Edie Toet Hendratno - Pangkalan Data Dosen Universitas Pancasila

advertisement
Law as a Means of Social Transformation:
An Approach to the Bureaucracy Reformation
Edie Toet Hendratno
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok
Abstract
There are two main types of distinct approaches to bureaucracy: the organizational
framework and the public choice approach. Bureaucracy can produce an effective and
efficient government when it is conducted correctly and openly. On the other hand, a
complicated and problem-laden bureaucracy becomes an obstacle to development and
public service. Bureaucracy reformation is inseparable from national reformation
which started in 1998. In reality, bureaucracy reformation so far has only happened
partially. People still feel that they do not experience any real transformation. The
transformation is still on terms of instruments such as changes in government
infrastructure. Viewed from organizational structure, there is no fundamental
transformation in bureaucracy culture even though the definition of bureaucracy
transformation is fundamental transformation to improve the government system and
implementation. The fundamental impediments faced by bureaucracy reformation are
mind-set and cultural-set transformation related to attitude, habits, and ingrained
values in the bureaucrats. Law as a social transportation means may be an approach to
a comprehensive bureaucracy. This approach which raises law-awareness through
knowledge, understanding, setting up, expectation about law is an effective way to
implement bureaucracy reformation.
Key Word : bureaucracy reformation, bureaucracy culture, law awareness, social
transformation.
A. Pendahuluan
Gerakan Reformasi telah berjalan satu dekade sejak jatuhnya rezim
Pemerintah Orde Baru pada tahun 1998. Walaupun rakyat Indonesia telah
mengalami 4 kali pergantian Kepala Negara sejak berakhirnya era pemerintahan
Presiden Soeharto 1 dan berbagai upaya reformasi telah dilakukan dalam setiap
masa pemerintahan, namun masyarakat masih belum merasakan perubahan yang
berarti.
1
Empat Kepala Negara Republik Indonesia sejak berakhirnya era pemerintahan Soeharto yaitu: B.J.
Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan saat ini Susilo Bambang Yudhoyono.
1
Hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Harian Kompas pada akhir
tahun 2008 tentang kinerja birokrasi di Indonesia menunjukan bahwa secara
umum tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga pemerintahan
di Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan hasil jajak pendapat tersebut
menunjukan ketidakpuasan responden terhadap lembaga legislatif dan yudikatif
lebih tinggi dibandingkan lembaga eksekutif di pusat dan pemerintah daerah.2
Reformasi memang sedang bergulir, namun belum menyentuh seluruh
bidang dan/atau sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi belum
dilaksanakan secara menyeluruh, masih ada ruang-ruang sosial yang tidak mampu
ditembus atau tidak dapat ditata oleh nilai-nilai dan para pelaku reformasi (agent
of change) sehingga perubahan yang diharapkan masyarakat dirasakan berjalan
dengan sangat lambat.
Reformasi yang cukup mendasar telah terjadi pada ranah politik, yaitu
perubahan dari sistem Pemilihan Umum (Pemilu) tidak langsung dan penunjukan
Kepala Daerah yang sentralistis berubah menjadi Pemilu dan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Namun di dalam praktiknya,
reformasi politik itu pun lebih bersifat simbolik atau hanya pada kulitnya saja.
Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang menelan biaya besar cenderung bersifat
seremonial dan memberi kesan hanya sekedar sebagai ajang pesta rakyat tanpa
makna demokrasi yang mendalam. Jauh hari menjelang acara pencoblosan suara
baik Pusat maupun Daerah, situasi politik telah memanas dan marak oleh berbagai
kampanye kepentingan politik kelompok (partai) dan penyalahgunaan kekuasaan
yang bertolakbelakang dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, dan ditunggangi
money politic. “Sandiwara” tersebut tidak hanya terjadi di parlemen (legislatif),
2
Hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas dalam: “Jajak Pendapat Kompas – Biaya Mahal untuk
Reformasi Birokrasi”, Harian Kompas, Senin, 22 Desember 2008.
2
namun juga melibatkan kaum eksekutif yang mempunyai beragam kepentingan.
Tidak mengherankan muncul istilah-istilah seperti hutang politik (balas budi
politik) dan pengembalian modal politik (politik bayar hutang), yang menjadi bibit
tumbuh-kembangnya perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) pada saat
para pemain tersebut terpilih menjadi penyelenggara pemerintahan.
Demokrasi yang identik dengan kebebasan menyampaikan aspirasi secara
jujur dan adil (jurdil) menjadi semu. Demokrasi yang kebablasan tersebut
menunjukkan bahwa dalam masa transisi sosial ini, kehidupan demokrasi di
Indonesia lebih bersifat euphoria kebebasan, 3 belum terbentuk sebagai budaya
demokrasi (democracy culture). Perilaku demokrasi masyarakat Indonesia
tersebut dapat dijelaskan dengan pendapat Bernard Arief Sidharta yang
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tengah menjalani proses perubahan
sosial yang mendasar dan mencakup berbagai bidang kehidupan dengan berbagai
manifestasinya dalam sikap dan perilaku kemasyarakatannya. Proses tersebut
belum mencapai tahap pengendapan, belum memunculkan keseimbangan baru
yang mantap dan terintegrasi.4
Tidak jauh berbeda dengan reformasi politik, demikian halnya reformasi di
bidang ekonomi dan sosial. Berbagai perubahan telah terjadi di berbagai sektor
(lembaga dan institusi pemerintah Pusat dan Daerah) dalam berbagai bidang
ekonomi dan sosial, namun di dalam praktiknya belum terjadi perubahan yang
signifikan dibandingkan gaung reformasi itu sendiri. Reformasi yang dilaksanakan
di dalam tubuh lembaga negara (pemerintahan) tidak secara menyeluruh,
3
4
Abdul Syukur Ahmad, “Implementasi Otonomi Daerah: Baju Baru, Cara Lama”, Editor:
M.Djadijono, dkk., 2006, Membangun Indonesia dari Daerah, Centre for Strategic and
International Studies, Percetakan Kanisius, Yogyakarta, hlm. 101.
Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 24-25.
3
umumnya hanya menyentuh tataran instrumen dan struktur lembaga, belum
merasuk kepada perubahan mind-set dan culture-set aparatur dan organisasi
(kultural birokrasi).
Beratnya tantangan reformasi yang menyeluruh ini dihadapi oleh hampir
semua lembaga atau institusi Pemerintah. Salah satu contohnya adalah institusi
pelayanan publik yang sangat dibutuhkan masyarakat yaitu Kepolisian (Polri).
Pemisahan lembaga TNI dan Polri pada tahun 1999 dapat disebut sebagai langkah
awal (starting point) reformasi Polri. Dikatakan sebagai langkah awal karena
reformasi Polri tidak berhenti hanya sampai pada pemisahannya dengan lembaga
TNI sebagai perubahan instrumental dan struktural. Buku Biru Reformasi Polri
menggariskan reformasi Polri meliputi aspek Instrumental, Struktural, dan
Kultural.5
Jika ditinjau saat ini, Reformasi Polri yang dicanangkan sembilan tahun
lalu, belum mampu diwujudkan secara menyeluruh oleh Polri. Masyarakat masih
belum yakin dan belum merasakan secara konkret reformasi yang dilakukan Polri.
Masih banyak anggota masyarakat yang mempertanyakan profesionalisme polisi
dalam mengungkap berbagai kasus pelanggaran hukum. Kondisi ini ditambah lagi
oleh berbagai persoalan internal di tubuh Polri yang masih dipengaruhi budaya
militer dan tak jarang menyangkut persoalan individu anggota Polri. Pencapaian
target reformasi Polri secara instrumental dan struktural mungkin dapat diukur
secara matematis, namun reformasi terhadap kultural menjadi tantangan terbesar
yang dihadapi institusi tersebut karena sifatnya yang abstrak menyangkut variabelvariabel non fisik seperti perilaku, psikis, dan mentalitas anggotanya.6
5
6
Bambang Widodo Umar, “Arah Reformasi Polri”, Paper Diskusi, ProPatria Institute,
www.propatria.or.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
Edie Toet Hendratno, dkk., 2007, Membangun Citra Polri, Proposal Teknis Penelitian Kerjasama
Polri dan Universitas Pancasila, Universitas Pancasila, Jakarta, hlm. 3-4.
4
Persoalan reformasi kultural yang dihadapi Polri tersebut juga dialami oleh
semua lembaga-lembaga Pemerintah lainnya baik di Pusat maupun Daerah, tidak
hanya lembaga eksekutif, namun juga lembaga legislatif dan yudikatif. Beberapa
kasus penyuapan terhadap anggota DPR/DPRD dan Kejaksaan yang juga
melibatkan pihak eksekutif dan pengusaha, menjadi contoh konkret bahwa
semangat reformasi belum secara menyeluruh merubah perilaku dan mentalitas
aparatur negara.
Berbagai lembaga pemerintah telah merintis dan melakukan upaya-upaya
reformasi, namun pada umumnya belum menyeluruh. Program reformasi hanya
beroperasi pada tataran instrumental dan struktural namun sulit untuk kultural.
Contohnya, hampir semua Pemerintah Daerah dalam era otonomi daerah telah
berupaya melakukan reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja pelayanan
kepada masyarakatnya. Secara instrumental dan struktural perubahan dilakukan
melalui pengadaan sarana dan prasarana penunjang penyelenggaraan urusan wajib
dan pilihannya 7 serta melakukan penataan organisasi dengan prinsip-prinsip
manajemen dan pelayanan prima, namun ditinjau dari perubahan mind set
aparaturnya, budaya birokrasi dan berbagai perilaku yang masih mengutamakan
kepentingan pribadi masih menjadi hambatan mewujudkan reformasi birokrasi di
Daerah. Tantangan reformasi birokrasi ini semakin berat bagi Daerah Pemekaran,
karena sebagai Daerah Otonom Baru, Pemerintah Daerah setempat akan lebih
memprioritaskan pengadaan sarana dan prasarana pelayanan publik dan
7
Urusan Wajib dan Urusan Pilihan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota sebagaimana
diatur dalam Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah merupakan salah satu tolok ukur pengukuran kinerja penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah. Lihat juga: Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
5
pemerintahan serta penataan organisasi dibandingkan penataan yang bersifat nonfisik seperti kapasitas SDM aparatur.8
Pentingnya perubahan perilaku dan kebiasaan aparatur ini diungkapkan
dalam makalah Taufiq Effendi tentang Agenda Strategis Refomasi Birokrasi.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara era pemerintahan Susilo Bambang
Yudoyono (SBY) ini, menekankan hal yang penting dalam reformasi birokrasi
adalah perubahan mind-set dan culture-set serta pengembangan budaya kerja.9
Tanpa bermaksud menyampingkan atau mengecilkan keberadaan faktorfaktor lainnya yang mempengaruhi pencapaian reformasi birokrasi, dalam
kesempatan ini penulis lebih memfokuskan pembahasan reformasi birokrasi
melalui pendekatan sosiologi hukum dengan meninjau peranan hukum sebagai
alat perubahan sosial dalam rangka reformasi birokrasi yang menyeluruh.
