BAKTERIOSIN DAN PERANNYA DALAM EKOLOGI MIKROBA RUMEN I. PENDAHULUAN SUPARJO y jajo66.wordpress.com Antibiotik telah lama digunakan dalam usaha peternakan, baik untuk pengobatan (therapeutic) maupun untuk pencegahan penyakit atau peningkatan produksi (subtherapeutic). Keuntungan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoter) diantaranya meningkatan produksi dan efisiensi penggunaan pakan. Sisi negatif penggunaan antibiotik diantaranya timbulnya organisme yang resisten terhadap antibiotik tertentu dan residu yang tersisa pada produk‐ produk peternakan. Antibiotik mempunyai spektrum kerja yang luas sehingga dapat membunuh semua jenis organisme yang ada, baik organisme yang menguntungkan maupun patogen. Pengurangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoters) ternak memberi implikasi pada meningkatnya intensitas penggunaan substansi pemacu pertumbuhan alternatif. Beberapa bahan seperti probiotik, prebiotik (Suskovic dkk. 2001), ekstrak tanaman (Tucker 2002), enzim (Rosen 2000) dan asam organik (Caja, Garin dan Mesia 2000) terus diteliti penggunaannya sebagai pemacu pertumbuhan alternatif pengganti antibiotik. Probiotik merupakan salah satu alternatif antibiotik yang dapat berperan sebagai pemacu pertumbuhan. Probiotik secara umum didefinisikan sebagai kultur tunggal atau campuran mikroorganisme hidup yang mempunyai pengaruh yang menguntungkan terhadap induk semang melalui peningkatan karakteristik mikroflora indigenous (Havenaar, Brink dan Veld 1992). Probiotik dapat dianggap sebagai food ingredient (Touhy 2003), dietary supplement (Roberford 2000) atau feed supplement (Fuller 1989) berupa mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi kesehatan manusia atau ternak. Bakteri probiotik yang digunakan secara komersial dewasa ini umumnya berasal dari genus Lactobacillus dan Bifidobacterium (Heller 2001; Šušković dkk. 2001; Touhy 2003). Beberapa spesies bakteri yang biasa digunakan sebagai probiotik ditampilkan pada Tabel 1. Bakteri yang paling banyak digunakan ©2008. BAKTERIOSIN DAN PERANNYA DALAM EKOLOGI MIKROBA RUMEN. Suparjo. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi ©2008 sebagai probiotik baik pada bidang peternakan maupun bidang pangan adalah bakteri asam laktat (BAL). BAL didefinisikan sebagai bakteri pembentuk asam laktat dalam metabolisme karbohidrat dan terdiri dari berbagai macam kelompok bakteri gram positif. BAL mempunyai peranan penting dalam pengawetan bahan pangan dan melawan bakteri patogen melalui senyawa peptida antimikroba. |2 Mekanisme kerja probiotik dapat diekspresikan melalui 3 cara (Šušković dkk. 2001), yaitu; (1) menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen pada saluran pencernaan melalui produksi substansi antimikroba (asam laktat, asam asetat, asetaldehida, hidrogen peroksida dan bakteriosin), persaingan mendapatkan zat makanan dan persaingan reseptor pada epitelium usus; (2) merubah metabolisme mikrobial dengan meningkatkan aktifitas enzim yang bermanfaat seperti galactosidase atau menekan enzim yang tak bermanfaat seperti gluruconidase, ‐glucosidase, ‐nitroreductase dan (3) merangsang pembentukan kekebalan tubuh. Tabel 1. Beberapa Spesies Mikroorganisme sebagai Probiotik LACTOBACILLUS BIFIDOBACTERIA L. acidophilus B. adolescentis Enterococccus faecalis Bacilus cereus var toyoi L. amylovorus B. animalis Enterococccus faecium Saccharomyces cerevisiae L. casei B. bifidum Lactococcus lactis Saccharomyces boulardii B. breve Leuconstoc mesenteroides B. infontis Pediococcus acidilactici L. gallinarum B. lactis Sporolactobacillus inulinus L. gasseri B. longum Streptococcus thermophilus L. cripatus L. delbrueckii subsp. BAL LAIN NON BAL bulgaricus L. johnsonii L. paracasei L. olantarum L. reuteri L. rhamnosus Sumber : Holzapfel