AKSI SOSIALISASI THE INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS DALAM UPAYA PENGGIATAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL DI INDONESIA TAHUN 2011-2015 Haggie Arranda Wahab* ABSTRAK Penelitian ini dilakukan berdasarkan pentingnya pemberlakuan Hukum Humaniter Internasional (HHI) bagi perlindungan masyarakat sipil sebagai non-kombatan di Indonesia. Hal ini menarik untuk diteliti dikarenakan the International Committee of the Red Cross (ICRC) merupakan pihak yang bertugas untuk melakukan penyebaran informasi mengenai HHI. Hal menarik lainnya adalah dimana ICRC dengan principle of voluntary service yang dimilikinya, tetap melakukan aksi sosialisasi walaupun Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1977. Problematik yang diangkat menitikberatkan pada kegiatan sosialisasi HHI yang dilakukan ICRC dalam rentang waktu tahun 2011 hingga tahun 2015 di Indonesia terhadap pihak TNI, POLRI, pekerja media, dan kalangan akademis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Teori yang diacu sebagai referensi adalah human security dari United Nations dan komunitas epistemik dari Peter Haas. Hasil temuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ICRC membantu Indonesia dalam melakukan sosialisasi terhadap hukum humaniter internasional. Selain itu, ICRC sebagai komunitas epistemik bekerjasama dengan TNI, POLRI, kalangan akademis, dan pekerja media juga merupakan bentuk dari usaha mewujudkkan keberlangsungan human security. Kata Kunci: Aksi Sosialisasi, Hukum Humaniter Internasional, Indonesia. ABSTRACT This research was conducted based on Indonesia Humanitary Law enactment to protect civil society as non-combatant in Indonesia. The topic is interesting to be observed since the International Committee of the Red Cross (ICRC) is the party which is in charge to do the dissemination of information about HHI and ICRC with its principle * Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, E-mail: [email protected]. of voluntary service still doing socialization while Indonesia didn’t do ratification towards Additional Protocol of the Geneva Convention in 1977. The problematic focuses on dissemination activities of IHL by ICRC within the period of 2011 to 2015 in Indonesia against the military, police, media workers, and academia. This study uses descriptive qualitative research. The theory is referred to as a reference is the human security of United Nations and epistemic communities of Peter Haas. The result from this study can be concluded that the ICRC assist Indonesia in dissemination of international humanitarian law. In addition, the ICRC as an epistemic community in cooperation with the military, police, academics and media workers is also a form of efforts towards the sustainability of human security. Keywords: Indonesia. Socialization Act, International Humanitarian Law, PENDAHULUAN Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dengan jumlah 1.128 suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.1 Selain itu, dengan jumlah penduduk yaitu 255,993,674 jiwa, membuat Indonesia menjadi negara urutan keempat dalam world’s 50 most populous countries pada tahun 2015.2 Luas wilayah Indonesia yang merupakan negara kelautan juga mencapai 1.904.569 km2.3 Dengan komposisi 90% penduduknya merupakan penduduk muslim, Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Keberagaman dan penghormatan antar umat beragama juga tetap dijaga serta mereka bersatu dalam sebuah payung yang bernama “Bhinneka Tunggal Ika”, yang memiliki arti “Berbeda-beda tapi tetap satu jua".4 Namun, dengan data yang disebutkan sebelumnya, hal itu bukan merupakan sebuah jaminan bahwa Indonesia bisa terhindar dari konflik internal yang terjadi di negaranya. Konflik bisa saja terjadi secara vertikal yaitu antara pemerintah dengan masyarakat, atau terjadi secara horizontal yaitu antar sesama masyarakat. Sebagai contoh pada tahun 2003, sebuah konflik vertikal yang terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hal ini terjadi dikarenakan Indonesia waktu itu ingin membendung kekuatan GAM di Aceh. Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun dikerahkan untuk melakukan penyisiran terhadap pasukan GAM. Namun, yang terjadi adalah banyaknya masyarakat sipil yang menjadi korban dari kejadian tersebut. Dari barat Indonesia, konflik pun terjadi di bagian timur Indonesia yaitu di Papua. Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan sebuah kelompok yang telah ada sejak tahun 1965 dengan memiliki komitmen untuk memperoleh kemerdekaaan kepada Papua untuk menjadi sebuah negara yang berdaulat di bagian timur Indonesia. Kekerasan yang dilakukan OPM bukanlah hanya sebatas sebuah ancaman. Sepanjang tahun 2014, kekerasan di Papua terjadi cukup sering. Contohnya, pada 9 Januari 2014, terjadi baku tembak di Tanggul Timur, Kali Kopi, Mimika. Kekerasan ini terjadi antara pasukan gabungan TNI-POLRI dengan pasukan OPM yang memang biasa melakukan tugas di area Freeport, Kabupaten Mimika. Dari konflik ini, satu anggota OPM ditemukan tewas di tempat. Kekerasan juga terjadi pada 18 Januari 2014 Pos Kompas unit intel Kodim 1714/PJ Kota Lama Mulia, Kabupaten Puncak Jaya.5 Pos ini ditembaki kelompok sipil bersenjata, mengakibatkan dua personil TNI yaitu Serda Laowe terkena tembakan tangan kiri dan Praka Adi terserempet amunisi di bahu. Melihat konflik yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, maka memang dengan kondisi Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa dengan kepentingan yang berbeda, menjadi sebuah potensi yang nantinya akan menimbulkan konflik atau peperangan. Ketika konflik maupun peperangan itu terjadi, bukan tidak mungkin jika hukum perang atau hukum humaniter internasional akan dilanggar. DEFINISI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL The International Committee of the Red Cross (ICRC) mengemukakan bahwa hukum humaniter internasional (HHI) ialah seperangkat peraturan yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, dan bertujuan untuk membatasi dampak yang ditimbulkan dari konflik bersenjata. Hukum humaniter internasional diterapkan untuk melindungi orang-orang yang tidak terlibat dalam perang, personil militer yang sudah tidak lagi berpartisipasi dalam peperangan, individu yang terlibat dalam peperangan yang sedang berlangsung, dan membatasi sarana serta metode yang digunakan dalam perang tersebut.6 Maka dari itu ICRC juga mengatur bahwa setiap pihak yang ikut serta dalam konflik maupun personil militer yang bertugas di dalamnya, mempunyai hak yang terbatas untuk menggunakan sarana dan metode perang yang dipilihnya. ICRC membuat aturan tersebut bukan ditujukan untuk menggantikan perjanjian internasional yang ada. Hal tersebut dimaksudkan untuk mempermudah proses penggiatan HHI. THE INTERNATIONAL COMMITTEE OF THE RED CROSS (ICRC) The International Commitee of the Red Cross (ICRC) merupakan sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1863 dengan tujuan untuk menjamin perlindungan bantuan bagi masyarakat yang menjadi korban konflik maupun konflik bersenjata. Perwujudan aksi yang dilakukan ICRC ini dilakukan dengan melakukan penyebaran informasi dan meningkatkan apresiasi terhadap HHI oleh pemerintah, masyarakat, dan semua pihak yang memegang senjata atau terlibat dalam perang maupun konflik. Sejak tahun 1945, ICRC terus meminta pemerintah untuk melakukan penguatan dalam aplikasi hukum humaniter internasional dan menghormatinya sebagai hukum yang sah untuk mengatur segala hal dalam konflik dan perlindungan terhadap masyarakat yang tidak terlibat dalam perang yang biasa disebut dengan non-kombatan.7 Anggota ICRC terus berusaha untuk melakukan tugasnya yaitu melindungi masyarakat dari ancaman kekerasan dan juga penindasan terhadap hak asasi manusia. Aksi sosialisasi yang dilakukan oleh ICRC berdasarkan kepada Konvensi Jenewa tahun 1949, protokol-protokol tambahan, anggaran dasar ICRC, gerakan palang merah internasional, dan bulan sabit merah. ICRC menyatakan diri mereka sebagai organisasi yang mandiri dan netral yang memang sesuai dengan tujuan utama mereka untuk menjamin perlindungan dan pertolongan kemanusiaan bagi korban konflik bersenjata maupun bentuk kekerasan lainnya.8 ICRC melakukan usaha terbaiknya untuk menjamin implementasi HHI di hukum nasional masing-masing negara sehingga tujuan mereka untuk menjamin penegakan HHI, dapat tercapai dengan hambatan yang telah diminimalisasi sebaik mungkin. ICRC DI INDONESIA Keberadaan ICRC di Indonesia sudah sejak tahun 1942, ketika Jepang merebut Indonesia dari tangan Belanda. Pada saat itu, utusan ICRC melakukan kegiatan kunjungan ke berbagai lokasi penahanan warga sipil dan militer Belanda di berbagai tempat di tanah air. Seiring berjalannya waktu, kegiatan kemanusiaan yang dilakukan ICRC di Indonesia semakin berkembang bersamaan dengan banyaknya peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia. ICRC berusaha membantu masyarakat sipil di Indonesia dengan melakukan berbagai usaha penanggulangan dan pertolongan kepada korban seperti pengiriman obat dan pendirian posko bantuan guna memberikan pertolongan pertama di lapangan kepada masyarakat sipil yang terluka. Peran signifikan ICRC juga mulai terlihat dengan terbentuknya Palang Merah Indonesia (PMI) pada 17 September 1945.9 PMI didirikan dengan tujuan untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di dunia internasional. Tujuan tersebut pun tercapai dengan pengakuan yang dilakukan ICRC terhadap PMI pada 15 Juni 1950. Hubungan PMI dan ICRC terus berkembang hingga pada rentang tahun 1979-1980, ICRC membantu PMI dengan untuk melakukan wawancara dengan tahanan yang diduga sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memberikan laporan hasil wawancara tersebut.10 Berdasarkan paparan di atas, penulis mengangkat “Aksi Sosialisasi The International Committee of The Red Cross (ICRC) dalam Upaya Penggiatan Humaniter