langkah sepihak israel dan kritik internasional terhadap rencana

advertisement
(
)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
(
)
JURNAL HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Diterbitkan oleh:
BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
©2014
(
)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
JURNAL HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
Penasehat:
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Penanggung Jawab
:Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pemimpin Redaksi
:Maskun
Dewan Redaksi :Abdul Maasba Magassing
Aidir Amin Daud
Alma Manuputty
Hamid Awaluddin
Juajir Sumardi
Judhariksawan
Laode Abd. Gani
Laode Muh. Syarif
Marcel Hendarapati
Muh. Ashri
Redaktur Pelaksana :Iin Karita Sakharina
Sekretaris Redaktur :Birkah Latif
Kadarudin
Mitra Bestari :Juajir Sumardi (UNHAS Makassar)
Syamsuddin Muhammad Noor (UNHAS Makassar)
Abdul Maasba Magassing (UNHAS Makassar)
Desain Grafis & Layout : Ramli
Distribusi & Pemasaran :Salma Laitupa
Riyad Febrian Anwar
Alfaris Malaki
Alamat Redaksi :Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245, Makassar.
Tel/Fax : +62-411587219
E-mail: [email protected]
Website: http://hukuminternasionalfhuh.wordpress.com
JURNAL HUKUM INTERNASIONAL
Jurnal ilmiah yang diterbitkan secara berkala oleh Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Terbit tiap bulan Maret, Juli, dan Nopember.
(
ii
)
DAFTAR ISI
Jurnal Hukum Internasional Volume I, Nomor 3 Maret 2014
ISSN: 2338-3577
Alma Manuputty et.al
PERAN SERTA MASYARAKAT TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
DI LAUT........................................................................................................................
247-263
Sumiyati Beddu
LANGKAH SEPIHAK ISRAEL DAN KRITIK INTERNASIONAL
TERHADAP RENCANA PEMUKIMAN YAHUDI DI PALESTINA..................
265-275
Ibnu Munzir
PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KOPI TORAJA
SEBAGAI INDICATION OF SOURCE PRODUCT MILIK INDONESIA...........
277-299
Almusawir Nansa
GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM PERSPEKTIF
HUKUM INTERNASIONAL.....................................................................................
301-315
Sri Rahayu, Muhammad Ashri, Tri Fenny Widayanti
PERAN ICRC TERHADAP PEMAJUAN DAN PENGHORMATAN
HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA................................................................
317-345
Citra Reskia, Abdul Maasba Magassing, Maskun
PENERAPAN INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP ANAK
DALAM SITUASI KONFLIK BERSENJATA...........................................................
347-363
Muh. Afif Mahfud
PERLINDUNGAN HAK ULAYAT INDIGENOUS PEOPLE
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA.....................................................
365-377
Albert Pede
PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
DENGAN KEKERASAN BUKAN PERANG..........................................................
379-391
Ucapan Terima Kasih
Indeks Pengarang (2013-2014)
Indeks Subjek (2013-2014)
Persyaratan Penulisan Jurnal
(
iii
)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
EDITORIAL
Pembaca yang budiman,
Segala puji dan ungkapan rasa kesyukuran tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas penerbitan jurnal hukum internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Edisi
penghujung di Volume I Nomor 3 Maret 2014 ini menyajikan berbagai ragam isu hukum
internasional. Gagasan pertama dalam edisi ini, disumbangkan oleh Professor Alma Manuputty
yang menulis tentang peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut, khususnya
masyarakat-masyarakat di wilayah pesisir pantai di Indonesia. Sumiyati Beddu, selanjutnya
menguraikan isu hukum internasional yang saat ini sedang berlangsung, yakni langkah
sepihak Israel dan kritik internasional terhadap rencana pemukiman Yahudi di Palestina,
terutama konflik Israel-Palestina yang telah menjadi konflik berkepanjangan hingga saat ini
Ibnu Munzir yang menulis isu tentang perlindungan hukum internasional terhadap Kopi
Toraja sebagai indication of source product (produk indikasi geografis) milik Indonesia dan
Almusawir Nansa yang mengangkat isu globalisasi dan perdagangan bebas dalam perspektif
hukum internasional. Kedua isu dimaksud memiliki concern yang sama penting di bidang
hukum ekonomi dan perdagangan internasional.
Sri Rahayu, Muhammad Ashri, Trifenny Widayanti menulis tentang peran ICRC
terhadap pemajuan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia, Citra Reskia yang
menulis tentang penerapan instrumen hak asasi manusia terhadap anak dalam situasi konflik
bersenjata, dan Muh. Afif Mahfud yang menulis tentang perlindungan hak ulayat indigenous
people dalam perspektif hak asasi manusia. Ketiga topik HAM yang digagas sangat menarik,
apalagi topik-topik tersebut memiliki tempat masing-masing dalam pengaturan HAM, dan
sebagai penutup, Albert Pede menlis tentang peran negara dalam penyelesaian sengketa
internasional dengan kekerasan bukan perang, isu tersebut sangat penting, apalagi saat
ini sangat rawan terjadinya sengketa di antara negara-negara di dunia yang bukan tidak
mungkin negara-negara yang bersengketa tersebut mengambil tindakan perang sebagai opsi
penyelesaian sengketanya.
Semoga berbagai isu hukum internasional yang tersaji dalam Volume pertama edisi
terakhir ini, akan memberikan sebuah bentuk pencerahan baru yang bermanfaat bagi semua
kalangan yang intens dan fokus mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan hukum
internasional.
Selamat membaca.
Redaksi
(
iv
)
Penegakan Hukum di Laut
PERAN SERTA MASYARAKAT
DALAM PENEGAKAN HUKUM DI LAUT
Alma Manuputty*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Juajir Sumardi*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Maskun*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Rafika Nurul Hamdani Ramli
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Riyad Febriyan Anwar
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Abstract: Maritime society plays a very important role in law enforcement in
the sea. Public participation is contributed by the society to provide appropriate
information to Lantamal VI and Polairut Makassar about the alleged crimes
at sea. However, in terms of implementing the public participation, economic
factors become the main obstacle faced in realizing the role of the community
in question. The reason of an economic trouble becomes the main argument
of the society to justify their crimes and / or to conceal information about the
allegations referred to Lantamal Polairut VI and Makassar.
Abstrak: Masyarakat memainkan peranan yang sangat penting dalam
penegakan hukum di laut. Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk
pemberian informasi tentang dugaan kejahatan di laut kepada Lantamal VI
dan Polairut Makassar yang merupakan instansi terkait penegakan hukum
Guru Besar Hukum Laut Internasional, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1977 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister
Ilmu Hukum (M.H.) 1993 dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Doktor Ilmu Hukum (Dr.) 2005
dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
*
Guru Besar Hukum Ekonomi Internasional, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1988 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Magister Ilmu Hukum (M.H.) 1995 dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Doktor Ilmu Hukum (Dr.)
2005 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
*
Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sarjana Hukum 1998 dari Fakultas Hukum Unhas, Magister Ilmu Hukum (LL.M.) 2004 dari University of New
South Wales, Sydney, Australia.
*
( 247 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
di laut. Akan tetapi, dalam melaksanakan peran serta masyarakat tersebut,
faktor ekonomi menjadi faktor penghambat utama yang dihadapi masyarakat
dalam mewujudkan peran serta dimaksud. Alasan himpitan ekonomi menjadi
argumentasi utama untuk melegitimasi kejahatan yang mereka lakukan dan/
atau untuk menyembunyikan informasi tentang dugaan dimaksud kepada
Lantamal VI dan Polairut Makassar.
I. PENDAHULUAN
Pada Medio Januari 2011, Kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
Republik Indonesia, kapal Hiu, menangkap dua kapal nelayan Malasyia yang melakukan
penangkapan ikan ”illegal” dalam wilayah perairan yang diklaim oleh Indonesia adalah
jurisdiksi teritorialnya. Penangkapan ini menimbulkan ketegangan hubungan kedua negara
yang merupakan negara serumpun.
Penangkapan terhadap nelayan-nelayan Malaysia oleh petugas Patroli KKP dan
proses negosiasi yang ”alot” menunjukkan bahwa persoalan yang dihadapi oleh kedua negara
bukanlah persoalan (sengketa) yang sederhana (simple). Suatu hal yang disadari bahwa
Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari Timur ke Barat, dengan demikian
fenomena yang terdapat didalamnya sangat banyak, baik persoalan menyangkut perbatasan,
pengambilan (eksplorasi dan eksploitasi) berbagai kekayaan nasional baik yang dibawa ke
luar negeri maupun yang dipasarkan di dalam negeri.1
Penangkapan yang dilakukan terhadap nelayan Malasyia yang terbukti melakukan
illegal fishing merupakan akar permasalahan yang tampak dipermukaan dalam kasus
penangkapan tersebut. Padahal, disamping persoalan eksploitasi kekayaat laut dalam
bentuk illegal fishing, persoalan tapal batas menjadi persoalan mendasar yang dihadapi oleh
kedua negara pasca diputuskannya sengketa kepemilikan Sipadan-Ligitan oleh Mahkamah
Internasional yang dalam putusannya memenangkan Malaysia.
Upaya represif yang dilakukan pemerintah Indonesia (KKP) dalam kasus terkini
Malasyia-Indonesia merupakan suatu upaya untuk melindungi wilayah kedaulatannya dari
tindakan-tindakan atau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak atau negara lain.
Dalam konteks ini, pelanggaran batas maritim merupakan pelanggaran prinsip dasar hukum
internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa ”pelanggaran terhadap kedaulatan
negara lain mempunyai akibat hukum yakni wewenang untuk melakukan penuntutan atas
pelanggaran-pelanggaran, yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan
umum baik dalam konteks negara kepulauan maupun negara pantai yang dapat menyentuh
pada ranah pidana dan ataupun perdata.2
1
Maskun, Penegakan Hukum di Laut:Hambatan dan Solusi, Harian Tribun Timur, Kamis, 26
Agustus 2010. Lihat Juga Maskun, Rekonstruksi Penegakan Hukum di Laut, Penelitian Pengembangan
Program Studi Fakultas Hukum Unhas, 2011.
