( ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( ) JURNAL HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Diterbitkan oleh: BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN ©2014 ( ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 JURNAL HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN Penasehat: Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Penanggung Jawab :Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Pemimpin Redaksi :Maskun Dewan Redaksi :Abdul Maasba Magassing Aidir Amin Daud Alma Manuputty Hamid Awaluddin Juajir Sumardi Judhariksawan Laode Abd. Gani Laode Muh. Syarif Marcel Hendarapati Muh. Ashri Redaktur Pelaksana :Iin Karita Sakharina Sekretaris Redaktur :Birkah Latif Kadarudin Mitra Bestari :Juajir Sumardi (UNHAS Makassar) Syamsuddin Muhammad Noor (UNHAS Makassar) Abdul Maasba Magassing (UNHAS Makassar) Desain Grafis & Layout : Ramli Distribusi & Pemasaran :Salma Laitupa Riyad Febrian Anwar Alfaris Malaki Alamat Redaksi :Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar. Tel/Fax : +62-411587219 E-mail: [email protected] Website: http://hukuminternasionalfhuh.wordpress.com JURNAL HUKUM INTERNASIONAL Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit tiap bulan Maret, Juli, dan Nopember. ( ii ) DAFTAR ISI Jurnal Hukum Internasional Volume I, Nomor 3 Maret 2014 ISSN: 2338-3577 Alma Manuputty et.al PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI LAUT........................................................................................................................ 247-263 Sumiyati Beddu LANGKAH SEPIHAK ISRAEL DAN KRITIK INTERNASIONAL TERHADAP RENCANA PEMUKIMAN YAHUDI DI PALESTINA.................. 265-275 Ibnu Munzir PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KOPI TORAJA SEBAGAI INDICATION OF SOURCE PRODUCT MILIK INDONESIA........... 277-299 Almusawir Nansa GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL..................................................................................... 301-315 Sri Rahayu, Muhammad Ashri, Tri Fenny Widayanti PERAN ICRC TERHADAP PEMAJUAN DAN PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA................................................................ 317-345 Citra Reskia, Abdul Maasba Magassing, Maskun PENERAPAN INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA........................................................... 347-363 Muh. Afif Mahfud PERLINDUNGAN HAK ULAYAT INDIGENOUS PEOPLE DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA..................................................... 365-377 Albert Pede PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DENGAN KEKERASAN BUKAN PERANG.......................................................... 379-391 Ucapan Terima Kasih Indeks Pengarang (2013-2014) Indeks Subjek (2013-2014) Persyaratan Penulisan Jurnal ( iii ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 EDITORIAL Pembaca yang budiman, Segala puji dan ungkapan rasa kesyukuran tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan jurnal hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Edisi penghujung di Volume I Nomor 3 Maret 2014 ini menyajikan berbagai ragam isu hukum internasional. Gagasan pertama dalam edisi ini, disumbangkan oleh Professor Alma Manuputty yang menulis tentang peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut, khususnya masyarakat-masyarakat di wilayah pesisir pantai di Indonesia. Sumiyati Beddu, selanjutnya menguraikan isu hukum internasional yang saat ini sedang berlangsung, yakni langkah sepihak Israel dan kritik internasional terhadap rencana pemukiman Yahudi di Palestina, terutama konflik Israel-Palestina yang telah menjadi konflik berkepanjangan hingga saat ini Ibnu Munzir yang menulis isu tentang perlindungan hukum internasional terhadap Kopi Toraja sebagai indication of source product (produk indikasi geografis) milik Indonesia dan Almusawir Nansa yang mengangkat isu globalisasi dan perdagangan bebas dalam perspektif hukum internasional. Kedua isu dimaksud memiliki concern yang sama penting di bidang hukum ekonomi dan perdagangan internasional. Sri Rahayu, Muhammad Ashri, Trifenny Widayanti menulis tentang peran ICRC terhadap pemajuan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia, Citra Reskia yang menulis tentang penerapan instrumen hak asasi manusia terhadap anak dalam situasi konflik bersenjata, dan Muh. Afif Mahfud yang menulis tentang perlindungan hak ulayat indigenous people dalam perspektif hak asasi manusia. Ketiga topik HAM yang digagas sangat menarik, apalagi topik-topik tersebut memiliki tempat masing-masing dalam pengaturan HAM, dan sebagai penutup, Albert Pede menlis tentang peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang, isu tersebut sangat penting, apalagi saat ini sangat rawan terjadinya sengketa di antara negara-negara di dunia yang bukan tidak mungkin negara-negara yang bersengketa tersebut mengambil tindakan perang sebagai opsi penyelesaian sengketanya. Semoga berbagai isu hukum internasional yang tersaji dalam Volume pertama edisi terakhir ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan hukum internasional. Selamat membaca. Redaksi ( iv ) Penegakan Hukum di Laut PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT Alma Manuputty* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Juajir Sumardi* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Maskun* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Rafika Nurul Hamdani Ramli Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Riyad Febriyan Anwar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Abstract: Maritime society plays a very important role in law enforcement in the sea. Public participation is contributed by the society to provide appropriate information to Lantamal VI and Polairut Makassar about the alleged crimes at sea. However, in terms of implementing the public participation, economic factors become the main obstacle faced in realizing the role of the community in question. The reason of an economic trouble becomes the main argument of the society to justify their crimes and / or to conceal information about the allegations referred to Lantamal Polairut VI and Makassar. Abstrak: Masyarakat memainkan peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum di laut. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk pemberian informasi tentang dugaan kejahatan di laut kepada Lantamal VI dan Polairut Makassar yang merupakan instansi terkait penegakan hukum Guru Besar Hukum Laut Internasional, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1977 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister Ilmu Hukum (M.H.) 1993 dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) 2005 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. * Guru Besar Hukum Ekonomi Internasional, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1988 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister Ilmu Hukum (M.H.) 1995 dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) 2005 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. * Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum 1998 dari Fakultas Hukum Unhas, Magister Ilmu Hukum (LL.M.) 2004 dari University of New South Wales, Sydney, Australia. * ( 247 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 di laut. Akan tetapi, dalam melaksanakan peran serta masyarakat tersebut, faktor ekonomi menjadi faktor penghambat utama yang dihadapi masyarakat dalam mewujudkan peran serta dimaksud. Alasan himpitan ekonomi menjadi argumentasi utama untuk melegitimasi kejahatan yang mereka lakukan dan/ atau untuk menyembunyikan informasi tentang dugaan dimaksud kepada Lantamal VI dan Polairut Makassar. I. PENDAHULUAN Pada Medio Januari 2011, Kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia, kapal Hiu, menangkap dua kapal nelayan Malasyia yang melakukan penangkapan ikan ”illegal” dalam wilayah perairan yang diklaim oleh Indonesia adalah jurisdiksi teritorialnya. Penangkapan ini menimbulkan ketegangan hubungan kedua negara yang merupakan negara serumpun. Penangkapan terhadap nelayan-nelayan Malaysia oleh petugas Patroli KKP dan proses negosiasi yang ”alot” menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi oleh kedua negara bukanlah persoalan (sengketa) yang sederhana (simple). Suatu hal yang disadari bahwa Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari Timur ke Barat, dengan demikian fenomena yang terdapat didalamnya sangat banyak, baik persoalan menyangkut perbatasan, pengambilan (eksplorasi dan eksploitasi) berbagai kekayaan nasional baik yang dibawa ke luar negeri maupun yang dipasarkan di dalam negeri.1 Penangkapan yang dilakukan terhadap nelayan Malasyia yang terbukti melakukan illegal fishing merupakan akar permasalahan yang tampak dipermukaan dalam kasus penangkapan tersebut. Padahal, disamping persoalan eksploitasi kekayaat laut dalam bentuk illegal fishing, persoalan tapal batas menjadi persoalan mendasar yang dihadapi oleh kedua negara pasca diputuskannya sengketa kepemilikan Sipadan-Ligitan oleh Mahkamah Internasional yang dalam putusannya memenangkan Malaysia. Upaya represif yang dilakukan pemerintah Indonesia (KKP) dalam kasus terkini Malasyia-Indonesia merupakan suatu upaya untuk melindungi wilayah kedaulatannya dari tindakan-tindakan atau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak atau negara lain. Dalam konteks ini, pelanggaran batas maritim merupakan pelanggaran prinsip dasar hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa ”pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain mempunyai akibat hukum yakni wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran, yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan umum baik dalam konteks negara kepulauan maupun negara pantai yang dapat menyentuh pada ranah pidana dan ataupun perdata.2 1 Maskun, Penegakan Hukum di Laut:Hambatan dan Solusi, Harian Tribun Timur, Kamis, 26 Agustus 2010. Lihat Juga Maskun, Rekonstruksi Penegakan Hukum di Laut, Penelitian Pengembangan Program Studi Fakultas Hukum Unhas, 2011. 2 Muchtar Kusumaatmaja Dalam Frans E Likadja, Bunga Rampai Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1987), hlm. 51-53. ( 248 ) Penegakan Hukum di Laut Belajar dari beberapa kasus yang terjadi khususnya antara Indonesia dan Malasyia maka kebutuhan akan pelaksanaan penegakan hukum di laut, baik yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) maupun instansi terkait lainnya seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI Angkatan Laut), Kementerian Kelautan dan Perikanan dan lain sebagainya, harus lebih diefektifkan dengan tetap berpedoman kepada sistem ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik itu yang bersifat nasional maupun internasional. Pada dasarnya, penegakan hukum di laut dilaksanakan oleh 2 (dua) instansi vertikal. Kedua instansi vertikal dimaksud secara historis telah diamanati oleh negara untuk menjaga wilayah kedaulatan Republik Indonesia yang meliputi wilayah laut, darat, dan udara. Polri. sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, telah mengalami berbagai reposisi kelembagaan, seperti eksistensi Polri yang telah dimasukkan dalam amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), (vide Pasal 30) yang sebelumnya kedudukan Polri tidak pernah dimasukkan dalam Konstitusi. Kemudian perubahan dimaksud diakomodir dalam Tap No. VI dan VII Tahun 2000, yaitu menyangkut pemisahan Kelembagaan Polri dengan Mabes TNI dan tugas peranan Polri dan TNI. Selanjutnya diikuti dengan Undang-U No. 2 undang (selanjutnya disingkat UU) Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.3 Tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 sangatlah luas, dan tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas Polisi secara universal, yaitu melindungi dan melayani masyarakat (to protect and to serve) serta memelihara hukum dan keterlibatan (maintain law and order). Indonesia sebagai suatu negara hukum yang dalam Konstitusi UUD 1945 telah meletakkan dasar-dasar supremasi sipil baik dalam konstelasi ketatanegaraan maupun kehidupan politik demokrasi, maka sejalan dengan itu Polri sebagai salah satu pengemban dan menjaga supremasi sipil dalam kehidupan negara yang berdemokrasi telah diberikan negara kewenangan yang cukup luas. Pasal 6 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menentukan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan Alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”. TNI AL sendiri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU N o. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia memiliki tugas pokok menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Uraian tugas pokok penegakan hukum di laut yang dilakukan oleh Polri dan TNI AL sebagaimana disebutkan di atas, merupakan bagian terintegrasi dari sistem penegakan hukum secara normatif. Tentunya, secara substansi, penegakan hukum di laut juga harus diuraikan dalam koridor substansi peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi the United Nation Convention on the 3 Abd. Rasal Rauf, Hukum Laut: Pola Ilmiah Pokok (Buku Ajar), (Makassar: Fakultas Hukum UNHAS, 2007), hlm. 140. Lihat Juga Alma Manuputty, Buku Ajar: Hukum Laut (Pola Ilmiah Pokok), (Makassar: LKPP-Unhas, 2011). (249 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Law of The Sea (UNCLOS) yang kemudian telah diundangkan melalui UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dengan persoalan penegakan hukum di laut seperti perjanjian perjanjian yang dibuat antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang memiliki perbatasan maritim. Faktapun menunjukkan bahwa secara substansipun penegakan hukum di laut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia, regional maupun masyarakat Internasional.4 Hal ini dikarenakan penegakan hukum sebagai satu sistem yang terintegrasi dan bersinergi, masih berjalan partial yang sesungguhnya harus didukung berbagai komponen yang ada, sehingga menjadi satu kekuatan yang terpadu. Bentuk-bentuk penegakan hukum di laut, sebagaimana diuraikan di atas haruslah diletakkan dalam makna bahwa penegakan hukum di laut merupakan upaya perlindungan dan pemanfaatan laut (Indonesia) dan upaya peletakkan fondasi/dasar kedaulatan Indonesia yang harus diperjuangkan dan dijaga. Meskipun dalam prakteknya bahwa penegakan hukum di laut Indonesia belum berjalan efektif, akan tetapi upaya perbaikan harus selalu diusahakan sehingga penegakan hukum di laut yang dilakukan akan dapat mereduksi berbagai persoalan di laut yang semakin beragam khususnya ketika ditemukan adanya klaim sepihak yang dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain.5 Dalam konteks penegakan hukum disamping aparat penegak hukum, masyarakat merupakan elemen utama dan penting yang tidak dapat dikesampingkan. Tuntutan akan keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh penegak hukum. Masyarakat dalam hal ini dipandang sebagai objek dimana lingkungan hukum tersebut berlaku dan diterapkan. Masyarakat merupakan entitas yang sesungguhnya dapat berperan aktif dalam penegakan hukum. Dalam hubungannya dengan penegakan hukum di laut maka masyarakat dapat menjadi informan yang berada pada garis terdepan dalam penegakan hukum di laut. Ketersediaan informasi yang cukup bagi aparat penegak hukum akan mempermudah aparat penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah peventif dan refresif dalam penegakan hukum dilaut. Oleh karena itu, fokus pada penelitian ini adalah menyoal peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut sehingga dengan memahami secara benar berbagai bentuk peran serta masyarakat maka penyelenggaraan penegakan hukum di laut dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena batasan masalah pada penelitian ini, adalah: 1. Sejauhmanakah peran serta masyarakat dapat mendukung penegakan hukum di laut? 2. Apakah faktor-faktor penghambat yang timbul dalam peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut? 4 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 354. 5 Lihat klaim sepihak Malasyia dalam kasus tertangkap 3 (tiga) petugas KKP Republik Indonesia. ( 250 ) Penegakan Hukum di Laut II. METODE PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Makassar dan Pangkep dengan pertimbangan bahwa Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep adalah representasi penegakan hukum yang berada dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan. Disamping itu, penelitian juga akan dilaksanakan di perangkat institusi yang relevan dengan fokus penelitian, yaitu Lantamal VI (TNI AL), Polairut, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan sebagai penegak hukum terdepan dalam penegak hukum di laut, serta Yayasan Konservasi Laut Makassar. 2. Populasi dan Sampel Populasi yang ditetapkan dalam penelitian ini Lantamal VI (TNI AL), Polairut, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, dan Masyarakat pesisir di Pangkep, serta Yayasan Konservasi Laut Makassar. Adapun sampel ditentukan dari populasi yang telah ada yang dipilih secara sampel dengan menggunakan teknik non-random sampling dengan metode purposive sampling. 3. Jenis dan Sumber Data Data yang hendak dipergunakan dalam penelitian ini, dikategorikan ke dalam:6 1. Data Primer atau data dasar yang diperoleh secara langsung di lapangan (field research). Data ini merupakan gambaran langsung peristiwa yang dilakukan oleh responden. Dalam hal ini tentunya yang dimaksud adalah Lantamal VI (TNI AL), Polairut, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, Yayasan Konservasi Laut Makassar, serta masyarakat pesisir yang bermukim di Pangkep. 2. Data Sekunder yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka, yang mencakup: (1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); (2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya. (3) Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelsan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain sebagainya. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah: a. Studi dokumen atau bahan kepustakaan yaitu penelusuran terhadap dokumen resmi dan tidak resmi sebagai bahan hukum primer dan sekunder untuk memperoleh data 6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 12-13. (251 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 sekunder yang relevan yang kemudian akan dijadikan bahan acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada. b. Wawancara dilakukan dalam bentuk tanya jawab langsung dengan responden dengan menggunakan metode bebas terpimpin untuk memperoleh data primer yang relevan. 5.Analisis Data Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis data yang mengkombinasikan dogmatik hukum yang bersifat teoritis-rasional yang didasarkan pada logis deduktif dan teoritis empiris yang pengungkapannya terikat pada metode induktif. Sehingga data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan mendekatkan teoritis-rasional empiris yang diwujudkan dalam bentuk data-data kualitatif.7 III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Peran Serta Masyarakat Dalam Mendukung Penegakan Hukum di Laut Laut merupakan garda terdepan sistem keamanan dan pertahanan suatu bangsa (outermost layer of defense). Dengan kata lain, laut merupakan benteng terdepan. Apabila benteng kita rapuh dan keropos maka wilayah territorial Indonesia akan dengan mudah diterobos dan dimanfaatkan oleh kepentingan asing.8 Dalam konteks penegakan hukum di laut, masyarakat merupakan salahsatu faktor vital dalam mewujudkan penegakan hukum dimaksud. Masyarakat dipandang mampu memainkan peran yang sangat penting dan strategis dalam siklus penegakan hukum. Masyarakat sebagai entitas subyek hukum, tentunya berada pada garda terdepan, khususnya dalam memberikan informasi kepada penegak hukum tentang dugaan terjadi kejahatan di laut. Tentunya, masyarakat dengan segala keterbatasan yang dimilikinya perlu dilibatkan dan dibina untuk menjadi “informan” yang tangguh. Hal terpenting untuk menumbuhkan jiwa “informan” pada diri masyarakat yaitu memberikan dan membekali masyarakat informasi yang tepat tentang arti penting laut dan pentingnya untuk melestarikan dan memanfaatkan laut secara arif dan bijaksana. Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat maritim sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut. Kesediaan informasi ini juga penting bagi masyarakat untuk dijadikan bahan pertimbangan pengembangan kegiatan dan perannya dalam rangka meningkatkan perekonomian mereka. Hal tersebut juga bermanfaat untuk mengefektifkan upaya masyarakat dalam melindungi sumber daya alam serta wilayah pesisir dan laut. Mengingat sebagian besar penduduk di wilayah masyarakat maritim tergantung 7 Milles Mattew dan A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif, alihbahsa Tjetjep Rohendi Rohini, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm. 15. 8 Dewan Kelautan Indonesia, Membangun Laut Membangun Kejayaan: Dulu, Kini dan Masa Depan, (Jakarta: Kominfo Ditjen IKP dan Dekin, 2012), hlm. 192. ( 252 ) Penegakan Hukum di Laut secara ekonomis pada sumber daya alam, maka informasi yang berkaitan dengannya sangat diperlukan bagi masyarakat. Dalam konteks ini, secara sosiologis masyarakat dapat dilibatkan secara aktif untuk membantu penegakan hukum di laut dan secara normatif peranserta masyarakat tertuang dalam bentuk regulasi. Peranserta masyarakat dimaksud telah dituangkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 58/MEN/2001 tentang Tata cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Meskipun bentuk peranserta masyarakat sebagaimana tertuang dalam SK dimaksud menggunakan nomenklatur Tata cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, sesungguhnya tidaklah mengalami perbedaan mendasar secara substansi dengan frasa penegakan hukum di laut secara umum. Disamping itu, hingga kini belum ada suatu produk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sifatnya dari Surat Keputusan Menteri yang memuat secara khusus bentuk peranserta masyarakat. Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa “pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta mempertimbangkan peran serta masyarakat”. Frasa “peran serta masyarakat” yang tercantum dalam Pasal 6 ayat 2 tidak secara khusus mencantumkan bentuk pelibatan masyarakat. Pasal ini hanya menekankan bahwa hukum adat dan/atau kearifan lokal tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan hukum nasional. Pasal ini pula menunjukkan eksistensi masyarakat adat/lokal tidak dilihat terpisah dari sumber daya alam/ikan yang berada di wilayahnya. Sehingga, dapat dikatakan hingga saat ini SK Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan payung hukum yang menguraikan peranserta masyarakat. SK Menteri Kelautan dan Perikanan secara tegas menyebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, dikemas dalam bentuk Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat (SISWASMAS). SISWASMAS merupakan gagasan terhadap suatu sistem yang dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat bukan hanya memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, akan tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi daerahnya. SISWASMAS dalam prakteknya menuntut peranserta masyarakat yang dilakukan secara bertanggung jawab, agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Pemanfaatan berkelanjutan yang dimaksud disini adalah pemanfaatan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia di masa mendatang, tentunya dengan tetap memperhatikan keseimbangan fungsi lingkungan hidup. ( 253 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Lingkup kegiatan SISWASMAS meliputi kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) yang merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur pemerintah daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat dalam POKMASWAS, yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah/ petugas. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota kelompok masyarakat pengawas, yang kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. POSMASWAS sesungguhnya digali dari tradisi atau budaya setempat yang merupakan perilaku yang ramah lingkungan seperti Sasi di Maluku, Awig-awig di Bali, Panglima Laut di Aceh, Bajo di Sulawesi Tenggara, Lebak Lebung di Sumatera Selatan dan lainnya. Kearifan lokal mengenai pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan sebagaimana ditemukan dalam praktek di beberapa daerah di Indonesia, tentunya berasal atau diwarisi secara turun temurun. Warisan terun temurun dimaksud secara efektif cukup untuk melestarikan ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Di Sulawesi Selatan, warisan turun temurun yang menyoal tentang pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan secara khusus tidak atau belum ditemukan. Sehingga bentuk peran serta masyarakat dalam konteks kearifan lokal sulit untuk untuk dideskripsikan karena belum ditemukan dalam naskah-naskah atau praktek-praktek pada masyarakat pesisir. Dalam hal ini, peranserta masyarakat sebagaimana yang berlaku pada beberapa daerah di Indonesia, juga perlu ditemukan dalam kearifan masyarakat di Sulawesi Selatan. Penggunaan frasa “perlu ditemukan” yang ditekankan dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menemukan kearifan lokal dalam bidang penegakan hukum di laut yang secara khusus berlaku di Sulawesi Selatan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Irham Rapi9, Direktur Yayasan Konservasi Laut Makassar, bahwa secara tekstual dan kontekstual belum ditemukan kearifan lokal dalam penegakan hukum di laut di Sulawesi Selatan, kecuali kearifan lokal di bidang pemanfaatan mangrove di Kepulauan Tanakeke, Takalar dan kearifan Lokal di Kajang. Tentunya, ketiadaan atau belum ditemukannya kearifan lokal di Sulawesi Selatan sebagaimana disebutkan oleh Irham Rapi, tidaklah menunjukkan bahwa peranserta masyarakat tidak dikenal dalam kearifan lokal di Sulawesi Selatan. Konsepnya mungkin telah luntur dan kemudian harus dicari, digali, dan dihidupkan kembali. Oleh karena itu, konsep sosialisasi tentang pentingnya peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut harus disebarluaskan agar masyarakat mengetahui peran mereka sebagai unsur vital dalam konsep penegakan hukum, khususnya penegakan hukum di laut. Konsep dan konteks sosialisasi secara jelas dan tegas juga disebutkan dalam SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 58/MEN/2001. Dalam hal ini, POKMASWAS 9 Wawancara dilakukan pada tanggal 06 Juli 2013 bertempat di YKL Makassar. ( 254 ) Penegakan Hukum di Laut melakukan sosialisasi, termasuk memberikan bantuan sarana dan prasarana pengawasan secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Pemerintah dan atau Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS Eksistensi SISWASMAS dalam bingkai POKMASWAS sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Perikanan dan kelautan sesungguhnya juga telah dilakonkan oleh Lantamal VI. Dalam hal ini, peranserta masyarakat dikemas dalam bentuk peranserta masyarakat sebagai informan bagi Lantamal VI. Menurut Letnan Kolonel Muharam10, Kepala Dinas Potensi Maritim (DISPOTMAR) Lantamal VI, bahwa peranserta masyarakat dalam hal memberikan informasi atas dugaan kejahatan di laut merupakan pelaksanaan fungsi intelijen dalam penegakan hukum di laut. Masyarakat dalam posisi ini menjadi “mata-mata” yang akan menyuplai informasi kepada pihak Lantamal atas dugaan dugaan terjadinya kejahatan dan pelanggaran di laut. Beberapa jenis kejahatan dan pelanggaran di laut yang dapat menjadi fokus informasi dimaksud, yaitu: a) Pencurian benda purbakala; b) Penangkapan ikan illegal (illegal fishing); c) Penyelundupan manusia (People smuggling); d) Perompakan; e) Pencemaran lingkungan; f) Illegal loging; g) Penambangan pasir illegal; h) Narkoba; i) Penyelundupan bayi; j) Imigrasi gelap; k) Kecelakaan laut; l) Perkelahian antar nelayan; m) Peredaran senjata api/bahan peledak secara illegal (Arms smuggling); n) Perdagangan satwa yang dilindungi. Bentuk peranserta masyarakat dalam konteks Lantamal VI selanjutnya diorganisir secara terstruktur dengan membentuk desa pesisir dan masyarakat maritim. Pembentukan masyarakat maritim dan desa pesisir (desa binaan), bukan hanya dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang dugaan kejahatan di laut, akan tetapi juga dimaksudkan untuk melakukan pembinaan bagi masyarakat akan pentingnya laut sebagai warisan umat manusia yang harus dijaga dan dilestarikan. Selaras dengan konsep peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut “versi Lantamal VI”, Kepolisian Air Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Polair POLDA SulSel-Bar) juga melakukan peranserta masyarakat dalam bentuk masyarakat memberikan informasi kepada Polairut dalam hal dugaan terjadinya kejahatan di laut. Hal ini 10 Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 bertempat di Lantamal VI, Makassar. ( 255 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 sebagaimana dikemukan oleh Komandan Polisi Esa11, Polairut Makassar, bahwa masyarakat berperan aktif dalam memberikan informasi kepada Polairut, meskipun hingga kini belum ada upaya tangkap langsung masyarakat berdasarkan temuan Polairut Makassar. Peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut oleh Polairut Makassar, dilakukan dengan menggunakan media sosialisasi. Sosialisasi dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat dan kelompok masyarakat bahwa laut memainkan peran yang vital bagi kelangsungan hidup mereka, ekosistem, dan kelestarian lingkungan hidup. Dari sekian banyak jenis kejahatan di laut sebagaimana telah disebutkan di atas, Illegal fishing, pemboman ikan, imigran gelap, perompakan, dan penyeludupan BBM merupakan jenis-jenis kejahatan yang pernah terjadi (ditangani atau sedang ditangani) baik dalam lingkup Lantamal VI maupun Polairut. Jenis kejahatan dimaksud tentunya melibatkan masyarakat sebagai informan. Akan tetapi, terdapat perbedaan kuantitas atas kejahatan yang diproses secara hukum dan menjadi domain Lantamal VI dan Polairut. Menurut data Lantamal VI12 bahwa jenis kejahatan yang terjadi dalam lingkup Lantamal VI, hanyalah perompakan, penyeludupan BBM, Illegal fishing, dan Imigran gelap. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Kejahatan yang terjadi Dalam Lingkup Lantamal VI No. Nama Kejahatan Tempat Kejahatan (locus delicti) 1 2 3 4 Perompakan Illegal Fishing Penyeludupan BBM Imigran Gelap Palu Makassar Banjarmasin Sinjai Sumber: Wawancara dengan Mayor Ishak Jamal, S.H. (Diskum Lantamal VI, 16 Agustus 2013) Dalam lingkup yang lebih kecil (Danal Sulawesi Selatan), menurut Priya Santosa13, Kepala Dinas Hukum Lantamal VI, bahwa dalam kurun waktu 2011 hingga 2013, DISKUM hanya memproses satu perkara pemboman ikan, yang kasusnya kemudian dihentikan karena kurang bukti. Terbatasnya jumlah perkara yang dilaporkan dan kemudian ditangani oleh Lantamal VI, tidaklah berarti bahwa Lantamal VI tidak mendapatkan informasi yang memadai dari masyarakat terkait dugaan terjadinya kejahatan di laut. Minimnya jumlah perkara yang ditangani bukan dikarenakan tidak adanya informasi dari masyarakat, akan tetapi posisi Lantamal VI yang berada ditengah-tengah Lantamal VII Kupang, Lantamal VIII Manado, 11 Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Juli 2013 bertempat di Polairut Makassar. Lantamal VI menaungi Danal Kalimantan Timur, Danal Kalimantan Selatan, Danal Sulawesi Tengah, Danal Sulawesi Tenggara, Danal Sulawesi Barat, dan Danal Sulawesi Selatan. 13 Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 bertempat di Lantamal VI, Makassar. 12 (256 ) Penegakan Hukum di Laut Lantamal IX Ambon, Lantamal X Jayapura, dan Lantamal XI Marauke, yang posisi geografis Lantamal VII-XI yang langsung berbatasan dengan negara lain, seperti Philipina, Australia, Timur Timor, dan lain sebagainya. Fakta menunjukkan bahwa kejahatan di laut banyak terjadi pada wilayah Lantamal VII-XI, khususnya kasus kasus illegal fishing, illegal logging, permasalahan perbatasan, penyeludupan orang, narkotika, dan lain sebagainya. Tentunya, berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan di Lantamal VI tidaklah dapat disimpulkan bahwa kejahatan di laut tidak akan terjadi dalam wilayah Lantamal VI. Ketatnya pengawasan di Lantamal VII-XI, telah menjadi bahan evaluasi bagi pelaku kejahatan untuk mengalihkan tempat kejahatan mereka ke wilayah Lantamal lainnya, khususnya Lantamal VI. Sebagaimana yang dikemukan oleh Priya Santosa14 bahwa tertangkapnya imigran gelap di Kabupaten Sinjai merupakan bentuk atau model baru dalam upaya memasukan imigran ke wilayah Lantamal VI, dengan cara mengubah rute perjalanan yang menghindari wilayah Lantamal VII-XI. Informasi yang disampaikan oleh masyarakat merupakan kunci sukses tertangkapnya imigran gelap di Kabupaten Sinjai. Tanpa informasi tersebut maka akan sulit bagi Lantamal VI untuk mengungkap kasus dimaksud. Fakta perkara yang ditanggani oleh Lantamal VI berdasarkan informasi dari masyarakat sebagaimana disebutkan di atas, sangat berbeda dengan jumlah perkara yang ditangani oleh Polairut Makassar. Menurut Komandan Polisi Esa, Tahun 2012 saja, telah terdapat lebih dari 40 kasus yang diproses oleh Polairut. Adapun jenis kejahatan yang diproses selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kejahatan yang terjadi Dalam Lingkup Polairut No. 1 2 3 4 5 6 Nama Kejahatan Perompakan Illegal Fishing Ilegal Logging Pemboman Ikan Pembiusan Ikan Pencemaran Lingkungan Sumber: Wawancara dengan Komandan Polisi Esa (Polairut, 12 Juli 2013) Perbedaan Tabel 1 dan Tabel 2 lebih dititikberatkan pada jumlah kejahatan di laut yang ditangani dan/atau sementara ditangani baik oleh Lantamal VI maupun Polairut Makassar. Akan tetapi, secara substansial jenis kejahatan yang diinformasikan atau dilaporkan masyarakat memiliki kesamaan, yaitu perompakan, illegal fishing, dan pemboman ikan. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kejahatan di atas menjadi kejahatan yang selalu terjadi dalam lingkup Lantamal VI dan Polairut Makassar dan dikategorikan sebagai kejahatan tradisional yang terjadi di laut. 14 Ibid. (257 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Tentunya, disadari bahwa meskipun sosialisasi telah dilakukan oleh instansi penegak hukum, masyarakat masih sering menyembunyikan informasi tentang kejahatan yang mereka temukan di laut. Menurut Komandan Polisi Esa15, bahwa masyarakat terkadang ambigu atas informasi yang mereka miliki dengan “tujuan untuk melindungi bisnis illegal mereka yang dianggap sebagai cara mereka untuk bertahan hidup dan persaingan bisnis di industri perikanan dan transportasi laut”. Komandan Polisi Esa, lebih lanjut menyebutkan data informasi yang oleh masyarakat disembunyikan dan tidak dilaporkan ke Polairut. Menurutnya, “..95% orang Bonerate hidup di laut dan diyakini beberapa nelayan-nelayan yang paling banyak keuntungan hasil tangkapannya di wilayah tersebut menggunakan bom ikan sebagai metode penangkapannya”. Fakta yang dikemukan oleh Komandan Polisi Esa, Bukan hanya terjadi di Bonerate akan tetapi juga terjadi di Kepulauan Pangkajane (Pangkep). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada dua (2) tempat di kabupaten Pangkep, yaitu Pulau Ballang Caddi dan Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, ditemukan pola yang sama. Selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pulau Ballang Caddi dan Liukang Tuppabiring No. Tempat Responden Jumlah Responden Melaporkan Tidak Melaporkan 1 Pulau Ballang Caddi 30 15 15 2 Liukang Tuppabiring 30 10 20 Sumber : Wawancara di Liukang Tuppabiring, 20 – 30 Juli 2013 dan Pulau Ballang Caddi, 01 -15 Agustus 2013. Berdasarkan presentase pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa masyarakat dalam konteks tertentu berupaya untuk menyembunyikan informasi dan tidak melakukan pelaporan ke pihak penegak hukum atas dugaan kejahatan yang terjadi di laut. Persentase pada Tabel 3 menunjukkan bahwa 50-75 % masyarakat memiliki kecederungan untuk menyembunyikan informasi tersebut sehingga perlu ditemukan suatu formula baru untuk terus menumbuhkan kecintaan masyarakat akan pentingnya perlindungan dan pemanfaatan laut. Dengan kecintaan tersebut, masyarakat akan menjadi patner yang strategis bagi penegak hukum baik itu Lantamal VI maupun Polairut dalam penegakan hukum di laut. Data Lantamal VI menunjukkan bahwa terbatasnya Alutista yang dimiliki oleh TNI AL dalam penegakan hukum di laut, maka peran masyarakat menjadi sangat strategis dan dibutuhkan oleh TNI AL. Dalam hal ini, menurut Priya Santosa (KADISKUM Lantamal VI) dan Muharam (KADISPOTMAR Lantamal VI), bahwa keberadaan masyarakat sebagai penyuplai informasi tentang dugaan terjadinya kejahatan di laut sangat vital, khususnya 15 Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2013 bertempat di Polairut Makassar. (258 ) Penegakan Hukum di Laut dalam membantu Lantamal VI dalam penegakan hukum di laut. 1. Faktor-faktor penghambat yang timbul dalam peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut Pola pikir (mindset) laut sebagai “halaman belakang rumah” sudah tidak tepat lagi untuk digunakan. Mindset tersebut harus segera diperbaharui menuju laut sebagai “halaman depan rumah”.16 Perubahan pola pikir dimaksudkan untuk menempatkan stakeholders pada posisi yang sama dimana mereka seharusnya memiliki pemahaman bahwa laut memiliki potensi yang harus dilestarikan dan dilindungi. Masyarakat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum, ditempatkan pada peran tersendiri yang tak terpisahkan dengan stakeholders lainnya dalam penegakan hukum di laut. Pola pembinaan dan koordinasi harus selalu dikedepankan dalam rangka meningkatkan kualitas masyarakat dalam penegakan hukum di laut. Dalam konteks peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut, masyarakat tentunya memiliki porsi tersendiri dalam menjalankan peran yang diembannya dalam mewujudkan dan menopang kinerja stakeholders untuk melindungi dan melestarikan laut. Akan tetapi disadari pula bahwa terdapat faktor-faktor penghambat yang mempengaruhi optimalisasi peran masyarakat dalam penegakan hukum di laut. Faktor-faktor dimaksud berasal dari berbagai dimensi seperti dimensi ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam penelitian ini, dimensi ekonomi merupakan alasan utama bagi masyarakat untuk tidak atau belum berperan serta dalam penegakan hukum di laut. Menurut Mayor Ishak Jamal17 bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama yang dikemukan oleh para pelaku yang sekaligus sebagai dalam posisi masyarakat yang seharusnya melaporkan atau mengungkap kejahatan di laut. Kasus pemboman ikan yang ditangani oleh DISKUM Lantamal VI, merupakan bukti bahwa pelaku (tersangka) adalah warga masyarakat (nelayan) yang seharusnya memberikan laporan atas dugaan kejahatan di laut atau mencegah diri sendiri dan kelompok masyarakat di sekitarnya untuk tidak melakukan kejahatan dimaksud. Argumentasi ekonomi atas kasus yang ditangani oleh Lantamal VI berbanding lurus dengan kenyataan di lapangan, sebagaimana ditemukan di Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep, bahwa warga masyarakat (nelayan) tidak berpartisipasi dalam penegakan hukum di laut disebabkan oleh faktor ekonomi dimana mereka adalah pelaku kejahatan, khususnya pemboman ikan. Tabel 4 menunjukan bahwa dari 30 (tiga puluh) responden, 15 (lima belas) responden menyebutkan bahwa mereka pernah melakukan kejahatan di laut seperti pemboman ikan dan pembiusan ikan. Sementara 15 (lima belas) responden lainnya menyatakan belum pernah melakukan kejahatan di laut (selanjutnya lihat Tabel 4). 16 17 Dewan Kelautan Indonesia, op.cit. hal. 247-248. Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 bertempat di Lantamal VI, Makassar. (259 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Tabel 4 Jumlah Responden Pelaku Kejahatan di Laut No. Responden Yang Melakukan Kejahatan di Laut Responden Yang Tidak Melakukan Kejahatan di Laut 1 15 15 Jumlah Responden 30 Adapun usia rata-rata pelaku adalah 25-29 tahun. Komposisi usia pelaku di Liukang Tuppabiring menunjukkan bahwa pada usia 25-29 tahun, para pelaku cenderung untuk berpikir praktis dengan alasan atau tuntutan ekonomi. Tuntutan ekonomi ini kemudian dibingkai argumentasi bahwa mereka memiliki keluarga yang terdiri atas anak dan isteri yang membutuhkan makan. Fakta di Liukang Tuppabiring juga terjadi di Pulau Balang Caddi, Kabupaten Pangkep. Dari 30 (tiga puluh) responden, 25 (dua puluh lima) responden menyebutkan bahwa mereka pernah melakukan kejahatan di laut, khususnya pemboman dan pembiusan ikan. Usia pelaku juga relatif sama, yaitu 25-35 tahun (selanjutnya lihat Tabel 5). Tabel 5 Jumlah Responden Pelaku Kejahatan di Laut No. 1 Responden Yang Melakukan Kejahatan di Laut 25 Responden Yang Tidak Melakukan Kejahatan di Laut 5 Jumlah Responden 30 Alasan utama yang dikemukan oleh masyarakat di Pulau Balang Caddi yaitu alasan ekonomi dimana mereka melakukan kejahatan tersebut dengan maksud untuk mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak. Mereka lebih lanjut berargumentasi bahwa semakin minimnya jumlah tangkapan ikan yang diperoleh, akhirnya memaksa mereka untuk melakukan pemboman ikan agar jumlah tangkapan ikan mereka tetap banyak. Dalam konteks ini, alasan ekonomi menjadi sesuatu yang mutlak karena mereka hanya menggantungkan penghasilan dari pekerjaan sebagai nelayan. Perspektif ekonomi nelayan sebagai pelaku sebagaimana ditemukan dalam penelitian ini merupakan gambaran nyata bahwa masyarakat (laut) akan sulit menjalankan peran dan fungsinya sebagai informan bagi penegak hukum di laut. Menurut Komandan Polisi Esa18 bahwa masyarakat (nelayan) selalu berlindung dibalik argumentasi “himpitan ekonomi” untuk melegitimasi kejahatan yang mereka lakukan. Contoh penyeludupan pupuk dari Malasyia menurut Komandan Polisi Esa adalah contoh konkrit yang terjadi dalam wilayah 18 Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2013 bertempat di Polairut Makassar. (260 ) Penegakan Hukum di Laut kerja Polairut Makassar, dimana pelakunya adalah seorang janda berusia 80 (delapan puluh tahun) yang berargumentasi melakukan penyeludupan dimaksud dengan alasan ia harus menghidupi anak dan cucunya yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Dalam konteks ini, ambiguitas perilaku masyarakat (nelayan) dalam penegakan hukum di laut berimplikasi pada rentannya mereka untuk “mendua” dalam menjalankan fungsi “informan” yang mereka emban dalam kikutsertaan mereka dalam penegakan hukum di laut. Komandan Polisi Esa, lebih lanjut menjelaskan bahwa masyarakat (nelayan) cenderung untuk membocorkan kerahasiaan penangkapan Polairut atas dugaan kejahatan yang terjadi dengan alasan ekonomi pula. Padahal sebagai aparat penegak hukum di laut, Polairut memiliki prosedur penanganan kejahatan yang harus memenuhi standar internasional. Prosedur penanganan yang dimaksud berupa penggunaan baju dinas pada saat penangkapan. Sehingga dalam beberapa kasus, masyarakat (nelayan) dengan sigap menyampaikan keberadaan petugas kepada masyarakat (nelayan) pelaku kejahatan dan pada akhirnya operasi penangkapan yang direncanakan akhirnya gagal. Apabila argumentasi ekonomi selalu dilegitimasi oleh warga masyarakat baik dalam melakukan kejahatan di laut maupun membocorkan informasi keberadaan Polairut dan Lantamal VI maka dapat diprediksi bahwa hal tersebut akan sangat berbahaya dalam penegakan hukum di laut. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan laut bersifat bubble burst effects, dimana kejahatan yang ditangani Polairut dalam suatu wilayah akan tumbuh di wilayah lain. Dalam konteks masyarakat menjalankan fungsinya sebagai informan bagi Lantamal VI dan Polairut maka argumentasi ekonomipun dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengoptimalisasikan peran Polairut termasuk didalamnya memeberdayakan peranserta masyarakat. Menurut Komandan Polisi Esa19 bahwa dalam rangka memaksimalkan peran serta masyarakat sebagai pelapor atas ditemukannya dugaan kejahatan di laut terkadang dihambat dengan minimnya anggaran penanganan kasus di institusi Polairut. Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya anggaran yang dialokasikan untuk penanganan kejahatan di laut dalam lingkup Polairut Makassar yang membawahi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat hanya sebanyak 13 (tiga belas) kasus. Sebagai bahan perbandingan, pada tahun 2012 saja telah ditemukan 40 (empat puluh) kasus. IV. PENUTUP 1. Simpulan Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: a. Peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut diatur secara khusus dalam SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.58/MEN/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan SUmber Daya Kelautan dan Perikanan. Secara Umum dapat ditemukan dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Adapun bentuk 19 Ibid. (261 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 peranserta masyarakat yang dalam penegakan hukum di laut yaitu memberikan dan menyuplai informasi tentang dugaan terjadinya kejahatan di laut seperti pemboman ikan, penyeludan BBM, imigran gelap baik kepada Lantamal VI maupun Polairut Makassar. b. Faktor penghambat yang mempengaruhi peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut lebih didominasi oleh alasan ekonomi. Masyarakat (nelayan) cenderung menjadi pelaku kejahatan dan/atau menyembunyikan informasi kepada aparat penegak hukum di laut karena tuntutan ekonomi. Alasan minimnya jumlah tangkapan menjadi legitimasi untuk menggunakan bom dalam menangkap ikan sehingga dapat berimplikasi pada peningkatan penghasilan sebagai nelayan. 2 Saran Adapun saran-saran yang dapat dikemukan sebagai suatu bentuk rekomendasi atas penelitian ini, adalah sebagai berikut: a. Perlunya sosialisasi yang massif tentang arti penting laut sebagai “halaman depan rumah” yang diberikan kepada masyarakat, khususnya nelayan agar mereka paham akan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan melestarikan laut. b. Perlunya koordinasi yang lebih intens lagi antara instansi penegak hukum di laut seperti Lantamal VI dan Polairut dalam rangka mengoptimalkan peranserta masyarakat sebagai “informan” yang mendukung kinerja dari instansi penegak hukum dimaksud. c. Perlunya memperbanyak desa-desa binaan maritim dalam rangka membangun dan mengubah mindset masyarakat tentang laut, khususnya dalam konteks masyarakat (nelayan) sebagai actor kejahatan di laut. d. Perlunya menetapkan aturan atau regulasi yang secara khusus mengatur tentang peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut, yang lebih tingkatannya dari Surat Keputusan Menteri. DAFTAR PUSTAKA Abd. Rasal Rauf, Hukum Laut: Pola Ilmiah Pokok (buku Ajar), Makassar: Fakultas Hukum UNHAS, 2007. Alma Manuputty, dkk., Buku Ajar: Hukum Laut (Pola Ilmiah Pokok), Makassar: LKPP Unhas, 2011. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2000. Dewan Kelautan Indonesia, Membangun Laut Membangun Kejayaan: Dulu, Kini dan Masa Depan, (Jakarta: Kominfo Ditjen IKP dan Dekin, 2012. Frans E. likadja, Bunga Rampai Hukum Internasional, Bandung: Binacipta, 1987. (262 ) Penegakan Hukum di Laut Maskun, Penegakan Hukum di Laut: Hambatan dan Solusi, Harian Tribun Timur, Kamis, 26 Agustus 2010. Milles Mattew dan A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif, alihbahsa Tjetjep Rohendi Rohini, Jakarta: UI_Press, 1982. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian Experience, Bandung: Alumni, 2002. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006. (263 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 264 ) Israel - Palestina LANGKAH SEPIHAK ISRAEL DAN KRITIK INTERNASIONAL TERHADAP RENCANA PEMUKIMAN YAHUDI DI PALESTINA Sumiyati Beddu* Fakultas Hukum Univeritas Ichsan Gorontalo [email protected] Abstract: Israel plans to undertake the construction of Jewish settlements in the Palestinian territory in clear violation of international law, not compliance calls for the international community and international organizations to make Israel as a public enemy. Efforts peace (Israel-Palestine) which continues as initiated by many to be futile due to the controversial policies continue to be implemented by the Government of Israel. Abstrak: Rencana Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina jelas melanggar hukum internasional, tidak dipatuhinya seruan-seruan masyarakat internasional dan beberapa organisasi internasional menjadikan Israel sebagai public enemy. Upaya perdamaian (IsraelPalestina) yang terus digagas oleh banyak pihak seolah menjadi sia-sia akibat kebijakan-kebijakan kontroversial yang terus dijalankan oleh Pemerintah Israel. I. PENDAHULUAN Perselisihan antara Israel dan Palestina hingga saat ini belum juga dapat terselesaikan dengan baik, upaya-upaya perdamaian terus saja di upayakan baik melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) yang merupakan wadah/organisasi terbesar antarnegara sebagai suatu komunitas masyarakat internasional, maupun melalui inisiatif oleh negara-negara yang turut prihatin atas permasalahan yang dihadapi oleh kedua bangsa tersebut (Israel dan Palestina). Sebenarnya perselisihan yang terjadi antara Israel dan Palestina bukanlah masalah yang baru terjadi, namun masalah tersebut sudah mulai muncul dari ribuan tahun yang lalu. Negara Israel berdiri pada tanggal 14 Mei 1948 didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181 Tahun 1947.1 Resolusi ini menetapkan Jerusalem sebagai daerah Dekan Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Sarjana Hukum (SH) 1994 dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Magister Ilmu Hukum (MH) 2008 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. * 1 Lihat Adian Husaini, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2002), hlm. 15 yang dikutip dari Inggrit Fernandes, Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Penduduk Sipil Palestina di Wilayah Pendudukan Israel di Palestina, (Padang: Program Pascasarjana Universitas Andalas, 2011), hlm. 1 (265 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 yang berada di bawah kekuasaan internasional. Pada tanggal 29 November Tahun 1947 Israel melanggar resolusi ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel.2 Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai melakukan pembangunan pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses, yakni evekuasi dan substitusi. Proses evakuasi dan substitusi yaitu dengan mengosongkan wilayah dan mengganti penduduknya dengan bangsa Yahudi yang dilakukan dengan cara kekerasan dan pembunuhan terhadap penduduk sipil Palestina.3 Hal ini sesuai dengan kebijakan utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi wilayah, yang dapat dilihat dari dikuasainya 80% wilayah Palestina pada tahun 1949, jauh melebihi bagian yang ditetapkan PBB pada tahun 1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses substitusi rakyat Palestina dengan penduduk Israel mencapai proporsi yang sulit dipecahkan, selain itu pemerintahan Israel menghancurkan tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei 1949 kemudian Israel membangun 1.947 pemukiman baru dan bulan Oktober 1947 imigran Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka mencapai 25.255 imigran.4 Fakta tersebut menunjukkan bahwa dari awal berdirinya, negara Israel telah melakukan pelanggaran terhadap isi resolusi yang menjadi dasar hukum berdirinya negara tersebut sebagai negara yang berdaulat, kebijakan utama politik luar negeri yang tidak mengindahkan aturan-aturan internasional menjadikan negara ini (Israel) bukan hanya berkuasa di wilayahnya, namun juga menguasai/berkuasa di wilayah yang secara hukum bukan menjadi wilayah teritorialnya (seperti di wilayah Palestina). Sebagai badan yang memiliki kewenangan untuk menengahi konflik tersebut, seharusnya PBB lebih aktif dalam memberikan perannya terhadap penyelesaian konflik yang terus terjadi antara Israel dan Palestina. PBB memiliki tanggung jawab besar terhadap penyelesaian konflik yang berkepanjangan tersebut, karena PBB-lah maka masyarakat internasional (selaku gabungan dari negara-negara berdaulat) memiliki hak untuk mengharapkan perdamaian dapat terjadi di bumi Israel-Palestina. PBB melalui Dewan Keamanan mempunyai tanggungjawab besar untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, menjamin keadilan dan hakhak asasi manusia dan menggalakkan kemajuan sosial serta taraf hidup yang lebih baik di alam yang luas. Maka dari itu, dengan lenyapnya perang dingin, dunia dan PBB sebagai satu lembaga telah bebas dari belenggu pertentangan pembangunan di segala dimensi, baik sosial, budaya maupun politik. Namun lebih dari itu, PBB memiliki tugas besar, berkaitan dengan konflik di timur tengah, Israel-Palestina, dalam penanganan konflik tersebut Dewan Keamanan PBB memiliki kekuatan yakni berupa resolusi yang disepakati oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB.5 Tentunya resolusi tersebut harus mengandung nilai-nilai keadilan, 2 Ibid. Adrian Husaini, hlm. 157; Inggrit Fernandes, hlm. 1 COMES (Penerjemah), Terorisme Israel Membedah Paradigma dan Strategi Terorisme Zionis, (Bandung: Assyamil, 2001), hlm. 137 yang dikutip dari Inggrit Fernandes. Ibid, hlm. 1-2 4 Ibid. 5 Ali Muhtar Arifin, Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Konflik IsraelPalestina (Studi Kasus Konflik Jalur Gaza Tahun 2007-2009), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010), 3 ( 266 ) Israel - Palestina khususnya dapat memberikan win-win solution bagi Israel-Palestina yang sedang berkonflik, agar resolusi tersebut nantinya dapat menjadi cikal-bakal terciptanya perdamaian yang selama ini diharapkan oleh masyarakat internasional. Hingga saat ini, sejak Yahudi mendirikan negaranya di bumi Palestina, Dewan Keamanan PBB senantiasa telah mengeluarkan resolusi-resolusi yang menguntungkan negara Zionis tersebut. Sebab, mereka sudah terlebih dahulu menyensor resolusi yang bertentangna dengan kepentingan Yahudi. Di balik itu negara-negara Islam masih saja menggantungkan harapan kepada Dewan Keamanan PBB tersebut.6 Melihat dari sejarah berdirinya PBB, terdapat nilai positif yang mengedepankan perdamaian dan keamanan, serta didukung oleh negara-negara berkembang dunia. Akan tetapi perjalanan PBB hingga saat ini masih belum mampu menunjukkan kualitasnya sebagai organisasi internasional. Hal tersebut dapat kita tinjau melalui konflik Israel-Palestina. Terkait dengan keputusan PBB yang mengakhiri mandate Pemerintahan Inggris di wilayah Palestina, kemudian membagi wilayah Palestina menjadi dua negara yaitu wilayah yang diperuntukkan bagi masyarakat Yahudi Israel dan Arab Palestina.7 Namun di awal tahun 2014 baru-baru ini Israel malah memperkeruh suasana dan menghambat proses perdamaian yang sementara dilakukan dengan membangun pemukiman baru Yahudi di wilayah Palestina. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Apakah dampak yang ditimbulkan atas tindakan sepihak Israel dalam membangun pemukiman Yahudi di wilayah Palestina? Bagaimanakah pandangan hukum internasional atas tindakan sepihak Israel dalam membangun pemukiman Yahudi di wilayah Palestina? II. PEMBAHASAN A. Dampak Pembangunan Pemukiman Yahudi di Palestina Israel kembali mengambil langkah kontroversial. Berulang kali dicekam, Israel malah menyetujui pembangunan 381 pemukiman Yahudi baru di wilayah sengketa dengan Palestina. Pemukiman tersebut direncanakan dibangun di Givat Zeev, Selatan Tepi Barat. Dengan dibangunnya 381 pemukiman Yahudi ini, maka dalam dua minggu Israel telah menambah sekira 2.530 (dua ribu lima ratus tiga puluh) pemukiman baru. Sebelumnya, pada Januari, Israel telah menyetujui rencana pembangunan 272 pemukiman. Empat hari kemudian, Israel turut mengambil langkah serupa dengan merencanakan pembangunan 1.877 pemukiman lagi. Keputusan pembangunan pemukiman Yahudi dipastikan akan mempersulit perundingan damai dengan Palestina. “Pemerintahan (PM) Netanyahu tidak menginginkan perdamaian,” ujar Kepala Negosiator Palestina Saeb Erkat, seperti dikutip dari Al Jazeera, (dirilis Kamis, 23 Januari 2014).8 hlm. 3-4 6 Ibid. hlm. 4; Lihat juga Fuad Bin Sayyid Abdurrahman Arrifa’i, Yahudi Dalam Informasi Dan Organisasi, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 53 7 Ibid. hlm. 4-5; Lihat juga Hermawati, Sejarah Agama Dan Bangsa Yahudi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hlm. 1 8 Okezone, Israel Setujui Pembangunan Pemukima Yahudi Baru, Lihat http://international. (267 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Sepanjang perjalanan sejarahnya, konflik Israel-Palestina ini telah mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah besar. Berbagai perang telah terjadi, yang kemudian diikuti dengan upaya-upaya perdamaian yang terus dilakukan, berbagai kesepakatan damai juga telah diadakan oleh negara-negara pihak ketiga sebagai mediator, namun hal-hal tersebut belum diimplementasikan oleh kedua pihak sehingga konflik ini terus saja berlanjut hingga saat ini. Upaya negoisasi perdamaian tidak akan pernah berjalan adil dan efektif sepanjang kedua pihak yang bernegoisasi belum memiliki kedudukan, posisi, dan hak-hak yang sama. Hal ini bisa dilihat dari ketimpangan antara status Negara Israel dan Palestina dihadapan masyarakat Internasional. Perbedaan status Israel dan Palestina di PBB ini bisa dikatakan menjadi indikator utama yang menggambarkan ketimpangan tersebut. Status Israel di PBB adalah negara anggota sedangkan status Palestina hingga akhir November 2012 kemarin hanyalah dianggap sebagai “belligerent”. Sehingga apabila upaya-upaya perdamaian atau negoisasi terus dilakukan dalam keadaan yang tidak seimbang tersebut hanya akan menguntugkan pihak yang kuat. Kondisi-kondisi perdamaian yang dapat terjadi kemudian hanyalah kondisi perdamaian yang diinginkan oleh pihak yang kuat.9 Jumlah pemukiman ilegal Yahudi yang mulai dibangun di wilayah Palestina mengalami kenaikan selama medio 2013. Data tersebut dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik Israel. Biro itu mengatakan, pada 2013 Israel telah mulai mengerjakan 2.534 (dua ribu lima ratus tiga puluh empat) pemukiman baru. Angka ini naik dua kali lipat dari 2012 yang ada di angka 1.133 (seribu seratus tiga puluh tiga) rumah. Pengumuman ini muncul selang beberapa jam dari kedatangan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu ke Washington. Kedatangan Netanyahu ke Ibu Kota Amerika Serikat (AS) tersebut dalam rangka menemui Presiden Barack Obama. Sebelumnya Obama menjelaskan, pertemuan ini sengaja dihelat untuk merundingkan masalah pembangunan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Diakui Obama, bila Israel tetap bersikeras atas apa yang mereka lakukan, maka dipastikan konstruksi perdamaian Israel-Palestina yang selama ini telah diupayakan akan hancur.10 Dalam pernyataannya, Obama pun mengakui Israel memang telah mempercepat pembangunan pemukiman Yahudi. “Kami melihat bagaimana agresifnya pembangunan konstruksi pemukiman dalam dua tahun terakhir bila dibanding dengan apa yang kita lihat di beberapa tahun sebelumnya,” ujar Obama seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (dirilis Selasa, 04 Maret 2014). Kebijakan Israel tersebut, tidak hanya mendapat keprihatinan dari AS, organisasi Perdamaian Dunia turut mengambil langkah serupa. Menurut mereka, saat ini pembangunan yang dilakukan Israel telah menunjukan sikap yang tidak peduli dengan negosiasi damai dengan Palestina.11 Padahal belajar dari kasus-kasus sebelumnya PBB telah okezone.com/read/2014/01/23/412/930525/israel-setujui-pembangunan-pemukiman-yahudi-baru di akses 05 Maret 2014 9 Mangulung dkk, Pemberian Status “Non-Member State” Kepada Palestina Oleh PBB, Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume 1 Nomor 2 Edisi November 2013, hlm. 234-235 10 Okezone, Pemukiman Ilegal Yahudi Naik Dua Kali Lipat, Lihat http://international.okezone. com/read/2014/03/04/412/949575/pemukiman-ilegal-yahudi-naik-dua-kali-lipat di akses 05 Maret 2014 11 Ibid. ( 268 ) Israel - Palestina mengeluarkan banyak dana untuk keperluan peacekeeping operation.12 Hal ini menjadi menarik kemudian karena Amerika Serikat-pun turut prihatin atas pembangunan pemukiman tersebut, namun anehnya tidak ada tindakan real dari Pemerintah Amerika untuk mencegah proses pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina. Uni Eropa mengecam rencana Israel membangun 1.700 (seribu tujuh ratus) pemukiman Yahudi di wilayah Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Uni Eropa menuntut Israel membatalkan rencananya tersebut. Yerusalem Timur dan Tepi Barat merupakan bagian dari Palestina. Uni Eropa menilai pembangunan pemukiman Yahudi di kedua wilayah tersebut sebagai tindakan yang ilegal. Uni Eropa juga khawatir rencana pembangunan pemukiman Yahudi akan merusak proses perundingan damai yang sedang berjalan. Palestina menjadikan penghentian pembangunan pemukiman Yahudi sebagai tuntutan utamanya dalam perundingan. “Uni Eropa sudah berulang kali menyatakan pembangunan pemukiman Yahudi oleh Israel di wilayah Palestina melanggar hukum internasional. Israel harus menyelamatkan proses perundingan. Tindakan (pembangunan pemukiman Yahudi) yang merusak proses perundingan harus segera dibatalkan,” sebut pernyatan dari Uni Eropa, seperti dikutip AFP, (dirilis Kamis, 07 November 2013). Proses perundingan Palestina-Israel memang terancam gagal. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry harus membujuk kedua belah pihak untuk melanjutkan perundingan. Perundingan Palestina-Israel disponsori kelompok yang dikenal dengan nama Kuartet Timur Tengah. Kelompok tersebut terdiri dari AS, Uni Eropa, PBB dan Rusia.13 Oleh karena itu, maka dampak yang paling besar atas rencana pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina adalah kritik dari sejumlah negara (sebagai bagian dari masyarakat internasional) atau yang lazim disebut “kritik internasional” terhadap rencana pembangunan pemukiman Yahudi tersebut. Bisa saja masyarakat internasional akan semakin tidak percaya terhadap setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah Israel ketika melakukan hubungan internasional terhadap negara-negara (yang termasuk melakukan upaya protes atas pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina), dan ini akan merugikan negara Israel dalam posisi yang tidak menguntungkan di dalam melakukan perundingan-perundingan atau kerjasama-kerjasama luar negeri, bahkan kebijakan sepihak Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina dapat menjadi boomerang bagi negara Israel di masa yang akan datang. Sejumlah kritik terhadap Israel datang dari beberapa negara, seperti yang dikutip dalam berita berikut ini : “Sejumlah negara mengutuk rencana pembangunan ini. Inggris, Perancis, Spanyol, Denmark, dan Swedia telah memanggil Duta Besar Israel di negara masing-masing untuk memprotes kebijakan ini. Sementara itu, sekutu terdekatnya, Amerika Serikat, juga meminta Israel mempertimbangkan kebijakan ini. (Kami meminta pemimpin 12 Ali uhtar Arifin, Loc.Cit. Lihat juga Riza Zihbudi, Menyandera Timur Tengah; Kebijakan AS Dan Israel Atas Negara-Negara Muslim, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 156 13 Okezone, Uni Eropa Tuntut Israel Batalkan Pembangunan Pemukiman Yahudi, Lihat http:// international.okezone.com/read/2013/11/07/412/893443/uni-eropa-tuntut-israel-batalkan-pembangunanpemukiman-yahudi di akses 05 Maret 2014 (269 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Israel untuk mempertimbangkan lagi keputusan sepihak ini dan menahan diri karena aksi ini kontraproduktif dan akan membuat proses negosiasi enjadi sulit), kata Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney. Tak hanya negara-negara itu saja yang mengutuk rencana Israel ini. Rusia, Jerman, dan PBB juga meminta rencana ini dibatalkan. Rencana yang paling ditentang oleh Palestina adalah pembangunan pemukiman Yahudi di area E1 di Maaleh Adumim (antara Herusalem dan Tepi Barat). Palestina menganggap pembangunan pemukiman di daerah ini akan membelah Tepi Barat, memisahkan Palestina dengan Jerusalem. Sehingga bisa menyebabkan terhambatnya pembentukan negara Palestina”.14 B. Pandangan Hukum Internasional Terhadap Rencana Pembangunan Pemukiman Yahudi Di Wilayah Palestina Dalam kacamata hukum internasional, maka rencana sepihak Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina jelas melanggar hukum internasional, ini dikarenakan tidak adanya itikad baik dari negara Israel dan tidak dipatuhinya seruanseruan masyarakat internasional dan beberapa organisasi internasional menjadikan Israel sebagai public enemy. Disini peran PBB sangat dibutuhkan agar keseimbangan dapat tercipta, dan nilai-nilai keadilan dapat ditegakkan. Upaya perdamaian (Israel-Palestina) yang terus digagas oleh banyak pihak seolah menjadi sia-sia akibat kebijakan-kebijakan kontroversial yang terus dijalankan oleh Pemerintah Israel. Sebagai hukum yang bersifat fusi (gabungan) yang mengayomi berbagai negara dengan latar belakang berbeda,15 hukum internasional menjadi sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina ini. Kehadiran pemukiman-pemukiman baru tersebut menciptakan tiga komplikasi bagi perundingan damai. Komplikasi pertama terkait dengan penyesuaian batas wilayah. Keberadaan pemukiman-pemukiman baru tersebut memaksakan dilakukannya penyesuaian batas wilayah kedua negara. Tanpa adanya penyesuaian batas, pemerintah Israel harus melakukan penarikan diri dari pemukiman-pemukiman baru yang sudah dibangun.16 Penarikan diri tersebut akan menciptakan tekanan publik yang intens. Tekanan publik akan semakin kuat mengingat pemukiman-pemukiman baru tersebut diperuntukkan bagi para imigran, yang sebagian besar berasal dari Rusia dan negara-negara eks-Uni Sovyet lain, yang merupakan basis pendukung partai-partai sayap kanan Israel. Partai-partai ini merupakan pilar utama koalisi pemerintahan Netanyahu saat ini. Artinya, selain tekanan publik, pemerintah Netanyahu harus menghadapi ancaman perpecahan dalam koalisinya jika memaksakan relokasi pemukiman. Pada saat yang bersamaan, penyesuaian batas akan memberi tekanan 14 Viva News, Bangun Pemukiman Yahudi, Israel Lawan Tekanan Internasional, Lihat http:// www.umm.ac.id/id/internasional-umm-1458-bangun-pemukiman-yahudi-israel-lawan-tekanan-internasional. html di akses 05 Maret 2014 15 Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 24 16 Broto Wardoyo, Jalan Panjang Negosiasi Palestina-Israel, (Sebuah Opini), Lihat http:// satuharapan.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=11834& cHash=6e274e151304a7763e61d25bdb9c8 45e di akses 05 Maret 2014 ( 270 ) Israel - Palestina pada Otoritas Palestina apalagi jika wilayah yang dipertukarkan kurang menguntungkan.17 Komplikasi kedua terkait dengan pengaturan keamanan. Pembangunan pemukiman Yahudi hanya bisa dilaksanakan jika ada ijin resmi dari Kementerian Pertahanan. Lokasilokasi pemukiman Yahudi baru yang terletak di luar garis hijau membuat militer Israel memiliki kebutuhan untuk melakukan pengamanan hingga ke wilayah yang menjadi teritori Palestina. Hal ini membuka potensi terjadinya benturan dengan kelompok-kelompok perlawanan Palestina, terutama Brigade al-Aqsa, yang secara de facto menguasai blok-blok besar di wilayah Tepi Barat. Apalagi, kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki garis komando yang jelas dengan Otoritas Palestina.18 Komplikasi ketiga terkait dengan status Yerusalem. Blok-blok baru pemukiman Yahudi sebagian besar dibangun di wilayah Yerusalem Timur, ibukota negara Palestina. Sebagian dari blok yang dibangun tersebut bukanlah perluasan normal dari blok lama di Yerusalem Timur namun dibangun terpisah dari blok-blok lama. Blok-blok baru tersebut akan menambah rumit pengaturan masalah Yerusalem yang sudah cukup kompleks dengan kehadiran situssitus suci.19 Ketiga komplikasi ini menjadi sangat penting yang harus dipikirkan oleh setiap negara, guna konflik yang terus-menerus terjadi di Palestina dan Israel dapat segera usai, agar perdamaian yang dikehendaki oleh banyak pihak (negara-negara) dapat segera terwujud. Banyak upaya telah ditempuh oleh beberapa pihak yang menginginkan perdamaian terjadi antara Israel dan Palestina, khususnya negara-negara Arab, Dewan Keamanan PBB pun telah mengeluarkan banyak resolusi yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina, resolusi-resolusi dimaksud adalah20 : - Resolusi tentang HAM Resolusi A/55/133 isinya mengenai tindakan-tindakan Israel yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Palestina (mengenai pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi dan penutupan daerah). Dalam resolusi ini, Majelis Umum menitik beratkan pada perlunya menjaga integritas territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina, termasuk menghilangkan pembatasan yang dilakukan oleh Israel; - Resolusi A/55/128 mengenai tanah kepemilikian Palestina sesuai dengan Prinsipprinsip kebenaran dan keadilan.; - Resolusi A/56/142 hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri.; - Upaya pembentukan road map yang disepakati oleh komite Kwartet, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB; - Resolusi PBB No.181 tahun 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa Palestina dan Yahudi; - Pembentukan komisi I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi Palestina, yaitu UN Conciliation Commission For Palestine (UNCCP) yang Ibid. Ibid. 19 Ibid. 20 Vera Ellen Paat, Posisi Amerika Serikat Dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel, e-journal Universitas Sam Ratulangi Manado, hlm. 6-7. 17 18 (271 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 - - - - - - - - kemudian pada tahun 1950 juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina dengan nama UN Relief and Works Ageny (UNRWA); Resolusi No. 194 yang berbunyi: “Majelis umum menegaskan bahwa harus di izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali kerumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalka, dan mendapat ganti rugi dari kerugia atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum Internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.” Resolusi No. 338 penyeruan mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai dan mengakhiri aksi bersenjata kedua pihak; Resolusi No. 1276 yang meminta kedua pihak serius untuk menghentikan gencatan senjata; Oktober 2000 DK menyetujui resolusi yang mengecam penggunaan kekuatan berlebihan, yaitu no. 1322 dimana Dk PBB menyatakan sangat prihatin dalam peristiwa tragis yang membawa banyak kematian dan kerugian dan kebanyakan orang-orang Palestina. Dibawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel justru menunjukan eskalasi militer dan Politik. Israel mengerahkan pasukan bersenjatanya ke tepi barat dan membantai orang-orang Palestina di kamp pengungsi di jenin, Balata, Rammalah, Aida, dir balah dan Deheish sejak awal hingga pertengahan Juni 2002; Resolusi no. 1937 12 maret 2002, yang meminta dengan segera penghentian semua tindakan kekerasan termasuk tindakan meneror, penghasutan dan pengrusakan. Tanggapan dari Resolusi ini yaitu, pada tanggal 20 maret pejuang palestina melakukan aksi bom bunuh diri di dekat kota Umm Al-Fahm, Israel Utara dan juga dekat kota Yerusalem hingga sebagai balasannya PM Ariel Sharon mengumumkan deklarasi perang serta mengerahkan pasukannya lengkap dengan persenjataan dan alat-alat berat ke kota Ramallah, untuk mengepung Yasser Arafat; Resolusi No 1402 pada tangga 30 Maret 2002, secara aklamasi meminta kedua pihak yang bertikai untuk melakukan gencatan senjata, serta agar Israel menarik pasukannya dari kota Palestina, termasuk wilayah Istana pemimpin palestina Yaseer Arafat. Kenyataannya Israel tetap tidak menarik pasukannya, aksi penyanderaan Yaser Arafat diiringi dengan penghancuran hampir seluruh bangunan Istana Kepresidenan dengan penghancuran Bom; Resolusi PBB N0. 1403 4 april 2002 membawa mereka ke meja perundingan untuk membicarakan kesepakatan perdamaian, dan menghasilkan Peta perdamaian 16 juli 2002 di New YORK; Juli 2004 resolusi ES-10 yang secara resmi mendesak Israel untuk menghentikan dengan segera pembangunan tembok pemisah antara Palestina dan Israel. Dari sekian banyak resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut, toh nyatanya hingga ( 272 ) Israel - Palestina saat ini upaya perdamaian antara Israel dan Palestina terus mengalami kegagalan. Kegagalan demi kegagalan terus terjadi seiring dengan banyaknya upaya yang dilakukan baik oleh negara-negara yang menginginkan Israel dan Palestina hidup secara damai sehingga memprakarsai upaya perdamaian, maupun organisasi-organisasi yang sifatnya kecil maupun besar (khususnya PBB) melalui Dewan Keamanannya terus saja berupaya menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemersatu dan pembawa kedamaian di muka bumi. Satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh banyak pihak, bahwa sudah menjadi rahasia umum kalau Israel memang ingin menguasai wilayah-wilayah strategis di Palestina. Kepercayaan bahwa, wilayah ini merupakan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan mereka, wilayah Palestina yang kini sudah berada dalam genggaman tidak akan mungkin untuk dilepaskan.21 Oleh karena itu, hingga saat ini Israel masih saja terus ingin menguasai wilayah-wilayah strategis di Palestina. Konflik memang tidak dapat dihindari dalam melakukan pergaulan antar bangsa. Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat dihindarkan dengan pola persaingan dan pola konflik. Sumber konflik dapat terletak pada kelangkaan sumber daya dan egosentrisme masing-masing negara. Timbulnya konflik bisa dipicu oleh sikap atau tindakan yang bernuansa saling ketidakpercayan dan pemberian reaksi yang berlebihan terhadap suatu peristiwa tertentu.22 Oleh karena itu konflik antara Israel dan Palestina memang tidak dapat dihindari, namun dibutuhkan kesabaran dan peran serta semua negara sebagai masyarakat internasional dalam memberikan masukan-masukan, melakukan upaya-upaya, dan koordinasi guna terwujudnya perdamaian antara Israel dan Palestina, tentunya tidak melupakan tugas dan peran-peran yang harus dilakukan PBB. III. PENUTUP Dampak yang paling besar atas rencana pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina adalah kritik dari sejumlah negara (sebagai bagian dari masyarakat internasional) atau yang lazim disebut “kritik internasional” terhadap rencana pembangunan pemukiman Yahudi tersebut. Bisa saja masyarakat internasional akan semakin tidak percaya terhadap setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah Israel ketika melakukan hubungan internasional terhadap negara-negara (yang termasuk melakukan upaya protes atas pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina), dan ini akan merugikan negara Israel dalam posisi yang tidak menguntungkan di dalam melakukan perundinganperundingan atau kerjasama-kerjasama luar negeri, bahkan kebijakan sepihak Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina dapat menjadi boomerang bagi negara Israel di masa yang akan datang. Jika ditinjau dari kacamata hukum internasional, maka rencana sepihak Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina jelas melanggar hukum Dina Tsalist Wildana, Konflik Israel-Palestina (Study Terhadap Konsep Perdamaian Di Timur Tengah), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 2; Lihat juga A. Agus Sriyono dkk, Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 113 22 Ibid. hlm. 9; Lihat juga T. May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan masalahmasalah Global; Isu, Konsep, Teori dan Paradigma. (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 2-3. 21 (273 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 internasional, ini dikarenakan tidak adanya itikad baik dari negara Israel dan tidak dipatuhinya seruan-seruan masyarakat internasional dan beberapa organisasi internasional menjadikan Israel sebagai public enemy. Disini peran PBB sangat dibutuhkan agar keseimbangan dapat tercipta, dan nilai-nilai keadilan dapat ditegakkan. Upaya perdamaian (Israel-Palestina) yang terus digagas oleh banyak pihak seolah menjadi sia-sia akibat kebijakan-kebijakan kontroversial yang terus dijalankan oleh Pemerintah Israel. Sebagai hukum yang bersifat fusi (gabungan) yang mengayomi berbagai negara dengan latar belakang berbeda, hukum internasional menjadi sangat dibutuhkan dalam upaya penyelesaian konflik Israel-Palestina ini. DAFTAR PUSTAKA A. Agus Sriyono dkk, Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Adian Husaini, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, Jakarta: Pustaka Progressif, 2002. Ali Muhtar Arifin, Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Konflik Israel-Palestina (Studi Kasus Konflik Jalur Gaza Tahun 2007-2009), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010. Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. Broto Wardoyo, Jalan Panjang Negosiasi Palestina-Israel, (Sebuah Opini), Lihat http://satuharapan.com/index.php?id=148&txttn ews[tt_news]=11834& cHash=6e274e151304a7763e61d25bd b9c845e di akses 05 Maret 2014 COMES (Penerjemah), Terorisme Israel Membedah Paradigma dan Strategi Terorisme Zionis, Bandung: Assyamil, 2001. Dina Tsalist Wildana, Konflik Israel-Palestina (Study Terhadap Konsep Perdamaian Di Timur Tengah), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009. Fuad Bin Sayyid Abdurrahman Arrifa’i, Yahudi Dalam Informasi Dan Organisasi, Jakarta: Gema Insani, 1995. Hermawati, Sejarah Agama Dan Bangsa Yahudi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005. Inggrit Fernandes, Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Penduduk Sipil Palestina di Wilayah Pendudukan Israel di Palestina, Padang: Program Pascasarjana Universitas Andalas, 2011. Mangulung dkk, Pemberian Status “Non-Member State” Kepada Palestina Oleh PBB, Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume 1 Nomor 2 Edisi November 2013. Okezone, Israel Setujui Pembangunan Pemukima Yahudi Baru, Lihat http://international. okezone.com/read/2014/01/23/412/930525/israel-setujui-pembangunanpemukiman-yahudi-baru di akses 05 Maret 2014. ( 274 ) Israel - Palestina Okezone, Pemukiman Ilegal Yahudi Naik Dua Kali Lipat, Lihat http://international. okezone.com/read/2014/03/04/412/949575/pemukiman-ilegal-yahudi-naik-dua-kalilipat di akses 05 Maret 2014 Okezone, Uni Eropa Tuntut Israel Batalkan Pembangunan Pemukiman Yahudi, Lihat http://international.okezone.com/read /2013/11/07/412/893443/uni-eropa-tuntutisrael-batalkan-pembangunan-pemukiman-yahudi di akses 05 Maret 2014 Riza Zihbudi, Menyandera Timur Tengah; Kebijakan AS Dan Israel Atas NegaraNegara Muslim, Bandung: Mizan, 2007. T. May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan masalah-masalah Global; Isu, Konsep, Teori dan Paradigma. Bandung: Refika Aditama, 2003. Vera Ellen Paat, Posisi Amerika Serikat Dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel, e-journal Universitas Sam Ratulangi Manado. Viva News, Bangun Pemukiman Yahudi, Israel Lawan Tekanan Internasional, Lihat http://www.umm.ac.id/id/internasional-umm-1458-bangun-pemukiman-yahudiisrael-lawan-tekanan-internasional.html di akses 05 Maret 2014 (275 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 276 ) Indication of Source PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KOPI TORAJA SEBAGAI INDICATION OF SOURCE PRODUCT MILIK INDONESIA Ibnu Munzir* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Abstract: The legal protection on Toraja coffee brand as an indication of source product owned by Tana Toraja and North Toraja (Indonesia) has determined that in the use of Toarco Toraja brand by Key Coffee Inc. there should be an indication of the place of origin so it would not mislead the public Abstrak: Perlindungan hukum terhadap merek kopi Toraja sebagai produk indikasi asal milik Tana Toraja dan Toraja Utara (Indonesia) mengatur penggunaan merek Toarco Toraja oleh Key Coffee Inc harus mencantumkan nama tempat asal dari barang tersebut agar tidak menyesatkan masyarakat. I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya. Hal ini sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dlindungi ini dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya para penciptanya saja, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Dalam dasawarsa terakhir ini, telah semakin nyata bahwa pembangunan harus bersandarkan pada industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Kesepakatan Indonesia untuk merealisasikan gagasan mengenai ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), telah menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung sistem perekonomian yang bebas dan terbuka, serta secara tidak langsung memacu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saingnya. Setelah Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (selanjutnya disingkat WTO), Indonesia wajib menyesuaikan ketentuan hukum nasionalnya dengan perjanjianPraktisi Hukum. Sarjana Hukum (S.H.) 2010 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister Kenotariatan (M.Kn.) 2013 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. * (277 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 perjanjian yang telah disepakati dengan negara-negara anggota WTO yang lain. Perjanjian tersebut dituangkan dalam WTO Agreement, Salah satu perjanjian yang telah disepakati oleh anggota WTO adalah Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau yang disebut perjanjian TRIPs. Persetujuan umumnya digunakan pada perjanjian yang mengatur materi kerja sama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu pengetahuan,1 seperti yang dituangkan dalam Perjanjian TRIPs yang mengatur batasan bagi negara anggota WTO dalam menyusun peraturan perundang-undangan mereka untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI). Maka peraturan perundang-undangan Indonesia pun juga harus mengacu pada perjanjian TRIPs.2 HKI merupakan terjemahan dari istilah Intellectual property Right (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu hak, kekayaan, dan intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual merupakan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya.3 Hak atas suatu karya cipta, baik karya seni, teknologi, atau buah pemikiran. HKI seseorang harus dilindungi karena akan bermanfaat bukan hanya bagi dirinya, melainkan pada seluruh umat manusia. Semakin derasnya arus perdagangan bebas, yang menuntut makin tingginya kualitas produk yang dihasilkan terbukti semakin memacu perkembangan teknologi yang mendukung kebutuhan tersebut. Seiring dengan hal ini, pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam mendukung perkembangan teknologi kiranya telah semakin disadari. Salah satu bagian dari sistem HKI yang diadopsi dari perjanjian TRIPS yaitu Indikasi Geografis. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari ke dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.4 Sedangkan indication of source product (produk indikasi asal) merupakan bagian dari indikasi geografis. Produk indikasi asal adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan dan belum terdaftar5 di negara asal dari produk tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan suatu perjanjian agar masalah yang timbul dapat diselesaikan sesuai dengan prosedur.6 1 Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi 2, Cetakan 1, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 92 2 Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 1 3 Ibid., hlm. 15 4 Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Cetakan 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 217 5 Ibnu Munzir, Perlindungan Hukum Terhadap Kopi Toraja Sebagai Produk Indikasi Asal Milik Tana Toraja Dan Toraja Utara Yang Terdaftar Sebagai Merek Dagang Di Indonesia Dan Jepang, (Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013), hlm. 72 6 Birkah Latif dan Kadarudin, Hukum Perjanjian Internasional, Cetakan Pertama, (Makassar: ( 278 ) Indication of Source Pengaturan mengenai Indikasi geografis yang dimuat dalam BAB VII Pasal 56-60 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Selanjutnya disingkat UU Merek), yang diatur lebih khusus lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (Selanjutnya disingkat PP Indikasi Geografis), dimana semua peraturan tersebut diadopsi dari persetujuan TRIPs, yang terdapat dalam article 22 persetujuan TRIPs mengenai indikasi geografis yang berkaitan dengan pemakaian merek. Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan kaya akan produk potensi indikasi geografis. Dari segi sumber daya alam banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan usaha yang tidak sehat.7 Kopi Toraja adalah kopi yang diproduksi di Tana Toraja dan Toraja Utara. Penggemar kopi di Indonesia, bahkan mayoritas konsumen kopi di dunia, mengetahui kopi Toraja. Kopi yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (kabupaten di Indonesia) itu memiliki cita rasa tinggi, sehingga terkenal di pasar internasional. Kopi tumbuh di banyak kabupaten di Sulawesi Selatan seperti di Tana Toraja, Toraja Utara dan Enrekang. Namun kopi dari Tana Toraja dan Toraja Utara memiliki karakteristik dan cita rasa tinggikarena faktor alamnya. Keadaan alam Tana Toraja bergunung-gunung, berada pada ketinggian 300 meter sampai 2.889 meter di atas permukaan laut. Faktor alam tersebutlah yang membedakan rasa kopi Tana Toraja dengan kopi yang lain.Dengan cita rasanya yang tinggi itu, harga kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara lebih mahal dibandingkan kopi lain, yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, kopi tersebut telah lama masuk ke pasar internasional.8 Keterkenalan Kopi Toraja dimanfaatkan oleh perusahaan Key Coffee Inc. dari Jepang dengan mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722 di Jepang Pada tanggal 14 Januari 1977. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Apakah yang dimaksud dengan indication of source? dan Bagaimanakah perlindungan hukum internasional terhadap Kopi Toraja sebagai indication of source product milik Indonesia yang terdaftar sebagai merek dagang di Jepang? Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 21 7 www.scribd.com. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012 8 www.google.com apksa, Wadah Diskusi Pengetahuan Kekayaan Alam Kaltim, Diakses pada tanggal 10 Juni 2012Top of ForBottom of Form (279 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 II. PEMBAHASAN A. Pengaturan Indication of Source A.1 Pengertian Indication of Source Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian latar belakang tulisan ini bahwa indication of source (indikasi asal) merupakan bagian dari indikasi geografis, dimana indikasi geografis ini juga merupakan salah satu bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum dalam kaitannya dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Pengertian indikasi asal adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan dan belum terdaftar di negara asal dari produk tersebut. A.2 Indication of Source Merupakan Bagian Dari Indikasi Geografis Sejarah yang berhasil di catat, produk pertama yang berhasil memperoleh perlindungan indikasi geografis adalah keju Roquefort pada abad ke-14 di Prancis. Dikisahkan bahwa Charlemagne, Penguasa Prancis ketika itu, memerintahkan agar keju-keju di bawa ke istananya di Aix la Chapelle untuk perayaan akhir tahun. Perintah itu menandai bahwa popularitas keju buatan rakyat telah berhasil memasuki gerbang istana. Pada tahun 1411, karena keunggulan kualitas keju Roquefort, masyarakat Roquefort dianugerahi piagam kehormatan Kerajaan (Royal Charter) oleh Raja Charles VI sehingga Roquefort menjadi satu-satunya desa yang boleh memproduksi keju Roquefort. Penganugerahan piagam ini menjadi momentum penting perlindungan Apelasi Asal (Appellation of Origns) yang pertama.9 Pada tahun 1863, keju Roquefort menerima perlindungan dalam wujud Sertifikat Merek Sederhana. Perlindungan ini terus diperbaharui. Saat ini, Roquefort merupakan salah satu produk komunitas Eropa dari Prancis yang dilindungi dalam bentuk Penunjuk Asal (Protected Designation of Origins atau PDO). Jadi, meskipun kini Prancis lebih terkenal sebagai produsen minuman anggur kelas atas dan sukses membuat minuman beralkohol ini mendapat perlindungan Indikasi Geografis terkuat, minuman anggur bukanlah objek Indikasi Geografis yang pertama.10 Indikasi geografis kemudian mengalami internasionalisasi sejalan dengan meningkatnya perdagangan internasional di Eropa. Pada akhir abad ke-19, indikasi geografis mulai diatur dalam perjanjian multilateral sebagai salah satu hak kekayaan industrial, yakni dalam konvensi Paris tentang perlindungan hak kekayaan industrial 1883. Beberapa varian dari indikasi geografis pun mulai disinggung dan bahkan diatur secara khusus oleh beberapa konvensi internasional lainnya, meskipun konvensi itu umumnya tidak memiliki jumlah anggota yang terlalu besar. Indikasi geografis kemudian menjadi salah satu rezim hak HKI dalam persetujuan tentang aspek-aspek HKI yang terkait dengan perdangangan Hadi Setia Tunggal, Tanya Jawab Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), (Jakarta: Harvarindo, 2012), hlm. 53. 10 Ibid. 9 ( 280 ) Indication of Source atau persetujuan TRIPs. Hal ini penting karena perjanjian ini dapat disebut sebagai salah satu perjanjian multilateral yang paling berpengaruh di akhir abad ke-20 hingga saat ini. Pengesahannya sebagai Annex IC dari perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia (the Agreement Establishing World Trade Organization), membuat perjanjian ini mengikat mayoritas negara di dunia yang tergabung dalam keanggotaan WTO. Dengan tujuan utama untuk membuat HKI tidak menjadi halangan perdagangan, indikasi geografis pun menjadi lebih banyak dikenal, dipertimbangkan, berusaha diproteksi di banyak negara, dan bahkan diperdebatkan dalam forum-forum internasional.11 Ide indikasi geografis sebagai rezim HKI pertama kali mengemuka setahun setelah peninjauan paruh periode dalam proses negosiasi perjanjian umum tarif dan perdagangan (The General Agreement on Tariff and Trade/GATT Midterm Review on Negotiation Process) tahun 1988 di Montreal, Kanada. Dalam forum peninjauan itu, komunitas Eropa memperkenalkan pengertian indikasi geografis, termasuk Apelasi Asal (Geograpical Indication, Including Appelation of Origins). Komunitas Eropa menyarankan perlindungan yang lebih kuat bagi minuman anggur dan minuman keras sebagai produk andalan mereka, dan mempromosikan ide untuk mengaplikasikan perlindungan lebih itu kepada barang dan jasa lainnya.12 Ide ini langsung disanggah oleh Amerika Serikat, yang justru memandang bahwa cara perlindungan terbaik indikasi geografis adalah dengan mengintegrasikannya sebagai bagian dari merek. Kontroversi itu cukup keras terjadi sampai akhirnya naskah perjanjian TRIPs diputus di Marakesh pada tanggal 15 April 1994. Dalam naskah yang kini dikenal sebagai perjanjian TRIPs, ketentuan-ketentuan indikasi geografis tampak lebih sebagai hasil kompromi belaka. Ketentuan-ketentuan itu tidak secara spesifik mengatur detil perlindungan dan membuka kemungkinan negosiasi lanjutan di beberapa sisi. Karena kontroversi masih berlanjut, para negara anggota kemudian dimandatkan untuk meninjau pelaksanaan Bab 3 bagian II perjanjian TRIPs yang mengatur indikasi geografis. Disini terlihat perbedaan pengaturan indikasi geografis dengan rezim-rezim lain seperti paten atau merek. Perlindungan inidkasi geografis di tingkat internasional masih dalam proses mencari bentuk yang dapat diterima oleh semua pihak.13 Perkembangan pengaturan indikasi geografis dalam berbagai instrumen internasional14 diantaranya adalah sebagai berikut : a. Konvensi Paris 1883 Pengertian indikasi geografis dapat ditemukan dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau Konvensi Paris yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1883 dan telah mengalami beberapa kali revisi hingga perubahan terakhir pada tahun 1979. Dalam konvensi internasional tentang perlindungan hak kekayaan Ibid., hlm. 54. Ibid 13 Ibid 14 Instrumen internasional merupakan salah satu sumber hukum primer dalam sumber hukum internasional, oleh karena itu dia dapat berdiri sendiri. Lihat Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 26 11 12 (281 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 industrial ini, terdapat beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan penanganan atas indikasi yang salah atau false indications, termasuk indikasi tempat yang salah (false indication to the source). Indikasi geografis tidak ditentukan sebagai rezim yang spesifik, tetapi dalam Pasal 9 konvensi ini secara umum menentukan kewajibankewajiban yang berkaitan dengan cara penanganan barang-barang impor yang mengandung merek dagang maupun nama dagang yang melawan hukum, termasuk barang-barang yang menggunakan tanda asal tempat yang tidak tepat. Menurut ketentuan ini, barang-barang tersebut harus dijadikan objek penyitaan.15 b. Perjanjian Madrid 1891 Perjanjian Madrid 1891 tentang represi terhadap indikasi asal barang yang salah atau menyesatkan (The Madrid Agreement for the repression of false or Deceptive Indications of Source on Goods of 1891), tidak menggunakan istilah indikasi geografis, tetapi menggunakan istilah indikasi asal (Indication of Source) dari produk barang. Perjanjian Madrid 1891 ini juga tidak menyatakan definisi indikasi asal secara eksplisit. Meskipun demikian, dengan adanya keharusan untuk menyita setiap barang yang memakai indikasi asal yang salah atau menyesatkan, bisa ditafsirkan bahwa setiap indikasi asal harus secara jelas merepresintasikan tempat asal dari barang terkait.16 c. Perjanjian Lisbon 1958 Perjanjian Lisbon 1958 tentang perlindungan perlindungan apelasi asal dan registrasi internasionalnya atau the 1958 Lisbon Agreement fo the Protection of Appelation of Origin and their International Registration/Lisbon Agreement memperkenalkan istilah yang mirip dengan indikasi geografis, yakni apelasi asal atau Appelation of Origin. Apelasi asal ini dapat diterjemahkan sebagai nama formal asal. Dalam Pasal 2 ayat (1) perjanjian ini, apelasi asal atau Appelations of Origin didefinisakan sebagai “nama geografis dari suatu negara, daerah, atau lokalitas yang menandakan bahwa suatu produk berasal darinya dan memberikan kualitas dan karakter yang secara eksklusif dan esensial disebabkan oleh lingkungan geografisnya, termasuk faktor-faktor alam dan faktor manusia”.17 Definisi ini memberikan perlindungan khusus, tidak hanya terhadap penggunaan suatu nama tempat secara tanpa hak, tetapi juga terhadap segala macam, jenis, pembuatan, dan imitasi yang merupakan turunan produk dari daerah lain. Aspek paling kuat untuk menentukan dapat tidaknya suatu tempat menjadi apelasi asal biasanya adalah faktor lingkungan alamnya. Faktor ini dapat berupa karakter tanah, cuaca, atau kombinasi unik dari ke duanya, yang membuat suatu produk yang tumbuh atau yang dihasilkan dari padanya memiliki ketinggian kualitas yang 15 16 17 Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 162 Ibid. Ibid., hlm. 163 ( 282 ) Indication of Source khusus dibandingkan dengan produk-produk dalam klasifikasi yang sama tetapi dikembangkan di lingkungan alam yang berbeda. Faktor manusia yang mempengaruhi dan menguatkan karakter khusus tersebut juga diperhitungkan, tetapi harus dikaitkan dengan faktor lingkungan alam sebagai faktor dominan. Karenanya, definisi apelasi asal ini amat spesifik. Dalam Pasal 6 Perjanjian Lisabon, dinyatakan bahwa di dalam negara-negara anggota penandatanganan perjanjian ini, setiap barang yang diproteksi menurut perjanjian ini tidak akan menjadi generik meskipun ia telah menjadi amat terkenal sehingga konsumen mulai menggeneralisasi barang-barang yang mirip sebagai barang tersebut.18 d. Perjanjian TRIPs 1994 Perjanjian internasional ini merupakan hasil dari putaran perjanjian umum internasional mengenai perdagangan dan tarif di Uruguay pada tahun 1994. Sebagai salah satu rezim dari TRIPs, indikasi geografis diatur berdasarkan tujuan utama TRIPs untuk mempromosikan perlindungan yang efektif dan memadai bagi HKI yang tidak akan menjadi salah satu aspek non tarif yang menghalangi perdagangan barang dan jasa secara internasional.19 Dalam persetujuan TRIPs ini diatur mengenai indikasi geografis yang berkaitan dengan pemakaian merek. Dalam Article 22 (1) persetujuan TRIPs dikemukakan bahwa:20 “Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a goods as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation, or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographycal origin”. Yang dimaksud dengan indikasi geografis berdasarkan persetujuan ini adalah tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas, dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa asal suatu barang (termasuk jasa) yang melekat dengan reputasi, karakteristik, dan kualitas suatu barang yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis.21 Dalam konteks indikasi geografis, harus ada aspek-aspek khusus yang dapat berwujud unsur-unsur alam, lingkungan lain, atau benda-benda tertentu yang bersifat unik, yang menunjukkan keterkaitan yang khas antara nama tempat dan barang. Aspek-aspek ini harus berpengaruh secara nyata terhadap kualitas barang tersebut dan menentukan reputasi dari barang tersebut. Sejauh ini, indikasi geografis Ibid., hlm. 164. Ibid., hlm. 166. 