B. Masalah Birokrasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan
radikal untuk perbaikan (bidang sosial, politik atau agama) di suatu masyarakat
atau negara. Birokrasi adalah (1) sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; (2)
cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan
(adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya. Radikal adalah (1) secara
mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): perubahan yang mendasar; (2) amat
8
9
Deskripsi tentang Daerah Pemekaran ini dipetik dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia pada tahun 2005 terhadap beberapa
daerah pemekaran. Lihat: Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia, 2005,
Pengaruh Alokasi DAU Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Pemekaran –
Laporan Akhir, Pusat Penelitian Pengembangan Keuangan Daerah - Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Dalam Negeri RI, Jakarta, hlm. 160-163.
Taufiq Effendi, “Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance”, Website
Sekretariat Negara Republik Indonesia, http//www.setneg.go.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
6
keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan, dsb.); (3) maju dalam
berpikir atau bertindak.10
Dengan menggunakan pendekatan pengertian di atas, penulis merumuskan
pengertian reformasi birokrasi adalah perubahan mendasar untuk perbaikan sistem
dan/atau cara bekerja pemerintahan. Perubahan mendasar tersebut dilakukan
secara menyeluruh meliputi instrumental, struktural, dan kultural birokrasi.
Ada dua tipe utama pendekatan yang berbeda tentang birokrasi: pertama,
ditinjau dari kebutuhan struktur organisasi, dan kedua, berdasarkan keinginan atau
penilaian masyarakat
Dalam bukunya yang mengupas tentang public sector, Jan-Erik Lane
menyebutkan ada dua tipe pendekatan yang berbeda tentang birokrasi
(bureaucracy) yaitu: pertama, pendekatan birokrasi berdasarkan kebutuhan
struktur organisasi dan kedua, pendekatan birokrasi berdasarkan keinginan atau
penilaian masyarakat,
there are two main types of distinct approaches to bureaucracy: the
organizational framework and the public choice approach. 11
Mengenai pendekatan kedua berdasarkan pilihan masyarakat dapat
dijelaskan
menggunakan
pendapat
George
Frederickson,
apabila
warga
masyarakat ditawari pilihan dengan mengingat pelayanan masyarakat yang
disukai, mereka akan memilih pelayanan yang mereka anggap lebih menjawab
kebutuhan umum mereka, lebih baik (better), lebih murah (cheaper), dan tentu
saja lebih cepat (faster). Perluasan pilihan masyarakat ini merupakan daya tanggap
birokrasi.12
10
11
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1995.
Jan-Erik Lane, 1995, The Public Sector: Concepts, Models, and Approaches, Sage Publications,
London, hlm. 50.
George Frederickson, 2003, Administrasi Negara Baru (New Public Administration), terjemahan:
Al-Ghozei Usman, LP3ES, Jakarta, hlm. 51-52.
7
Dalam konteks birokrasi sebagai kerangka organisasi, dengan mengutip
pendapat Max Weber, birokrasi dipandang secara rasional untuk mencapai
efisiensi. Bureaucracy is capable of efficiency dianggap sebagai suatu tipe ideal
yang terdiri dari:
impersonal authority structure, hierarchy of offices in a career system of
specified spheres of competence, free selection based on achievements in
accordance with specified rules, renumeration in terms of money based on
clear contracts, discipline and control in the conduct of office.13
Bertolakbelakang (contrary) dengan pendapat Weber tersebut, pendekatan pilihan
masyarakat, birokrasi sering disamakan dengan kekakuan (bureaucracy is often
equated with rigidity), yang berhubungan dengan berbagai persoalan seperti
deskripsi dari H.P. Fairchild,
Bureaucratism is usually characterized by adherence to routine, more or
less inflexible rules, red tape, procrastination, unwillingness to assume
responsibility and refusal to experiment.14
Pendapat yang senada diungkapkan Crozier,
The third usage corresponds to the vulgar and frequent sense of the word
‘bureaucracy’. It evokes the slowness, the ponderousness, the routine, the
complication of procedures, and the maladapted responses of
‘bureaucratic’ organizations to the needs which they should satisfy.15
Sekedar catatan, menurut penulis dua pemahaman birokrasi yang
bertolakbelakang tersebut juga tersirat dalam pengertian birokrasi menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas. Pengertian
pertama, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai
pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan, mengarah
kepada pendekatan kebutuhan ideal organisasi (the organizational approach).
13
14
15
Jan-Erik Lane, Op. Cit. hlm. 51. Lihat juga: Max Weber, 1978, Economy and Society, University
of California Press, Berkeley, hlm. 220-221.
H.P. Fairchild, 1955, Dictionary of Sociology, Littlefield Adams, Totowa. Jan-Erik Lane, Op. Cit.
hlm. 55.
M. Crozier, 1964, The Bureaucratic Phenomenon, University of Chicago Press, Chicago, hlm. 3.
Jan-Erik Lane, Op. Cit.
8
Pengertian kedua, birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba
lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya, mengarah kepada
penilaian masyarakat (the public choice).
Terlepas
dari
dua
pemahaman
birokrasi
yang
bertolakbelakang
(distinct/contrary) tersebut, dapat dirumuskan suatu pemahaman bahwa birokrasi
yang dilaksanakan secara tepat dan jelas akan menghasilkan penyelenggaraan
pemerintahan yang efisien dan efektif, namun sebaliknya birokrasi yang kusut
(berbelit-belit)
dan
sarat
dengan
berbagai
persoalan
(kepentingan
individu/kelompok) merupakan penghambat bagi kelancaran pembangunan dan
pelayanan publik. Birokrasi yang lemah ini membuka peluang terjadinya berbagai
penyimpangan dan pelanggaran, seperti KKN.
