orang miskin di negeri kaya (sebuah kado - E

advertisement
ORANG MISKIN DI NEGERI KAYA (SEBUAH KADO TANTANGAN UNTUK PRESIDEN
TERPILIH)
Husamah
ORANG MISKIN DI NEGERI KAYA
(SEBUAH KADO TANTANGAN UNTUK PRESIDEN
TERPILIH)
Husamah
Poverty have become the phenomenal problem along with the history of Indonesia as a
nation. The number of poverty in 2009 is estimated to be 41,1 billion people (21,92%). In
narrow sense, poverty is known as condition of having not enough money and stuffs to ensure
the continuing of life. In broader sense, poverty is a multifaces and multidimentional
phenomenon. Furthermore, it has variation of its own manifestation and it has limited
society’s rights. The main pillars of to overcome poverty are pro the poor fund, good
governance and social development, and process of empowerment on micro economy as pilar
of development.
Pendahuluan
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai
nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Kita
selalu dibuat tertegun, prihatin, dan mengelus dada, saat membaca atau mendengar berita di
berbagai media massa tentang kemiskinan di Indonesia. Bagaimana tidak, setiap tahunnya
angka kemiskinan selalu menjadi kenyataan pahit yang menyedihkan. Kemiskinan kemudian
lebih sering digunakan untuk sekadar untuk mendongkrak popularitas. Data kemiskinan
dipolitisir dan “diplintir” untuk menaikkan pamor menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan
Pemilihan Presiden (Pilpres), sementara rakyat yang berkubang dalam lumpur kemiskinan
tetap saja sebagai penderita atau korban. Rakyat persis sama dengan apa yang diutarakan oleh
tokoh bangsa terkenal, Sutan Sjahrir. “Aku cinta negeri ini dan orang-orangnya....Terutama
barangkali karena mereka selalu kukenal sebagai penderita, sebagai orang yang kalah. Jadi
biasa saja, simpati kepada underdogs, orang-orang yang ditindas”.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), hingga 2004, jumlah orang miskin di
Indonesia mencapai 36,1 juta orang atau setara dengan 16,66 persen dari jumlah penduduk
107
Indonesia. Dari jumlah itu, Provinsi Jawa Timur menduduki posisi puncak dalam daftar
penduduk miskin di tanah air. Di provinsi ini, jumlah penduduk miskin sekitar 7,3 juta atau
sama dengan 23 persen dari jumlah penduduk miskin di Indonesia. Daerah lain di luar Pulau
Jawa yang memiliki angka kemiskinan tertinggi adalah Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Sumatera Selatan. Dari angka ini dapat dipastikan
masih ada sekitar 30 persen masyarakat miskin yang akan semakin miskin.1
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengungkapkan jumlah masyarakat miskin di tanah
air tahun 2005 mencapai 36,1 persen dari total penduduk sekitar 220 juta jiwa, termasuk di
dalamnya penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa.2 Data BPS memperlihatkan, jumlah
rakyat miskin pada tahun 2006 meningkat menjadi 39,05 juta orang dari tahun sebelumnya 35
juta orang. Meski jumlah penduduk miskin turun menjadi 37,17 juta orang atau 16,58% dari
total penduduk Indonesia selama periode Maret 2006 hingga Maret 2007, angka tersebut
masih cukup rawan. Menurut versi Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia di atas
100 juta orang atau 42,6% dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 232,9 juta orang
pada 2007 dan 236,4 juta orang pada 2008.3
Angka kemiskinan pada 2009 tentunya tidak banyak berubah. Berdasarkan analisis
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), jumlah penduduk miskin pada akhir 2008 atau
awal 2009 akan mencapai 41,1juta jiwa (21,92%), naik 4,7 juta jiwa dibandingkan Maret
2007 yang sebesar 37,2 juta jiwa (16,58%). Kondisi ini terjadi karena beban hidup masyarakat
terus bertambah, ditambah lagi dengan krisis ekonomi global yang berimbas besar bagi
Indonesia.4 Analisis ini seakan menegaskan prediksi kritis Tim Indonesia Bangkit (TIB)
bahwa angka kemiskinan tidak akan turun. TIB mengingatkan bahwa angka kemiskinan
hanya akan turun dengan dua kemungkinan. Pertama, melakukan perubahan dan rekayasa
metodologi perhitungan. Kedua, melakukan perubahan atau “pembersihan” sampel data, yang
merupakan cara-cara sangat vulgar dan manipulatif, serta sangat memalukan baik secara
moral maupun intelektual. Rekayasa tersebut dapat terjadi karena pemerintah dan tim
Lihat Liputan 6 SCTV, “Benang Kusut Kemiskinan Indonesia”, 30 Oktober 2008.
