BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang International Committee of Red Cross (ICRC) adalah organisasi humaniter yang berlandaskan pada Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) sebagai hasil dari Konvensi Jenewa. Hukum tersebut bersifat Customary Law yang berarti dapat berlaku dimana saja ketika terjadi krisis kemanusiaan tanpa diperlukan adanya ratifikasi 1. ICRC bertugas untuk mendistribusikan bantuan dan aksi kemanusiaan di daerah yang berkonflik baik domestik maupun internasional agar para korban konflik dapat bertahan hidup. ICRC juga memiliki misi menyebarkan pemahaman mengenai Hukum Humaniter Internasional tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika terjadi perang atau konflik, yang biasanya dilakukan melalui mekanisme edukasi dan sosialisasi. Dalam menjalankan misi-misinya, ICRC layaknya organisasi humaniter lainnya memiliki anggota-anggota yang disebut sebagai pekerja kemanusiaan atau humanitarian workers. Merekalah yang kemudian melakukan seluruh misi-misi kemanusiaan ICRC. Keberadaan dan perlindungan para pekerja kemanusiaan memiliki landasan hukum internasional yang tercantum dalam setiap ketentuan dalam Konvensi Jenewa terkait posisi Komite Palang Merah Internasional. Proteksi terhadap pekerja kemanusiaan kemudian menjadi sangat penting untuk dibahas, karena apabila proteksi tidak diterapkan dengan baik, maka pekerja kemanusiaan tidakan dapat melakukan tugas kemanusiaan dengan baik dalam membantu korban konflik. Namun kenyataannya,banyak sekali kasus menunjukan para pekerja kemanusiaan juga dapat menjadi korban dalam sebuah konflik. Serangan-serangan yang terjadi melukai bahkan membunuh pekerja kemanusiaan, bahkan ada kasus dimana pekerja kemanusiaan diculik, disiksa, dan dijadikan tawanan untuk mendapatkan uang (ransum). Inilah yang kemudian 1 ICRC, Customary International Humanitarian Law (daring), 29 October 2010, < http://www.icrc.org/eng/war-and-law/treaties-customary-law/customary-law/overview-customary-law.htm>, diakses pada 27 September 2012. 1 menjadi urgensi dan fokus dari penelitian penulis, yaitu masalah proteksi terhadap pekerja kemanusiaan. Penulis mengambil studi kasus perlindungan terhadap pekerja kemanusiaan ICRC di Darfur karena konflik di Darfur disebut sebagai krisis kemanusiaan nomor satu di dunia oleh Washington. 2 Disusul oleh pernyataan serupa oleh PBB sejak tahun 2004, bahwa apa yang terjadi di Darfur adalah krisis kemanusiaan paling parah di abad ini.3 PBB sendiri memperkirakan sejak 2003 telah terdapat 300.000 korban tewas dari konflik Darfur, namun menurut Abdalmahmud Abdalhalim Mohamad, Duta Besar Sudan untuk PBB, korban tewas sebanyak 10.000, sementara sisanya tewas karena malnutrisi dan sebagainya 4. Dan terkait kehidupan para pengungsi, PBB menyatakan bahwa setidaknya ada 1,7 juta orang mengungsi di kamp-kamp pengungsian Darfur. 5 Sementara konflik Darfur sendiri belum bisa dihentikan walaupun sudah terjadi sejak 2003, sehingga jumlah korban pasti akan meningkat seiring waktu. Dalam situasi seperti inilah, peranan organisasi humaniter seperti ICRC menjadi sangat penting. Selain berperan untuk mendistribusikan bantuan ke kamp pengungsi, mereka juga bertugas mencari para warga yang hilang serta berusaha mendiseminasi Hukum Humaniter sehingga dampak konflik Darfur ke depannya menjadi lebih terkendali. Sementara itu, terkait kasus keamanan pekerja kemanusiaan khususnya ICRC, telah banyak bukti bahwa berbagai macam ancaman terjadi terhadap mereka. Banyak kasus menunjukan para pekerja kemanusiaan diculik dan disandera, terbunuh dalam serangan dan lain sebagainya. Sebagai contoh kasusnya antara lain penculikan Gauthier Levefre, Kepala ICRC untuk sub delegasi Al Jeneina selama 147 hari sejak Maret 20106, penculikan seorang anggota pekerja kemanusiaan ICRC dan tiga pekerja lokal di Fatah Borno, Darfur Utara pada 2 Mei 2 Suara Merdeka, Kita Dicemaskan Bencana Kemanusiaan di Darfur (daring), 7 Juli 2004, <http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/07/opi02.htm>, diakses pada 8 Oktober 2012. 