Internasional Tahun 2011-2015” dikarenakan ICRC banyak melakukan upaya yang signifikan untuk melakukan penggiatan hukum humaniter internasional dalam bentuk penyebaran informasi, penyuluhan, dan seminar kepada masyarakat Indonesia. Sosialisasi HHI yang dilakukan ICRC tidak hanya mencakup kepada masyarakat sipil, namun juga kalangan akademis dan juga aparat keamanan di Indonesia. Menurut penulis, hal ini menjadi sebuah urgensi untuk dibahas dikarenakan aparat-aparat keamanan seperti TNI dan POLRI merupakan ujung tombak pertahanan di Indonesia dan perlu memiliki sebuah pemahaman mengenai batasan-batasan dalam konflik atau peperangan. Batasan tersebut tentunya sudah tercantum dalam konvensi jenewa serta hukum humaniter internasional melalui prinsip distinction yaitu pembeda antara kombatan sebagai sasaran militer dan non-kombatan sebagai pihak yang harus dilindungi. Hal ini perlu diketahui untuk menghindari pelanggaran akan hukum humaniter internasional maupun meminimalisasi jumlah korban sipil yang berjatuhan akibat konflik atau peperangan yang terjadi. Untuk itu, perlu diangkat sebuah penelitian yang menjelaskan mengenai sosialisasi HHI yang menjadi sarana ICRC untuk memperkaya pemahaman TNI dan POLRI sehingga pelanggaran dan korban sipil bisa diminimalisasi dengan sebaik mungkin. Pihak media pun menjadi sebuah pihak yang tidak luput dari sosialisasi HHI yang dilakukan ICRC karena mereka merupakan sebuah pihak yang bertugas untuk melakukan peliputan terhadap konflik yang terjadi sehingga informasi mengenai hal tersebut bisa diketahui secara umum baik nasional maupun internasional Media menjadi sebuah wadah informasi ketika sebuah konflik terjadi untuk mengetahui bentuk pelanggaran yang telah dilakukan serta bagaimana upaya memerangi konflik yang benar yaitu yang sesuai dengan kaidah hukum humaniter internasional. Sehingga, ketika masyarakat sudah mengetahui mengenai hal tersebut, mereka bisa memberi tahu kepada kombatan untuk menghindari pelanggaran- pelanggaran yang ada dan jika mereka berpartisipasi dalam peperangan sebagai kombatan, mereka juga akan mengetahui bagaimana cara melakukan perang yang sesuai dengan hukum humaniter internasional. Sebagai non-kombatan, masyarakat sipil juga akan mengetahui perlindungan yang akan diperoleh masyarakat sipil dalam konflik bersenjata sehingga mereka mengetahui hak yang mereka bisa dapatkan dalam peperangan dan konflik-konflik lainnya sehingga perlindungan mereka akan terjamin oleh negara dan terhindar dari kekerasan yang nantinya terjadi dalam konflik tersebut. Hal yang menjadi menarik disini adalah dimana ICRC tetap melakukan sosialisasi dalam rangka penggiatan HHI di Indonesia meskipun Indonesia sendiri belum melakukan ratifikasi terhadap protokol tambahan konvensi jenewa 1977. Namun, dengan berdasarkan hukum kebiasaan internasional, maka dengan atau tanpa ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia atas protokol tambahan tersebut, maka kekuatan dari hukum kebiasaan internasional menjadikan Indonesia harus tetap patuh terhadap aturan-aturan yang terdapat dalam protokol tambahan tersebut dan ICRC tetap melakukan penggiatan atas konvensi jenewa secara keseluruhan baik konvensi utama maupun protokol tambahannya. Selain itu, penulis membatasi penelitian pada tahun 2011-2015 dikarenakan terdapat UU No. 26 Tahun 200o tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memang bekerja untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dari setiap warga negara Indonesia. Menjadi sebuah hal yang perlu diteliti ketika tingkat pelaporan masyarakat terkait pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 2014, berdasarkan data yang dimiliki komnas HAM, mencapai 7.200 kasus pelanggaran.11 Maka dari itu, penulis ingin mengetahui bentuk sosialisasi yang signifikan dari ICRC dalam mempersuasikan implementasi hukum humaniter internasional pada rentang waktu yang telah ditentukan. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah sebuah penelitian deskriptif kualitatif. Dalam buku Metode Penelitian Sosial karangan Ulber Silalahi, disebutkan bahwa konseptualisasi dan penelitian deskriptif menghasilkan melibatkan pembentukan proses skema-skema kualifikasi.12 Berhubungan dengan penelitian ini, penelitian deskriptif menggunakan pengetahuan atau informasi tentang gejala sosial yang diselidiki atau dipermasalahkan. Jenis data yang digunakan adalah data primer hasil wawancara dengan narasumber dari ICRC dan undangundang serta konvensi jenewa dan protokol tambahannya. Data sekunder berupa buku, dokumentasi kegiatan, dan jurnal, didapatkan melalui studi pustaka dan telusur internet. Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang teknik ini sendiri dikemukakan oleh Miles dan Huberman. SOSIALISASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Sosialisasi hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh ICRC dilaksanakan melalui bekerjasama dengan berbagai pihak agar pemerataan informasi dapat tercapai. Sesuai dengan tujuan ICRC, mereka berusaha untuk memberikan informasi mengenai HHI kepada pihak-pihak yang mereka prioritaskan. Pihak-pihak tersebut adalah pemegang kekuasaan di bidang politik, sektor militer, tokoh masyarakat, media, dan juga organisasi internasional kemanusiaan lainnya.13 Untuk di Indonesia, penulis melihat intensitas dalam kegiatan sosialisasi lebih kepada pihak TNI, POLRI, kalangan akademis, dan juga media yang melakukan liputan saat terjadi konflik. Sebagai sebuah komunitas epistemik, ICRC berusaha menjalankan tugasnya untuk membantu pemerintahan Indonesia melakukan tugas sosialisasi dari hukum humaniter internasional. Melalui kerjasamanya dengan pihak TNI, POLRI, kalangan akademis, dan pekerja media, nyatanya hal tersebut juga merupakan sebuah perwujudan dari upaya menjaga keberlangsungan human security terutama personal security. Hal ini dikarenakan dari human security tersebut dibutuhkan sebuah sinergi yang cukup efektif dari berbagai pihak yang ada untuk mencegah ancaman-ancaman yang dapat menganggu keberlangsungan human security. Selain itu, dibutuhkan cara yang non-konvensional untuk mencegah ancaman-ancaman tersebut agak tidak dapat terjadi. Maka dari itu, ICRC membuat sebuah kegiatan yang memang nantinya akan berdampak kepada penggiatan hukum humaniter internasional di Indonesia. Kegiatan yang dipilih tersebut adalah sosialisasi hukum humaniter internasional. Menurut penulis, hal yang membuat TNI, POLRI, dan media dijadikan sasaran kegiatan sosisaliasi adalah karena mereka merupakan pihak yang langsung terjun ke lapangan ketika konflik kemanusiaan terjadi. Sehingga, mereka harus mengetahui bagaimana hukum humaniter internasional bekerja ketika operasi militer berupa perang maupun non-perang berlangsung. Sedangkan untuk kalangan akademis, sosialisasi yang dilakukan ICRC bisa menjadi sebuah kegiatan yang akan memperkuat fondasi pengetahuan mereka mengenai hukum humaniter internasional. Untuk program sosialisasi yang dijalankan cukup beragam. Program tersebut disesuaikan dengan pihak yang diajak bekerja sama serta bagaimana hukum humaniter internasional dapat memainkan peranannya dengan baik ketika pihak tersebut melakukan kegiatan operasionalnya. Di dalam bab III ini, penulis membagi bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh ICRC dengan pihak yang diajak untuk kerjasama yaitu TNI, POLRI, pekerja media, dan juga kalangan akademisi. LOKAKARYA PEKERJA MEDIA Sebuah konflik akan bisa diketahui oleh masyarakat luas melalui pemberitaan yang dilakukan oleh media. Maka dari itu, ketika konflik terjadi, akan banyak peliputan untuk menggali informasi sebanyakbanyaknya untuk diberitakan kepada masyarakat luas. Mengenai hal ini, para jurnalis dan wartawan juga merupakan orang yang secara langsung terjun ke daerah konflik untuk melakukan peliputan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, ICRC melakukan sosialisasi untuk pihak pers dan media. Bentuk sosialisasi akan materi yang disampaikan adalah perlindungan terhadap pihak media dalam peperangan. Wartawan bisa dianggap sebagai masyarakat sipil berdasarkan atas pasal 79 protokol tambahan 1 konvensi jenewa. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah wartawan tersebut dilarang untuk melakukan tindakan apapun yang dapat merusak status mereka sebagai masyarakat sipil. Tindakan yang bisa merusak status mereka tersebut antara lain seperti secara langsung membantu peperangan, membawa senjata ke dalam peperangan tersebut, dan menjadi informan atau mata-mata dari salah satu pihak yang terlibat dalam peperangan.Serangan yang sengaja dilakukan dan ditujukan kepada pihak jurnalis dalam peperangan hingga menyebabkan kematian atau luka fisik serius adalah suatu pelanggaran yang besar terhadap protokol tambahan ini. Terlebih, tindakan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk kejahatan perang. Pekerja media tidak bisa dianggap sebagai sasaran militer yang sah bahkan ketika mereka digunakan sebagai tujuan propaganda, terkecuali dikarenakan hal khusus. Dengan kata lain, jika tidak ada peraturan khusus untuk wartawan dan pekerja media, mereka akan memperoleh sebuah benefit yang cukup luas dari perlindungan yang ditujukan bagi masyarakat sipil pada umumnya dari konvensi jenewa. Sekali lagi, perlindungan tersebut akan tetap diberikan selama mereka tidak memberikan kontribusi apapun kepada peperangan yang sedang berlangsung. ICRC berdasarkan hukum humaniter internasional memberikan beberapa definisi atas wartawan yang ada di dalam peperangan, yaitu tiga kategori jurnalis dalam tugas profesional di area konflik bersenjata. Kategori pertama merupakan staf penerangan dari negara yang terlibat dalam peperangan tersebut dan secara otomatis mereka dianggap sebagai kombatan dikarenakan tergabung dalam satuan militer yang sedang berperang. Kategori selanjutnya adalah jurnalis yang bertugas sebagai koresponden perang yang diakui dan diakreditasi