Ancangan Solutif dalam Upaya Meminimalkan Kaget Budaya Pembelajar Asing Erni Farida Sri Ulina Ginting Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology-Jakarta Field Station [email protected] PENDAHULUAN Dewasa ini, ada kecenderungan terjadinya peningkatan jumlah masyarakat asing yang menunjukkan ketertarikannya untuk mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia. Gejala ini diikuti dengan meningkatnya permintaan kebutuhan tenaga pengajar bahasa Indonesia, khususnya pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing. Lalu, kondisi ini digenapi pula dengan kian menjamurnya institusi yang menawarkan program pengajaran bahasa Indonesia untuk orang asing, baik yang dikelola oleh perseorangan maupun yang diselenggarakan oleh lembaga swasta/pemerintah dengan kadar profesionalitas yang cukup tinggi. Jika diamati dengan jeli, fenomena ini mengindikasikan adanya dinamika perkembangan kebahasaan yang cukup baik dan positif; jika tidak ingin menyebutnya sebagai gejala yang menggairahkan dan menggugah semangat nasionalisme dan kecintaaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa kebanggaan nasional. Salah satu hal yang memungkinkan terciptanya keadaan atau kondisi sebagaimana yang disebutkan di atas adalah semakin terbukanya akses kerja sama antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia, terlebih di era yang mengglobal seperti saat ini; era di mana batas bangsa dan bahasa menjadi tipis. Siapa saja, dari mana saja, dan untuk kepentingan apa saja (dalam konteks yang positif), dapat (relatif) leluasa datang ke Indonesia. Seorang pengusaha dari Turkmenistan, sebagai contoh, dapat ke Indonesia untuk memperluas jaringan usahanya. Atau contoh lainnya, seorang pelajar/mahasiswa asal Polandia yang menyengajakan mengajukan permohonan visa studi untuk tinggal dan melanjutkan studinya di Indonesia. Kedua contoh tersebut hanya sebagian kecil contoh yang menjadi indikator betapa situasi dan kondisi ini cukup memberi ruang dan peluang bagi peningkatan jumlah tenaga kerja dan pelajar/mahasiswa asing yang bekerja dan belajar di Indonesia. Implikasinya adalah semakin luasnya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk memanfaatkan keadaan ini dalam berbagai rupa yang positif; juga secara signifikan dapat meningkatkan taraf sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Terbuka luasnya peluang masyarakat asing untuk datang dan menetap di Indonesia, entah itu berkaitan dengan tuntutan profesi, untuk keperluan studi, atau karena berbagai alasan personal lainnya, secara tidak langsung memunculkan semacam tuntutan sosial bagi kelompok masyarakat Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 1 asing tersebut untuk menguasai bahasa Indonesia. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, mereka akan berhadapan langsung dan terlibat aktif dalam perikehidupan masyarakat Indonesia. Mereka akan menjadi bagian dari interaksi dan komunikasi sosial masyarakat setempat yang terwujud dalam beragam varian dan situasi komunikasi. Cara yang paling ideal bagi masyarakat asing untuk memenuhi tuntutan sosial tersebut adalah dengan mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia lewat berbagai media. Upaya masyarakat asing untuk mempelajari dan menguasai bahasa Indonesia bukanlah ikhtiar yang semudah membalik telapak tangan. Dalam praktiknya, tidak jarang ditemukan sejumlah variabel yang menyebabkan proses pembelajaran menjadi terhambat. Hambatan-hambatan itu dapat berupa hambatan yang bersifat teknis/metodis, dan dapat pula hambatan yang sifatnya individual/personal. Hambatan yang bersifat teknis kerap muncul karena faktor eksternal yang berasal dari luar, yang tidak dapat dikontrol seseorang. Misalnya, faktor sosial budaya, faktor teknologi, dan faktor ketersediaan sumber daya. Sementara itu, hambatan yang sifatnya personal/individual adalah hambatan yang muncul dalam diri seseorang (pembelajar) karena sejumlah faktor internal. Faktor internal tersebut di antaranya adalah faktor personaliti, kemampuan kognitif, dan faktor keyakinan diri/pandangan hidup. Baik faktor eksternal maupun faktor internal sebagaimana yang diuraikan tersebut, sama-sama berpotensi menjadi kendala yang muncul dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan penutur asing. Hambatan