20 Article 22 (1) Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement) 21 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 386. 18 19 (283 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 umumnya dikenal banyak memproduksi produk-produk pertanian. Misalnya; minyak zaitun Tuscany yang diproduksi di daerah tertentu bernama Tuscany di Italia, dan beras Basmiati yang diproduksi di daerah tertentu bernama Basmiati di India. Jadi, indikasi geografis mengemuka dari hubungan kuat antara produk dengan karakter tanah penghasil produk tersebut. Meskipun demikian, menurut TRIPs, aspek-aspek yang mempengaruhi karakter dari suatu barang dapat juga berasal dari lingkungan alam yang bukan tanah.22 Indikasi geografis melindungi konsumen dari kesesatan dan kebingungan, tujuan ini sama dengan tujuan utama dari merek, hanya saja berbeda dengan merek, indikasi geografis selalu berkaitan dengan daerah asal barang. Dalam TRIPs juga memuat perlindungan tambahan untuk minuman anggur dan minuman beralkohol lainnya, perlindungan tidak hanya diberikan bagi konsumen, tetapi juga pada produsen. Ini juga termasuk salah satu yang membedakan antara indikasi geografis dengan merek.23 Sebagai pengikut TRIPs, Indonesia merumuskan lagi aturan internasional ini ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam Pasal 56 dijelaskan tentang indikasi geografis, bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari ke dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Hal itu berarti bahwa indikasi geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan adanya kualitas reputasi, dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia yang dijadikan atribut dari barang tersebut.24 Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu. Dan tempat atau daerah itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Seperti misalnya merek Kopi Toraja yang menunjukkan kualitas dan karakteristik Tana Toraja sebagai penghasil kopi yang harmonis rasa asam pahitnya. Namun begitu, karakteristik suatu produk indikasi geografis tidak melulu dipengaruhi faktor alam. Faktor campur tangan manusia pun bisa menentukan kekhasan suatu produk. Misalnya kerajinan batik jawa.25 Sebagai peserta TRIPs dan aktif dalam pergaulan dagang internasional, Indonesia mau tidak mau perlu menyesuaikan diri dengan konsep indikasi geografis ini. Meski pengaturan soal indikasi geografis sudah tersimpul dalam undang-undang merek, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala. Kendalakendala tersebut kemudian berujung pada didaftarkannya indikasi “Toraja” oleh Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 167. Ibid. 24 Ahmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 73. 25 Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 152. 22 23 ( 284 ) Indication of Source perusahaan Key Coffee Inc, perusahaan dari Jepang. Key Coffee mendaftarkan indikasi ini dengan merek “Toarco Toraja” lengkap dengan rumah adat masyarakat Tana Toraja sebagai latar merek. Kopi Toraja sebenarnya hanya salah satu contoh digondolnya kekayaan nasional Indonesia oleh luar negari.26 A.3 Indikasi Geografis Merupakan Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual Hak kekayaan intelektual (HKI) secara umum dapat digolongkan ke dalam dua kategori utama, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Ruang lingkup hak cipta adalah karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, sedangkan ruang lingkup hak kekayaan industri adalah dalam bidang teknologi. Dalam terminologi HKI dikenal istilah “pencipta” dan/atau “penemu”. Istilah pencipta digunakan dalam bidang hak cipta sedangkan istilah penemu lebih diarahkan dalam bidang hak kekayaan industri. Sebagai contoh, penggubah lagu Indonesia Raya, WR. Soepratman, dapat dikatakan sebagai pencipta lagu tersebut, sedangkan Thomas Alva Edison yang berhasil mematenkan bola lampu listrik dapat dikatakan sebagai penemu teknologi tersebut. Sebaliknya, Albert Einstein yang berhasil membuat karya ilmiah tentang Teori Relativitas untuk pertama kali dapat dikatakan sebagai pencipta teori tersebut.27 Pembedaan istilah pencipta dan penemu, dalam kacamata hukum, diperlukan karena ke duanya memiliki akibat hukum yang berbeda. Seorang ilmuwan yang berhasil menciptakan sebuah teori ilmiah baru, seorang seniman yang berhasil menciptakan lagu baru, atau seorang sastrawan yang berhasil menciptakan puisi baru, sudah dianggap sebagai pencipta terhitung sejak tanggal pertama kali mereka mengumumkan hasil karya ciptanya kepada publik walaupun mereka belum mendaftarkan hasil ciptaan tersebut ke instansi yang berwenang. Meskipun demikian pendaftaran hak cipta tetap diperlukan guna keperluan pemberian hak lisensi. Sebaliknya, seorang yang menemukan sebuah teknologi baru bisa disebut inventor jika dia telah mendaftarkan patennya ke instansi yang berwenang dan berhasil disetujui. HKI juga dapat berupa hak kekayaan industri yang meliputi hak atas:28 - Paten dan paten sederhana - Merek/merek dagang (trade mark) dan indikasi geografis - Desain industri (industrial design) - Desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST) - Rahasia dagang (trade secret) - Perlindungan Varietas tanaman (PVT) Sesuai namanya, maka hak kekayaan industrial hanya diperuntukkan bagi hasil penemuan di bidang teknologi, khususnya teknologi untuk kepentingan industri secara umum, termasuk industri pertanian (agri-indsutri). Penemuan teknologi baru dalam bidang Ibid, hlm. 153. Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Yang Benar: Membahas Secara Runtut Dan Detail Tentang Tata Cara Mengurus Hak Kekayaan Intelektual. (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2007), hlm. 17. 28 Ibid., hlm. 18 26 27 (285 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 hak kekayaan industri tersebut dapat berupa produk maupun proses. Penggolongan HKI ke dalam hak cipta dan hak kekayaan industri, diperlukan karena adanya perbedaan sifat hasil ciptaan dan hasil temuan. Perlindungan terhadap suatu ciptaan bersifat otomatis, artinya suatu ciptaan diakui secara otomatis oleh negara sejak saat pertama kali ciptaan tersebut muncul ke dunia nyata, meskipun ciptaan tersebut belum dipublikasikan dan belum didaftarkan. Pendaftaran hak cipta tidak wajib dilakukan, kecuali untuk keperluan pemberian lisensi dan pengalihan hak cipta. Perjanjian lisensi dan pengalihan hak cipta yang tidak didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI dianggap tidak memiliki dasar hukum.29 Sebaliknya, hak kekayaan industri (paten, merek, desain industri, DTLST, Rahasia dagang, dan PVT) ditentukan berdasarkan pihak yang pertama kali mendaftarkan hasil karya intelektualnya ke instansi yang berwenang dan berhasil disetujui. Berdasarkan asas first to file ini, maka pemohon hak tersebut harus segera mendaftarkan karya intelektualnya ke instansi yang berwenang agar tidak didahului pihak lain. Seseorang yang telah memiliki hak kekayaan industri diberi oleh negara hak eksklusif (hak istimewa/hak khusus) untuk secara bebas melaksanakan haknya secara mandiri atau memberi lisensi kepada kepada pihak lain untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas hasil karya intelektualnya. Meskipun demikian, kebebasan dalam pelaksanaan hak eksklusif tidaklah bersifat absolut, karena dalam hal-hal tertentu negara masih melakukan pembatasan demi untuk menjaga kepentingan umum.30 Pengelompokan hak atas kekayaan perindustrian seperti tertera di atas didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa literatur, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang dilindungi tersebut, masih ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: trade secrets, service marks, dan unfair competition protection. Sehingga hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:31 1. Patent 2. Utility Models 3. Industrial Designs 4. Trade Secrets 5. Trade Marks 6. Service Marks 7. Trade Names or Commercial Names 8. Appelations of Origin 9. Indications Of Origin 10. Unfair Competition Protection 29 30 31 Ibid. Ibid., hlm. 19. OK. Saidin, Op. Cit., hlm. 15. ( 286 ) Indication of Source B. Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Kopi Toraja sebagai Indication of Source Product Milik Indonesia yang Terdaftar sebagai Merek Dagang di Jepang Kopi Toraja merupakan kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara. Toraja Utara adalah kabupaten yang sudah dimekarkan sejak 4 (empat) tahun lalu yakni tahun 2008, yang awalnya adalah satu kesatuan dari kabupaten Tana Toraja. Kopi Toraja memiliki reputasi yang baik di beberapa negara di dunia termasuk Jepang dan Amerika Serikat karena memiliki ciri khas kandungan asam rendah dan memiliki badan yang berat. Kopi Toraja saat ini sudah terdaftar sebagai merek dagang di Jepang sejak tanggal 14 Januari tahun 1977 oleh pengusaha lokal di negara tersebut yaitu Perusahaan Key Coffee Inc. Merek dagang tersebut diberi nama Toarco Toraja Coffee dengan gambar tongkonan sebagai label dari merek dagangnya. Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama yang sama menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya. Perusahaan Key Coffee Inc. Memiliki anak perusahaan di Indonesia yang berlokasi di Kabupaten Toraja Utara yang berdiri sejak sejak tanggal 2 april tahun 1976 sampai sekarang yakni, PT. Toarco Jaya. Perusahaan Key Coffee Inc dan PT. Toarco Jaya masing-masing memiliki pabrik pengolahan kopi. Key Coffee Inc memiliki pabrik pengolahan di Jepang dan PT. Toarco Jaya memiliki pabrik pengolahan di daerah Tondoklitak Kabupaten Toraja Utara. PT. Toarco Jaya tidak hanya memiliki pabrik pengolahan melainkan juga mengelola kebun kopi seluas 5302 (lima ratus tiga puluh meter bujursangkar) di daerah Padamaran Toraja Utara, dengan hak guna usaha sebagai alas haknya. Dari hasil kebun inilah PT. Toarco Jaya mengekspor sebagian besar biji kopi Toraja ke Jepang, disamping itu PT. Toarco Jaya juga membeli sebagian kecil hasil dari perkebunan kopi rakyat atau petani kopi yang dimiliki oleh orang-perorang dari masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara.32 PT. Toarco Jaya sangat ketat dalam menyeleksi hasil dari kebun kopi rakyat yang dijual kepadanya karena mereka menjaga kualitas ekspor kopinya. Sebagian besar hasil dari pembelian kopi rakyat itu diolah melalui pabrik pengolahan lokal milik PT. Toarco Jaya dan hanya diperjualbelikan dalam lingkup nasional, yang harga jualnya jauh di bawah dari harga jual kopi yang diekspor ke Jepang. Hal ini pun berimbas dari pembelian kopi rakyat yang hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka tanpa adanya peningkatan taraf hidup yang lebih baik. Terhadap masalah-masalah seperti inilah pentingnya perlindungan Indikasi geografis dan indikasi asal, dimana tujuan utama perlindungan ini adalah untuk dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang dilindungi oleh indikasi geografis dan indikasi asal suatu daerah, dalam hal ini masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara yang memproduksi Kopi Toraja. Indikasi Geografis adalah salah satu rezim hak kekayaan intelektual yang mengatur tentang tanda suatu produk sehingga tampak jelas bahwa kualitas atau karakteristik khusus dari produk itu dipengaruhi secara esensial oleh tempat asalnya. Tanda ini biasanya terdiri 32 Hasil wawancara penulis dengan Jabir Amien Selaku Direktur Administrasi P.T. Toarco Jaya; Lihat juga Artikel P.T. Toarco Jaya: Membangkitkan Kembali Kopi Yang Hanya Tinggal Nama, Perjalanan Panjang Toarco Toraja, 2012, (Jakarta: AEKI, 2012) hlm. 1 (287 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 dari nama asal produk, tetapi dapat juga terdiri dari simbol atau penamaan yang secara langsung menunjuk kepada tempat asal produk tersebut. Tempat asal ini seringkali menjadi jaminan bagi keunikan dan kualitas produk, sehingga mengindikasikan tempat asalnya, nilai ekonomis produk juga meningkat. Secara teoritis, produk yang potensial untuk dilindungi rezim indikasi geografis dapat berupa produk-produk pertanian, pangan, dan bahkan barangbarang kerajinan tangan, selama produk-produk tersebut mengusung nama tempat asal, dan kualitasnya secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik khas tempat asalnya tersebut. Miranda Risang Ayu mengemukakan bahwa Indikasi geografis juga merupakan nama dagang yang dikaitkan, dipakai atau dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukkan asal tempat produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut amat dipengaruhi oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik dibenak masyarakat, khususnya konsumen, yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk.33 Dari pendapat tersebut penulis melihat bahwa penamaan Kopi Toraja sebagai Indikasi Asal Tana Toraja dan Toraja Utara yang dipakai sebagai merek dagang oleh Perusahaan Jepang memiliki nilai ekonomis terhadap nilai jual produk mereka, walaupun tidak terlepas dari karakteristik dan ciri khas yang dihasilkan oleh kopi tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan oleh petani kopi yang kurang banyak bermanfaat bagi peningkatan taraf hidup petani kopi di daerah Toraja sebagai tempat asal tumbuhnya Kopi Toraja. Perlindungan nama asal suatu produk dapat dilihat dari berbagai perjanjian-perjanjian internasional, hal ini terkait dengan perlindungan Kopi Toraja sebagai produk yang dihasilkan dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Beberapa perjanjian internasional pada dasarnya telah menyinggung substansi Indikasi Geografis jauh sebelum TRIPs ditandatangani dan diratifikasi oleh banyak negara. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:34 B.1 Paris Convention for the Protection of Industrial Property Perlindungan nama dagang dalam konvensi ini termasuk nama dagang yang menggunakan nama tempat asal produk, yang dalam istilah konvensi ini disebut sebagai Indikasi Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source) dan Apelasi Asal atau Nama Formal Asal (Appelation of Origin).35 Konvensi ini tidak mengatur kemungkinan adanya perbedaan konsep yang memisahkan antara indikasi Asal dan Apelasi Asal, tetapi hanya menegaskan bahwa semua produk yang menggunakan ke dua jenis rezim ini akan dilindungi dengan keharusan untuk menyita impor barang yang secara langsung atau pun tidak langsung menggunakan indikasi yang salah, baik salah dalam mengindikasikan tempat asal maupun salah dalam mengindikasikan identitas produsen.36 Konvensi Paris 1883 juga mengatur merek kolektif dalam Pasal 7 bis. Merek kolektif merupakan salah satu jenis sub sistem perlindungan dalam kerangka perlindungan merek 33 Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual: (Indikasi Geografis), Cetakan 1, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 1 34 Ibid., hlm. 16. 35 Ketentuan-ketentuan ini terkait dengan Pasal 1, 7, 10, 10 bis, dan 10 ter, Konvensi Paris 1883. 36 Ketentuan-ketentuan ini terkait dengan Pasal 9 dan 10 Konvensi Paris 1883. ( 288 ) Indication of Source secara umum. Kekhususan dibandingkan merek umum adalah kepemilikannya yang tidak bersifat individual. Karena karakter komunal dari kepemilikannya, sistem ini umumnya digunakan oleh negara-negara yang belum atau memilih tidak memproteksi indikasi Geografis sebagai rezim HKI yang berdiri sendiri. Negara-negara tersebut memiliki sistem perlindungan Indikasi Geografis diintegrasikan sebagai salah satu objek dalam lingkup perlindungan umum nama dagang (trade name) yang bersistem kepemilikan komunal.37 Menurut Miranda Risang Ayu, negara-negara yang tidak mengatur Indikasi Geografis secara independen juga melindungi Indikasi Geografis melalui ketentuan-ketentuan hukum anti persaingan tidak sehat (Unfair Competition).38 Indonesia termasuk negara yang menempatkan Indikasi Geografis sebagai bagian dari merek yang tidak bersifat independen. Dalam kaitannya dengan Pasal 10 bis konvensi Paris 1883 juga mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hukum anti persaingan tidak sehat, dapat dilihat sebagai berikut:39 Article 10bis [Unfair Competition] (1)The countries of the Union are bound to assure to nationals of such countries effective protection against unfair competition. (2)Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial matters constitutes an act of unfair competition. (3)The following in particular shall be prohibited: 1. all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 2. false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor; 3. indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the suitability for their purpose, or the quantity, of the goods. Sehubungan dengan hal tersebut di atas menurut penulis, tindakan yang dimaksud dalam pasal tersebut dalam kaitannya dengan persaingan curang yang dilakukan oleh Jepang adalah pendaftaran yang dilakukan oleh perusahaan Jepang yang dapat menyebabkan kebingungan tentang tempat asal dari merek Kopi Toraja yang dalam pendaftaran tersebut menggunakan merek dagang Toarco Toraja dan lambang tongkonan sebagai label (tanda) kemasannya, sehingga dapat menyesatkan publik atau negara-negara pengimpor kopi Toarco Toraja dari Jepang yang dapat mengira bahwa Kopi Toraja berasal dari Jepang. Tidak hanya itu, kebingungan dan tanda yang dapat menyesatkan publik juga berkenaan dengan proses pembuatannya yang diolah melalui pabrik yang berada di Jepang yang langsung dikemas dan diperdagangkan baik di dalam wilayah Jepang maupun di luar wilayah Jepang. 37 38 39 Miranda Risang Ayu, Op.Cit., hlm. 18. Ibid Pasal 10 bis Konvensi Paris 1883 (289 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Secara teoritis menurut Julius Rizaldi, Persaingan curang merupakan salah satu jenis dari pelanggaran merek.40 Demikian halnya J. Thomas Mc. Carthy mengklasifikasikan persaingan curang ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu, tindakan yang dapat menyebabkan kebingungan konsumen, tindakan yang dapat menyesatkan konsumen, tindakan yang dapat menyebabkan kerugian terhadap goodwill atau reputasi suatu bisnis. Untuk dapat menegaskan uraian tersebut, tindakan-tindakan yang dapat dicontohkan sebagai tindakan persaingan curang adalah:41 1) Pelanggaran terhadap merek dagang dan merek jasa; 2) Tindakan dilusi atas itikad tidak baik dari merek dagang; 3) Penggunaan nama perusahaan, bisnis dan profesional yang secara membingungkan mempunyai kemiripan; 4) Kesalahan perwakilan dan kesalahan periklanan (false advertising) 5) Melakukan tindakan persaingan curang atas barang-barang yang dilakukan oleh pengganti merek yang tidak diberi wewenang perintah atas merek. Tindakan yang dijelaskan oleh McCarthy di atas adalah contoh tindakan-tindakan terhadap merek. Berdasarkan contoh tindakan yang dijelaskan oleh McCarthy, penulis mengganti contoh tindakan merek menjadi contoh tindakan indikasi geografis khususnya terfokus kepada contoh tindakan pertama dan ke dua. Ada kesamaan antara pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan Jepang, yaitu pelanggaran terhadap indikasi asal Tana Toraja dan Toraja Utara (penggunaan nama Toraja sebagai merek dagangnya), dan tindakan itikad tidak baik dari merek Toarco Toraja terhadap indikasi asal Tana Toraja dan Toraja Utara (adanya monopoli perdagangan oleh perusahaan Jepang), dimana dalam hal ini Perusahaan Jepang mengambil keuntungan besar dari penamaan Kopi Toraja sebagai merek dagang mereka. Penulis juga berpendapat bahwa suatu perbuatan curang erat kaitannya dengan pelanggaran merek, demikian pula pelanggaran merek erat kaitannya dengan pelanggaran indikasi geografis atau Indikasi asal. Konsep persaingan curang juga dikemukakan oleh Beverly W. Pattishal, David C. Hilliard dan Joseph Nye Welch, salah satu pendapatnya adalah Likelihood of Confusion, mistake or deception yaitu terdapatnya bentuk dari sebuah merek yang menyerupai atau memiliki persamaan dengan merek terkenal.42 Dari pendapat tersebut penulis mengidentikkan merek terkenal sebagai Indikasi Geografis atau Indikasi Asal yang telah mempunyai reputasi. Jadi penulis menguraikan pendapat tersebut menjadi terdapatnya bentuk dari sebuah merek yang menyerupai atau memiliki persamaan dengan Indikasi Asal yang telah memiliki reputasi. Dengan kata lain bahwa merek Toarco Toraja yang digunakan sebagai merek dagang oleh perusahaan Jepang adalah Indikasi Asal yang telah mempunyai reputasi atau sudah terkenal dalam perdagangan dunia. Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal: Terhadap Persaingan Curang, Edisi 1, Cetakan 1, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hlm. 107. 41 J. Thomas Mc. Carthy, “Trademark and Unfair Competition” dalam Julius Rizaldi, Ibid., hlm. 108. 42 Julius Rizaldi, Op.Cit., hlm. 109. 40 ( 290 ) Indication of Source B.2 The Madrid Agreement 1891 for the Repression of False or Deceptive Indication of Source on Goods Perjanjian Madrid 1891 merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang memfokuskan diri dalam pengaturan Indikasi Geografis, dengan menggunakan istilah Indikasi Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source), dalam perjanjian ini objek perlindungannya adalah hanya khusus melindungi Indikasi Asal produk barang saja, dan tidak melindungi produk jasa. Perjanjian Madrid 1891 mengharuskan setiap pihak penandatangan Perjanjian (the contracting party) melakukan penahanan terhadap setiap aktivitas perdagangan yang terkait dengan Indikasi Sumber yang salah atau menyesatkan konsumen di dalam wilayah yurisdiksinya. Dalam konteks impor barang yang menggunakan Indikasi Sumber, perjanjian ini sejalan dengan Konvensi Paris 1883 yang mewajibkan setiap negara penandatangan untuk menyita barang impor yang menggunakan Indikasi Sumber yang menipu konsumen, baik penipuan secara langsung maupun tidak langsung.43 Dalam konteks tersebut Indonesia tidak terikat dalam perjanjian Madrid 1891, karena tidak termasuk dalam pihak penandatangan perjanjian tersebut. Walaupun Indonesia tidak termasuk dalam perjanjian ini, penulis berpendapat bahwa karena perjanjian ini memfokuskan kepada perlindungan Indikasi Asal suatu produk, maka seharusnya Indonesia juga meratifikasi atau mengaksesi perjanjian tersebut karena negara Indonesia adalah negara yang memiliki beragam indikasi Asal yang terdapat di beberapa daerah dalam wilayah Republik Indonesia. Walaupun dalam kenyataannya Indonesia telah mengadopsi Indikasi Asal ke dalam UndangUndang Merek Nasional. B.3 The Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellations of Origin Perjanjian Lisabon 1958 menerapkan sistem perlindungan ekstra kuat terhadap suatu produk yang diperdagangkan dengan nama tempat asal. Penandatangan perjanjian ini adalah negara-negara maju di Eropa yang memiliki tradisi perlindungan Indikasi Geografis yang kuat, salah satunya adalah negara Prancis. Sistem perlindungan ini biasa disebut Apelasi Asal (Appellation of Origin). Sampai tahun 2012 tercatat ada 32 negara yang menjadi anggota perjanjian ini termasuk Algeria, Bulgaria, Burkina Faso, Congo, Costa Rica, Cuba, Czech Repulic, Democratic People’s Republic of Korea, France, Gabon, Georgia, Greece, Haiti, Hungary, Iran, Israel, Italy, Mexico, Montenegro, Marocco, Nicaragua, Peru, Portugal, Republic of Moldova, Romania, Serbia, Slovakia, Spain, The Former Yugoslav Republic of Macedonia, Togo, Tunisia, dan Turkey.44 Berbeda dengan perjanjian Madrid 1891, perjanjian Lisabon 1958 tidak mengkhususkan lingkup perlindungannya hanya untuk barang, tetapi juga melindungi jasa. Pasal 3 Perjanjian Lisabon menyatakan bahwa:45 Miranda Riasang Ayu, Op.Cit., hlm. 20. http://www.wipo.int/treaties/en/. Diakses Pada Hari Senin, 5 November 2012 45 Article 3 Lisbon Agreement for the Protection of Appelation of Origin and their International Registration. 43 44 (291 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Article 3 [Content of Protection] Protection shall be ensured against any usurpation or imitation, even if the true origin of the product is indicated or if the appellation is used in translated form or accompanied by terms such as “kind,” “type,” “make,” “imitation”, or the like. Berdasarkan Pasal 3 perjanjian Lisabon 1958 di atas, perjanjian ini harus diperluas hingga tidak hanya mencakup segala bentuk tindakan penipuan terhadap konsumen akibat representasi yang salah dari tempat asal suatu produk tetapi juga perlindungan produsen, yang dilindungi dari segala bentuk peniruan, sekalipun peniruan itu secara terang-terangan tetap mencantumkan nama asal tempat barang yang sebenarnya, misalnya dengan menambahkan terjemahan, atau ditulis dengan tambahan kata seperti: “macam dari”, “jenis dari”, “buatan”, “tiruan dari”, atau semacamnya.46 Sistem Apelasi Asal Perjanjian Lisabon tidak mengenal adanya Lisensi. Dalam Pasal 5 ayat (6) Perjanjian Lisabon 1958 menentukan bahwa jika merek dan Apelasi Asal bersinggungan dalam hal pemakaian nama yang sama, merek harus ditempatkan pada prioritas ke dua di bawah Apelasi Asal, walaupun merek tersebut sudah dipakai dan terdaftar terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika Apelasi Asal telah memperoleh perlindungan hukum melalui proses registrasi atau pendaftaran, merek yang bernama sama dengan Apelasi Asal harus dihentikan penggunaan namanya dalam waktu 2 (dua) tahun setelah pendaftaran Apelasi Asal tersebut. Apelasi Asal kehilangan perlindungannya ketika ciri khas dan kualitas dalam produknya sudah tidak adal lagi. Dengan kata lain bahwa selama ciri khas dan kualitas masih ada, maka selama itu pula akan terus dilindungi. Dalam Pasal 6 Perjanjian Lisabon 1958 juga menegaskan bahwa Apelasi Asal tidak akan pernah menjadi Generik, dan ketika suatu produk sudah menjadi Generik, maka produk tersebut tidak bisa lagi diregistrasi atau didaftarkan menjadi Apelasi Asal yang telah terdaftar. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa ada 3 bentuk perlindungan Apelasi Asal dalam Perjanjian Lisabon 1958 yaitu: 1) Pasal 3 yang menyatakan bahwa bukan hanya melindungi konsumen dari penipuan, tetapi juga melindungi produsen dari segala bentuk penipuan meskipun dalam kemasan atau iklannya mencantumkan kata-kata “macam dari”, “jenis dari”, “buatan”, “tiruan dari”, atau semacamnya. 2) Pasal 5 ayat (6) yang menyatakan bahwa jika ada penggunaan nama yang sama dalam suatu produk merek dan Apelasi Asal, merek harus dihentikan penggunaannya 2 (dua) tahun setelah produk Apelasi Asal telah teregistrasi atau terdaftar. 3) Pasal 6 yang menyatakan bahwa suatu Apelasi Asal yang telah terdaftar tidak akan pernah menjadi Generik. Pada dasarnya Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut. oleh karena itu, menurut penulis, Indonesia seharusnya juga meratifikasi atau mengaksesi perjanjian ini karena 46 Miranda Riasang Ayu, Op.Cit., hlm. 21. ( 292 ) Indication of Source Lisbon Agreement 1958 memberikan perlindungan yang kuat terhadap Apelasi Asal. Jika Indonesia meratifikasi perjanjian ini, negara-negara lain tidak dapat mendaftarkan Apelasi Asal milik daerah dari suatu negara anggota menjadi merek dagang, seperti pendaftaran Kopi Toraja yang dilakukan oleh Perusahaan Key Coffee Inc. sebagai merek dagang di Jepang, dalam hal ini Kopi Toraja adalah Apelasi Asal atau Indikasi Asal Tana Toraja dan Toraja Utara. Berbeda halnya dengan pendapat Bapak Syarifuddin47 yang menyatakan bahwa tidak diratifikasinya atau diaksesinya perjanjian Lisbon karena pada umumnya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian tersebut tidak menguntungkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. B.4 Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights 1994 Perjanjian TRIPs merupakan bagian dari paket Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pada saat terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di dalamnya terdapat Perjanjian TRIPs atau TRIPs Agreement, maka sebagai konsekuensinya Indonesia sebagai anggota WTO wajib untuk menyesuaikan peraturan atas Hak Kekayaan Intelektual dengan Perjanjian TRIPs. TRIPs merupakan singkatan dari Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights yang mengatur tentang aspek-aspek dagang dari Hak Kekayaan Intelektual, termasuk perdagangan barang-barang tiruan. Perjanjian TRIPs merupakan salah satu hasil perundingan putaran Uruguay yang dikemas dalam satu naskah persetujuan akhir pembentukan WTO yang ditandatangani di Marakesh, Maroko tahun 1994. Perjanjian TRIPs dapat dipandang sebagai salah satu dasar multilateral yang paling komprehensif yang berhubungan dengan potensi-potensi halangan perdagangan internasional yang bukan tarif. Dalam kerangka mencapai tujuan utama TRIPs untuk menghapus halangan perdagangan internasional, perjanjian ini menegaskan dan mengintegrasikan beberapa rezim Hak Kekayaan Intelektual yang telah diatur secara tersebar dalam kerangka di beberapa konvensi internasional sebelumnya. Secara historis, keberadaan TRIPs dapat dianggap sebagai kesuksesan negosiasi Amerika Serikat dan Jepang. Ke dua negara inilah yang pertama kali mempromosikan ide tentang pentingnya menegosiasikan tentang topik-topik Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai perluasan dari rencana topik yang semula hanya akan membahas merek atas barang saja. Sebagai hasil dari promosi itu, hak kekayaan intelektual masuk ke dalam daftar topik yang secara resmi akan menjadi bahan negosiasi dalam putaran Uruguay. Dalam negosiasi tersebut, sebagai salah satu rezim yang dipertimbangkan untuk dilindungi oleh TRIPs, Indikasi Geografis didukung kuat oleh Masyarakat Ekonomi Eropa / MEE (European Community/EC). Masyarakat Ekonomi Eropa mengusung ide perlindungan bagi Indikasi Geografis, termasuk Apelasi Asal, dengan perlindungan khusus yang lebih kuat untuk minuman Anggur (Wines) dan minuman Keras (Spirits). Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa presentase Hasil wawancara penulis dengan Bapak Syarifuddin selaku Kepala Seksi (Kasi) Evaluasi Teknis Sub Direktorat (Subdit) Indikasi Geografis. pada tanggal 30 Oktober 2012 di Tangerang. 47 (293 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 devisa negara-negara MEE terbesar memang bersumber dari produk-produk ini.48 Perjanjian TRIPs tersusun dalam tujuh bab yang terdiri dari 73 pasal. Salah satu substansi yang diatur adalah perlindungan Indikasi Geografis yang ditegaskan dalam Pasal 22, 23, dan 24. Diangkatnya masalah-masalah perlindungan Indikasi Geografis dalam putaran Uruguay merupakan hasil desakan dan lobby negara-negara Eropa yang sebagian besar adalah penghasil minuman anggur dan minuman keras. Perjanjian TRIPs mendefinisikan Indikasi Geografis dalam Pasal 22 ayat (1) sebagai berikut: “Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a goods as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation, or other characteristic of the good is essentially attributable to its geographycal origin”. Sesuai dengan definisi tersebut di atas penulis menyimpulkan pengertian Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada barang-barang yang memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya. Tanda tersebut harus menunjukkan keterkaitan antara nama barang dan tempat asal dari barang tersebut. Satu hal yang paling penting diketahui bahwa Perjanjian TRIPs tidak membedakan antara Indikasi Geografis, Indikasi Asal, dan Apelasi Asal. Perjanjian TRIPs adalah gabungan dari perjanjian-perjanjian mulilateral yang ada sebelumnya seperti, Konvensi Paris 1883, Perjanjian Madrid 1891, dan Perjanjian Lisbon 1958. Walaupun dalam kenyataannya Perjanjian TRIPs memiliki standar minimum dalam pemberlakuannya. Artinya bahwa, negara-negara anggota dapat menyesuaikan undang-undangnya sama seperti yang ada dalam TRIPs atau dapat memperluas cakupan perlindungannya sesuai dengan perjanjian multilateral yang ada sebelum TRIPs, dalam hal ini kaitannya dengan Indikasi Geografis. Perjanjian TRIPs juga mengatur tentang perlindungan Indikasi Geografis dalam bentuk perlindungan hukum yang berlaku di seluruh negara-negara anggota. Tujuannya, untuk mencegah penggunaan nama Indikasi Geografis dengan tanpa hak. Selain itu, Indikasi Geografis juga bertujuan untuk mencegah, mengurangi, atau menghilangkan kompetisi yang tidak sehat (Unfair Competition) yang dapat merugikan baik produsen maupun konsumen. Sesuai ketentuan, setiap negara anggota wajib menyediakan sarana hukum bagi perlindungan Indikasi Geografis yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2), (3), dan (4). Article 22 (2) in respect of geographical indications, member shall provide the legal means for interested parties to prevent: a. the use of any means in the designation or presentation of a good that indicates or suggest that the good in question originates in a geographical area other than the true place of origin in a manner which misleads the public as to the geographical origin of the good. 48 Miranda Riasang Ayu, Op.Cit., hlm. 27. ( 294 ) Indication of Source b. any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of article 10 bis of the Paris Convention (1967) Ketentuan Pasal 22 ayat (2) Perjanjian TRIPs di atas mengatur tindakan preventif bagi negara anggota untuk melindungi produk-produk Indikasi Geografis dari praktek persaingan curang, serta tindakan yang dapat menyalahgunakan penggunaan Indikasi Geografis sebagai merek. Hal ini perlu diatur mengingat seringnya terjadi penggunaan nama geografis sebagai merek dagang, sehingga memberikan kesan seolah-olah merek sama dengan Indikasi Geografis. Selain itu adalah untuk melindungi konsumen dari kesesatan atau kebingungan. Hal tersebut juga dikemukakan oleh OK. Saidin yang mengatakan bahwa ketentuanketentuan terhadap larangan pemakaian Indikasi Geografis tertentu untuk dipakai sebagai merek, juga berlaku terhadap barang-barang yang diproduksi di kawasan atau wilayah tertentu atau memang benar-benar di wilayah asal barang-barang tersebut diproduksi, namun secara menyesatkan memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa barang tersebut berasal dari wilayah lain.49 Menurut pendapat penulis penggunaan nama geografis sebagai merek dagang pada dasarnya tidak dilarang menurut perjanjian TRIPs, hanya saja harus menyatakan kebenaran tempat asal yang sebenarnya. Misalnya penggunaan nama Geografis Toraja yang dipakai sebagai merek dagang Key Coffee Inc di Jepang dengan nama merek Toarco Toraja Coffee. Key Coffee harus menyatakan bahwa kopi yang diperdagangkannya itu berasal dari Toraja, dimana Toraja adalah salah satu wilayah geografis di Indonesia. Pernyataan tersebut dapat melalui media massa / iklan kopi maupun keterangan pada kemasan mereknya di negara Jepang. Berbeda halnya pada pelanggaran yang dijelaskan pada Pasal 22 ayat (3) Perjanjian TRIPs, bunyi dari pasal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: Article 22 (3) a member shall, ex officio if its legislation so permits or the request of an interested party, refuse or invalidate the registration of a trademark which contains or consists of ageographical indication with respect to goods not originating in the territory indicated, if use of the indications in the trademark for such goods in that member is of such a nature as to mislead the public as to the true place of origin. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Perjanjian TRIPs di atas lebih mengarah pada tindakan untuk menolak setiap permohonan pendaftaran merek yang mempergunakan Indikasi Geografis secara tanpa hak. Seperti misalnya kasus Kopi Toraja, pendaftaran merek Kopi Toraja oleh Key Coffee Inc di Jepang adalah salah satu bukti pemanfaatan nama Indikasi Geografis atau Indikasi asal Kopi Toraja yang dipakai sebagai merek di Jepang yang notabene kata Toraja bukan berasal dari daerah atau wilayah Jepang. Pada saat pendaftaran dilakukan oleh Key Coffee Inc di Jepang tahun 1977, Indonesia belum memiliki suatu peraturan khusus baik 49 OK. Saidin, Op.Cit., hlm. 387 (295 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain mengenai Indikasi Geografis. Dari uraian di atas penulis juga berpendapat bahwa penggunaan nama Geografis Toraja pada merek Toarco Toraja Coffee tidak menjadi masalah ketika produk yang terdapat pada merek Toarco Toraja Coffee adalah Kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara dan bukan berasal dari wilayah lain. Jika hal tersebut dilanggar maka dapat diajukan pembatalan sesuai dengan ketentuan Pasal 22 (3) Perjanjian TRIPs. Selanjutnya dalam Article 22 (4) Perjanjian TRIPs menyatakan bahwa: “the protection under paragraph 1,2, and 3 shall be applicable against a geographical indication which, although literally true as to the territory, region or locality in which the goods originate, falsely represents to the public that the goods originate in another territory”. Pada pasal di atas menekankan pada pemberian perlindungan terhadap penggunaan Indikasi Geografis yang benar namun dapat menyebabkan kekeliruan pada masyarakat atau negara lain. Misalnya penggunaan kata Toraja dalam label kemasan produk Key Coffee Inc dan memang benar bahwa yang ada dalam kemasan produk tersebut adalah produk yang dihasilkan oleh kabupaten yang ada di Indonesia yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Tetapi karena dipasarkan di Jepang dan label kemasannya bisa saja menggunakan bahasa Jepang, maka hal tersebut menimbulkan kesesatan atau kebingungan bagi masyarakat. Miranda Risang Ayu50 membagi perlindungan Indikasi Geografis menjadi dua tingkat. Perlindungan tingkat pertama didasarkan pada Pasal 22 ayat (2) butir (a) dan (b) perjanjian TRIPs, yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mencegah penggunanaan Indikasi Geografis yang salah dan berpotensi menyesatkan masyarakat. Dalam kaitan ini, perjanjian TRIPs juga mengatur penghindaran persaingan tidak sehat. Sedangkan perlindungan tingkat ke dua mendasarkan pada Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan (4) Perjanjian TRIPs yang mengatur perlindungan tambahan bagi Indikasi Geografis. Perlindungan ini hanya dikhususkan bagi minuman anggur dan minuman keras, perlindungan tingkat ke dua ini sangat kuat, karena melarang pemakaian Indikasi terkait pada barang-barang selain produk yang dihasilkan oleh pemegang hak, sekalipun pemakaian itu dilakukan secara jujur sambil menyebutkan tempat asal-muasal dari produk tersebut dengan menggunakan kata seperti, “jenis”, “tipe”, atau “bentuk”, “gaya”, “tiruan dari” dan lain-lain. Perlindungan tingkat ke dua ini, produsen dilindungi dari kompetitor yang bermaksud mendompleng reputasi produk tersebut secara tanpa hak untuk keuntungan pihaknya sendiri. Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan (4) tersebut adalah hasil dari Perjanjian Lisbon 1958 yang dikonversi masuk ke dalam Perjanjian TRIPs. Dalam Undang-Undang Merek Indonesia dan khususnya yang diatur dalam peraturan pelaksana PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi geografis tidak mencantumkan perlindungan tingkat ke dua tersebut sebab minuman anggur dan minuman keras bertentangan dengan moralitas dan agama yang terdapat dalam Pasal 5 (a) Undang-Undang Merek dan Pasal 3 (a) PP Indikasi Geografis. 50 Miranda Risang Ayu, Op.Cit., hlm. 32. (296 ) Indication of Source Menurut hemat penulis bahwa jika pembuat undang-undang mencantumkan perlindungan tingkat ke dua dengan mengganti minuman anggur dan minuman keras menjadi produk-produk hasil pertanian dan kerajinan tangan, maka akan sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam bidang Indikasi Geografis baik dalam lingkungan nasional maupun Internasional. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat bahwa TRIPs memberikan batasan perlindungan minimum kepada negara-negara anggotanya ke dalam peraturan nasionalnya, artinya bahwa perlindungan yang lebih luas sangat dimungkinkan dalam suatu peraturan nasional negara-negara anggota TRIPs, selama tidak menyalahi standar minimum perlindungan yang telah ditetapkan oleh TRIPs. Pada dasarnya perlindungan Indikasi Geografis yang mirip dengan perlindungan tingkat ke dua sudah dicantumkan dalam Pasal 25 huruf (d) PP Indikasi Geografis yang menyatakan bahwa pelanggaran Indikasi Geografis mencakup salah satunya yaitu pemakaian Indikasi Geografis secara tanpa hak sekalipun tempat asal barang dinyatakan. Dengan penjelasan pasal tersebut adalah yang dimaksud dengan pemakaian Indikasi Geografis secara tanpa hak mencakup antara lain; penyalahgunaan, peniruan, dan pencitraan negatif terhadap Indikasi geografis tertentu, seperti: penggunaan kata “ala”, bentuknya sama dengan, serupa, dibuat dengan cara yang sama, sama sifatnya, mirip, seperti, atau transliterasi, atau yang sejenis / sepadan dengan kata-kata tersebut. Menurut penulis pasal tersebut masih kurang kuat dan kurang maksimal dalam perlindungannya, karena hukum nasional Indonesia membedakan antara Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. Oleh karena itu, seharusnya bukan hanya Indikasi Geografis yang dilindungi secara tanpa hak dalam pemakaiannya, melainkan Indikasi Asal juga sangat perlu dilindungi. Sehubungan dengan standar minimum Perjanjian TRIPs, jangka waktu perlindungan Indikasi Geografis dibagi menjadi 2, yaitu: a) Jangka waktu perlindungannya sama dengan perlindungan merek yakni 10 tahun, dan dapat diperpanjang setiap 10 tahun selama ciri khas dan kualitasnya masih ada. b)Jangka waktu perlindungannya tidak terbatas selama ciri khas dan kualitasnya masih ada. Kedua hal tersebut menurut prinsip standar minimum Perjanjian TRIPs, dimungkinkan kepada negara-negara untuk memilih salah satu diantara ke dua jangka waktu perlindungan Indikasi Geografis tersebut ke dalam hukum nasionalnya masing-masing. Indonesia menganut jangka waktu perlindungan pada bagian (b) yaitu pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yakni: Indikasi Geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi Geografis tersebut masih ada.51 51 Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Inidkasi Geografis (297 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 III.PENUTUP Indication of source (indikasi asal) merupakan bagian dari indikasi geografis, dimana indikasi geografis ini juga merupakan salah satu bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum dalam kaitannya dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Pengertian indikasi asal adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan dan belum terdaftar di negara asal dari produk tersebut. Perlindungan hukum internasional terhadap Kopi Toraja sebagai indication of source product milik Indonesia yang terdaftar sebagai merek dagang di jepang terdapat dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang mengatur bahwa perlindungan nama dagang termasuk nama dagang yang menggunakan nama tempat asal produk, yang dalam istilah konvensi ini disebut sebagai Indikasi Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source) dan Apelasi Asal atau Nama Formal Asal (Appelation of Origin). Selain itu The Madrid Agreement 1891 for the Repression of False or Deceptive Indication of Source on Goods merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang memfokuskan diri dalam pengaturan Indikasi Geografis, dengan menggunakan istilah Indikasi Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source), dalam perjanjian ini objek perlindungannya adalah hanya khusus melindungi Indikasi Asal produk barang saja, dan tidak melindungi produk jasa. Sedangkan The Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellations of Origin menerapkan sistem perlindungan ekstra kuat terhadap suatu produk yang diperdagangkan dengan nama tempat asal, dan Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights 1994 yang tidak membedakan antara Indikasi Geografis, Indikasi Asal, dan Apelasi Asal, dalam Pasal 22 ayat (4) TRIPs yang menekankan pada pemberian perlindungan terhadap penggunaan Indikasi Geografis yang benar namun dapat menyebabkan kekeliruan pada masyarakat atau negara lain. Misalnya penggunaan kata Toraja dalam label kemasan produk Key Coffee Inc dan memang benar bahwa yang ada dalam kemasan produk tersebut adalah produk yang dihasilkan oleh kabupaten yang ada di Indonesia yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Tetapi karena dipasarkan di Jepang dan label kemasannya bisa saja menggunakan bahasa Jepang, maka hal tersebut menimbulkan kesesatan atau kebingungan bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan 1 Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Ahmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. (298 ) Indication of Source Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama. Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. ______________________, Hukum Perjanjian Internasional, Cetakan Pertama. Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi 2, Cetakan 1, Bandung: PT. Alumni, 2005. Hadi Setia Tunggal, Tanya Jawab Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Jakarta: Harvarindo, 2012. Ibnu Munzir, Perlindungan Hukum Terhadap Kopi Toraja Sebagai Produk Indikasi Asal Milik Tana Toraja Dan Toraja Utara Yang Terdaftar Sebagai Merek Dagang Di Indonesia Dan Jepang, Tesis Tidak Di Publikasikan, Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013. Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Yang Benar: Membahas Secara Runtut Dan Detail Tentang Tata Cara Mengurus Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2007. Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal: Terhadap Persaingan Curang, Edisi 1, Cetakan 1, Bandung: PT. Alumni, 2009 Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual: (Indikasi Geografis), Cetakan 1, Bandung: PT. Alumni, 2006. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. P.T. Toarco Jaya: Membangkitkan Kembali Kopi Yang Hanya Tinggal Nama, Perjalanan Panjang Toarco Toraja, 2012, Jakarta: AEKI, 2012. Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian Kontemporer, Cetakan 1, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. www.wipo.int/treaties/en/. Diakses Pada Hari Senin, 5 November 2012 www.scribd.com. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012. www.google.com apksa, Wadah Diskusi Pengetahuan Kekayaan Alam Kaltim, Diakses pada tanggal 10 Juni 2012. ( 299 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 300 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL Almusawir Nansa* Fakultas Hukum Universitas 45 E-mail:[email protected] Abstract: The formation of the World Trade Organization (WTO) has given the concept of trade liberalization to the world in particular the member states, in which, the basic concept of trade liberalization is the removal of barriers to international trade. Concepts of trade liberalization in practice shaping globalization. Abstrak: Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negaranegara anggota, dimana, konsep dasar dari liberalisasi perdagangan adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep liberalisasi perdagangan dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi. I. PENDAHULUAN Istilah globalisasi perdagangan dapat disebutkan sebagai sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, yang mengakibatkan batas negar menjadi tidak terlihat. Globalisasi perdagangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan lintas negara. Pemahaman sejarah ini terlihat dari kegiatan para saudagar atau pedagang dari Eropa yang melakukan pencarian atas produk rempah-rempah dari dunia timur, yang pada saat itu menjadi suatu komoditi yang sangat diminati oleh konsumen dari benua Eropa. Esensi model hukum dalam pradigma globalisasi perdagangan bebas hukum didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya. Di sisi lain, hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Selanjutnya hukum digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa. Sifat hukum jadi positivis-instrumentalis dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, dan HAM. Pengajar Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas 45, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1993 dari Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Jayapura, Magister Ilmu Humaniora (M.Hum.) 1996 dari Program Pascasarjana Institut Hukum Bisnis, Jakarta. * ( 301 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Globalisasi perdagangan penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi ekspor-impor, perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaan perusahaan multi nasional dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada hakekatnya bermodus eksploitasi Terdapat beberapa hal penting yang perlu mendapat catatan dibidang akses pasar bebas ini adalah semua negara anggota dapat menikmatinya tanpa terkecuali. Sebagai konsekuensinya adalah persaingan semakin tajam. Karena “standing position” nya sama, maka dalam pemanfaatan ini akan berlaku hukum alam, siapa yang lebih kuat, dia yang akan menang. Globalisasi Perdagangan merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dan menuntut setiap negara lebih siap untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang dihasilkan oleh WTO. Peluang dan manfaat bagi Negara anggota WTO hanya dapat diperoleh apabila memahami semua persetujuan WTO dan menerapkannya sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu prinsip dasar yang diatur didalam WTO selain perdagangan bebas adalah adanya perdagangan yang berkeadilan (Fair Trade). Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia kepada suatu tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.1 Globalisasi telah membuat dunia seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi: moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh William Irvin Thompson, dengan dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan dapat terjadi setiap hari.2 Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (pemeliharaan tanaman, mengusir burung, menjemur padi, didalam usaha pertanian padi) sebagai komponen biaya produksi dalam sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen. Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka (kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga Lihat Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dalam Ida Susanti, dkk (ed). Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 3 2 Lihat Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 143 1 ( 302 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil. WTO diharapkan dapat membentuk suatu kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog, transparansi dan penghargaan yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang (bagi Dunia Ketiga) didalam perdagangan internasional. Konsep perdagangan bebas juga telah meningkatkan kekuasaan perusahaanperuasahaan multinasional terhadap konsumen dengan membuat regulasi (syarat-syarat) yang sesungguhnya merupakan perangkap yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan hilang. Perusahaanperusahaan tersebut memiliki kekuasaan monopolistik, misalnya monopoli harga. Kasus yang paling menyeramkan adalah monopoli harga obat-obatan, yang menyebabkan harga obat menjadi mahal dan tak terjangkau, yang kemudian menimbulkan munculnya pemalsuan obatobatan dan perdagangan obat-obat palsu dan atau kadaluarsa di negara-negara berkembang dan terbelakang. Perdagangan bebas telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaanperusahaan di negara maju, untuk mendaftarkan kekayaan alam (natural processes and resorces) yang belum memperoleh perlindungan hukum di negara-negara berkembang seperti: produk pertanian berindikasi geografis dll, melalui rezim HKI yang dalam perdangan bebas menuntut banyak biaya untuk diterapkan, semisal kebutuhan akan pengacara-pengacara dan konsultan-konsultan (yang berkaitan dengan hal teknis) dengan level (pengetahuan dan reputasi) internasional, terlebih lagi dalam kaitannya dengan sengketa HKI di WTO, dan secara terus terang negara-negara berkembang belum siap menghadapi hal ini, termasuk Indonesia. Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus memetuhi seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi hukum, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO. Dengan demikian Indonesia telah terikat untuk mematuhi segala kaidah-kaidah yang disepakati dalam persetujuan perdagangan internasional, termasuk melakukan perubahan baik terhadap instrumen hukum maupun kebijaksanaan pembangunan di bidang perdagangan Nampaknya liberalisasi pardagangan produk-produk pertanian tidak menjadikan pertanian menjadi bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentalisme pembangunan pertanian. Dalam era globalisasi perdagangan bebas, ketika negara tidak lagi mencampuri urusan pengembangan sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan dan fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justu memfasilitasi penyerahan (303 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 penguasaan sumber-sumber alam, sistim produksi, serta sistim pemasaran dan perdagangan kepada perusahaan transnasional. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimanakah hubungan antara globalisasi dan perdagangan bebas? dan Bagaimanakah paradigma hukum internasional terhadap perdagangan bebas? II. PEMBAHASAN A. Hubungan Antara Globalisasi dan Perdagangan Bebas Pada akhir abad 18, pandangan perdagangan dari sitem perdagangan merkantilisme mengalami pergeseran ke arah sistem perdagangan yang lebih bebas (liberalisasi pasar). Tokoh-tokoh utama yan mempelopori sistem perdagangan bebas yaitu Adam Smith (melalui teori keunggulan absolut, dalam bukunya yang berjudul “The Wealth of Natoions”) dan David Ricardo (melalui teori keunggulan kompratif).3 Dasar pemikiran mengenai perdagangan bebas muncul pada masa perkembangan tokoh-tokoh aliran klasik. Aliran klasik merupakan aliran yang beranggapan bahwa suatu perekonomian akan sejalan secara efisien, apabila tidak ada campur tangan pemerintah dan setiap individu dalam masyarakat diberikan kebebasan yang luas untuk berusaha sendiri. Untuk mengatur hubungan antar negara yang mempunyai yurisdiksi dan kepentingan, maka dibutuhkan suatu lembaga multilateral yang khusus untuk mengatur hubungan negaranegara tersebut dalam pelaksanaan perdagangan di antara mereka. Hal inilah yang mendasari dilaksanakannya konferensi internasional multilateral di Bretton Woods.4 Bersamaan dengan lahirnya sistem keuangan dunia Bretton Woods, lahirlah IMF (International Monetary Fund)dan GATT (General Agreement for Tariff and Trade). IMF adalah organisasi yang mengatur moneter internasional. Sementara GATT adalah sebuah rezim perdagangan internasional yang mengatur mengenai tarif dan perdagangan internasional. Pada awal kemunculannya GATT hanya didukung oleh negara-negara maju, yang cenderung pro terhadap kapitalisme perdagangan bebas. Sementara mayoritas negara berkembang beroposisi terhadapnya. Pendapat yang bersifat beoposisi terhadap perdaganan bebas dikemukakan oleh Sri Edi Swasono dalam Nursalam Sianipar, sebagai berikut 5: 1. Pasar bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Pasar bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indo­nesia. 3. Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum Inlander (kaum terjajah) yang jauh di bawah martabat kaum Eropah dan Timur Asing. Lihat Paul H. Lindert dan Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, (Jakarta: Erlangga, 1986), hlm. 18 4 Lihat George Soul, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka:Dari Aristoteles Hingga Keynes, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 73 5 Lihat Nursalam Sianipar, Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar Bebas. (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2001), hlm. 66-67 3 ( 304 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas 4. Pasar bebas menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli akan menjadi penonton belaka, berada di luar pagar­pagar transaksi ekonomi. 5. Pasar bebas melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi yang penting ba­negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan partikelir dan asing. 6. Pasar bebas mencari keuntungan ekonomi. Pasar bebas menggeser, dan menggusur rakyat dan tanah dan usaha-usaha ekonominya, 7. bebas memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong ter-bentuknya polarisasi sosial ekonomi, memperenggang persatuan nasional. 8. Pasar bebas melihat sistem ekonomi subordinasi yang ekploitatif dan diskriminatif terhadap yang lemah. 9. Kemudian pasar bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorng lidah kita bicara palsu, membabi buta anti subsidi, anti proteksi demi efisiensi yang jarang memberi manfaat bagi si lemah. Perkembangan perdagangan bebas menjand menjadi sangat penting, dengan disepaktinya General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada 1947, yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1948 dan memuat beberapa prinsip-prinsip liberalisme seperti mendukung liberalisasi perdagangan. GATT melangsungkan proses berkelanjutan dari negosiasi multilateral diantaranegara-negara dengan kepentingan yang sama dimana persetujuan telah diraih dan negosiasi pun meluas pada seluruh partisipan GATT.6 Tujuan dari dibentuknya GATT ini adalah untuk mengatur dan mengurangi tarif pada barang-barang impor dengan proses yang sama pada setiap anggotanya. Dalam konteks organisasi, GATT lebih cenderung seperti sebuah perjanjian yang mengikat dan mengatur perdagangan-perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara.7 Forum-forum GATT sering kali dilaksanakan untuk membahas permasalahan perdagangan yang mungkin muncul dan biasa disebut negotiating rounds. Misalnya yang telah dilakukan di Annecy, Torquay and Geneva yang berlangsung pada 1949 sampai 1956 kemudian 1960 dan 1970 di Dillon, Kennedy dan Tokyo dan yang terakhir adalah Uruguay. Negotiating rounds inilah yang lama-kelamaan memicu lahirnya WTO (World Trade Organization), sebuah reformasi dari GATT. Perkembangan selanjutnya, pada Putaran Uruguay di Marrakesh (1986-1994) telah diterima persetujuan tentang pembetukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO), termasuk persetujuan sebagai lampirannya, yaitu Agreement Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods (persetujuan mengenai Aspek-aspek Dagang mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual ( TRIPs). Lihat Mingst, Karen A. Essentials of International Relations. (New York & London: W. W.Norton & Company, Inc., 1999), hlm. 262 7 Lihat Abbott, Roderick. “The World Trade Organization”. (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2007), hlm. 315-330. 6 (305 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Dengan berakhirnya perundingan Uruguay Round serta disetujui hasil perundingan tersebut oleh para menteri dari negara-negara peserta di Marakesh April 1994, maka sistem perdagangan internasional mengalami fase baru. GATT telah berkembang dalam wujud baru sebagai World Trade Organization yang akan menjadi organisasi internasional dengan atribut serta dengan wewenang yang jauh lebih luas daripada GATT. Dengan perkembangan ini maka sistem perdagangan internasional mengalami penegasan agar lebih dapat menghadapi tantangan baru. Demikian pula dengan berlakunya ACFTA Tahun 2010, maka hendaknya Indonesia senantiasa berorientasi ke depan, serta berupaya mengadakan identifikasi tentang perkembangan ekonomi yang didukung kemajuan di sektor perdagangan internasional yang, yang berorientasi pada peningkatan ekspor non migas, peningkatan daya saing, serta perluasan pasar luar negeri. World Trade Organisation (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia adalah badan antar-pemerintah, yang mulai berlaku 1 Januari 1995. Tugas utamanya adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan internasional; penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negaranegara anggotanya.8 WTO membawa dua prinsip utama, yaitu prinsip most favoured nation treatment, yang berarti bahwa WTO akan memberikan perlakuan yang sama pada setiap anggotanya tanpa ada diskriminasi. Dan prinsip yang kedua adalah national treatment, yakni melarang adanya diskriminasi pajak dalam negeri atas baik produk domestik maupun impor, sehingga tidak perlu adanya penurunan tarif pajak. Disamping kedua prinsip diatas, ada sebuah konsensus yang selalu digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan yaitu single undertaking, yang berarti bahwa ada sebuah aturan yang mengikat semua anggota WTO dalam menyelesaikan masalah serta menerima timbal balik yang tidak seimbang dalam negosiasi dengan negara berkembang.9 Konsesus digunakan dalam pembuatan keputusan dalam WTO karena dianggap relevan. Selain konsensus terdapat cara pengambilan keputusan dengan cara voting. Namun voting hanya diambil apabila consensus yang telah dilakukan belum disepakati oleh para anggota atau sedang berada pada posisi tertentu, seperti perjanjian multilateral yang tidak dapat dijalankan sebelum konsensus dibuat. Dalam bentuk barunya, rezim perdagangan bebas yang berlandaskan nilai-nilai liberal ini lebih disukai oleh negara-negara berkembang daripada dalam bentuk lamanya. Hal ini disebabkan meluasnya ruang lingkup kekuasaan dalam rezim tersebut. WTO lebih menjanjikan perdagangan dunia dalam tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebenarnya hal ini sama sekali tidak memaksa negara-negara berkembang untuk bergabung. Namun akses yang dijanjikan oleh WTO seolah menjadi iming-iming bagi negara berkembang untuk ikut. Jika tidak bergabung maka mereka akan menemui kesulitan dalam melakukan perdagangan 8 9 Kunjungi www.institute-for­-global-Justice.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2014 Lihat Abbott, Op.Cit., hlm. 317 ( 306 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas internasional, sementara pasar-pasar yang menjanjikan ada dalam regulasi WTO. Perdagangan bebas merupakan tantangan masa kini yang harus dihadapi dengan jalan moderat, namun cerdas melalui perbaikan aturan main hukum ekonomi internasional, dengan tujuan untuk menciptakan tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dengan memperhatikan baik keseimbangan dan kesetaraan hubungan antara negara maju maupun negara berkembang.10 Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.”Sebenarnya perdagangan bebas itu mempunyai dampak tersendiri buat setiap negara. Jika negara tersebut bisa menggunakan peluang ini dengan baik maka akan memberikan dampak positif, tetapi jika negara tersebut tidak mampu menggunakan peluang ini dengan baik maka akan berdampak negatif. Semakin kuatnyanya dominasi Negara-negara maju melalui Trans National Corporations (TNCs), semakin memonopoli inovasi dan pasar. Berbagai macam sarana produksi, mulai dari benih, alat mesin pertanian, pestisida, modal, dan kriteria pasar dimonopoli melalui undang-undang Hak Paten. Ini merupakan skenario pemusnahan kearifan dan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga harus tunduk pada mekanisme TNCs, jika ingin menembus pasar internasional. Dalam konteks indonesia dengan kekuatan kekayaan potensial baik dalam sumber daya alam maupun manusia dapat diefektifkan melalui kebijakan politik pemerintah. Sejak tahun 1980-an pemerintah telah melakukan reformasi kebijakan ekonomi guna memaksimalkan hasil-hasil pembangunan. Puluhan paket kebijaksanaan telah diberlakukan. Namun sebagai negara berkembang Indonesia memiliki banyak kelemahan yang harus disadari dan diwaspadai dalam kancah perdagangan internasional. Di samping itu, seperti negara berkembang pada umumnya Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di berbagai bidang kegiatan ekonomi dan tertinggal jauh dari negara-negara maju di bidang teknologi, maka melalui perdagangan internasional sebagaimana ingin diciptakan dalam sistem GATT dan WTO menawarkan kesempatan bagi semua negara untuk meningkatkan taraf hidup di bawah rezim perdangan bebas. BM. Koentjoro Jakti11 mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menandatangani kesepakatan liberalisasi perdagangan intenasional (WTO) pada putaran Uruguay di Marakesh (Marocco) tahun 1994, Indonesia harus menerima risiko menghadapi persaingan yang semakin ketat, demikian pula dengan berlakunya AFTA semenjak tahun 2003. 10 Lihat A.F. Elly Erawaty, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 2 11 Lihat B. M. Kuntjoro Jakti. Materi Kuliah, Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999 (307 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Kesepakatan tersebut harus diterima oleh Indonesia jika tidak ingin terisolasi dari negaranegara ASEAN lainnya, lebih-lebih di kawasan ASEAN Indonesia adalah satu-satunya negara yang yang dulunya merupakan jajahan Belanda yang menganut sistem hukum Kontinental (Civil Law). Sementara sebahagian besar negara-anggota ASEAN lainnya merupakan bekas jajahan Inggris yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law). Sebagai negara bekas jajahan Inggris, negara-negara tersebut tidak akan banyak memberikan harapan untuk mendukung Indonesia dalam bernegosiasi atau diplomasi guna memperjuangkan hak dan kepentingannya dalam sidang WTO. Negara-negara tersebut secara emosional bahkan lebih cenderung untuk mendukung negara bekas penjajahnya, misalnya melalui Organisasi Negara Persemakmuran (Commonwealth). Hal ini merupakan problem bagi Indonesia untuk tidak dapat menolak WTO meskipun kemungkinan lebih banyak merugikan Indonesia sebagai negara berkembang. Selain itu kapabilitas wakil Indonesia di sidang WTO dalam bernegosiasi masih lemah, mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada bantuan luar negeri terutama bantuan dari negara-negara maju yang menganut sistem hukum Common Law. B. Perdagangan Bebas Dalam Paradigma Hukum Internasional Sebagai suatu entitas yang dinamis, maka hukum tidak pernah berhenti di satu titik tertentu, melainkan terus berakomodasi dengan kondisi sosial dan keadaan tertentu. Dewasa ini, kita telah memasuki era perdagangan bebas dimana “hampir” tak ada lagi sekat-sekat dalam perdagangan. Perdagangan bebas dan globalisasi adalah dua istilah yang sering disebut secara berbarengan. Akademisi, politisi, ekonom, bahkan masyarakat awam sangat familiar dengan kedua kata dan frasa tersebut. Namun, salah satu hal ironi dari kenyataan itu adalah tidak atau kurang dimengertinya prinsip-prinsip, makna, sejarah, dan pangaruhnya pada Negara-negara berkembang. Tanpa bermaksud “memonopoli” kebenaran, terkadang dapat dibenarkan juga aksi anti globalisasi dan perdagangan bebas karna fakta menunjukkan bahwa sistem ini membawa “kesengsaraan” bagi negara miskin. Disadari atau tidak, globalisasi mengakibatkan ketidakadilan. Dalam masyarakat yang telah melakukan proses transformasi struktural menuju pada suatu masyarakat moderen industrial dengan sekalian badan, lembaga, serta gaya kehidupannya. Gaya kehidupan ini dimaksudkan munculnya perubahan dalam orientasi manusia yang dikondisikan oleh perubahan dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung di sekelilingnya. Seiring dengan perkembangan jaman yang kian modern dan disertai oleh lintas batas berlakunya hukum-hukumnya, posisi dan peran negara menjadi terdegradasi pula. Mau tidak mau, suka tidak suka, alam globalisasi menawarkan tekanan pasar bebas yang kian merangsek ke seluruh dimensi kehidupan manusia, politik, ekonomi, budaya, dan tak terkecuali di dunia hukum. Globalisasi merupakan gerakan perluasan pasar dan di semua pasar yang berdasarkan persaingan, selalu ada yang memang dan yang kalah. Perdagangan bebas dapat juga menambah kesenjangan antar negara-negara maju dan negara-negara pinggiran, yang akan membawa ( 308 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas akibat pada komposisi masyarakat dan kondisi kehidupan mereka.12 Pengaruh global perdagangan bebas terhadap hukum tidak dapat dielakkan, misalnya menyangkut pembuatan program legislasi, memenuhi tuntutan pasar bebas merupakan keharusan, dan juga terjadi tekanan-tekanan lembaga internasional, seperti WTO, IMF, World Bank. Paradigma hukum dalam liberalisai ekonomi diarahkan pada bekerjanya kemampuan pasar bebas dengan melucuti sejumlah kewajiban atau tanggung jawab negara dalam pemenuhan fungsi-fungsi publik. Hukum, pada gilirannya, dikendalikan atas dasar selera atau kepentingan pasar (market friendly legal reform paradigm) dibandingkan dengan keharusan negara melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. Esensi model hukum ini, hukum didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya. Di sisi lain, hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Selanjutnya hukum digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa. Sifat hukum jadi positivis-instrumentalis dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, dan HAM.13 Hukum telah menjadi semacam “alat” dari golongan yang kuat (secara ekonomi) untuk “menekan” golongan yang lemah, sehingga hukum (dalam hal ini penegakannya) telah jauh dari orientasi keadilan. Hal ini “dicurigai” disebabkan oleh adanya gejala yang disebut dengan “gejala reduksi normatif”,14 dalam pemahaman hukum. Akibatnya, menimbulkan kesulitankesulitan teknis dalam penerapannya dan menghasilkan analisis yang yang kurang objektif (karena pengingkaran terhadap karakter objek). Dengan kata lain adanya gejala reduksi normatif dalam hukum ini telah mengabaikan “humanisme” hukum dalam penerapannya. Meskipun pola-pola reduksi ini berhasil menyederhanakan pola interaksi dan fungsi hukum dalam pola interaksinya, namun pada sisi lain struktur sistem hukum yang dibangun tersebut hanya melahirkan hukum sebagai norma. Penerapan liberalisasi ekonomi yang tercermin melalui perdagangan internasional, bagi negara-negara berkembang ternyata banyak mengundang masalah, terutama menyangkut kesiapan pelaku ekonomi dalam berkompetisi. Demikian pula dengan kesiapan perangkat hukum sebagai penunjang atas berlakunya liberalisasi perdagangan belum menampakkan supremasinya. Hal ini merupakan persoalan yang paling krusial bagi negara berkembang terutama mengenai eksistensi liberalisasi ekonomi yang dipercaya mampu menciptakan kemakmuran yang optimal bagi masyarakat. Slogan pasar bebas, perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, bertujuan untuk memaksimalkan kebebasan dan sumber-sumber yang harus diberikan kepada 12 hlm. 115 Lihat Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi. (1999), Lihat Harian Kompas, Edisi 27 September 2013 Lihat Lili Rasyidi dan I. B. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 9 13 14 ( 309 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 berbagai perusahaan transnasional untuk beroperasi. Pada saat yang sama negara industri maju menuntut minimalisasi campur tangan pemerintah untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Upaya berbagai perusahaan untuk merebut pasar bebas, deregulasi, dan privatisasi itu dimulai pada tingkat nasional dan seterusnya diperluas ke tingkat internasional dengan menggunakan konsep pasar bebas. Pradigma globalisasi ekonomi telah menjadi arus dominan, pembangunan sistem hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi kapitalistik yang oleh sebabnya sistem hukum modern memerlukan tatanan normatif yang dapat mendukung kerangka hukum rasional. Inilah yang kemudian menjadi tekanan Bank Dunia dan IMF, termasuk pula desakan sejumlah negara donor, dalam legal framework for development (kerangka hukum untuk pembangunan), yang memperkuat dan mempertegas disain pembaruan hukum negara-negara penerimama bantuan keuangan dari IMF ke arah paradigma hukum yang pro perdagangan bebas. Integrasi perekonomian dunia akan diikuti oleh harmonisasi hukum. Terbentuknya World Trade Organization (WTO) didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Ekonomi Eropa, NAFTA, AFTA serta APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dengan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.15 Globalisasi ekonomi menimbulkan implikasi yang luas pada bidang hukum. Globalisasi ekonomi turut menyebabkan tejadinya globalisasi hukum. Dalam kaitan ini globalisasi hukum tidak hanya didasarkan pada kesepakatan antar bangsa tetapi juga pada pemahaman mengenai tradisi hukum dan kebudayaan antara Barat dengan Timur. Globalisasi hukum terjadi melalui upaya-upaya standarisasi hukum di antaranya melalui perjanjianperjanjian internasional. Sementara itu globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis sejatinya telah lama terjadi. Hal ini disebabkan karena negara-negara maju banyak membawa bentukbentuk kontrak bisnis yang baru ke dalam negara berkembang seperti perjanjian joint venture, perjanjian lisensi serta perjanjian keagenan. Tidak mengherankan apabila bentuk-bentuk kontrak bisnis tersebut hampir sama di setiap negara.16 Untuk mengantisipasi masalah ini dalam hukum internasional, khususnya hukum perdagangan internasional, ada tiga teknik yang dapat dilakukan yakni : 1. negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya, sebaliknya mereka menggunakan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubunganhubungan hukum perdagangan mereka. 2. Apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati oleh salah satu pihak, hukum nasional negara tertentu dapat digunakan. Cara Lihat Bary Hufbauer, “International Trade Organization and Economies in Transiton: A Glimpse of The Twenty-First Century”, Law and Policy in International Business, Vol. 29, 1995, hlm. 108 16 Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, Lihat di http://www.ermanhukum.com, Diakses pada tanggal 10 Februari 2014 15 ( 310 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui prinsip choice of law. Choice of law adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak yang dituangkan dalam kontrak/perjanjian yang mereka buat. 3. Teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi hukum aturan-aturan subtantif hukum perdagangan internasional. Cara ini dipandang cukup efisien dan memungkinkan terhindarnya konflik diantara sistem-sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara. Unifikasi dan harmonisasi hukum mempunyai makna yang hampir sama walaupun terdapat juga perbedaan dikeduanya. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang baru. Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi perdagangan, jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negaranegara maju (converagence). Namun tidak ada jaminan peraturan tersebut memberikan hasil yang sama disemua tempat. Hal mana dikarenakan perbedaan sistim politik, ekonomi dan budaya. Karena apa yang disebut hukum tergantung pada persepsi masyarakatnya. Globalisasi hukum pada tataran berikutnya akan mengakibatkan peraturan-peraturan yang berlaku di negara berkembang khususnya mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa serta bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati atau berkiblat pada negara-negara maju (converagence). Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa peraturan-peraturan tersebut akan memberikan hasil yang sama di setiap negara. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan sistem politik, ekonomi dan kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Friedman bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum bergantung pada budaya hukum masyarakatnya. Sementara budaya hukum masyarakat bergantung pada budaya hukum para anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan bahkan oleh berbagai kepentingan. Dalam rangka menghadapi kondisi yang demikian, diperlukan check and balances di dalam bernegara. Check and balance dalam bernegara hanya dapat diwujudkan melaui keberadaan perlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri serta partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan.17 Perdagangan bebas dikatakan akan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi para pesertanya sekaligus akan mengurangi tingkat kesenjangan antar negara. Free trade akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada peningkatkan standar kehidupan. Namun demikian, harus pula dipahami bahwa fenomena perdagangan bebas tidak lain merupakan salah satu bagian dari skenario global. Tidak dapat dipungkiri bahwa hakikat globalisasi adalah gerakan perluasan pasar. Dalam setiap pasar yang berdasarkan 17 Ibid. (311 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 pada hukum persaingan akan selalu memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Dengan demikian, perdagangan bebas dapat pula justru berpotensi memperlebar kesenjangan di antara negara maju dengan negara pinggiran serta berpotensi membawa akibat pada komposisi masyarakat beserta kondisi kehidupannya. Contohnya pemberlakuan perjanjian dalam WTO yang memperkenalkan bidang perjanjian yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis, desain industri, paten dan lain-lain, hal mana meletakkan kewajiban kepada negara anggota untuk membuat aturan-aturan HKI nasionalnya sesuai dengan substansi WTO atau dengan kata lain telah terjadi globalisasi hukum melalui usaha-usaha standarisasi hukum antara lain melalui perjanjian-perjanjian internasional. Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang lahir dari perdagangan bebas ini tentu tidak akan jauh dari prinsip-prinsip perdagangan bebas yang menuntut persamaan. Semua pihak dianggap sebagai “kompetitor” yang harus mampu bertahan dalam pertarungan. Prinsip survival for the fittest. Mereka yang terkuat lah yang akan bertahan. Negara miskin dan berkembang akan menjadi “konsumen” negara maju yang sudah mapan konsep HKI-nya dengan melakukan proteksi dan stadarisasi produk. Liberalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha standarisasi hukum antara lain melalui perjanjian-perjanjian internasional. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994/ WTO misalnya, mencantumkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota yang kemudian menjadi substansi peraturan-peraturan nasional negara-negara anggota. Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkan. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metode komparatif. Metode-metode pembuatan suatu perjanjian internasional dalam rezim globalisasi dan perdagangan bebas, terdapat sejumlah prinsip yang digunakan , yang meliputi18: 1. Minimum standard, prinsip minimum standard ini banyak diterapkan dalam berbagai perjanjian internasional dengan maksud untuk memberikan jaminan keamanan bagi para pedagang asing. Dalam perkembangannya, prinsip ini telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional; 2. Standard of Identical Treatment, prinsip ini dapat diterapkan secara sempit atau luas dalam hubungan ekonomi di antara negara. Para raja jaman dahulu saling memberikan jaminan bahwa mereka akan memberikan perlakuan serupa kepada semua pedagangnya, misalnya dalam suatu perjanjian perdagangan dua pemimpin kerajaan sama-sama memberikan jaminan bahwa para pedagang mereka yang berniaga di wilayah kerajaan lain akan dibebaskan dari kewajiban militer atau mungkin pula masing-masing negara menjamin kebebasan berniaga dalam berbagai bidang kegiatan Lihat Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 53-56 18 ( 312 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas ekonomi; 3. Standard of National Treatment, standar ini memberikan persamaan perlakuan di dalam suatu negara, sehingga perlakuan terhadap orang asing adalah sama seperti perlakuan terhadap warga negara sendiri; 4. Most Favoured-Nation Treatment, berdasarkan prinsip ini negara-negara memberikan perlakuan sama seperti yang diberikan kepada negara ketiga. Standar ini memberikan kesamaan landasan bagi negara maju dan Negara berkembang, negara industri maupun agraris, dan dalam batas-batas tertentu antara sistem ekonomi bebas dan ekonomi terpimpin; 5. Standard of The Open Door, prinsip ini mirip dengan prinsip most favoured-nation treatment namun sebagai negara pembanding bukan hanya negara ketiga akan tetapi setiap negara peserta yang mendapat keuntungan dari padanya. 6. Standard of Preferential Treatment, prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip yang bermaksud untuk memberikan hak sama bagi semua pihak.Dalam sistem hubungan internasional yang luas, kedua sistem ini tidak dapat diberlakukan secara simultan tetapi dapat diharmonisasikan, misalnya dengan peraturan pengecualian atas prinsip MFN terhadap negara tetangga atau sesama negara anggota suatu persatuan pabean (custom union); 7. Standard of Equitable Treatment, prinsip ini diterapkan pada bidang yang terpengaruh oleh kebijakan suatu negara. Prinsip ini memberikan jalan keluar dalam keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan mata uang atau perubahan struktur ekonomi negara yang telah memaksa negara mengambil kebijakan pembatasan impor. Dalam keadaan seperti ini, prinsip ini merupakan satu-satunya cara untuk memberlakukan MFN dan mendapatkan keadilan proposional di antara negara-negara. Dalam lingkup penerapan prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan bebas, berarti kita membicarakan rekayasa hukum atau rekayasa sosial melalui hukum. Sehubungan dengan ini penggunaan hukum secara sadar untuk mengatur masyarakat, termasuk melakukan manipulasi-manipulasi, seperti perubahan-perubahan dalam masyarakat, dengan demikian hukum moderen memperoleh watak instrumentalnya.19 Hukum ini tidak dapat lain, kecuali membentuk hukum moderen yang merupakan bagian dari hukum-hukum yang bersifat mendunia. Pengaruh global terhadap hukum tidak dapat dielakkan, misalnya menyangkut pembuatan program legislasi, memenuhi tuntutan pasar bebas merupakan keharusan, dan juga terjadi tekanan-tekanan lembaga internasional, seperti WTO, IMF, World Bank. Globalisasi ekonomi dengan motor liberalisasi perdagangan dan keuangan tidak selalu memberikan keuntungan bagi semua orang (dan bangsa) di bumi ini.20 Konsep globalisasi Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 14 Lihat Ida Susanti dan Bayu Seto (Editor), Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan tentang Hukum IV, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1. 19 20 (313 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ekonomi dan perdagangan bebas, memerlukan perlindungan instrument hukum. Globalisasi bukanlah suatu gerakan yang harus ditahan dan dibendung, tapi sebaliknya, memerlukan nalar logik untuk menjauhkannya dari efek buruk bagi keadilan. III. PENUTUP Perdagangan bebas merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan penciptaan lapangan kerja dan menuntut setiap Negara lebih siap untuk dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang dihasilkan oleh WTO. Peluang dan manfaat bagi Negara anggota WTO hanya dapat diperoleh apabila memahami semua persetujuan WTO dan menerapkannya sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu prinsip dasar yang diatur didalam WTO selain perdagangan bebas adalah adanya perdagangan yang berkeadilan berkeadilan (Fair Trade). Namun, globalisasi ekonomi dengan motor liberalisasi perdagangan dan keuangan tidak selalu memberikan keuntungan bagi semua Negara didunia terutama bagi Negara-negara berkembang. Perdagangan bebas dan proteksi seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, perkembangan perdagangan internasional begitu cepat, bahkan lebih cepat daripada ekonomi nasional dari suatu negara. Namun disisi lain, proteksi perdagangan masih diterapkan oleh banyak negara di dunia, bahkan oleh negara maju sekalipun. Liberalisasi perdagangan yang tujuannya akan menghasilkan produk-produk yang memilki keunggulan komparatif, namun pada praktiknya, keunggulan komparatif ini seakan bergeser pada keunggulan kompetitif. Negara maju telah menjadikan WTO sebagai instrument untuk membuat produk-produk hukum yang sangat sulit untuk dipenuhi Negara-negara berkembang. Dengan demikian perdagangan yang berkeadilan dalam konsep perdagangan bebas bagi Negara-negara anggota WTO jauh dari orientasi keadilan. Esensi hukum dalam pradigma perdagangan bebas adalah hukum bersifat positivisinstrumentalis. Hukum didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya..Di sisi lain, hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Hukum digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa. dan mengabaikan aspekaspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan HAM. DAFTAR PUSTAKA Abbott, Roderick. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate Publishing Company, 2007. A.F. Elly Erawaty, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. ( 314 ) Globalisasi dan Perdagangan Bebas Bary Hufbauer, “International Trade Organization and Economies in Transiton: A Glimpse of The Twenty-First Century”, Law and Policy in International Business, Vol. 29, 1995. B. M. Kuntjoro Jakti. Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi. 1999. _______________, “Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. George Soul, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka:Dari Aristoteles Hingga Keynes, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Harian Kompas, Edisi 27 September 2013. Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2006. Ida Susanti, dkk (ed). Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Ida Susanti dan Bayu Seto (Editor), Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan tentang Hukum IV, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Lili Rasyidi dan I. B. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003. Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction. Mingst, Karen A. Essentials of International Relations. New York & London: W. W.Norton & Company, Inc., 1999. Nursalam Sianipar, Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar Bebas. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2001. Paul H. Lindert dan Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, Jakarta: Erlangga, 1986. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979. www.ermanhukum.com, Diakses pada tanggal 10 Februari 2014 www.institute-for­-global-Justice.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2014. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997. (315 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 316 ) Peran ICRC PERAN ICRC TERHADAP PEMAJUAN DAN PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Sri Rahayu* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Muhammad Ashri* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Tri Fenny Widayanti* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Abstract: ICRC as an independent international organization in the field of humanity has shown a variety of its role in promoting and enhancing respect for human rights, both in condition of war, conflict, disaster as well as under normal conditions. The involvement of ICRC in war or normal conditions according to several parties from the Government of the Republic of Indonesia, often exceed the authority that has mandated by the Geneva Conventions of 1949. Abstrak: ICRC sebagai organisasi internasional yang independen di bidang kemanusiaan, telah menunjukkan berbagai perannya dalam memajukan dan meningkatkan penghormatan hak asasi manusia, baik dalam kondisi perang, konflik, bencana, maupun dalam kondisi normal. Keterlibatan ICRC menurut beberapa pihak dari Pemerintah Republik Indonesia, sebenarnya seringkali melebihi kewenangan yang telah diamanatkan oleh Konvensi Jenewa 1949. * Praktisi Hukum Internasional. Sarjana Hukum (S.H.) 2013 dari Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. * Guru Besar Hukum Perjanjian Internasional, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1988 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister Ilmu Hukum (M.H.) 1994 dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) 2008 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. * Pengajar pada Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 2005 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister Ilmu Hukum (M.H.) 2008 dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. (317 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 I. PENDAHULUAN Penegakan Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disingkat HAM) merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Maraknya kasus pelanggaran HAM hingga saat ini1, merupakan bukti bahwa berbagai instrumen hukum penegakan HAM belum diimplementasikan secara maksimal. Pelanggaran HAM yang tidak hanya terjadi di negara-negara konflik seperti, Afghanistan, Irak, Myanmar, Sudan, Libya, dan lain-lain2. Bahkan juga terjadi di negaranegara damai seperti, Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan lain-lain3, menjadi contoh bahwa kasus pelanggaran HAM bukanlah sesuatu hal yang dapat disepelekan. Bahkan, kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan sebagai kasus yang berlangsung terus menerus sepanjang masa (everlasting case). Hukum internasional sebagai acuan dalam pelaksanaan ketertiban dunia hendaknya memiliki peran yang sangat vital dalam mencegah maupun meredam pelanggaran HAM yang kerap terjadi. Sebagai upaya untuk menekan itu, hukum internasional kemudian merancang berbagai instrumen hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Negara sebagai subjek hukum internasional utama4 yang memiliki otoritas terbesar dalam melindungi terjaminnya HAM setiap warga negaranya, seringkali lalai dalam melaksanakan kewajibannya. Sebagai negara hukum5 yang telah meratifikasi berbagai instrumen hukum internasional tentang HAM dan banyaknya peraturan perundang-undangan tentang HAM yang telah dibuat, hendaknya mampu menekan Indonesia bahkan menghentikan praktikpraktik pelanggaran HAM yang kerap terjadi. Pemerintah Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi memiliki kewajiban yang sangat besar dalam mengusut, menghentikan, dan mencegah berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Bahkan, pemerintah Indonesia hendaknya mampu mengambil berbagai tindakan yang dianggap perlu sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Organisasi internasional sebagai salah satu subjek hukum internasional juga memiliki kapasitas dalam pencegahan maupun penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Kehadiran berbagai organisasi internasional tersebut merupakan suatu perkembangan positif dalam hukum internasional itu sendiri6. Bahkan, saat ini organisasi internasional memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan kebijakan vital secara internasional di berbagai bidang. Misalnya, United Nations Security Council (UNSC) yang memiliki fungsi utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan intrenasional melalui dua cara, yaitu penyelesaian secara damai sengketa-sengketa Amnesty International, Amnesty International Report 2012 The State of The World’s Human Rights, United Kingdom, Amnesty International, 2012 2 United Nations High Commissioner for Refugee, Conflict Affected Fragile States, 2012, http://www. unhcr.org/refworld/country,,STC,,HTI,,490591492,0.html diakses pada 2 Oktober 2012 3 bid. 4 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 17 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) 6 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Bagian 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 798 1 ( 318 ) Peran ICRC internasional yang dipandang mengancam perdamaian dan keamanan internasional serta melakukan tindakan pemaksaan jika cara pertama dianggap tidak berhasil7. Khusus mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai organisasi terbesar di dunia,8 selain memiliki badan utama seperti United Nations General Assembly (UNGA), United Nations Security Council (UNSC), Economic and Social Council, International Court of Justice, Trusteeship Council, Secretariat, dan Repertory of Practice of United Nations Organs9 juga memiliki lembaga-lembaga lain yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi tersendiri sebagai upaya untuk mendukung kinerja PBB. Lembaga yang berada di bawah naungan PBB seperti Office of High Commissioner for Human Rights (OHCHR), United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), Office of the United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), dan beberapa lembaga internasional lainnya seperti, International Committee of the Red Cross (ICRC), Amnesty International, Human Rights Watch, Human Rights Action Center, Simon Wiesenthel Center, National Association for the Advancement of Colored People (NAACP), United State Department Bureau of Democracy, Human Rights and Labor. Selain itu, juga terdapat beberapa lembaga regional lainnya seperti The Asian Human Rights Commission (AHRC), African Commission on Human Rights and Peoples’ Rights, European Commission Directorate for Employment, Social Affairs and Equal Opportunities, Europian Union Ombudsman, Commission for Human Rights, Council of Europe, Office of Democratic Institutions and Human Rights of The Organization for Security and CoOperation in Europe (OSCE)10, dan lain-lain yang merupakan beberapa lembaga internasional yang mempunyai kewenangan sesuai tugas dan fungsinya untuk turut aktif dalam menjaga ketertiban dunia, khususnya di bidang kemanusiaan. Hampir keseluruhan organisasi internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan terbentuk saat kondisi damai11 (pasca konflik12). Namun juga terdapat organisasi internasional kemanusiaan lain yang pembentukannya didasarkan pada pengalaman saat konflik sedang terjadi. Perang antara Perancis dan Italia melawan Austria pada tanggal 24 Juni 185913 akhirnya melahirkan dua gagasan penting, yaitu membentuk organisasi kemanusiaan internasional yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang dan mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang juga perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 34 8 The Washington Post, International Organizations on the Web, http://www.washingtonpost.com/wpsrv/inatl/longterm/intorgs.htm diakses pada 29 Januari 2013 9 United Nations, Main Bodies, http://un.org/en/mainbodies/index.shtml diakses pada 29 Januari 2013 10 United For Human Rights, Human Rights Organizations: Intergovernmental and Governmental Organizations,http://www.humanrights.com/voices-for-human-rights/human-rights-organizations/ governmental.html diakses pada 6 Oktober 2012 11 Human Rights Watch didirikan pada tahun 1978 dan Amnesty International didirikan pada tahun 1961. Kesemuanya didirikan saat Perang Dunia II telah berakhir. 12 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan 13 PMI, Dunia Palang Merah, (Jakarta: PMI, 2009), hlm. 2 7 (319 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 waktu memberikan pertolongan pada saat perang14. Kedua gagasan inilah yang kemudian menjadi alasan kuat dalam melatarbelakangi terbentuknya ICRC. Pembentukan ICRC ini kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah bagi penghormatan HAM saat konflik. “Even wars have limits” kalimat inilah yang kemudian menjadi dasar bagi terbentuknya Hukum Humaniter Internasional (HHI)15. Keempat Konvensi Jenewa 1949 (KJ 1949) sebagai implementasi dari HHI mendapat apresiasi luar biasa dari hampir seluruh negara di dunia. Sebanyak 194 negara16 telah menjadi bagian dari KJ 1949. Tidak hanya itu, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (PT I KJ 1977) dan Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1977 (PT II KJ 1977) juga menjadi pelengkap KJ 1949. Sedangkan Protokol Tambahan III Konvensi Jenewa 2005 (PT III KJ 2005) berhasil mengadopsi penggunaan sebuah lambang baru, yaitu kristal merah selain palang merah dan bulan sabit merah17. Berbagai perjanjian internasional telah dibuat atas prakarsa ICRC sebagai bentuk penghormatan HAM saat konflik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ICRC memiliki peran yang vital dalam menjamin terlindunginya HAM seluruh pihak yang terlibat saat konflik sedang berlangsung. Namun, bagaimanakah peran ICRC saat konflik telah usai (kondisi damai)? Apakah ICRC tetap berperan dalam menjamin penghormatan HAM? Lantas, bagaimanakah posisi pemerintah suatu negara (dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia) dalam menjamin HAM warga negaranya saat ICRC juga turut berperan dalam menjamin HAM? II. METODE PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Dalam penyelesaian penelitian ini, Penulis memilih empat lokasi penelitian, yaitu: a. Kantor Perwakilan Regional ICRC Jakarta; b. Kantor Direktorat Jenderal Hukum Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia; c. Perpustakaan Direktorat Jenderal Hukum Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia; d. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu: Universitas Sumatera Utara, Tinjauan Umum tentang ICRC, hlm. 19 http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/21986/3/Chapter%20II.pdf diakses pada 7 Oktober 2012 15 Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law (IHL) adalah aturanaturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalahmasalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun non-internasional. Demi alasan kemanusiaan, aturan-aturan tersebut membatasi hak pihak-pihak yang terlibat konflik dalam hal pemilihan cara dans arana berperang dan melindungi orang-orang serta benda-benda yang terkena, atau kemungkinan terkena dampak konflik. 16 ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/ CONVPRES?OpenView diakses pada 29 Januari 2013 17 ICRC, Kenali ICRC, (Jakarta: ICRC, 2006), hlm. 12 14 ( 320 ) Peran ICRC a. Data Primer atau data dasar yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. Data ini merupakan penjelasan langsung yang diperoleh oleh beberapa responden, yaitu: i. Kushartoyo BS, Pusat Dokumen ICRC Regional Jakarta ii. Raudin Anwar, Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum Perjanjian Internasional/ Sesditjen HPI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia iii. Shanti Damayanti, Staf Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keawanan Wilayah/PI Polkamwil Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia b. Data Sekunder atau data pendukung yang diperoleh dari berbagai literatur baik berbagai bahan hukum, buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, dokumen, arsip, dan lainlain yang berkaitan dengan penelitian ini. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a. Wawancara dilakukan dalam bentuk Tanya jawab langsung dengan responden dengan menggunakan metode bebas terpimpin untuk memperoleh data primer yang relevan dengan penelitian ini. b. Studi literatur (literature research) yang ditujukan untuk memperoleh data sekunder dari berbagai bahan, dokumen, informasi, dan lain-lain yang kemudian akan dijadikan acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada. 4. Analisis Data Berdasarkan data primer dan data sekunder yang telah diperoleh, Penulis kemudian mengolah data tersebut dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data tersebut kemudian dituliskan secara deskriptif untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Landasan Hukum Status hukum ICRC berdasarkan HHI adalah unik. ICRC tidak terkait dengan pemerintah negara manapun dan bukan bagian dari PBB. ICRC bukan pula Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga bukan organisasi aktivis HAM.18 Di kebanyakan negara di mana ICRC bekerja, ICRC mengadakan perjanjian tingkat markas besar dengan pihak berwenang. Perjanjian ini tunduk pada hukum internasional dan memberi ICRC sejumlah hak istimewa dan kekebalan. Misalnya, kekebalan terhadap proses hukum, yang melindunginya dari sidang administratif dan sidang pengadilan, serta tidak dapat diganggu gugatnya gedung, arsip, dan dokumen-dokumen ICRC lainnya. Hak istimewa dan kekebalan ICRC itu harus ada pada ICRC supaya ICRC dapat bekerja secara netral dan mandiri. ICRC juga mengadakan perjanjian tingkat markas besar dengan negara Swiss yang menjamin kemandirian dan kebebasan bertindak ICRC dari pemerintah Swiss.19 18 19 ICRC, Kunjungan Kepada Tahanan, (Jakarta: ICRC, 2008), hlm. 16 ICRC, Kenali ICRC, Loc.Cit (321 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 a. ICRC sebagai international person Terdapat beberapa doktrin hukum yang menyatakan bahwa ICRC telah diakui memiliki “international personality” karena telah diakui sebagai “international person”. Roland Portmann menyatakan bahwa: It was not the ICRC’s effective influence in international relations that was decisive, but rather that the relevant provisions of the Geneva Conventions and the agreements concluded by the ICRC indicated that states must have recognized the ICRC as an international person by implication.20 Selain itu, diakuinya ICRC sebagai salah satu subjek hukum internasional karena hal tersebut dianggap relevan oleh doktrin hukum pada kasus ICTY (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia)21. Keikutsertaan pegawai ICRC sebagai saksi (yang sebelumnya diajukan amicus curiae22 oleh ICRC), keputusan penuntut umum yang menyatakan bahwa hak internasional yang dimiliki ICRC memang ada (dalam hal memberikan kesaksian), terdapat sebanyak 194 negara23 yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa, doktrin hukum yang secara luas berlaku, merupakan beberapa alasan mengapa ICRC memiliki “legal personality” pasca ICTY. b. Kegiatan ICRC Dalam situasi selain konflik bersenjata, ICRC mempunyai hak inisiatif yang sudah diakui, sebagaimana diuraikan terutama dalam Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, yang memungkinkan organisasi ini untuk menawarkan pelayanannya tanpa membuat penawaran tersebut menjadi campur tangan urusan dalam negeri negara yang bersangkutan ataupun menjadi pemberian status tertentu kepada pihak manapun. Dalam menyikapi konsekuensi kemanusiaan dari penggunaan kekuatan dalam situasi non-konflik bersenjata, ICRC tidak mengacu pada keseluruhan spektrum instrumen hukum HAM internasional. ICRC hanya mengacu pada Roland Portmann, Legal Personality in International Law, (New York, Cambridge University Press, 2010), hlm. 112-114 21 ICTY adalah singkatan dari The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia. ICTY tersebut adalah pengadilan PBB yang mengadili berbagai tindakan kejahatan yang terjadi di dalam perang Bekas Yugoslavia tahun 1990-an. Pengadilan ini didirikan tahun 1993 lalu untuk mengadili kejahatan perang seperti pembunuhan secara massal, penyiksaaan, dll yang terjadi di Kroasia, Bosnia Herzegovina berdasarkan pasal ke-7 dari Piagam PBB. Selain pengadilan terhadap penjahat perang yang didirikan di Tokyo dan Nuremberg setelah Perang Dunia kedua, ICTY merupakan satu-satunya pengadilan terhadap penjahat perang. ICTY terdiri atas 3 buah badan meliputi ‘Chambers’ atau majelis, ‘Office of the Prosecutor’ atau kantor kejaksaan, dan ‘Registry’ atau kantor pendaftaran, serta ‘Chambers’ memiliki 3 buah pengadilan. Di pengadilan masing-masing, ada 3 orang hakim yang tetap dan 6 orang yang tidak tetap. 22 Menurut Black’s Law Dictionary, Amicus curiae, a Latin term which literally means “friend of the court,” is defined in Black’s Law Dictionary as “[a] person who is not a party to a lawsuit but who petitions the court or is requested by the court to file a brief in the action because that person has a strong interest in the subject matter. 23 ICRC, International Humanitarian Law, Loc.Cit. 20 ( 322 ) Peran ICRC aturan-aturan dasar yang melindungi manusia dalam situasi kekerasan. Aturanaturan dasar ini merupakan bagian kecil tetapi sentral dan esensial dari hukum HAM internasional.24 Dalam konflik bersenjata non-internasional, ICRC juga mempunyai hak inisiatif yang telah diakui oleh masyarakat internasional sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ketentuan yang sama pada Konvensi-konvensi Jenewa. ICRC pada khususnya boleh menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang berperang dalam rangka mengunjungi orang-orang yang dicabut kebebasannya sehubungan dengan konflik bersenjata, dengan tujuan untuk memverifikasi kondisi penahanan mereka dan memulihkan kontak antara mereka dan keluarga. Pasal 3 ketentuan yang sama tersebut menjelaskan bahwa hal ini “tidak mempengaruhi status hukum pihak-pihak peserta konflik.”25 Dalam konflik internasional, negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokol Tambahan 1977 terikat untuk menerima kegiatan kemanusiaan ICRC sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 126 Konvensi Jenewa III dan Pasal 143 Konvensi Jenewa IV. Hak inisiatif ICRC juga diakui dalam Pasal 9-10 dan Pasal 81 Additional Protocol I yang menetapkan bahwa negara-negara peserta konflik harus memberi ICRC semua sarana yang ada dalam kewenangan mereka agar ICRC dapat melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiaan yang ditugaskan kepadanya oleh Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan tersebut dengan tujuan untuk memastikan perlindungan dan bantuan bagi korban konflik.26 2. ICRC dan Perhimpunan Nasional Di negara-negara yang dilanda konflik, PN dan ICRC bekerja sama untuk mengurangi penderitaan manusia dengan meningkatkan operasi bantuan bersama bagi para korban. Di mana terjadi konflik bersenjata atau ketegangan dalam negeri, ICRC mengkoordinasi semua masukan dari berbagai komponen Gerakan serta mendukung PN setempat melalui berbagai tindakan peningkatan kemampuan, terutama di bidang manajemen operasional dan pengembangan sumber daya manusia. Karena PN dan ICRC berbagi tanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada para korban konflik, mereka membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan misi bersama ini. ICRC telah mengembangkan keahlian yang cukup besar dalam pengembangan HHI dan prinsip-prinsip dasar gerakan serta telah mempunyai pengalaman aksi yang kokoh dalam konflik, termasuk melakukan pencarian, yang merupakan tanggung jawab utama sebuah PN. Pengetahuan khusus ini sangat berharga bagi PN, sebab mereka dapat mengandalkan dukungan ICRC untuk meningkatkan kinerja mereka di bidang-bidang tersebut27. 24 25 26 27 ICRC, Kekerasan dan Penggunaan Kekuatan, (Jakarta: ICRC, 2012), hlm 52 Ibid. Ibid., hlm. 53 ICRC, Kenali ICRC, Op.Cit., hlm. 15 (323 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Sebaliknya, jaringan luas dan pengetahuan mendalam mengenai kondisi lokal yang dimiliki oleh PN merupakan aset yang amat penting bagi ICRC dalam merencanakan dan melaksanakan operasi-operasinya. Bidang-bidang utama kerja sama antara ICRC dan PN mencakup: 1. Penyediaan keahlian teknis dan bantuan material serta keuangan kepada PN untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan, struktur, dan hubungan kerja sama mereka sehingga mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara efektif dan efisien. 2. Pemberian saran dan dukungan kepada PN mengenai kepatuhan terhadap syaratsyarat bagi pengakuan sebagai sebuah Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, mengenai pengesahan dan revisi Anggaran Dasar mereka dan mengenai masalah-masalah hukum lainnya, terutama yang terkait dengan implementasi HHI atau kepatuhanterhadap hukum tersebut. 3. Peningkatan pertukaran informasi operasional dan peningkatan kordinasi kegiatan di antara komponen-komponen Gerakan dalam rangka memanfaatkan dengan sebaik-baiknya sumber daya yang tersedia dan membantu memperkuat tindakan saling mendukung di antara mereka demi para korban konflik bersenjata dan situasi kekerasan dalam negeri dan demi penerima bantuan, sesuai dengan Perjanjian Seville. Kegiatan kerja sama dilaksanakan dengan cara berkonsultasi dan berkordinasi secara erat dengan FI yang memegang peran sebagai pemimpin dalam membantu PN melaksanakan keseluruhan upaya pengembangan diri mereka28. Tujuan kerja sama ICRC adalah meningkatkan kemampuan PN untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai anggota dari Gerakan dalam memberikan pelayanan kemanusiaan di negara masing-masing. ICRC terutama membantu dan mendukung PN dalam kegiatan mereka untuk: 1. Memberikan bantuan kepada para korban konflik dan ketegangan dalam negeri (kesiapsiagaan dan penanggulangan). 2. Mempromosikan HHI dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dasar, cita-cita, dan kegiatankegiatan Gerakan. 3. Memulihkan hubungan antara anggota keluarga yang tercerai berai sebagai bagian dari jaringan kerja pencarian Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia29 Secara bekerja sama dengan PN setempat, ICRC mengembangkan program pertolongan pertama pra-rumah sakit serta program evakuasi dan transportasi korban luka. ICRC juga meningkatkan kapasitas Perhimpunan Nasional untuk memberikan tanggapan (respons) terhadap situasi darurat, misalnya dengan menyelenggarakan kursus pertolongan pertama bagi para relawan yang isinya ialah teknik penyelenggaraan dan teknik penyelamatan. ICRC juga dapat memberikan peralatan komunikasi dan ambulans kepada PN untuk membantu mereka mempersiapkan diri menghadapi keadaan darurat. 28 29 Ibid., hlm. 16 ICRC, Kenali ICRC, Loc.Cit. ( 324 ) Peran ICRC 3. ICRC di Indonesia ICRC di Indonesia pertama kali pada masa pendudukan Jepang terjadi pada tahun 1942. Selanjutnya dibentuklah berbagai kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan ICRC sebagai salah satu bentuk upaya melegalkan seluruh kegiatan ICRC di Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan tersebut antara lain: a. Memorandum of Understanding (MoU)30 tentang kunjungan tahanan politik/keamanan yang ditandatangani pada 30 November 1977. b. Headquarter Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the International Committee of the Red Cross on the Establishment of the ICRC Regional Delegation in Jakarta yang ditandatangani pada 19 Oktober 1987. c. Memorandum of Understanding (MoU) untuk mengatasi masalah kesehatan dan kesehatan lingkungan di berbagai lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang ditandatangani pada tahun 2011. ICRC juga pada tahun-tahun awal keberadaannya di Indonesia, telah membuka beberapa kantor sub-delegasi di berbagai daerah, seperti: a. Tahun 1989, membuka kantor di Jayapura. b. Tahun 1998, ICRC meninggalkan Papua dan membuka kantor di Aceh di bawah payung Palang Merah Indonesia (PMI) c. Tahun 2000, kantor ICRC dibuka di Ternate dan Ambon. d. Tahun 2001, kantor ICRC dibuka kembali di Papua sementara kantor di Ambon ditutup. e. Tahun 2002, kantor di Ternate ditutup. f. Tahun 2003, kantor di Aceh ibuka kembali setelah pertemuan antara Presiden Megawati Soekarno Putri dengan Presiden ICRC Jacob Kellenberg. g. Tahun 2009, pemerintah Indonesia menyampaikan keinginannya kepada ICRC untuk merundingkan kembali kesepakatannya 1977 dan 1987 dan meminta agar ICRC menutup sub-delegasinya di Aceh dan Papua. ICRC pun kemudian menutup kantor sub-delegasinya di Aceh dan Papua. Adapun mandat ICRC di Indonesia berdasarkan Article III Headquarter Agreement tahun 1987, yaitu: a. Strengthen and develop relations between the ICRC and the Governments within the region. b. To promote the Ingternational Humanitarian Law and the principles of the Red Cross within the region. c. To strengthen the ties between the ICRC and the National Red Cross and Red Crescent Societies of the region. d. To give support and assistance to the National Red Cross and Red Crescent Societies where and whenever needed. 30 Nota Kesepahaman (325 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 4. Kondisi Penghormatan HAM di Indonesia Landasan Hukum a. Lingkup Internasional i. Bill of Human Rights yang terdiri atas31: • Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mulai berlaku pada 10 Desember 194832 • Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sosial dan Politik yang mulai berlaku pada 16 Desember 197633 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 200534 • Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mulai berlaku pada 3 Januari 197635 dan telah diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 11 Tahun 200536 ii. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, yang mulai berlaku pada 26 Juni 198737 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 199838 iii. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Perang Pertempuran Darat 1949, yang mulai berlaku pada 21 Oktober 195039 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 195840 iv. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka, Sakit, dan Korban Karam 1949, yang mulai berlaku pada 21 Oktober 195041 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 195842 v. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang 1949, yang mulai berlaku pada 21 Oktober 195043 dan telah diratifikasi melalui Undang31 Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Human Rights Instruments, 2012, http://www2.ohchr.org/english/law/ diakses pada 3 Desember 2012 32 Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan di Indonesia, (Jakarta, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012), hlm. 5 33 Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Loc.Cit. 34 Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, dkk, Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan di Indonesia, Op.Cit., hlm. 13 35 Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Loc.Cit. 36 Rhona K. Smith, Hukum HAM, (Yogyakarta: Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008), hlm. 300 37 Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Loc.Cit. 38 Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, dkk, Op.Cit., hlm. 6 39 ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/ INTRO/365OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 40 Fadillah Agus dalam presentasi training Hukum HAM untuk dosen pengajar HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) DI Yogyakarta, 22-24 September 2005, http://pushamuii.ac.id/download/ham/ hukum%20humaniter.pdf diakses pada 24 Januari 2013 41 ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/ INTRO/370OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 42 Fadillah agus, Loc.Cit. 43 ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/ ( 326 ) Peran ICRC Undang Nomor 59 Tahun 195844 vi. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil Pada Masa Perang 1949, yang mulai berlaku pada 21 Oktober 195045 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 195846 vii. Statuta ICRC. viii. Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. b. Lingkup Nasional i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ii. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia iii. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia iv. Perjanjian Markas Besar antara Pemerintah Republik Indonesia dan ICRC tentang Pendirian kantor delegasi ICRC Regional di Jakarta yang ditandatangani pada 19 Oktober 1987. Respon Pemerintah Terhadap Isu Hak Asasi Manusia a. Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Terkait peristiwa GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak, TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan. Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali merusak proses dialog. Pada 19 Agustus 2002, Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir hingga akhir Ramadhan, yaitu tanggal 7 Desember 2002 untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia. Tidak lama sebelum berakhirnya Agustus 2002, pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. “Kami mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai,” demikian pengumuman tersebut. Berbagai perundingan telah diadakan sebagai bentuk respon pemerintah atas konflik yang terjadi di Aceh. Undang-undang otonomi khusus pun juga telah dibuat sebagai jalan keluar atas maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM. INTRO/375OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 44 Fadillah agus, Loc.Cit. 45 ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/ INTRO/380OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 46 Fadillah agus, Loc.Cit. ( 327 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik. Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik pemerintah. Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang “bertingkah”, pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu pemerintah bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai. Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi tersebut mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa sematamata diselesaikan secara militer. Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi pemerintah jika korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari “kerusakan besar-besaran”. Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai “perang kemanusiaan” itu. b. Penyanderaan Papua Terkait dengan peristiwa penyanderaan di Mapnduma pada 8 Januari 1996, Els-HAM Papua dalam laporannya -mengacu pada laporan tiga gereja di Timikamengatakan bahwa ABRI kembali melakukan serangkaian tindak kekerasan yang melanggar HAM antara Januari-Mei 1996 di Bela, Alama, Jila, dan Mapnduma, melalui sebuah operasi secara diam-diam (silent operation) ketika saat yang sama pihak gereja, tokoh masyarakat, dan ICRC sedang dalam proses negosiasi dengan pihak OPM untuk pembebasan sandera secara damai. “Ada 7 perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3 tahun dan 2 diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan ( 328 ) Peran ICRC granat yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati seketika, 2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4 orang dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi.” Pasukan ABRI menduduki daerah perkampungan disekitar pegunungan tengah itu dan memusnahkan kebun dan ternak peliharaan masyarakat, sehingga mereka mengungsi ke hutan-hutan, dan akibatnya, sekitar 213 orang masyarakat meninggal dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit. Tindakan sepihak ABRI telah menggagalkan upaya negosiasi, dan kemudian yang terjadi adalah “operasi militer pembebasan sandera”. Operasi pembebasan sandera ini berlangsung dari tanggal 9-13 Mei 1996 di desa Ngeselema, yang melibatkan ABRI, 16 anggota pasukan elit Angkatan Udara Inggris (SAS). Akibat operasi ini, 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2 warga Indonesia yang disandera dibunuh, dan rumah serta harta benda masyarakat di desa Ngeselema, Uarem, Nolid, dan Yenggelo dibumihanguskan. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Statuta ICRC dan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, peran ICRC, yaitu: 1. Memelihara dan menyebarluaskan prinsip-prinsip dasar Gerakan. 2. Melaksanakan pengakuan terhadap setiap PN yang baru didirikan atau yang dibentuk kembali, yang telah memenuhi syarat untuk diakui dan memberitakan kepada PN di seluruh dunia mengenai pengakuan tersebut. 3. Melaksanakan tugas yang dibebankan oleh KJ 1949, bekerja untuk melaksanakan HHI yang berlaku dalam pertikaian bersenjata dan memperhatikan keluhan-keluhan berdasarkan dugaan adanya pelanggaran terhadap hukum tersebut. 4. Setiap saat berupaya sebagai lembaga netral yang melaksanakan kegiatan kemanusiaan terutama pada saat pertikaian bersenjata maupun kerusuhan dalam negeri, menjamin perlindungan dan terhadap korban-korban militer dan penduduk sipil dari konflik tersebut dan akibat langsung dari padanya. 5. Menjamin bekerjanya Biro Pusat Pencarian47 yang ditetapkan dalam KJ 1949. 6. Membantu melatih petugas kesehatan menyediakan alat-alat kesehatan, bekerja sama dengan PN, instansi kesehatan militer dan sipil serta pihak lainnya untuk persiapan bila terjadi konflik bersenjata. 7. Menyebarluaskan pengertian dan penyebaran HHI yang berlaku pada saat terjadi konflik bersenjata dan mengadakan kesiapan bagi perkembangannya. 8. Menjalankan mandat yang dipercayakan kepadanya oleh konferensi internasional. 9. ICRC dapat mengambil prakarsa kegiatan kemanusiaan yang sesuai dengan perannya sebagai suatu lembaga penengah netral yang khusus dan independen serta mempertimbangkan setiap pernyataan yang membutuhkan penelitian oleh lembaga48 47 48 Central Tracing Agency (CTA) Universitas Sumatera Utara, Op.Cit., hlm.33 (329 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 4. Peran ICRC dalam Kondisi Konflik Sejak Konvensi Jenewa I 1864, ICRC bekerja meningkatkan perlindungan bagi korban perang dengan cara mendorong negara-negara untuk menyusun dan mengadopsi standarstandar hukum yang baru. Para ahli hukum ICRC menyelenggarakan dan berpartisipasi dalam berbagai rapat dan konferensi mengenai permasalahan kemanusiaan. Jika melihat pelanggaran aturan perang, ICRC akan mengadakan pendekatan rahasia kepada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Jika pelanggarannya serius, berulang, dan dipastikan akan terjadi lagi, dan jika pendekatan rahasianya itu gagal, ICRC berhak menyatakan pendirian di depan umum dengan mengecam kegagalan untuk menghormati HHI tersebut, asalkan publisitas semacam itu oleh ICRC dianggap perlu demi kepentingan orang-orang yang terkena atau terancam oleh pelanggraan-pelanggaran tersebut. Langkah semacam itu bersifat pengecualian. Bukanlah tugas ICRC untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas pelanggaran HHI. Setiap negara peserta KJ 1949 wajib memasukkan ke dalam hukum nasionalnya ketentuan mengenai penindakan terhadap pelanggaran HHI, termasuk mengenai penuntutan dan ekstradisi atas penjahat perang. ICRC aktif mengupayakan agar senjata yang digunakan maupun senjata yang masih dalam pengembangan sesuai dengan ketentuan HHI. Dua hal mengenai persenjataan menjadi kepedulian kemanusiaan: (1) apakah sebuah senjata tertentu bersifat membabi buta sehingga sangat mungkin menimbulkan kematian dan luka-luka di kalangan sipil? (2) apakah senjata ini menimbulkan penderitaan yang lebih besar daripada yang diperlukan bagi tujuan militer tertentu? Kedua hal ini merupakan pokok dari kampanye pelarangan ranjau darat yang berpuncak dengan diadopsinya Konvensi 1997 tentang Pelarangan atas Penggunaan, Penimbunan, Pembuatan, dan Pemindahan Ranjau Darat Antipersonil dan Tentang Penghancurannya (Konvensi Ottawa). Pada tahun 2000, usai konflik Kosovo, ICRC mengupayakan perjanjian internasional baru tentang bahan peledak lain sisa perang. Upaya ini didukung oleh banyak LSM dan pemerintah. Sesuai perundingan antara negara-negara peserta Konvensi 1980 tentang Senjata Konvensional Tertentu, dibuatlah perjanjian internasional baru untuk memperkecil bahaya dari bahan peledak sisa perang. ICRC juga prihatin dengan senjata-senjata terbaru yang sedang dikembangkan. Pada dasarwarsa 1990-an dilakukan kampanye untuk mewujudkan pelarangan senjata laser yang membutakan. Tujuan tersebut tercapai pada tahun 1995. ICRC tahu bahwa kemajuan semacam itu, yang sebenarnya dimaksudkan demi manfaat kemanusiaan, bisa dipakai untuk membuat senjata biologis dan kimiawi yang lebih efektif. Oleh karena itu, ICRC pada tahun 2002 secara terbuka mengingatkan kalangan pemerintah, institusi militer, dan ilmuwan tentang kewajiban hukum dan kewajiban moral mereka untuk mencegah terjadinya peracunan dan penyebaran penyakit menular secara sengaja sebagai metode perang. Ada bukti kuat bahwa tersebar luasnya berbagai senjata militer ukuran kecil ( 330 ) Peran ICRC berdampak buruk pada penghormatan HHI dan pemberian bantuan kepada korban perang. ICRC berpartisipasi dalam diskusi-diskusi internasional tentang masalah tersebut dengan menjelaskan besarnya dampak negatif dari bebasnya peredaran senjata dan amunisi terhadap penduduk sipil. ICRC mendorong pemerintah-pemerintah untuk memperhitungkan, ketika membuat keputusan tentang pengiriman senjata, bagaimana kemungkinannya pihak penerima akan menghormati HHI. Dalam kaitannya untuk melindungi manusia dalam situasi konflik atau kekerasan bersenjata, misi ICRC ialah untuk memperoleh penghormatan sepenuhnya terhadap isi dan jiwa HHI. ICRC berupaya untuk: 1. Memperkecil bahaya yang mengancam orang-orang dalam situasi semacam itu. 2. Mencegah dan menghentikan perlakuan semena-mena terhadap mereka. 3. Mengupayakan agar hak-hak mereka diperhatikan dan suara mereka didengar. 4. Memberi mereka bantuan. ICRC melakukan hal ini dengan cara terus berada di dekat para korban konflik dan kekerasan maupun dengan cara menjalin dialog secara tertutup dengan pihak-pihak yang terlibat, baik negara maupun non-negara. Langkah formal pertama yang diambil oleh ICRC ketika suatu konflik pecah ialah mengingatkan para pihak berwenang akan tanggung jawab dan kewajiban mereka terhadap penduduk sipil, tawanan, dan prajurit yang terluka dan yang sakit, dengan mengutamakan penghormatan terhadap integritas fisik dan martabat mereka. Setelah melaksanakan surveisurvei secara independen, ICRC selanjutnya mengajukan rekomendasi kepada para pihak berwenang untuk mengambil tindakan nyata –yang bersifat preventif maupun korektif- untuk memperbaiki situasi penduduk yang terkena dampak konflik itu. Pada saat yang sama, ICRC mengambil tindakan atas prakarsanya sendiri untuk menanggapi kebutuhan-kebutuan yang paling mendesak, terutama dengan cara: 1. Memberikan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. 2. Mengevakuasi dan/atau memindahkan orang-orang yang berada dalam bahaya. 3. Memulihkan dan memelihara hubungan antara anggota keluarga yang terpisah dan mencari orang hilang. Menyangkut tempat-tempat penahanan, ICRC juga melaksanakan sejumlah program berjangka panjang dan terstruktur untuk memberikan bantuan teknis dan bantuan material kepada pihak berwenang. Perlindungan adalah bagian utama dari kegiatan ICRC dan menjadi bagian inti dari mandat ICRC maupun dari HHI. ICRC hadir di wilayah-wilayah yang penduduk sipilnya berada dalam bahaya. ICRC menjalin dialog dengan semua pihak pembawa senjata, baik militer, kelompok pemberontak, kepolisian, pasukan paramiliter, maupun kelompok lain yang ikut serta dalam permusuhan. Orang yang mengungsi di dalam wilayah negaranya akibat konflik bersenjata masuk dalam kategori penduduk sipil yang terkena dampak konflik. Mereka berhak dilindungi oleh HHI dan berhak menerima bantuan ICRC. Karena sangat sulitnya situasi yang dihadapi oleh ( 331) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 pengungsi internal, persentasi mereka sebagai penerima bantuan ICRC cukup besar. Jika pihak berwenang nasional tidak mampu membantu mereka, ICRC turun tangan menyediakan kebutuhan paling mendesak yang mereka hadapi. Ketika membantu pengungsi internal, ICRC menyadari bahwa masyarakat yang menampung pengungsi ini sendiri mungkin sudah terkuras sumber dayanya sehingga tak mampu lagi menerima pengungsi baru. Dengan demikian, masyarakat penampung pengungsi itu sudah menjadi rentan, padahal orang-orang yang belum mengungsi, yaitu yang terpaksa masih tinggal di tempat asalnya, juga menghadapi kesulitan besar. Berdasarkan gambaran tersebutlah ICRC menentukan penerima bantuannya. Faktor yang menentukan adalah kerentanan, bukan berasal dari kelompok mana mereka berasal. ICRC juga menyediakan pelayanan Berita Palang Merah49 untuk membantu pengungsi eksternal berhubungan kembali dengan anggota keluarga yang terpisah dari mereka sebagai akibat konflik. ICRC yakin bahwa seringkali penyebab utama pengungsian adalah pelanggaran HHI. Karena itu, disamping kegiatannya membantu pengungsi internal dan eksternal, ICRC juga berupaya menyebarluaskan HHI dan meningkatkan penghormatan terhadap HHI untuk mencegah terjadinya pengungsian. ICRC membantu perempuan korban konflik sebagai bagian dari mandatnya untuk melindungi dan membantu semua korban konflik. Namun, karena perempuan mempunyai kebutuhan yang spesifik menyangkut perlindungan, kesehatan, dan bantuan, ICRC berupaya agar kebutuhan mereka ditanggapi secara memadai dalam semua kegiatannya. Pada khususnya, ICRC menitikberatkan perlindungan yang harus diberikan kepada perempuan dan penyebarluasan kesadaran kepada para pembawa senjata bahwa kekerasan seksual dalam segala bentuknya dilarang oleh HHI sehingga perlu dicegah secara sungguh-sungguh. Meskipun ICRC bertindak secara tidak memihak dalam membantu korban perang dan korban situasi kekerasan dalam negeri, kebutuhan-kebutuhan seorang anak jelas berbeda secara mendasar dari kebutuhan-kebutuhan perempuan, lelaki, atau orang lanjut usia. Anak sering menjadi saksi mata tanpa daya atas kekejaman yang dilakukan terhadap orang tua atau anggota keluarga mereka lainnya. ICRC mendaftar anak-anak yang terpisah dari keluarga akibat konflik bersenjata dan mencarikan kerabat terdekat mereka supaya hubungan mereka dengan keluarga pulih kembali. Bilamana anak yang bersangkutan masih terlalu kecil atau masih mengalami trauma sehingga tidak mampu memberikan informasi rinci mengenai identitasnya, ICRC akan memotretnya dan menyebarluaskan potret ini atau memajangnya di tempat-tempat umum agar kerabatnya ada yang mengenalinya. ICRC memberi anak-anak, beserta orang-orang sipil lainnya, bantuan makanan dan bantuan materi lain, baik dalam keadaan darurat maupun dalam jangka panjang. ICRC juga meningkatkan akses ke air yang aman dan perawatan kesehatan bagi mereka. Konvensi Jenewa 1949 dan kedua Protokol tambahannya sangat mementingkan upaya perlindungan anak, baik melalui ketentuan-ketentuan yang, melindungi penduduk sipil secara keseluruhan maupun melalui ketentuan-ketentuan yang berfokus pada anak-anak. 49 Red Cross Media (RCM) ( 332 ) Peran ICRC ICRC terlibat dalam merundingkan perjanjian-perjanjian internasional lain menyangkut perlindungan anak, terutama Konvensi 1989 tentang Hak-hak Anak Beserta Protokol tahun 2000 tentang keterlibatan anak dalam konflik bersenjata dan Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional. Pasal 8 Statuta Roma menetapkan bahwa merekrut atau menggunakan anak berusia di bawah 15 tahun untuk ikut serta secara aktif dalam permusuhan adalah kejahatan perang. Dalam konflik bersenjata internasional, Konvensi Jenewa mengakui hak ICRC untuk mengunjungi tawanan perang dan internir sipil. Mencegah ICRC melaksanakan misi ini adalah pelanggaran HHI. Dalam konflik bersenjata non-internasional dan situasi kekerasan dalam negeri, KJ 1949 (pasal 3) dan Anggaran Dasar Gerakan memberi ICRC wewenang untuk menawarkan pelayanan kunjungan tahanan. Banyak pemerintah mengizinkan ICRC melakukan hal tersebut. ICRC berupaya untuk: 1. Mencegah atau mengakhiri kasus orang hilang dan eksekusi sumir, penyiksaan, dan perlakuan buruk. 2. Memulihkan kontak antara tahanan dan keluarganya. 3. Memperbaiki kondisi penahanan sesuia dengan hukum yang berlaku. ICRC melakukan hal itu dengan mengunjungi tempat penahanan. Berdasarkan temuannya dari kunjungannya ke tempat penahanan, ICRC melakukan pendekatan konfidensial kepada pihak yang berwenang dan, bilamana pelu, memberikan bantuan materi atau medis kepada para tahanan. Selama kunjungan, anggota delegasi ICRC berbicara langsung dengan setiap tahanan. Anggota delegasi ICRC mencatat data mereka supaya kasus mereka dapat terus ditindaklanjuti hingga saat pembebasan mereka. Para tahanan menceritakan kepada anggota delegasi ICRC masalah-masaaah kemanusiaan yang mereka hadapi. ICRC tidak mempermasalahkan alasan penangkapan atau penahanan mereka, tetapi ICRC berusaha memperoleh jaminan hukum yang menjadi hak mereka sesuai HHI. Sebelum mulai melakukan kunjungan ke tempat penahanan, ICRC terlebih dahulu menyerahkan kepada pihak yang berwenang sejumlah syarat standar. Anggota delegasi ICRC harus diizinkan untuk: 1. Menemui semua tahanan yang termasuk dalam mandat ICRC dan mengakses semua tempat di mana mereka ditahan. 2. Mewawancarai tahanan yang dipilihnya, tanpa kehadiran saksi. 3. Membuat daftar tahanan yang teramsuk dalam mandat ICRC (selama kunjungan) atau memperoleh daftar semacam itu dari pihak berwenang penahanan yang kemudian diverifikasinya dan, bilamana perlu, dilengkapi. 4. Mengulangi kunjungan sesering yang mereka anggap perlu kepada tahanan yang mereka pilih. 5. Memulihkan hubungan keluarga. (333 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 6. Memberikan bantuan materi dan medis yang mendesak sesuai yang dibutuhkan. Biro Pusat Pencarian ICRC bekerja memulihkan hubungan keluarga dalam semua situasi konflik bersenjata atau kekerasan dalam negeri. Setiap tahun dibuka ratusan ribu kasus baru mengenai orang yang dicari oleh keluarganya, baik itu pengungsi internal, pengungsi eksternal, tahanan, ataupun orang hilang. Bilamana orang yang dicari ditemukan, dia dapat mengirim dan menerima Berita Palang Merah dan atau dihubungkan dengan keluarganya, berkat adanya jaringan global yang terdiri dari 186 PN dan didukung oleh ICRC. Dalam konflik bersenjata internasional, Biro Pusat Pencarian tersebut memenuhi tugasnya berdasarkan HHI untuk mengumpulkan, memproses, dan meneruskan informasi tentang orang-orang yang dilindungi, terutama tawanan perang dan internir sipil. Bagi tahanan dan keluarganya, memperoleh berita dari satu sama lain adalah sangat penting. ICRC memberi tawanan perang, internir sipil, tahanan keamanan, dan kadang-kadang juga tahanan hukum umum kesempatan berkomunikasi dengan keluarga. Saat perang usai, banyak keluarga terus dihantui oleh ketidakpastian tentang nasib anggotanya yang hilang. ICRC membantu dengan mengumpulkan informasi tentang orang hilang atau dengan membangun berbagai mekanisme, bersama dengan pihak berwenang, yang bertujuan untuk mengklarifikasi nasib atau keberadaan orang yang hilang dan memberikan informasi kepada keluarganya. Memelihara kesatuan keluarga adalah hak universal yang dijamin oleh hukum. ICRC berupaya mempersatukan kembali anggota keluarga yang terpisah akibat konflik, dengan cara menemukan keberadaannya dan menghubungkannya kembali dengan keluarga. Perhatian khusus diberikan kepada anak yang terpisah dari orangtua dan kepada orang lanjut usia. Kadang-kadang, dokumen perjalanan yang disediakan oleh ICRC menjadi satusatunya sarana bagi orang papa50 yang tidak mempunyai surat identitas resmi untuk dapat bergabung kembali dengan keluarganya yang telah menetap di negara ketiga atau untuk dapat kembali ke negara asalnya. Dengan semakin banyaknya pengungsi dan pencari suaka, ICRC semakin sering mengeluarkan dokumen perjalanan bagi mereka yang telah memperoleh izin untuk tinggal di sebuah negara penampung. Tujuan utama bantuan ICRC ialah untuk melindungi kehidupan dan kesehatan para korban konflik, meringankan beban kesulitan mereka, dan memastikan bahwa berbagai konsekuensi dari konflik yaitu penyakit, luka-luka, kelaparan, atau kerentanan terhadap unsur-unsur tersebut tidak membahayakan masa depan mereka. Walaupun bantuan darurat menyelamatkan kehidupan dan mengurangi dampak terburuk dari konflik, ICRC selalu berusaha untuk tetap terarah pada tujuan utamanya, yaitu memulihkan kemampuan orang untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Dalam konflik tertentu, berbagai taktik yang tidak sah mungkin digunakan oleh pihak yang bertikai, misalnya memblokade penyaluran makanan dan bahan-bahan pokok lain, menghentikan sistem peredaran air, dan dengan sengaja merusak tanaman dan prasarana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, papa adalah [1] miskin; sengsara ; [2] terbelenggu oleh indra dan tidak lagi ingat akan hakikatnya sebagai manusia; berdosa. 50 ( 334 ) Peran ICRC kehidupan. Dalam kasus-kasus semacam ini, ICRC berupaya untuk mencegah atau mengakhiri pelanggaran tersebut dengan cara meminta pihak-pihak yang bertikai untuk memperhatikan tanggung jawab mereka berdasarkan HHI. Sebelum memulai suatu program bantuan apapun, ICRC melakukan asesmen yang cermat mengenai kebutuhan masing-masing kelompok sesuai dengan lingkungannya agar bantuan yang diberikan tepat. Di samping itu, ICRC berusaha memastikan bahwa bantuan diditribusikan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan. Dalam usahanya yang terus menerus untuk memperbaiki kualitas aksinya, ICRC memantau setiap program secara menyeluruh, menyesuaikannya dengan perkembangan situasi, dan bilamana program yang bersangkutan telah selesai, mengevaluasi pelajaranpelajaran yang bisa dipetik dan cara-cara untuk melakukannya dengan lebih baik di kemudian hari. Kebijakan evaluasi ICRC tersebut berlaku bagi setiap lingkup kegiatannya, bukan hanya bagi operasi bantuan darurat kemanusiaan, sehingga ICRC dapat memberikan tanggapan sebaik mungkin terhadap macam-macam kebutuhan yang dihadapi oleh para korban konflik. Pendekatan ICRC terhadap pemberian bantuan dalam situasi konflik ialah mementingkan dinamika ekonomi rumah tangga. ICRC memikirkan sarana produksi untuk memenuhi seluruh kebutuhan ekonomi rumah tangga yang dasar dan penyediaan sumber daya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan ini. Seringkali dalam situasi krisis terdapat kecenderungan untuk melupakan bahwa manusia membutuhkan lebih dari sekedar makanan untuk bertahan hidup. Karena itu, ICRC memperhitungkan semua kebutuhan ekonomi dasar rumah tangga, seperti papan, sandang, peralatan memasak, dan bahan bakar. Berdasarkan tingkat hilangnya keamanan ekonomi, ICRC memberikan salah satu dari ketiga jenis bantuan berikut ini: 1. Dukungan ekonomi, untuk melindungi sarana produksi vital yang dimiliki korban agar mereka dapat mempertahankan kapasitas produksi dan keswasembadaan ekonomi di tingkat rumah tangga. 2. Bantuan kelangsungan hidup, untuk melindungi kehidupan korban konflik dengan cara memberi mereka barang-barang ekonomi yang esensial bagi kelangsungan hidup mereka ketika sarana produksi mereka tidak mampu lagi menghasilkan barang-barang tersebut. 3. Rehabilitasi ekonomi, untuk membantu korban konflik memulihkan sarana-sarana produksi yang mereka miliki dan bilamana mungkin, memulihkan keswasembadaan mereka. Begitu terdeteksi tanda-tanda awal pecahnya sebuah konflik, ICRC mengingatkan pihak-pihak berwenang terkait tentang perlindungan bagi orang sipil berdasarkan HHI, termasuk penghormatan terhadap pribadi dan harta benda mereka. Bilamana penduduk sipil mengalami kesulitan ekonomi akibat proses pemiskinan yang nyata dan berkurangnya atau hilangnya sarana produksi, ICRC turun tangan dengan memberikan dukungan ekonomi. (335 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Dukungan ekonomi dapat berupa, distribusi makanan untuk mendukung perekonomian, pemberian bantuan untuk diversifikasi dan intensifikasi produksi, atau pelayanan dokter hewan untuk melindungi ternak. Bilamana mungkin, ICRC memprioritaskan kegiatan dukungan ekonomi. Namun, jenis-jenis bantuan yang lain seringkali juga sangat penting, karena ICRC tidak berdaya mencegah proses pemiskinan dan dekapitalisasi yang diakibatkan oleh konflik. Bilamana proses tersebut terjadi, ICRC memberikan bantuan kelangsungan hidup, yaitu barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dapat lagi dihasilkan oleh sarana produksi milik para korban sendiri. Ketika keadaan mulai membaik, penduduk memerlukan bantuan untuk memulihkan keswasembadaan mereka. Program-program rehabilitasi ekonomi ICRC bertujuan untuk memulihkan dan memperkuat sarana produksi melalui serangkaian kegiatan, termasuk distribusi benih, alat pertanian, alat penangkap ikan, dan obat-obatan ternak, atau rehabilitasi sistem irigasi. Program air dan habitat ICRC bertujuan untuk: 1. Menyediakan air minum dan air keperluan rumah tangga bagi korban konflik. 2. Melindungi penduduk dari bahaya lingkungan akibat lumpuhnya sistem penyediaan air. Untuk menyediakan akses ke air, memperbaiki higienis51, dan melindungi lingkungan, ICRC: 1. Merehabilitasi instalasi pengolahan air, jaringan distribusi air, atau sistem air berbasis gravitasi yang dihubungkan dengan rumah pompa. 2. Membangun sumur, memanfaatkan dan melindungi sumber air dan sistem pengalihan air, dan membuat sarana penampungan air. 3. Memurnikan dan mendistribusikan air minum. 4. Membuat dan merehabilitasi toilet umum, dan sistem pengolahan air limbah; mengumpulkan dan mengolah limbah, ternasuk limbah rumah sakit. 5. Merenovasi dan merekonstruksi sarana kesehatan dan sekolah. 6. Memperbaiki sarana dan prasarana di tempat-tempat penahanan untuk memenuhi kebutuhan air minum minimum bagi para tahanan dan untuk menjamin sanitasi dan kondisi kehidupan yang layak. 7. Membangun dan menyelenggarakan kamp-kamp bagi pengungsi internal. 8. Memperkenalkan program-program pengendalian vektor (hewan pembawa penyakit), perlindungan bahan makanan, pengurangan konsumsi energi, dan penggunaan energi alternatif. Program-program kesehatan ICRC bertujuan agar korban konflik mempunyai akses ke perawatan kesehatan esensial yang bersifat pencegahan (preventif) maupun penyembuhan (kuratif) sesuai standar universal. Kegiatan ICRC yang terkait kesehatan antara lain adalah rekostruksi atau rehabilitasi bangunan, dukungan manajemen, pelatihan staf medis, 51 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, higienis adalah berkenaan dengan atau sesuai dengan ilmu kesehatan; bersih; bebas penyakit. ( 336 ) Peran ICRC pengawasan epidemiologis, penggiatan kembali pelayanan imunisasi, penyediaan obat dan alat medis yang penting, dan pemberian pinjaman berupa tim ahli bedah/tim medis asing. Untuk mengatasi terganggunya pelayanan kesehatan primer akibat konflik, ICRC memberikan bantuan kepada berbagai pusat kesehatan dan rumah sakit, sejauh mungkin dengan partisipasi dari masyarakat setempat. Berkat pengalamannya yang panjang dalam merawat korban perang, ICRC cukup ahli di bidang ini. Para ahli bedah ICRC melatih tenaga medis luar negeri yang bekerja suka rela untuk ICRC tetapi belum terampil dalam bidang tersebut. Mereka juga melatih dokter-dokter lokal untuk menguasai keterampilan ini agar mereka dapat mengambil alih peran tim ICRC dalam merawat korban perang bilamana tim ICRC telah pergi. Staf media ICRC menyertai anggota delegasi mengunjungi tempat penahanan untuk melakukan asesmen mengenai kesehatan para tahanan dan mendeteksi ada tidaknya dampak fisik atau psikologis dari perlakuan buruk. Dokter dan perawat ICRC menguasa dengan baik masalah kesehatan yang khas penjara, misalnya higiene, epidemiologi, gizi, dan vitamin. Mereka mengidentifikasi masalah-masalah kesehatan umum yang mendesak. Bilamana risiko suatu masalah kesehatan di sebuah penjara sangat besar sehingga bagian pelayanan kesehatan di penjara ini kewalahan, ICRC menerapkan program kontrol vektor untuk menanggulangi masalah seperti tuberkolosis, HIV/AIDS, dan kekurangan vitamin. Pada tahun 1979, ICRC mendirikan sebuah unit rehabilitasi fisik bagi korban perang. Semenjak itu, ICRC telah melaksanakan dan/atau memantau lebih dari 85 proyek di 36 negara. Ratusan ribu orang telah menerima prostesis, ortesis (sepatu penyangga tegak), kruk, atau kursi roda, disertai fisioterapi. Ini membantu memulihkan mobilitas mereka dan, dalam banyak kasus, juga kemandirian ekonomi mereka. Dengan menyediakan bantuan keuangan, pendidikan, dan teknis, ICRC berupaya agar pelayanan rehabilitasi menjangkau lebih banyak korban, meningkat mutunya, dan terus berfungsi dalam jangka panjang, karena alat bantu gerak yang dipakai oleh korban perlu diganti dan direparasi secara berkala seumur hidup mereka. Tidak semua pemerintah menyediakan pelayanan rehabilitasi secara berkesinambungan. Tidak adanya dukungan jangka panjang dari organisasi-organisasi setempat mendorong ICRC membentuk dana khusus ICRC bagi orang cacat. Dana ini menjamin kesinambungan program rehabilitasi setelah ICRC menarik diri dari negara yang bersangkutan dan mendukung pusatpusat rehabilitasi fisik di negara berkembang. ICRC dan Indonesia Berbagai isu HAM yang muncul di Indonesia memerlukan penanganan yang tepat dan cepat dari berbagai pihak. Selain respon yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia, negara-negara lain, LSM, dan organisasi-organisasi internasional, juga terdapat peran yang secara signifikan diberikan oleh ICRC. Pada tahun 1945-1965 ICRC bertindak sebagai penengah netral antara Indonesia dan Belanda (pemulangan tahanan, pertukaran Berita Palang Merah), bantuan untuk interniran/ (337 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 tawanan sipil, dan lain-lain. Di tahun 1991, ICRC bertindak sebagai penengah netral dalam krisis penyanderaan di Papua52. Operasi pembebasan sandera ini melibatkan seorang anggota ICRC dan dengan menggunakan helikopter ICRC. Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2004 meminta bantuan kepada ICRC dalam upaya pembebasan sandera yang diberitakan sekitar 151 orang yang ditahan oleh GAM di Aceh. 5. Peran ICRC Dalam Kondisi Normal Kegiatan ICRC yang bersifat preventif dirancang untuk membatasi efek buruk dari konflik dan menjaga agar efek-efek semacam itu sekecil mungkin. Semangat yang sesungguhnya dari HHI ialah agar penggunaan kekuatan dilakukan secara terkendali dan secara proporsional dengan tujuannya. Karena itu, ICRC berusaha untuk menyebarluaskan seluruh rangkaian prinsip-prinsip kemanusiaan dalam rangka mencegah atau sekurangkurangnya membatasi kemungkinan-kemungkinan terburuk dari peperangan. Dalam program-program preventifnya, target ICRC secara khusus ialah orang-orang dan kelompok-kelompok yang berada dalam posisi untuk menentukan nasib para korban konflik bersenjata atau yang dapat menghalangi atau memfasilitasi kegiatan ICRC. Kelompokkelompok tersebut antara lain adalah angkatan bersenjata, kepolisian, pasukan keamanan dan pihak-pihak bersenjata lain, para pengambil keputusan, dan para tokoh masyarakat di tingkat lokal maupun internasional dan dengan melihat ke depan, juga para remaja, mahasiswa dan para pengajar mereka. Strategi di balik kegiatan-kegiatan tersebut terdiri dari tiga tingkatan: 1. Membangun kesadaran. 