2
Muchtar Kusumaatmaja Dalam Frans E Likadja, Bunga Rampai Hukum Internasional, (Bandung:
Binacipta, 1987), hlm. 51-53.
( 248 )
Penegakan Hukum di Laut
Belajar dari beberapa kasus yang terjadi khususnya antara Indonesia dan Malasyia maka
kebutuhan akan pelaksanaan penegakan hukum di laut, baik yang dilakukan oleh Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) maupun instansi terkait lainnya seperti Tentara Nasional Indonesia
(TNI Angkatan Laut), Kementerian Kelautan dan Perikanan dan lain sebagainya, harus
lebih diefektifkan dengan tetap berpedoman kepada sistem ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku baik itu yang bersifat nasional maupun internasional.
Pada dasarnya, penegakan hukum di laut dilaksanakan oleh 2 (dua) instansi vertikal.
Kedua instansi vertikal dimaksud secara historis telah diamanati oleh negara untuk menjaga
wilayah kedaulatan Republik Indonesia yang meliputi wilayah laut, darat, dan udara. Polri.
sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, telah mengalami berbagai reposisi kelembagaan,
seperti eksistensi Polri yang telah dimasukkan dalam amandemen Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945), (vide Pasal 30) yang sebelumnya
kedudukan Polri tidak pernah dimasukkan dalam Konstitusi. Kemudian perubahan
dimaksud diakomodir dalam Tap No. VI dan VII Tahun 2000, yaitu menyangkut pemisahan
Kelembagaan Polri dengan Mabes TNI dan tugas peranan Polri dan TNI. Selanjutnya diikuti
dengan Undang-U No. 2 undang (selanjutnya disingkat UU) Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.3
Tugas dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
dicantumkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 sangatlah luas, dan tidak jauh berbeda dengan
tugas-tugas Polisi secara universal, yaitu melindungi dan melayani masyarakat (to protect
and to serve) serta memelihara hukum dan keterlibatan (maintain law and order). Indonesia
sebagai suatu negara hukum yang dalam Konstitusi UUD 1945 telah meletakkan dasar-dasar
supremasi sipil baik dalam konstelasi ketatanegaraan maupun kehidupan politik demokrasi,
maka sejalan dengan itu Polri sebagai salah satu pengemban dan menjaga supremasi sipil
dalam kehidupan negara yang berdemokrasi telah diberikan negara kewenangan yang cukup
luas. Pasal 6 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menentukan bahwa “Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan Alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
TNI AL sendiri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 UU N o. 34 Tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia memiliki tugas pokok menegakan hukum dan menjaga
keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan dengan ketentuan hukum nasional
dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Uraian tugas pokok penegakan hukum di laut
yang dilakukan oleh Polri dan TNI AL sebagaimana disebutkan di atas, merupakan bagian
terintegrasi dari sistem penegakan hukum secara normatif. Tentunya, secara substansi,
penegakan hukum di laut juga harus diuraikan dalam koridor substansi peraturan perundangundangan. Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi the United Nation Convention on the
3
Abd. Rasal Rauf, Hukum Laut: Pola Ilmiah Pokok (Buku Ajar), (Makassar: Fakultas Hukum
UNHAS, 2007), hlm. 140. Lihat Juga Alma Manuputty, Buku Ajar: Hukum Laut (Pola Ilmiah Pokok),
(Makassar: LKPP-Unhas, 2011).
(249 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Law of The Sea (UNCLOS) yang kemudian telah diundangkan melalui UU No. 17 Tahun
1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
relevan dengan persoalan penegakan hukum di laut seperti perjanjian perjanjian yang dibuat
antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang memiliki perbatasan maritim.
Faktapun menunjukkan bahwa secara substansipun penegakan hukum di laut belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat
Indonesia, regional maupun masyarakat Internasional.4 Hal ini dikarenakan penegakan
hukum sebagai satu sistem yang terintegrasi dan bersinergi, masih berjalan partial yang
sesungguhnya harus didukung berbagai komponen yang ada, sehingga menjadi satu kekuatan
yang terpadu.
Bentuk-bentuk penegakan hukum di laut, sebagaimana diuraikan di atas haruslah
diletakkan dalam makna bahwa penegakan hukum di laut merupakan upaya perlindungan
dan pemanfaatan laut (Indonesia) dan upaya peletakkan fondasi/dasar kedaulatan Indonesia
yang harus diperjuangkan dan dijaga. Meskipun dalam prakteknya bahwa penegakan hukum
di laut Indonesia belum berjalan efektif, akan tetapi upaya perbaikan harus selalu diusahakan
sehingga penegakan hukum di laut yang dilakukan akan dapat mereduksi berbagai persoalan
di laut yang semakin beragam khususnya ketika ditemukan adanya klaim sepihak yang
dilakukan oleh satu negara terhadap negara lain.5
Dalam konteks penegakan hukum disamping aparat penegak hukum, masyarakat
merupakan elemen utama dan penting yang tidak dapat dikesampingkan. Tuntutan akan
keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan mengingat keterbatasan yang dimiliki
oleh penegak hukum. Masyarakat dalam hal ini dipandang sebagai objek dimana lingkungan
hukum tersebut berlaku dan diterapkan.
Masyarakat merupakan entitas yang sesungguhnya dapat berperan aktif dalam
penegakan hukum. Dalam hubungannya dengan penegakan hukum di laut maka masyarakat
dapat menjadi informan yang berada pada garis terdepan dalam penegakan hukum di laut.
Ketersediaan informasi yang cukup bagi aparat penegak hukum akan mempermudah aparat
penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah peventif dan refresif dalam penegakan
hukum dilaut. Oleh karena itu, fokus pada penelitian ini adalah menyoal peran serta masyarakat
dalam penegakan hukum di laut sehingga dengan memahami secara benar berbagai bentuk
peran serta masyarakat maka penyelenggaraan penegakan hukum di laut dapat dilaksanakan
secara optimal.
Oleh karena batasan masalah pada penelitian ini, adalah:
1. Sejauhmanakah peran serta masyarakat dapat mendukung penegakan hukum di laut?
2. Apakah faktor-faktor penghambat yang timbul dalam peranserta masyarakat dalam
penegakan hukum di laut?
4
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 354.
5
Lihat klaim sepihak Malasyia dalam kasus tertangkap 3 (tiga) petugas KKP Republik Indonesia.
( 250 )
Penegakan Hukum di Laut
II. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Makassar dan Pangkep dengan pertimbangan bahwa
Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep adalah representasi penegakan hukum yang berada
dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan. Disamping itu, penelitian juga akan dilaksanakan
di perangkat institusi yang relevan dengan fokus penelitian, yaitu Lantamal VI (TNI AL),
Polairut, dan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan sebagai penegak
hukum terdepan dalam penegak hukum di laut, serta Yayasan Konservasi Laut Makassar.
2. Populasi dan Sampel
Populasi yang ditetapkan dalam penelitian ini Lantamal VI (TNI AL), Polairut, Dinas
Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, dan Masyarakat pesisir di Pangkep, serta
Yayasan Konservasi Laut Makassar. Adapun sampel ditentukan dari populasi yang telah
ada yang dipilih secara sampel dengan menggunakan teknik non-random sampling dengan
metode purposive sampling.
3. Jenis dan Sumber Data
Data yang hendak dipergunakan dalam penelitian ini, dikategorikan ke dalam:6
1. Data Primer atau data dasar yang diperoleh secara langsung di lapangan (field research).
Data ini merupakan gambaran langsung peristiwa yang dilakukan oleh responden.
Dalam hal ini tentunya yang dimaksud adalah Lantamal VI (TNI AL), Polairut,
Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan, Yayasan Konservasi Laut
Makassar, serta masyarakat pesisir yang bermukim di Pangkep.
2. Data Sekunder yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka, yang mencakup:
(1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari
norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum
yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP);
(2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hukum dan seterusnya.
(3) Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelsan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif, dan lain sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah:
a. Studi dokumen atau bahan kepustakaan yaitu penelusuran terhadap dokumen resmi
dan tidak resmi sebagai bahan hukum primer dan sekunder untuk memperoleh data
6
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 12-13.
(251 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
sekunder yang relevan yang kemudian akan dijadikan bahan acuan dalam menganalisis
permasalahan yang ada.
b. Wawancara dilakukan dalam bentuk tanya jawab langsung dengan responden dengan
menggunakan metode bebas terpimpin untuk memperoleh data primer yang relevan.
5.Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis data yang mengkombinasikan
dogmatik hukum yang bersifat teoritis-rasional yang didasarkan pada logis deduktif dan
teoritis empiris yang pengungkapannya terikat pada metode induktif. Sehingga data primer
dan sekunder yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan mendekatkan
teoritis-rasional empiris yang diwujudkan dalam bentuk data-data kualitatif.7
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Peran Serta Masyarakat Dalam Mendukung Penegakan Hukum di Laut
Laut merupakan garda terdepan sistem keamanan dan pertahanan suatu bangsa
(outermost layer of defense). Dengan kata lain, laut merupakan benteng terdepan. Apabila
benteng kita rapuh dan keropos maka wilayah territorial Indonesia akan dengan mudah
diterobos dan dimanfaatkan oleh kepentingan asing.8
Dalam konteks penegakan hukum di laut, masyarakat merupakan salahsatu faktor vital
dalam mewujudkan penegakan hukum dimaksud. Masyarakat dipandang mampu memainkan
peran yang sangat penting dan strategis dalam siklus penegakan hukum. Masyarakat sebagai
entitas subyek hukum, tentunya berada pada garda terdepan, khususnya dalam memberikan
informasi kepada penegak hukum tentang dugaan terjadi kejahatan di laut. Tentunya,
masyarakat dengan segala keterbatasan yang dimilikinya perlu dilibatkan dan dibina untuk
menjadi “informan” yang tangguh.