Taufiq Effendi menyebutkan masalah-masalah birokrasi yang masih
dihadapi hingga saat ini antara lain: masalah inefisiensi, inefektivitas, tidak
profesional, tidak netral, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, rekrutmen
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak transparan, belum ada perubahan mind-set,
KKN yang marak di berbagai jenjang pekerjaan, abdi masyarakat belum
terbangun, pemerintahan belum akuntabel, transparan, partisipatif, dan kredibel,
pelayanan publik belum berkualitas dan pelayanan publik prima belum terbangun
secara luas.16
Komitmen Reformasi Birokrasi telah dicanangkan oleh berbagai lembaga
pemerintah, namun sebagaimana diungkapkan di muka proses tersebut belum
berjalan mulus. Taufiq Effendi mengungkapkan sekurang-kurangnya ada empat
masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, yaitu: (1) berbagai
keluhan masyarakat kurang direspons aparatur; (2) belum ada data awal yang pasti
16
Taufiq Effendi, Op.Cit.
9
dan sama; (3) tolok ukur keberhasilan belum jelas; dan (4) belum ada analisis
yang jelas mengapa pemberantasan korupsi belum menunjukkan tanda-tanda
keberhasilan.17
Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mengidentifikasi
masih terdapat tujuh kelemahan yang menonjol dalam reformasi birokrasi: (1)
lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will; (2) belum ada
kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan rencana tindak
tidak jelas; (3) kurang memanfaatkan teknologi informasi (e-government, eprocurement, information technology) dalam pemberantasan KKN; (4) belum ada
kesepakatan menerapkan SIN (single identification/identity number) tentang data
kepegawaian, asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, dan
yang
terkait
lainnya;
ketidakwajaran
(5)
peraturan
masih
banyak
duplikasi,
perundang-undangan
pertentangan,
(ambivalen
dan
dan
multi-
interpreted); (6) kelemahan dalam criminal justice system (sistem penanggulangan
kejahatan);
penanggulangan
kejahatan
(criminal
policy)
belum
efektif
menggunakan media masa dan media elektronika, kurangnya partisipasi
masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, dan criminal policy belum
dituangkan secara jelas dalam bentuk represif (criminal justice system), preventif
(prevention without punishment), dan pencegahan dini (detektif); dan (7) belum
ada konsistensi yang didukung kesungguhan atau keseriusan pemerintah dalam
pemberantasan KKN.18
Berbagai masalah birokrasi dan hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan reformasi birokrasi yang diungkapkan di atas, secara mendasar
17
18
Ibid.
Ibid.
10
berhubungan dengan persoalan kultural birokrasi yaitu perilaku, sikap-mental,
kebiasaan, dan nilai-nilai yang tertanam dalam diri aparatur.
C. Komitmen Reformasi Birokrasi
Mengubah birokrasi yang secara kultural telah mengakar dan mentradisi
“turun menurun” dalam sistem birokrasi (pemerintahan) di Indonesia bukanlah
pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Budaya
birokrasi yang sentralistis, KKN, diskriminatif, dan berbagai masalah perilaku
aparatur telah tumbuh sejak masa awal kemerdekaan 19 dan semakin mengakar
pada masa rezim Orde Baru. Menyadari akar masalah tersebut, sebagai tuntutan
gerakan reformasi; semua kepala negara yang memerintah pasca berakhirnya
rezim Suharto tahun 1998 berkomitmen untuk melaksanakan reformasi birokrasi.
Reformasi Birokrasi telah menjadi komitmen nasional sejak bergulirnya
gerakan reformasi tahun 1998. Secara politis, komitmen untuk melaksanakan
reformasi birokrasi sebagai bagian dari reformasi pembangunan telah dimulai
pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Pada masa itu, Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
(MPR)
menetapkan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, yang ditetapkan tanggal
19
Di dalam tulisannya tentang ketimpangan pembangunan di Indonesia, Selo Soemardjan
menggambarkan sejak awal masa kemerdekaan penyelenggaraan administrasi pemerintahan
Indonesia semakin sentralistik akibat dominasi peranan pemerintah pusat dalam setiap sektor
pembangunan. Sentralisasi kekuasaan ini menyebabkan terjadinya ketimpangan geografis dalam
pembangunan perekonomian nasional. Pembangunan lebih terpusat di Jakarta dibandingkan daerah
lainnya terutama daerah-daerah yang berada di luar pulau Jawa. Lihat: Selo Soemardjan, 1976,
“Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan: Pengalaman di Indonesia”, dalam: Juwono
Sudarsono (ed.), Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, PT. Gramedia, Jakarta, hlm.165167.
11
13 Nopember 1998. 20 Ketetapan MPR-RI tersebut memuat penugasan kepada
Presiden RI masa itu (Presiden B.J. Habibie) untuk melaksanakan Pokok-pokok
Reformasi Pembangunan.21
Dalam Bab I dalam Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 ditetapkan
Maksud dan Tujuan Pokok-pokok Reformasi Pembangunan:
Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara ini ditetapkan
dengan maksud memberikan arah bagi Kabinet Reformasi Pembangunan
dalam menanggulangi krisis dan melaksanakan reformasi menyeluruh
dengan tujuan terbangunnya sistem kenegaraan yang demokratis serta
dihormati dan ditegakkannya hukum untuk mewujudkan tertib sosial
masyarakat.
Dalam rangka melanjutkan program reformasi pembangunan yang telah
dirintis sejak tahun 1998, pada tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia kembali mengeluarkan amanat untuk mewujudkan reformasi
birokrasi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VI/MPR/2001 mengamanatkan agar Presiden membangun kultur birokrasi
Indonesia yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggungjawab, serta dapat
menjadi pelayan masyarakat, abdi negara, contoh dan teladan masyarakat.