2. Mempromosikan HHI melalui pengajaran dan pelatihan. 3. Mengintegrasikan HHI dalam kurikulum resmi di bidang hukum, pendidikan, dan operasi. Tujuan akhir dari program-program preventif ICRC tersebut ialah mempengaruhi bersikap dan perilaku orang-orang dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap orang-orang sipil dan korban-korban lain pada masa konflik bersenjata, memfasilitasi akses terhadap korban, dan meningkatkan keamanan bagi kegiatan kemanusiaan. Negara berkewajiban menjamin bahwa angkatan bersenjatanya menguasai HHI dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal serta menerapkannya pada semua situasi. ICRC mempromosikan pengintegrasian HHI dan prinsip-prinsip kemanusiaan ini ke dalam doktrin, pendidikan, dan pelatihan militer serta membantu negara-negara melaksanakan proses tersebut. Karena aparat penegak hukum dan ketertiban sering ditugasi menangani situasi gangguan dan kekerasan dalam negeri, ICRC juga berupaya agar pihak kepolisian dan keamanan menerima pelatihan HHI, hukum HAM, dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Dewasa ini, kelompok bersenjata yang jarang atau belum pernah menerima pelatihan sering terlibat dalam pertempuran. Semakin banyaknya kelompok bersenjata semacam itu mengakibatkan perlakuan semena-mena yang mengerikan terhdap penduduk sipil dan 52 Ibid. ( 338 ) Peran ICRC membahayakan kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan. ICRC berusaha menjalin kontak dengan semua pihak yang terlibat konflik untuk memperkenalkan kegiatan dan cara kerja ICRC agar akses untuk membantu korban menjadi lebih mudah dan keamanan pekerja kemanusiaan lebih terjamin. Saat ini, semakin banyak organisasi, kelompok, dan individu yang melakukan kegiatan kemanusiaan. Karena itu diperlukan dialog untuk mencegah timbulnya tumpang tindih dan kekacauan usaha-usaha saat di lapangan. ICRC berupaya agar para pengambil keputusan, tokoh masyarakat, anggota LSM, wartawan, dan orang-orang yang berpengaruh lainnya mengenal kegiatan-kegiatan ICRC supaya ICRC memperoleh dukungan mereka dalam menjamin implementasi HHI. Untuk tujuan itulah, ICRC melakukan “Diplomasi Kemanusiaan”, misalnya dengan menjalin serta memelihara jaringan kontak dengan berbagai pelaku kemanusiaan dan mengkoordinasi kegiatan dengan pelakupelaku lain di lapangan. Untuk menjangkau calon pembuat keputusan dan tokoh masyarakat, ICRC membidik dunia akademis, terutama fakultas hukum, ilmu politik, dan jurnalistik, untuk mendorong dimasukannya HHI ke dalam berbagai program pelajaran yang diselenggarakan. Pendekatan ICRC terhadap dunia akademis mencontoh pendekatannya terhadap militer, yaitu bekerja sama dengan pihak berwenang di lingkungan pendidikan, memberikan pelatihan kepada para calon pelatih, memproduksi bahan pengajaran yang dibutuhkan, dan memelihara suatu jaringan kontak dengan dunia akademis. ICRC pada tahun 1999 meluncurkan sebuah program riset yang bekerja sama dengan dengan kalangan akademis. Program ini bertujuan mengetahui pandangan orang sipil dan kombatan tentang perang dan meningkatkan penghormatan terhadap aturan perang. Melalui riset ini, ICRC berupaya membangun momentum dan keahlian lokal maupun internasional menyangkut strategi pencegahan dan memperkuat kegiatan riset HHI di kalangan lembaga penelitian, perguruan tinggi, organisasi internasional, LSM, dan spesialis pencegahan. Agar HHI dikenal oleh semua lapisan masyarakat dan menjadi bagian dari pendidikan dasar, ICRC membantu kementerian pendidikan, PN, dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya di berbagai negara untuk mengintegrasikan HHI dan topik-topik terkait ke dalam program pendidikan sekolah menengah. ICRC telah menyusun program pendidikan untuk anak usia 13-18 tahun dalam rangka membantu mereka menghayati prinsip-prinsip kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut ketika mengevaluasi berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan luar negeri. Program pendidikan ini dinamai “Eksplorasi Hukum Humaniter”, terdiri dari satu paket bahan ajar berdurasi 30 jam, dan telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Sejak diluncurkan pada tahun 2001, program ini telah diadopsi atau sedang dipertimbangkan untuk diadopsi ke dalam kurikulum pendidikan sekolah menengah atas oleh pihak berwenang terkait di kurang lebih 90 negara. Selanjutnya, pada akhir tahun 2001, ICRC meluncurkan proyek “Orang Hilang,” yang bertujuan meningkatkan kesadaran di kalangan pemerintah, militer, dan organisasi internasional maupun nasional mengenai tragedi orang hilang akibat konflik bersenjata atau (339 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 situasi kekerasan dalam negeri dan mengenai derita batin pihak keluarga. Pada Februari 2003, sebagai puncak sebuah proses konsultasi yang melibatkan para ahli dari seluruh dunia, ICRC mengadakan konferensi internasional tentang orang hilang dan keluarganya di Jenewa, Swiss, yang dihadiri oleh 350 peserta dari 86 negara. Rekomendasi-rekomendasi dari konferensi ini menjadi landasan kuat bagi pekerjaan selanjutnya. Sasaran akhirnya ialah (1) memastikan bahwa seluruh pihak berwenang dan pemimpin yang terkait masalah orang hilang memberikan pertanggungjawaban dan (2) mencegah terjadinya kasus orang hilang. ICRC berkomitmen kuat terhadap proyek “Orang Hilang” ini. Pedoman operasional menyangkut proyek ini tengah dilaksanakan oleh semua delegasi ICRC yang terkait. ICRC juga mengupayakan peningkatan implementasi (pelaksanaan) HHI. Pada tahun 2002, ICRC melaksanakan proyek peneguhan kembali dan pengembangan HHI. Sebagai bagian dari proyek tersebut, ICRC mengadakan refleksi secara internal mengenai permasalahan yang sudah ada maupun yang sedang muncul terkait HHI, selain juga mengadakan konsultasi secara eksternal mengenai permasalahan tersebut. Atas permintaan masyarakat internasional, ICRC mengadakan studi di seluruh dunia tentang ketentuan-ketentuan kebiasaan HHI. Studi ini selesai pada tahun 2004 dan berhasil mengidentifikasikan praktik-praktik yang selama ini telah diakui dan dapat melengkapi hukum dan perjanjian tertulis, terutama praktik-praktik yang berlaku pada konflik bersenjata non-internasional. Di tingkat internasional, berbagai kursus dan lokakarya diadakan setiap tahun, misalnya kursus HELP (Health Emergencies in Large Populations atau Darurat Kesehatan di Daerah Berpenduduk Banyak), yang memungkinkan ICRC menerbitkan buku-buku panduan mengenai bedah perang (war sugery) serta memberian kontribusi bagi jurnal-jurnal profesional. Di lingkungan yang kurang aman, mendatangi korban luka dan membawanya ke rumah sakit bisa merupakan kesulitan yang cukup besar. Selain itu, ketika konfliknya telah usai, ranjau dan senjata-senjata ledak sisa perang sering kali terus membunuh dan melumpuhkan penduduk sipil, menghalangi akses ke barang kebutuhan dasar, dan menghambat rekonsiliasi. Sehingga ICRC melaksanakan program “Aksi Ranjau”. Tujuannya ialah mengurangi penderitaan penduduk di daerah yang terkontaminasi ranjau/senjata ledak sisa perang. Program ini fleksibel dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan di masing-masing daerah. Program ini bisa mencakup: penyediaan akses yang aman ke air dan kayu bakar atau ke kawasan bermain yang aman bagi anak-anak dan kegiatan penyuluhan untuk mencegah kecelakaan. Kegiatan penyuluhan ini bisa mencakup: memberikan informasi tentang kawasankawasan setempat yang terkontaminasi, membuat penduduk waspada akan bahaya ranjau dan senjata ledak sisa perang, dan mempromosikan perilaku yang aman. Melalui pelayanan konsultasi HHI-nya, ICRC juga mendorong negara-negara untuk mengadopsi peraturan perundang-undangan yang memberlakukan HHI di tingkat nasional. Para ahli hukum ICRC di markas besar Jenewa maupun di lapangan memberikan bantuan ( 340 ) Peran ICRC teknis kepada negara-negara menyangkut antara lain, undang-undang untuk menuntut penjahat perang dan undang-undang untuk melindungi lambang palang merah, bulan sabit merah, dan kristal merah. Di samping itu, ICRC bekerja untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap HHI. Kegiatan operasional ICRC bersifat melengkapi kegiatan hukumnya. Selain memberikan bantuan kepada penduduk yang membutuhkan, ICRC juga hadir di lapangan untuk memantau penghormatan terhadap HHI, untuk mengamati masalah-masalah yang dihadapi oleh korban konflik bersenjata dalam kehidupan sehari-hari mereka dan untuk memprakarsai pengembangan hukum baru. ICRC dan Indonesia ICRC telah bekerja di Indonesia sejak dasawarsa 1940-an. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, ICRC secara progresif mengembangkan kerja sama erat dengan pemerintah Indonesia. Kerja sama ini dimulai sejak saat terjadinya konflik di Maluku Selatan (1950-1952) ketika ICRC mengunjungi orang-orang yang ditahan oleh ABRI. Demikian pula, ICRC diberi ijin untuk mengunjungi anggota G30S/PKI yang ditahan berkaitan dengan percobaan kudeta pada tahun 1965. Kunjungan tahanan ICRC pertama kali dilakukan di Lombok pada tahun 1966. Di tahun yang sama pula, ICRC bersama PMI menggelar operasi bantuan kemanusiaan selama 6 bulan bagi pengungsi di Kalimantan. Kunjungan tahanan ICRC pun juga pertama kali dilakukan pada tahun 1970 di pulau Jawa, tepatnya di penjara Tangerang53 Pada tahun 1977, ICRC memperoleh ijin tertulis resmi dari pemerintah Republik Indonesia untuk mengunjungi semua tahanan/narapidana politik di Indonesia. Di lain pihak, operasi bantuan kemanusiaan dan kesehatan selama setahun juga digelar di Papua sebagai akibat bencana kekeringan. Dalam dasawarsa 1980-an, ICRC diperbolehkan mengunjungi para aktivis Muslim yang ditahan di Indonesia. Setelah itu, ICRC diperbolehkan mengunjungi orang-orang yang ditahan akibat kekerasan bersenjata di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh, Sumatera Utara, Jawa, Bali, dan Papua, maupun di Timor-Timur (sewaktu Timor Timur masih menjadi bagian Indonesia)54. Orang-orang yang dikunjungi tersebut ditahan di tempat-tempat penahanan yang ada di bawah tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (KemenkumHAM), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Kunjungan-kunjungan ini (dan semua kunjungan lainnya kepada para tahanan yang dilakukan oleh ICRC di seluruh dunia) mengikuti prosedur dan tata cara yang persis sama55. Salah satu kegiatan ICRC pada tahun 1984 adalah dengan mengunjungi Yogyakarta untuk menyerahkan obat-obatan kepada Palang merah Indonesia (PMI) Yogyakarta56. Misi ICRC pertama ke Papua dilaksanakan pada 1988 dan pada tahun berikutnya mendapatkan ijin untuk mengadakan kunjungan tahanan. Pada tahun 1991 kunjungan tahanan pertama dilakukan 53 54 55 56 Ibid. ICRC, Kunjungan Kepada Para Tahanan, Loc.Cit. bid., hlm. 17 ICRC, ICRC Di Indonesia, http://icrcjakarta.info/icrc-di-Indonesia/ diakses pada 6 Oktober 2012 ( 341 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 di Aceh. Sebuah lonjakan yang sangat besar dilakukan oleh ICRC dengan menggagas program akademik untuk meningkatkan pengintegrasian HHI ke dalam kurikulum fakultas hukum di Indonesia. Di tahun 1998, kerja sama pertama ICRC dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) di bidang penahanan. Pada tahun ini pula, memulai program integrasi HHI dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD)57. Di tahun yang sama, POLRI memberi akses sebesar-besarnya kepada ICRC ke semua fasilitas penahanan POLRI. Saat terjadi tsunami di Aceh (2004-2005), ICRC bekerja sama dengan PMI untuk memberi bantuan kemanusiaan bagi korban tsunami58. Pada tahun 2007-2008, ICRC mengadaptasikan kegiatan kunjungan tahanannya dan secara bertahap mengembangkan pendekatan struktural terhadap masalah penahanan di Indonesia. Selain itu, ICRC juga telah menghentikan operasi bantuan kemanusiaan dan rehabilitasi tsunami di Aceh59. Selain bekerja sama dengan pihak berwenang di Indonesia, ICRC juga melakukan berbagai kegiatan lainnya dengan Perhimpunan Nasional Indonesia (dikenal dengan Palang Merah Indonesia/PMI). Berbagai bantuan kemanusiaan telah dilakukan dan diberikan oleh ICRC melalui kordinasi dengan PMI. Bantuan kemanusiaan operasi katarak di Papua60, Program Donasi Kacamata di Papua61, penyelesaian konflik di Pulau Galang (1975)62, penanggulangan bencana tsunami di Aceh melalui program yang disebut Restoring Family Links63, peluncuran buku64, berbagai pertemuan dgn PN lain65, berbagai pelatihan66, sosialisasi67, seminar68, bantuan bagi korban bencana alam, dan lain-lain juga turut dilaksanakan oleh ICRC bekerja sama dengan PMI. ICRC dan PMI pun juga telah bekerja sama dalam menerbitkan berbagai buklet yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat. Selain kunjungan ke tahanan, ICRC juga memeriksa kesehatan lingkungan penjara, sanitasi, makanan, dan kesehatan tubuh tahanan. Bantuan lain yang juga diberikan oleh ICRC juga berupa seminar, workshop, diskusi, lomba debat, International Humanitarian Law Moot Ibid., Ibid., 59 Ibid., 60 PMI, Operasi Katarak dan Donasi Kacamata di Papua http://pmi.or.id/ina/publication/?act=detail&p_ id=384 diakses pada 22 Januari 2013 61 PMI, PMI Terima Donasi Rp 1 M dari Sidomuncul http://pmi.or.id/ina/publication/?act=detail&p_ id=399 diakses pada 22 Januari 2013 62 PMI, PMI Bersiap Membantu Perdamaian Dunia http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=360 diakses pada 22 Januari 2013 63 Ibid., 64 PMI, Peluncuran Buku ABC Hukum Humaniter http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=456 diakses pada 22 Januari 2013 65 PMI, PMI Gelar South East Asia Leaders Meeting 2010 http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_ id=498 diakses pada 22 Januari 2013 66 PMI, Tiga Belas Negara Ikuti Pelatihan di Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI http://pmi.or.id/ina/ news/?act=detail&p_id=711 diakses pada 22 Januari 2013 67 PMI, Sosialisasi Lambang dan RUU Kepalangmerahan Bersama Forum Bakohumas http://pmi. or.id/ina/news/?act=detail&p_id=902 diakses pada 22 Januari 2013 68 PMI, Seminar Hukum Humaniter Internasional: Palang merah Untuk Indonesia http://pmi.or.id/ ina/news/?act=detail&p_id=805 diakses pada 22 Januari 2013 57 58 ( 342 ) Peran ICRC Court Competition (IHL MCC), dan berbagai kegiatan lainnya untuk mempromosikan HHI baik kepada pasukan TNI69, POLRI70, mahasiswa71, maupun masyarakat umum72. IV. PENUTUP Meskipun landasan hukum baik dalam lingkup internasional maupun nasional mengenai perlindungan HAM telah dibuat, namun dalam realitasnya, berbagai peraturan hukum tentang HAM tersebut masih belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Terkait isu HAM yang dipaparkan sebelumnya, respon yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia sudah sepantasnya untuk dilakukan (sudah tepat). Namun, untuk beberapa tahap penyelesaian, pemerintah Republik Indonesia masih lebih cenderung menggunakan tindakan di jalur militer yang sebenarnya menurut pandangan penulis merupakan tahap yang paling akhir untuk ditempuh. ICRC sebagai organisasi internasional yang independen di bidang kemanusiaan telah menunjukkan berbagai perannya dalam memajukan dan meningkatkan penghormatan HAM baik dalam kondisi perang, konflik, bencana, maupun dalam kondisi normal. Berbagai tindakan riil yang telah diambil yaitu dengan melakukan berbagai seminar, workshop, diskusi, peluncuran buku, dan berbagai kegiatan kemanusiaan lainnya (operasi katarak, kunjungan ke berbagai tahanan, dan lain-lain) demi memajukan dan menyebarluaskan penghormatan HAM, khususnya dalam Hukum Humaniter Internasional. Kegiatan ICRC tentu saja tidak dapat dilaksanakan tanpa kerja sama dengan berbagai Perhimpunan Nasional, pemerintah, LSM, dan komunitas-komunitas lain. Selain itu, kegiatan ICRC tidak hanya ditujukan ke angkatan bersenjata, tapi juga ke pelajar, bahkan masyarakat umum Implementasi berbagai produk hukum yang telah diratifikasi maupun dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia hendaknya diperbaiki sesuai dengan yang diamanatkan dalam berbagai produk hukum tersebut. Penyelesaian melalui jalur militer hendaknya juga dikurangi bahkan dihilangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan lebih menggunakan jalur dialog dan menghilangkan berbagai tindakan kekerasan yang marak terjadi dalam penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM. Keterlibatan ICRC baik dalam kondisi konflik maupun kondisi damai di suatu negara merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Namun, keikutsertaan ICRC ini juga hendaknya tidak melebihi dari apa yang telah diamanatkan atau diatur. Bahkan, menurut beberapa ICRC, Sosialisasi Hukum Humaniter Internasional, Hukum HAM, dan Hukum Udara di Lingkungan TNI AU, http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-hukum-humaniterinternasional-hukum-ham-dan-hukumudara-di-lingkungan-tni-au/ diakses pada 22 Januari 2013 70 ICRC, Sosialisasi Standar Kepolisian Internasional dan VCD Dilematis Anggota Brimob di Palembang, http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-standar-kepolisianinternasional-dan-vcd-dilematisanggota-brimob-di palembang/ diakses pada 22 Januari 2013 71 ICRC, UPH Berhasil Merebut Juara HHI Moot Court Competition ke-7 http://icrcjakarta.info/ berita/uph-berhasil-merebut-juara-HHI-moot-court-competition-ke-7/ diakses pada 22 Januari 2013 72 ICRC, Diskusi Publik dan Peluncuran Buku Islam dan Hukum Humaniter Internasional http:// icrcjakarta.info/galeri-foto-video/videos/diskusi-publik-dan-peluncuranbuku-islam-dan-hukum-humaniterinternasional/ diakses pada 22 Januari 2013 69 (343 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 pihak dari Pemerintah Republik Indonesia, keterlibatan ICRC di Indonesia sebenarnya seringkali melewati kewenangan yang telah diamanatkan oleh Konvensi Jenewa 1949. DAFTAR PUSTAKA Buku: Amnesty International. Amnesty International Report 2012 The State of The World’s Human Rights. United Kingdom: Amnesty International, 2012. Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2005. D.W. Bowett. Hukum Organisasi Internasional (diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan di Indonesia Melalui Indeks Penyiksaan serta Indeks Persepsi Penyiksaan. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012. Rhona K. Smith. Hukum HAM. Yogyakarta: Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008. Jurnal: ICRC. Kenali ICRC. 2006 ICRC. Kunjungan Kepada Tahanan. 2008 PMI. Dunia Palang Merah. 2009 Websites: Fadillah Agus dalam presentasi training Hukum HAM untuk dosen pengajar HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) DI Yogyakarta, 22-24 September 2005, http://pushamuii.ac.id/download/ham/hukum%20humaniter.pdf diakses pada 24 Januari 2013 ICRC. ICRC di Indonesia. http://icrcjakarta.info/icrc-di-Indonesia/ diakses pada 6 Oktober 2012 ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/ihl.nsf/ INTRO/370OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/ INTRO/365OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/ INTRO/375OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/ INTRO/380OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013 ICRC. International Humanitarian Law–Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/ CONVPRES?OpenView diakses pada 29 Januari 2013 ( 344 ) Peran ICRC ICRC. Sosialisasi Hukum Humaniter Internasional, Hukum HAM, dan Hukum Udara di Lingkungan TNI AU. http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-hukum-humaniterinter nasional-hukum-ham-dan-hukum-udara-di-lingkungan-tni-au/ diakses pada 22 Januari 2013 ICRC. Sosialisasi Standar Kepolisian Internasional dan VCD Dilematis Anggota Brimob di Palembang. http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-standar-kepolisianinternasionaldan-vcd-dilematis-anggota-brimob-di-palembang/ diakses pada 22 Januari 2013 ICRC. UPH Berhasil Merebut Juara IHL Moot Court Competition ke-7. http://icrcjakarta. info/berita/uph-berhasil-merebut-juara-ihl-mootcourt-competition-ke-7/ diakses pada 22 Januari 2013 Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Human Rights Instruments. http://www2.ohchr.org/english/law/ diakses pada 3 Desember 2012 PMI. Operasi Katarak dan Donasi Kacamata di Papua. http://pmi.or.id/ina/ publication/?act=detail&p_id=384 diakses pada 22 Januari 2013 PMI. Peluncuran Buku ABC Hukum Humaniter. http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_ id=456 diakses pada 22 Januari 2013 PMI. PMI Bersiap Membantu Perdamaian Dunia. http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_ id=360 diakses pada 22 Januari 2013 PMI. PMI Gelar South East Asia Leaders Meeting 2010. http://pmi.or.id/ina/ news/?act=detail&p_id=498 diakses pada 22 Januari 2013 PMI. Seminar Hukum Humaniter Internasional: Palang merah Untuk Indonesia. http://pmi. or.id/ina/news/?act=detail&p_id=805 diakses pada 22 Januari 2013 PMI. Sosialisasi Lambang dan RUU Kepalangmerahan Bersama Forum Bakohumas. http:// pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=902 diakses pada 22 Januari 2013 PMI. Tiga Belas Negara Ikuti Pelatihan di Pusat Air dan Sanitasi Darurat. PMI http://pmi. or.id/ina/news/?act=detail&p_id=711 diakses pada 22 Januari 2013 The Washington Post. International Organizations on the Web. http://www.washingtonpost. com/wp-srv/inatl/longterm/intorgs.htm diakses pada 29 Januari 2013 United For Human Rights. Human Rights Organizations: Intergovernmental and Governmental Organizations. http://www.humanrights.com/voices-for-humanrights/human-rightsorganizations/governmental.html diakses pada 6 Oktober 2012 United Nations High Commissioner for Refugee. Conflict Affected Fragile States. http:// www.unhcr.org/refworld/country,,STC,,HTI,,490591492,0.html diakses pada 2 Oktober 2012 United Nations. Main Bodies. http://un.org/en/mainbodies/index.shtml diakses pada 29 Januari 2013 Universitas Sumatera Utara. Tinjauan Umum tentang ICRC. http://repository.usu.ac.id/ bitstream/123456789/21986/3/Chapter%20II.pdf diakses pada 7 Oktober 2012 ( 345 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 346 ) Hak Anak PENERAPAN INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ANAK DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA Citra Reskia* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Abdul Maasba Magassing* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Maskun* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Abstract: The Convention on the Rights of the Child 1989 is part of the international human rights instruments in the protection and enforcement of the rights of children to the effects of armed conflict. Their right to a decent life, education and children’s health is a right that must be upheld in conflict situations. Abstrak: Konvensi Hak Anak Tahun 1989 merupakan bagian dari instrumen internasional Hak Asasi Manusia dalam upaya perlindungan dan penegakan hak-hak anak terhadap dampak dari konflik bersenjata. Hak mereka atas kehidupan yang layak, pendidikan dan kesehatan merupakan hak anak yang harus tetap ditegakkan dalam situasi konflik. I. PENDAHULUAN Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik hukum Internasional maupun nasional. Secara Praktisi Hukum Internasional, Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (2013) dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. * Pengajar Senior di Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana (SH) dari Fakultas Hukum UNHAS, Magister Ilmu Hukum (MH) dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, Doktor Ilmu Hukum (DR) dari Pogram Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya. * Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum 1998 dari Fakultas Hukum Unhas, Magister Ilmu Hukum (LL.M.) 2004 dari University of New South Wales, Sydney, Australia. * ( 347 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR)1, dan untuk menjamin tegaknya hak-hak anak, pada tahun 1989 PBB menyetujui Konvensi Hak Anak (UN’s Convention on the Rights of the Child)2 yang menegaskan perlindungan terhadap hakhak anak. Realitas keadaan anak di dunia ini masihlah belum menggembirakan. Kepedulian terhadap persoalan anak terutama mulai berlangsung pada tahun 1920-an, seusai Perang Dunia I. Pihak yang banyak menderita adalah kaum perempuan dan anak-anak. Para aktivis tampil ke publik mendesak sejumlah pihak agar memberikan perhatian yang lebih serius terhadap perempuan dan anak-anak yang menjadi korban perang. Salah satu di antara para aktivis itu bernama Eglantyne Jebb, yang kemudian mengembangkan butir-butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi Save the Children Fund International Union.3 Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan juta anak hidup menderita, bahkan tewas akibat perang yang berkecamuk di berbagai Negara seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Pelestina, Guatemala, Liberia, Srilanka, Mozambik, Angola, Afganistan, Rwanda, Libya, Suriah, Somalia atau Sudan, Kamboja, Haiti ataupun Bosnia. Akibat perang yang tak kunjung usai, korban warga sipil dari tahun ke tahun kian meningkat, khususnya anak-anak. Anak terus saja menjadi korban utama konflik bersenjata. Penderitaan mereka sangat beragam bentuknya. Anak dibunuh, kehilangan orangtua karena mereka tewas, dibuat cacat, diculik, kehilangan hak atas pendidikan dan kesehatan, menderita trauma batin dan emosi yang mendalam. Mereka mengungsi dan sangatlah rentan khususnya terhadap kekerasan, pengerahan, eksploitasi seksual, penyakit, kurang gizi, dan kematian. Anak dikerahkan dan digunakan sebagai tentara anak-anak dalam skala yang sangat besar. Status gadis anak perempuan memberikan resiko tambahan, khususnya terhadap kekerasan seksual. Padahal para pihak yang bertikai telah diwajibkan untuk melindungi hak anak-anak tersebut. Realitas yang dihadapi anak-anak tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa masalah anak belumlah mereda. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan anak dan pelaksanaan hak-hak anak masih perlu dimaksimalkan sebagai gerakan global yang melibatkan potensi-potensi negara seluruh bangsa di dunia. Untuk itu dalam konteks menjamin dan melindungi hak-hak anak, realisasinya diwujudkan dalam kebijakan (policy), hukum (law), sedangkan dalam konteks pemenuhan hak anak, realisasinya dilakukan dengan tindakan konkrit yang dapat mewujudkan perlindungan anak yang diharapkan. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka kemudian dapat dirumuskan dengan permasalahan hukum sebagai berikut; pertama, bagaimanakah UDHR adalah deklarasi yang terdiri dari 30 pasal yang mengumandang seruan agar rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Deklarasi tersebut diterima oleh 49 negara, tidak ada yang menentang, 9 abstain dan berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak ekonomi, social dan budaya. 2 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), untuk seterusnya akan disingkat dengan KHA, merupakan sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang prinsip-prinsip dasar perlindungan hak anak di muka bumi. 3 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 28. 1 ( 348 ) Hak Anak perlindungan hukum terhadap anak berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam situasi konflik bersenjata? dan yang kedua, bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak dalam situasi konflik bersenjata menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989? II. PEMBAHASAN A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Berdasarkan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Situasi Konflik Bersenjata Dalam situasi amanpun anak membutuhkan perlindungan dalam artian yang luas demikian juga halnya anak yang berada dalam situasi konflik apalagi bila dihubungkan dengan situasi konflik bersenjata dimana dalam hal ini mereka masuk dalam katagori anak yang membutuhkan perlindungan khusus.4 Secara normatif negara tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk melindungi dan membantu anak-anak pada saat terjadi konflik bersenjata. Kewajiban ini merupakan prinsip dasar dari hak asasi manusia (HAM) dan hukum perang (humanitarian law). Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal HAM dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan masing-masing hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam Konvensi Hak Anak terdapat empat prinsip umum yang kemudian ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas konvensi ini secara keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program penerapan dalam lingkup nasional. Prinsip-prinsip sangat penting untuk memahami bagaimana untuk sepenuhnya melaksanakan konvensi tersebut. A.1 Pengertian Anak, Perlindungan Anak, dan Konflik Bersenjata Menurut Supriyadi W. Eddyono, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila hal terebut adalah demi kepentingannya.5 Pengertian anak secara hukum, dimana pengertian anak diletakkan sebagai objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses legitimasi, generalisasi dan sistematika aturan yang mengatur tentang anak. Perlindungan secara hukum inilah yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak.6 Dalam pengertian hukum Maulana Hasan Wadong memberikan pengertian anak dan juga pengelompokan anak didasari oleh adanya unsur internal dan eksternal dalam diri anak, adapun unsur internal tersebut adalah:7 - Anak sebagai subjek hukum: Anak digolongkan sebagai makhluk yang memiliki hak http://magdalenasitorus.blogspot.com/2008/09/anak-dalam-situasi-konflik-bersenjata.html. (diakses 22 Oktober 2012). 5 Pasal 1 Konvensi Hak Anak 1989. 6 Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 5. 7 Ibid. 4 ( 349 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 asasi manusia yang terikat oleh peraturan perundang-undangan; - Persamaan hak dan kewajiban anak: Seorang anak akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan. Sedangkan unsur eksternal dalam diri anak ialah:8 - Adanya ketentuan hukum dengan asas persamaan dalam hukum (equality before the law); - Adanya hak-hak istimewa (privilege) dari pemerintah melalui Undang-Undang Dasar 1945. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.9 Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum,baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun tidak tertulis.Hukum merupakanjaminan bagi kegiatan perlindungan anak.10 Arif Gosita memberikan definisi tentang perlindungan anak/remaja yaitu: suatu kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan, pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak/remaja yang sesuai dengan kepentingannya dan hak asasinya.11 Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun. Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensip, maka Undang-undang tersebut meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asasasas Nondikriminasi, asas kepentingan yang terbaik untuk anak, asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta asas penghargaan terhadap pandangan/ pendapat anak.12 Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu: - Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan; - Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang Ibid, hlm. 6 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 33 10 Ibid. 11 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak di Indonesia, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), hlm. 3 12 Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 25-26 8 9 ( 350 ) Hak Anak sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.13 Dalam Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) merupakan instrument hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak secara detail dan merupakan tolak ukur yang harus dipakai secara utuh dalam implementasi hak asasi anak.14 Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan melawan pendudukan asing da perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk lain dari sengketa bersenjata internasional. Dalam hukum humaniter, suatu keadaan dikatakan perang berdasarkan dua unsur, yaitu:15 - Adanya konflik yang menggunakan kekuatan bersenjata disatu wilayah; - Intensitas penggunaan kekuatan bersenjata yang cukup tinggi dan terorganisir. Seorang ahli perang internasional, Quincy Wright mengkategorikan empat tahapan perkembangan sejarah perang yaitu:16 - Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals); - Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men); - Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men); - Perang yang menggunakan teknologi modern (by using modern technology). Sejalan dengan perkembangan situasi maka istilah perang kemudian digantikan dengan sangketa bersenjata (armed conflict). Pengertian konflik bersenjata identik dengan pengertian perang yangmerupakan perkembangan pengertian perang di dalam masyarakat internasional dan secara teknis intensitasnya sama dengan perang.menurut seorang ahli Kossoy, bahwa dilihat dari segi hukum, penggantian adalah more justified and logical.17 Adapun pendapat beberapa pakar lain tentang pengertian konflik bersenjata anatara lain:18 Menurut Pictet “The term armed conflict has been used here in addition to the word“war” which it is tending to supplant”. Sedangkan Menurut Edward Kossoy “The term armed conflict tends to replace, at least in allrelevant legal formulations, the older notion of war on purely legal consideration thereplacement of war bay armed conflicts seem more justified and logical” Dapat dijelaskan bahwa tidak dapat ditemukan defenisi resmi dari “armed conflict” oleh karena itu perlu dicari jalan lain untuk dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan Maidin Gultom, Op Cit, hlm. 34 Rika Saraswati, Op Cit, hlm. 22 15 Fadillah Agus, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hlm. 2-4 16 Quincy Wright, A study of War, (The University Chicago Press, Chicago, 1951), dikutip dari Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Fadillah Agus (Ed.), (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hlm. 1-3 17 KGPH Haryomataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hlm. 15. 18 Suardi, Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Ilmiah Santika, Vol. 2 No. 3 Juli 2005, hlm. 291. 13 14 ( 351 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 armed conflict.19 Haryomataram membedakan antara sangketa bersenjata internasional (international armed conflict) dan sanketa bersenjata non-internasional (non international armed conflict), dansecara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensikonvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.20 Selanjutnya sengketa bersenjata Internasional dinyatakan dalam ketentuan pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 sebagai sengketa bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, baik sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak diakui salah satu dari mereka.21 “In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict which may arise between two or more of the high Contracting Parties, even if the state of war is not recognized by one of them”. Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol I tahun 1977 menetapkan jenis situasi sengketa bersenjata internasional atau situasi yang disamakan dengan sengketa bersenjata internasional. Dalam hal ini, dimana peoples (suku bangsa) sedang bertempur melawan dominasi colonial dan pendudukan asing dan melawan system pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya untuk menentukan nasibnya sendiri.22 Sengketa ini biasa disebut dengan istilah War of National Liberation atau yang dikenal dengan istilah CAR conflict (conflict Against Racist Regime) ini adalah fighting against Colonial domination; Alien occupation; and against Racist Regime, sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 4 Protokol 1 tahun 1977. Untuk istilah Non-international Armed Conflict dapat dilihat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 yang menentukan aturan-aturan HHI dan kewajiban para pihak yang berkonflik untuk melindungi korban perang dalam perang yang tidak bersifat internasional. Namun pasal tersebut tidak memberikan criteria atau defenisi sengketa bersenjata non-internasional. Kriteria tentang konflik bersenjata non-internasional dimuat dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 Tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Noninternasional.23 A.2 Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Beberapa prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat kita jumpai dalam berbagai instrumen HAM dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Adapun beberapa prinsip hak asasi manusia yaitu:24 - Bersifat universal dan tak dapat dicabut (universality and inalienability). Hak asasi 19 Ibid. Ibid. Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 56. 22 Rina Rusman, Op Cit, hlm. 58. 23 Ibid, hlm. 60. 24 KOMNAS HAM, Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia, www.komnasham.go.id/pendidikandan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasi-manusia (Diakses 22 Desember 2012, Pukul 22.14 WITA). 20 21 ( 352 ) Hak Anak - - - - - merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di dunia memikinya.Hakhak tersebut tidak bisa diserahkan secara sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan pernyataan yang tercantum dalam Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia: “Setiap umat manusa dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.” Tidak bisa dibagi (indivisibility). Kepentingan yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu sipil, politik, ekonomi, sosial ataupun budaya. Seluruh hak asasi manusia memiliki status yang setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan yang bersifat hirarkis. Hak seseorang tidak dapat diingkari oleh karena orang lain memutuskan bahwa hak tersebut kurang penting atau bukan yang utama. Prinsip indivisibility ini diperkuat kembali oleh Deklarasi Wina, 1993. Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain (interdependence and interrelatedness). Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu, hak untuk mendapatkan pendidikan atau hak untuk memperoleh informasi adalah hak yang saling bergantung satu sama lain. Sederajat dan tanpa diskriminasi (equality and non-discrimination). Setiap individu sederajat sebagai umat manusia dan memiliki kebaikan yang inheren dalam harkatmartabatnya masing-masing. Setiap umat manusia berhak sepenuhnya atas hakhaknya tanpa ada pembedaan dengan alasan apapun, seperti yang didasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh badan pelaksana hak asasi manusia. Turut berpartisipasi dan berperan aktif (participation and inclusion). Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, baik kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan kebebasan dasar. Ada pertanggungjawaban dan penegakkan hukum (accountability and rule of law). Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak. A.3 Perlindungan Terhadap Hak Anak Berdasarkan Prinsip-Prinsip HAM Dalam situasi amanpun anak membutuhkan perlindungan dalam artian yang luas demikian juga halnya anak yang berada dalam situasi konflik apalagi bila dihubungkan dengan situasi konflik bersenjata dimana dalam hal ini mereka masuk dalam katagori anak ( 353) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 yang membutuhkan perlindungan khusus.25 Secara normatif negara tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk melindungi dan membantu anak-anak pada saat terjadi konflik bersenjata. Kewajiban ini merupakan prinsip dasar dari hak asasi manusia (HAM) dan hukum perang (humanitarian law). Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal HAM dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan masing-masing hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam Konvensi Hak Anak terdapat empat prinsip umum yang kemudian ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas konvensi ini secara keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program penerapan dalam lingkup nasional. Prinsip-prinsip sangat penting untuk memahami bagaimana untuk sepenuhnya melaksanakan konvensi tersebut. - Prinsip Non-Diskriminasi (Pasal 2). Dalam Pasal 2 KHA bahwa semua hak berlaku untuk semua anak tanpa terkecuali dan dalam situasi apapun. Ini adalah kewajiban negara untuk melindungi anak dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari sianak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah dan untuk mengambil tindakan positif untuk menjamin hak-hak mereka.26 Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab, diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak.27 Prinsip ini juga merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM. - Prinsip Kepentingan Terbaik untuk Anak (Pasal 3). Prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif.28 Kepentingan terbaik bagi anak bukan dipahami sebagai memberikan kebebasan anak menentukan pandangan dan pendapatnya sendiri secara liberal. Peran orang dewasa justru menghindarkan anak memilih suatu keadaan yang tidak adil dan tidak eksploitatif, walaupun hal itu tidak dirasakan lagi oleh anak di dalam situasi konflik. - Prinsip atas Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (Pasal 6). http://magdalenasitorus.blogspot.com/2008/09/anak-dalam-situasi-konflik-bersenjata.html. (Diakses 22 Oktober 2012, Pukul 00.10 WITA). 26 Children Right’s in Walles: UNCRC dalam http://www.childrensrightswales.org.uk/uncrc-principles. aspx, (Diakses 9 januari 2013, Pukul 21:15 WITA). 27 Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008), hlm. 3. 28 Rika Saraswati, Op Cit, hlm. 25. 25 ( 354 ) Hak Anak Walaupun dalam keadaan konflik bersenjatapun, setiap anak tetap harus tetap dijamin hak untuk hidup dengan aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak yang harus dipenuhi oleh pihak yang disebutkan oleh KHA yang memiliki kewajiban dan tanggun jawab untuk itu. - Hak tumbuh dan berkembang anak dalam hal ini meliputi segala bentuk pendidikan (baik formal maupun nonformal) dalam KHA pada intinya terdapat hak untuk memperoleh akses pendidikan dalam segala bentuk dan tingkatan (education rights), dan hak yang berkaitan dengan taraf hidup secara memadai untuk pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the rights to standart of living). - Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Pasal 12). Mengacu kepada Pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely). negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.29 Prinsip ini juga merupakan pencerminan dari prinsip indivisibility HAM. B. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata Menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989 B.1 Latar Belakang dan Sejarah Konvensi Hak Anak Tahun 1989 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), untuk seterusnya akan disingkat dengan KHA, merupakan sebuah perjanjian internasional yang termasuk salah satu instrumen HAM internasional yang mengatur tentang prinsip-prinsip dasar perlindungan hak anak di muka bumi. Dalam hukum internasional Konvensi dikelompokkan sebagai salah satu sumber hukum internasional, selain kebiasaan internasional (International Custom), prinsipprinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The General Principles of Law Recognized by Civilized Nations) dan keputusan atau resolusi organisasi internasional (vide Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Agung Internasional).30 Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dengan Resolusi 44/25pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. KHA merupakan perjanjian internasional mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights). Kehadirannya mengesampingkan dikotomisasi antara hak sipil dan politik sebagai generasi pertama HAM dengan dengan hak Muhammad Joni, Op Cit, hlm. 5. Edy Ikhsan, Bebarapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, (Fakultas Hukum: Universitas Sumatera Utara, 2002), hlm. 1. 29 30 (355 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ekonomi, sosial dan budaya yang dikenal generasi kedua HAM.31 Di dalamnya diatur secara detail hak asasi anak dan tolak ukur yang harus dipakai pemerintah secara utuh dalam implementasi hak asasi anak di negara masing-masing. Dilahirkan dari system hukum dan nilai-nilai tradisional yang pluralis, KHA menjadi sebuah instrumen yang tidak begitu banyak dipersoalkan dan diperdebatkan oleh negara-negara anggota PBB.Ia mencerminkan hak dasar anak dimanapun di dunia ini: hak untuk hidup, berkembang, terlindungi dari pengaruh buruk, penyiksaan dan eksploitasi serta hak untuk berpartisipasi secara utuh dalam lingkup keluarga, kehidupan budaya dan sosial.32 Gagasan mengenai hak anak bermula sejak berakhirnya Perang Dunia I sebagai reaksiatas penderitaan yang timbul akibat daribencana peperangan terutama yang dialamioleh kaum perempuan dan anak-anak. Liga Bangsa-Bangsa saat itu tergerak karenabesanya jumlah anak yang menjadi yatimpiatu akibat perang.33 Pandangan ini dipengaruhi oleh laporan tentang ketidakadilan yang serius yang diderita oleh anak-anak: tingginya tingkat kematian anak, perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar. Ditemukan pula berbagai kasus yang mencemaskan mengenai anak-anak yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, mengenai anak-anak dalam penjara atau dalam keadaan yang lain, serta mengenai anak-anak sebagai pengungsi dan korban konflik bersenjata.34 Melirik sejarah perkembangannya, masyarakat dunia sekarang ini nampaknya harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional yang bekerja untuk perlindungan anak). Beliau, setelah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, merawat para pengungsi anak di Balkan, akibat Perang Dunia I, membuat sebuah rancangan “Piagam Anak” pada tahun 1923. Dalam ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan 7 (tujuh) gagasan mengenai hak-hak anak.35 Kemudian pada tahun 1924 untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara Internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa.Deklarasi ini dikenal juga sebagai Deklarasi Jenewa.Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1948 Majelis Umum PBB kemudian mengadopsi Deklarasi Universal Hak AsasiManusia pada tanggal 10 Desember. Peristiwa ini yang kemudian pada setiap tahunnya diperingati sebagai Hari HakAsasi Manusia se-dunia ini menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM dan beberapa hal menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup dalam deklarasiini.36 Deklarasi Umum tersebut menyatakan: “Semua manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam keluhuran dan hak dan juga menekankan bahwaIbu dan Anak berhak atas perlakuan perlindungan khususserta Muhammad Joni, Op Cit, hlm. 2. Edy Ikhsan, Loc Cit. 33 Supriyadi W. Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Materi : Pengantar Konvensi Hak Anak, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 1 34 Anonim, Hak Anak, Lembar Fakta No. 10 (Revisi 1), Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Anak, hlm. 3 35 UNICEF. Pengembangan Hak Anak: Pedoman Pengembangan Pelatihan tentang Konvensi Hak Anak, (Jakarta, 1996). Hlm. 8; Lihat juga M. Joni, dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999). Hlm. 30 dikutip dalam Edy Ikhsan, Loc Cit, hlm. 1-2. 