oleh salah satu pihak angkatan bersenjata yang terlibat dalam peperangan tersebut. Koresponden yang menjadi anggota media dari salah satu pihak tersebut termasuk kategori kombatan karena keberpihakannya dan keikutsertaannya dalam peperangan yang berlangsung. Jika jurnalis tersebut tertangkap, maka status mereka adalah tawanan perang. Kategori yang ketiga adalah wartawan freelance, yaitu wartawan yang tidak ambil bagian dalam peperangan dan murni melakukan tugas kerja peliputan bagi suatu media. Benefit yang bisa didapatkan adalah status mereka sama seperti masyarakat sipil dan perlindungan yang diberikan kepada mereka sama halnya untuk non-kombatan dengan syarat mereka bebas dari segala tindakan partisipasi dalam peperangan. ICRC juga menjelaskan kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh media dalam melakukan tugasnya seperti menyebarkan kebencian, melakukan keberpihakan, dan pengembangan berita dari bentuk aslinya dengan menambahkan beberapa hal demi meningkatkan minat baca terhadap berita yang diterbitkan. ICRC berpendapat bahwa hal yang diharuskan oleh media adalah memberikan informasi yang berimbang, menyampaikan opini berdasarkan informasi yang kredibel, tidak melakukan pemberitaan yang berlebihan tentang korban dari suatu peperangan dalam rangka untuk tetap memanusiakan korban, memberikan informasi yang tepat dan sesuai dengan porsinya untuk warga sipil, dan mengingatkan dunia tentang bagaimana suatu konflik bisa terlupakan. Hal ini perlu dilakukan demi menggerakan dukungan dari masyarakat untuk pihak media sehingga persepsi buruk mereka akan media akan bisa diminimalisasi. ICRC juga banyak menyampaikan mengenai hal-hal yang bisa dilakukan dalam membantu para pekerja media tersebut dalam konflik bersenjata. Salah satunya adalah memberikan bantuan ketika pekerja media tersebut merasa terancam ketika sedang melakukan peliputan di daerah konflik. Selain itu, dalam daerah konflik bersenjata internasional, ICRC juga dapat memberikan perlindungan kepada wartawan ketika mereka sedang melakukan liputan. Ketika wartawan tersebut tertangkap dan menjadi tahanan perang, ICRC juga bisa memberikan kunjungan serta bantuan kepada wartawan yang tertangkap oleh salah satu pihak dalam peperangan. ICRC juga memberikan sebuah nomor telepon untuk keadaan gawat darurat bagi pekerja media, anggota keluarganya, dan rekan kerjanya yang merasa terancam akibat konflik bersenjata internasional yang terjadi. Salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan ICRC kepada pekerja media adalah sebuah lokakarya peliputan daerah bencana atau konflik. Pada tanggal 18 Juli 2013, ICRC bekerjasama dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) mengadakan acara tersebut di Hotel Akmani, Jakarta.14 Acara tersebut menghadirkan psikolog dan wartawan senior dari beberapa media terkemuka di Indonesia. Peserta yang mengikuti sosialisasi tersebut disuguhkan dengan materi tentang pengetahuan cara meliput di daerah konflik dan bencana yang tentunya harus disertai dengan ketahanan fisik serta mental dari wartawan yang bertugas. Melalui acara tersebut juga dijelaskan bagaimana seorang wartawan harus mempunyai etika liputan yang baik, kemampuan bertahan hidup di tengah konflik yang terjadi ketika memang peliputan masih dilakukan, dan juga bagaimana mereka bisa menyembuhkan diri mereka sendiri dari trauma yang didapatkan ketika bertugas di daerah konflik maupun bencana. Acara ini juga sekaligus menjadi sebuah bentuk pencapaian terhadap human security dimana nantinya pekerja media juga bisa diharapkan terhindar dari physical violence yang terdapat dalam ancaman yang bisa terjadi pada setiap individu yang ancaman tersebut juga bisa mengancam kepada personal security. EKSPLORASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Eksplorasi Hukum Humaniter (EHH) merupakan sebuah program pendidikan dalam rangka untuk memperkenalkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional (HHI) kepada pemuda berusia 13-18 tahun. Materi pembelajaran yang diberikan dalam program EHH didasarkan pada situasi masa lalu yang telah terjadi maupun situasi kontemporer. Melalui materi tersebut, diperlihatkan bagaimana HHI melaksanakan tujuannya yaitu untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan martabat dari setiap manusia selama konflik bersenjata. Melalui program ini. HHI juga diperkenalkan sebagai hukum yang berfungsi untuk mencegah dan mengurangi penderitaan dan kehancuran yang ditimbulkan akibat perang atau konflik yang telah terjadi. EHH menggunakan metode pengajaran yang mewajibkan para siswa untuk memiliki peran serta andil yang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini memungkinkan para siswa tersebut untuk melakukan pengembangan atas perspektif kemanusiaan secara sederhana serta sekaligus memahami HHI yang merupakan sebuah hukum dengan kompleksitas yang tinggi. Melalui program ini, para siswa juga bisa melakukan analisa terhadap kehancuran yang