yang kerap dihadapi oleh masyarakat asing (selanjutnya disebut pembelajar asing) yang tengah mempelajari bahasa Indonesia adalah hambatan budaya. Hambatan budaya ini menjadi semacam keniscayaan yang mewarnai lika-liku proses pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan pembelajar asing. Hal ini dapat dipahami karena pembelajar asing tersebut datang ke Indonesia dengan membawa bekal budaya asalnya, yang sudah terinternalisasi sedemikian rupa dalam dirinya, yang terwujud dan melekat dalam bentuk sikap dan perilaku keseharian pembelajar tersebut. Di lokasinya yang baru, budaya asal yang dibawa pembelajar tersebut lantas bersentuhan dengan budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat. Pada titik persentuhan inilah kendala budaya itu acap terjadi. Yang menjadi persoalan utama dalam tulisan ini adalah dalam bentuk seperti apakah hambatan (untuk selanjutnya dirujuk sebagai kaget budaya) yang dialami oleh pembelajar asing tersebut mewujud? Persoalan lainnya adalah langkah apakah yang dapat diancang dan bersifat solutif guna menimimalisasi potensi kendala budaya yang ada? Lalu hal lainnya yang akan disinggung adalah sikap dan peran serta masyarakat—khususnya lembaga penyelenggara program pembelajaran Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 2 bahasa Indonesia untuk penutur asing—dalam kaitannya dengan masalah kaget budaya ini, terlebih dalam upaya mendukung suksesnya program pembelajaran bahasa Indonesia di kalangan pembelajar asing. Data penunjang yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh berdasarkan observasi, interaksi, dan wawancara dengan sejumlah pembelajar asing yang ada di Jakarta mengenai hal-hal apa saja yang mereka alami dan rasakan, yang berkaitan dengan perbedaan budaya. Mereka adalah kelompok pembelajar asing dengan beragam latar belakang sosial, mulai dari pelajar/mahasiswa, profesional muda, hingga ibu rumah tangga, sehingga lebih menyiratkan keragaman narasumber. Sesungguhnya masih banyak hal yang perlu diamati dan ditindaklanjuti dari kajian ini agar informasi yang disajikan dalam tulisan ini lebih akurat. KAGET BUDAYA : ISU LAMA YANG SELALU KEMBALI BARU Menyoal topik kaget budaya di kalangan pembelajar asing laksana mengupas persoalan yang tak ada ujungnya, seolah-olah perkara ini adalah sesuatu yang selalu berulang pemunculannya. Topik ini selalu saja hangat dibicarakan, terlebih ketika suatu program pembelajaran bahasa Indonesia yang diselenggarakan oleh suatu lembaga bahasa misalnya memasuki masa studi yang baru. Sepanjang yang dapat ditelisik, tercatat cukup banyak pemerhati/pengajar bahasa Indonesia untuk penutur asing yang mengupas masalah ini berdasarkan pengalaman mereka masing-masing. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai topik kaget budaya ini, ada baiknya diutarakan lebih dulu pengertian budaya. Secara sederhana, budaya diidentifikasikan sebagai segala sesuatu yang dihasilkan melalui akal budi manusia, yang dihayati dalam perikehidupannya, dan kemudian berkembang menjadi kebiasaan yang berlaku normatif dalam suatu kelompok sosial. Konsep budaya merupakan konsep yang luas. Stolley menyatakan bahwa budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi. Sebagaimana yang diketahui, budaya juga membentuk cara pandang seseorang terhadap dunia luar. Dalam pengertian ini, budaya secara dinamis membentuk bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan memberikan respon atas segala hal yang dialaminya. Dengan kata lain, budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang (masyarakat) dan diwariskan secara turuntemurun. Kebudayaan juga diyakini merupakan perangkat yang erat kaitannya dengan masyarakat. Sistem nilai yang dianut suatu kelompok masyarakat sangat identik dengan budaya yang dihayati masyarakat tersebut. Budaya tersebut menjadi bagian integral yang membangun sendi-sendi kehidupan Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 3 masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, ada tujuh unsur kebudayaan yang berlaku universal yakni kesenian, sistem teknologi dan peralatan, sistem organisasi masyarakat, bahasa, sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Keberagaman bangsa yang ada di dunia ini turut membentuk keberagaman budaya yang tumbuh di kalangan masyarakat