dkk. (2001) Produksi senyawa toksin merupakan hal yang sering terjadi dalam interaksi kompetisi antara mikroba dan beberapa senyawa tersebut telah berhasil diadopsi dan diaplikasikan dalam mengontrol populasi mikroba. Beberapa bakteri probiotik mampu menghasilkan senyawa mirip antibiotik yang mempunyai pengaruh langsung terhadap bakteri dalam saluran pencernaan (Hillman 2001) yang disebut bakteriosin (Martinez dkk. 2000). Bakteriosin bakteri asam laktat tertentu mempunyai aktivitas yang menghambat bakteri Butyrivibro spp. (Kalmokoff dkk. 1996). Bakteriosin dapat menjadi alternatif pengganti antibiotik dalam memanipulasi populasi mikroba rumen. Bakteriosin mempunyai kelebihan dibanding antibiotik karena mempunyai target yang spesifik, rentan terhadap pencernaan proteolitik, memungkinkan untuk dilakukan manipulasi dan transfer genetik dan aman digunakan. ©2008 |3 Ternak ruminansia memanfaatkan makanan yang dikonsumsinya setelah dilakukan proses fermentasi di dalam rumen dan saluran pecernaan lainnya. Rumen merupakan kantong yang berisi bermiliaran mikroba yang terdiri dari bakteri, protozoa dan fungi. Rumen berisikan berbagai spesies mikroba. Setiap gram isi rumen mengandung sekitar 1010 bakteri dengan 200 spesies, 106 protozoa dengan 25 genus dan 106 fungi dengan 5 genus (Mackie dkk. 1999). Rumen dengan volume 50 liter maka terdapat sekitar 5 x 1014 bakteri, 5 x 1010 protozoa dan 5 x 1010 fungi. Dalam aktivitasnya, mikroba tersebut saling berinteraksi baik sesama spesies maupun antara spesies atau genus. Interaksi yang terjadi dapat bersifat positif yang saling menguntungkan maupun negatif yang dapat menghambat perkembangan mikroba lain. Bakteriosin merupakan salah satu peptida antimikroba yang dapat menghambat bakteri. Sifat penghambatan bakteriosin sangat spesifik karena hanya menghambat atau membunuh spesies bakteri lain yang mempunyai hubungan yang dekat. Namun sejauh ini, perhatian tentang bakteriosin lebih banyak ditujukan pada bidang pengawetan pangan. Populasi bakteri di dalam rumen memungkinkan terjadinya kompetisi yang ketat dalam memperoleh zat makanan. Permasalahannya apakah bakteriosin berperan dalam kompetisi tersebut yang dapat merubah sistem ekologi rumen. II. KARAKTERISTIK BAKTERIOSIN Bakteriosin adalah peptida antimikroba yang disintesis secara ribosomal yang dihasilkan sejumlah bakteri (Martirani dkk. 2002) dan mempunyai pengaruh bakterisidal dan bakteriostatik terhadap bakteri yang mempunyai hubungan yang dekat dengan bakteri penghasilnya (Ko dan Ahn 2000). Bakteriosin dihasilkan baik oleh bakteri gram‐positif maupun bakteri gram‐negatif. Bakteriosin gram‐positif mengandung 30 sampai 60 asam amino dengan aktifitas yang bervariasi dari spektrum sempit sampai luas dalam melawan bakteri gram‐ positif lain (Jack dkk. 1995) bahkan ada yang beraksi terhadap bakteri gram‐negatif. Penamaan bakteriosin umumnya disesuaikan dengan bakteri penghasilnya seperti Lactococcin A, Lactococcin G, lactococcin 972 dihasilkan oleh bakteri Lactococcus lactis, Enterococcin (Enterococcus faecalis), Carnobactericin (Carnobacterium piscicola), Aurecin (Staphylococcus aureus), Bacillocin (Bacillus licheniformis), Acidolin, Acidophilin, Lactacin (Lactobacillus acidophilus), Lactocin, Helveticin (L. helveticus), Plantaricin, Planticin (L. plantarum) dan lain sebagainya. ©2008 Bakteriosin pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Andre Gratia yang mengamati pertumbuhan beberapa strain E. coli yang pertumbuhannya dihambat oleh senyawa antimikroba yaitu colicin (Oscárriz dan Pisabarro 2001). Bakteriosin selain berperan dalam menjaga kesehatan ternak dan manusia melalui penyeimbangan ekosistem pencernaan, bakteriosin yang dihasilkan bakteri asam laktat juga berperan sebagai pengawet alami dalam penyimpanan dan pengolahan bahan pangan (Soomro dkk. 2002) |4 Penggunaan istilah bakteriosin sering dikacaukan dengan istilah antibiotik dan antimikroba. Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme. Bakteriosin adalah zat kimia berupa peptida atau protein yang dihasilkan oleh bakteri sedangkan antimikroba disamping zat kimia yang dihasilkan oleh berbagai mikroorganisme (antibiotik, bakteriosin) juga substansi yang diperoleh secara sintetik. Bakteriosin secara umum berbeda dengan antibiotik dalam hal sintesis, mekanisme kerja, spektrum dan tujuan pemakaian (Tabel 2). Bakteriosin ‐meskipun mempunyai heterogenitas komposisi kimia dan aktifitas biologis‐ biasanya mempunyai beberapa karakteristik umum, seperti menghambat pertumbuhan atau membunuh strain bakteri yang hampir sama; tidak efektif melawan bakteri penghasilnya; mempunyai spektrum sempit dan mempunyai ‘protein moiety’ yang dibutuhkan untuk aktifitas biologi (Schlegel dan Slade 1972). Mekanisme kerja bakteriosin dalam melawan bakteri lain secara umum dengan menyerang membran sitoplasma (Montville dan Chen 1998) melalui pembentukan pori membran sitoplasma (Sablon, Contreras dan Vandamme 2000) dan penembusan membran sel sehingga meningkatkan permeabilitas membran sitoplasma (Jack dkk. 1995) atau penghambatan pembentukan septum (Martinez dkk. 2000). Tabel 2. Beberapa Perbedaan utama Bakteriosin dan Antibiotik Karakteristik Aplikasi Sintesis Aktivitas Imunitas Sel Induk Semang Mekanisme Sel Target Kebutuhan Interaksi Mekanisme Kerja Efek samping Sumber: Cleveland dkk. (2001) Bakteriosin Pangan Ribosomal Spektrum sempit Ya Biasanya penyesuaian sel yang dipengaruhi Docking molekul Sebagian besar pembentukan pori, dan beberapa dalam biosintesis dinding sel Belum diketahui Antibiotik Klinikal Metabolit sekunder Spektrum luas Tidak Biasanya pemindahan secara genetik Target khusus Membran sel atau target intraseluler Ya III. PENGGOLONGAN BAKTERIOSIN ©2008 Bakteriosin yang dihasilkan bakteri gram‐positif secara umum terbagi menjadi 2 kelompok besar yaitu lantibiotics dan non‐ lantibiotics bacteriocin (Teather dkk. 1999). Bakteriosin berdasarkan sifat kimia, struktur dan fungsinya (Worobo dkk. 1995) dibagi menjadi 4 kelompok (Tabel 3) yaitu kelas I: Lantibiotics, peptida molekul kecil (berat molekul < dari 5 kDa) mengandung lanthionine dan β‐methyl lanthionine; kelas II: peptida yang stabil terhadap panas, berat molekul lebih kecil dari 10 kDa dan tidak terjadi perubahan asam amino, kelas III: protein labil terhadap panas dengan molekul lebih besar dari 30 kDa (Ness dkk. 1996) dan kelas IV: glikoprotein dan lipoprotein (Oscárriz dan Pisabarro 2001). Bakteriosin kelompok non‐lantibiotics dapat dikelompokkan berdasarkan kandungan sistein atau jembatan disulfida menjadi 3 kelompok (Tabel 4), yaitu cystibiotic (mengandung dua atau lebih asam amino sistein untuk jembatan disulfida); thiolbiotic (satu sistein) dan tanpa sistein (Jack dkk. 1995). |5 Tabel 3. Klasifikasi Bakteriosin KELOMPOK I II A B a b KARAKTERISTIK Molekul kecil (2‐5 kDa) , mengandung asam amino lanthionine dan β‐ methyllanthionine, bermuatan positif berbentuk ulir CONTOH BAKTERIOSIN Nisin Pep 5 BAKTERI PENGHASIL Lactococcus lactis Staphylococcus epidermidis Epidermin Staphylococcus epidermidis Lactoccin S Lactobaillus sake Gallidermin Staphylococcus gallinarum Lacticin 481 Lactococcus lactis Molekul kecil (< 2 kDa) bermuatan negatif atau netral berbentuk globular Mersacidin Bacillus subtilis Peptida anti‐listerial Pediocin PA‐1/AcH, Pediococcus acidilactici H/PAC1.0 Sakacin A Lactobacillus sake LB706 Bakteriosin 2‐peptida Actagardin Cinnamycin Actinoplasnes sp. Strepomyces cinnamoneus Sakacin P Lactobacillus sake LTH 674 Leucocin A‐UAK 187 Leuconostoc gelidum UAL 187 Carnobacteriocin B2 Carnobactrium piscicola