diakibatkan oleh perang melalui studi kasus dan melalui pengalaman serta daya pikir dari masing-masing siswa. Studi kasus yang diberikan memberikan deskripsi bahwa perilaku manusia yang terdesak akan tergambarkan secara aktual dalam konflik yang membutuhkan tindakan kemanusiaan secara spontan. Dengan mempelajari studi kasus tersebut, siswa diharapkan akan mempunyai perspektif baru dan mengembangkannya dalam kehidupan akademisnya kelak. Siswa juga diharapkan bisa memahami tentang urgensi atas pemberlakuan aturan untuk melindungi kehidupan dan martabat setiap manusia ketika perang atau konflik berlangsung. Pelaksanaan program EHH berhasil dilakukan pada tanggal 5 hingga 9 Maret 2012. ICRC bekerjasama dengan Pondok Pesantren Darrunajah dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mengadakan pelatihan program EHH bagi 20 guru yang berasal dari 11 pondok pesantren di Indonesia.15 Implementasi dari program EHH sendiri telah dilakukan di 63 negara di dunia dengan beragam cara penyampaian yang berbeda. Beberapa negara yaitu Malaysia, Mongolia, Palestina, dan Yordania sudah berhasil melakukan integrasi EHH ke dalam kurikulum sekolah maupun kegiatan ekstrakurikulernya. PEMBEKALAN TNI DAN POLRI Sosialisasi hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh ICRC untuk TNI mencakup beberapa materi mengenai HHI. Salah satunya adalah tentang distinction atau pembedaan dalam rangka memberikan perlindungan masyarakat sipil dalam konflik bersenjata. Masyarakat sipil dalam sebuah konflik bersenjata atau perang yang terjadi sering mendapatkan akibat yang terjadi setelahnya. Bahkan, dalam sebagian besar konflik, yang banyak menjadi korban adalah masyarakat sipil. Di dalam protokol tambahan I dan II konvensi jenewa 1977, terdapat sebuah perjanjian yang menyebutkan untuk perlindungan masyarakat sipil secara lebih baik dalam konflik bersenjata tingkat internasional maupun konflik non-internasional. Protokol tambahan tersebut melindungi masyarakat sipil dengan berfokus kepada prinsip pembedaan dalam HHI antara masyarakat sipil dengan kombatan. ICRC dengan aksi sosialisasi HHI yang ditujukan kepada TNI, berusaha untuk menjelaskan bagaimana TNI harus bisa membedakan antara objek sipil dan sasaran militer. ICRC juga secara tidak langsung meminta TNI untuk mematuhi prinsip pembedaan tersebut dalam rangka mewujudkan sebuah perlindungan terhadap keberlangsungan masyarakat sipil. Sehingga, dengan tercapainya dan terlaksananya prinsip pembedaan dalam konflik bersenjata, maka salah satu elemen dari human security yaitu personal security dimana menjamin masyarakat sipil terbebas dari kekerasan fisik dari sebuah konflik, dapat tercapai. Materi lainnya yang disampaikan adalah tentang pengintegrasian hukum humaniter internasional kepada praktik kerja yang dilakukan oleh TNI. Program pengintegrasian merupakan sebuah proses tang bersifat multi-disipliner dengan melibatkan pihak-pihak berwenang tingkat tertinggi di Indonesia seperti kementerian-kementerian dan instansi terkait yang ada pengintegrasian di Indonesia. merupakan Untuk sebuah TNI tingkatan sendiri, program dalam rangkaian komando yang meliputi tingkatan strategi dan juga tingkatan taktik. Para komandan yang ada di puncak komando di TNI juga disarankan oleh ICRC untuk membuka jalan atas pengintegrasian hukum humaniter internasional ke dalam tahapan perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan setiap operasi tempur dan penegakan hukum yang dilakukan oleh TNI. Pada umumnya, para puncak komando menerbitkan sebuah perintah tertulis yang sifatnya akan permanen. Namun, perintah tersebut juga belum cukup. Dalam pengaplikasiannya, dibutuhkan sebuah penterjemahan perintah tersebut ke dalam program, proyek, atau rencana kerja yang konkret. Setelah itu, maka realisasi atas rencana kerja tersebut harus dilakukan dan harus ada evaluasi setelah kegiatan itu selesai dilaksanakan. Evaluasi ini dibutuhkan untuk menyempurnakan tujuan selama berlangsungnya proses pengintegrasian hukum humaniter internasional. Materi pengintegrasian hukum humaniter internasional yang disampaikan oleh ICRC juga mencakup kepada pengintegrasian HHI ke dalam doktrin. Doktrin yang dimaksudkan adalah semua petunjuk, kebijakan, prosedur, aturan perilaku (tata tertib), dan buku pegangan yang dijadikan sebagai acuan pendidikan dan pelatihan pihak bersenjata selama jenjang karier mereka berlangsung. Prinsip-prinsip yang relevan dari hukum humaniter internasional seperti sarana, mekanisme, serta prinsip untuk penghormatan kepada orang dan objek yang dilindungi, juga merupakan hal-hal yang menjadi subjek pengintegrasian HHI ke dalam doktrin. Selain materi-materi yang telah disebutkan sebelumnya, materi lainnya yang disampaikan adalah mengenai prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, alat dan cara berperang, perlindungan terhadap tawanan perang, perlindungan terhadap tahanan operasi, dan sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional. Untuk