dunia. Keberagaman bangsa berarti pula keberagaman peradaban dunia. Sudah hal yang lumrah apabila penganut suatu peradaban menganggap bahwa budaya yang dianutnya lebih baik daripada budaya yang dianut kelompok yang lain. Pandangan menganggap bahwa budayanya lebih baik daripada budaya orang lain inilah yang mungkin melatarbelakangi munculnya kaget budaya. Kaget budaya merupakan kondisi disorientasi personal yang dialami seseorang ketika memasuki lingkungan sosial budaya yang baru. Kondisi ini sering kali dialami oleh mereka yang pindah, dengan alasan apa pun, ke suatu daerah/tempat baru yang budayanya jelas-jelas berbeda dengan budaya yang dihayati oleh orang yang bersangkutan. Kondisi ini juga dapat dihadapi oleh mereka yang mengalami transisi status sosial—misalnya yang diakibatkan oleh pernikahan yang berlatar belakang beda kewarganegaraan—atau dapat juga terjadi karena melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu. Dalam sebuah tulisan yang mengupas masalah kaget budaya ini, Atmazaki secara tegas membedakan antara culture mismatch dengan culture shock. Menurutnya, culture mismatch muncul karena adanya perasaan kaget ketika seseorang berhadapan dengan peristiwa konkret yang berbeda dalam kebudayaan lain, dengan derajat perbedaan yang cukup mencolok, meskipun situasinya normal. Sementara culture shock diidentifikasikannya sebagai reaksi psikologis yang terealisasi dalam bentuk yang lebih jelas, seperti tidak bisa makan, menangis, hingga histeris. Pendapat yang sedikit berbeda dengan yang dikemukakan Atmazaki tersebut adalah pendapat mengenai culture shock sebagaimana yang digagas oleh Gudykunst dan Kim (2003). Menurutnya, culture shock merupakan reaksi-reaksi yang muncul terhadap situasi di mana individu mengalami keterkejutan dan tekanan karena berada dalam lingkungan yang berbeda, yang menyebabkan terguncangnya konsep diri, identitas kultural, dan menimbulkan kecemasan temporer yang tidak beralasan. Berdasarkan pernyataan ini, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat perbedaan kebudayaan/lingkungan sosial yang terjalin di antara individu yang berbeda latar belakang budaya, Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 4 semakin tinggi pula derajat keterasingan atau keterkejutan budaya yang dirasakan oleh individu yang mengalaminya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bochner (2003) yang menjelaskan bahwa semakin berbeda kebudayaan antar dua individu yang berinteraksi, semakin sulit kedua individu tersebut membangun dan memelihara hubungan yang harmonis. Lantas, bagaimanakah kaitan antara pembelajar asing dan kaget budaya? Dalam kaitannya antara kaget budaya dan pembelajar asing, saya pribadi berpendapat bahwa kaget budaya adalah segala bentuk ketidaknyamanan yang muncul dalam diri seorang pembelajar asing atas suatu peristiwa/kejadian yang dirasakan atau dialaminya ketika berada di suatu negara yang baru yang memiliki khazanah budaya yang berbeda dengan lingkungan budaya yang telah diakrabi dan dihayati sebelumnya di negara asalnya. Berkaitan dengan hal ini, saya tidak membedakan pengertian keterasingan budaya (culture mismatch) dengan kaget budaya (culture shock) sebagaimana yang dinyatakan oleh Atmazaki di atas. Sementara pembelajar asing adalah mereka yang meninggalkan negara asalnya untuk datang dan menetap di suatu negara lain, dalam kurun waktu tertentu, untuk keperluan studi. Dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing, pembelajar asing di sini adalah mereka yang dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu mempelajari bahasa Indonesia lewat lembaga formal maupun lembaga perorangan yang memberikan layanan progam pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan berbagai pertimbangan dan latar belakang tertentu, kelompok pembelajar asing ini memutuskan untuk bergabung dengan penyelenggara profesional yang mengelola program pembelajaran bahasa Indonesia. PEMBELAJAR ASING, KAGET BUDAYA, DAN ANCANGAN SOLUTIFNYA Salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia kepada pembelajar asing adalah untuk memberikan kompetensi lisan dan tertulis kepada pembelajar asing tersebut. Dengan pembelajaran tersebut pembelajar asing diharapkan memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Indonesia secara lancar dan benar