sebagainya) dengan sasaran orang miskin di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat misalnya melalui upaya program tersebut di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, kemudahan akses masyarakat terhadap akses pendanaan-informasi-pasar-jaringan, kemudahan akses terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat miskin, peningkatan kualitas hidup masyarakat yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial, prasarana da sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan lainnya. Kedua, dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau spillover, karena jumlah sejumlah outcome kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas. Faktanya: dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program telah melibatkan secara langsung dan tidak langsung berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru, penyuluh kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya. Ketiga, dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan datang. Faktanya, dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program seperti di atas, telah menguatkan fondasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif kebijakan tersebut meneguhkan keinginan masyarakat dalam merespon gagasan otonomi daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun 1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004). Keempat, biaya langsung kebijakan, dalam bentuk sumber dana dan dana yang digunakan dalam program. Faktanya, berbagai lembaga donor (nasional dan internasional) telah merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan beberapa kesepakatan dalam program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai pihak seperti World Bank, UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kelima, biaya tidak langsung kebijakan, yang mencakup kehilangan peluang melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam melakukan evaluasi kebijakan publik karena sebagian tidak dapat dikuantifikasi. Faktanya, tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan akan melibatkan berbagai pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya anak dan anggota keluarga dari masyarakat miskin yang dulunya turut membantu kegiatan orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti kesempatan membantu orang tuanya bekerja menjadi hilang atau berkurang. Keenam, tentu saja, juga sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap komunitas. Faktanya, hal ini sesungguhnya dapat 9 Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013 dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya di bidang pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan melalui sikap dan perilaku sehat yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoritis, dampak kebijakan tidak sama dengan output kebijakan. Karena itu menurut Dye (1981), penting untuk tidak mengukur manfaat dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah semata mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah. Garis Besar Aktivitas Kebijakan Sosial Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006): “In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people’s live by providing a range of income support, community services and support programs.”5 Artinya, secara singkat kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Suharto, 2008).6 Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni 10 perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.7 a. Peraturan dan perundang-undangan. Pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan. b. Program pelayanan sosial. Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial (konseling, advokasi, pendampingan). c. Sistem perpajakan. Dikenal sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan asuran sosial (social insurance) adalah dua bentuk jaminan sosial (social security) yang dananya sebagian berasal dari pajak. Kebijakan sosial seringkali melibatkan program-program bantuan yang sulit diraba atau dilihat secara kasat mata (intangible aids). Karenanya, masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum, kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya diberikan bagi kelompok miskin atau rentan, adalah contoh kebijakan sosial. Sebagai sebuah kebijakan publik, keputusan kebijakan sosial berada di tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun, Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan sejalan dengan menguatnya embusan good governance, dalam proses perumusannya kebijakan sosial melibatkan tidak hanya „orang pemerintahan‟ saja. Melainkan pula para „pemain lain‟, mulai dari praktisi hingga akademisi; mulai dari kelompok populis (pegiat Ornop, Orsos) hingga kalangan spesialis (analis kebijakan, think thank). Sementara, komunitas pembuatan kebijakan melingkupi banyak pihak yang melakukan riset atau terlihat dalam advokasi guna mendesakkan perubahan-perubahan kebijakan. Muncullah istilah policy-making community yang menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan melibatkan banyak pihak dan lembaga, selain birokrasi dan departemen-departemen pemerintahan (Suharto, 2009).1 Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan obyek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Peran pekerja sosial dalam menghadapi fenomena perkembangan suatu negara sangat diperlukan dan peran serta aktif pula dalam bekerjasama dengan instansi kepemerintahan yang memang memiliki otoritas dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan. Seperti yang terdapat dalam definisi di atas, kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di suatu negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang sangat dibutuhkan kontribusinya dapat pula berfungsi dengan berperan serta aktif ikut menentukan dan membuat perancangan kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam lingkup lokal melainkan dalam matra global. Pekerja sosial haruslah aktif dalam merespon situasi perubahan dan perkembangan kondisi global, sehingga dapat bersama dengan pemerintah melakukan rancangan yang efektif dalam mensejahterakan masyarakat. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen/kementerian pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto, 2007).8 Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi : I. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undangundang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan, yaitu pemerintah. II. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. III. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial. IV. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya, misalnya: LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lainlain. Kesimpulan ringkas yang dapat kita petik dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial. Dalam hal ini, pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya. Hal ini disebabkan oleh fakta, bahwa masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Dengan demikian, tingkat pelanggaran yang mungkin terjadi dapat diantisipasi. Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing, 11 Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013 kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tidak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas, seperti diungkapkan Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy, from Theory to Practice, yaitu: I. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan; II. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi; III. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan. Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, di antaranya adalah: (1) mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat, (2) menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan Adanya aspek yang tertera di atas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dengan semua perangkatnya, sejatinya memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik. Kemudian, bagaimana nantinya pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disuun dan diterapkan? Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3 (tiga) langkah yang bila hal tersebut berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut antara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of Social Policy, yakni: I. Pemerintah membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh: pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru; II. Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki 12 perhatian terhadap suatu kondisi sosial. Contoh: kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi perdagangan atau mengundang investor dari negara lain. Kemudian, menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain. III. Kebijakan sosial pemerintah yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan terfokus pada salah satu kelompok, tetapi pada kenyataanya justru mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain.9 Kesimpulan 1. Masalah kebijakan sosial adalah suatu permasalahan yang membutuhkan penanganan khusus, terpadu dan dilakukan secara kontinu dan konsekuen. Sebagian besar negara berkembang selalu memerhatikan aspek kebijakan sosial sebagai program andalan yang dapat menjadi perencanaan untuk melakukan kesejahteraan sosial. 2. Terlebih lagi adanya kebijakan sosial tidak mungkin lepas dari pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan lembaga pembuat kebijakan. Peranan yang harus menjadi tanggungjawab berbagai pihak dalam menyusun dan melakukan perencanaan sejatinya dapat dilakukan sebaik mungkin demi tercapainya kesejahteraan sosial. 3. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah. 4. Dalam menyusun, merancang, dan menerapkan suatu kebijakan sosial hendaklah memperhatikan tingkatan aktivitas sebagai berikut: a. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah. b. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. c. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial. d. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya, misalnya: LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain. 5. Pemerintah hendaknya memerhatikan strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kesalahan strategi penanggulangan kemiskinan berakibat pada tidak efektifnya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Daftar Pustaka 1. Suharto, Edi. (2009). Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: LSP Press. 2. Kartasasmita, Ginandjar. (1997). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Sarasehan DPD Golkar Tingkat I Jawa Timur 14 Maret 1997. Surabaya 3. Dye, Thomas R (1981). Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. 4. Anderson, James E (1984). Public Policy Making. Boston: Houghton Miffin. 5. Bessant, Judith, Rob Watts, Dalton, Smith (2006). Talking Policy: How Social Policy in Made. Crows Nest: Allen and Unwin. 6. Suharto, Edi (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfa Beta. 7. Midgley, James, Martin B (2000). Introduction: Social Policy and Social Welfare. London: Catalyst. 8. Suharto, Edi (2007). Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Bandung: Refika Aditama. 9. Spicker, Paul (1998). Social Policy: Themes and Approaches. London: Prentice Hall. 13