Hal terpenting untuk menumbuhkan jiwa “informan” pada diri masyarakat yaitu
memberikan dan membekali masyarakat informasi yang tepat tentang arti penting laut
dan pentingnya untuk melestarikan dan memanfaatkan laut secara arif dan bijaksana.
Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat maritim
sebagai bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai potensi dan
perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat berharga untuk penyusunan
kebijakan, program dan kegiatan di wilayah tersebut. Kesediaan informasi ini juga penting
bagi masyarakat untuk dijadikan bahan pertimbangan pengembangan kegiatan dan perannya
dalam rangka meningkatkan perekonomian mereka. Hal tersebut juga bermanfaat untuk
mengefektifkan upaya masyarakat dalam melindungi sumber daya alam serta wilayah pesisir
dan laut. Mengingat sebagian besar penduduk di wilayah masyarakat maritim tergantung
7
Milles Mattew dan A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif, alihbahsa Tjetjep Rohendi
Rohini, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm. 15.
8
Dewan Kelautan Indonesia, Membangun Laut Membangun Kejayaan: Dulu, Kini dan Masa
Depan, (Jakarta: Kominfo Ditjen IKP dan Dekin, 2012), hlm. 192.
( 252 )
Penegakan Hukum di Laut
secara ekonomis pada sumber daya alam, maka informasi yang berkaitan dengannya sangat
diperlukan bagi masyarakat.
Dalam konteks ini, secara sosiologis masyarakat dapat dilibatkan secara aktif untuk
membantu penegakan hukum di laut dan secara normatif peranserta masyarakat tertuang
dalam bentuk regulasi. Peranserta masyarakat dimaksud telah dituangkan dalam Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 58/MEN/2001 tentang Tata cara Pelaksanaan
Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan.
Meskipun bentuk peranserta masyarakat sebagaimana tertuang dalam SK dimaksud
menggunakan nomenklatur Tata cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam
Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, sesungguhnya tidaklah
mengalami perbedaan mendasar secara substansi dengan frasa penegakan hukum di laut secara
umum. Disamping itu, hingga kini belum ada suatu produk peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi sifatnya dari Surat Keputusan Menteri yang memuat secara khusus bentuk
peranserta masyarakat.
Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 6 ayat 2
menyebutkan bahwa “pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta
mempertimbangkan peran serta masyarakat”. Frasa “peran serta masyarakat” yang tercantum
dalam Pasal 6 ayat 2 tidak secara khusus mencantumkan bentuk pelibatan masyarakat. Pasal
ini hanya menekankan bahwa hukum adat dan/atau kearifan lokal tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan hukum nasional. Pasal ini pula menunjukkan eksistensi masyarakat
adat/lokal tidak dilihat terpisah dari sumber daya alam/ikan yang berada di wilayahnya.
Sehingga, dapat dikatakan hingga saat ini SK Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan
payung hukum yang menguraikan peranserta masyarakat.
SK Menteri Kelautan dan Perikanan secara tegas menyebutkan bahwa peranserta
masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan, dikemas dalam bentuk Sistem Pengawasan Berbasis Masyarakat
(SISWASMAS). SISWASMAS merupakan gagasan terhadap suatu sistem yang dilandasi oleh
kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Dalam konteks ini, sistem pengawasan
yang berbasis pada masyarakat bukan hanya memberikan peluang bagi masyarakat untuk
ikut mengawasi sumber daya alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan,
akan tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi
daerahnya.
SISWASMAS dalam prakteknya menuntut peranserta masyarakat yang dilakukan
secara bertanggung jawab, agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Pemanfaatan
berkelanjutan yang dimaksud disini adalah pemanfaatan yang dapat memenuhi kebutuhan
manusia dan aspirasi manusia saat ini, tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan dan
aspirasi manusia di masa mendatang, tentunya dengan tetap memperhatikan keseimbangan
fungsi lingkungan hidup.
( 253 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Lingkup kegiatan SISWASMAS meliputi kelompok masyarakat pengawas
(POKMASWAS) yang merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang
terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan
serta masyarakat maritim lainnya. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat yang
difasilitasi oleh unsur pemerintah daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat
dalam POKMASWAS, yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan
pemerintah/ petugas. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan
nelayan-nelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota kelompok
masyarakat pengawas, yang kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan
terdaftar sebagai anggota.
POSMASWAS sesungguhnya digali dari tradisi atau budaya setempat yang merupakan
perilaku yang ramah lingkungan seperti Sasi di Maluku, Awig-awig di Bali, Panglima Laut di
Aceh, Bajo di Sulawesi Tenggara, Lebak Lebung di Sumatera Selatan dan lainnya. Kearifan
lokal mengenai pengelolaan sumberdaya alam kelautan dan perikanan sebagaimana ditemukan
dalam praktek di beberapa daerah di Indonesia, tentunya berasal atau diwarisi secara turun
temurun. Warisan terun temurun dimaksud secara efektif cukup untuk melestarikan ekosistem
laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak.
Di Sulawesi Selatan, warisan turun temurun yang menyoal tentang pengelolaan
sumberdaya alam kelautan dan perikanan secara khusus tidak atau belum ditemukan. Sehingga
bentuk peran serta masyarakat dalam konteks kearifan lokal sulit untuk untuk dideskripsikan
karena belum ditemukan dalam naskah-naskah atau praktek-praktek pada masyarakat pesisir.
Dalam hal ini, peranserta masyarakat sebagaimana yang berlaku pada beberapa daerah di
Indonesia, juga perlu ditemukan dalam kearifan masyarakat di Sulawesi Selatan.
Penggunaan frasa “perlu ditemukan” yang ditekankan dalam penelitian ini
dimaksudkan sebagai upaya untuk menemukan kearifan lokal dalam bidang penegakan hukum
di laut yang secara khusus berlaku di Sulawesi Selatan. Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Irham Rapi9, Direktur Yayasan Konservasi Laut Makassar, bahwa secara tekstual dan
kontekstual belum ditemukan kearifan lokal dalam penegakan hukum di laut di Sulawesi
Selatan, kecuali kearifan lokal di bidang pemanfaatan mangrove di Kepulauan Tanakeke,
Takalar dan kearifan Lokal di Kajang.
Tentunya, ketiadaan atau belum ditemukannya kearifan lokal di Sulawesi Selatan
sebagaimana disebutkan oleh Irham Rapi, tidaklah menunjukkan bahwa peranserta
masyarakat tidak dikenal dalam kearifan lokal di Sulawesi Selatan. Konsepnya mungkin
telah luntur dan kemudian harus dicari, digali, dan dihidupkan kembali. Oleh karena itu,
konsep sosialisasi tentang pentingnya peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut
harus disebarluaskan agar masyarakat mengetahui peran mereka sebagai unsur vital dalam
konsep penegakan hukum, khususnya penegakan hukum di laut.
Konsep dan konteks sosialisasi secara jelas dan tegas juga disebutkan dalam SK
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 58/MEN/2001. Dalam hal ini, POKMASWAS
9
Wawancara dilakukan pada tanggal 06 Juli 2013 bertempat di YKL Makassar.
( 254 )
Penegakan Hukum di Laut
melakukan sosialisasi, termasuk memberikan bantuan sarana dan prasarana pengawasan
secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Pemerintah dan atau
Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS melalui pembinaan,
bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS
Eksistensi SISWASMAS dalam bingkai POKMASWAS sebagaimana tertuang dalam
SK Menteri Perikanan dan kelautan sesungguhnya juga telah dilakonkan oleh Lantamal VI.
Dalam hal ini, peranserta masyarakat dikemas dalam bentuk peranserta masyarakat sebagai
informan bagi Lantamal VI. Menurut Letnan Kolonel Muharam10, Kepala Dinas Potensi
Maritim (DISPOTMAR) Lantamal VI, bahwa peranserta masyarakat dalam hal memberikan
informasi atas dugaan kejahatan di laut merupakan pelaksanaan fungsi intelijen dalam
penegakan hukum di laut. Masyarakat dalam posisi ini menjadi “mata-mata” yang akan
menyuplai informasi kepada pihak Lantamal atas dugaan dugaan terjadinya kejahatan dan
pelanggaran di laut. Beberapa jenis kejahatan dan pelanggaran di laut yang dapat menjadi
fokus informasi dimaksud, yaitu:
a) Pencurian benda purbakala;
b) Penangkapan ikan illegal (illegal fishing);
c) Penyelundupan manusia (People smuggling);
d) Perompakan;
e) Pencemaran lingkungan;
f) Illegal loging;
g) Penambangan pasir illegal;
h) Narkoba;
i) Penyelundupan bayi;
j) Imigrasi gelap;
k) Kecelakaan laut;
l) Perkelahian antar nelayan;
m) Peredaran senjata api/bahan peledak secara illegal (Arms smuggling);
n) Perdagangan satwa yang dilindungi.
Bentuk peranserta masyarakat dalam konteks Lantamal VI selanjutnya diorganisir
secara terstruktur dengan membentuk desa pesisir dan masyarakat maritim. Pembentukan
masyarakat maritim dan desa pesisir (desa binaan), bukan hanya dimaksudkan untuk
memberikan informasi tentang dugaan kejahatan di laut, akan tetapi juga dimaksudkan untuk
melakukan pembinaan bagi masyarakat akan pentingnya laut sebagai warisan umat manusia
yang harus dijaga dan dilestarikan.
Selaras dengan konsep peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut “versi
Lantamal VI”, Kepolisian Air Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
(Polair POLDA SulSel-Bar) juga melakukan peranserta masyarakat dalam bentuk masyarakat
memberikan informasi kepada Polairut dalam hal dugaan terjadinya kejahatan di laut. Hal ini
10
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 bertempat di Lantamal VI, Makassar.
( 255 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
sebagaimana dikemukan oleh Komandan Polisi Esa11, Polairut Makassar, bahwa masyarakat
berperan aktif dalam memberikan informasi kepada Polairut, meskipun hingga kini belum
ada upaya tangkap langsung masyarakat berdasarkan temuan Polairut Makassar.
Peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut oleh Polairut Makassar,
dilakukan dengan menggunakan media sosialisasi. Sosialisasi dimaksudkan untuk
menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat dan kelompok masyarakat bahwa laut memainkan
peran yang vital bagi kelangsungan hidup mereka, ekosistem, dan kelestarian lingkungan
hidup.
Dari sekian banyak jenis kejahatan di laut sebagaimana telah disebutkan di atas,
Illegal fishing, pemboman ikan, imigran gelap, perompakan, dan penyeludupan BBM
merupakan jenis-jenis kejahatan yang pernah terjadi (ditangani atau sedang ditangani) baik
dalam lingkup Lantamal VI maupun Polairut. Jenis kejahatan dimaksud tentunya melibatkan
masyarakat sebagai informan. Akan tetapi, terdapat perbedaan kuantitas atas kejahatan yang
diproses secara hukum dan menjadi domain Lantamal VI dan Polairut. Menurut data Lantamal
VI12 bahwa jenis kejahatan yang terjadi dalam lingkup Lantamal VI, hanyalah perompakan,
penyeludupan BBM, Illegal fishing, dan Imigran gelap. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Kejahatan yang terjadi Dalam Lingkup Lantamal VI
No.
Nama Kejahatan
Tempat Kejahatan (locus delicti)
1
2
3
4
Perompakan
Illegal Fishing
Penyeludupan BBM
Imigran Gelap
Palu
Makassar
Banjarmasin
Sinjai
Sumber: Wawancara dengan Mayor Ishak Jamal, S.H. (Diskum Lantamal VI, 16 Agustus 2013)
Dalam lingkup yang lebih kecil (Danal Sulawesi Selatan), menurut Priya Santosa13,
Kepala Dinas Hukum Lantamal VI, bahwa dalam kurun waktu 2011 hingga 2013, DISKUM
hanya memproses satu perkara pemboman ikan, yang kasusnya kemudian dihentikan karena
kurang bukti.
Terbatasnya jumlah perkara yang dilaporkan dan kemudian ditangani oleh Lantamal
VI, tidaklah berarti bahwa Lantamal VI tidak mendapatkan informasi yang memadai dari
masyarakat terkait dugaan terjadinya kejahatan di laut. Minimnya jumlah perkara yang
ditangani bukan dikarenakan tidak adanya informasi dari masyarakat, akan tetapi posisi
Lantamal VI yang berada ditengah-tengah Lantamal VII Kupang, Lantamal VIII Manado,
11
Wawancara dilakukan pada tanggal 11 Juli 2013 bertempat di Polairut Makassar.
Lantamal VI menaungi Danal Kalimantan Timur, Danal Kalimantan Selatan, Danal Sulawesi
Tengah, Danal Sulawesi Tenggara, Danal Sulawesi Barat, dan Danal Sulawesi Selatan.
13
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 bertempat di Lantamal VI, Makassar.
12
(256 )
Penegakan Hukum di Laut
Lantamal IX Ambon, Lantamal X Jayapura, dan Lantamal XI Marauke, yang posisi geografis
Lantamal VII-XI yang langsung berbatasan dengan negara lain, seperti Philipina, Australia,
Timur Timor, dan lain sebagainya. Fakta menunjukkan bahwa kejahatan di laut banyak
terjadi pada wilayah Lantamal VII-XI, khususnya kasus kasus illegal fishing, illegal logging,
permasalahan perbatasan, penyeludupan orang, narkotika, dan lain sebagainya.
Tentunya, berdasarkan hasil penelitian yang ditemukan di Lantamal VI tidaklah dapat
disimpulkan bahwa kejahatan di laut tidak akan terjadi dalam wilayah Lantamal VI. Ketatnya
pengawasan di Lantamal VII-XI, telah menjadi bahan evaluasi bagi pelaku kejahatan untuk
mengalihkan tempat kejahatan mereka ke wilayah Lantamal lainnya, khususnya Lantamal
VI. Sebagaimana yang dikemukan oleh Priya Santosa14 bahwa tertangkapnya imigran gelap
di Kabupaten Sinjai merupakan bentuk atau model baru dalam upaya memasukan imigran
ke wilayah Lantamal VI, dengan cara mengubah rute perjalanan yang menghindari wilayah
Lantamal VII-XI. Informasi yang disampaikan oleh masyarakat merupakan kunci sukses
tertangkapnya imigran gelap di Kabupaten Sinjai. Tanpa informasi tersebut maka akan sulit
bagi Lantamal VI untuk mengungkap kasus dimaksud.
Fakta perkara yang ditanggani oleh Lantamal VI berdasarkan informasi dari masyarakat
sebagaimana disebutkan di atas, sangat berbeda dengan jumlah perkara yang ditangani oleh
Polairut Makassar. Menurut Komandan Polisi Esa, Tahun 2012 saja, telah terdapat lebih dari
40 kasus yang diproses oleh Polairut. Adapun jenis kejahatan yang diproses selanjutnya dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Kejahatan yang terjadi Dalam Lingkup Polairut
No.
1
2
3
4
5
6
Nama Kejahatan
Perompakan
Illegal Fishing
Ilegal Logging
Pemboman Ikan
Pembiusan Ikan
Pencemaran Lingkungan
Sumber: Wawancara dengan Komandan Polisi Esa (Polairut, 12 Juli 2013)
Perbedaan Tabel 1 dan Tabel 2 lebih dititikberatkan pada jumlah kejahatan di laut
yang ditangani dan/atau sementara ditangani baik oleh Lantamal VI maupun Polairut
Makassar. Akan tetapi, secara substansial jenis kejahatan yang diinformasikan atau dilaporkan
masyarakat memiliki kesamaan, yaitu perompakan, illegal fishing, dan pemboman ikan. Hal
ini menunjukkan bahwa jenis kejahatan di atas menjadi kejahatan yang selalu terjadi dalam
lingkup Lantamal VI dan Polairut Makassar dan dikategorikan sebagai kejahatan tradisional
yang terjadi di laut.
14
Ibid.
(257 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Tentunya, disadari bahwa meskipun sosialisasi telah dilakukan oleh instansi penegak
hukum, masyarakat masih sering menyembunyikan informasi tentang kejahatan yang mereka
temukan di laut. Menurut Komandan Polisi Esa15, bahwa masyarakat terkadang ambigu atas
informasi yang mereka miliki dengan “tujuan untuk melindungi bisnis illegal mereka yang
dianggap sebagai cara mereka untuk bertahan hidup dan persaingan bisnis di industri perikanan
dan transportasi laut”. Komandan Polisi Esa, lebih lanjut menyebutkan data informasi yang
oleh masyarakat disembunyikan dan tidak dilaporkan ke Polairut. Menurutnya, “..95%
orang Bonerate hidup di laut dan diyakini beberapa nelayan-nelayan yang paling banyak
keuntungan hasil tangkapannya di wilayah tersebut menggunakan bom ikan sebagai metode
penangkapannya”.
Fakta yang dikemukan oleh Komandan Polisi Esa, Bukan hanya terjadi di Bonerate
akan tetapi juga terjadi di Kepulauan Pangkajane (Pangkep). Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan pada dua (2) tempat di kabupaten Pangkep, yaitu Pulau Ballang Caddi dan
Liukang Tuppabiring, Kabupaten Pangkep, ditemukan pola yang sama. Selanjutnya dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Pulau Ballang Caddi dan Liukang Tuppabiring
No.
Tempat Responden
Jumlah
Responden
Melaporkan
Tidak Melaporkan
1
Pulau Ballang Caddi
30
15
15
2
Liukang Tuppabiring
30
10
20
Sumber : Wawancara di Liukang Tuppabiring, 20 – 30 Juli 2013 dan Pulau Ballang Caddi, 01 -15
Agustus 2013.
Berdasarkan presentase pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa masyarakat dalam
konteks tertentu berupaya untuk menyembunyikan informasi dan tidak melakukan pelaporan
ke pihak penegak hukum atas dugaan kejahatan yang terjadi di laut. Persentase pada Tabel 3
menunjukkan bahwa 50-75 % masyarakat memiliki kecederungan untuk menyembunyikan
informasi tersebut sehingga perlu ditemukan suatu formula baru untuk terus menumbuhkan
kecintaan masyarakat akan pentingnya perlindungan dan pemanfaatan laut. Dengan kecintaan
tersebut, masyarakat akan menjadi patner yang strategis bagi penegak hukum baik itu
Lantamal VI maupun Polairut dalam penegakan hukum di laut.
Data Lantamal VI menunjukkan bahwa terbatasnya Alutista yang dimiliki oleh TNI
AL dalam penegakan hukum di laut, maka peran masyarakat menjadi sangat strategis dan
dibutuhkan oleh TNI AL. Dalam hal ini, menurut Priya Santosa (KADISKUM Lantamal
VI) dan Muharam (KADISPOTMAR Lantamal VI), bahwa keberadaan masyarakat sebagai
penyuplai informasi tentang dugaan terjadinya kejahatan di laut sangat vital, khususnya
15
Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2013 bertempat di Polairut Makassar.
(258 )
Penegakan Hukum di Laut
dalam membantu Lantamal VI dalam penegakan hukum di laut.
1. Faktor-faktor penghambat yang timbul dalam peranserta masyarakat dalam penegakan
hukum di laut
Pola pikir (mindset) laut sebagai “halaman belakang rumah” sudah tidak tepat lagi
untuk digunakan. Mindset tersebut harus segera diperbaharui menuju laut sebagai “halaman
depan rumah”.16 Perubahan pola pikir dimaksudkan untuk menempatkan stakeholders pada
posisi yang sama dimana mereka seharusnya memiliki pemahaman bahwa laut memiliki
potensi yang harus dilestarikan dan dilindungi.