3 Suara Merdeka, Sudan Gagal Stop Pertempuran (daring), 20 Desember 2004, <http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/20/int4.htm>, diakses pada 8 Oktober 2012. 4 DW, Korban Tewas Konflik Darfur Bisa Mencapai 300.000 Orang (daring), 23 April 2008, <http://www.dw.de/korban-tewas-konflik-darfur-bisa-mencapai-300000-orang/a-3287551>, diakses pada 6 Juni 2013. 5 Republika Online, Dua Penjaga Perdamaian PBB Hilang di Darfur (daring), 22 Agustus 2012, <http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/08/22/m94hs8-dua-penjaga-perdamaian-pbb-hilang-didarfur>, diakses pada 8 oktober 2012. 6 ICRC, Sudan: Freed ICRC Worker Gauthier Levefre Recounts Weeks In Captivity (daring), 19 March 2010, <http://www.icrc.org/eng/resources/documents/interview/sudan-interview-190310.htm>, diakses pada 17 Juni 2012. 2 2012, dimana penculiknya tidak diketahui berasal darimana dan tiba-tiba muncul menghentikan truk yang membawa hasil survey lapangan mereka7. Dan masih banyak kasus lainnya yang merupakan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional terkait penyerangan terhadap pekerja kemanusiaan ICRC di Darfur yang akan dibahas dalam penelitian ini. 1.2. Rumusan Masalah Mengapa Hukum Humaniter Internasional dan ketujuh Prinsip ICRC belum mampu melindungi pekerja kemanusiaan ICRC dalam kasus konflik Darfur pada tahun 2003-2012? 1.3. Kerangka Teori Untuk menjawab rumusan masalah di atas, penulis akan menggunakan lima kerangka teori yang akan menjelaskan peranan ICRC sebagai organisasi humaniter non pemerintah di mata hukum internasional, hal apa sajakah yang menjadi aturan bermain ICRC dalam beraksi, bagaimana mereka dilindungi serta bagaimanakah sifat dan kemampuan mengikat dari HHI yang berdasarkan pada Konvensi Jenewa. Kelima kerangka konsep tersebut adalah konsep Humanitarian Action, konsep Perlindungan terhadap Protected Person dalam Hukum Humaniter Internasional, Prinsip Pembedaan atau Distinction dan mengenai Tujuh Prinsip ICRC serta konsep Hard Law dan teori Non Compliance. 1.3.1 Konsep Humanitarian Action Humanitarian Action atau Aksi Kemanusiaan adalah suatu aktivitas yang dilakukan dalam situasi dimana aspek kemanusiaan terancam, seperti bencana alam dan bencana yang diakibatkan oleh manusia sendiri (perang atau konflik) dan memiliki tujuan untuk menyelamatkan hidup. mengurangi penderitaan dan menjaga harkat kehidupan manusia. Aksi ini 7 E. Reeves, ‘Darfur In The Still Deepening Shadows Of Lies’, South Sudan News Agency (daring), 25 May 2012, <http://www.southsudannewsagency.com/opinion/analyses/darfur-in-the-still-deepening-shadow-of-lies>, diakses pada 17 Juni 2012. 3 juga memfasilitasi persiapan pihak-pihak apabila terjadi bencana atau krisis kemanusiaan untuk kedua kalinya. Aksi kemanusiaan memiliki empat prinsip dasar, yaitu Kemanusiaan (bahwa aksi ini dilakukan murni untuk menolong dan melindungi orang dari penderitaan), Imparsial (bahwa aksi ini dilakukan tanpa diskriminasi atas dasar apapun), Netralitas (tidak berpihak) dan Kemandirian (bahwa terpisah dari otonomi dan kepentingan militer, ekonomi dan politik).8 Aksi ini meliputi perlindungan terhadap pihak sipil dan prajurit yang tidak lagi terlibat karena terluka, penyediaan makanan, air sanitasi, tempat bernaung, pelayanan kesehatan dan bimbingan lain yang dibutuhkan oleh para korban dan untuk mengembalikan fungsi kehidupan normal mereka.9 Dengan demikian keberadaan aksi ini sangatlah vital bagi keberlangsungan hidup para korban. Bantuan yang mereka salurkan disebut dengan Humanitarian Aids atau bantuan kemanusiaan, dan biasanya disalurkan oleh pemerintah suatu Negara, individu, NGO, organisasi multilateral, organisasi domestik dan perusahaan privat. 