Komitmen reformasi birokrasi juga dinyatakan oleh Presiden SBY pada
pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara di Istana
Negara, tanggal 15 November 2005. Presiden SBY memberikan mengamanatkan
20
21
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan
Nasional sebagai Haluan Negara, ditetapkan sebagai Keputusan Rapat Paripurna ke 4 tanggal 13
Nopember 1998 dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) yang berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 Nopember 1998.
Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998
berbunyi:
”Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia Saudara Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf
Habibie untuk tetap melanjutkan dan memantapkan pembangunan yang sedang berlangsung
dan melaksanakan Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan mempertanggung-jawabkan
pada akhir masa jabatannya dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia 1999 sebagaimana dalam Pasal 2 Ketetapan ini.”
12
seluruh aparatur penyelenggaran negara untuk: berbuat maksimal dalam
mencegah, menanggulangi dan menindak setiap kejadian korupsi, meningkatkan
pelayanan publik dan mewujudkan tata kepemerintahan yang baik, serta
memfokuskan diri pada pembenahan sistem penyelenggaraan birokrasi negara.
Sistem birokrasi yang buruk, bertele-tele dan serba mengandung ketidakjelasan,
adalah titik lemah yang akan mendorong timbulnya perilaku korupsi. Jika sistem
dirumuskan dengan baik, diawasi dan dilaksanakan dengan konsisten dan
transparan, maka niat seseorang untuk melakukan korupsi akan dapat dicegah agar
tidak terlaksana. Mencegah terciptanya peluang dan kesempatan untuk terjadinya
korupsi, adalah tugas penting yang harus diciptakan dan dilaksanakan oleh seluruh
aparatur penyelenggara negara. Penyelenggaraan birokrasi negara harus dibangun
secara sistematis, cepat dan sederhana, serta didukung dengan penerapan
teknologi informasi dan komunikasi. Namun, yang tidak kalah penting adalah
kesadaran jajaran penyelenggara birokrasi negara sendiri.22
Komitmen melaksanakan Reformasi Birokrasi lainnya ditempuh melalui
Pakta Integritas. Pakta Integritas merupakan salah satu bentuk kebijakan reformasi
birokrasi dan pemberantasan korupsi. Pakta Integritas merupakan Perjanjian
Kebulatan atau Perjanjian Kejujuran atau Kesepakatan Kejujuran atau Komitmen
Kejujuran. Pakta Integritas merupakan janji untuk melaksanakan segala tugas dan
tanggungjawab sesuai ketentuan yang berlaku, berlandaskan komitmen yang kuat.
Pakta Integritas merupakan salah satu alat atau instrumen reformasi birokrasi dan
pencegahan KKN, dengan konsentrasi pada upaya penciptaan keterbukaan,
akuntabilitas, dan partisipasi. Pakta Integritas merupakan keinginan bersama
menciptakan tata pemerintahan yang baik (kepemerintahan yang baik, bersih, dan
22
Susilo Bambang Yudhoyono, “Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada Pembukaan Rapat
Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara”, Istana Negara, 15 November 2005, Badan
Kepegawaian Negara, http://www.bkn.go.id,, diakses tanggal 10 Juli 2008.
13
berwibawa, good governance; tata kelola pemerintahan yang baik, good public
governance; dan tata kelola perusahaan yang baik, good corporate governance);
mendambakan penegakan hukum, pelaksanaan reformasi birokrasi menyeluruh,
dan meningkatnya pelayanan publik ke pelayanan prima. Pakta Integritas
diharapkan dapat diterapkan di lingkungan pemerintah, eksekutif, legislatif,
yudikatif, swasta, masyarakat luas, dan kalangan politik/politisi. 23
Contoh pakta integritas, antara lain Pakta Integritas Kabupaten Solok
(Provinsi Sumatera Barat) yang disepakati dan ditandatangani tanggal 11
November 2003 yang didukung oleh Transparency International Indonesia (TII)
dan Indonesian Procurement Watch (IPW). Pakta Integritas Kabupaten Solok
tersebut disusun dalam bentuk pakta antara tiga pelaku utama, yakni: sektor
publik, sektor swasta, dan masyarakat madani, yang memuat pernyataan: tidak
akan melakukan praktik KKN, tidak meminta, menerima atau memberi sesuatu
yang bersangkutan dengan jabatan dan pekerjaan, tidak memberi atau menjanjikan
akan memberikan sesuatu berkaitan dengan jabatan/pekerjaan, menjamin tidak
melakukan pelanggaran atas aturan, menegakkan transparansi, menciptakan
lingkungan kondusif, tidak diskriminatif, memberikan informasi selengkap
mungkin, memberikan bantuan/dukungan atas upaya pengungkapan praktik suap
dan KKN, dan membangkitkan sikap dan perilaku bersih dan anti KKN. 24
Menindaklanjuti berbagai pakta integritas yang telah berkembang,
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengeluarkan Surat Edaran Nomor
SE/06/M.PAN/4/2006 tentang Pelaksanaan Pakta Integritas, berisi Modul Pakta
Integritas, difokuskan pada (1) larangan menerima dan memberi sesuatu yang
tidak sesuai dengan ketentuan; (2) pengadaan barang dan jasa pemerintah yang
23
24
Taufiq Effendi, Op.Cit.