dalam bentuk lisan dan tertulis, sekaligus memiliki kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia sebagaimana yang digunakan oleh penuturnya. Menguasai bahasa Indonesia, khususnya bagi pembelajar asing, artinya memiliki kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa tersebut secara tepat dalam konteks yang sesuai. Untuk dapat mengidentifikasi konteks pemakaian bahasa secara tepat, seorang pembelajar asing selayaknya Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 5 harus dapat berinteraksi dengan baik dengan penutur bahasa Indonesia. Adalah hal yang mustahil bagi pembelajar asing tersebut untuk memahami dan menggunakan bahasa Indonesia secara kontekstual, terlebih bahasa Indonesia ragam nonformal, jika tidak berusaha melakukan pendekatan/interaksi dengan penuturnya. Dalam rangkaian upaya pendekatan tersebut, interaksi yang tercipta di antara pembelajar asing dengan penutur bahasa Indonesia berkemungkinan mengalami ketidakharmonisan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap sejumlah pembelajar asing, hal pertama yang paling menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka adalah letak peturasan (toilet) dan kamar mandi yang menjadi satu di tempat yang sama. Untuk sebagian besar masyarakat Indonesia, letak peturasan dan kamar mandi di tempat yang sama merupakan hal yang lumrah. Sementara buat pembelajar asing, hal ini menjadi semacam gangguan karena bercampurnya jamban dan kamar mandi di tempat yang sama mengakibatkan lantai basah, sehingga kerap menimbulkan rasa tidak nyaman (baca: jijik) di kalangan pembelajar asing yang terbiasa menggunakan peturasan kering. Beberapa orang dari pembelajar asing yang diwawancarai mengungkapkan bahwa ketiadaan kertas pembersih (tisu) di kamar kecil/kamar mandi dirasa mengganggu. Model jamban jongkok juga acap menjadi momok bagi sebagian pembelajar asing tersebut. Bahkan pada suatu kesempatan mengikuti program home stay, seorang pembelajar asing mengaku memilih menahan diri untuk tidak buang air besar di rumah keluarga yang ditempatinya karena keengganannya menggunakan jamban jongkok yang tersedia di rumah tersebut. Keengganannya tersebut timbul selain karena menggunakan jamban jongkok bukan kebiasaan yang biasa dilakoninya, juga karena kurangnya informasi mengenai hal ini. Yang bersangkutan cukup beruntung karena program home stay yang dijalaninya tersebut hanya berlangsung singkat, yakni di akhir pekan, sehingga untuk mengantisipasi keengganannya menggunakan jamban jongkok, yang bersangkutan masih bisa menggunakan kamar kecil di tempat yang umum yang menyediakan jamban duduk. Dapat dibayangkan seperti apa kesulitan yang bakal dihadapinya seandainya ia harus tinggal dalam waktu yang cukup lama dengan masyarakat setempat? Kasus seperti yang terungkap di atas dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk kaget budaya yang dialami oleh pembelajar asing. Ketidakmampuan/keengganan untuk beradaptasi dengan kebiasaan masyarakat setempat seperti yang dialami oleh pembelajar asing tersebut idealnya dapat diminimalisasi jika sebelumnya yang bersangkutan dibekali pengetahuan mengenai kebiasaan yang menyangkut salah satu kebutuhan dasar manusia ini. Terlebih bagi para pembelajar asing yang mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia yang terprogram, misalnya program Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 6 Dharmasiswa. Alangkah bijaksananya apabila diadakan semacam kegiataan pembekalan budaya yang menyangkut cara hidup masyarakat Indonesia mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali di malam hari, misalnya. Lain halnya dengan mereka yang mengikuti program pembelajaran bahasa Indonesia secara pribadi/indipenden. Sudah merupakan kewajiban bagi mereka untuk mengetahui/mempelajari cara hidup masyarakat Indonesia secara mandiri. Dengan kata lain, merekalah yang harus berperan aktif untuk mencari tahu mengenai hal ini. Untuk memenuhi kebutuhan pembelajar asing menyangkut cara hidup/kebiasaan masyarakat Indonesia, sebaiknya dibuat berbagai modul/buku/panduan yang dapat dijadikan rujukan bagi pembelajar asing tersebut, sehingga para calon pembelajar asing memiliki bekal yang memadai mengenai cara hidup/kebiasaan yang berlaku di masyarakat Indonesia. Selanjutnya yang menjadi hal yang