10 Sementara itu, humanitarian workers atau juga sering disebut dengan aid worker atau humanitarian aid worker adalah anggota dari agensi kemanusian PBB, badan kemanusiaan Palang dan Bulan Sabit Merah serta NGO yang memiliki tujuan kemanusiaan. 11 Pekerja ini meliputi staff atau pekerja nasional dari organisasi internasional dan pekerja dari organisasi lokal atau nasional. 12 Tipe pekerjaan pekerja kemanusiaan ini juga sangatlah beragam, yaitu Middle Manager (pemimpin tim, manajer 8 Allindiary, Principle and Good Practice of Humanitarian Donorship (daring), 17 June 2003, <http://www.allindiary.org/pool/resources/principles-and-good-practice-of-humanitarian-donorship.pdf>, diakses pada 23 Oktober 2012. 9 Allindiary, Principle and Good Practice of Humanitarian Donorship (daring), 17 June 2003, <http://www.allindiary.org/pool/resources/principles-and-good-practice-of-humanitarian-donorship.pdf>, diakses pada 23 Oktober 2012. 10 Global Humanitarian Assistance, Defining Humanitarian Aid (daring), <http://www.globalhumanitarianassistance.org/data-guides/defining-humanitarian-aid>, diakses pada 23 Oktober 2012. 11 Aid Worker Security database (AWSD), Spotlight on Security for national Aid Workers: Issues and Perspective, Aid Worker Security Report , 2011, p. 1, terarsip dalam file pdf <https://aidworkersecurity.org/sites/default/files/AidWorkerSecurityReport2011.pdf>, diakses pada 23 october 2012. 12 Aid Worker Security database (AWSD), Spotlight on Security for national Aid Workers: Issues and Perspective, Aid Worker Security Report , 2011, p. 8, terarsip dalam file pdf <https://aidworkersecurity.org/sites/default/files/AidWorkerSecurityReport2011.pdf>, diakses pada 23 october 2012. 4 proyek), pekerja non professional (para pekerja kantor, sopir, dan lain sebagainya) dan sukarelawan yang akan bertugas mengeksekusi pendistribusian bantuan. 13 Agar ICRC dapat bekerja dengan baik dalam misi kemanusiaannya, keberadaan mereka harus dihormati dan dilindungi. Oleh karena itu protection terhadap pekerja kemanusiaan adalah sebuah aspek yang tidak dapat dikesampingkan. Ketika situasi dimana mereka beroperasi tergolong dalam non-armed conflict, maka yang digunakan sebagai basis perlindungan mereka adalah International Human Rights Law dan legislasi domestik. Sementara untuk situasi konflik bersenjata, maka dasar proteksi berasal dari Hukum Humaniter Internasional atau Hukum Humaniter Internasional. Poin utama dari HHI menyatakan bahwa dalam konteks kekerasan sedang berlangsung, pembedaan penyerangan wajib untuk dibuat antara penduduk sipil dan pihak bersenjata. Pekerja kemanusiaan masuk dalam kategori warga sipil dan mereka memperoleh hak istimewa untuk ada dalam situasi berkonflik baik internasional maupun non internasional untuk menawarkan bantuan seperti yang telah diatur dalam Protokol Tambahan I Pasal 69, 70, 71 serta Protokol Tambahan II Pasal 18. Sehingga akor yang berkonflik harus sebisa mungkin mengurangi resiko konflik terhadap keamanan mereka dan bagi yang melanggar akan mendapatkan status sebagai penjahat peranag atas kejahatan perang atau War Crime. 14 Namun, bukan hanya aktor berkonflik saja yang harus memberikan perlindungan pada pekerja kemanusiaan, pekerja kemanusiaan sendiri harus mematuhi beragam prinsip penting seperti netralitas, imparsialitas dan independen. Prinsip-prinsip tersebut berkaitan langsung dengan hubungan aktor dalam konflik dan pekerja kemanusiaan, dalam mempemudah negosiasi penerimaan dan penghormatan keberadaan organisasi humaniter, termasuk ICRC. Ketika organisasi humaniter tidak lagi menepati prinsip tersebut, maka beragam ancaman akan muncul mengganggu aksi kemanusiaan mereka. 15 13 Antares Foundation, Managing Stress in Humanitarian Workers, 3rd edn, Antares Foundation, Amsterdam, 2012, p. 12, terarsip dalam file pdf <http://www.antaresfoundation.org/download/managing_stress_in_humanitarian_aid_workers_guidelines_for_good _practice.pdf>, diakses pada 23 Oktober 2012. 