Lihat Antara, “Jumlah Masyarakat Miskin Indonesia Capai 36,1%” 10 Juni 2007.
3
Thomas Pulungan, “Beri Kail, Jangan Ikannya!” Sindo, 24 Maret 2008. Lihat pula Edi Suharto, Islam,
Modal Sosial dan Pengentasan Kemiskinan, makalah pada ”Indonesia Social Economic Outlook”, Dompet
Dhuafa, Jakarta 8 Januari 2008.
4
Lihat PAB-Indonesia, “BBM Naik, Jumlah Penduduk Miskin dan Pengangguran Melonjak,” Edisi
Kamis, 29 Mei 2008.
1
2
ekonomi dengan sengaja memilih kebijakan ekonomi monetaris dan neoliberal yang tidak
pro-rakyat dan menjadi penyebab meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.5
Konsep Ringkas Kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekadar ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan
berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan
lingkungan
dalam
suatu
masyarakat.
Kemiskinan
juga
dapat
diartikan
sebagai
ketidakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh suatu
pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi
(kemiskinan struktural). Untuk memahami pengertian tentang kemiskinan, ada berbagai
pendapat yang dikemukakan.
Dalam arti sempit, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan
barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu
fenomena multiface atau multidimensional.6 Menurut Suparlan, kemiskinan dapat
didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat
kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar
kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan
yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan
moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.7
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjelaskan kemiskinan
adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin,
melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.8 Pendapat lain
dikemukakan oleh Ala yang menyatakan kemiskinan adalah adanya gap atau jurang antara
nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai tersebut
5
Rilis Tim Indonesia Bangkit (TIB). “2007: Orang Miskin Indonesia Makin Banyak.” Edisi 1 Juli 2007.
Moh Ilham A Hamudy, Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan Manusia di Jawa Barat, PPS
FISIP UNPAD, Bandung, 2008.
7
Parsudi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal. xi
8
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Panduan Program Inpres Desa Tertinggal, 1993, hal. 3.
6
secara layak.9
Chambers dalam Nasikun, mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated
concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan (poverty), (2) ketidakberdayaan
(powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), (4)
ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun
sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat
pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah,
perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal,
ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan
hidupnya sendiri.10
Masih menurut Chambers, kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
Pertama, kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup
untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan
untuk bisa hidup dan bekerja. Kedua, kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh
kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan
ketimpangan pada pendapatan. Ketiga, kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap
seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari
pihak luar. Keempat, kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya
akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik
yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi kerap menyebabkan suburnya
kemiskinan.11
Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy kemiskinan struktural lebih banyak menjadi
sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga kemiskinan yang lain. 12
Sementara dalam telaah Mas'oed kemiskinan juga dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan Pertama, kemiskinan alamiah berkaitan dengan
9
Andre Bayo Ala, Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan,
Penerbit Liberty, Yogyakarta,
1996.
10
Nasikun, Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Diktat Kuliah Program Magister
Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta, 2001.
11
Ibid.