Masyarakat sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari sistem penegakan hukum,
ditempatkan pada peran tersendiri yang tak terpisahkan dengan stakeholders lainnya dalam
penegakan hukum di laut. Pola pembinaan dan koordinasi harus selalu dikedepankan dalam
rangka meningkatkan kualitas masyarakat dalam penegakan hukum di laut. Dalam konteks
peran serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut, masyarakat tentunya memiliki porsi
tersendiri dalam menjalankan peran yang diembannya dalam mewujudkan dan menopang
kinerja stakeholders untuk melindungi dan melestarikan laut.
Akan tetapi disadari pula bahwa terdapat faktor-faktor penghambat yang
mempengaruhi optimalisasi peran masyarakat dalam penegakan hukum di laut. Faktor-faktor
dimaksud berasal dari berbagai dimensi seperti dimensi ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam
penelitian ini, dimensi ekonomi merupakan alasan utama bagi masyarakat untuk tidak atau
belum berperan serta dalam penegakan hukum di laut.
Menurut Mayor Ishak Jamal17 bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama yang
dikemukan oleh para pelaku yang sekaligus sebagai dalam posisi masyarakat yang seharusnya
melaporkan atau mengungkap kejahatan di laut. Kasus pemboman ikan yang ditangani oleh
DISKUM Lantamal VI, merupakan bukti bahwa pelaku (tersangka) adalah warga masyarakat
(nelayan) yang seharusnya memberikan laporan atas dugaan kejahatan di laut atau mencegah
diri sendiri dan kelompok masyarakat di sekitarnya untuk tidak melakukan kejahatan
dimaksud.
Argumentasi ekonomi atas kasus yang ditangani oleh Lantamal VI berbanding lurus
dengan kenyataan di lapangan, sebagaimana ditemukan di Liukang Tuppabiring Kabupaten
Pangkep, bahwa warga masyarakat (nelayan) tidak berpartisipasi dalam penegakan hukum
di laut disebabkan oleh faktor ekonomi dimana mereka adalah pelaku kejahatan, khususnya
pemboman ikan. Tabel 4 menunjukan bahwa dari 30 (tiga puluh) responden, 15 (lima belas)
responden menyebutkan bahwa mereka pernah melakukan kejahatan di laut seperti pemboman
ikan dan pembiusan ikan. Sementara 15 (lima belas) responden lainnya menyatakan belum
pernah melakukan kejahatan di laut (selanjutnya lihat Tabel 4).
16
17
Dewan Kelautan Indonesia, op.cit. hal. 247-248.
Wawancara dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2013 bertempat di Lantamal VI, Makassar.
(259 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Tabel 4
Jumlah Responden Pelaku Kejahatan di Laut
No.
Responden Yang Melakukan
Kejahatan di Laut
Responden Yang Tidak Melakukan Kejahatan di
Laut
1
15
15
Jumlah Responden
30
Adapun usia rata-rata pelaku adalah 25-29 tahun. Komposisi usia pelaku di Liukang
Tuppabiring menunjukkan bahwa pada usia 25-29 tahun, para pelaku cenderung untuk
berpikir praktis dengan alasan atau tuntutan ekonomi. Tuntutan ekonomi ini kemudian
dibingkai argumentasi bahwa mereka memiliki keluarga yang terdiri atas anak dan isteri yang
membutuhkan makan.
Fakta di Liukang Tuppabiring juga terjadi di Pulau Balang Caddi, Kabupaten Pangkep.
Dari 30 (tiga puluh) responden, 25 (dua puluh lima) responden menyebutkan bahwa mereka
pernah melakukan kejahatan di laut, khususnya pemboman dan pembiusan ikan. Usia pelaku
juga relatif sama, yaitu 25-35 tahun (selanjutnya lihat Tabel 5).
Tabel 5
Jumlah Responden Pelaku Kejahatan di Laut
No.
1
Responden Yang Melakukan
Kejahatan di Laut
25
Responden Yang Tidak Melakukan Kejahatan di
Laut
5
Jumlah Responden
30
Alasan utama yang dikemukan oleh masyarakat di Pulau Balang Caddi yaitu alasan
ekonomi dimana mereka melakukan kejahatan tersebut dengan maksud untuk mendapatkan
tangkapan ikan yang lebih banyak. Mereka lebih lanjut berargumentasi bahwa semakin
minimnya jumlah tangkapan ikan yang diperoleh, akhirnya memaksa mereka untuk melakukan
pemboman ikan agar jumlah tangkapan ikan mereka tetap banyak. Dalam konteks ini, alasan
ekonomi menjadi sesuatu yang mutlak karena mereka hanya menggantungkan penghasilan
dari pekerjaan sebagai nelayan.
Perspektif ekonomi nelayan sebagai pelaku sebagaimana ditemukan dalam penelitian
ini merupakan gambaran nyata bahwa masyarakat (laut) akan sulit menjalankan peran dan
fungsinya sebagai informan bagi penegak hukum di laut. Menurut Komandan Polisi Esa18
bahwa masyarakat (nelayan) selalu berlindung dibalik argumentasi “himpitan ekonomi”
untuk melegitimasi kejahatan yang mereka lakukan. Contoh penyeludupan pupuk dari
Malasyia menurut Komandan Polisi Esa adalah contoh konkrit yang terjadi dalam wilayah
18
Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2013 bertempat di Polairut Makassar.
(260 )
Penegakan Hukum di Laut
kerja Polairut Makassar, dimana pelakunya adalah seorang janda berusia 80 (delapan puluh
tahun) yang berargumentasi melakukan penyeludupan dimaksud dengan alasan ia harus
menghidupi anak dan cucunya yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Dalam konteks ini, ambiguitas perilaku masyarakat (nelayan) dalam penegakan
hukum di laut berimplikasi pada rentannya mereka untuk “mendua” dalam menjalankan fungsi
“informan” yang mereka emban dalam kikutsertaan mereka dalam penegakan hukum di laut.
Komandan Polisi Esa, lebih lanjut menjelaskan bahwa masyarakat (nelayan) cenderung untuk
membocorkan kerahasiaan penangkapan Polairut atas dugaan kejahatan yang terjadi dengan
alasan ekonomi pula. Padahal sebagai aparat penegak hukum di laut, Polairut memiliki
prosedur penanganan kejahatan yang harus memenuhi standar internasional. Prosedur
penanganan yang dimaksud berupa penggunaan baju dinas pada saat penangkapan. Sehingga
dalam beberapa kasus, masyarakat (nelayan) dengan sigap menyampaikan keberadaan petugas
kepada masyarakat (nelayan) pelaku kejahatan dan pada akhirnya operasi penangkapan yang
direncanakan akhirnya gagal.
Apabila argumentasi ekonomi selalu dilegitimasi oleh warga masyarakat baik
dalam melakukan kejahatan di laut maupun membocorkan informasi keberadaan Polairut
dan Lantamal VI maka dapat diprediksi bahwa hal tersebut akan sangat berbahaya dalam
penegakan hukum di laut. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan laut bersifat bubble
burst effects, dimana kejahatan yang ditangani Polairut dalam suatu wilayah akan tumbuh di
wilayah lain.
Dalam konteks masyarakat menjalankan fungsinya sebagai informan bagi Lantamal
VI dan Polairut maka argumentasi ekonomipun dapat dijadikan sebagai alasan untuk
mengoptimalisasikan peran Polairut termasuk didalamnya memeberdayakan peranserta
masyarakat. Menurut Komandan Polisi Esa19 bahwa dalam rangka memaksimalkan peran serta
masyarakat sebagai pelapor atas ditemukannya dugaan kejahatan di laut terkadang dihambat
dengan minimnya anggaran penanganan kasus di institusi Polairut. Data menunjukkan bahwa
setiap tahunnya anggaran yang dialokasikan untuk penanganan kejahatan di laut dalam
lingkup Polairut Makassar yang membawahi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat hanya
sebanyak 13 (tiga belas) kasus. Sebagai bahan perbandingan, pada tahun 2012 saja telah
ditemukan 40 (empat puluh) kasus.
IV. PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Peranserta masyarakat dalam penegakan hukum di laut diatur secara khusus dalam
SK Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.58/MEN/2001 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan
SUmber Daya Kelautan dan Perikanan. Secara Umum dapat ditemukan dalam Pasal
6 ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Adapun bentuk
19
Ibid.
(261 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
peranserta masyarakat yang dalam penegakan hukum di laut yaitu memberikan dan
menyuplai informasi tentang dugaan terjadinya kejahatan di laut seperti pemboman
ikan, penyeludan BBM, imigran gelap baik kepada Lantamal VI maupun Polairut
Makassar.
b. Faktor penghambat yang mempengaruhi peranserta masyarakat dalam penegakan
hukum di laut lebih didominasi oleh alasan ekonomi. Masyarakat (nelayan) cenderung
menjadi pelaku kejahatan dan/atau menyembunyikan informasi kepada aparat
penegak hukum di laut karena tuntutan ekonomi. Alasan minimnya jumlah tangkapan
menjadi legitimasi untuk menggunakan bom dalam menangkap ikan sehingga dapat
berimplikasi pada peningkatan penghasilan sebagai nelayan.
2 Saran
Adapun saran-saran yang dapat dikemukan sebagai suatu bentuk rekomendasi atas
penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Perlunya sosialisasi yang massif tentang arti penting laut sebagai “halaman depan
rumah” yang diberikan kepada masyarakat, khususnya nelayan agar mereka paham
akan tanggung jawab mereka untuk melindungi dan melestarikan laut.
b. Perlunya koordinasi yang lebih intens lagi antara instansi penegak hukum di laut
seperti Lantamal VI dan Polairut dalam rangka mengoptimalkan peranserta masyarakat
sebagai “informan” yang mendukung kinerja dari instansi penegak hukum dimaksud.
c. Perlunya memperbanyak desa-desa binaan maritim dalam rangka membangun dan
mengubah mindset masyarakat tentang laut, khususnya dalam konteks masyarakat
(nelayan) sebagai actor kejahatan di laut.
d. Perlunya menetapkan aturan atau regulasi yang secara khusus mengatur tentang peran
serta masyarakat dalam penegakan hukum di laut, yang lebih tingkatannya dari Surat
Keputusan Menteri.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rasal Rauf, Hukum Laut: Pola Ilmiah Pokok (buku Ajar), Makassar: Fakultas
Hukum UNHAS, 2007.