mengejutkan pembelajar asing tersebut adalah kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia makan dengan menggunakan tangan. Pembelajar asing yang berasal dari Jepang sering merasa terganggu melihat orang Indonesia yang makan dengan menggunakan tangan; apalagi kebiasaan ini kerap dikaitkan dengan alasan agama. Perasaan terganggu dan sedikit kebingungan terhadap kebiasaan makan dengan tangan ini semakin menjadijadi jika melihat orang yang makan dengan tangan tersebut juga menjilati sisa makanan yang menempel di tangan kanannya sampai bersih. Di lain pihak, justru kebiasaan ini adalah hal yang dianjurkan bagi pemeluk agama Islam. Contoh lainnya yang berkaitan dengan hal ini adalah kebiasaan orang Indonesia untuk memuliakan/menghormati orang yang lebih tua atau orang yang berilmu atau orang yang berstatus sosial tinggi dengan cara mencium tangan yang bersangkutan. Sebagian dari pembelajar asing mengaku risi/tidak nyaman ketika mendapat perlakuan seperti itu. Dalam pandangan mereka, hal seperti itu hanya dapat dilakukan dalam konteks memberi/mengungkapkan perasaan sayang/cinta pada lawan jenis. Di sinilah persinggungan itu terjadi yang memungkinkan munculnya keterkejutan budaya. Dalam kaitannya dengan upaya memperluas pemahaman pembelajar asing mengenai kebiasaan setempat, terutama kebiasaan yang berlaku karena alasan agama, ada baiknya jika pembelajar asing juga diberikan pemahaman mengenai kebiasaan-kebiasaan lokal yang diwarnai dengan ajaran agama. Hal ini bisa dimulai dengan mencari tahu kebiasaan apa saja yang berlaku di masyarakat yang munculnya lebih banyak karena alasan/pertimbangan keagamaan, lalu dibuat dalam daftar/register tertentu, untuk kemudian disebarluaskan ke masyarakat luas, khususnya kepada kalangan pembelajar asing. Langkah ini memang membutuhkan kerja keras dan perhatian dari berbagai pihak, sehingga tercapai apa yang diharapkan. Dengan terealisasinya sebuah register yang memuat halKobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 7 ihwal kebiasaan lokal yang mendapat pengaruh agama, setidaknya para pembelajar asing tersebut menjadi lebih siap menghadapi berbagai persoalan perbedaan kebiasaan hidup. Kebiasaan masyarakat Indonesia berikutnya yang sering menjadi gangguan bagi pembelajar asing tersebut adalah kebiasaan beramah-tamah. Seperti yang diketahui bersama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menjunjung nilai kebersamaan, kepedulian, keramahtamahan, kesopansantunan, dan kegotongroyongan. Salah satu bentuk penghayatan nilai keramahtamahan dan kesopansantunan ini adalah kebiasaan suka bertanya, terutama untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Adalah hal yang wajar bagi kalangan masyarakat Indonesia jika berpapasan dengan seorang kenalan, lalu kita berbasa-basi menanyakan sesuatu pada orang tersebut, seperti menanyakan hendak ke mana, ada keperluan apa ke tempat tersebut, bersama siapa pergi ke tempat itu, dan lain sebagainya. Sebaliknya hal ini dirasa sangat mengganggu bagi pembelajar asing tersebut. Ketika harus berhadapan dengan orang Indonesia yang menanyakan hal serupa tersebut pada dirinya, seorang pembelajar asing dari Amerika atau Korea misalnya, akan merasa wilayah pribadinya terancam. Perasaan terancam seperti ini merupakan wujud kaget budaya lainnya yang acap terjadi di kalangan pembelajar asing. Pada kasus seperti ini, para pembelajar asing tersebut hendaknya diberikan pengertian mengenai pentingnya nilai keramahtamahan di kalangan masyarakat Indonesia. Bahwa kebiasaan orang Indonesia untuk bertanya seperti itu adalah sesuatu yang wajar, sebagai cara untuk beramah-tamah dan bersopan-santun. Dan selama pertanyaan itu dirasa masih dalam taraf wajar dan tidak terlalu mengganggu, hendaknya disikapi secara natural dan bijaksana pula. Perkara berikutnya yang juga dirasa sebagai gangguan yang menimbulkan kekagetan di kalangan pembelajar asing adalah tidak diperbolehkannya tinggal serumah dengan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan. Istilah ‘kumpul kebo’ bagi sebagian pembelajar asing adalah istilah yang lumrah dan biasa saja, yang tidak perlu disikapi dengan berlebihan. Di lain pihak, dari sisi masyarakat setempat, istilah ini adalah istilah yang diharamkan kehadirannya dalam perikehidupan sosial masyarakat. Benturan