12
Owin Jarnasy, Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, Belantika, Jakarta, 2004.
kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kedua,
kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang
membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana, dan fasilitas ekonomi yang
ada secara merata.13
Menurut
Salim, ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: (1) rata-rata tidak
memunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, (2)
memunyai tingkat pendidikan yang rendah, (3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan
bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja),
(4) kebanyakan berada di perdesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan (5)
kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan
pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas
komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.14
Kemiskinan adalah satu hal, tapi pemiskinan adalah soal lain. Lebih dari seabad lalu
filsuf sosial William Sumner menekankan bahwa sebagian kesulitan hidup manusia adalah
bagian kodrati dari eksistensinya dalam pergumulannya dengan alam. Seseorang tidak
memiliki dasar untuk menyalahkan orang lain atas suratan tangan. Jika seseorang dapat
mengatasi kesulitan semacam itu dengan baik atau lebih baik dari saya, hal itu tidaklah
menjadi dasar bagi persoalan eksistensial saya. Menjadi tua dan memudarnya produktivitas,
misalnya, adalah bagian alamiah dalam hidup manusia. Setiap individu tumbuh dengan
mengembangkan keterampilan tertentu; ia diberkahi bakat dan temperamen tertentu, dan
terlahir dalam keluarga tertentu di wilayah tertentu. Semua faktor ini memastikan bahwa
masing-masing kita akan bergelut dengan tantangan alamiah dengan tingkat keberhasilan
yang berbeda-beda.15
Sumner juga mencatat perbedaan penting tentang sifat perjuangan hidup manusia.
Menurutnya, ada pula kemalangan yang disebabkan oleh orang lain dan akibat tidak
sempurnanya atau kesalahan institusi sosial kita. Ini mirip dengan konsep kontemporernya,
pemiskinan. Jika kesulitan jenis pertama hanya dapat diatasi lewat upaya dan energi manusia
yang bersangkutan, jenis kedua dapat dikoreksi melalui upaya bersama. Ini tidak menjadi soal
13
14
M. Mas'oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
E. Salim,. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, Idayu Bappenas, dan UNDP Indonesia, Jakarta,
1980.
15
William Sumner, What Social Classes Owe to Each Other, 1974.
sejauh proyek kemanusiaan tersebut dilakukan oleh sesama individu atas dasar derma atau
kerelaan. Kesulitan mulai timbul jika jenis pertama ini terus menerus disatukan dan
digeneralisir serta dijadikan objek politik bagi proyek kemanusiaan/sosial.16
Total kemiskinan penduduk Indonesia menurut pemerintah Indonesia dan Bank Dunia
berbeda cukup signifikan. Data BPS menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin di
Indonesia sebanyak 17,76% pada tahun 2006. Sedangkan Bank Dunia melaporkan sebanyal
49%. Hal ini disebabkan karena indikator yang digunakan berbeda. Indikator kemiskinan
menurut Bank Dunia adalah pengeluaran dibawah $2 per hari. Sedangkan menurut
Pemerintah Republik Indonesia adalah pengeluaran dibawah $1.55. Untuk mengukur
kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini, dapat dihitung Head Count Index (HCI), yaitu
persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan. penduduk yang hidup di
bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari.17
Dampak Kemiskinan
Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan
kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan
yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya
investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya
jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga. Selain itu, arus urbanisasi ke kota
semakin menguat, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat tidak dapat
memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan.18
Kemiskinan memiliki variasi manifestasi mencakup kekurangan pendapatan,
sumberdaya produktif untuk menjamin kehidupan yang layak dan langgeng, kelaparan dan
gizi kurang, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan dasar, morbiditas dan
16
17
Ibid.
Diah Aryati Prihartini, Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia Dan Bank Dunia
Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan, Fakultas Ekonomi Universitas
Gunadarma, Jakarta, 2007, hal. 1-9.
18
Sony Herdiana, “Potret Kemiskinan Jawa Barat,” Pikiran Rakyat, 16 Februari 2005.
mortalitas karena penyakit meningkat, perumahan yang tidak layak bahkan tidak memiliki
rumah, lingkungan tidak aman, diskriminasi dan eksklusi sosial.19,20
Kemiskinan telah membatasi berbagai hak rakyat seperti (1) hak rakyat untuk
memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) hak rakyat untuk memperoleh
perlindungan hukum; (3) hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5)
hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8)
hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9)
hak rakyat untuk berinovasi; (10) hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan
Tuhan, dan (11) hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan
dengan baik.21
Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index
(HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh, kualitas manusia
Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negaranegara lain di dunia. Berdasarkan laporan HDI tahun 2004 yang menggunakan data tahun
2002, angka HDI Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit dari
angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek aksara penduduk usia 15
tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar
sampai dengan pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$
3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara.22
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis.
Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun
membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan
diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
19
ACC/SCN, Nutrition and Human Rights, SCN News 10, United Nations Administrative Committee on
Coordination-Subcommittee on Nutrition, Geneva, 1995, hal.9 -12.
20
World Development Report (WDR), Attacking Poverty, September 2000.
21
Gregorius Sahdan, ”Menanggulangi Kemiskinan Desa”, Jurnal Ekonomi Nasional, UGM, 2006, hal.
18. Lihat pula Hamonangan Ritonga, “Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?”
Kompas, 10 Februari 2004.
22
Ibid
Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini
dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran
dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah
dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan
masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alatalat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat
sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan.
Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang
menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan
keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor
penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga
kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan
berkelanjutan.
Penyebab Kemiskinan Berkepanjangan
Sebenarnya banyak ragam pendapat mengenai penyebab kemiskinan. Namun menurut
Buwaethy, secara garis besarnya ada tiga faktor penyebab kemiskinan yang menimpa
masyarakat saat ini.23 Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh
kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental, cacat fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu
bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh
rendahnya kualitas SDM, akibat kultur kebiasaan masyarakat tertentu; misalnya sifat malas,
tidak produktif, bergantung pada harta orang tua, harta warisan, berjudi, kecanduan narkoba,
kebiasan menghayal tanpa kerja dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan
disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Misalnya bencana alam dan pendistribusian bantuan bencana alam, tidak sampainya
informasi-informasi kepada orang miskin baik mengenai keuangan, pendidikan, kesehatan
dan informasi lainnya.
Faktor penyebab kemiskinan pertama dan kedua masuk kategori penyebab faktor
utama secara individu yang tergantung kepada perseorangan atau bergantung kepada orang
tersebut. Kelemahan individu pada nomor dua ini biasanya kelemahan yang penyebabnya
adalah orang itu sendiri, bukan disebabkan oleh orang lain, walaupun dia berada dalam
lingkungan suatu masyarakat yang penuh dengan peluang rezeki. Sedangkan penyebab ketiga
adalah masuk kepada kategori publik (masyarakat) dan sangat besar pengaruhnya terhadap
peningkatan angka kemiskinan. Kemiskinan jenis inilah yang menjadi fenomena di berbagai
negara dewasa saat ini, baik di negara-negara sedang berkembang maupun di negara-negara
maju. Bahkan problema ekonomi sesungguhnya bukan kelangkaan keuangan di
perbendaharaan negara, melainkan karena buruknya pendistribusian. Fakta menunjukkan,
bahwa kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang tapi karena uang yang ada tidak
sepenuhnya sampai kepada orang-orang miskin. Demikian juga bukan karena kelangkaan
sumber daya alam (SDA), melainkan disebabkan karena distribusi SDA yang tidak merata.24
Menurut Ritonga pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan
kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program
penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan
sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk orang miskin.
Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat
bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Kedua, kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu
sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu
kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana diketahui, data dan
informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini
adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data
mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana nasional (BKKBN).
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang
sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator
dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan
tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang
mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat
23
24
Ahmad Buwaethy, “Fenomena Kemiskinan”. Media Informasi Ummat, 06 February 2009.
Ibid
budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Solusi Pengentasan Kemiskinan
Sejak awal berdirinya Indonesia sampai bergulirnya reformasi,
pemerintah telah
mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur
sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program
pembangunan yang dilaksanakan selama ini selalu memberikan perhatian besar terhadap
upaya pengentasan
kemiskinan. Pada umumnya, partai-partai peserta Pemilu juga
mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform
mereka Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi
masalah yang berkepanjangan.
Menurut Gianto, secara konseptual, penuntasan masalah kemiskinan ini harus
dilakukan melalui kebijakan yang sistematis dan terprogram sebagai sufficient condition dari
pembangunan ekonomi. Akan tetapi, secara faktual program pengentasan kemiskinan yang
dijalankan selama ini selalu terkooptasi oleh sistem yang terlalu pro pada pertumbuhan.