Alma Manuputty, dkk., Buku Ajar: Hukum Laut (Pola Ilmiah Pokok), Makassar: LKPP
Unhas, 2011.
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2000.
Dewan Kelautan Indonesia, Membangun Laut Membangun Kejayaan: Dulu, Kini dan
Masa Depan, (Jakarta: Kominfo Ditjen IKP dan Dekin, 2012.
Frans E. likadja, Bunga Rampai Hukum Internasional, Bandung: Binacipta, 1987.
(262 )
Penegakan Hukum di Laut
Maskun, Penegakan Hukum di Laut: Hambatan dan Solusi, Harian Tribun Timur, Kamis,
26 Agustus 2010.
Milles Mattew dan A. Michael Huberman, Analisa Data Kualitatif, alihbahsa Tjetjep
Rohendi Rohini, Jakarta: UI_Press, 1982.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The
Indonesian Experience, Bandung: Alumni, 2002.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
(263 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 264 )
Israel - Palestina
LANGKAH SEPIHAK ISRAEL
DAN KRITIK INTERNASIONAL TERHADAP RENCANA
PEMUKIMAN YAHUDI DI PALESTINA
Sumiyati Beddu*
Fakultas Hukum Univeritas Ichsan Gorontalo
[email protected]
Abstract: Israel plans to undertake the construction of Jewish settlements in
the Palestinian territory in clear violation of international law, not compliance
calls for the international community and international organizations to make
Israel as a public enemy. Efforts peace (Israel-Palestine) which continues as
initiated by many to be futile due to the controversial policies continue to be
implemented by the Government of Israel.
Abstrak: Rencana Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi
di wilayah Palestina jelas melanggar hukum internasional, tidak dipatuhinya
seruan-seruan masyarakat internasional dan beberapa organisasi internasional menjadikan Israel sebagai public enemy. Upaya perdamaian (IsraelPalestina) yang terus digagas oleh banyak pihak seolah menjadi sia-sia akibat
kebijakan-kebijakan kontroversial yang terus dijalankan oleh Pemerintah
Israel.
I. PENDAHULUAN
Perselisihan antara Israel dan Palestina hingga saat ini belum juga dapat terselesaikan
dengan baik, upaya-upaya perdamaian terus saja di upayakan baik melalui Perserikatan
Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) yang merupakan wadah/organisasi terbesar
antarnegara sebagai suatu komunitas masyarakat internasional, maupun melalui inisiatif
oleh negara-negara yang turut prihatin atas permasalahan yang dihadapi oleh kedua bangsa
tersebut (Israel dan Palestina). Sebenarnya perselisihan yang terjadi antara Israel dan Palestina
bukanlah masalah yang baru terjadi, namun masalah tersebut sudah mulai muncul dari ribuan
tahun yang lalu.
Negara Israel berdiri pada tanggal 14 Mei 1948 didasarkan pada Resolusi Majelis
Umum PBB Nomor 181 Tahun 1947.1 Resolusi ini menetapkan Jerusalem sebagai daerah
Dekan Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Sarjana Hukum (SH) 1994 dari Fakultas
Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar. Magister Ilmu Hukum (MH) 2008 dari Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, Makassar.
*
1
Lihat Adian Husaini, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, (Jakarta: Pustaka Progressif, 2002),
hlm. 15 yang dikutip dari Inggrit Fernandes, Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Penduduk Sipil
Palestina di Wilayah Pendudukan Israel di Palestina, (Padang: Program Pascasarjana Universitas Andalas,
2011), hlm. 1
(265 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
yang berada di bawah kekuasaan internasional. Pada tanggal 29 November Tahun 1947
Israel melanggar resolusi ini dengan mengklaim Jerusalem sebagai jantung kota Israel.2
Sejak diklaimnya Palestina sebagai teritorial negara Israel, maka Israel mulai melakukan
pembangunan pemukiman di wilayah Palestina dengan dua proses, yakni evekuasi dan
substitusi. Proses evakuasi dan substitusi yaitu dengan mengosongkan wilayah dan mengganti
penduduknya dengan bangsa Yahudi yang dilakukan dengan cara kekerasan dan pembunuhan
terhadap penduduk sipil Palestina.3
Hal ini sesuai dengan kebijakan utama politik luar negeri Israel adalah ekspansi wilayah,
yang dapat dilihat dari dikuasainya 80% wilayah Palestina pada tahun 1949, jauh melebihi
bagian yang ditetapkan PBB pada tahun 1947 yaitu hanya sebesar 56%. Proses substitusi
rakyat Palestina dengan penduduk Israel mencapai proporsi yang sulit dipecahkan, selain itu
pemerintahan Israel menghancurkan tempat ibadah Islam dan Kristen dan pada bulan Mei
1949 kemudian Israel membangun 1.947 pemukiman baru dan bulan Oktober 1947 imigran
Yahudi berdatangan ke wilyah Palestina, jumlah mereka mencapai 25.255 imigran.4 Fakta
tersebut menunjukkan bahwa dari awal berdirinya, negara Israel telah melakukan pelanggaran
terhadap isi resolusi yang menjadi dasar hukum berdirinya negara tersebut sebagai negara
yang berdaulat, kebijakan utama politik luar negeri yang tidak mengindahkan aturan-aturan
internasional menjadikan negara ini (Israel) bukan hanya berkuasa di wilayahnya, namun
juga menguasai/berkuasa di wilayah yang secara hukum bukan menjadi wilayah teritorialnya
(seperti di wilayah Palestina).
Sebagai badan yang memiliki kewenangan untuk menengahi konflik tersebut,
seharusnya PBB lebih aktif dalam memberikan perannya terhadap penyelesaian konflik
yang terus terjadi antara Israel dan Palestina. PBB memiliki tanggung jawab besar terhadap
penyelesaian konflik yang berkepanjangan tersebut, karena PBB-lah maka masyarakat
internasional (selaku gabungan dari negara-negara berdaulat) memiliki hak untuk
mengharapkan perdamaian dapat terjadi di bumi Israel-Palestina.
PBB melalui Dewan Keamanan mempunyai tanggungjawab besar untuk
mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional, menjamin keadilan dan hakhak asasi manusia dan menggalakkan kemajuan sosial serta taraf hidup yang lebih baik di
alam yang luas. Maka dari itu, dengan lenyapnya perang dingin, dunia dan PBB sebagai
satu lembaga telah bebas dari belenggu pertentangan pembangunan di segala dimensi, baik
sosial, budaya maupun politik. Namun lebih dari itu, PBB memiliki tugas besar, berkaitan
dengan konflik di timur tengah, Israel-Palestina, dalam penanganan konflik tersebut Dewan
Keamanan PBB memiliki kekuatan yakni berupa resolusi yang disepakati oleh anggota tetap
Dewan Keamanan PBB.5 Tentunya resolusi tersebut harus mengandung nilai-nilai keadilan,
2
Ibid. Adrian Husaini, hlm. 157; Inggrit Fernandes, hlm. 1
COMES (Penerjemah), Terorisme Israel Membedah Paradigma dan Strategi Terorisme Zionis,
(Bandung: Assyamil, 2001), hlm. 137 yang dikutip dari Inggrit Fernandes. Ibid, hlm. 1-2
4
Ibid.
5
Ali Muhtar Arifin, Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Konflik IsraelPalestina (Studi Kasus Konflik Jalur Gaza Tahun 2007-2009), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010),
3
( 266 )
Israel - Palestina
khususnya dapat memberikan win-win solution bagi Israel-Palestina yang sedang berkonflik,
agar resolusi tersebut nantinya dapat menjadi cikal-bakal terciptanya perdamaian yang selama
ini diharapkan oleh masyarakat internasional.
Hingga saat ini, sejak Yahudi mendirikan negaranya di bumi Palestina, Dewan
Keamanan PBB senantiasa telah mengeluarkan resolusi-resolusi yang menguntungkan negara
Zionis tersebut. Sebab, mereka sudah terlebih dahulu menyensor resolusi yang bertentangna
dengan kepentingan Yahudi. Di balik itu negara-negara Islam masih saja menggantungkan
harapan kepada Dewan Keamanan PBB tersebut.6 Melihat dari sejarah berdirinya PBB,
terdapat nilai positif yang mengedepankan perdamaian dan keamanan, serta didukung oleh
negara-negara berkembang dunia. Akan tetapi perjalanan PBB hingga saat ini masih belum
mampu menunjukkan kualitasnya sebagai organisasi internasional. Hal tersebut dapat kita
tinjau melalui konflik Israel-Palestina. Terkait dengan keputusan PBB yang mengakhiri
mandate Pemerintahan Inggris di wilayah Palestina, kemudian membagi wilayah Palestina
menjadi dua negara yaitu wilayah yang diperuntukkan bagi masyarakat Yahudi Israel dan Arab
Palestina.7 Namun di awal tahun 2014 baru-baru ini Israel malah memperkeruh suasana dan
menghambat proses perdamaian yang sementara dilakukan dengan membangun pemukiman
baru Yahudi di wilayah Palestina.
Oleh karena itu, permasalahan yang hendak diuraikan dalam tulisan ini yaitu Apakah
dampak yang ditimbulkan atas tindakan sepihak Israel dalam membangun pemukiman Yahudi
di wilayah Palestina? Bagaimanakah pandangan hukum internasional atas tindakan sepihak
Israel dalam membangun pemukiman Yahudi di wilayah Palestina?