GTZ, “Pakta Integritas Kabupaten Solok”, Indonesia-German Technical
http://www.gtzsfgg.or.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
Cooperation,
14
bebas korupsi; (3) pelaksanaan anggaran sesuai UU 17/2003 tentang Keuangan
Negara; dan (4) penegakan disiplin karyawan/karyawati.25
Secara empiris, pada tahun 2004 penulis pernah meneliti tentang
pandangan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) di Indonesia
terhadap Tuntutan Otonomi Daerah. Para Kepala Daerah secara umum memberi
penilaian setuju terhadap semua aspek manfaat desentralisasi yang mencerminkan
variabel-variabel reformasi birokrasi di Daerah. Penilaian tersebut antara lain
meliputi pernyataan bahwa desentralisasi sebagai suatu perubahan akan:
mempercepat pengambilan keputusan; mempercepat pemberian pelayanan kepada
masyarakat; memperkecil beban pemerintah atas perencanaan, pelaksanaan
maupun pengawasan; mendorong keikutsertaan masyarakat banyak dalam
meningkatkan pembangunan; meningkatkan tanggung jawab Pejabat Daerah;
mengefisienkan pelaksanaan tugas pemerintah; dan mencerminkan demokrasi. 26
Hasil penelitian tersebut secara umum menunjukkan bahwa para Kepala Daerah di
Indonesia menyetujui reformasi birokrasi diselenggarakan dalam rangka mencapai
tujuan otonomi daerah.
Atas dasar itu sudah ada beberapa contoh best practices reformasi
birokrasi di Daerah, antara lain di Provinsi Gorontalo, Provinsi Riau, Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Solok, Kabupaten Sragen, dan Kota Tarakan. Tentunya
diharapkan bahwa kemajuan birokrasi di beberapa Daerah tersebut akan
berkelanjutan, dan tidak hanya pada sektor-sektor pelayanan yang langsung
berhubungan dengan masyarakat, namun juga terkait proses penyelenggaraan
25
26
Taufiq Effendi, Op.Cit.
Edie Toet Hendratno, “Integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia Dihadapkan dengan
Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya (Pandangan Kepala Daerah terhadap Tuntutan Otonomi
Daerah)”, Jurnal Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi - Departemen Ilmu
Administrasi FISIP Universitas Indonesia, Volume XIV/Nomor 4/Desember/2006, hlm. 699-711.
15
pemerintahan lainnya seperti pengelolaan proyek serta penggunaan dan
pertanggungjawaban anggaran.
D. Hukum dan Perubahan Sosial
Soerjono Soekanto mengulas secara mendalam tentang kedudukan
hukum dalam proses perubahan sosial. Ditinjau dari sejarah pemikiran ilmu
hukum dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa ada dua aliran pemikiran tentang
fungsi atau kedudukan hukum dalam perubahan. Aliran pemikiran pertama
menyatakan, bahwa fungsi hukum adalah mengikuti perubahan-perubahan dan
sedapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan tadi. Paham ini dipelopori
oleh F.C. von Savigny. Sebaliknya paham atau aliran pemikiran kedua yang
dipelopori oleh Jeremy Bentham berpendapat bahwa hukum berfungsi sebagai
sarana untuk merubah masyarakat. Paham ini kemudian dikembangkan oleh
Roscoe Pound dari aliran jurisprudence sociological yang terkenal dengan
konsepnya bahwa hukum harus juga berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan
social engineering.27
Arti dari uraian di atas bahwa di dalam proses perubahan-perubahan,
hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempertahankan stabilitas (sarana
dari social control) dan/atau sebagai sarana untuk mengadakan social engineering.
Apakah hukum berfungsi sebagai kedua-duanya atau salah satu saja dalam arti
tekanannya tergantung pada kondisi masyarakat di mana perubahan-perubahan itu
terjadi. Sejauh mengenai bidang-bidang kehidupan yang netral, maka hukum
dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengubah masyarakat (social engineering).
Akan tetapi apabila masalahnya menyangkut bidang-bidang kehidupan pribadi,
27
Soerjono Soekanto, 1981, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, Penerbit Alumni,
Bandung, hlm. 41-42.
16
maka hukum lebh berfungsi sebagai sarana dari social control. Hal ini dapat
dimengerti karena pada bidang-bidang yang netral, tekanan lebih diarahkan pada
kepastian, sedangkan keadilan memegang peranan yang lebih utama pada bidangbidang kehidupan pribadi.28
Soerjono Soekanto menekankan apabila hukum hendak digunakan
sebagai suatu sarana untuk mengubah masyarakat di dalam suatu proses transisi
yang dikehendaki dan direncanakan, maka para pelopor perubahan (agent of
change) terlebih dahulu harus dapat menetralisir kekuatan-kekuatan yang
menentang penyelesaian transisi tadi.29
Kekuatan-kekuatan yang menentang reformasi tersebut timbul karena
berbagai faktor, antara lain:30
1. Masih ada individu atau kelompok masyarakat yang tidak memahami tujuan
dan nilai-nilai dari reformasi. Kondisi ini dapat timbul misalnya pada individu
atau kelompok yang memiliki pandangan bahwa reformasi semakin
mempersulit prosedur pelayanan karena persyaratan dan pengawasan yang
semakin ketat dan transparan. Mereka telah terbiasa dengan mekanisme dan
tata cara lama yang rawan KKN.
2. Nilai-nilai baru yang dijalankan dalam rangka reformasi bertentangan dengan
nilai-nilai lama yang telah mengakar pada individu atau kelompok penentang
tersebut. Misalnya penerapan sistem elektronik dalam pelayanan publik
dianggap akan memangkas kewenangan mereka yang hanya memiliki
keterampilan (skill) terbatas dan terbiasa dengan cara lama.
28
29
30
Ibid.
Ibid.
Dikembangkan dari: Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987, Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 254.
17
3. Individu dan/atau kelompok dan masyarakat tidak mengakui wewewang dan
kewibawaan pelopor perubahan. Misalnya keberadaan dan kegiatan lembaga
penggerak reformasi tidak dipayungi oleh peraturan perundang-undangan yang
jelas dan tegas.
4. Individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan mempunyai kepentingan
terhadap kondisi yang ada dan menolak dilakukannya reformasi. Kelompok
penentang ini biasanya mereka yang sedang menduduki jabatan yang “basah”
menentang dilakukan intensifikasi pengawasan yang menekan peluang KKN.