LV17B Mesentericin Y105 Leuconostoc mesenteroides Lactococcin MMFII Lactococcus lactis Lactococcin G Lactococcus lactis Lactococcin M Lactococcus lactis Lactacin F Lactobacillus johnsonii Plantacirin A Lactobacillus plantarum Plantacirin EF Lactobacillus plantarum Plantacirin JK Lactobacillus plantarum KELOMPOK c ©2008 |6 KARAKTERISTIK Baktreiosin dikeluarkan melalui sec‐dependent CONTOH BAKTERIOSIN Acidin B Carnobacteriocin A Divergicin A Lactobacillus acidophilus Carnobactrium piscicola LV17A Arnobacterium divergens LV13 Enterocin P Eenterococcus faecum Enterocin B Eenterococcus faecum T136 Lactococcin A Lactococcus lactis LMG2130 Lactococcin B Lactococcus lactis WMA4 Acidocin B Lactobacillus acidophilus M46 Cerein 7/8 Bacillus cereus Bc7 BAKTERI PENGHASIL III Lactobacillus helveticus Molekul besar (>30 kDa), Helveticins J sensitif terhadap panas Helveticins V‐1829 Lactobacillus helveticus IV Bakteriosin yang mengan‐ Lactococcin 27 dung protein atau lipid Lacstrecins Sumber : Cleveland dkk. (2001): Oscárriz dan Pisabarro (2001); Chen dan Hoover (2003) Bakteriosin kelas I, LANTIBIOTIC ‐LANthione containing anTIBIOTIC‐ mempunyai berat molekul lebih kecil dari 5 kDa, peptida mengandung asam amino tak biasa, lanthionine (Lan), β‐methyllanthionine (MeLan), dehydroalanine dan dehydrobutyrine (Chen dan Hoover, 2003) dan mengandung 19 sampai 50 asam amino (Cleveland dkk. 2001). Kelompok ini dibagi lagi menjadi 2 tipe berdasarkan struktur kimia dan aktifitas antimikroba, Tipe A dan Tipe B. Tipe A, berbentuk ulir, bermuatan positif, aktifitasnya berhubungan dengan pembentukan pori pada membran sel. Tipe B, berbentuk globular bermuatan negatif atau netral, aktifitas antimikrobanya terkait dengan penghambatan enzim specifik (Nissen‐Meyer dan Nes 1997). Bakteriosin kelas II, mempunyai berat molekul lebih kecil dari 10 kDa, heat‐stable dan tidak mengandung asam amino lanthionine. Kelas ini dibagi menjadi 3 subkelas, bakteriosin yang mempunyai efek antilisterial (IIa), bakteriosin dengan dua peptida (IIb) dan bakteriosin yang disekresikan melalui sec‐ dependent (IIc) (Martinez dkk. 1999). Namun van Belkum dan Stiles (2000) membagi bakteriosin kelas II ini menjadi 6 subklelas, yaitu IIa: cystibiotics dengan 2 jembatan disulfida yang dihasilkan dari 4 residu sistein (Pediocin PA‐1/AcH, Enterocin A dan Divercin V41); IIb: cystibiotics dengan satu jembatan disulfida dari 2 residu sistein pada N‐section peptida (Leucocin A); IIc: cystibiotics dengan satu jembatan disulfida yang menjangkau N‐ dan C‐section peptida (Carnobacteriocin A dan Enterocin B); IId: peptida yang mengandung satu (thiolbiotics) atau tanpa residu sistein (Lactococcin A dan B); IIe: bakteriosin 2‐peptida (Thermophilin 13, Lactacin F, Plantaricin S, A, EF dan JK, Lactococcin G dan M) dan IIf: bakteriosin khas (Enterocin 4). Bakteriosin kelas III, mempunyai berat molekul lebih dari 30 kDa dan heat‐labile. Bakteriosin kelas III dan IV sejauh ini masih kurang mendapat perhatian dari ilmuan sehingga masih sedikit informasi yang diperoleh. Tabel 4. Penggolongan Bakteriosin Berdasarkan Kandungan Sistein ©2008 |7 BERAT MOLEKUL kDa) ASAM AMINO 4.6 44 Leucocin A/UAL 187 3.9 37 Mesentericin Y 105 3.8 37 Leuconostoc gelidum UAL 187 Sakacin A 4.3 41 Sakacin P 4.4 43 Lactacin F 5.6 57 Carnobacteriocin A 5.1 53 Carnobacteriocin BM1 4.5 43 Carnobacteriocin B2 4.9 48 Cerein 7/8 4.9 56 Bacillus cereus Bc7 5.3 47 Lactococcus lactis subsp cremoris 9 B4 5.8 54 Lactococcus lactis subsp cremoris 9 B4 PEPTIDA ANTIMIKROBA CYSTIBIOTICS Pediocin AcH/PA1 THIOLBIOTICS Lactococcin B BAKTERI PENGHASIL Pediococcus acidilactici H/PAC 1.0 Leuconostoc mesenteroides Y 105 Lactobacillus sake LB 706 Lactobacillus sake LTH 674 Lactobacillus acidophilus 11088 Carnobacterium piscicola LV 17A