II. PEMBAHASAN
A. Dampak Pembangunan Pemukiman Yahudi di Palestina
Israel kembali mengambil langkah kontroversial. Berulang kali dicekam, Israel
malah menyetujui pembangunan 381 pemukiman Yahudi baru di wilayah sengketa
dengan Palestina. Pemukiman tersebut direncanakan dibangun di Givat Zeev, Selatan
Tepi Barat. Dengan dibangunnya 381 pemukiman Yahudi ini, maka dalam dua minggu
Israel telah menambah sekira 2.530 (dua ribu lima ratus tiga puluh) pemukiman
baru. Sebelumnya, pada Januari, Israel telah menyetujui rencana pembangunan 272
pemukiman. Empat hari kemudian, Israel turut mengambil langkah serupa dengan
merencanakan pembangunan 1.877 pemukiman lagi. Keputusan pembangunan
pemukiman Yahudi dipastikan akan mempersulit perundingan damai dengan Palestina.
“Pemerintahan (PM) Netanyahu tidak menginginkan perdamaian,” ujar Kepala Negosiator
Palestina Saeb Erkat, seperti dikutip dari Al Jazeera, (dirilis Kamis, 23 Januari 2014).8
hlm. 3-4
6
Ibid. hlm. 4; Lihat juga Fuad Bin Sayyid Abdurrahman Arrifa’i, Yahudi Dalam Informasi Dan
Organisasi, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 53
7
Ibid. hlm. 4-5; Lihat juga Hermawati, Sejarah Agama Dan Bangsa Yahudi, (Jakarta: Rajawali Pers,
2005), hlm. 1
8
Okezone, Israel Setujui Pembangunan Pemukima Yahudi Baru, Lihat http://international.
(267 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Sepanjang perjalanan sejarahnya, konflik Israel-Palestina ini telah mengakibatkan
korban jiwa dalam jumlah besar. Berbagai perang telah terjadi, yang kemudian diikuti dengan
upaya-upaya perdamaian yang terus dilakukan, berbagai kesepakatan damai juga telah
diadakan oleh negara-negara pihak ketiga sebagai mediator, namun hal-hal tersebut belum
diimplementasikan oleh kedua pihak sehingga konflik ini terus saja berlanjut hingga saat ini.
Upaya negoisasi perdamaian tidak akan pernah berjalan adil dan efektif sepanjang kedua
pihak yang bernegoisasi belum memiliki kedudukan, posisi, dan hak-hak yang sama. Hal ini
bisa dilihat dari ketimpangan antara status Negara Israel dan Palestina dihadapan masyarakat
Internasional. Perbedaan status Israel dan Palestina di PBB ini bisa dikatakan menjadi
indikator utama yang menggambarkan ketimpangan tersebut. Status Israel di PBB adalah
negara anggota sedangkan status Palestina hingga akhir November 2012 kemarin hanyalah
dianggap sebagai “belligerent”. Sehingga apabila upaya-upaya perdamaian atau negoisasi
terus dilakukan dalam keadaan yang tidak seimbang tersebut hanya akan menguntugkan
pihak yang kuat. Kondisi-kondisi perdamaian yang dapat terjadi kemudian hanyalah kondisi
perdamaian yang diinginkan oleh pihak yang kuat.9
Jumlah pemukiman ilegal Yahudi yang mulai dibangun di wilayah Palestina
mengalami kenaikan selama medio 2013. Data tersebut dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik
Israel. Biro itu mengatakan, pada 2013 Israel telah mulai mengerjakan 2.534 (dua ribu lima
ratus tiga puluh empat) pemukiman baru. Angka ini naik dua kali lipat dari 2012 yang ada di
angka 1.133 (seribu seratus tiga puluh tiga) rumah. Pengumuman ini muncul selang beberapa
jam dari kedatangan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu ke Washington.
Kedatangan Netanyahu ke Ibu Kota Amerika Serikat (AS) tersebut dalam rangka menemui
Presiden Barack Obama. Sebelumnya Obama menjelaskan, pertemuan ini sengaja dihelat
untuk merundingkan masalah pembangunan pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Diakui
Obama, bila Israel tetap bersikeras atas apa yang mereka lakukan, maka dipastikan konstruksi
perdamaian Israel-Palestina yang selama ini telah diupayakan akan hancur.10
Dalam pernyataannya, Obama pun mengakui Israel memang telah mempercepat
pembangunan pemukiman Yahudi. “Kami melihat bagaimana agresifnya pembangunan
konstruksi pemukiman dalam dua tahun terakhir bila dibanding dengan apa yang kita lihat
di beberapa tahun sebelumnya,” ujar Obama seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (dirilis
Selasa, 04 Maret 2014). Kebijakan Israel tersebut, tidak hanya mendapat keprihatinan dari
AS, organisasi Perdamaian Dunia turut mengambil langkah serupa. Menurut mereka, saat
ini pembangunan yang dilakukan Israel telah menunjukan sikap yang tidak peduli dengan
negosiasi damai dengan Palestina.11 Padahal belajar dari kasus-kasus sebelumnya PBB telah
okezone.com/read/2014/01/23/412/930525/israel-setujui-pembangunan-pemukiman-yahudi-baru di akses 05
Maret 2014
9
Mangulung dkk, Pemberian Status “Non-Member State” Kepada Palestina Oleh PBB, Jurnal
Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume 1 Nomor 2 Edisi November 2013, hlm.
234-235
10
Okezone, Pemukiman Ilegal Yahudi Naik Dua Kali Lipat, Lihat http://international.okezone.
com/read/2014/03/04/412/949575/pemukiman-ilegal-yahudi-naik-dua-kali-lipat di akses 05 Maret 2014
11
Ibid.
( 268 )
Israel - Palestina
mengeluarkan banyak dana untuk keperluan peacekeeping operation.12 Hal ini menjadi
menarik kemudian karena Amerika Serikat-pun turut prihatin atas pembangunan pemukiman
tersebut, namun anehnya tidak ada tindakan real dari Pemerintah Amerika untuk mencegah
proses pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina.
Uni Eropa mengecam rencana Israel membangun 1.700 (seribu tujuh ratus) pemukiman
Yahudi di wilayah Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Uni Eropa menuntut Israel membatalkan
rencananya tersebut. Yerusalem Timur dan Tepi Barat merupakan bagian dari Palestina. Uni
Eropa menilai pembangunan pemukiman Yahudi di kedua wilayah tersebut sebagai tindakan
yang ilegal. Uni Eropa juga khawatir rencana pembangunan pemukiman Yahudi akan
merusak proses perundingan damai yang sedang berjalan. Palestina menjadikan penghentian
pembangunan pemukiman Yahudi sebagai tuntutan utamanya dalam perundingan. “Uni Eropa
sudah berulang kali menyatakan pembangunan pemukiman Yahudi oleh Israel di wilayah
Palestina melanggar hukum internasional. Israel harus menyelamatkan proses perundingan.
Tindakan (pembangunan pemukiman Yahudi) yang merusak proses perundingan harus
segera dibatalkan,” sebut pernyatan dari Uni Eropa, seperti dikutip AFP, (dirilis Kamis, 07
November 2013). Proses perundingan Palestina-Israel memang terancam gagal. Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat (AS) John Kerry harus membujuk kedua belah pihak untuk
melanjutkan perundingan. Perundingan Palestina-Israel disponsori kelompok yang dikenal
dengan nama Kuartet Timur Tengah. Kelompok tersebut terdiri dari AS, Uni Eropa, PBB dan
Rusia.13
Oleh karena itu, maka dampak yang paling besar atas rencana pembangunan
pemukiman Yahudi di wilayah Palestina adalah kritik dari sejumlah negara (sebagai bagian
dari masyarakat internasional) atau yang lazim disebut “kritik internasional” terhadap rencana
pembangunan pemukiman Yahudi tersebut. Bisa saja masyarakat internasional akan semakin
tidak percaya terhadap setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Israel ketika melakukan hubungan internasional terhadap negara-negara (yang termasuk
melakukan upaya protes atas pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina), dan ini
akan merugikan negara Israel dalam posisi yang tidak menguntungkan di dalam melakukan
perundingan-perundingan atau kerjasama-kerjasama luar negeri, bahkan kebijakan sepihak
Israel dalam melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina dapat menjadi
boomerang bagi negara Israel di masa yang akan datang. Sejumlah kritik terhadap Israel
datang dari beberapa negara, seperti yang dikutip dalam berita berikut ini :
“Sejumlah negara mengutuk rencana pembangunan ini. Inggris, Perancis, Spanyol,
Denmark, dan Swedia telah memanggil Duta Besar Israel di negara masing-masing
untuk memprotes kebijakan ini. Sementara itu, sekutu terdekatnya, Amerika Serikat,
juga meminta Israel mempertimbangkan kebijakan ini. (Kami meminta pemimpin
12
Ali uhtar Arifin, Loc.Cit. Lihat juga Riza Zihbudi, Menyandera Timur Tengah; Kebijakan AS
Dan Israel Atas Negara-Negara Muslim, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 156
13
Okezone, Uni Eropa Tuntut Israel Batalkan Pembangunan Pemukiman Yahudi, Lihat http://
international.okezone.com/read/2013/11/07/412/893443/uni-eropa-tuntut-israel-batalkan-pembangunanpemukiman-yahudi di akses 05 Maret 2014
(269 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Israel untuk mempertimbangkan lagi keputusan sepihak ini dan menahan diri karena
aksi ini kontraproduktif dan akan membuat proses negosiasi enjadi sulit), kata Juru
Bicara Gedung Putih Jay Carney. Tak hanya negara-negara itu saja yang mengutuk
rencana Israel ini. Rusia, Jerman, dan PBB juga meminta rencana ini dibatalkan.
Rencana yang paling ditentang oleh Palestina adalah pembangunan pemukiman
Yahudi di area E1 di Maaleh Adumim (antara Herusalem dan Tepi Barat). Palestina
menganggap pembangunan pemukiman di daerah ini akan membelah Tepi Barat,
memisahkan Palestina dengan Jerusalem. Sehingga bisa menyebabkan terhambatnya
pembentukan negara Palestina”.14
B. Pandangan Hukum Internasional Terhadap Rencana Pembangunan Pemukiman Yahudi
Di Wilayah Palestina
Dalam kacamata hukum internasional, maka rencana sepihak Israel dalam melakukan
pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina jelas melanggar hukum internasional,
ini dikarenakan tidak adanya itikad baik dari negara Israel dan tidak dipatuhinya seruanseruan masyarakat internasional dan beberapa organisasi internasional menjadikan Israel
sebagai public enemy. Disini peran PBB sangat dibutuhkan agar keseimbangan dapat tercipta,
dan nilai-nilai keadilan dapat ditegakkan. Upaya perdamaian (Israel-Palestina) yang terus
digagas oleh banyak pihak seolah menjadi sia-sia akibat kebijakan-kebijakan kontroversial
yang terus dijalankan oleh Pemerintah Israel.
