Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia

advertisement
Artikel Telaahan
Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
di Indonesia
Policy Strategy of Tackling Poverty in Indonesia
Abu Huraerah
Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pasundan Bandung
Abstrak
Sebagai suatu masalah yang berdimensi luas, kemiskinan harus dipandang sebagai masalah kompleks
atau multi dimensi. Oleh karena itu, pemecahan masalah kemiskinan harus dilakukan melalui pendekatan
multi dimensi. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah
kemiskinan dituntut memiliki komitmen yang kuat, dan pelaksanaan komitmen tersebut perlu
menerapkan strategi yang didukung pendekatan multi disiplin. Kecenderungan pemerintah yang hanya
memandang kemiskinan sebagai masalah ekonomi semata adalah menjadi salah satu penyebab kegagalan
penanganan masalah kemiskinan. Bagaimanapun juga pemecahan masalah kemiskinan bukan sekadar
pemberian bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Masyarakat harus dipandang
lebih sebagai subyek daripada obyek, dan mereka harus diberi kesempatan mewarnai kebijakan dan
strategi penanggulangan kemiskinan. Pemerintah tidak boleh mendominasi perencanaan, pelaksanaan
hingga evaluasi penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya sebagai fasilitator, sehingga strategi dan
pendekatan penanggulangan kemiskinan benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Kata kunci: kemiskinan, fasilitator, strategi, penanggulangan.
Abstract
Poverty is a complex problem , because it has wide dimension. So, the problem solving poverty need to
be done through multi approach dimension. Government as party that most take responsibility in poverty
problem tackling peosecuted own commitment that is strong, and implementation commitment need to
apply strategy that supported by multi approach discipline. Tendency government that only look poverty
as economic problem it is become one of problem handling failure cause poverty. However problem
solving poverty not just subsidization in framework meet poor need community. Community should be
viewed more as subyek of object, and they should granted by chance tint policy and poverty tackling
strategy. Government cannot dominate planning, implementation until poverty tackling evaluation, but
only as facilitator, until strategy and really appropriate poverty tackling approach with condition and need
community.
Keywords: poverty, facilitator, strategy, poverty tackling.
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan konsep
berdimensi ganda (multidimensional),
yang
yaitu
dimensi ekonomi, politik dan sosial-psikologis.
Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan
sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat
3
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
Sumberdaya dalam konteks adalah dalam arti
luas, tidak hanya menyangkut aspek finansial,
melainkan meliputi semua jenis kekayaan
(wealth)
yang
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam
arti luas.
Berdasarkan konsepsi tersebut, maka
kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan
menetapkan persediaan sumberdaya yang
dimiliki melalui penggunaan standar baku yang
dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line).
Cara seperti ini sering disebut dengan metode
pengukuran
kemiskinan
absolut.
Garis
kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2.100
kalori per orang per hari yang disetarakan dengan
jumlah pendapatan tertentu atau pendekatan Bank
Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang
per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan
absolut.
Secara politik, kemiskinan dilihat dari
tingkat akses terhadap kekuasaan (power).
Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup
tatanan sistem politik yang dapat menentukan
kemampuan
sekelompok
orang
dalam
menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada
tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan
akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a)
bagaimana
orang
dapat
memanfaatkan
sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b)
bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam
pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya
yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan.
Kemiskinan
secara
sosial-psikologis
menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur
sosial yang mendukung dalam mendapatkan
kesempatan-kesempatan
peningkatan
produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat
diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan
oleh adanya faktor-faktor penghambat yang
mencegah atau merintangi seseorang dalam
memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada
di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut
secara umum meliputi faktor internal dan
eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri
si miskin itu sendiri, seperti rendahnya
pendidikan atau adanya hambatan budaya.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang
datang dari luar diri si miskin, yang secara
4
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi
akses si miskin terhadap sumber daya yang
diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan
meningkatkan kesejahteraannya.
Teori “kemiskinan budaya” (cultural
poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis,
misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat
muncul dari dalam diri si miskin (faktor internal),
sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan
yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti
malas, mudah menyerah pada nasib, kurang
memiliki etos kerja, dan lain-lain. Sedangkan
faktor eksternal, yang datang dari luar
kemampuan orang yang bersangkutan antara lain
adalah birokrasi atau peraturan-peraturan resmi
yang dapat menghambat seseorang dalam
memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model
ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan
struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan
terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si
misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena
“ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial
dalam
kesempatan-kesempatan
yang
memungkinkan si miskin untuk dapat bekerja.
Konsepsi kemiskinan yang bersifat
multidimensional itu kiranya lebih tepat jika
digunakan sebagai pisau analisis dalam
mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan
kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.
Sebagaimana
akan
dikemukakan
pada
pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini
juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan
sosial yang memfokuskan pada konsep
keberfungsian sosial dan senantiasa melihat
manusia dalam konteks lingkungan dan situasi
sosialnya.