14 A. Faite, Legal Consideration regarding the protection of Humanitarian Workers in the Field, Finnish Red Cross Publication, June 2002, pp. ,37-38, terarsip dalam file pdf <http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/secure02_fait.pdf>, diakses pada 23 Oktober 2012. 15 OCHA, Thematic Areas: Humanitarian Access (daring), <http://www.unocha.org/what-wedo/policy/thematic-areas/humanitarian-access>, diakses pada 31 Oktober 2012. 5 1.3.2. Konsep Perlindungan terhadap Protected Person dalam Hukum Humaniter Internasional Hukum Humaniter Internasional atau HHI sebagai bagian Hukum Internasional yang digunakan untuk mengurangi penderitaan yang dialami oleh masyarakat akibat dampak perang dengan mengingatkan setiap pihak yang berkonflik agar operasi tempur mereka dilaksanakan dalam batas-batas perikemanusiaan. Oleh karena itu, HHI memuat perlindungan korban konflik dan orang-orang tertentu (protected person) serta pembatasan alat dan cara perang. HHI memiliki dasar yang legal yaitu Konvensi Jenewa yang membicarakan perlindungan aktor-aktor tertentu dalam perang. Sama dengan hukum internasional pada umumnya, sumber hukum HHI juga meliputi prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa, kebiasaan hukum internasional, perjanjian internasional serta keputusan organisasi internasional yang terkait dengan situasi konflik. HHI memiliki beberapa prinsip, antara lain Kemanusiaan, Kepentingan Militer, Proporsionalitas, Pembedaan dan Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya. 16 Selanjutnya, Prinsip Pembedaan lah yang akan digunakan sebagai salah satu teori atau konsep dalam menganalisis penelitian ini. Namun sebelumnya, akan dibahas mengenai konsep protected person dan posisi ICRC sebagai protected person dalam HHI. Protected person adalah orang-orang yang harus dilindungi ketika konflik terjadi. Meliputi prajurit yang sudah tidak dapat melanjutkan pertempuran, anggota dinas kesatuan kesehatan dan rohaniwan, tawanan perang, dan penduduk sipil, 17 atau dalam Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement disebut sebagai persons hors de combat dan pihak yang tidak terlibat langsung dalam perang. 18 Mereka harus dilindungi dan senantiasa dihargai harga dirinya sebagai manusia, sehingga tidak boleh menjadi target kekerasan lainnya. Prinsip inilah yang sebenarnya menjadi dasar dari HHI, bahwa perlindungan terhadap aktor-aktor tertentu sangatlah penting demi menghindari penderitaan yang luar biasa. 16 Ambarwati, D. Ramdhany, & R. Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, pp. 27-41. 17 The International Law of War Association, Chapter Five Protected Person (daring), <http://lawofwar.org/Protected%20Persons.htm>, diakses pada 17 oktober 2012. 18 International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, International Committee of The Red Cross, Geneva, 2008. p. halaman depan. 6 ICRC merupakan salah satu protected person bila dilihat dari dua aspek. Pertama dengan melihat ICRC dan pekerja kemanusiaannya sebagai warga sipil, sementara aspek lainnya dengan melihat keberadaan ICRC yang dijamin secara khusus sebagai badan humaniter internasional. a. ICRC sebagai warga sipil. Orang sipil atau warga sipil berarti seluruh aktor yang tidak merupakan bagian dari pihak yang berkonflik atau berperang atau tidak menjadi bagian dari unit tempur. 19 Walaupun ICRC bukanlah warga atau penduduk di area konflik, namun perlindungan terhadap kelompok sipil diperlebar sehingga menyangkut pihak yang bertujuan membantu mereka (para korban dan warga sipil), entah itu unit medis atau lembaga kemanusiaan., termasuk ICRC. Dengan status demikian, keberadaan ICRC haruslah dilindungi. 