Carnobacterium piscicola LV 17B Carnobacterium piscicola LV 17B NO CYSTEINE Lactococcin A L. lactis subsp. cremoris LMG 2130 Lactococcin M 4.3 48 Lactococcin N 4.4 47 Lactococcin Gα 4.3 39 Lactococcin Gβ 4.1 65 L. lactis subsp. lactis bv diacetylactis WM4 L. lactis subsp. cremoris 9 B4 L. lactis subsp. cremoris 9 44 L. lactis subsp. lactis LMG 2081 L. lactis subsp. lactis LMG 2081 Sumber: Jack dkk. (1995);Oscárriz dan Pisabarro (2001) IV. PERAN BAKTERIOSIN TERHADAP EKOLOGI MIKROBA RUMEN Bakteriosin rumen Rumen merupakan kantung besar dalam saluran pencernaan sejumlah herbivora, yang berfungsi sebagai tempat terjadinya proses fermentasi bahan makanan oleh mikroba anaerob. Populasi mikroba dalam rumen sekitar 1010 bakteri, 106 protozoa dan 106 fungi per ml cairan rumen (Dehority 1998). Konsekuensi dari tingginya tingkat keragaman dan populasi mikroba, memungkinkan terjadinya interaksi dan kompetisi antara mikroba, baik interaksi positif yang saling menguntungkan maupun negatif yang dapat menghambat mikroba lain. Penghambatan perkembangan bakteri dapat terjadi karena adanya senyawa yang mempunyai aktivitas seperti bakteriosin (BACTERIOCIN‐LIKE INHIBITORY SUBSTANCE =BLIS) (Teather dkk. 1999). Beberapa bakteriosin telah berhasil diisolasi baik dari bakteri anaerob OBLIGATE dari rumen seperti Clostridium spp., Bacteroides spp., Bifidobacter spp. dan Propionibacter spp. maupun bakteri anaerob FACULTATIVE dari usus halus seperti Streptococcus spp., Lactobacillus spp., Staphylococcus spp. dan Enterococcus spp (Kalmokoff dkk. 1996). Butyrivibrio merupakan bakteri yang di dominan di dalam rumen ©2008 |8 (Kalmokoff dkk. 1996) dan mempunyai tingkat keragaman genetik yang besar. Kalmokoff dan Teather (1997) menemukan bahwa 25 dari 49 strain bakteri Butyrivibrio yang diisolasi menghasilkan BLIS, namun sejauh ini baru dua BLIS yang diuraikan lebih lanjut yaitu Butyrivibriocin AR 10 dan Butyrivibriocin OR79. Bakteriosin Butyrivibrio AR10 termasuk ke dalam bakteriosin kelas IIc berdasarkan urutan asam amino N‐terminal. Bakteriosin mempunyai spektrum aktivitas yang luas terhadap strain Butyrivibrio tetapi relatif sempit terhadap genus lain. Urutan peptida pada butyrivibriocin mempunyai kesamaan (homolog) dengan Acidocin B, bakteriosin yang dihasilkan Lactobacillus acidophillus. Butyrivibrio OR79 dihasilkan oleh Butyrivibrio fibrisolvens OR79, mempunyai spektrum aktivitas yang luas terhadap bakteri butyrivirio dan bakteri patogen bahan makanan. Butyrivibriocin OR79 dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Butyrivibriocin OR79A dan Butyrivibriocin OR79B karena adanya perbedaan residu asam amino pada N‐terminal. Bakteriosin Eksogenus Bakteriosin eksogenus, misalnya bakteriosin dari bakteri asam laktat, dapat memegang peranan penting sebagai antimikroba dalam nutrisi ruminansia. Silase merupakan jalur potensial pemberian bakteriosin bakteri asam laktat dalam sistem produksi ternak ruminansia. Inokulan bakteri dalam silase mengandung campuran bakteri pediococcus acidopillus dan Lactobacillus pantararum yang banyak menghasilkan bakteriosin (Tabel 1). Bakteriosin yang dihasilkan selama proses ensilase memegang peranan penting dalam menghambat organisme pembusuk dan mungkin berpengaruh terhadap bakteri rumen yang mengkonsumsi silase. Pediosin merupakan bakterison yang paling penting karena terdapat pada banyak tempat dan spektrum aktivitas yang luas (Kalmokoff 1996). V. MEKANISME KERJA BAKTERIOSIN Struktur kimia yang beragam menyebabkan bakteriosin mempunyai pengaruhi yang berbeda terhadap fungsi‐fungsi sel ‐transkripsi, translasi, replikasi dan biosintesis dinding sel‐ (Oscárriz dan Pisabarro 2001). Bakteriosin Gram‐positif merupakan senyawa aktif membran (Jack dkk. 1995) yang bekerja melalui pembentukan pori pada membran