Sebagai contoh, ketika pemerintah ingin mengurangi kemiskinan masyarakat desa dengan
memberi subsidi di sektor pertanian seperti kredit bersubsidi, pupuk bersubsidi dan
sebagainya semua ini terbentur oleh regulasi dan kebijakan lain yang menuntut pengurangan
subsidi atau terbentur oleh sistem ekonomi yang anti subsidi.25
Dampak yang terjadi akhir-akhir ini adalah program-program penanggulangan
kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin
sebagai program kompensasi atas pencabutan subsidi. Program-program tersebut antara lain
berupa penyaluran beras untuk rakyat miskin, JPS, BLT dan sebagainya. Upaya seperti ini
akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk
pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan. Program bantuan yang
berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan
perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih
difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan
25
Gianto, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Perluasan Akses Terhadap Modal. Makalah
Pengantar Diskusi Rapat Kerja Community Development, Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan
sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.26
Jadi, program pembangunan (berbasis pertumbuhan) yang dijalankan pemerintah
akhir-akhir ini mengalami banyak kelemahan yang fundamental dalam mengentaskan
kemiskinan. Untuk mengubah paradigma pembangunan ini dalam scope nasional tidaklah
mudah karena membutuhkan upaya jangka panjang yang melibatkan seluruh unsur dalam
negara. Di sisi lain, kemiskinan akan terus bertambah dan mungkin tak terpecahkan. Sehingga
dalam jangka pendek dibutuhkan upaya-upaya atau gerakan penanggulangan kemiskinan
yang tumbuh dari kesadaran unsur negara di luar pemerintah, termasuk dalam hal ini
mahasiswa sebagai pelopor gerakan itu. Upaya atau gerakan penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan harus mengacu pada program pemberdayaan masyarakat miskin.
Kemiskinan memang merupakan masalah kompleks yang tidak mudah diatasi.
Namun, dengan pendekatan yang tepat, kemiskinan akan lebih mudah didekati.
Penanggulangan kemiskinan memerlukan pemahaman mengenai dimensi dan pengukuran
kemiskinan yang operasional. Setelah kemiskinan dapat dipotret secara akurat, strategi anti
kemiskinan dapat dikembangkan. Strategi tersebut sebaiknya menyentuh pendekatan
langsung dan tidak langsung, mikro dan makro, yang dilakukan secara simultan dan
berkelanjutan.
Dalam pandangan Edi Suharto, penanggulangan kemiskinan dapat diibaratkan dengan
analogi ikan dan kail. Sering dikatakan bahwa memberi ikan kepada si miskin tidak dapat
menyelesaikan masalah. Si miskin akan menjadi tergantung. Kemudian, banyak orang
percaya memberi kail akan lebih baik. Si miskin akan lebih mandiri. Analogi ini perlu
diperluas. Memberi kail saja ternyata tidak cukup. Meskipun orang punya kail, kalau ia tidak
memiliki cara mengail ikan tentunya tidak akan memperoleh ikan. Pemberian keterampilan
(capacity building) kemudian menjadi kata kunci dalam proses pemberdayaan masyarakat.27
Setelah orang punya kail dan memiliki ketrampilan mengkail, tidak dengan serta merta
26
Ibid
Edi Suharto, Konsep Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya, Agenda Strategi DEPSOS RI
2005. Lihat juga Edi Suharto, Coping Strategies dan Keberfungsian Sosial: Mengembangkan Pendekatan
Pekerjaan Sosial dalam Mengkaji dan Menangani Kemiskinan makalah dalam seminar “Kemiskinan dan
Keberfungsian Sosial: Merancang-Kembangkan Program Pembangunan Kesejahteraan Sosial yang Bernuansa
Pekerjaan Sosial”. Institut Pertanian Bogor, Bogor 17 Desember 2002.
27
ia dapat mengumpulkan ikan, jikalau lautan, sungai dan kolam dikuasai kelompok “elit”.
Karenanya,
penanganan
kemiskinan
memerlukan
pendekatan
makro
kelembagaan.
Perumusan kebijakan sosial adalah salah satu piranti penciptaan keadilan yang sangat penting
dalam mengatasi kemiskinan. Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi
dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang
lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan
secara lokal.