Komitmen Pemerintah
Pemerintah sebagai pelaksana amanat
kedaulatan rakyat tentu memiliki tanggung jawab
dalam mensejahterakan masyarakat. Hal ini
merupakan konsekwensi logis dari prinsip negara
kesejahteraan (welfare state) sebagaimana
ditegaskan dalam Alinea IV Pembukaan UUD
1945. Salah satu implementasinya adalah
tanggung jawab Pemerintah dalam mengatasi
kemiskinan. Dalam upaya mengatasi kemiskinan
tersebut
Pemerintah
telah
merumuskan,
menetapkan dan mengimplementasikan berbagai
program. Misalnya, program Inpres Desa
Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No. 5
Tahun
1993
tentang
Peningkatan
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Penanggulangan Kemiskinan. Program ini
dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan
masalah kemiskinan secara berkelanjutan di desadesa miskin. Pada saat terjadinya krisis ekonomi
yang kemudian berlanjut menjadi krisis
multidimensional, juga telah diluncurkan
program pengentasan kemiskinan, yaitu Program
Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis
Ekonomi
(PDM-DKE)
yang
kemudian
dilanjutkan dengan Program Pengentasan
Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Belum lagi di sejumlah provinsi, sebagai
daerah otonom, masing-masing juga menetapkan
dan mengimplementasikan program pengentasan
kemiskinan. Pemda DKI Jakarta misalnya,
mengeluarkan
program
khusus
dalam
menggalang
potensi
masyarakat
untuk
menangani masalah Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui Instruksi
Gubernur mengenai pembentukan “Kelompok
Kerja Kesejahteraan Sosial Usaha Masyarakat
(Pokja Kesuma)” di tingkat kelurahan. Kemudian
pada tahun 2002 yang lalu, Pemda DKI Jakarta
mengeluarkan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat Kelurahan (PPMK), yaitu program
pemberdayaan masyarakat yang secara khusus
menyediakan bantuan masyarakat dengan
pendekatan Bantuan Langsung Masyarakat
(BLM).
Setelah itu, muncul kembali program
P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan), yang kemudian dilanjutkan dengan
program penanggulangan kemiskinan yang
beberapa tahun terakhir ini digulirkan, yang
cukup populer dengan nama PNPM (Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat)-Mandiri.
Belum lagi,
beraneka
ragam program
penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan di
setiap departemen/kementerian serta di setiap
provinsi maupun kota/kabupaten.
Meskipun masyarakat miskin telah
mendapatkan bantuan program pengentasan
kemiskinan, namun ternyata hasilnya tidak
seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang
telah tersentuh program pengentasan kemiskinan,
tetap saja tidak beranjak dari kondisi
kemiskinannya. Perubahan nasib dari kondisi
kemiskinan yang mereka alami selama ini kepada
kehidupan yang lebih layak, masih jauh dari
kenyataan. Oleh karena itu, pasti ada yang salah
dalam strategi kebijakan
kemiskinan tersebut.
penanggulangan
Kesalahan
Strategi
Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan
Strategi
kebijakan
penanggulangan
kemiskinan yang selama ini diterapkan
memperlihatkan
dengan
jelas
beberapa
kekeliruan, antara lain :
Pertama, masih berorientasi pada aspek
ekonomi dari pada aspek multidimensional.
Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan
dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi
terbukti
mengalami
kegagalan,
karena
pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam
soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan
kemiskinan
yang sebenarnya.
Fenomena
kemiskinan sangat beraneka ragam, tidak hanya
meliputi dimensi ekonomi, tetapi juga berkaitan
dengan dimensi budaya dan dimensi struktural
atau politik. Dalam konteks budaya, orang miskin
diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai
seperti
apatis,
apolitis,
fatalistik,
ketidakberdayaan, dan lain-lain. Sementara
dalam konteks dimensi struktural atau politik,
orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada
hakekatnya karena mengalami kemiskinan
struktural dan politis. Kemiskinan ini terjadi
karena orang miskin tersebut tidak memiliki
sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak
memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki
struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang
menegaskan bahwa orang yang miskin secara
struktural akan miskin dalam bidang material
(ekonomi).
Kedua,
lebih
bernuansa
karitatif
(kemurahan
hati)
dibandingkan
dengan
produktivitas. Strategi kebijakan penanggulangan
kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif,
tidak akan mampu memunculkan dorongan dari
masyarakat miskin sendiri untuk melakukan
ikhtiar dan berupaya bagaimana mengatasi
kemiskinan yang dihadapinya. Mereka akan
selalu menggantungkan diri pada bantuan yang
diberikan pihak lain. Dengan demikian, jangan
berharap mereka akan menjadi produktif. Padahal
program penanggulangan kemiskinan seharusnya
diarahkan supaya mereka menjadi produktif.
Ketiga, lebih memposisikan masyarakat
miskin sebagai obyek dari pada subyek.
5
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Masyarakat miskin diposisikan sebagai obyek,
yaitu kelompok yang dijadikan sasaran
perubahan, bukan sebagai subyek yakni sebagai
pelaku perubahan. Jika mereka diperlakukan
sebagai obyek, berarti menjadikan mereka
sebagai manusia pasif. Seharusnya mereka
dijadikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku
perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas
program penanggulangan kemiskinan.
Keempat, pemerintah masih sebagai
penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan
kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai
penguasa yang kerap kali turut campur tangan
terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin.