20 b. ICRC sebagai organisasi kemanusiaan yang istimewa. Perlindungan juga dijamin atas ICRC sebagai sebuah konsekuensi kehadiran ICRC setelah diterima oleh pihak yang berkonflik. Dalam Common Article 3 atau ketentuan yang sama dalam Konvensi Jenewa, “…Sebuah badan humaniter tidak berpihak. Seperti Komite Palang Merah Internasional, dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa…" memiliki arti bahwa dalam konflik non internasional (Pasal 3 membahas mengenai perlindungan yang harus diberikan dalam konflik non internasional), ICRC dapat menawarkan bantuan. Dan ketika diterima untuk masuk beroperasi, maka pihak yang berkonflik secara otomatis harus menjalankan fungsi perlindungan terhadap ICRC, tidak berbeda dengan perlindungan terhadap ICRC ketika konflik internasional, seperti diatur dalam pasal lainnya dalam keseluruhan konvensi. 21 Alasan digunakannya Common Article 3 adalah jenis konflik di Darfur yang tergolong NIAC atau Non International Armed Conflict atas dasar kriteria yang tercantum di Pasal 1 Protokol Tambahan II,”…dan yang berlangsung di wilayah dari suatu Pihak Peserta Agung antara angkatan perangnya dan angkatan perang 19 ICRC, Rule 5. Definition of Civilian (daring), <http://www.icrc.org/customaryihl/eng/docs/v1_cha_chapter1_rule5>, diakses pada 17 Oktober 2012. 20 ICRC, Civilian Protected Under International Humanitarian Law (daring), 29 October 2010, <http://www.icrc.org/eng/war-and-law/protected-persons/civilians/overview-civilians-protected.htm>, diakses pada 17 oktober 2012. 21 Direktorat Jenderal Hukum Dan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa, Pengayoman, Jakarta, 1999, p. 2. 7 pemberontak atau kelompok-kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir yang di bawah komando yang bertanggung jawab melaksanakan kekuasaan atas suatu bagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan mereka melaksanakan operasi-operasi militer secara terus menerus (sustained) dan yang teratur baik (concerted) dan memungkinkan mereka melaksanakan Protokol ini.”. 22 Konflik Darfur memenuhi kriteria NIAC tersebut, dimana konflik terjadi antara pemerintah negara Sudan dengan dua kelompok pemberontak Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement. Dimana kedua kelompok tersebut menuntut representasi politik yang setara dan akses terhadap sumber daya ekonomi negara yang selama ini belum terpenuhi karena kelalaian pemerintah Sudan. 23 1.3.3. Konsep Pembedaan dalam Hukum Humaniter Internasional atau Distinction Principle Konsep protected person tersebut akan terpenuhi apabila para pihak yang berkonflik mengerti apa yang disebut dengan pembedaan atau distinction. Prinsip pembedaan adalah suatu prinsip untuk membedakan atau membagi penduduk dari suatu Negara yang sedang berkonflik menjadi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang terlibat aktif dalam permusuhan atau hostilities, sedangkan penduduk sipil adalah yang tidak terlibat sama sekali. Prinsip ini membedakan golongan untuk membenarkan ataupun menjauhkan alasan untuk melakukan kekerasan. Bagi kombatan, kekerasan adalah hal yang tak terhindarkan misalnya angkatan bersenjata yang saling menyerang, sementara bagi penduduk sipil, kekerasan harus dihindarkan sehingga tidak menjadi korban serangan dalam alasan dan skala apapun. Khusus untuk golongan sipil, pembedaan untuk perlindungan dapat diperluas ke dalam konteks penyelamatan penduduk dan obyek sipil agar tidak diserang, perlindungan penduduk sipil dari serangan balas dendam, pelarangan pelaksanaan tindakan yang menyebarkan aksi teror, wajib menekan kerugian yang tak disengaja terhadap penduduk sipil sekecil mungkin dan hanya pihak 22 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 Dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) Dan Bukan Internasional (Protokol II), Pengayoman, Jakarta, 2007, p. 153. 23 Darfur Australia Network, The Situation In Darfur (daring), <http://www.darfuraustralia.org/darfur/background>, diakses pada 21 Juni 2012. 