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu
strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi. Strategi
untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan
ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap
semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal. Jika ada upaya yang terencana,
terpadu, berkelanjutan dan terukur, maka peningkatan insiden kemiskinan akan dapat dibatasi,
bahkan diturunkan dan diminimalkan jumlahnya.
Kebijakan apa yang diperlukan untuk mengentaskan dan keluar dari kemiskinan? Pilar
utama strategi pengurangan kemiskinan yakni anggaran pro kemiskinan (pro-poor) yang peka
terhadap perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi. Menurut Hardojo dkk penganggaran propoor merupakan suatu cara untuk menangani ketidaksetaraan dan ketidakadilan di dalam
proses penganggaran biasa. Anggaran yang pro-poor lebih peka terhadap berbagai perbedaan
sumber daya dan secara aktif menangani perbedaan tersebut.28
Suatu anggaran pro-poor terutama akan bermanfaat dalam upaya menangani
konsekuensi negatif kebijakan yang pincang oleh pemerintah dan mengalokasikan dana
publik kepada mereka yang memiliki sedikit pilihan pelayanan publik dan yang perlu
dilindungi. Anggaran pro-poor merupakan alat untuk mengalokasikan dana bagi orang miskin
dan mereka yang paling membutuhkan. Ia adalah suatu proses untuk keluarga-keluarga
miskin terlibat dalam proses perencanaan dan penganggaran.
Secara konseptual anggaran pro-poor merupakan bagian dari kebijakan yang berpihak
pada kaum miskin. Pro-poor policy ialah tindakan politik yang bertujuan mengalokasikan
hak-hak dan sumber daya kepada individu, organisasi, dan wilayah yang terpinggirkan oleh
28
Antonio Pradjasto Hardojo, dkk., Mendahulukan Si Miskin, Buku Sumber Bagi Anggaran Prorakyat,
Prakarsa dan LKiS, Yogyakarta, 2008.
pasar dan negara. Dengan kata lain anggaran pro-poor merupakan tindakan afirmatif dalam
pengarusutamaan
kemiskinan
dalam
kebijakan
pembangunan.
Anggaran
ini
mengombinasikan tiga perspektif kemiskinan, yakni struktural, gender, dan institusional.
Solusi selanjutnya adalah pemerintahan yang baik (good governance) dan
pembangunan sosial. Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi
pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu,
intervensi jangka pendek terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan,
intervensi jangka menengah dan panjang, pembangunan sektor swasta, kerjasama regional,
APBN dan administrasi, desentralisasi, pendidikan dan kesehatan, penyediaan air bersih serta
pembangunan perkotaan dan pedesaan.
Solusi yang tidak kalah penting dan layak diterapkan dalam upaya pengentasan
kemiskinan adalah proses pemberdayaan ekonomi mikro sebagai pilar pembangunan.
Strategi-strategi yang di gunakan berupa adanya kerjasama yang mutalisme antara
pemerintah, wakil rakyat (DPR-DPRD), swasta serta elemen masyarakat menengah (LSM,
Akademisi, Wartawan, Profesional dan lain-lain) untuk bisa mendorong ekonomi mikro untuk
bisa menjadi salah satu tembok dalam pengentasan dan menghindari kemiskinan.29
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah justru
dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin seperti ketergantungan sudah
saatnya ditinjau kembali atau bahkan dihentikan. Program bantuan untuk orang miskin
seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu
membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, programprogram bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya. Alangkah
lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti Sekolah Dasar
(SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA), serta dibebaskannya biaya-biaya pengobatan di
pusat-pusat kesehatan masyarakat.
Indonesia Negeri Kaya
Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa dan disebut sebagai “sebidang tanah
Delly Maulana, “Strategi Merealisasikan Kekuatan Ekonomi Mikro dalam Pengentasan Kemiskinan”
Suara Publik, 08 September 2008.
29
yang diturunkan dari surga” karena kesuburan tanahnya. Hampir setiap tanaman dapat
tumbuh subur di negeri ini. Bahkan sebatang tongkat yang ditancap pun akan tumbuh menjadi
tanaman yang rindang. Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat luas dengan berbagai
flora-fauna endemik, yang hanya ada di Indonesia. Bahkan ada yang menyebut kekayaan
alam, flora dan fauna Indonesia adalah yang terlengkap dari semua negara yang ada di dunia
ini.