sel target (Eijsink dkk. 2002; Cleveland dkk. 2001; Oscárriz dan Pisabarro 2001), menghambat aktifitas enzim (Breukink dan Kruifjff 1999), pertumbuhan spora (van Belkum dan Stiles 2000) atau pembentukan septum (Martinez dkk. 2000). ©2008 |9 Pembentukan pori pada membran sel merangsang permeabilitas membran yang dapat menggangu keseimbangan ADP/ATP intraseluler akibat kebocoran fostat inorganik (Martinez dkk. 2000), mengurangi daya gerak proton (Eijsink dkk. 2002) dan jumlah kation bivalensi (Mg2+ atau Ca2+) menyebabkan penetralan muatan negatif fosfolipid, dan penurunan cairan membran, memungkinkan perembasan ion (K+ dan Mg2+), asam amino (asam glutamat dan lisin) dan ATP (Oscárriz dan Pisabarro 2001). Daya gerak proton (Proton Motive Force = PMF) merupakan gradien elektokimia membran sitoplasma yang mengatur sintesis dan penimbunan ATP. Kegagalan PMF menyebabkan kematian sel melalui penghentian semua reaksi yang membutuhkan energi (Gajić 2003). Bakteriosin dalam pembentukan pori harus berinteraksi dengan membran sitoplasma sel target. Lipid membran sitoplasma yang bermuatan negatif merupakan reseptor utama bakteriosin dalam proses pembentukan pori (Moll dkk. 1999). Interaksi elektrostatik bakteriosin yang bermuatan positif yang bersifat hidrofobik (Cleveland dkk. 2001) dengan gugus fosfat bermuatan negatif pada membran sel target merupakan tahap awal pengikatan bakteriosin dengan membran target. Bagian hidrofobik bakteriosin masuk ke dalam membran membentuk pori. Konduktivitas dan stabilitas pori pada bakteriosin lantibiotic ditingkatkan melalui pengikatan molekul (molecule docking) sedangkan pada bakteriosin kelas II, reseptor membran target bekerja terhadap spesifikasi tertentu (Chen dan Hoover 2003). Proses penembusan membran fosfolipid oleh peptida membran aktif umumnya terjadi melalui 2 mekanisme (Gambar 1) yaitu model tong kayu (barrel‐stave model) dan model baji (wedge model) atau karpet (carpet) (Zhao, 2003). Pada model tong, peptida menghadap hampir tegak lurus terhadap membran, kemudian masuk dan membuat saluran ion sepanjang membran diikuti dengan pengikatan monomer tambahan membentuk pori (Cleveland dkk. 2001). Pada model karpet, peptida berikatan dengan permukaan membran, jika konsentrasi ambang batas monomer peptida tercapai, membran ditembus dan pori sementara terbentuk (Zhao, 2003). ©2008 | 10 Gambar 1. Model Pembentukan Pori pada Membran, Barrel‐ Stave dan Carpet Model (Zhao, 2003) VI. IMUNITAS BAKTERI PENGHASIL BAKTERIOSIN Salah satu perbedaan bakteriosin dengan antibiotik adalah adanya mekanisme perlindungan bakteri penghasil terhadap kerja bakteriosinnya. Perlindungan pada bakteriosin lantibiotic dapat dimediasi melalui protein imunitas, LanI dan lanFEG. Terdapat 2 sistem yang bekerja secara sinergis untuk melindungi sel penghasil dari bakteriosinnya sendiri. LanI, yang sebagian besar berikatan pada sisi luar membaran sitoplasma, memberikan imunitas kepada dengan mencegah pembentukan pori oleh bakteriosin. LanFEG bekerja melalui pengangkutan molekul bakteriosin yang telah masuk ke dalam membran kembali ke medium sekeliling dan menjaga konsentrasi bakteriosin dalam membran dibawah tingkat kritis. Protein imunitas bakteriosin non‐lantibiotic disandikan oleh suatu gen yang terdapat pada bagian hilir gen bakteriosin (Gajic, 2003) kecuali gen imunitas bakteriosin kelas IIc (van Belkum dan Stiles 2000). Sistem imunitas bakteriosin sejauh ini belum berhasil dijabarkan semuanya kecuali LciA, protein imunitas Lactococcin A. LciA dapat mencegah aksi Lactococcin A dengan mengikat kemudian menetralisir bakteriosin atau dengan berinteraksi dan merintangi reseptor bakteriosin (Gambar 2). Melalui interaksi Lactococcin A‐reseptor dalam LciA menjangkau kedalam membran sitoplasma. Ujung C protein