Tindakan seperti ini justru mengabaikan potensi
(sekecil apapun potensi itu) yang dimiliki
masyarakat miskin. Sebaliknya, pemerintah
semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang
tugasnya adalah mengembangkan potensi-potensi
yang mereka miliki. Paradigma baru mengenai
identifikasi orang miskin lebih menekankan „apa
yang dimiliki orang miskin‟ ketimbang „apa yang
tidak dimiliki orang miskin‟. Potensi orang
miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan
sosial, serta berbagai strategi penanganan
masalah (coping strategies) yang telah
dijalankannya secara lokal.1
Penanggulangan Kemiskinan Kurang Efektif
Dalam realitasnya menunjukkan bahwa
upaya pemerintah dalam penanggulangan
kemiskinan belum membawa hasil yang
maksimal. Kemiskinan semakin bertambah dan
beban rakyat pun semakin berat saja. Sudah
saatnya semua elemen bangsa ini ikut proaktif
memikirkan solusi atas masalah kemiskinan yang
bagaikan penyakit akut, tidak hanya menghujat
dan mencari siapa yang salah. Persoalan
kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama.
Aparat pemerintah mulai dari pengambil
kebijakan hingga petugas operasional di
lapangan, legislatif, media massa, serta
komponen masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat
diidentifikasikan
beberapa
faktor
yang
menyebabkan strategi kebijakan penanggulangan
kemiskinan itu tidak efektif, selain kesalahan
paradigmatik penanggulangan kemiskinan di
atas, juga disebabkan antara lain:
Pertama, kurangnya koordinasi antar
institusi yang terlibat dalam penanganan masalah
kemiskinan, adanya ketidakseragaman indikator
6
kemiskinan, tidak validnya data kemiskinan serta
masih ditemukannya indikasi KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme) dalam penyaluran bantuan
program
penanggulangan
kemiskinan.
Kurangnya koordinasi antar institusi yang
menangani
masalah
kemiskinan
tersebut
menyebabkan pelaksanan program berjalan
lambat dan cenderung sendiri-sendiri. Masingmasing institusi melaksanakan programnya
sendiri,
sehingga
efektivitas
program
penanggulangan kemiskinan tidak tercapai.
Sudah saatnya pemerintah sebagai pengambil
kebijakan menciptakan suatu program yang
terintegrasi dan saling bersinergi dalam
menangani masalah kemiskinan.
Kedua, pangkalan data jumlah penduduk
miskin masih lemah. Pangkalan data yang
berfungsi sebagai data dasar bagi berbagai upaya
penanggulangan kemiskinan belum mampu
menyediakan data yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa factor, seperti:
1) Perbedaan indikator kemiskinan dari
masing-masing sektor atau departemen
atau kementerian yang mengeluarkan
data
kemiskinan
menimbulkan
banyaknya versi data kemiskinan. Hal ini
menyebabkan kekacauan pelaksanaan
program-program
penggulangan
kemiskinan.
2) Adanya sikap ego sektoral di kalangan
institusi pengelola data, yang senantiasa
menganggap data yang mereka hasilkan
sebagai data yang paling akurat dan
benar. Menyebabkan tidak adanya proses
pemeriksaan silang terhadap data lintas
sektoral.
3) Masyarakat tidak dilibatkan secara aktif,
terutama masyarakat miskin, pada setiap
proses pendataan, mulai dari penentuan
indikator sampai pada penetapan siapa
yang tergolong miskin.
Ketiga, tidak adanya sinergisme program
penanggulangan kemiskinan yang terarah,
terpadu, dan berkelanjutan sebagai akibat dari
masih adanya ego sektoral dan tumpang
tindihnya tugas pokok dan fungsi antar-SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah). Dalam struktur
kewenangan pemerintahan sekarang, ujung
tombak penanggulangan kemiskinan adalah
pemerintah daerah. Pemerintah pusat lebih
berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
guna
mempercepat
pengurangan
tingkat
kemiskinan. Untuk mewujudkan efektivitas
pemerintah
daerah
dalam
penggulangan
kemiskinan dengan dukungan aktif para
pemangku kepentingan (stakeholders) diperlukan
perbaikan sistem koordinasi melalui Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK)
daerah.
Keempat,
program
penanggulangan
kemiskinan masih diwarnai adanya indikasi KKN
dalam penyaluran bantuan untuk keluarga
miskin, baik oleh oknum aparat maupun oleh
masyarakat sendiri. Hal ini tentu saja
menyebabkan
program
penanggulangan
kemiskinan menjadi salah sasaran. Alih-alih
mengurangi beban masyarakat miskin, program
tersebut justru sering memicu terjadinya konflik
dalam masyarakat. Peranan masyarakat, LSM,
legislatif, media masa dituntut untuk lebih aktif
dalam hal pengawasan pelaksanaan program,
sehingga kebocoran yang selama ini terjadi bisa
dikurangi atau diminimalisir.