8 bersenjata yang boleh menyerang dan menahan musuh. 24 Status perlindungan terhadap pihak sipil atau yang tidak terlibat dalam konflik atau hostilities akan berakhir hanya ketika mereka mulai mengambil bagian dalam konflik. Selanjutnya, untuk membedakan sipil dan kombatan dapat dilakukan dengan melihat ciri atau karakteristik dari atribut atau lambang yang ada, misalnya pasukan bersenjata pasti akan menggunakan atribut, atau memakai senjata, berbeda dengan warga sipil yang tidak bersenjata, disamping itu penyerangan juga harus dilakukan dengan berhati-hati, bahkan dilarang dilakukan bila serangan tersebut bersifat membabi buta guna melindungi para sipil.25 Dalam hal ini, ICRC yang merupakan aktor yang tidak terlibat dalam kekerasan juga harus dilindungi, layaknya personel medis dan warga sipil, karena mereka tidak menimbulkan keuntungan militer bagi pihak yang berkonflik apabila diserang. Dalam praktek misi kemanusiaannya pun, ICRC memiliki lambang yang telah disetujui oleh seluruh Negara yaitu gambar Palang Merah, atau Bulan Sabit Merah dan yang terakhir adalah Kristal Merah pada sebuah latar putih. Dengan demikian sudah seharusnya pekerja ICRC di lapangan dengan status sipil dan lambang pembeda dilindungi dari segala bentuk kekerasan. Prinsip pembedaan ini sangat bermanfaat untuk menekan kemungkinan serangan terhadap pihak sipil dan secara langsung sangat penting untuk meminimalisir pelanggaran terhadap HHI. 1.3.4. Tujuh Prinsip ICRC ICRC atau International Committee of The Red Cross adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1863 untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang-orang yang terkena dampak dari konflik dan untuk mempromosikan hukum yang melindungi korban perang. ICRC berdiri dengan Konvensi Jenewa sebagai dasar hukumnya. Pada awalnya organisasi humaniter ini berdiri karena inisiatif dari Henry Dunant, seorang warga Swiss yang menemukan ribuan orang Perancis, Austria dan Italia terluka karena perang dan ditinggalkan dijalanan tanpa mendapat bantuan medis. Pada awalnya Henry Dunant membentuk Red Cross Societies untuk 24 A. Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, pp. 73-75. J.M. Henckaerts, ‘Studi (kajian) tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata’, International Review of the Red Cross, volume 87, no 857, 2005, pp. 26-30, terarsip dalam pdf <http://www.icrc.org/eng/assets/files/other/indoirrc_857_henckaerts.pdf>, diakses pada 17 Oktober 2012. 25 9 menolong korban-korban tersebut dan korban-korban lain di dalam perang di tempat lain, dan kemudian terus berkembang menjadi organisasi humaniter yang besar yaitu ICRC. 26 ICRC (Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional) memiliki tujuh prinsip yang diproklamirkan dalam konferensi internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20 di Wina pada tahun 1965. Ketujuh prinsip ini merupakan pedoman dalam aksi kemanusiaan ICRC yang memberikan kredibilitas ICRC untuk dipercaya dan diijinkan masuk dalam area konflik. Ketujuh prinsip itu adalah; a. Kemanusiaan. ICRC tercipta untuk memberikan bantuan kemanusiaan dalam rangka melindungi kehidupan dan kesehatan serta memastikan penghormatan terhadap umat manusia. Dengan menolong dan mengelola bantuan untuk korban ICRC berkeinginan untuk menghormati seluruh aspek kemanusiaan dalam diri setiap korban. b. Ketidakberpihakan (dalam membantu korban). Prinsip ICRC untuk memberikan bantuan kemanusiaan tanpa membedakan kebangsaan, ras, agama, status sosial atau pandangan politik korban. Sehingga ICRC murni membantu dengan melihat urgensi kebutuhan mereka untuk membuat prioritas bantuan kepada yang penderitaanya paling mendesak. c. Kenetralan (dalam menghadapi konflik/kontroversi). Agar tetap dipercaya semua pihak, ICRC tidak boleh memihak dan terlibat dalam pertentangan politik, ras, keagamaan ataupun ideologis. d. Kemandirian. Walaupun ICRC menjadi pendukung di negara masing-masing dan tunduk pada hukum nasional negara masing-masing, namun otonomi ICRC untuk menentukan aksinya harus dipertahankan sesuai prinsip-prinsip gerakan. e. Kesukarelaan. ICRC bergerak atas dasar sukarela dan tidak didasari keinginan untuk meraih keuntungan apapun. 