Tidak itu saja, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah
pulau sekitar 17.484 buah dan garis pantai sepanjang 81.000 km.30 Negara kita dikenal
dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) laut yang melimpah. SDA yang dapat pulih
(renewable resources) seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya pantai dan marikultur,
mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut. Sumberdaya alam yang tidak
dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak dan gas bumi, dan mineral lainnya
serta jasa-jasa lingkungan (environmental services), yang meliputi energi, kawasan rekreasi
dan pariwisata.31
Pertanyaannya kita, dengan begitu melimpahnya kekayaan negeri ini tetapi mengapa
jutaan orang masih juga berada di bawah garis kemiskinan? Mengapa negeri ini tidak dapat
keluar dari jeratan kemiskinan berkepanjangan? Jawabannya, selain berbagai faktor yang
telah dikemukaan sebelumnya, kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan sampai
sekarang belum tergarap dengan maksimal karena kita belum sadar akan potensi yang kita
miliki, sehingga semua kelebihan itu belum tertata dan tergarap secara sempurna dan terpadu.
Lebih dari itu, fokus perhatian pemerintah terhadap masalah tersebut justru dinilai kurang.
Dan celakanya pemerintah lebih terjebak kepada pembangunan properti mewah, seperti
apartemen dan mal-mal yang tersebar hampir di semua kota besar di Indonesia. Sementara
sektor pertanian, nelayan, buruh, dan pedagang yang menjadi kekuatan besar dari bangsa ini
belum tergarap dengan benar. Artinya, kalau pun sudah disentuh, porsi yang diberikan
pemerintah belum sepadan dengan kebutuhan rakyat atau masyarakat.
30
Pada awalnya Indonesia memiliki 17.508 buah pulau, namun sebanyak 24 pulau telah tenggelam
akibat naiknya permukaan air laut sebagai efek global warming dan pencurian pasir. Data ini berdasar Pidato
Menteri Kelautan RI, Freddy Numberi dalam Wisuda ke-50 di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 29
November 2008.
31
Rokhmin Dahuri, Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Penutup
Sampai tulisan ini ditulis, hasil quick count atau perhitungan cepat yang
diselenggarakan oleh berbagai lembaga survei misalnya LP3ES, Lembaga Riset Indonesia,
Lembaga Survei Indonesia, dan Lingkaran Survei Indonesia menunjukkan bahwa pasangan
dengan nomor urut dua (SBY-Boediono) memenangkan Pilpres secara mutlak dengan
mendapat ± 60% suara. Jika perhitungan resmi KPU tidak berbeda, maka mereka berhak
memimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan (2014).
SBY-Boediono dalam visinya antara lain mencantumkan kata terwujudnya Indonesia
yang sejahtera. Ini juga dapat dikonotasikan bahwa pasangan tersebut memiliki komitmen
dalam pengentasan kemiskinan. Dalam konteks ini, pasangan SBY-Boediono yang selama ini
dituding mewakili neolib atau neoliberal pun, yakin akan mampu membangun perekonomian
rakyat. Keduanya sadar, bahwa bangsa Indonesia memiliki kekayaan SDM dan SDA yang
sangat luar biasa. Kesadaran inilah yang mendorong keduanya akan membangun
perekonomian bangsa melalui dua pilar yang dipadukan menjadi satu, yakni ekonomi
kerakyatan dengan ekonomi modern.
Kesadaran yang muncul tersebut sejatinya merupakan kabar baik dan harapan besar
rakyat Indonesia. Namun tentunya SBY perlu memperbaiki berbagai sisi negatif selama
kepemimpinannya terdahulu. Faktanya banyak pihak menilai bahwa selama ini ekonomi
Indonesia tidak pernah berkembang maksimal dan ekonomi riil juga tidak berkembang
dengan baik karena SBY tidak tegas dalam mengambil keputusan yang diperlukan. Ia lebih
mementingkan kebijakan populisnya untuk mengangkat citra diri dan mendapat dukungan
dalam pemilu. Paket stimulus yang amat diperlukan bila ekonomi anjlok juga tidak
didukungnya secara penuh. Jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat, tetapi angkaangka yang diumumkan untuk menutupinya bermasalah.32
Akhirnya, patut disadari pemimpin adalah wujud kristalisasi keringat dari seorang
pemimpi. Ketika seseorang ingin menjadi pemimpin, ia harus banyak menyampaikan impian
dan harapannya kepada khalayak yang mau dan akan dipimpinnya. Dan kini telah tiba
saatnya, akhirnya rakyat menitipkan suara terbesarnya kepada salah satu pasangan calon
32
Jusuf Wanandi, “Tantangan Bagi Presiden Terpilih”, Kompas, 3 April 2009.