Strategi Kebijakan yang Seharusnya
Diterapkan Pemerintah
Mencermati
beberapa
kekeliruan
paradigmatik penanggulangan kemiskinan di
atas, maka strategi yang harus dilakukan untuk
mengatasi kemiskinan adalah sebagai berikut:
pertama, karena kemiskinan itu adalah masalah
yang bersifat multidimensional, maka program
pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak
hanya
memprioritaskan
aspek
ekonomi,
melainkan juga memperhatikan dimensi lain.
Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok
memang perlu mendapat prioritas, namun juga
harus mengejar target mengatasi kemiskinan nonekonomik. Oleh karena itu, strategi pengentasan
kemiskinan hendaknya juga diarahkan untuk
mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis,
apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lainlain. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka
kemiskinan ekonomi
akan sulit untuk
ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan
kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi
hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan
politis.
Kedua, untuk meningkatkan kemampuan
dan mendorong produktivitas, maka strategi yang
dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar
masyarakat
miskin
untuk
meningkatkan
pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan
dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha,
teknologi, perluasan jaringan kerja (networking)
serta informasi pasar. Ketiga, melibatkan
masyarakat miskin dalam keseluruhan proses
penanggulangan
kemiskinan,
mulai
dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga
evaluasi, bahkan pada proses pengambilan
keputusan.
Keempat,
strategi
pemberdayaan.
Kelompok agrarian populism yang dipelopori
kelompok pakar dan aktivis LSM, menegaskan
bahwa masyarakat miskin adalah kelompok yang
mampu membangun dirinya sendiri jika
pemerintah mau memberi kebebasan bagi
kelompok itu untuk mengatur dirinya. Oleh
karena itu, jalan keluar yang diusulkan dalam
rangka
memberantas
kemiskinan
adalah
pemberdayaan (empowerment). Dalam kaitan ini,
Ginandjar Kartasasmita
menyatakan bahwa
upaya memberdayakan masyarakat setidaktidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu
(1) menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang
dengan titik tolak bahwa setiap manusia dan
masyarakat memilki potensi (daya) yang dapat
dikembangkan, (2) memperkuat potensi atau
daya yang dimiliki masyarakat, dan (3)
memberdayakan
pula
mengandung
arti
melindungi. Artinya, bahwa dalam proses
pemberdayaan, harus dicegah terjadinya proses
melemahkan pihak yang sudah lemah.2
Untuk proyeksi ke masa depan sangat
dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam
mengatasi kemiskinan. Strategi penanggulangan
kemiskinan seperti yang dipaparkan di atas,
adalah perlu dipertimbangkan untuk diterapkan
dalam setiap program pengentasan kemiskinan
sebagai upaya mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat miskin. Hal ini perlu
dilakukan, agar kita tidak terbiasa “terjebak”
dalam bias-bias penanggulangan kemiskinan.
Kritik terhadap Implikasi Kebijakan
Sikap skeptis berbagai kalangan terhadap
implikasi
kebijakan
didasarkan
pada
pemahaman Dye dan beberapa pakar yang juga
mempertanyakan mengapa pemerintah tidak
mengetahui kebijakan yang dibuat. Menurut
7
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Dye (1981), ada sejumlah permasalahan yang
dihadapi dalam studi evaluasi kebijakan, yang
belakangan
dideskripsikan
sebagai
eksperimentasi kebijakan:
Pertama, penentuan apa tujuan yang
akan dicapai oleh program. Siapa kelompok
target dan apa efek yang diharapkan dari
implementasi
program
itu?
Pemerintah
seringkali
menghendaki
tujuan
yang
bertentangan untuk memuaskan berbagai
kelompok sekaligus. Ketika tidak ada
kesepakatan mengenai tujuan program dan
kebijakan, maka studi evaluasi kebijakan akan
diperhadapkan pada konflik kepentingan yang
besar.
Kedua, sejumlah program dan kebijakan
lebih memiliki nilai simbolis. Program dan
kebijakan tersebut tidak secara aktual
mengubah kondisi kelompok target, melainkan
semata-mata menjadikan kelompok tersebut
merasa bahwa pemerintah “memperhatikan”.
Ketiga, agen pemerintah memiliki kepentingan
tetap yang kuat dalam “mencoba” apakah
program yang diimplementasikan itu membawa
dampak positif. Administrator seringkali
melakukan percobaan untuk mengevaluasi
dampak program yang dibuat bagaikan
mencoba membatasi atau merusak programnya
atau
mempertanyakan
kompetensi
administrator. Keempat, agen pemerintah
biasanya memiliki investasi besar – organisasi,
finansial, fisikal, dan psikologikal – pada
program
dan
kebijakan
yang
sedang
dikerjakan. Kelima, sejumlah studi empiris
mengenai dampak kebijakan yang dikerjakan
oleh agen pemerintah mencakup sejumlah
gangguan terhadap kegiatan program yang
sedang berjalan. Keenam, evaluasi program
memerlukan pembiayaan, fasilitas, waktu, dan
pegawai yang mana agen pemerintah tidak
ingin berkorban dari program yang sudah
berjalan. Studi dampak kebijakan, seperti
halnya sejumlah penelitian, membutuhkan
dana untuk membiayai. Studi itu tidak dapat
dilakukan dengan baik, hanya bagaikan
kegiatan ekstrakurikuler atau paruh waktu.