imunitas berada diluar sel sedangkan unjung N berada didalam sitoplasma. Dengan mengikat reseptor, LciA mencegah lactococcin A masuk kedalam membran tetapi ikatan lactociccin A pada reseptor tetap terjadi (Venema dkk. 1995). ©2 2008 | 11 Gam mbar 2. M Model Mekaanisme Kerrja Protein Imunitas (V Venema dkk. 1995) VII. P PENUTUP Din namika dan n perkemb bangan pen nyelidikan bakteriosiin terus berrlanjut. Haal ini dapat dilihat dari sisteem penggolongan bak kteriosin yaang terus b berkemban ng. Dari sejumlah bak kteriosin yan ng telah diitemukan baru sedik kit sekali yyang dapaat dapat dilaaporkan secara s len ngkap mengenai ssusunan genetik, biosintesis maaupun mek kanismes keerjanya. Bak kteriosin m memegang p peranan peenting dalam kompetiisi antar straain dalam rumen yaang berhubungan kaarena mem mpunyai targget yang spesifik. s Baakteriosin yang terliibat dalam m sistem eko ologi rumeen tidak haanya dihassilkan oleh h mikroba rumen tetaapi juga daapat dari lu uar yang dittambahkan n ke dalam m rumen, baik k dengan inokulasi bakteri penghasil, b bakteriosin n murni atau upun produ uk‐produk k fermentassi. VIII.. DAFTAR P PUSTAKA Breeukink, E. and B. de Kruijff. 19 999. The llantibiotic nisin, a special caase or not?. Biocimia et Biophyssica Acta 1462:23‐ 234 Cajaa, G., D. Garin and d J. Mesia. 2000. Sttimulating rumen function: Organic acid a salts as a growth promoterrs. Feed Internatio onal, Augusstus 2002: 2 23‐25. Cheen, H and D.G. Hoov ver. 2003. Bacteriocin ns and theeir food applicatio on. Compreehensive Reviews R in Food Scien nce and Food Safety. Vol. 2:82‐100. http:///www. ift.org/pu ublication/ccrtsts Cheen, J. and P.J. Weim mer. 2001. Competittion among three predomin nant rumin nal elluloly ytic bacteriia in the absence a orpresencce of non‐ccellulolytic bacteria. M Microbiology.147, 1 21– 30 Cleveland, J., T.J. Montville, I.F. Nes, M.L. Chikindas. 2001. Bacteriocins: safe, natural antimicrobials for food preservation. Intern. J. Food Microbiol. 71:1‐20. Dehority, B.A. 1998. Microbial interactions in the rumen. Rev. Fac. Agron. 15: 69‐86 ©2008 | 12 Eijsink, V.G.H., L. Axelsson, D.B. Diep, L.S. Havarstein, H. Holo and. I.F. Nes. 2002. Production of class II bacteriocins by lactic acid bacteria; an example of biological welfare and communication. Antonie van Leeuwenhoek 81:639‐654. Fuller. R. 1989. Probiotics in man an animals. J Appl Bacteriol. 66:365‐378. Gajić, O. 2003. Relationships between MDR proteins, bacteriocin production and proteolysis in Lactococcus lactis. Dissertation. University of Groningen. Netherlands. Havenaar, R., B.T. Brink and J.H.J.H.I. Veld. 1992. Selection of strain for probiotic use. In: Fuller R. (ed). Probiotics: The scinetific basis. Chapman & Hall. London. Heller. K.J. 2001. Probiotic bacteria in fermented foods: product characteristics and starter organisms. Am J Clin Nutr. 73(Suppl):374S‐379S. Hillman, K. 2001. Bacteriological aspect of the use of antibiotics and their alternatives in the feed of non‐ruminant animals. In: Recent Advances in animal Nutrition. Nothingham University Press. London. Holzapfel W.H., P. Haberer, R. Geisen, J. Bjorkroth and U. Schilliner. 2001. Taxonomy and important features of probiotic microorganisms in food and nutrition. Am J Clin Nutr. 73(Suppl):365S‐373S. Jack,R.W., J.R. Tagg and B. Ray. 1995. Bacteriocins of Gram‐ positive bacteria. Microbi. Rev. 59(2):171‐200. Kalmokoff, M.L., F. Bartlett and R.M. Teather. 1996. Are ruminal bacteria armed with bacteriocins?. J, Dairy Sci. 79:2297‐ 2306. Kalmokoff, M.L. and R.M. Teather. 1996. Isolation and characterization of bacteriocin (Butyrivibiriocin AR10) from the rumen anaerobe Butyrivibrio fibrisolvens AR10. Appl Environ Microbiol. 