26 ICRC, About the International Committee of the Red Cross (daring), 29 October 2010, <http://www.icrc.org/eng/who-we-are/overview-who-we-are.htm>, diakses pada 24 Juni 2012. 10 f. Kesatuan. Hanya boleh ada satu Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah di suatu negara dan harus terbuka bagi semua orang serta melaksanakan tugasnya di seluruh wilayah negaranya. g. Kesemestaan. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah memiliki status setara dan tanggung jawab serta kewajiban yang sama dalam membantu satu sama lain di seluruh dunia.27 Melalui ketujuh prinsip inilah ICRC dipercaya dan dihormati serta dilindungi setiap aksiaksinya dalam situasi konflik, sehingga untuk menjaga perlindungan dan menjamin aksi tersebut terus dilakukan, ketujuh prinsip tersebut harus dipertahankan terutama netralitas dan imparsialitas yang akan menjadi dua prinsip terpenting untuk dibahas dalam penelitian ini. 1.3.5. Hard Law dan Non Compliance Hard Law dan Soft Law adalah dua sifat atau jenis aturan dan hukum internasional. Soft Law adalah norma dan aturan internasional yang tidak mengikat dan tidak menuntut ratifikasi namun memiliki relevansi hukum, seperti resolusi yang dibuat oleh organisasi internasional dan rencana bersifat internasional terkait aksi yang akan dilakukan negara-negara. Sementara Hard Law adalah aturan yang memiliki legal binding atau kekuatan mengikat yang sah, tidak ambigu dalam aturannya, menciptakan komitmen yang kuat antar negara, serta memiliki pihak ketiga yang berwenang untuk menginterpretasikan dan menerapkan hukum tersebut. 28 Hukum Humaniter Internasional tergolong Hard Law karena merupakan hasil dari Konvensi Jenewa dan secara mendetail menjelaskan kewajiban aktor-aktor dalam situasi konflik. Namun ternyata status sebagai Hard Law tidak menjamin HHI menjadi hukum yang akan selalu dipatuhi. Dalam penelitian ini akan dijelaskan bagaimana HHI sebagai Hard Law tidak dapat diterapkan dengan baik dalam memberikan perlindungan pekerja kemanusiaan ICRC di Darfur karena adanya masalah dalam implementasinya. Implementasi HHI sebagai Hukum Internasional sangatlah tergantung pada ketaatan atau Compliance negara yang mengakui dan meratifikasinya. Namun dalam studi kasus perlindungan 27 International Committee of the Red Cross, Kenali ICRC, International Committee of the Red Cross Production Sector 19 Avenue de la Paix, Geneva, 2005, pp. 9-11. 28 JB. Skjaerseth, OS. Stokke, & J. Wettestad, 'Soft Law, Hard Law and Effective Implementation of International Environmental Norms', Global Environmental Politics, vol. 6, no. 3, Agustus, 2006, pp. 104-105. 11 pekerja kemanusiaan ICRC di Darfur, ternyata ditemukan fakta terjadinya Non Compliance terhadap HHI. Secara teori, terjadinya Non Compliance dapat dijelaskan melalui tiga parameter, yaitu ambiguitas, kapasitas yang terbatas dan dimensi waktu atau temporal dimension. Ambiguitas berarti Non Compliance sangat dipengaruhi oleh adanya interpretasi yang berbeda akan pembahasaan aturan dan konvensi. Keterbatasan Kapasitas berarti adanya keterbatasan dalam kemampuan menjalankan aturan karena beragam hal, antara lain pengetahuan teknis, sumber daya materi dan finansial, kemampuan birokrasi, kemampuan untuk mengikat aktor lainnya untuk melaksanakan aturan, kemampuan untuk menegakan aturan dan hal-hal lain yang terkait dengan kemampuan aktor termasuk negara untuk memastikan Compliance. Temporal Dimension berarti dalam melihat terjadinya Non Compliance maka harus dianalisa dari dimensi waktu yang menentukan situasi mengapa mereka belum dapat melakukan Compliance. Dimensi waktu ini menjelaskan adanya time lag (tenggang waktu atau jeda) sebelum compliance terjadi dan mencapai hasil yang diinginkan. 