Penyiapan sumber daya untuk studi tersebut
berarti pengorbanan sumber daya program
yang tidak ingin dilakukan oleh administrator. 3
Selain
sikap
skeptis
di
atas,
administrator pemerintah dan pendukung
progam memikirkan berbagai cara untuk
8
memberikan alasan mengapa temuan negatif
dampak kebijakan harus ditolak. Begitu pula
ketika menghadapi fakta empiris bahwa
program yang diunggulkan tidak berguna atau
kontra-produktif, pihak tersebut menyatakan :
(1) efek program tersebut bersifat jangka
panjang dan tidak dapat diukur pada saat
sekarang; (2) efek program tersebut menyebar
dan bersifat umum, tidak ada keriteria tunggal
atau kesesuaian indeks untuk mengukur apa
yang dicapai; (3) efek progam tidak jelas dan
tidak dapat diidentifikasi dengan ukuran kasar
atau statistik; (4) fakta yang ditemukan
mengenai tidak adanya perbedaan orang yang
penerima pelayanan dan orang yang tidak
menerima berarti bahwa progam itu tidak
intensif dan mengindikasikan perlunya lebih
banyak mengeluarkan sumber daya program
tersebut; (5) kegagalan mengidentifikasi
sejumlah sejumlah efek positif suatu program
dapat menandai ketidaksesuain atau bias dalam
peneltian, bukan pada program.
Berdasarkan uraian di atas, dapat bahwa
sikap skeptis teoritisi dan praktisi seperti itu
tidak sepenuhnya dapat diterima, karena
realitas yang ditemukan di lapangan justru
“berbeda”. Perbedaan dan bukti nyata dapat
dipahami berdasarkan dampak kebijakan
publik secara teori dan sejumlah praktek
berikut ini.
Dampak Kebijakan
Dampak kebijakan adalah keseluruhan
efek yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan
dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 1981).
Anderson (1984) mengemukakan semua
bentuk manfaat dan biaya kebijakan, baik yang
langsung maupun yang akan datang, harus
diukur dalam bentuk efek simbolis atau efek
nyata. Output kebijakan adalah berbagai hal
yang dilakukan pemerintah. Kegiatan ini
diukur dengan standar tertentu. Angka yang
terlihat hanya memberikan sedikit informasi
mengenai outcome atau dampak kebijakan
publik, karena untuk menentukan outcome
kebijakan publik perlu diperhatikan perubahan
yang terjadi dalam lingkungan atau sistem
politik yang disebabkan oleh aksi politik.
Pengetahuan mengenai jumlah dana per kapita
yang digunakan untuk siswa dalam sistem
persekolahan atau untuk kasus lainnya, tidak
dapat memberikan informasi mengenai efek
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
persekolahan terhadap kemampuan kongnitif,
afektif, dan psikomotorik siswa. 4
Menurut sebagian pakar (Dye, 1981;
Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak
kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam
evaluasi kebijakan, yakni :
Pertama, dampak kebijakan terhadap
situasi atau kelompok target. Obyek yang
dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus
jelas.
Misalnya
masyarakat
miskin
(berdasarkan
keriteria
tertentu),
para
pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah
yang termarjinalkan, atau siapa saja yang
menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh
kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai
kombinasi sasaran tersebut dijadikan fokus
masa analisisnya menjadi lebih rumit karena
prioritas harus diberikan kepada berbagai efek
yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami
bahwa kebijakan kemungkinan membawa
konsekuensi yang diinginkan atau tidak
diinginkan. Faktanya, implikasi atau dampak
kebijakan berbagai program penanggulangan
kemiskinan
(Program
Pengembangan
Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan
Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program
Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan lain
sebagainya) dengan sasaran orang miskin di
berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah
satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat
misalnya melalui upaya program tersebut di
dalam mengembangkan kegiatan ekonomi
produktif, kemudahan akses masyarakat terhadap
akses
pendanaan-informasi-pasar-jaringan,
kemudahan akses terhadap peningkatan kualitas
dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan
terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat
miskin, peningkatan kualitas hidup masyarakat
yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial,
prasarana da sarana, pendidikan, faktor
lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan
kebutuhan lainnya.
Kedua, dampak kebijakan terhadap situasi
atau kelompok lain selain situasi atau kelompok
target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau
spillover, karena jumlah sejumlah outcome
kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan
istilah eksternalitas. Faktanya: dampak kebijakan
penanggulangan kemiskinan melalui beberapa
program telah melibatkan secara langsung dan
tidak langsung berbagai pihak, termasuk
pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah
daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru, penyuluh
kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya.
Ketiga, dampak kebijakan terhadap kondisi
sekarang dan kondisi masa yang akan datang.
Faktanya, dampak kebijakan penanggulangan
kemiskinan melalui beberapa program seperti di
atas, telah menguatkan fondasi ekonomi
kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin
khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif
kebijakan tersebut meneguhkan keinginan
masyarakat dalam merespon gagasan otonomi
daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak
tahun 1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang
Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Daerah, yang kemudian diganti dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004).