5. Resiko yang dihadapi sebagai akibat reformasi ternyata lebih berat daripada
mempertahankan kondisi sosial yang telah ada sebelum terjadi perubahan.
Perubahan mendasar tidak jarang membutuhkan pengorbanan, misalnya
pengurangan subsidi bahan bakar minyak dalam rangka stabilitas keuangan
negara yang berimplikasi terhadap kenaikan harga.
Didasari pengertian reformasi birokrasi merupakan perubahan mendasar
untuk perbaikan sistem dan/atau cara bekerja pemerintahan, dan perubahan
tersebut menghadapi masalah utama yaitu perubahan mind-set dan culture-set
serta pengembangan budaya kerja aparatur, maka pendekatan hukum antara lain
melalui penumbuhan kesadaran hukum yang terdiri dari pengetahuan hukum,
pemahaman hukum, penaatan hukum, pengharapan terhadap hukum, dan
peningkatan kesadaran hukum31 merupakan cara yang efektif dalam melaksanakan
reformasi birokrasi.
E. Pengaruh Hukum dan Perubahan Birokrasi
31
Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 66-69.
18
Penegakan hukum yang cukup gencar dilakukan belakangan ini di
Indonesia oleh pihak-pihak berwenang, telah memberi pengaruh yang cukup besar
terhadap penyelenggaraan berbagai bidang dan sektor pemerintahan. Demikian
halnya, lahirnya dan/atau direvisinya beberapa Undang-Undang yang memuat
sanksi-sanksi secara jelas. Sanksi tidak hanya dikenakan terhadap pelaku
pelanggaran, namun juga pemberi izin atau aparatur (pejabat pemerintah) yang
memfasilitasinya tidak hanya sanksi administratif namun juga sanksi pidana,
contohnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang32 dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 33
Keberadaan berbagai Undang-Undang pembaharuan tersebut memberi pengaruh
yang signifikan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi.
Di dalam bidang pemerintahan daerah, UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang dalam perjalanannya diganti dengan UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah secara praktis telah menjadi tonggak
perubahan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 telah membuka cakrawala baru dalam penyelenggaraan otonomi
daerah di Indonesia dan menggeser cara pandang sentralistis menjadi desentralistis
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada
daerah.
Dalam bidang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah telah mulai
dikembangkan penggunaan teknologi informasi, yaitu proses tender pengadaan
barang dan jasa pemerintah melalui media elektronik (e-procurement). Pengadaan
barang dan jasa pemerintah diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 80 tentang
Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Kehadiran Keppres ini membawa
32
33
Lihat: Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Lihat: Pasal 92 dan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
19
perubahan yang cukup signifikan bagi terwujudnya proses pengadaan barang dan
jasa pemerintah yang efisien dan efektif dengan prinsip persaingan sehat,
transparan, terbuka, dan adil.34
Pendekatan penegakan hukum yang telah dilakukan oleh berbagai pihak
berwenang seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), dan Kejaksaan cukup efektif untuk mewujudkan pemerintah yang
bersih (clean government) dan transparan (clear government) di berbagai instansi
atau lembaga pemerintah. Penggeledahan yang dilakukan KPK, audit yang
dilakukan BPK, dan temuan Kejaksaan menyebabkan lembaga-lembaga
pemerintah baik secara organisasi maupun perorangan membuang pikiran untuk
melakukan penyimpangan aturan atau pelanggaran prosedur penyelenggaraan
pemerintahan yang telah diatur peraturan perundang-undangan. KPK berani
mengambil tindakan menggeledah ruang-ruang anggota DPR tersangka kasus
KKN karena merasa melaksanakan prosedur sesuai dengan Undang-Undang,
walau mendapat tekanan politik yang keras dari lembaga legislatif tersebut.
Penegakan hukum juga memberi pengaruh terhadap penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan di Daerah. Terungkapnya beberapa kasus korupsi
pengadaan barang/jasa di beberapa Daerah menjadi pelajaran hukum bagi
Pemerintah Daerah lainnya dalam menyelenggarakan tender dan/atau kegiatan
proyek. Demikian halnya Satuan Kerja di Pemerintah Pusat, beberapa Lembaga
Departemen dan Non-Departemen menjalankan aturan dan prosedur lebih ketat
dalam pelaksanaan proyek.
34
Hal lain yang menarik, peraturan ini juga melarang keikutsertaan Pegawai Negeri Sipil (terkecuali
mengambil cuti di luar tanggungan negara) turut menjadi penyedia barang dan jasa Pemerintah.
Lihat: Pasal 11 Keputusan Presiden Nomor 80 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
20
Dengan demikian cukup banyak pengaruh dari tindakan penyadaran
hukum dan penegakan hukum yang telah dilakukan rangka reformasi birokrasi,
antara lain: (1) mulai berkurangnya secara nyata praktik KKN di birokrasi (antara
lain: manipulasi pajak, pungutan liar, manipulasi kredit, penggelapan uang negara,
pemalsuan dokumen, pembayaran fiktif, penggelembungan nilai kontrak (markup), uang komisi, penundaan pembayaran kepada rekanan, kelebihan/pemotongan
pembayaran); (2) mulai terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan
pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, efisien, efektif, transparan,
profesional, dan akuntabel, ditandai kelembagaan/ketatalaksanaan yang lebih
efektif, ramping, dan fleksibel, hubungan kerja antar instansi pemerintah pusat dan
daerah yang lebih baik, administrasi pemerintahan dan kearsipan yang berkualitas,
hasil kerja organisasi dan prestasi pegawai yang semakin makin baik, serta
meningkatnya kinerja pelayanan publik; (3) dihapusnya atau diuji-materikannya
peraturan perundang-undangan yang bermasalah dan berkurangnya peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih; dan (4) meningkatnya partisipasi
masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, forum konsultasi publik, dan
pemberantasan korupsi.