seperti inilah yang kerap menimbulkan kebingungan di kalangan pembelajar asing. Apaapa yang dianggap biasa saja di negara asal mereka, dapat menjadi suatu masalah besar jika dilakukan di Indonesia, dalam hal ini Jakarta. Dalam suatu kesempatan mengajar bahasa Indonesia untuk mahasiswa asing yang datang dari beberapa negara yang berbeda, saya menugaskan mahasiswa-mahasiswa tersebut untuk bekerja secara berkelompok. Sepengamatan saya, untuk bekerja bersama rekan yang berbeda asal negara saja, para mahasiswa asing tersebut juga mengalami hambatan. Walaupun mereka dikelompokkan Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 8 secara acak, dalam artian satu kelompok itu terdiri dari beberapa mahasiswa yang berbeda latar belakang, para mahasiswa tersebut cenderung untuk berkumpul kembali dengan mahasiswa yang seasal dengan negaranya. Adanya perasaan/pandangan yang menganggap negaranya lebih baik daripada negara lain tampaknya menjadi faktor yang mempengaruhi keengganan para mahasiswa asing tersebut untuk berbaur dengan rekan yang berbeda asal negara. Tugas yang semustinya dikerjakan dengan rekan yang berbeda asal, menjadi tidak tersentuh, sehingga materi pengenalan budaya yang sejatinya diberikan dengan cara praktik langsung tersebut menjadi tidak tercapai pada saat itu. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa hambatan budaya itu tidak hanya terjadi dengan penduduk lokal/setempat, tetapi juga dengan rekan-rekan mereka yang berbeda budaya dan asal negara. Ini menjadi semacam sinyal bahwa kaget budaya dapat terjadi pada skala lokal dan global. Untuk itulah, dibutuhkan upaya yang lebih serius untuk mengenalkan perbedaan budaya lokal dan global, serta memberikan wawasan/pemahaman mengenai pentingnya bersikap bijaksana atas keragaman kultural yang ada di antara masyarakat dunia. Upaya itu dapat ditempuh misalnya dengan menyediakan semacam kelas persiapan pengenalan budaya/kearifan lokal (dan global) sebelum kelas pembelajaran bahasa Indonesia dimulai. PENUTUP Dari apa yang diuraikan di atas, ada beberapa poin yang dapat dirangkum di sini untuk menutup uraian mengenai kaget budaya ini. Pertama, kaget budaya adalah sesuatu yang mau tidak mau pasti dialami oleh seseorang ketika berhadapan dengan orang lain yang berbeda latar belakang budayanya. Kaget budaya itu termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari wujud yang berskala kecil, semisal munculnya perasaan tidak nyaman dalam diri seorang pembelajar asing, sampai ke dalam bentuk yang lebih kompleks, semisal adanya perasaan yang menganggap dirinya ‘lebih’ daripada orang lain sehingga enggan berinteraksi dengan orang lain yang tidak seasal dengannya. Kedua, bahwa mempelajari bahasa Indonesia bagi kalangan pembelajar asing merupakan upaya yang membutuhkan perhatian dan energi yang ekstra besar. Mempelajari bahasa Indonesia artinya juga mempelajari budaya masyarakatnya, terlebih bagi pembelajar asing yang menetap di Indonesia. Mempelajari budaya dan kearifan lokal setempat serta berusaha beradaptasi sebaik mungkin dengan masyarakat merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh para pembelajar asing tersebut. Kemampuan beradaptasi yang baik dapat menjadi jembatan untuk meminimalisasi segala bentuk kaget budaya yang dialami oleh para pembelajar asing, sekaligus juga menjadi kunci untuk menguasai bahasa Indonesia dengan lebih mudah, baik, dan benar. Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 9 PUSTAKA ACUAN Atmazaki. 2012. Memahami dan Memberi Makna terhadap Perbedaan Budaya. http: //www.kampussebelah.blogspot.com/ Diakses pada 30 Mei 2014. Bochner, S. 2003. “Culture Shock Due to Contact with Unfamiliar Cultures” dalam Online Readings in Psychology and Cultures 8 (1). Diakses pada 15 Juli 2014. Dahidi, Ahmad. 2003. “Kaget Budaya Orang Jepang yang Tinggal di Bandung”, dalam Jurnal Bahasa dan Kebudayaan MAGEN, September No. 1/Th.1/2003 Universitas Negeri Surabaya. Frandawati. 2010. Gambaran Culture Shock pada Mahasiswa Asing. http://repository.usu.ac.id/. Diakses pada 17 Juli 2014. Gudykunst, W.B., dan Kim, Y.Y. 2003. Communicating with Strangers. 2nd ed. Boston: McGraw Hill. Koentjaraningrat. 1988. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Kobarkan Semangatmu! Working Together to Overcome Challenges 10