29 1.4. Hipotesa Konvensi Jenewa beserta dua protokol tambahan telah dengan terperinci mengatur apa saja yang menjadi hak ICRC dalam beroperasi sebagai organisasi humaniter terpercaya dalam situasi konflik baik internasional maupun non internasional. Bahkan aturan hak serta perlindungan telah mencakup empat aspek, dalam konflik darat, laut, dalam masa ditawan dan pergerakan di area sipil. Substansi dari Konvensi Jenewa tersebut juga dapat dipergunakan dalam kasus perlindungan pekerja kemanusiaan seperti ICRC di konflik Darfur yang merupakan konflik non-internasional. Ditambah dengan ketujuh prinsip ICRC, yang kemudian memberikan gambaran kredibilitas ICRC sebagai organisasi yang sangat terpercaya dan professional dalam misi mereka sehingga dipercaya pihak yang bersengketa tidak akan menyerang dan mengganggu ICRC karena prinsip ICRC tidak akan mengganggu atau mencampuri jalan konflik kepentingan mereka. Dengan kedua landasan tersebut, maka sudah seharusnya pekerja kemanusiaan di Darfur mendapat perlindungan yang maksimal. 29 A. Chayes & A.H. Chayes, The New Sovereignty, Harvard University Press, Cambridge, 1995, pp. 9-17. 12 Namun ternyata, keberadaan Konvensi Jenewa beserta Protokol Tambahan dan Prinsip Kemanusiaan ICRC masih belum menjamin perlindungan pekerja kemanusiaan ICRC, hal ini disebabkan oleh tekanan dari situasi perang yang memungkinkan para pihak yang berkonflik untuk sering melanggar Hukum Humaniter Internasional. Sebagai contoh, kelompok pemberontak dan pasukan militer pemerintah berperang di desa-desa sehingga melukai banyak orang sipil, yang berarti mereka kurang menghormati keberadaan hukum tersebut. Begitupula dengan kasus ancaman yang terjadi terhadap pekerja kemanusiaan ICRC, sehingga pekerja kemanusiaan terutama ICRC di Darfur kerap kali menjadi korban serangan dan kegiatan yang melanggar perlindungan lainnya. 1.5. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, yaitu pengumpulan data berupa sumber-sumber informasi yang terkait dengan permasalahan utama penelitian. Metode kualitatif yang akan digunakan oleh penulis adalah studi terhadap dokumen yang memuat informasi yang terkait, seperti buku, jurnal, surat kabar dan sumber online mengenai implementasi dari HHI terkait perlindungan pekerja kemanusiaan ICRC di Darfur. Melalui metode kualitatif ini, seluruh sumber yang telah didapatkan penulis akan dianalisa secara lebih mendalam untuk memunculkan korelasi dengan permasalahan utama penelitian dan kemudian akan disimpulkan oleh penulis. 1.6. Jangkauan Penelitian Penelitian ini akan mengambil isu perlindungan pekerja kemanusiaan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dalam konflik Darfur yang dimulai dari tahun 2003 hingga sekarang, yaitu tahun 2012. Karena selama rentang waktu tersebut, terjadi beberapa kasus pelanggaran terhadap aspek perlindungan pekerja kemanusiaan yang telah diatur oleh Konvensi Jenewa 1949 dan Kedua Protokol Tambahannya. 13 1.7. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama adalah Pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, hipotesis, metode penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penelitian. Pada bagian kedua, penulis akan membahas mengenai perkembangan konflik Darfur hingga saat ini, juga tentang bagaimana peranan ICRC di sana serta beberapa kasus yang menunjukan pelanggaran terhadap perlindungan pekerja kemanusiaan ICRC di Darfur. Pada bagian ketiga, penulis akan menganalisa kasus pelanggaran tersebut dan mencoba menganalisa mengapa hal demikian dapat terjadi sekaligus menjelaskan kelemahan perlindungan terhadap pekerja kemanusiaan. Dan pada bagian terakhir akan diisi dengan kesimpulan. 14