F. Penutup
Reformasi Nasional harus dipandang sebagai suatu sistem. Reformasi
Birokrasi hanya sebagai sub-sistem dari Gerakan Reformasi Nasional. Reformasi
Birokrasi tidak dapat berjalan sendiri secara parsial di masing-masing bidang
dan/atau sektor. Reformasi birokrasi harus simultan dan terpadu dengan reformasi
seluruh bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah (birokrat) tidak
dapat seorang sendiri menjalankan reformasi birokrasi, namun harus ada
21
keterlibatan masyarakat sebagai kontrol sosial penyelenggaraan pembangunan dan
pelayanan publik.
Reformasi birokrasi tidak hanya mengutamakan perubahan dari aspek
instrumental dan struktural, namun perlu mengedepankan reformasi kultural
birokrasi untuk mengubah mind set, sikap-mental, kebiasaan lama, dan nilai-nilai
atau cara pandang aparatur yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip good
governance.
Untuk mengubah kebiasaan dan mentalitas birokrasi yang bermasalah
perlu menggunakan pendekatan hukum, melalui penumbuhan kesadaran hukum
yang terdiri dari pengetahuan hukum, pemahaman hukum, penaatan hukum,
pengharapan terhadap hukum, dan peningkatan kesadaran hukum.
Penerapan sanksi yang tegas baik secara administratif maupun pidana
selain memberi efek jera kepada pelaku pelanggaran, juga menjadi pelajaran
hukum
tidak hanya
bagi aparatur,
namun bagi semua
pihak terkait
penyelenggaraan pemerintahan.
Penegakan hukum hendaknya tidak bersifat semu atau hanya sebagai
popularitas politis penguasa. Penegakan hukum dalam ranah birokrasi harus
berlandaskan kesadaran untuk perubahan dengan political will yang tulus.
Demikian pula, langkah-langkah penegakan hukum yang sudah dilakukan jangan
hanya bersifat sementara namun harus kokoh mengakar dalam diri aparatur
maupun kelembagaan, karena acapkali (repeatedly) pergantian pimpinan maka
haluan penegakan hukum juga turut berubah. Terlebih lagi jika pergantian
pimpinan yang baru merupakan bagian dari skenario kelompok yang tidak
menghendaki
adanya
perubahan
dan/atau
memiliki
kepentingan
untuk
memanfaatkan jabatan dan kekuasaan (abuse of power). Oleh sebab itu para
22
pelopor perubahan (agent of change) harus mampu menetralisir kekuatankekuatan yang menentang perubahan tersebut.
Akhir kata, hukum sebagai pendekatan reformasi birokrasi harus
diselenggarakan secara terpadu, konsisten, dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Ahmad, Abdul Syukur, “Implementasi Otonomi Daerah: Baju Baru, Cara Lama”,
Editor: M.Djadijono, dkk., 2006, Membangun Indonesia dari Daerah,
Centre for Strategic and International Studies, Percetakan Kanisius,
Yogyakarta.
Ali, Zainuddin, 2006, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Crozier, M. 1964, The Bureaucratic Phenomenon, University of Chicago Press,
Chicago.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 1995.
Effendi, Taufiq, “Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good
Governance”,
Sekretariat
Negara
Republik
Indonesia,
http//www.setneg.go.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
Fairchild, H.P., 1955, Dictionary of Sociology, Littlefield Adams, Totowa.
Frederickson, H. George, 2003, Administrasi Negara Baru (New
Administration), terjemahan: Al-Ghozei Usman, LP3ES, Jakarta.
Public
GTZ, “Pakta Integritas Kabupaten Solok”, Indonesia-German Technical
Cooperation, http://www.gtzsfgg.or.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
Hendratno, Edie Toet, “Integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia
Dihadapkan dengan Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya (Pandangan
Kepala Daerah terhadap Tuntutan Otonomi Daerah)”, Jurnal Bisnis &
Birokrasi, Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia,
Volume XIV/Nomor 4/Desember/2006.
__________________, dkk., 2007, Membangun Citra Polri, Proposal Teknis
Penelitian Kerjasama Polri dan Universitas Pancasila, Universitas
Pancasila, Jakarta.
Lane, Jan-Erik, 1995, The Public Sector: Concepts, Models, and Approaches,
Sage Publications, London.
Litbang Kompas, “Jajak Pendapat Kompas – Biaya Mahal untuk Reformasi
Birokrasi”, Harian Kompas, Senin, 22 Desember 2008.
Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia, 2005, Pengaruh
Alokasi DAU Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah
Pemekaran – Laporan Akhir, Pusat Penelitian Pengembangan Keuangan
23
Daerah - Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri
RI, Jakarta.
Sidharta, Bernard Arief, 1999, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1981, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,
Penerbit Alumni, Bandung.
________________ dan Mustafa Abdullah, 1987, Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta.
Soemardjan, Selo, “Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan: Pengalaman
di Indonesia”, Editor: Juwono Sudarsono, 1976, Pembangunan Politik dan
Perubahan Politik, PT. Gramedia, Jakarta.
Umar, Bambang Widodo, “Arah Reformasi Polri”, Paper Diskusi, ProPatria
Institute, www.propatria.or.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
Weber, Max, 1978, Economy and Society, University of California Press,
Berkeley.
Yudhoyono, Susilo Bambang, “Sambutan Presiden Republik Indonesia Pada
Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pendayagunaan Aparatur Negara”,
Istana Negara, 15 November 2005, Badan Kepegawaian Negara,
http://www.bkn.go.id, diakses tanggal 10 Juli 2008.
24
Download