63:394‐402. Ko, Seuk‐Hyun and C. Ahn. 2000. Bacteriocin production by Lactococcus lactis KCA2386 isolated from White Kimchi. Food Sci. Biotehnol. 9(4):263‐269. Mackie, R.I. R.I. Aminov, H.R. Gaskins, B.A. White. 1999. Molecular microbial ecology in gut ecosystems. Proceeding of the 8th International Symposium on Microbiolgy Ecology. Atlantic Canada Society for Microbiolgy Ecology, Halifax, Canada. ©2008 | 13 Martinez, B., A. Rodriquez and J.E. Suarez. 2000. Lactococcin 972, a bacteriocin that inhibits septum formation in lactococci. Microbiolgy 146:949‐955. Martinez, B., M. Fernandez, J.E.Suarez. and A. Rodriguez. 1999. Synthesis of lactococcin 972, a bacteriocin produced by Lactococcus lactis IPLA 972, depends on the expression of a plasmid‐encoded bicistronic operon. Microbiology. 145:3255‐3161. Martirani, L., M. Varcamonti, G. Naclerio and M. De Felice. 2002. Purification and partial characterization of Bacillon 490, a novel bacteriocin produced by thermophillic strain of Bacillus licheniformis. Microb Cell Fact. 1(1):1. Moll, G.N., W.N. Koning and A.J.M. Driessen. 1999. Bacteriocins: mechanisms of membrane insertion and pore formation. Antonie van Leeuwenhoek 76:185‐198. Montville, T.J. and Y. Chen. 1998. Mechanistic action of pediocin and nisin: recent progress and unresolved questions. App. Microbiol Biotehnol 50(5):511‐519. Ness, I.F., B.D. Diep, L.S. Havarstein, M.B. Brurberg, V. Eisink and H. Holo. 1996. Biosynthesis of bacteriocins in lactic acid bacteria. Antonie Leeuwenhoek 70:113‐128. Nissen‐Meyer, J. and I.F. Nes. 1997. Ribosomally synthesized antimicrobial peptides: their function, structure, biogenesis and mechanism of action. Arch Microbiol 167:67‐77. Oscárriz, J.C. and A.G. Pisabarro. 2001. Classification and mode of action of membrane‐active bacteriocins produced by gram‐positive bacteria. Int. Microbiol. 4:13‐19. Roberford M.M. 2000. Prebiotics and probiotisc: are they functional foods?. Am J Clin Nutr. 71(Suppl):1682S‐1687S. Rosen, G.D. 2000. Enzyme for broilers: A multi‐factorial Assessment. Feed International. December 2000:14‐17. Sablon, E., B. Contreras and E. Vandamme, 2000. Antimicrobial peptides of lactic acid bacteria: Mode of action, genetics and biosynthesis. Adv Biochem Eng Biothenol. 68:21‐60. Schlegel R. and H.D. Slade. 1972. Bacteriocin production by tranformable group H Streptococci. Journal of Bacteriology. Vol. 112(2):824‐829. Soomro, A.H., T. Masud and K. Anwaar. 2002. Role of Lactic Acid Bacteria (LAB) in food preservation and human health‐A Review. Pakistan Journal of Nutrition 1(1):20‐24. ©2008 | 14 Suskovic, J., B. Kos, J. Goreta and S. Matosic. 2001. Role of Lactic Acid Bacteria and Bifidobacteria in Synbiotic Effect. Food Technol. Biotechnol. 39(3):227‐235. Teather, R.M. M.L. Kalmokoff and M.F. Whitford. 1999. The Role of bacteriocins in rumen microbial ecology. Proceeding of the 8th International Symposium on Microbiolgy Ecology. Atlantic Canada Society for Microbiolgy Ecology, Halifax, Canada. Touhy, K.M., H.M. Probert, C.W. Smejkal and G.R. Gibson. 2003. Using probiotics and prebiotics to improve gut helath. DDT Vol. 8(15):692‐700. Tucker, L. 2002. Botanical Broiler: Plant Extract to maintain poultry performance. Feed Management. September 2002: 26‐28. van Belkum and M.E. Stiles. 2000. Nonlantibiotics antibacterial peptides from lactic acid bacteria. Nat. Prod. Rep. 17:323‐ 335. Venema, K., G. Venema and J. Kok. 1995. Lacococcal bancteriocins: mode of ation and immunity. Trends Microbiol. 3:299‐304 Worobo, R.W., M.J. van Belkum, M. Sailer, K.L. Roy, J.C. Vederas and M.C. Stiles. 1995. A Signal peptide secretion‐dependent bacteriocin from Carnobacterium divergens. Journal of Bacteriology. Vol. 177(11): 3143‐3149. Zhao, H. 2003. Mode of Action of Antimicrobial Peptides. Dissertation. University of Helsinki. Finland.