Keempat, biaya langsung kebijakan, dalam
bentuk sumber dana dan dana yang digunakan
dalam program. Faktanya, berbagai lembaga
donor (nasional dan internasional) telah
merealisasikan programnya. Hal ini logis dan
sejalan dengan beberapa kesepakatan dalam
program penanggulangan kemiskinan yang
dibiayai oleh berbagai pihak seperti World Bank,
UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
Kelima, biaya tidak langsung kebijakan,
yang mencakup kehilangan peluang melakukan
kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering
tidak diperhitungkan dalam melakukan evaluasi
kebijakan publik karena sebagian tidak dapat
dikuantifikasi. Faktanya, tidak bisa dipungkiri
bahwa program yang dijalankan akan melibatkan
berbagai pihak yang dengan keterlibatannya
menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya
anak dan anggota keluarga dari masyarakat
miskin yang dulunya turut membantu kegiatan
orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk
belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti
kesempatan membantu orang tuanya bekerja
menjadi hilang atau berkurang.
Keenam, tentu saja, juga sulit mengukur
manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap
komunitas. Faktanya, hal ini sesungguhnya dapat
9
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya
di bidang pendidikan terlihat dari perubahan
sikap dan perilaku masyarakat untuk sadar akan
arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan
melalui sikap dan perilaku sehat yang
ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara
teoritis, dampak kebijakan tidak sama dengan
output kebijakan. Karena itu menurut Dye
(1981), penting untuk tidak mengukur manfaat
dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal
ini perlu dicermati karena yang seringkali terlihat
adalah pengukuran aktivitas pemerintah semata
mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan
determinan kebijakan publik, ukuran output
kebijakan publik sangat penting untuk
diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak
kebijakan publik, perlu ditemukan identitas
perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan
upaya mengukur aktivitas pemerintah.
Garis Besar Aktivitas Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk
dari kebijakan publik. Kebijakan sosial
merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat
untuk merespon isu-isu yang bersifat publik,
yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi
kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant,
Watts, Dalton dan Smith (2006): “In short, social
policy refers to what governments do when they
attempt to improve the quality of people’s live by
providing a range of income support, community
services and support programs.”5
Artinya, secara singkat kebijakan sosial
menunjuk pada apa yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia melalui pemberian
beragam tunjangan pendapatan, pelayanan
kemasyarakatan dan program-program tunjangan
sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik,
kebijakan sosial memiliki fungsi preventif
(pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan
pengembangan (developmental).
Kebijakan sosial adalah ketetapan yang
didesain secara kolektif untuk mencegah
terjadinya masalah sosial (fungsi preventif),
mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan
mempromosikan
kesejahteraan
(fungsi
pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara
(state obligation) dalam memenuhi hak-hak
sosial warganya (Suharto, 2008).6
Dalam garis besar, kebijakan sosial
diwujudkan dalam tiga kategori, yakni
10
perundang-undangan, program pelayanan sosial,
dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000).
Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan
bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau
peraturan daerah yang menyangkut masalah dan
kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan
sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial
berbentuk perundang-undangan.7
a. Peraturan dan perundang-undangan.
Pemerintah
memiliki
kewenangan
membuat
kebijakan
publik
yang
mengatur pengusaha, lembaga pendidikan,
perusahaan
swasta
agar
mengadopsi ketetapan-ketetapan yang
berdampak langsung pada kesejahteraan.
b. Program pelayanan sosial. Sebagian
besar
kebijakan
diwujudkan
dan
diaplikasikan dalam bentuk pelayanan
sosial yang berupa bantuan barang,
tunjangan uang, perluasan kesempatan,
perlindungan sosial, dan bimbingan
sosial
(konseling,
advokasi,
pendampingan).
c. Sistem perpajakan. Dikenal sebagai
kesejahteraan fiskal. Selain sebagai
sumber utama pendanaan kebijakan
sosial, pajak juga sekaligus merupakan
instrumen kebijakan yang bertujuan
langsung mencapai distribusi pendapatan
yang adil. Di negara-negara maju,
bantuan publik (public assistance) dan
asuran sosial (social insurance) adalah
dua bentuk jaminan sosial (social
security) yang dananya sebagian berasal
dari pajak.
Kebijakan sosial seringkali melibatkan
program-program bantuan yang sulit diraba atau
dilihat secara kasat mata (intangible aids).
Karenanya, masyarakat luas kadang-kadang sulit
mengenali kebijakan sosial dan membedakannya
dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum,
kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan
sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air
bersih, pertahanan dan keamanan merupakan
beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan
kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti
bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya
diberikan bagi kelompok miskin atau rentan,
adalah contoh kebijakan sosial.