TNI AD, ICRC setiap tahunnya merencanakan 7 kali program sosialisasi dengan rincian yaitu program sosialisasi untuk KODAM dan KOREM sebanyak dua kali, satu kali untuk KOSTRAD, satu kali dengan Brigif, satu kali dengan KOPASSUS, satu kali dengan pusdiklat AD, kepada AKMIL satu kali. Kepada TNI AL, ICRC mencanangkan dua program sosialisasi setiap tahunnya bagi KOARMATIM (Komando Armada RI Kawasan Timur) dan KOARMABAR (Komando Armada RI Kawasan Barat). Program sosialisasi untuk TNI AL sendiri menggunakan Tactical Floor Games (TFG) dengan peta kelautan Indonesia sebagai media simulator strategi. Terakhir, untuk TNI AU, sosialisasi juga dilaksanakan dua kali dalam setahun dengan materi berupa hukum humaniter internasional, HAM, dan hukum udara serta aspek-aspek perang di udara Selain bekerjasama dengan TNI, dalam sosialisasinya, ICRC juga melakukan kerjasama dengan Kepolisian Republik Indonesia. Bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh ICRC dalam hal ini sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan bersama dengan TNI. Dalam sosialisasi dengan pihak POLRI, ICRC memberikan informasi mengenai standar HAM dan seputar kepolisian internasional. ICRC menyampaikan kepada POLRI tentang penegakkan hukum nasional yaitu dengan perlindungan nyawa dan harta benda, penjaminan atas situasi aman, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban umum, dan penghormatan kepada HAM. Kepolisian juga wajib untuk melakukan pencegahan dan pendekteksian dini terhadap kejahatan dengan melakukan sinergi yang kuat antara pihak kepolisian dan masyarakat melalui hubungan timbal balik antara polisi dan masyarakat. ICRC juga dalam kesempatan sosialisasinya, menerangkan bahwa POLRI harus juga bisa menyediakan waktu untuk masyarakat dalam rangka memberikan perlindungan dalam keadaan darurat. Selain itu, berdasarkan aturan perilaku PBB bagi petugas penegak hukum ICRC menyampaikan beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pihak kepolisian Indonesia. Aturan-aturan tersebut antara lain: 1. Polisi harus selalu memenuhi kewajiban yang oleh hukum dibebankan kepadanya, dengan cara melayani masyarakat dan melindungi semua orang dari tindakan yang melawan hukum. 2. Polisi harus selalu menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjunjung tinggi HAM dari setiap manusia. 3. Polisi diperbolehkan untuk menggunakan tindakan kekerasan hanya bilamana benar-benar diperlukan dan bisa memperhatikan faktor keseimbangan yang ada. 4. Polisi haruslah bisa menjaga kerahasiaan dari hal-hal yang bersifat rahasia, terkecuali jika pelaksanaan kewajiban atau tuntutan peradilan mengharuskan polisi tersebut mengemukakannya, 5. Polisi dilarang untuk menyiksa dan memberikan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat orang lain. 6. Polisi haruslah memastikan perlindungan penuh atas kesehatan semua orang yang menjadi tahanannya. 7. Polisi tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang. 8. Polisi haruslah menghormati hukum dan aturan perilaku yang ada, serta diwajibkan untuk mencegah dan melawan setiap pelanggaran hukum dan pelanggaran aturan perilaku. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) memiliki beberapa pandangan mengenai standar HAM internasional bagi pihak kepolisian. Menurut OHCHR, pihak kepolisian haruslah menjadi pihak yang bisa melindungi dan menjamin keamanan serta hak dari masyarakat.16 Dalam pernyataannya, OHCHR juga menegaskan bahwa pihak kepolisian yang ada di masing-masing negara harus bisa melakukan optimalisasi perannya dalam melayani masyarakat. Hal ini sesuai dengan salah satu misi POLRI yaitu “Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, responsif dan tidak diskriminatif.”17 Selain sosialisasi mengenai standar HAM dan kepolisian internasional, ICRC juga melakukan sesi pemutaran video dalam rangkaian acara yang biasa dilakukan. Video ini merupakan sebuah “video dilematis” yang berisikan informasi tentang bagaimana seharusnya pihak kepolisian bersikap dalam menghadapi suatu kejadian ketika sedang melaksanakan tugas. Namun, yang menjadi pesan dalam video ini adalah polisi yang sedang bertugas adalah bagaimana mereka harus bisa memperhatikan sisi kemanusiaan yaitu hak-hak mendasar yang dimiliki setiap individu. DEBAT DAN KOMPETISI BAGI MAHASISWA Untuk kalangan mahasiswa, ICRC juga mempunyai program sosialisasi dengan bentuk kompetisi dan juga seminar. Ada dua bentuk kompetisi yang diadakan oleh ICRC yaitu International Humanitarian Law (IHL) Debate dan juga Kompetisi Pengadilan Semu (Moot Court Competition). Lomba debat nasional mengenai hukum humaniter internasional atau biasa dikenal dengan International Humanitarian Law Debate merupakan sebuah debat yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa pengantaranya dan diikuti secara rutin oleh mahasiswa hubungan internasional yang ada di Indonesia dan secara resmi diselenggarakan oleh delegasi regional ICRC di Jakarta. Debat ini