terpilih, SBY-Boediono.
Sudah saatnya mereka melaksanakan visi-misi yang telah
disampaikan, mengoptimalkan pemanfaatan potensi SDA dan SDM berkelanjutan, menjaga
dan memegang erat-erat titipan suara rakyat lewat berbagai program dan kebijakan
pemerintahan menuju Indonesia yang bebas dari kemiskinan, sejahtera, maju dan bermartabat.
Semoga.
Daftar Pustaka
ACC/SCN. “Nutrition and Human Rights” SCN News 10. Geneva: United Nations
Administrative Committee on Coordination-Subcommittee on Nutrition. 1995.
Ala, Andre Bayo. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Penerbit
Liberty. 1996.
LKBN Antara. “Jumlah Masyarakat Miskin Indonesia Capai 36,1%”. Edisi 10 Juni 2007.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal.
1993.
Buwaethy, Ahmad. “Fenomena Kemiskinan”. Media Informasi Ummat Edisi 06 February
2009.
Dahuri, Rokhmin. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2003.
Gianto. “Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Perluasan Akses Terhadap Moda”.
Makalah Pengantar Diskusi Rapat Kerja Community Development. Jakarta: UI. 2009.
Hamudy, Moh Ilham A. Pengentasan Rakyat Miskin dan Pembangunan Manusia di Jawa
Barat. Bandung: PPS FISIP UNPAD. 2008.
Hardojo, Antonio Pradjasto, dkk. Mendahulukan Si Miskin, Buku Sumber Bagi Anggaran
Prorakyat. Yogyakarta: Prakarsa dan LKIS. 2008.
Herdiana, Sony. ”Potret Kemiskinan Jawa Barat”. Pikiran Rakyat. 16 Februari 2005.
Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta:
Belantika. 2004.
Liputan 6 SCTV. Benang Kusut Kemiskinan Indonesia. 30 Oktober 2008.
Nasikun. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Diktat Kuliah Program Magister
Administrasi Publik, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. 2001.
Mas'oed, M. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.
Maulana, Delly. “Strategi Merealisasikan Kekuatan Ekonomi
Pengentasan Kemiskinan”. Suara Publik Edisi 08 September 2008.
Mikro
dalam
PAB-Indonesia. ”BBM Naik, Jumlah Penduduk Miskin dan Pengangguran Melonjak”. Edisi
Kamis, 29 Mei 2008.
Prihartini, Diah Aryati. Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia Dan
Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan
Kemiskinan. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. 2007.
Pulungan, Thomas. ”Beri Kail, Jangan Ikannya!”, Koran Sindo. Senin 24 Maret 2008.
Sahdan, Gregorius. ”Menanggulangi Kemiskinan Desa”. Jurnal Ekonomi Nasional.
Yogyakarta: UGM, 2006.
Salim, E. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan. Jakarta: Idayu Bappenas dan UNDP
Indonesia. 1980.
Suharto, Edi. “Konsep Kemiskinan dan Strategi Penanggulangannya”. Agenda Strategi
DEPSOS RI 2005.
Sumner, William. What Social Classes Owe to Each Other 1883. 1974.
Suparlan, Parsudi. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995.
Tim Indonesia Bangkit (TIB). 2007: Orang Miskin Indonesia Makin Banyak. Rilis Edisi 1
Juli 2007.
Wanandi, Jusuf. Tantangan bagi Presiden Terpilih. Kompas Edisi 03 April 2009.
World Development Report (WDR). Attacking Poverty. September 2000.
Download