Sebagai
sebuah
kebijakan
publik,
keputusan kebijakan sosial berada di tangan
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun,
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
sejalan dengan menguatnya embusan good
governance, dalam proses
perumusannya
kebijakan sosial melibatkan tidak hanya „orang
pemerintahan‟ saja. Melainkan pula para „pemain
lain‟, mulai dari praktisi hingga akademisi; mulai
dari kelompok populis (pegiat Ornop, Orsos)
hingga kalangan spesialis (analis kebijakan, think
thank). Sementara, komunitas pembuatan
kebijakan melingkupi banyak pihak yang
melakukan riset atau terlihat dalam advokasi
guna
mendesakkan
perubahan-perubahan
kebijakan. Muncullah istilah policy-making
community yang menunjukkan bahwa pembuatan
kebijakan melibatkan banyak pihak dan lembaga,
selain birokrasi dan departemen-departemen
pemerintahan (Suharto, 2009).1
Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan
obyek kajian yang memiliki ruang lingkup luas
dan global. Peran pekerja sosial dalam
menghadapi fenomena perkembangan suatu
negara sangat diperlukan dan peran serta aktif
pula dalam bekerjasama dengan instansi
kepemerintahan yang memang memiliki otoritas
dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan.
Seperti yang terdapat dalam definisi di
atas, kebijakan sosial sangat berfungsi dalam
melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di
suatu negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang
sangat dibutuhkan kontribusinya dapat pula
berfungsi dengan berperan serta aktif ikut
menentukan
dan
membuat
perancangan
kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam
lingkup lokal melainkan dalam matra global.
Pekerja sosial haruslah aktif dalam merespon
situasi perubahan dan perkembangan kondisi
global, sehingga dapat bersama dengan
pemerintah melakukan rancangan yang efektif
dalam mensejahterakan masyarakat.
Setiap negara memiliki mekanisme
tersendiri dalam proses perumusan suatu
kebijakan sosial. Sebagian besar negara
menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap
departemen/kementerian pemerintahan, namun
ada pula negara yang memiliki badan khusus
yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial.
Terdapat pula negara-negara yang melibatkan
baik lembaga pemerintahan maupun swasta
dalam merumuskan
kebijakan
sosialnya.
Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi
lembaga mana yang paling berkompeten dalam
masalah ini (Suharto, 2007).8
Dalam
perjalanan,
penyusunan,
perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial
meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi :
I. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan
merespon
untuk
membuat
suatu
kebijakan sosial yang melihat dari
penetapannya terhadap suatu undangundang,
mengartikannya
dengan
menjadikan sebagai suatu kebijakan yang
dilindungi oleh hukum, membuat
keputusan pada bidang administrasi,
melaksanakan
dan
menerapkannya.
Penentuan bidang ini dilakukan oleh
pengambil kebijakan, yaitu pemerintah.
II. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai
penasihat secara teknis tentang suatu
kebijakan, atau sebagai konsultan yang
mengkhususkan dalam suatu lapangan
yang berkepentingan. Bidang ini
merupakan wewenang di tingkatan
legislatif pada suatu negara demokrasi.
III. Meneliti dan menginvestigasi problema
sosial dan mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan kebijakan sosial.
Bidang ini dilakukan oleh para pekerja
sosial.
IV. Memberikan perlindungan atau advokasi
secara khusus terhadap suatu kebijakan
dasar yang berkepentingan dengan suatu
bidang. Bidang ini merupakan kerja
pihak LSM yang bergerak pada
bidangnya, misalnya: LSM lingkungan,
LSM ekonomi, LSM politik, dan lainlain.
Kesimpulan ringkas yang dapat kita petik
dari adanya pembagian aktivitas yang secara
tidak langsung dapat bekerjasama mengambil
suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan
sosial. Dalam hal ini, pihak pemerintah dapat
dengan mudah menentukannya. Hal ini
disebabkan oleh fakta, bahwa masing-masing
pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat
pemerintah dan mengawasi tindakan dalam
penerapannya. Dengan demikian, tingkat
pelanggaran yang mungkin terjadi
dapat
diantisipasi.
Selain adanya tingkatan aktivitas yang
dilakukan pada bidangnya masing-masing,
11
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan
intervensi, yang tidak jauh berbeda dengan
tingkatan aktivitas, seperti diungkapkan Bruce. S
Jansson, di dalam Social Policy, from Theory to
Practice, yaitu:
I. Direct-service practice, yang berkaitan
dengan pekerjaan para pelaksana
kebijakan;
II. Community
organization,
yang
membicarakan
pada
pengerahan
kemampuan seperti menghimpun koalisi;
III. Administrative social work, yang
berkenaan dengan pokok persoalan.
Suatu kebijakan yang telah disusun,
dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah
meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, di
antaranya adalah: (1) mengaktualisasikan
kebijakan dan program yang dibuat untuk
kesejahteraan masyarakat, (2) menyingkap dan
memperlihatkan lapangan akademis dalam
penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi,
uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan
Adanya aspek yang tertera di atas
dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek
sasaran kesejahteraan dapat memahami dan
menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan
pemerintah dengan semua perangkatnya,
sejatinya memperhatikan bagaimana kinerja
tersebut berlangsung, sehingga kesejahteraan
masyarakat dapat diwujudkan dengan baik.
Kemudian, bagaimana nantinya pemerintah dapat
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui
kebijakan yang telah disuun dan diterapkan?
Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3
(tiga) langkah yang bila hal tersebut berjalan
secara efektif maka penerapannya akan
sempurna. Ketiga langkah tersebut antara lain
seperti yang terdapat dalam The Handbook of
Social Policy, yakni:
I. Pemerintah membuat kebijakan yang
bersifat spesifik dengan maksud untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Contoh: pemerintah mungkin dapat saja
mencoba untuk memperbaiki kondisi
sosial
penduduknya
dengan
memperkenalkan
bentuk
program
kebijakan yang baru;
II. Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan
sosial melalui kebijakan sosial dengan
melihatnya
dari
sisi
ekonomi,
lingkungan, atau kebijakan lainnya,
walaupun begitu mereka memiliki
12
perhatian terhadap suatu kondisi sosial.
Contoh: kebijakan sosial dengan
menambah hubungan relasi perdagangan
atau mengundang investor dari negara
lain. Kemudian, menciptakan lapangan
pekerjaan baru dan membangkitkan
pemasukan yang akan memengaruhi
kesejahteraan masyarakat dengan melihat
tumbuh suburnya jumlah investor
perdagangan, dan lain-lain.
III. Kebijakan sosial pemerintah yang
memengaruhi kesejahteraan masyarakat
secara tidak terduga dan tidak
diharapkan. Suatu kebijakan terfokus
pada salah satu kelompok, tetapi pada
kenyataanya
justru
mendatangkan
keuntungan yang tidak terduga pada
aspek yang lain.9
Kesimpulan
1. Masalah kebijakan sosial adalah suatu
permasalahan
yang
membutuhkan
penanganan khusus, terpadu dan dilakukan
secara kontinu dan konsekuen. Sebagian besar
negara berkembang selalu memerhatikan
aspek kebijakan sosial sebagai program
andalan yang dapat menjadi perencanaan
untuk melakukan kesejahteraan sosial.
2. Terlebih lagi adanya kebijakan sosial tidak
mungkin lepas dari pihak-pihak yang
memiliki kaitan dengan lembaga pembuat
kebijakan. Peranan yang harus menjadi
tanggungjawab berbagai pihak dalam
menyusun dan melakukan perencanaan
sejatinya dapat dilakukan sebaik mungkin
demi tercapainya kesejahteraan sosial.
3. Dalam menjelaskan determinan kebijakan
publik, ukuran output kebijakan publik sangat
penting untuk diperhatikan. Namun, dalam
menilai dampak kebijakan publik, perlu
ditemukan identitas perubahan dalam
lingkungan yang terkait dengan upaya
mengukur aktivitas pemerintah.
4. Dalam
menyusun,
merancang,
dan
menerapkan suatu kebijakan sosial hendaklah
memperhatikan tingkatan aktivitas sebagai
berikut:
a. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan
merespon untuk membuat suatu kebijakan
sosial yang melihat dari penetapannya
terhadap
suatu
undang-undang,
mengartikannya
dengan
menjadikan
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
sebagai suatu kebijakan yang dilindungi
oleh hukum, membuat keputusan pada
bidang administrasi, melaksanakan dan
menerapkannya. Penentuan bidang ini
dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu
pemerintah.
b. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai
penasihat secara teknis tentang suatu
kebijakan, atau sebagai konsultan yang
mengkhususkan dalam suatu lapangan
yang
berkepentingan.
Bidang
ini
merupakan wewenang di tingkatan
legislatif pada suatu negara demokrasi.
c. Meneliti dan menginvestigasi problema
sosial dan mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang
ini dilakukan oleh para pekerja sosial.
d. Memberikan perlindungan atau advokasi
secara khusus terhadap suatu kebijakan
dasar yang berkepentingan dengan suatu
bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak
LSM yang bergerak pada bidangnya,
misalnya:
LSM
lingkungan,
LSM
ekonomi, LSM politik, dan lain-lain.
5. Pemerintah hendaknya memerhatikan strategi
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang
tepat. Kesalahan strategi penanggulangan
kemiskinan berakibat pada tidak efektifnya
pelaksanaan
program
penanggulangan
kemiskinan.
Daftar Pustaka
1. Suharto,
Edi.
(2009).
Pembangunan,
Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial:
Spektrum Pemikiran. Bandung: LSP Press.
2. Kartasasmita,
Ginandjar.
(1997).
Pemberdayaan
Masyarakat:
Konsep
Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat.
Sarasehan DPD Golkar Tingkat I Jawa Timur
14 Maret 1997. Surabaya
3. Dye, Thomas R (1981). Understanding Public
Policy. New Jersey: Prentice Hall.
4. Anderson, James E (1984). Public Policy
Making. Boston: Houghton Miffin.
5. Bessant, Judith, Rob Watts, Dalton, Smith
(2006). Talking Policy: How Social Policy in
Made. Crows Nest: Allen and Unwin.
6. Suharto, Edi (2008). Kebijakan Sosial
Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfa
Beta.
7. Midgley, James, Martin B
(2000).
Introduction: Social Policy and Social
Welfare. London: Catalyst.
8. Suharto, Edi (2007). Pekerjaan Sosial di
Dunia Industri. Memperkuat Tanggungjawab
Sosial
Perusahaan
(Corporate
Social
Responsibility). Bandung: Refika Aditama.
9. Spicker, Paul (1998). Social Policy: Themes
and Approaches. London: Prentice Hall.
13
Download