diperuntukkan bagi mahasiswa hubungan internasional dan diadakan di universitas yang program studi hubungan internasionalnya menjadi tuan rumah akan lomba tersebut. Acara ini merupakan sebuah acara yang sangat istimewa bagi mahasiwa hubungan internasional yang ada di Indonesia. Melalui kompetisi ini, setiap mahasiswa yang menjadi peserta tidak hanya diminta untuk memahami secara utuh tentang hukum humaniter internasional. Namun, debat ini juga mewajibkan bagi mahasiswa tersebut untuk aktif berpartisipasi mengemukakan pendapatnya dan mendebatkan pendapat lawannya. Selain itu, peserta juga wajib untuk menunjukkan performa terbaiknya untuk meyakinkan para juri dalam kompetisi ini. KESIMPULAN Sebuah negara yang sudah melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Jenewa 1949 mempunyai tugas untuk menyebarluaskan informasi mengenai hukum humaniter internasional. Namun, tugas Indonesia sebagai aktor yang seharusnya melakukan sosialisasi tersebut, sudah diwakilkan dan dilaksanakan oleh ICRC. Sebagai sebuah komunitas epistemik, ICRC menjadi sebuah aktor untuk membantu Indonesia dalam melakukan sosialisasi hukum humaniter internasional kepada instansi-instansi yang ada di Indonesia yang dalam penelitian ini diambil empat pihak yaitu TNI, POLRI, kalangan akademis, dan pekerja media. Melalui sosialisasi yang dilakukannya, ICRC berusaha untuk selalu menyesuaikan materi serta informasi sosialisasi dengan pihak yang menjadi tujuan sosialisasi mereka. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan manfaat nyata atas informasi hukum humaniter internasional kepada pihak-pihak tersebut. Catatan Akhir 1 Jawa Pos National Network, “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa”. Infoplease, “World's 50 Most Populous Countries: 2015.” 3 Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, “The Geography of Indonesia”. 4 ItravelIndonesia, “Art & Culture & People.” 5 Kanis WK, “Inilah Kasus Kekerasan di Papua 5 Bulan terakhir.” 6 ICRC, What is International Humanitarian Law? 7 ICRC, ICRC: Who We Are? What We Do? 8 ICRC, Ibid. 9 Palang Merah Indonesia, “Sejarah PMI.” 10 Jusuf Wanandi, “Forty years of CSIS: Achievements and the future.” 11 Yudha Manggala, “Komnas HAM Terima 7.200 Laporan Dugaan Pelanggaran.” 12 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial 13 D. Djikezeul, Public Communication Strategies of International Humanitarian Organizations 14 ICRC, “Lokakarya Peliputan Daerah Bencana atau Konflik.” 15 ICRC, “Eksperimentasi Program Eksplorasi Hukum Humaniter.” 16 OHCHR, “Human Rights Standards and Practice for the Police.” 17 POLRI, “Visi Misi.” 2 DAFTAR PUSTAKA Buku ICRC, What is International Humanitarian Law?, ICRC Press, Geneva, 2010. ICRC, ICRC: Who We Are? What We Do?, ICRC Press, Geneva, 2010. Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Refika Aditama, Bandung, 2009. Artikel Jurnal Dijkzeul, D., M. Moke, “International Review of The Red Cross: Public Communication Strategies of International Humanitarian Organization”, ICRC, Volume 87, No. 860, Geneva, 2005. Internet ICRC, “Eksperimentasi Program Eksplorasi Hukum Humaniter,” http://blogs.icrc.org/indonesia/eksperimentasi-program-eksplorasihukum-humaniter/, 23-11-2015, 12.39 WIB, Surakarta. ICRC, “Lokakarya Peliputan Daerah Bencana atau Konflik,” http://blogs.icrc.org/indonesia/lokakarya-peliputan-daerah-bencana-ataukonflik/, 22-11-2015, 12.37 WIB, Surakarta. Infoplease, “World's 50 Most Populous Countries: 2015,” http://www.infoplease.com/world/statistics/most-populouscountries.html, 18-04-2016, 22.54 WIB, Surakarta. ItravelIndonesia, “Art & Culture & People,” http://www.itravelindonesia.com/art-and-culture.aspx, 18-04-2016, 21.00 WIB, Surakarta Jawa Pos National Network, “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa,” http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, 03-03- 2016, 16.58 WIB, Surakarta. Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, “The Geography of Indonesia,” http://www.indonesia.go.id/en/indonesia-glance/geography-indonesia, 03-03-2016, 16.41 WIB, Surakarta. Manggala, Yudha, “Komnas HAM Terima 7.200 Laporan Dugaan Pelanggaran,” http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/03/20/n2p57wkomnas-ham-terima-7200-laporan-dugaan-pelanggaran, 11-06-2015, 16:00 WIB, Surakarta. OHCHR, “Human Rights Standards and Practice for the Police,” http://www.ohchr.org/Documents/Publications/training5Add3en.pdf, 1311-2015, 12.24 WIB, Surakarta. POLRI, “Visi Misi,” https://www.polri.go.id/tentang-visimisi.php, Surakarta. 13-11-2015, 13.05 WIB, Wanandi, Jusuf, “Forty years of CSIS: Achievments and the future,” http://www.thejakartapost.com/news/2011/09/15/forty-years-csisachievements-and-future.html, 20-10-2015, 19.46 WIB, Surakarta. WK, Kanis, “Inilah Kasus Kekerasan di Papua 5 Bulan terakhir,” http://www.kompasiana.com/kanis/inilah-kasus-kekerasan-di-papua-5bulan-terakhir_54f72172a3331135728b4586, Surakarta. 18-04-2015, 22.35 WIB,