36 Supriyadi W. Eddyono, Loc Cit. 31 32 ( 356 ) Hak Anak harus merujuk kepada keluarga sebagai kelompok yang fundamental dalam masyarakat”37 Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan Pernyataan mengenai Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak. Kemudian pada tahun 1979 negara Polandia mengajukan sebuah rancangan teks Konvensi Hak-hak Anak yang mengikat secara yuridis pada sebuah acara memperingati tahun anak, yang disponsori oleh PBB.38 Pada tanggal 20 November 1989, akhirnya, Konvensi Hak Anak, dengan 54 buah pasal yang kita kenal sekarang, diadopsi oleh PBB dan dinyatakan berlaku sejak September 1990. Sejak saat itu, KHA mempunyai ikatan hukum yang kuat bagi tiap negara yang meratifikasinya. Pada 31 Desember 1995, tidak kurang dari 185 Negara telah meratifikasi Konvensi ini. Jumlah seperti ini belum pernah tercapai sebelumnya di bidang hak asasi manusia. Konvensi juga untuk pertama kalinya membentuk suatu badan internasional yang bertanggung jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni Komite Hak-hak Anak (Committee on the Rights of the Child).39 Penting untuk diingat bahwa CRC membentuk sebuah komite mengenai hak anak tersebut, yang dimandatkan untuk memonitor kemajuan yang dibuat Negara pihak terhadap kewajiban mereka menurut konvensi dan protokol oprasionalnya.40 B.2 Substansi Materi Konvensi Hak Anak 1989 Konvensi ini merupakan instrument Internasional di bidang Hak Asasi Manusia dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Terdiri dari 54 pasal, Konvensi hingga saat ini dikenal sebagaisatu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia yang mencakup baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus. Mengkualifikasikan materi KHA bukan saja menegaskan apa yang merupakan hak-hak anak, namun juga bagaimana tanggungjawab negara menjalankan kewajibannya. Materi yang terkandung dalam KHA dapat dikualifikasi kepada:41 - Penegasan hak-hak anak, - Perlindungan anak oleh negara, - Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, orangtua, dan swasta) dalam menjamin, menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi hak -hak anak. Disamping itu, berdasarkan strukturnya, isi Konvensi ini terdiri atas empat bagian yaitu: - Mukadimah/Preambule. Didalam preambul atau mukadimah KHA di kemukakan http://www.unicef.org/crc/crc.htm. (Diakses 12 November 2012 Pukul 15:00 WITA). Supriyadi, Loc Cit. 39 Ibid. 40 Erica Harper, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation, (Jakarta: PT. Grasindo, 2009), hlm. 204. 41 Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008), hlm. 6 37 38 ( 357) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 bagaimana latar belakang dan landasan filosofis hak-hak anak.42 - Bagian I. Terdiri dari 41 pasal (Pasal 1 sampai dengan Pasal 41) yang berisi ketentuanketentuan subtantif menyangkut hak-hak anak. - Bagian II. Terdiri atas empat pasal (Pasal 42 sampai dengan Pasal 45) yang berisi ketentuan-ketentuan yang menyangkut mekanisme monitoring dan implementasi. - Bagian III. Terdiri atas Sembilan pasal terakhir (Pasal 46 sampai dengan Pasal 54) yang berisi ketentuan-ketentuan yang menyangkut pemberlakuan konvensi ini. - - - - Ada empat Prinsip yang terkandung didalam Konvensi Hak Anak, yakni :43 Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child). Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1). Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development). Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2). Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child). Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak. Selanjutnya, Hak-hak anak yang terdapat dalam KHA bisa dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:44 1. Hak untuk kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan dan perawatan sebaik-baiknya; 2. Hak untuk tumbuh kembang, yang meliputi segala hak untuk mendapatkam pendidikan, dn untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi perkembangan fiski, mental, spritual, moral dan sosial anak; 3. Hak untuk mendapatkan perlindungan, yang meliputi perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak-anak yang tidak mempunyai keluarga dan bagi anak-anak pengungsi; 4. Hak untuk berpartisipasi, meliputi hak-hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. 42 43 44 Ibid. Supriyadi W. Eddyono, Op Cit, hlm. 2-3 Edy Ikhsan, Op Cit, hlm. 3 ( 358 ) Hak Anak B.3 Perlindungan Hukum terhadap Anak Menurut KHA Tahun 1989 Pada Perang Dunia II, korban sipil terdiri 50% dari mereka yang mati, sebagian besar dari serangan bom. Namun, pada tahun 1996, dalam laporannya tentang Dampak Konflik Bersenjata pada Anak, Graça Machel45 memperkirakan bahwa warga sipil terdiri 90% korban perang dan proporsi terbesar dari para korban adalah perempuan dan anak. Abad sebelumnya angka ini telah hanya 5%.46 Terdapat enam pelanggaran berat terhadap anak selama konflik bersenjata yang disebutkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya, menjadi dasar Dewan dalam melindungi anak-anak selama perang. Hal tersebut dipilih karena kemampuan mereka untuk dipantau dan diukur, sifat mengerikan mereka dan keparahan konsekuensi mereka pada kehidupan anak-anak. Enam pelanggran berat tersebut adalah membunuh atau melukai anak-anak, rekrutmen atau penggunaan tentara anak-anak, perkosaan dan bentukbentuk kekerasan seksual terhadap anak-anak, penculikan anak-anak, serangan terhadap sekolah atau rumah sakit, serta penolakan akses kemanusiaan bagi anak-anak.47 Salah satu tugas yang paling mendesak ketika konflik mengancam adalah untuk menemukan cara untuk melindungi anak-anak. Perlindungan dalam pengertian ini berarti tidak hanya membela mereka melawan kekerasan, tetapi juga memastikan bahwa hak-hak dan kebutuhan mereka dihormati dan dipenuhi. Dalam hal ini Konvensi tentang Hak Anak Tahun 1989, adalah suatu bingkai hukum yang terpenting sebagai perlindungan terhadap hak anak terutama dalam konflik bersenjata. Konvensi Hak Anak merupakan sumber hukum yang memberi materi pada pembuatan hukum dan harmonisasi hukum tentang anak. Dengan demikian kaidah-kaidah yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak Tahun 1989 sekaligus merupakan materi hukum yang memberi isi peraturan perundang-undangan mengenai hak anak dan juga perlindungannya.48 Hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan Konvensi Hak Anak merupakan bagian integral dari instrument internasional tentang hak asasi manusia. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut: pertama, penegasan hak-hak anak. kedua, perlindungan anak oleh negara. Ketiga, peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak. Perlindungan terhadap hak asasi anak dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of armed conflict) diartikan sebagai perlindungan anak sebagai korban konflik (the protection of children as the victims of that conflict). Fokus perlindungan tersebut dititikberatkan pada Graca Machel terkenal di dunia atas komitmennya terhadap hak-hak anak dan perempuan, pendidikan, dan pembangunan. Dia menjabat sebagai Presiden Komisi Nasional UNESCO di Mozambik, sebagai delegasi ke Konferensi UNICEF tahun 1988. Pada tahun 1994 Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali menunjuk Graca ahli independen yang bertugas memproduksi Laporan PBB tentang Dampak Konflik Bersenjata pada Anak (The Impact of Armed Conflict on Children 1996, Graça Machel. A/51/306.Add.1) dan Graca menghabiskan 1994-1996 bepergian untuk menyelidiki penderitaan anak-anak di negara dilanda perang. (http://www.unicef. org/graca. Diakses 25 Januari 2013, Pukul 11.15 WITA). 46 Rachel Harvey, Children and Armed Conflict: A Guide to International Humanitarian and Human Right Law, (IBCR: Montreal, Canada, 2003), hlm. 5 47 Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict, the Six Grave Violation Against Children During Armed Conflict: the legal foundation, working paper N.1, UNICEF, Oktober 2009, hlm. 2-3. 48 Muhammad Joni, Op Cit, hlm. 72 45 ( 359 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 perlindungan anak dari dampak-dampak kekerasan, termasuk di dalamnya kebutuhan dasar hidup dan hak atas pendidikan. Cakupan perlindungan tersebut, meskipun tidak bisa dipisahpisahkan, meliputi 2 (aspek) berikut:49 a. Anak yang terlibat sebagai kombatan (children as participants); b. Anak sebagai bagian penduduk sipil yang menjadi korban konflik (children as victims).50 Ketentuan hukum mengenai perekrutan tentara anak dalam International Convention on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) hanya terdapat dalam Pasal 3851 yang memuat berbagai kewajiban negara untuk tidak merekrut anak di bawah usia 15 tahun dan memberikan perlindungan bagi anak yang terkena dampak konflik bersenjata. Protokol Tambahan tahun 2000 (Optional Protocol on the Involvement in Armed Conflict to the Convention on the Right of the Child). Pasal-pasal 1, 2, 3, 4 dan 6 yang mengatur tentang kewajiban negara untuk memastikan bahwa anak-anak yang berusia 18 tahun tidak terlibat secara langsung dan tidak merekrut secara wajib dalam suatu permusuhan dan dalam angkatan bersenjata. Ketentuan ini merupakan perbaikan dari Konvensi Hak Anak Tahun 1989 yang menyatakan bahwa batas usia minimum anak untuk dapat direkrut adalah 15 tahun. Selain itu, anak sebagai bagian dari penduduk sipil yang menjadi korban konflik bersenjata harus tetap mendapatkan perlindungan terhadap kebutuhan dasar dan hak atas pendidikannya. Hak anak untuk tetap menikmati hak atas pendidikan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang bersengketa, bagaimanapun sulitnya keadaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 dan 29 KHA. Pendidikan memiliki bagian penting dalam pencegahan dan pemulihan dalam memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak dalam situasi konflik dan pasca-konflik. Pendidikan juga melayani fungsi yang lebih luas. Pendidikan memberikan bentuk dan struktur untuk kehidupan anak-anak dan dapat menanamkan nilai-nilai masyarakat, mempromosikan keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam meningkatkan perdamaian, stabilitas dan saling ketergantungan. Selain pendidkan, kesehatan merupakan hal yang utama yang tidak dapat diabaikan, sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 24 KHA bahwa pihak-pihak yang bersengketa menjamin hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Anak-anak adalah yang paling rentan terhadap serangan kolektif pada kesehatan dan kesejahteraan dasar mereka, selain itu, salah satu efek yang paling langsung dari konflik bersenjata adalah gangguan pasokan makanan yang menyebabkan banyaknya anak-anak Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Memunculkan Anak sebagai Aktor Perdamaian: Upaya Memutus Siklus Konflik Secara Transformatif, (Jakarta: 2007), hlm. 15 50 Ben Majekodunmi, Protection in Practice: The protection of children’s rights in situations of armed conflict, UNICEF Experience in Burundi, (Italy: UNICEF Innocents Research Centre Florence, 1999), hlm. 3 51 Lihat Pasal 38 KHA. 49 ( 360 ) Hak Anak yang mengalami malnutrisi.52 Pada Pasal 39 dari Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa : “Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan reintegrasi sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan, penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam atau hukuman yg kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau konflik bersenjata. Penyembuhan dan reintegrasi tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan, harga diri dan martabat si anak.” Ketentuan tersebut memastikan bahwa kesehatan dan gizi, kesejahteraan psikososial dan pendidikan merupakan prioritas komponen bantuan kemanusiaan adalah cara terbaik untuk memastikan pemulihan fisik dan psikologis anak-anak dan reintegrasi sosial. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka terhadap anak yang berada dan menjadi korban dalam konflik bersenjata harus tetap mendapatkan perlindungan atas kesehatan, pedidikan serta perkembangan tubuh dan jiwanya. Selanjutnya, ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokkan menjadi:53 a. Hak atas kelangsungan hidup (survival rights); b. Hak untuk berkembang (development rights); c. Hak untuk berpartisipasi (participation rights); d. Hak untuk Perlindungan (protection rights). Memang disadari, adanya KHA dan instrumen internasional mengenai HAM lainnya tidak serta merta bisa merubah situasi dan kondisi kehidupan anak-anak di dunia. Namun dengan adanya instrumen tersebut, yang menjadi standar minimal, setidaknya ada acuan yang bisa digunakan untuk melakukan advokasi bagi perubahan atau mendorong lahirnya peraturan perundangan, kebijakan-kebijakan ataupun program-program yang lebih baik bagi anak-anak. KHA merupakan instrumen internasional yang telah memberikan dasar untuk bertindak. Jelas apa yang kurang adalah mekanisme dan kemauan untuk penegakan. III.PENUTUP Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child) merupakan instrumen yang berisirumusan prinsip-prinsip universal HAM dan ketentuan norma hukum mengenai hak-hak anak. Terdapat empat prinsip umum yaitu: prinsip nondiskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik untuk anak, prinsip atas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan prinsip penghargaan atas pendapat anak. UNICEF, The Impact of Armed Conflict on Child Development, http://www.un.org/rights/impact. htm. (Diakses 10 Januari 2012, Pukul 22:13 WITA). 53 Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah, Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hlm. 80-83. 52 ( 361 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Ratifikasi universal ataskonvensi tersebut merefleksikan komitmen global terhadap prinsipprinsip hak-hakanak, dan perlindungannya. Prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk memahami bagaimana untuk sepenuhnya melaksanakan konvensi tersebut dan memberikan arahan bagi programpenerapannya dalam lingkup nasional. Kebutuhan dasar anak-anak harus dilindungi ketika konflik mengancam, dan perlindungan tersebut memerlukan pemenuhan atas hak-hak mereka melalui pelaksanaan Konvensi Hak Anak Tahun 1989. Fokus perlindungan tersebut dititikberatkan pada perlindungan anak dari dampak-dampak kekerasan, termasuk di dalamnya kebutuhan dasar hidup dan hak atas pendidikan. Cakupan perlindungan tersebut meliputi Anak yang terlibat sebagai kombatan (children as participants) dan Anak sebagai bagian penduduk sipil yang menjadi korban konflik (children as victims). Konvensi ini merupakan perangkat hukum yang telah cukup memberikan perlindungan terhadap anak dalam hal keterlibatan anak dalam angkatan bersenjata “tentara anak” serta dalam hal penegakan hak-hak anak dalam situasi konflik. DAFTAR PUSTAKA Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era Otonomi Daerah, Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Anonim, Hak Anak, Lembar Fakta No. 10 (Revisi 1), Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Anak. Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo, 1989. Ben Majekodunmi, Protection in Practice: The protection of children’s rights in situations of armed conflict, UNICEF Experience in Burundi, Italy: UNICEF Innocents Research Centre Florence, 1999. Children Right’s in Walles: UNCRC dalam http://www.childrensrigh tswales.org.uk/uncrcprinciples.aspx, (Diakses 9 januari 2013, Pukul 21:15 WITA). Edy Ikhsan, Bebarapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, Fakultas Hukum: Universitas Sumatera Utara, 2002. Erica Harper, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation, Jakarta: PT. Grasindo, 2009. Fadillah Agus, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997. Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010. http://magdalenasitorus.blogspot.com/2008/09/anak-dalam-situasi-konfli k-bersenjata.html. (Diakses 22 Oktober 2012). http://www.unicef.org/crc/crc.htm. (Diakses 12 November 2012 Pukul 15:00 WITA). http://www.unicef.org/graca. (Diakses 25 Januari 2013, Pukul 11.15 WITA). ( 362 ) Hak Anak KGPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Jakarta: CV Rajawali, 1984. KOMNAS HAM, Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia, www.komnasham.go.id/ pendidikan-dan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasi-manusia (Diakses 22 Desember 2012, Pukul 22.14 WITA). Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008. Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo, 2000. Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008. M. Joni, dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999. Quincy Wright, A study of War, Chicago: The University Chicago Press, 1951. Rachel Harvey, Children and Armed Conflict: A Guide to International Humanitarian and Human Right Law, IBCR: Montreal, Canada, 2003. Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009. Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Suardi, Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Ilmiah Santika, Vol. 2 No. 3 Juli 2005. Hlm. 291. Supriyadi W. Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Materi : Pengantar Konvensi Hak Anak, Jakarta: ELSAM, 2005. UNICEF, Pengembangan Hak Anak: Pedoman Pengembangan Pelatihan tentang Konvensi Hak Anak, Jakarta, 1996. UNICEF, The Impact of Armed Conflict on Child Development, http://www.un.org/rights/ impact.htm. (Diakses 10 Januari 2012, Pukul 22:13 WITA). Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Memunculkan Anak sebagai Aktor Perdamaian: Upaya Memutus Siklus Konflik Secara Transformatif, Jakarta: 2007. ( 363 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 364 ) Indigenous People PERLINDUNGAN HAK ULAYAT INDIGENOUS PEOPLE DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Muh. Afif Mahfud* Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail: [email protected] Abstract: Indigenous people is society that has its own legal system to regulate its teritory known as teritorial right (hak ulayat). Teritorial right of indigenous people is always diminished or depleted by state authority over land as a dominant law. However, teritorial right is fundamental right that had been regulated in national and international legal instrument. Abstrak: Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang mempunyai tatanan hukumnya sendiri untuk mengatur wilayahnya yang disebut dengan hak ulayat. Hak ulayat tersebut senantiasa dikurangi atau dihilangkan dengan hak menguasai negara sebagai hukum dominan. Padahal, hak ulayat merupakan hak asasi yang telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional I. PENDAHULUAN Indigenous people (masyarakat hukum adat) merupakan kesatuan sosial yang mempunyai susunan yang teratur serta memiliki pengurus dan kekayaan sendiri baik kekayaan materiil maupun kekayaan imateriil1. Masyarakat hukum adat mendiami suatu wilayah tertentu yang di bawah penguasaan dan pengaturannya. Hak masyarakat untuk mengatur wilayahnya inilah yang dikenal dengan hak ulayat. Di Indonesia, masyarakat hukum adat sebagai kesatuan sosial telah ada sebelum Indonesia merdeka sehingga kepentingan masyarakat hukum adat tersebut harus pula diakui dan diakomodasi dalam hukum nasional. Pengakuan tentang masyarakat hukum adat di Indonesia telah tertuang dalam Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Dalam tataran implementatif, pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut harus berhadapan dengan hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Hak menguasai negara berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehuatanan dan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Padahal, hak ulayat masyarakat hukum adat adalah hak asasi yang telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional yaitu Universal Declaration on Human Right, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, International * Praktisi Hukum. Sarjana Hukum (S.H.) 2013 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar. ( 365 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Convenant on Civil and Political Right, Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Convention No. 169) tahun 1989, United Nations Declaration of the Rights of Indigenous People dan Declaration on The Right to Developement (DRD). Titik tolak pembahasan tulisan ini adalah pertanyaan bagaimanakah pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional serta bagaimanakah perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). II. PEMBAHASAN A. Pengakuan Hak Ulayat Indigenous People Dalam Sistem Hukum Nasional Di dunia, terdapat 1.072 kelompok masyarakat hukum adat dengan jumlah 370 juta jiwa yang menempati 70 negara termasuk 1 juta penduduk yang ada di Indonesia2. Masyarakat hukum adat yang menempati wilayah Indonesia ini telah ada sebelum Indonesia merdeka. Nilai-nilai masyarakat hukum adat telah menjadi sumber utama pembentukan pancasila melalui metode analisis dan sintesis. Pengakuan masyarakat hukum adat di Indonesia secara konstitusional terdapat pada Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Eksistensi masyarakat hukum adat diakui dengan syarat sepanjang masih hidup dapat diukur dari tiga kriteria yaitu adanya masyarakat hukum adat, adanya tanah/wilayah masyarakat hukum adat dan adanya tatanan hukum yang mengatur masyarakat tersebut3, sedangkan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia bermakna bahwa eksistensinya harus sesuai dengan undang-undang. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 18 B ayat (2) tersebut merupakan suatu hal yang sangat tepat karena menurut Von Savigny hukum tumbuh dalam masyarakat. Artinya, hukum tersebut harus sesuai dengan jiwa rakyat (volk geist) atau nilainilai yang ada di masyarakat. Masyarakat hukum adat yang hidup dalam corak religius magis, kontan, komunal dan konkrit juga akan memiliki sistem hukum yang memiliki corak hukum yang substantif4. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat nasional yang memiliki corak hukum yang formal-prosedural. Fergus Mac Kay menyatakan bahwa hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah dan sumber daya alam di dalamnya haruslah dipahami sebagai hal yang fundamental bagi kelangsungan budaya dan spiritual masyarakat tersebut. Bagi masyarakat hukum adat, tanah Kantor Perburuhan Internasional. Hak-hak Masyarakat Adat yang Berlaku; Pedoman untuk Konvensi ILO 169. (Jakarta, 2010) 3 Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan VI. (Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. 54-55 4 A. Suryaman Mustari Pide. Hukum Adat; Dulu, Kini dan Akan Datang. (Makassar : Pelita Pustaka, 2009), hlm. 51 2 (366 ) Indigenous People bukan hanya faktor produksi tetapi elemen spritual5. Hal senada juga dikemukakan oleh Ortiga bahwa tanah bagi masyarakat hukum adat bukan hanya bernilai ekonomi tetapi bagian dari sistem kehidupan dan kepercayaan masyarakat hukum adat6. Dalam hal inilah terjadi perbedaan antara pemahaman masyarakat pada umumnya dan masyarakat hukum adat. Achmad Sodiki menyatakan bahwa penyeragaman di bidang hukum ditopang oleh penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial menuntut tunduknya hukum lokal (adat) pada kriteria hukum undang-undang sebagai produk politik. Hal ini menimbulkan berbagai kesenjangan antara lain kesenjangan konsep, kesenjangan kesadaran hukum dan kesenjangan fungsi.7 Berdasarkan uraian tersebut maka tepatlah teori the law of non transferability law yang dikemukakan oleh Robert M. Seidman. Seidman menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Pendapat Seidman ini didukung oleh pandangan penganut aliran postmodernisme yang menyatakan bahwa hukum uniform yang dibentuk untuk diterapkan ke dalam masyarakat yang tidak uniform sudah tidak mungkin dipertahankan lagi karena hukum berbeda-beda sesuai konteks dan kultur hukum yang berbeda-beda8. Masyarakat hukum adat sudah seharusnya diberikan hak untuk mengatur wilayahnya sendiri yang dikenal dengan hak ulayat. Berdasarkan persepsi ini maka eksistensi hukum adat dengan sistem hukumnya sendiri harus dilindungi dan hukum nasional tidak boleh dipaksakan keberlakuannya kepada masyarakat hukum adat. Perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisionil dihormati sepanjang selaras dengan perkembangan zaman. Diakui dan dilindunginya masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional menunjukan bahwa Indonesia menganut pluralisme hukum. Griffths membagi pluralisme hukum tersebut menjadi dua yaitu pluralisme hukum yang kuat dimana hukum adat sejajar dengan hukum nasional dan pluralisme hukum yang lemah dimana hukum adat menjadi subordinat dari hukum nasional9. Merujuk pada teori tersebut maka sangat jelas bahwa Indonesia menganut pluralisme hukum yang lemah. Hal ini tampak dalam syarat pengakuan masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yaitu sepanjang masih ada, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selaras dengan perkembangan zaman. Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum yang lemah bermakna hukum adat berada di bawah hukum nasional. Artinya, sistem hukum masyarakat hukum adat diakui MacKay, Fergus. Indigenous Peoples’ Right to Free, Prior, and Informed Consent and the World Bank’s Extractive Industries Review. Makalah, World Bank Seminar, 2004. 6 Ortiga, Roque Roldán. 2004. “Models for Recognizing Indigenous Land Rights in Latin American. (Washington D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development The World Bank, 2004), hlm. 5 7 Teori tentang fungsi hukum sebagai a tool of social control (alat rekayasa sosial) dikemukakan oleh Roscoe Pound 8 Lily Rasjidi dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2001), hlm. 78 9 Soetandyo Wignjoesoebroto et.al. Untuk Apa Pluralisme Hukum?; Regulasi, Negosiasi dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia. (Jakarta: Epistema Institute, 2011), hlm.3 5 (367 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 keberlakuannya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Dianutnya pluralisme hukum yang lemah di Indonesia tentunya akan membahayakan eksistensi masyarakat hukum adat karena eksistensinya digantungkan pada hukum nasional. Jika ketentuan hukum nasional tidak berpihak pada pemenuhan hak masyarakat hukum adat maka masyarakat hukum adat hanya bisa menerima kenyataan tersebut. Kenyataannya, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa memiliki kecenderungan memantapkan eksistensi otoritas hukum yang terpusat dan pada saat yang sama melemahkan otoritas-otoritas hukum lokal (hukum adat). Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh masyarakat hukum adat akibat dianutnya pluralisme yang lemah adalah pemberlakuan paham hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Achmad Sodiki menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) bersifat lex spesialis terhadap hak menguasai negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 194510. Berdasarkan asas tersebut maka seharusnya hak menguasai negara tersebut tidak diberlakukan dalam wilayah masyarakat hukum adat dan kewenangan pengaturan wilayahnya diberikan kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan (hak ulayat). Abrar Saleng menyatakan bahwa hak ulayat dapat dipersamakan dengan hak bangsa dan wewenang kepala persekutuan hukum adat dipersamakan dengan hak menguasai negara11. Faktanya, paham hak menguasai negara tersebut jika disandingkan dengan hak ulayat menjadi lebih dominan sedangkan hak ulayat menjadi semakin inferior. Hal ini disebabkan hubungan yang tercipta antara hak ulayat dan hak menguasai negara tersebut tidak sejajar karena hak ulayat ditempatkan di bawah hak menguasai negara. Salah satu penyebab dominannya hak menguasai negara tersebut adalah tidak adanya batasan-batasan yang jelas tentang hak menguasai negara. Bahkan, hak menguasai negara tersebut rentan disalahfungsikan oleh penguasa demi kepentingannya. Dalam konteks inilah, hak menguasai negara tersebut harus ditentukan batas-batasnya agar tidak disalahgunakan oleh pihak manapun. Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa kewenangan negara harus dibatasi oleh dua hal, yaitu: pertama, hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat12. Ketiadaan batasan mengenai hak menguasai negara menyebabkan undang-undang yang berdasarkan paham tersebut cenderung mengeliminasi hak-hak masyarakat hukum adat. Achmad Sodiki. Politik Hukum Agraria. (Jakarta : Konstitusi Pers, 2013), hlm. 96. Abrar Saleng. Hukum Pertambangan. (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm. 51 12 Maria SW Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta. 10 11 ( 368 ) Indigenous People Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis dua undang-undang yang mengeleminasi hak ulayat masyarakat hukum adat yaitu Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanam) dan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat. Ketika hutan adat ditetapkan sebagai hutan negara maka masyarakat hukum adat yang berkeinginan mengelola dan memanfaatkannya harus terlebih dahulu memohon izin kepada pemerintah. Substansi pasal ini jelas menunjukan terjadinya perampasan lahan yang dilakukan negara. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kategorisasi hutan adat sebagai hutan negara telah melanggar Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 28 I UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa keberadaan hutan adat dalam kesatuannya dengan wilayah hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai living law13. Namun kenyataannya, hingga saat ini terdapat banyak masyarakat hukum adat yang hidup di wilayah yang telah diklaim sebagai hutan negara. Salah satu contohnya adalah orang rimba yang sebagian wilayahnya telah berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) akibat izin yang diberikan oleh pemerintah14. Upaya penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat juga terdapat dalam UU Minerba. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e UU ini dinyatakan bahwa pemerintah berwenang menetapkan wilayah pertambangan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam pasal ini, masyarakat hukum adat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan tidak dimintai keterangan dan persetujuan tentang penetapan wilayah pertambangan. Pasal ini jelas telah menghilangkan hak ulayat masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, menghilangkan sumber penghidupannya dan berpotensi melanggar hak masyarakat hukum adat atas lingkungan hidup yang baik. Melalui kedua undang-undang ini pemerintah telah berupaya secara sistematis untuk menghilangkan hak ulayat masyarakat hukum adat15. Lemahnya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat juga tampak dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengakuan hak ulayat. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut hanya dalam bentuk Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Bentuk hukum pedoman tersebut yang hanyalah suatu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang kekuatan mengikatnya (terutama mengikat ke luar instansi BPN) sangat lemah. Padahal, sengketa/konflik berkenaan dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya seringkali bersifat lintas sektor, berkaitan dengan kewenangan instansi-instansi lain di luar Badan Pertanahan Nasional seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2013 yang diucapkan pada tanggal 16 Mei 2013 Isyana Artharini, Mengembalikan Hutan Adat Ke Pemilik Aslinya. http://id.berita.yahoo.com/ blogs/newsroomblog/mengembalikan-hutan-adat-ke-pemilik-aslinya-.html. diakses pada tanggal 11 Januari 2013. 15 Maria S.W. Soemardjono. Kebijakan Pertanahan. Op. Cit. hlm. 56 13 14 ( 369 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Daya Mineral. Substansi Permen Agraria/Kepala BPN yang menyerahkan kewenangan mengakui eksistensi masyarakat hukum adat menurut penulis juga bermasalah karena pemerintah daerah juga berwenang menentukan izin lokasi industri sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Hal serupa juga terjadi dalam Pasal 37 UU Minerba yang menyatakan bahwa bupati berwenang untuk menerbitkan izin usaha pertambangan yang berada dalam satu wilayah kabupaten/kota. Dalam Pasal 171 UU tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah daerah kabupaten/ kota yang bersangkutan berhak mendapatkan 2,5% dari keuntungan investasi tersebut. Uraian tersebut menunjukan bahwa pemerintah daerah dihadapkan pada dua pilihan yaitu mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat yang tidak membawa keuntungan ekonomi atau memberikan izin lokasi kepada industri yang dapat membawa keuntungan ekonomi. Dalam posisi demikianlah maka pemerintah daerah dapat mengorbankan pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat demi kepentingan ekonomi daerah. B. Perlindungan Hak Ulayat Indogenous People Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Masyarakat hukum adat dengan ciri kehidupan tradisionalnya tentu sangat susah untuk mempertahankan hak-haknya di tengah-tengah sistem hukum yang modern. Masyarakat hukum adat dianggap sebagai masyarakat terbelakang, kondisi demikian menyebabkan hak ulayat masyarakat hukum adat rentan untuk dilanggar. Masyarakat hukum adat terkadang teralienasi dari lingkungan hidup yang sejatinya merupakan tonggak terdepan bagi eksistensi dan masa depan masyarakat hukum adat. Dalam konteks inilah, masyarakat hukum adat menjadi salah-satu entitas yang paling rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM)16. Sesuai dengan pendapat tersebut, Jack Donnely menyatakan bahwa masyarakat hukum adat rentan terhadap pelanggaran HAM dan perlu dilindungi dalam instrumen hukum internasional17. Menyadari pentingnya perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut maka dibentuklah berbagai konvensi untuk melindungi HAM masyarakat hukum adat diantaranya Konvensi ILO No. 107 Tahun 1957 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat dan Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara Merdeka. Salah satu perubahan dari Konvensi ILO No. 107 Tahun 1957 menjadi Konvensi ILO No. 169 Tahun 1989 adalah pengakuan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik masyarakat hukum adat tersebut. Kemudian, pada tanggal 12 September 2007, telah disahkan United Nations Declaration of the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Latar belakang dibuatnya UNDRIP tersebut adalah penderitaan dan ketidakadilan sebagai akibat dari penjajahan dan pencabutan tanahIfdhal Kasim. Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 253 17 Jack Donnely. Universal Human Rights in Theory & Practice. (Ithaca: Cornell University Press, 2003), hlm. 253 16 ( 370 ) Indigenous People tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tersebut. Pada tahun 2001, United Nation Working Group dalam penelitiannya menyatakan bahwa masyarakat hukum adat bukan hanya dipengaruhi tetapi juga mendapat kerugian dalam proses pembangunan. Sehingga, proses pembangunan seharusnya diselaraskan dengan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat18. Pelaksanaan konvensi dan deklarasi tersebut tentu tidak boleh dipisahkan dari instrumen hukum internasional tentang HAM lainnya yaitu Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, International Covenant on Civil and Political Right (ICPR) dan Declaration on The Right to Developement (DRD). Salah satu hal yang menjadi inti dari berbagai instrumen hukum internasional tersebut adalah the right of self determination. The right of self determination diatur dalam Pasal 1 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Right19. The right of self determination bermakna bahwa anggota sistem internasional manapun (masyarakat hukum adat) berhak untuk memiliki sistem sosial sendiri dan berhak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Hakhak ini ditentukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan oleh kelompok lainnya sehingga penghormatan terhadap the right of self determination dan pengakuan terhadap hak-hak individual merupakan hal yang sangat krusial. Sehingga, penghormatan terhadap the right of self determination masyarakat adat dan pengakuan terhadap kebebasan dan hak-haknya menjadi suatu hal yang sangat krusial. Dalam piagam PBB dinyatakan bahwa prinsip-prinsip the right of self determination adalah prinsip-prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam sistem internasional yang tercantum dalam Piagam PBB Pasal 1 dan Pasal 55. Guna mewujudkan the right of self determination terhadap semua individu dan kelompok termasuk masyarakat hukum adat maka Pasal 2 ICPR menekankan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menghormati hak-hak yang diakui oleh kovenan ini dan memastikan pelaksanaannya bagi semua individu sehingga yang berada di wilayahnya tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik ataupun lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran dan status lainnya. Kewajiban negara untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat juga terdapat dalam Pembukaan kovenan ini yang mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan penghormatan terhadap HAM serta mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan HAM. Bahkan, Pasal 5 Juncto Pasal 46 kovenan tersebut secara tegas melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM dan tafsiran HAM dalam kovenan ini tidak dapat diartikan secara lebih sempit. The right of self determination secara eksplisit diakui pula dalam Declaration On The Right of Developement (DRD) sebagai perwujudan integral dari pembangunan serta dalam pelaksanaannya memerlukan penerapan prinsip non diskriminasi. Artinya, negara Margot E. Salomon dan Arjun Sengupta. 2003. The Right to Developement : Obligation of States and the Rights of Minorities and Indigenous People. Minority Rights Group International. Hlm. 32 19 Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan SIPOL) pada tanggal 30 September 2005 18 ( 371 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 beserta individu berkewajiban untuk memenuhi the right of self determination setiap orang tanpa terkecuali termasuk terhadap masyarakat hukum adat. Kewajiban negara untuk memenuhi hak masyarakat hukum adat terdapat dalam berbagai instrumen hukum internasional. Dalam DRD dinyatakan bahwa negara harus memastikan bahwa masyarakat hukum adat akan mendapatkan hak-haknya dalam proses pembangunan. Sehingga, hak, kepentingan dan aspirasi masyarakat hukum adat tidak boleh dikesampingkan dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan hak terhadap pembangunan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Deklarasi ini adalah hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang untuk menikmati pembangunan ekonomi, sosial dan budaya merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan hak tersebut dapat berupa perorangan maupun kelompok sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) deklarasi ini. Selaras dengan Dalam Pasal 2 Konvensi ILO 169 tahun 1989 dan Pasal 38 UNDRIP diatur bahwa pemerintah berkewajiban mengambil langkah sistematis dan terkoordinasi untuk melindungi hak ulayat masyarakat hukum adat. Tindakan terkoordinasi dan sistematis bermakna pemerintah harus membuat undang-undang, kebijakan, program dan proyek secara komprehensif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat hukum adat dan melakukan pemantauan secara terus menerus atas kehidupan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab mengembangkan kepentingan dengan mengikutsertakan masyarakat yang berkepentingan, mengkoordinasikan dan melakukan tindakan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan menjamin bahwa mereka dihargai integritasnya. Tindakan terkoordinasi dan sistematis tersebut dijabarkan dalam ayat (2) pasal tersebut. Adapun tindakan-tindakan tersebut, meliputi: a) Menjamin anggota masyarakat adat untuk memperoleh manfaat secara merata atas hak dan kesempatan yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan oleh negara kepada penduduk lainnya b)Meningkatkan terwujudnya pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adat sesuai dengan identitas sosial dan budaya, adat istiadat dan lembaga mereka c) Membantu anggota masyarakat yang berkepentingan untuk membatasi kesenjangan sosial ekonomi dari masyarakat lain dengan cara yang sesuai dengan aspirasi dan jalan hidup mereka Adapun salah satu bentuk tindakan sistematis tersebut adalah pemantauan. Pemantauan tersebut bertujuan memastikan persamaan hak, kesempatan dan mengurangi ketimpangan sosial ekonomi masyarakat hukum adat dengan masyarakat lainnya. Pandangan umum Komite HAM No. 23 juga menyatakan bahwa negara wajib melakukan langkah-langkah positif untuk perlindungan HAM baik melalui kekuasaan legislatif, kehakiman maupun administratifnya. Declaration on the Right of Developement menyatakan bahwa kewajiban di tingkat nasional adalah kewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat hukum adat diantaranya adalah hak untuk menggunakan sumber daya alam, hak atas tanah, partisipasi representatif ( 372 ) Indigenous People serta transportasi di dalam proses pembuatan keputusan. Kewajiban untuk memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat hanya akan terealisasi melalui pemerintahan yang baik karena tanpa pemerintahan yang baik maka akan sangat susah untuk mewujudkan konsep perlindungan dan keadilan sosial. Pemerintahan tersebut harus menggunakan pendekatan berbasis hak terhadap pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat. Pendekatan hak ini sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan sebagaimana yang terdapat dalam Declaration on the Right of Developement. Deklarasi ini telah mengubah paradigma dari pembangunan model kesejahteraan menjadi kebijakan yang didasarkan pada hak-hak. Perubahan kebijakan dari pembangunan sebagai itikad baik menjadi pembangunan sebagai hak. Kewajiban pemerintah untuk melakukan tindakan sistematis dan terkoordinasi untuk melindungi hak ulayat masyarakat hukum adat bertolak belakang dengan realitas di Indonesia. Pemerintah Indonesia malah melakukan tindakan sistematis dan terkoordinasi untuk mengurangi bahkan menghilangkan hak-hak masyarakat hukum adat. Padahal, dalam Pasal 38 Deklarasi PPB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mewajibkan negara mengambil langkah-langkah legislatif yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Undangundang yang melanggar hak-hak masyarakat hukum adat antara lain UU Kehutanan dan UU Minerba. Substansi UU Kehutanan dan UU Minerba telah melegitimasi penghapusan hak ulayat masyarakat hukum adat dengan menempatkan hutan adat sebagai hutan negara serta penempatan dan penggunaan wilayah masyarakat hukum adat untuk kegiatan pertambangan mineral dan batu bara tanpa persetujuan masyarakat hukum adat. Hal ini jelas telah melanggar Pasal 8 ayat (2) UNDRIP yang menyatakan bahwa seharusnya pemerintah menyediakan mekanisme yang efektif bagi aktivitas yang mempunyai tujuan atau akibat pengambilalihan atas tanah dan sumber daya masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adatlah yang sejatinya memiliki hak untuk mengatur wilayahnya sendiri yang mengikat ke dalam dan ke luar. Seharusnya, jika pemerintah ingin menggunakan wilayah masyarakat hukum adat maka harus dengan seizin masyarakat hukum adat tersebut. Selain itu, kedua UU tersebut juga telah melanggar Pasal 2 ayat (2) DRD yang mengatur tentang pentingnya peraturan yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan hak-haknya yang tidak boleh dikesampingkan dalam proses pembangunan. Selain itu, ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin hak-hak masyarakat hukum adat juga tampak dalam bentuk peraturan yang mengatur mengenai pengakuan masyarakat hukum adat yang hanya dalam bentuk Peraturan Menteri. Bentuk peraturan ini tentu tidak akan optimal karena masalah hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan masalah yang kompleks dan lintas kementerian. Selain itu, pengakuannya pun tergantung pada kebijakan pemerintah daerah. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak serius dalam menjamin hakhak ulayat masyarakat hukum adat berakibat pada pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat secara meluas. Bagaimana tidak, pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat sedangkan masyarakat ( 373 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 hukum adat memiliki posisi tawar yang lemah untuk mempertahankan hak-hak sosial, hukum, politik dan ekonominya. Penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat akan berdampak pada penghilangan hak-hak individual yang kepemilikannya didasarkan pada hak ulayat tersebut. Penghilangan hak-hak individual masyarakat hukum adat telah melanggar Pasal 17 DUHAM yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain dan tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya secara sewenang-wenang. Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 10 UNDRIP yang menyatakan bahwa hak milik dan penguasaan oleh masyarakat hukum adat atas tanah yang ditempati secara tradisional harus diakui. Hal serupa juga berlaku bagi tanah-tanah yang tidak didiami oleh masyarakat hukum adat tetapi secara tradisional telah diakses untuk kegiatan pemenuhan kebutuhan hidupnya secara keseluruhan. Dalam Pasal 25 ayat (3) UNDRIP juga dinyatakan bahwa negara memberikan pengakuan dan perlindungan kepada tanah, wilayah dan sumber daya masyarakat hukum adat. Selain itu, Pasal 33 ayat (1) Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat mempunyai hak untuk menentukan identitas mereka sendiri atau keanggotaan menurut kebiasaan dan tradisinya. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan, tradisi dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan. Dengan demikian, identifikasi tanah, wilayah, sumber daya dan lingkup hak yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya tersebut tidak hanya didasarkan pada konsep hukum dan tradisi yang dihormati oleh negara yang seringkali berbenturan langsung dengan konsep hukum dan tradisi masyarakat adat. Declaration on The Right of Developement juga menegaskan bahwa masyarakat hukum adat memiliki kedaulatan atas kekayaan dan sumber daya alamnya. Konsepsi yang demikian didasarkan pada diadopsinya prinsip the right of developement di dalam DRD. Dalam DRD dinyatakan pula bahwa the right of self determination termasuk pula hak unutk berpartisipasi sebagai sebuah kelompok dalam merancang dan menerapkan sistem pembangunan yang berkelanjutan. Elemen kunci yang berkaitan dengan pemajuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai sebuah kelompok. Dalam konteks hukum nasional, penghilangan atau pencabutan hak individu masyarakat hukum adat tersebut juga bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan perlindungan kepada setiap orang atas pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya. Berdasarkan laporan HuMa pada tahun 2012, pelanggaran terhadap hak untuk memiliki atau menguasai kekayaan berjumlah 44 kasus20. Berdasarkan laporan HuMa, penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam paling sering terjadi yaitu sebanyak 58 kasus atau 25% dari jumlah pelanggaran HAM yang dialami masyarakat hukum adat hingga bulan November tahun 2012. Salah satunya adalah kasus perampasan tanah ulayat milik masyarakat Tanjung Medang oleh pengusaha di Muara Enim, atau pembabatan hutan 20 Ibid. ( 374 ) Indigenous People Kemenyan milik Kemenyan Humbahas oleh PT. Toba Pulp Lestari Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara21. Berbagai pelanggaran terhadap hak masyarakat hukum adat tersebut tentunya akan menimbulkan resistensi dari masyarakat hukum adat sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah serta masyarakat hukum adat dengan pihak investor. Hingga November 2012, HuMa mendokumentasikan 232 konflik sumberdaya alam dan agraria. Konflik pertambangan yang terjadi hingga saat ini mencapai 17 kasus dengan luas lahan pertambangan mencapai 29.780 ha. Selain itu, terdapat 72 konflik kehutanan dengan luas area konflik kehutanan mencapai lebih dari 1,2 juta hektar. Konflik tersebut terjadi di 17 provinsi. Konflik sektor kehutanan pada umumnya disebabkan hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Konflik tersebut melibatkan 91.968 orang dari 315 komunitas adat22. Ortiga menyatakan bahwa terdapat enam kriteria untuk menilai kualitas perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat23 yakni; pertama, pengakuan hak atas tanah masyarakat hukum adat. Kedua, pengakuan teritorial. Ketiga, hak-hak atas sumber daya alam. Keempat, pemberian hak atas tanah kepada masyarakat hukum adat. Kelima, otonomi masyarakat hukum adat untuk mengatur wilayahnya sendiri. Keenam, tindakan hukum yang dapat dilakukan masyarakat hukum adat guna mempertahankan tanahnya. Berdasarkan kriteria tersebut tampak bahwa hanya satu kriteria yang telah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia yaitu memberikan hak kepada masyarakat hukum adat untuk menuntut pemenuhan hak-haknya melalui pengadilan. Akan tetapi, kelima kriteria lainnya hingga saat ini belum dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Dalam konteks pembangunan masyarakat hukum adat di Indonesia tampaknya harus digalakkan melalui pendekatan global karena pendekatan internasional merupakan pendekatan yang sangat penting dalam mewujudkan hak atas pembangunan. Di dalam hak terhadap pembangunan, semua pihak dimaksudkan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3), Pasal 4 ayat (1), (2), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 Declaration on the Right of Developement. Selaras dengan hal tersebut, Komite International Covenant on Economic, Social and Cultural Right dalam menjelaskan Pasal 2 ayat (1) kovenan tersebut menyatakan bahwa maksud dari frase maximum of available resources adalah perlindungan terhadap hak-hak yang ada dalam kovenan ini dalam pemenuhannya juga melibatkan kerjasama dan bantuan internasional24. Dalam Pasal 28 UDHR juga dinyatakan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak hanya terbatas pada individu dan negaranya tetapi melekat pada semua entitas internasional. Ini berarti, semua negara di dunia berkepentingan dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya termasuk dalam konteks masyarakat hukum adat. 21 22 23 24 Pusat Data Base dan Informasi HuMa. Outlook Konflik Sumber daya agraria tahun 2012, hlm. 6 Ibid, hlm. 8. Ortiga, Roque Roldán. Op. Cit, hlm. 7 Margot E. Salomon dan Arjun Sengupta. Op. Cit, hlm. 34 ( 375 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Maraknya pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat hukum adat haruslah menyadarkan pemerintah bahwa perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan suatu hal yang mendesak dan penting untuk dilakukan. Langkah awal yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah membuat undang-undang tentang pembatasan hak menguasai negara, pembuatan undang-undang tersendiri tentang masyarakat hukum adat sebagaimana yang telah dilakukan Filipina serta edukasi terhadap masyarakat hukum adat tentang hak-haknya. III.PENUTUP Dalam hukum nasional, eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat telah diakui melalui Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI 1945. Pengakuan atas hak ulayat masyarakat hukum adat menjadi dilematis ketika harus dihadapkan dengan hak menguasai negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945. Hal ini disebabkan, hak menguasai negara tersebut hingga saat ini tidak ditentukan batas-batasnya secara jelas. Akibatnya, timbulnya peraturan perundang-undangan yang dapat mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat. Peraturan perundang-undangan yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut adalah Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Padahal, hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan bagian dari hak asasi. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran terhadap pelaksanaan hak ulayat tersebut adalah pelanggaran untuk melaksanakan hak otonomi, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam serta pelanggaran terhadap hak untuk memiliki atau menguasai kekayaan. Berbagai pelanggaran tersebut bermakna perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia belum maksimal baik ditinjau dari perspektif hukum nasional indonesia maupun dari perspektif hak asasi manusia. DAFTAR PUSTAKA A. Suryaman Mustari Pide. Hukum Adat; Dulu, Kini dan Akan Datang. Makassar: Pelita Pustakam 2009. Abrar Saleng. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press, 2004 Achmad Sodiki. Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi Pers, 2013. Ifdhal Kasim. Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Isyana Artharini, Mengembalikan Hutan Adat ke Pemilik Aslinya. http://id.berita.yahoo. com/blogs/newsroomblog/mengembalikan-hutan-adat-ke-pemilik-aslinya-.html. Diakses pada tanggal 11 Januari 2013. Jack Donnely. Universal Human Rights in Theory & Practice. Ithaca: Cornell University Press, 2003. ( 376 ) Indigenous People Kantor Perburuhan Internasional. Hak-hak Masyarakat Adat yang Berlaku; Pedoman untuk Konvensi ILO 169. Jakarta, 2010. Lily Rasjidi dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bhakti, 2001. Mac Kay, Fergus. Indigenous Peoples’ Right to Free, Prior, and Informed Consent and the World Bank’s Extractive Industries Review. 2004. Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah Oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta. __________________, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan VI. Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara, 2009. Margot E. Salomon dan Arjun Sengupta. The Right to Developement: Obligation of States and the Rights of Minorities and Indigenous People. Minority Rights Group International, 2003. Ortiga, Roque Roldán. “Models for Recognizing Indigenous Land Rights in Latin American. Washington D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development The World Bank, 2004. Pusat Data Base dan Informasi HuMa. Outlook Konflik Sumber daya agraria tahun 2012. Soetandyo Wignjoesoebroto et.al. Untuk Apa Pluralisme Hukum?; Regulasi, Negosiasi dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia. Jakarta: Epistema Institute, 2011. ( 377 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 ( 378 ) Penyelesaian Sengketa PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL DENGAN KEKERASAN BUKAN PERANG Albert Pede* Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo E-mail:[email protected] Abstract: The role of the state in international dispute resolution is needed in international law known some form of coercive measures, namely (1) Retorsion; (2) Reprisals, (3) pacific blockade, and (4) Intervention. Fourth it is the methods of international dispute resolution with violence not war. Abstrak: Peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional sangat dibutuhkan Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu (1) Retorsi; (2) Tindakan Pembalasan; (3) Blokade secara damai; dan (4) Intervensi. Keempat hal tersebut merupakan metode-metode penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang. I. PENDAHULUAN Hubungan negara-negara dalam pergaulan tata kehidupan masyarakat internasional tidak selamanya berjalan dengan baik, adakalanya dalam pergaulan masyarakat internasional tersebut terjadi ketidakharmonisan atau dapat dikatakan sebagai pertikaian. Pertikaian tersebut dapat timbul akibat arogansi negara terhadap negara lain, atau bisa jadi karena adanya campur tangan suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain, sehingga mengakibatkan negara yang satu tidak senang dengan negara lain. Hal-hal tersebut menjadikan pergaulan tata kehidupan masyarakat internasional menjadi semakin kompleks, karena setiap pertikaian harus dicarikan jalan keluarnya atau diselesaikan melalui penyelesaian sengketa yang terbaik agar pertikaian tersebut tidak terjadi secara berlarut-larut, bahkan dapat menambah pihakpihak (negara) yang ikut dalam sengketa tersebut. Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Sengketa politik adalah sengketa dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, misalnya atas dasar politik atau kepentingan nasional lainnya, sedangkan sengketa hukum ialah sengketa dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang * Pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Sarjana Hukum (S.H.) 2007 dari Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo, Magister Ilmu Hukum (M.H) 2012 dari Program Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia, Makassar. ( 379 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional,1 perlunya dibedakan antara yang satu dengan sengketa yang lainnya karena ini terkait dengan metode dari penyelesaian sengketa itu sendiri, dan setiap sengketa memiliki metode penyelesaiannya masing-masing. Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari ‘dispute’ John G. Merrills memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau objek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak-pihak lain.2 Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional. Persoalan yang timbul adalah apa yang bisa dijadikan sebagai subjek persengketaan. Menurut Merrills subjek dari persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan. 3 Subjek-subjek tersebut hingga saat ini masih eksis keberadaannya, bahkan semakin kompleks permasalahan yang dihadapi. Disamping itu harus pula dibedakan antara sengketa dengan konflik.4 Adapun John Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict). Sengketa (dispute) adalah: “a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in wich a claim or assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another”.5 Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara pihak-pihak yang seringkali tidak fokus. Dengan demikian, setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sengketa antara Indonesia dengan Malaysia menyangkut kepemilikan atas Pulau Sipadan Ligitan adalah sengketa (dispute), namun demikian perseteruan antara Amerika dengan Iran sejak kejatuhan Syah Iran adalah konflik mengingat begitu kompleksnya permasalahan antara kedua negara. Demikian halnya problem dengan Israel-Arab, menurut Merrills lebih tepat dikategorikan sebagai “situations” atau konflik menurut istilah John Collier. Hal ini dikarenakan kompleksnya permasalahan pihak-pihak terkait, dan dalam situations itu umumnya terdapat Lihat Melda Theresia S, Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Kekuatan Bersenjata Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Menjaga Perdamaian Dunia, (Makalah), hlm. 2; Lihat juga Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Jakarta: Alumni, 2001), hlm. 188 2 Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 224; Lihat juga John G. Merrills, International Dispute Settlement, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), hlm. 1 3 Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Ibid.; Lihat juga John G. Merrills, The Means of Dispute Settlement, dalam Malcolm D. Evans (Ed.), International Law, (New York: Oxford University Press, 2003), hlm. 529-530 4 Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Ibid.; Lihat juga John O’Brien, International Law, (London: Cavendish, 2001), hlm. 633 5 Lihat Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 322; Lihat juga John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law, (New York: Oxford University Press, 1999). 1 ( 380 ) Penyelesaian Sengketa banyak specific disputes,6 apalagi di era yang semakin modern seperti sekarang ini, maka jenis dari sengketa itupun makin beragam macamnya. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain.7 Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara,8 sehingga sengketa-sengketa yang terjadi di masa sekarang membutuhkan penanganan yang extra, karena aktor yang terlibat bukan hanya negara. Dalam praktik hubungan antarnegara pada saat ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadi organisasi intergovernmental yang besar.9 Sejak diadopsinya Piagam PBB muncul anggapan bahwa penggunaan kekerasan atau perang telah diharamkan dalam praktik hubungan internasional sebagai kelanjutannya, negara-negara harus menggunakan metode-metode damai sebagai satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka untuk menyelesaikan segala sengketa yang dimilikinya. Sehingga hanya dua kemungkinan yang tersisa bagi penggunaan kekerasan, yakni dalam hal bela diri dan apabila terdapatnya otorisasi dari Dewan Keamanan PBB. Ketentuan ini di anggap para ahli hukum sebagai jantung dari ketentuan dalam piagam dan prinsip yang paling penting yang terdapat dalam hukum internasional kontemporer. Misalnya, Pasal 2 (3) Piagam PBB menyatakan selain adanya kewajiban bagi semua negara untuk menyelesaikan pertikaian secara damai, dalam situasi perdamaian internasional, keamanan dan keadaan tidak terancam.10 Oleh karena itu dalam hal ini peran dari PBB sangat dibutuhkan guna mentertibkan negara-negara sebagai kesatuan masyarakat internasional Konsep yang saat ini terus dikembangkan, yaitu konsep “hidup berdampingan secara damai” (peacefull co-existence).11 Lahirnya sejumlah negara baru setelah perang dunia kedua,12 membuat hubungan negara-negara tersebut sangat berpotensi terjadinya sebuah sengketa. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa suatu sengketa bukanlah suatu sengketa menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya tidak mempunyai akibat pada hubungan keduabelah pihak.13 Oleh karena itu mengidentifikasi sebuah sengketa internasional Sefriani, Ibid. Pirhot Nababan, Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Diplomatik, Lihat http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/07/tinjauan-umum-penyelesaian-sengketa.html di akses pada tanggal 26 Februari 2014 8 Sefriani, Op.Cit. 9 Lihat Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 90 10 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit. 11 Lihat T. May Rudi, Hukum Internasional 1, Cetakan Ketiga, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hlm. 48 12 Lihat Muhammad Ashri, Hukum Perjanjian Internasional, Dari Pembentukan Hingga Akhir Berlakunya, (Makassar: Arus Timur, 2012), hlm. 177 13 Lihat Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 3 6 7 ( 381 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 itu sangat penting dibutuhkan agar dapat diselesaikan / dicarikan solusinya sesuai dengan metode-metode yang disediakan oleh hukum internasional atau dengan kata lain metode tersebut tidak melanggar kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimanakah peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional? dan Bagaimanakah penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang? II. PEMBAHASAN A. Peran Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional Negara dalam menghadapi sengketa internasional maka dibutuhkan peran aktifnya guna dapat menyelesaikan sengketa-sengketa internasional baik yang dihadapinya secara langsung, maupun permintaan dari negara lain yang sedang bersengketa untuk dibantu dalam penyelesaiannya. Peran negara dalam konteks tersebut terkait dengan yurisdiksi universal yang dimiliki oleh setiap negara yang berdaulat sebagai salah satu subjek dari hukum internasional. Yurisdiksi universal ini tidak semata-mata berkaitan dengan tempat atau waktu maupun pelaku dari peristiwa hukum tersebut melainkan berdasarkan kepada corak dan sifatnya sendiri. Misalnya, peristiwa itu menyangkut kepentingan semua negara atau semua umat manusia tanpa memandang tempat terjadinya persitiwa, tanpa memandang kewarganegaraan dari si pelakunya maupun korbannya sendiri, tanpa memandang waktu atau kapan terjadinya peristiwa tersebut dan lain sebagainya. Dalam hal ini, sepatutnyalah peristiwa itu tidak dibiarkan begitu saja lewat tanpa terjangkau oleh hukum. Hukum internasional menetapkan bahwa terhadap peristiwa seperti ini tunduk pada yurisdiksi semua negara di dunia. Jadi sifatnya universal. Sifat dan corak universal ini dapat ditinjau dari sudut waktunya, tempatnya, pelakunya, korbannya, dan sudah tentu yang terpenting tersentuhnya rasa keadilan semua umat manusia. Dengan singkat dapat dirumuskan yurisdiksi universal ini yaitu yurisdiksi suatu berdasarkan hukum internasional atas suatu peristiwa hukum yang melibatkan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja yang menyangkut kepentingan dan rasa keadilan semua umat manusia.14 Jadi yurisdiksi universal ini sangat dibutuhkan suatu peran aktif dari negaranegara di dunia. Oleh karena itu terhadap peristiwa hukum yang demikian itu adalah menjadi kewajiban dan tanggungjawab semua negara untuk mencegah dan memberantasnya. Suapaya yurisdiksi ini menjadi benar-benar efektif, maka setiap negara sepatutnya mengatur di dalam hukum nasionalnya masing-masing atas peristiwa hukum seperti itu, sesuai dengan isi dan jiwa dari yurisdiksi universal yang telah diberikan oleh hukum internasional. dengan demikian dapat diharapkan bahwa pelaku peristiwa hukum tersebut tudak akan terhindar dari jangkauan hukum.15 Dalam interaksinya satu sama lain amat besar kemungkinannya negara 375 14 Lihat I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 15 Ibid. ( 382 ) Penyelesaian Sengketa membuat kesalahan ataupun pelanggaran yang merugikan negara lain, disinilah muncul pertanggungjawaban negara.16 Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilator belakangi pemikiran bahwa tidak ada satupun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaikinya atau dengan kata lain mempertanggungjawabkannya.17 Hal ini sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam system hukum dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum akan menimbulkan tanggungjawab bagi pelanggarnya.18 Menjadi penting kiranya ketika tanggungjawab ini kemudian tidak dijalankan oleh semua negara. Dalam hukum internasional dikenal adanya dua macam aturan, primary rules dan secondary rules. Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau instrument lainnya. Adapun secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh negara. Secondary rules inilah yang disebut hukum tanggungjawab negara (the law of state responsibility).19 Hal ini yang kemudian menjadikan peran aktif dari suatu negara terhadap penyelesaian sengketa internasional menjadi salah satu dari sekian banyak tanggungjawab yang dimiliki oleh negara-negara berdaulat dewasa ini. B. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Kekerasan Bukan Perang Pada bagian kedua abad ke-20, salah satu ciri pokok masyarakat internasional ialah bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat implementasi dekolonisasi. Bila di waktu berdirinya di tahun 1945, PBB hanya beranggotakan 51 negara, sekarang jumlah tersebut hampir mencapai 4 kali lipat yaitu 191, ditambah Vatikan yang tetap berada di luar organisasi dunia tersebut. Jumlah negara merdeka di dunia dewasa ini adalah 192 dan 141 lahir sesudah tahun 1945. Ini berarti bahwa negara-negara baru tersebut sama sekali tidak ikut merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional zaman sebelumnyayang mengatur kehidupan dalam pergaulan antarbangsa. Lalu timbul pertanyaan mengenai sikap mereka terhadap hukum internasional,20 karena sikap tersebut merupakan kekuatan dari daya ikat kaidah-kaidah hukum internasional Negara-negara berkembang yang jumlahnya sekitar 145 dengan sistem pemerintahan yang saling berbeda tidak selalu mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap hukum internasional. Namun dalam banyak hal terutama bagi Negara-negara Asia dan Afrika terdapat kesamaan pandangan terhadap sistem hukum tersebut. Sebelumnya negara-negara Asia dan Afrika mempunyai sikap yang kritis terhadap hukum internasional dengan salah Sefriani, Op.Cit, hlm. 266; Lihat juga Mohamad Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm. 47 17 Sefriani, Ibid.; Lihat juga Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cetakan Pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 173 18 Sefriani, Ibid.; Lihat juga Martin Dixon, Textbook on International Law, (Blckstone Press Limited, 2000), hlm. 231 19 Sefriani, Ibid. hlm. 266-267 20 Lihat Alma Manuputty dkk, Hukum Internasional, (Depok: Rechta, 2008), hlm. 191 16 ( 383 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 satu alasannya karena pengalaman pahit yang dialami di waktu berada di bawah hukum internasional di zaman kolonial karena ketentuan- ketentuan hukum yang dibuat pada waktu itu hanya untuk kepentingan kaum penjajah. Bahkan akibatnya masih dirasakan sampai zaman sesudah kemerdekaan,21 trauma tersebut yang menjadikan kemudian negara-negara dunia ketiga memiliki jarak dalam pergaulan internasional terhadap negara-negara maju. Dalam proses penyelesaian sengketa, dikenal beberapa jenis upaya penyelesaian sengketa. Sebuah sengketa internasional dapat diselesaikan melalui jalur kekerasan ataupun dengan cara damai. Tindakan kekerasan dapat berupa perang, tindakan bersenjata non-perang, retorsi, reprisal, blokade damai, embargo, maupun intervensi. Sedangkan cara damai dapat ditempuh melalui jalur pengadilan yang dapat berupa arbitrase internasional atau pengadilan internasioal, maupun melalui jalur diluar pengadilan yang dapat berupa negosiasi, mediasi, jasa baik, konsiliasi, penyelidikan, penemuan fakta, penyelesaian regional, maupun melalui PBB,22 bahkan dalam beberapa hal tertentu sengketa-sengketa tersebut wajib menggunakan penyelesaian melalui konsiliasi,23 namun tidak menjadi mutlak digunakan ketika sengketasengketa tersebut berkaitan dengan hukum internasional publik. Dewasa ini hukum internasional memiliki peran besar dalam menyelesaikan sengketa internasional, diantaranya: 1. Pada prinsipnya, hukum internasional berupaya agar hubungan antarnegara terjalin lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan; 2. Hukum internasional member aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya; 3. Hukum internasional member pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara, prosedur, atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya; dan 4. Hukum internasional modern semata-mata menganjurkan cara penyelesaian secara damai, baik sengketa itu bersifat antarnegara maupun antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.24 Bila terjadi sengketa dan ternyata para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketanya secara damai, kadang-kadang salah satu pihak terpaksa mengambil tindakan sepihak. Tindakan sepihak demikian dilakukan dengan sasaran untuk mencapai tujuannya dengan menguntungka pihaknya sendiri. Tindakan tersebut berupa tindakan paksaan, yang berupa tekanan agar pihak lain merasa terpaksa menerima kehendaknya. Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu : Ibid. hlm. 191-192 Lihat Revy S. Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional, Jurnal Universitas Sam Ratulangi Manado, Vol.XXI/No.3/AprilJuni/2013, hlm. 33 23 Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003), hlm. 191 24 Lihat Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional Dan Hukum Islam Tentang Sengketa Dan Perdamaian, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2013), hlm. 256-257 21 22 ( 384 ) Penyelesaian Sengketa 1. Retorsi (retorsion); 2. Tindakan Pembalasan (reprisals); 3. Blokade secara damai (pacific blockade); dan 4. Intervensi (intervention).25 Keempat hal tersebut di atas merupakan metode-metode penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang. Apakah yang dimaksud dengan keempat metode penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang tersebut. Berikut penulis akan uraikan satu persatu. 1. Retorsi Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan yang tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi kehormatan negara yang kehormatannya dihina, misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan previlege-previlege diplomatik.26 Pengertian lain tentang retorsi dijelaskan bahwa retorsi adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang telah lebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat. Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya retorsi berupa tindakan yang sama atau yang mirip dengan tindakan yang telah dilakukan oleh negara yang dikenai retorsi. Dapat dicontohkan, misalnya deportasi dibalas dengan deportasi atau pertanyaan persona non grata dibalas dengan pernyataan persona non grata.27 Retorsi adalah tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan negara yang telah melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupakan tindakan self help. Wujud retorsi antara lain: a. Pemutusan hubungan diplomatic; b. Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik; c. Penarikan konsesi pajak atau tarif; d. Pengehntian bantuan ekonomi;28 e. Pembatasan gerak-gerik perwakilan diplomatik negara lawan; f. Penarikan kembali exequatur bagi konsul negara lawan; g. Penghapusan hak-hak istimewa warga negara / perusahaan milik negara lawan; h. Penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas; dan i. Penolakan barang impor hasil negara lawan.29 Lihat, Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI Press, 2006),hlm. 196 26 Lihat Danial, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses Penyelesaian Konflik Internasional, Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional Jakarta, hlm. 2337 27 Sefriani, Op.Cit. hlm. 349 28 Ibid. 29 Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 197 25 ( 385 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Jika kita perhatikan maka retorsi tidak melanggar hukum internasional. sebaliknya jika dilihat dari kepentingan negara lawan, maka retorsi ini melanggar haknya. Cirri khas dari retorsi ini adalah bahwa tindakan pembalasan tidak bertentangan / melanggar hukum internasional. hukum internasional sebagai tertib hukum ditinjau dari segi retorsi ini menunjukkan kelemahannya, karena pembelaan hak diserahkan pada pihak yang berkepentingan. Retorsi ini dalam praktiknya sangat bervariasi bentuknya, maka sukar untuk memberikan criteria yang dapat dijadikan pembenaran tindakannya. Dalam rangka PBB maka anggota PBB untuk mempraktikan retorsi ada rambu-rambunya yang ditetapkan dalam Piagam PBB Pasal 2 (3). Bila tindakan retorsi ini dalam keadaan tertentu dapat membahayakan bagi perdamaian dan keamanan internasional. maka tindakan retorsi itu menurut Starke dapat dianggap ilegal.30 2. Tindakan Pembalasan Tindakan-tindakan pembalasan adalah metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakantindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal, sedang retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dibenarkan oleh hukum.31 Suatu tindakan kekerasan agar dapat dianggap sebagai tindakan pembalasan, maka tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat : a. Bahwa telah di usahakan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai; b. Bahwa pihak lawan telah melakukan tindakan melawan hukum; c. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak dapat dilakukan dengan berlebih-lebihan. Misalnya tuntutan yang diajukan tidak seimbang dengan kerugian yang diderita; d. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak boleh merugikan kepentingan negara ketiga dan warganegaranya; e. Tindakan pembalasan tersebut harus dihentikan bila keadaan yang di tuntut telah dipenuhi oleh pihak lawan. Yang dimaksudkan dengan keadaan tersebut adalah keadaan pemulihan hak atau penggantian kerugian yang menjadi sebab dilakukan tindakan pembalasan.32 Pada masa sekarang tindakan pembalasan dapat berupa : a. Tindakan terhadap diri atau kekayaan warganegara lawan; b. Pemboman atas wilayah tertentu; c. Penduduk atas wilayah pihak lawan; d. Penghentian pembayaran hutang.33 Tindakan pembalasan sendiri dapat dibedakan antara tindakan pembalasan yang positif dan yang negatif. Tindakan pembalasan yang positif adalah tindakan yang dalam keadaan normal merupakan tindakan yang melanggar hukum internasional. sedangkan yang dimaksud 30 31 32 33 Ibid. Danial, Op.Cit., hlm. 2338 Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 198 Ibid. hlm. 198-199 ( 386 ) Penyelesaian Sengketa dengan tindakan pembalsan yang negatif adalah suatu penolakan untuk melakukan kewajiban internasional, misalnya pemenuhan kewajiban untuk suatu perjanjian internasional.34 Hukum internasional telah mengenal hak sebuah negara untuk menyatakan pembalasan atau retaliasi sebagai alat untuk mempertahankan hak yang dilanggar oleh negara lain. Sejarah awal perkembangan hukum pembalasan memperlihatkan kekauan formalism hukum. Pada abad ke-16 dan ke-17, misalnya, perang terus pecah dan tidak ada rujukan kecuali dalam buku-buku hukum yang menyatakan bahwa pernyataan perang itu sendiri bisa menjadi legal. Ada perkembangan praktik yang berkaitan dengan pembalasan yang sangat diperbolehkan pada masa itu.35 Jika, contohnya, armada Spanyol menangkap kapal saudagar Inggris, ia bisa mengajukan surat permohonan pembalasan kepada Raja yang mensahkannya secara legal untuk maju dan menangkap kapal milik Spanyol yang setara nilainya untuk menggantikan kerugian saudagar tersebut. Jika setelah penangkapan miliki Spanyol yang ia sanggup lakukan ternyata nilainya melebihi apa yang dinyatakan, harus ada penghitungan yang kemudian hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Inggris untuk dikembalikan kepada Spanyol. Kenyataan yang terjadi adalah permintaan hukum pembalasan ini dipelajari dengan menggunakan coda duello.36 Praktiknya, dalam bentuk yang paling terorganisir, menyebabkan pertumbuhan angkatan laut nasional, yang menggantikan tindakan negara untuk tindakan individu. Mungkin dapat dikatakan bahwa masyarakat internasional saat ini memasuki periode ketiga, dimana tindakan internasional bersama menggantikan tindakan negara. Tentu saja, semua yang telah disebutkan yang berkaitan dengan bentuk pertolongan sendiri berdasarkan hukum negara modern berlaku sama dengan masalah pembalasan atau retaliasi. Negara yang bertikai sekarang memiliki tugas, jika ia merupakan negara anggota PBB, untuk merujuk kasusnya kepada Dewan Keamanan dan tidak mengambil tindakan dengan mengatasnamakan dirinya sendiri.37 Praktik yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Britania Raya sejak pembentukan PBB merupakan contoh yang jelas untuk perujukan terhadap prosedur yang baru. Pada bulan Agustus 1946 Amerika Serikat memprotes Yugoslavia terkait tindakan agresif yang dilakukan terhadap pesawat Amerika Serikat yang terbang melewati Yugoslavia ketika pesawat tersebut terpaksa melalui daerah tersebut akibat cuaca buruk. Amerika Serikat mengajukan tuntutan yang berhubungan dengan pesawat dan crew-nya yang terpaksa harus mendarat dan menyatakan permintaan tersebut dalam bentuk ultimatum, meminta persetujuan dalam waktu 48 jam. Namun, alih-alih menggunakan ancaman lama sebagai tindakan untuk masalah pelanggaran, Amerika Serikat menyatakan bahwa jika permintaannya tidak dipenuhi, Ibid. hlm. 199 Lihat Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations, Pengantar Hukum Modern Antarbangsa, alih bahasa Fitria Mayasari, (Bandung: Nuansa, 2012), hlm. 204-205 36 Philip C. Jessup, Ibid. hlm. 205; Lihat juga Clark, The English Practice With Regards to Reprisals by Private Persons, 27 Am. J. International Law 1993, hlm. 694 37 Philip C. Jessup, Ibid. 34 35 ( 387 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 Amerika Serikat akan “menghubungi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan pertemuan secepatnya dan mengambil tindakan yang tepat”. Masalah tersebut diselesaikan melalui negosiasi langsung antara dua pemerintahan dan tidak mendahului Dewan Keamanan PBB.38 Pada tanggal 9 Desember 1946, Pemerintah Inggris mengajukan nota kepada Pemerintah Albania sehubungan dengan insiden Kanal Corfu; pada tanggal 15 Mei, kapal perang Inggris telah ditembak oleh penjaga pantai Albania, dan pada tanggal 22 Oktober 2 kapal penghancur Inggris terkena ranjau yang mengakibatkan kerusakan serius kepada kedua kapal serta menelan korban 44 tentara dan pelaut. Setelah mempertanyakan keabsahan Pemerintah Albania di bawah hukum internasional, Pemerintah Inggris menuntut permintaan maaf, perbaikan kerusakan kapal, dan kompensasi penuh terhadap kerabat korban. Nota tersebut juga berisi: “Jika tidak ada balasan yang memuaskan setelah 14 hari pengiriman nota ini maka Pemerintah Inggris tidak memiliki pilihan lain selain membawa masalah ke Dewan Keamanan PBB sebagai ancaman serius, serta pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional, menunjukan tindakan criminal atas keamanan pelaut yang tidak bersalah dari negara manapun yang secara sah menggunakan jalur internasional”. Balasan dari Pemerintah Albania, tertanggal 21 Desember dianggap tidak memuaskan. Maka pada tanggal 10 Januari 1947 perwakilan Inggris menyerahkan surat tersebut kepada Sekertaris Jenderal PBB untuk di daftarkan kepada Dewan Keamanan bedasarkan Pasal 35 Piagam PBB.39 3. Blokade Secara Damai Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, pada umumnya tindakan itu ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.40 Blokade damai sudah lebih dari reprisal tetapi masih di bawah perang. Beberapa penulis meragukan legalitas blokade damai juga sebagai tindakan. Demikian halnya tindakan unilateral blokade damai dipertanyakan keabsahannya ditinjau dari Piagam PBB.41 Blokade secara damai lazim dipakai untuk memaksakan agar negara pihak lawan menyetujui permintaan negara yang memblokir. Jika kita bandingkan dengan bentuk tindakan pembalasan maka blokade dengan damai adalah bentuk khusus dari tindakan pembalsan. Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa blokade damai dapat dikategorikan sebagai intervensi atau tindakan pembalasan. Blokade secara damai disebutkan dalam Pasal 42 Piagam PBB yaitu sebagai salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan tugasnya untuk memulihkan dan mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional. menurut Starke ada beberapa hal yang postif dengan penggunaan blokade damai ini, karena blokade damai ini tidak menggunakan kekerasan sebagaimana 38 39 40 41 Ibid. hlm. 205-206 Ibid. hlm. 206 Danial, Op.Cit., hlm. 2338 Sefriani, Op.Cit. hlm. 352 ( 388 ) Penyelesaian Sengketa perang yang sifatnya luwes jika dibandingkan dengan tindakan pembalasan, maka tindakan blokade damai ini dianggap sebagai perang. Negara-negara maritime yang kuat menggunakan blokade damai untuk menghindarkan beban perang dan kesulitan akibat perang.42 4. Intervensi Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi atau barang di negara tersebut.43 Intervensi sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan sengketa antara pihak yang terlibat dalam konflik. Ini merupakan campur tangan pihak ketiga dalam sengketa antar para pihak yang terlibat dalam konflik yang bermaksud untuk menyelesaikan sengketa meraka. Campur tangan pihak ketiga dalam mencari penyelesaian antara para pihak yang bersengketa harus dibedakan dengan campur tangan pihak ketiga dalam sengketa yang berupa good offices, mediasi atau nasihat-nasihat pihak ketiga dalam usaha mencari penyelesaian sengketa. Intervensi pihak ketiga dimaksudkan agar para pihak yang sedang konflik mencari penyelesaian secara damai misalnya dengan cara melalui arbitrasi atau dengan cara menerima kondisi-kondisi tertentu yang di usulkan oleh pihak ketiga. Negara pihak ketiga dalam intervensi ini dapat bertindak sendiri atau bersama-sama.44 Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga dapat terjadi pada saat konflik antara pihak mulai muncul sampai para pihak dapat mencapai penyelesaian sengketanya bahkan sengketa setelah dicapai penyelesaian sengketa. Sering terjadi intervensi dilakukan sebelum pecah perang antara para pihak karena intervensi dilakukan untuk mencegah pecahnya perang. Dalam hal tertentu intervensi juga dapat dilakukan pihak ketiga setelah pecah perang antara para pihak sebagai konsekuensi dari sengketa mereka. Dalam abad ke-19 prinsip non intervensi dikemukakan Wolf Vattel telah mendapat pengakuan. Namun hukum internasional dalam abad ke-19 ditandai dengan adanya pengecualian atas prinsip non intervensi ini, yang disebut dengan hak intervensi di dasarkan pada perjanjian atau pada prinsip penolong diri sendiri (self help) atau penjagaan diri sendiri (self reservation). Usaha negara-negara monarki seperti Rusia, Austria, dan Prusia setelah tahun 1815 pada umumnya menetapkan prinsip intervensi militer dengan dasar Holly Alliance. Napoleon III mencoba mencari pengakuan untuk hak intervensi yang di dasarkan pada penentuan nasib sendiri (national self determination) masih belum berhasil mendapat pengakuan.45 Alasan baru untuk intervensi yang di dasarkan pada kemanusiaan (humanity) menghasilkan teori yang di dasarkan pada politik liberal dan konsep dasar hak-hak asasi manusia. Pada abad ke-19 praktik-praktik negara menunjukkan tambahnya alasan intervensi yang di dasarkan pada alasan kemanusiaan, juga kadang-kadang tersamar adanya intervensi untuk kepentingan ekonomi, politik, atau alasan lain. Menurut J.G. Starke membedakan tiga bentuk intervensi. Yaitu : (1) Intervensi Internal (Internal Intervention). Misalnya negara A Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 199-200 Danial, Op.Cit., hlm. 2338; Lihat juga Oppenheim Lauterpacht, International Law: A Treaties, Vol I: Paece, edisi ke-8, Longmas, 1967, hlm. 305 44 Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 200 45 Ibid. hlm. 200-202 42 43 ( 389 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 mengadakan intervensi di negara B, dimana di negara B sedang ada pihak yang berkonflik. Apakah intervensi A akan memihak pada pemerintah yang sah ataukah akan memihak pihak pemberontak; (2) Intervensi Eksternal (External Intervention). Misalnya pihak A melakukan intervensi dalam kaitan bermusuhan dengan pihak lainnya, sebagai contoh dalam Perang Dunia II Italia memihak Jerman melawan Inggris; (3) Intervensi Menghukum (Punitive Intervention). Dalam hal ini merupakan pembalasan (reprisal) misalnya adanya perang yang singkat untuk membalas kerugian yang di derita karena adanya pelanggaran berat dari suatu perjanjian.46 III. PENUTUP Peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional sangat dibutuhkan guna dapat menyelesaikan sengketa-sengketa internasional baik yang dihadapinya secara langsung, maupun permintaan dari negara lain yang sedang bersengketa untuk dibantu dalam penyelesaiannya. Hal ini yang kemudian menjadikan peran aktif dari suatu negara terhadap penyelesaian sengketa internasional menjadi salah satu dari sekian banyak tanggungjawab yang dimiliki oleh negara-negara berdaulat dewasa ini. Bila terjadi sengketa dan ternyata para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketanya secara damai, kadang-kadang salah satu pihak terpaksa mengambil tindakan sepihak. Tindakan sepihak demikian dilakukan dengan sasaran untuk mencapai tujuannya dengan menguntungka pihaknya sendiri. Tindakan tersebut berupa tindakan paksaan, yang berupa tekanan agar pihak lain merasa terpaksa menerima kehendaknya. Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu (1) Retorsi (retorsion); (2) Tindakan Pembalasan (reprisals); (3) Blokade secara damai (pacific blockade); dan (4) Intervensi (intervention). Keempat hal tersebut merupakan metode-metode penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang. DAFTAR PUSTAKA Alma Manuputty dkk, Hukum Internasional, Depok: Rechta, 2008. Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Makassar: Pustaka Pena Press, 2013. Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Jakarta: Alumni, 2001. Clark, The English Practice With Regards to Reprisals by Private Persons, 27 Am. J. International Law 1993. Danial, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses Penyelesaian Konflik Internasional, Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional Jakarta. 46 Ibid. hlm. 202 ( 390 ) Penyelesaian Sengketa Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. _________, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991. I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika Aditama, 2006. John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law, New York: Oxford University Press, 1999. John G. Merrills, International Dispute Settlement, Cambridge: Cambridge University Press, 1991. John O’Brien, International Law, London: Cavendish, 2001. Malcolm D. Evans (Ed.), International Law, New York: Oxford University Press, 2003. Martin Dixon, Textbook on International Law, Blckstone Press Limited, 2000. Melda Theresia S, Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Kekuatan Bersenjata Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Menjaga Perdamaian Dunia, Makalah. Muhammad Ashri, Hukum Perjanjian Internasional, Dari Pembentukan Hingga Akhir Berlakunya, Makassar: Arus Timur, 2012. _______________ dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional Dan Hukum Islam Tentang Sengketa Dan Perdamaian, Jakarta: Kompas Gramedia, 2013. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003. Mohamad Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990. Oppenheim Lauterpacht, International Law: A Treaties, Vol I: Paece, edisi ke-8, Longmas, 1967. Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations, Pengantar Hukum Modern Antarbangsa, alih bahasa Fitria Mayasari, Bandung: Nuansa, 2012. Pirhot Nababan, Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Diplomatik, Lihat http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/07/tinjauan-umumpenyelesaian-sengketa.html di akses pada tanggal 26 Februari 2014 Revy S. Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian Masalah Dalam Sengketa Perdagangan Internasional, Jurnal Universitas Sam Ratulangi Manado, Vol.XXI/No.3/April-Juni/2013. Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press, 2006. T. May Rudi, Hukum Internasional 1, Cetakan Ketiga, Bandung: Refika Aditama, 2010. ( 391 ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 UCAPAN TERIMA KASIH Seluruh jajaran Dewan Redaksi “Jurnal Hukum Internasional” Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta. 2. Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H. Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. 3. Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, S.H., M.H. Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. 4. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. 5. Dr. Abdul Maasba Magassing, S.H., M.H. Dosen Senior Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar. 6. Dr. Aktieva Tri Tjitrawati, S.H., M.H. Dosen Tetap Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. 7. Dr. Devy Sondakh, S.H., M.H. Dosen Tetap Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado. 8. I Made Arsana, S.T., M.Eng.Sc. Dosen Tetap Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Atas kerjasamanya sebagai Penyunting Ahli/Mitra Bestari dalam artikel yang telah dimuat dalam “Jurnal Hukum Internasional” Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 2013-2014. ( ) INDEKS PENGARANG (2013-2014) Agus, D.___(I) 7-17 Anwar, R.F.___(II) 120-134; (III) 247-263 Ashri, M.___(III) 317-345 Beddu, S.___(III) 265-275 Brabander, R.D.___(II) 120-134 Devyta.___(I) 59-68 Gerlings, D.___(II) 120-134 Hendrapati, M.___(II) 174-195 Juwana, H.___(I) 1-5 Kadarudin.___(II) 208-219 Laitupa, S.___(II) 220-233 Lukman, M.L.___(I) 109-119 Magassing, A.M.___(II) 234-246; (III) 347-363 Mahfud, M.A.___(III) 365-377 Mangulung.___(II) 234-246 Manuputty, A.___(III) 247-263 Maskun.___(II) 150-172; (II) 234-246; (III) 247-263; (III) 347-363 Munzir, I.___(III) 277-299 Nansa, A.___(III) 301-315 Noor, S.M.___(II) 136-148 Nur, R.___(I) 69-90 Pede, A.___(III) 379-391 Rahayu, S.___(III) 317-345 Ramli, R.N.H.___(III) 247-263 Reskia, C.___(III) 347-363 Sakharina, I.K.___(II) 196-207 Schobesberger, T.___(II) 120-134 Silambi, E.D.___(I) 43-58 Sumardi, J.___(III) 247-263 Wibisana, A.G.___(I) 91-108 Widayanti, T.F.___(III) 317-345 Wulandari, W.___(I) 19-41 372 ( ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 INDEKS SUBJEK (2013-2014) Cultural Claims.___(I) 59-68 Cultural Property Disputes.___(I) 59-68 Equity.___(I) 91-108 Globalisasi.___(III) 301-315 Hak Anak.___(III) 347-363 Indication of Source.___(III) 277-299 Indigenous People.___(III) 365-377 Individu sebagai subjek.___(II) 150-172 Israel - Palestina.___(III) 265-275 Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional.___(I) 43-58 Kasus Sipadan-Ligitan.___(II) 174-195 Kasus Sirip Kuning.___(I) 109-119 Konvensi ILO.___(I) 7-17 Konvensi Pekerja Migran.___(I) 1-5 Law Enforcement.___(II) 120-134 Legislative.___(II) 120-134 Non-member state.___(II) 234-246 Penegakan Hukum di Laut.___(III) 247-263 Pengungsi dan HAM.___(II) 196-207 Penyelesaian Sengketa.___(III) 379-391 Peran ICRC.___(III) 317-345 Perdagangan Bebas.___(III) 301-315 Potensi Perang Global.___(II) 220-233 Praktik Spionase.___(II) 208-219 Public Emergency.___(I) 19-41 Selat Makassar.___(II) 136-148 Self Determination.___(I) 69-90 The Global Policy.___(I) 91-108 ( ) J PERSYARATAN PENULISAN urnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin memuat naskah yang berupa artikel konseptual dan hasil penelitian, dengan ketentuan penulisan sebagai berikut: Artikel Konseptual Isi dalam kerangka konseptual dituangkan ke dalam sistematika penulisan yang berintikan pembahasan penulis yang berasal dari rumusan pokok permasalahan. Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam penulisan artikel konseptual adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian pendahuluan; (5) Bagian Inti atau pembahasan; (6) Penutup; (7) Daftar pustaka Artikel Hasil Penelitian Unsur penulisan artikel hasil penelitian adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian Latar Belakang; (5) Metode Penelitian (6) Hasil penelitian dan pembahasan; (6) Kesimpulan, (7) Saran; (8) Daftar pustaka Format Naskah Naskah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) Naskah harus memenuhi kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar; b)Naskah yang ditulis baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, harus disertai abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia, maksimal 50 kata; c) Jumlah halaman artikel konseptual 15-30 halaman, artikel penelitian 25-40 halaman, diserahkan dalam bentuk printout dan softcopy; d)Kertas A4, Huruf Times New Roman, ukuran 12; e) Menggunakan spasi ganda; f) Pemuatan tabel dan grafik harus disertai sumber dan penomorannya; g)Tulisan yang diserahkan wajib disertai dengan bahan pustaka yang dibuat alpabetik (kecuali bagi penulis dengan reputasi nasional dan internasional, tulisan dibolehkan untuk tidak disertai bahan pustaka); dengan ketentuan sebagai berikut: i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan], Tempat terbit: Penerbit, dan Tahun). Contoh: Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994. Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [ditebalkan dan dimiringkan], Tempat terbit, :, Penerbit, dan Tahun). Contoh: Shaw, M.N., International Law, 2nd edition, Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986. ii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka halaman). Contoh: Alma P. Manuputty, States Cooperation in Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal Ilmu Hukum amanna gappa, Vol. 14, No.1 Maret, (2006) : 35 iii. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka halaman). Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual Property, Vol.7, No. 5 (2004) : 668-670. 120 ( ) Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014 iv. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website, Tanggal akses) Contoh: Stephen A. Hasen, A. S. and Vanfleet, W. J., Traditional Knowledge and Intellectual Property Rights: A Handbook on Issues and Option for TK Holder in Protecting Their IP and Maintaining Biological Diversity, in http://shr.aaas.org./tek/handbook/handbook/pdf, accessed 12 March 2010 v. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama, Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun). Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010 Abdul Rasal Rauf, Memasuki Era Baru Kemajuan HAM, Opini pada Tribun Timur, Makassar, 2005. h)Teknik kutipan yang digunakan adalah catatan kaki (footnotes), dengan ketentuan sebagai berikut: i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan], [Tempat terbit, :, Penerbit, Tahun diletakkan dalam tanda kurung], dan Halaman). Contoh: Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994), hlm. 3. ii. Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan dan dimiringkan], [Tempat terbit, :, Penerbit, Tahun diletakkan dalam tanda kurung], dan Halaman). Contoh: M.N. Shaw, International Law, 2nd edition, (Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986, p. 5. iii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman. Contoh: Alma P. Manuputty, States Cooperation in Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal Ilmu Hukum amanna gappa, Vol. 14, No.1 Maret, (2006), hlm. 35 iv. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman. Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual Property, Vol.7, No. 5 (2004), pp. 668-670. v. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website, Tanggal akses) Contoh: Lufsiana, Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan, http://Konflik-KewenanganPenegakan-HUKUM-PERIKANAN.aspx.htm, diakses 23 Nopember 2010. vi. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama, Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun). Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010 Abdul Rasal Rauf, Memasuki Era Baru Kemajuan HAM, Opini pada Tribun Timur, Makassar, 2005. Penyerahan Tulisan a) Tulisan dapat diserahkan langsung di Sekretariat: Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar; atau b) Dikirim via-email ke: [email protected] c) Setiap artikel yang diserahkan, harap mencantumkan alamat jelas serta melampirkan curriculum vitae Penulis (instansi dan e-mail). ( ) ( )