Sebagai hukum yang bersifat fusi (gabungan) yang mengayomi berbagai negara
dengan latar belakang berbeda,15 hukum internasional menjadi sangat dibutuhkan dalam upaya
penyelesaian konflik Israel-Palestina ini. Kehadiran pemukiman-pemukiman baru tersebut
menciptakan tiga komplikasi bagi perundingan damai. Komplikasi pertama terkait dengan
penyesuaian batas wilayah. Keberadaan pemukiman-pemukiman baru tersebut memaksakan
dilakukannya penyesuaian batas wilayah kedua negara. Tanpa adanya penyesuaian batas,
pemerintah Israel harus melakukan penarikan diri dari pemukiman-pemukiman baru yang
sudah dibangun.16
Penarikan diri tersebut akan menciptakan tekanan publik yang intens. Tekanan publik
akan semakin kuat mengingat pemukiman-pemukiman baru tersebut diperuntukkan bagi para
imigran, yang sebagian besar berasal dari Rusia dan negara-negara eks-Uni Sovyet lain, yang
merupakan basis pendukung partai-partai sayap kanan Israel. Partai-partai ini merupakan pilar
utama koalisi pemerintahan Netanyahu saat ini. Artinya, selain tekanan publik, pemerintah
Netanyahu harus menghadapi ancaman perpecahan dalam koalisinya jika memaksakan
relokasi pemukiman. Pada saat yang bersamaan, penyesuaian batas akan memberi tekanan
14
Viva News, Bangun Pemukiman Yahudi, Israel Lawan Tekanan Internasional, Lihat http://
www.umm.ac.id/id/internasional-umm-1458-bangun-pemukiman-yahudi-israel-lawan-tekanan-internasional.
html di akses 05 Maret 2014
15
Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, (Makassar: Pustaka Pena Press,
2013), hlm. 24
16
Broto Wardoyo, Jalan Panjang Negosiasi Palestina-Israel, (Sebuah Opini), Lihat http://
satuharapan.com/index.php?id=148&tx_ttnews[tt_news]=11834& cHash=6e274e151304a7763e61d25bdb9c8
45e di akses 05 Maret 2014
( 270 )
Israel - Palestina
pada Otoritas Palestina apalagi jika wilayah yang dipertukarkan kurang menguntungkan.17
Komplikasi kedua terkait dengan pengaturan keamanan. Pembangunan pemukiman
Yahudi hanya bisa dilaksanakan jika ada ijin resmi dari Kementerian Pertahanan. Lokasilokasi pemukiman Yahudi baru yang terletak di luar garis hijau membuat militer Israel
memiliki kebutuhan untuk melakukan pengamanan hingga ke wilayah yang menjadi teritori
Palestina. Hal ini membuka potensi terjadinya benturan dengan kelompok-kelompok
perlawanan Palestina, terutama Brigade al-Aqsa, yang secara de facto menguasai blok-blok
besar di wilayah Tepi Barat. Apalagi, kelompok-kelompok tersebut tidak memiliki garis
komando yang jelas dengan Otoritas Palestina.18
Komplikasi ketiga terkait dengan status Yerusalem. Blok-blok baru pemukiman Yahudi
sebagian besar dibangun di wilayah Yerusalem Timur, ibukota negara Palestina. Sebagian dari
blok yang dibangun tersebut bukanlah perluasan normal dari blok lama di Yerusalem Timur
namun dibangun terpisah dari blok-blok lama. Blok-blok baru tersebut akan menambah
rumit pengaturan masalah Yerusalem yang sudah cukup kompleks dengan kehadiran situssitus suci.19 Ketiga komplikasi ini menjadi sangat penting yang harus dipikirkan oleh setiap
negara, guna konflik yang terus-menerus terjadi di Palestina dan Israel dapat segera usai, agar
perdamaian yang dikehendaki oleh banyak pihak (negara-negara) dapat segera terwujud.
Banyak upaya telah ditempuh oleh beberapa pihak yang menginginkan perdamaian
terjadi antara Israel dan Palestina, khususnya negara-negara Arab, Dewan Keamanan PBB
pun telah mengeluarkan banyak resolusi yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik
Israel-Palestina, resolusi-resolusi dimaksud adalah20 :
- Resolusi tentang HAM Resolusi A/55/133 isinya mengenai tindakan-tindakan
Israel yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Palestina (mengenai
pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi dan penutupan daerah). Dalam
resolusi ini, Majelis Umum menitik beratkan pada perlunya menjaga integritas
territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina, termasuk menghilangkan
pembatasan yang dilakukan oleh Israel;
- Resolusi A/55/128 mengenai tanah kepemilikian Palestina sesuai dengan Prinsipprinsip kebenaran dan keadilan.;
- Resolusi A/56/142 hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri.;
- Upaya pembentukan road map yang disepakati oleh komite Kwartet, yaitu
Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB;
- Resolusi PBB No.181 tahun 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa
Palestina dan Yahudi;
- Pembentukan komisi I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi
Palestina, yaitu UN Conciliation Commission For Palestine (UNCCP) yang
Ibid.
Ibid.
19
Ibid.
20
Vera Ellen Paat, Posisi Amerika Serikat Dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel, e-journal
Universitas Sam Ratulangi Manado, hlm. 6-7.
17
18
(271 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
-
-
-
-
-
-
-
-
kemudian pada tahun 1950 juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina
dengan nama UN Relief and Works Ageny (UNRWA);
Resolusi No. 194 yang berbunyi: “Majelis umum menegaskan bahwa harus di
izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali kerumah mereka
dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti
rugi dari harta benda yang ditinggalka, dan mendapat ganti rugi dari kerugia atau
kerusakan harta benda sesuai dengan hukum Internasional dan standar keadilan
bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.”
Resolusi No. 338 penyeruan mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai
dan mengakhiri aksi bersenjata kedua pihak;
Resolusi No. 1276 yang meminta kedua pihak serius untuk menghentikan gencatan
senjata;
Oktober 2000 DK menyetujui resolusi yang mengecam penggunaan kekuatan
berlebihan, yaitu no. 1322 dimana Dk PBB menyatakan sangat prihatin dalam
peristiwa tragis yang membawa banyak kematian dan kerugian dan kebanyakan
orang-orang Palestina. Dibawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel justru
menunjukan eskalasi militer dan Politik. Israel mengerahkan pasukan bersenjatanya
ke tepi barat dan membantai orang-orang Palestina di kamp pengungsi di jenin,
Balata, Rammalah, Aida, dir balah dan Deheish sejak awal hingga pertengahan
Juni 2002;
Resolusi no. 1937 12 maret 2002, yang meminta dengan segera penghentian semua
tindakan kekerasan termasuk tindakan meneror, penghasutan dan pengrusakan.
Tanggapan dari Resolusi ini yaitu, pada tanggal 20 maret pejuang palestina
melakukan aksi bom bunuh diri di dekat kota Umm Al-Fahm, Israel Utara dan juga
dekat kota Yerusalem hingga sebagai balasannya PM Ariel Sharon mengumumkan
deklarasi perang serta mengerahkan pasukannya lengkap dengan persenjataan dan
alat-alat berat ke kota Ramallah, untuk mengepung Yasser Arafat;
Resolusi No 1402 pada tangga 30 Maret 2002, secara aklamasi meminta
kedua pihak yang bertikai untuk melakukan gencatan senjata, serta agar Israel
menarik pasukannya dari kota Palestina, termasuk wilayah Istana pemimpin
palestina Yaseer Arafat. Kenyataannya Israel tetap tidak menarik pasukannya,
aksi penyanderaan Yaser Arafat diiringi dengan penghancuran hampir seluruh
bangunan Istana Kepresidenan dengan penghancuran Bom;
Resolusi PBB N0. 1403 4 april 2002 membawa mereka ke meja perundingan untuk
membicarakan kesepakatan perdamaian, dan menghasilkan Peta perdamaian 16
juli 2002 di New YORK;
Juli 2004 resolusi ES-10 yang secara resmi mendesak Israel untuk menghentikan
dengan segera pembangunan tembok pemisah antara Palestina dan Israel.
Dari sekian banyak resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut, toh nyatanya hingga
( 272 )
Israel - Palestina
saat ini upaya perdamaian antara Israel dan Palestina terus mengalami kegagalan. Kegagalan
demi kegagalan terus terjadi seiring dengan banyaknya upaya yang dilakukan baik oleh
negara-negara yang menginginkan Israel dan Palestina hidup secara damai sehingga
memprakarsai upaya perdamaian, maupun organisasi-organisasi yang sifatnya kecil maupun
besar (khususnya PBB) melalui Dewan Keamanannya terus saja berupaya menjalankan tugas
dan fungsinya sebagai pemersatu dan pembawa kedamaian di muka bumi. Satu hal yang tidak
bisa dipungkiri oleh banyak pihak, bahwa sudah menjadi rahasia umum kalau Israel memang
ingin menguasai wilayah-wilayah strategis di Palestina.
Kepercayaan bahwa, wilayah ini merupakan tanah yang dijanjikan oleh Tuhan
mereka, wilayah Palestina yang kini sudah berada dalam genggaman tidak akan mungkin
untuk dilepaskan.21 Oleh karena itu, hingga saat ini Israel masih saja terus ingin menguasai
wilayah-wilayah strategis di Palestina. Konflik memang tidak dapat dihindari dalam
melakukan pergaulan antar bangsa. Pola interaksi hubungan internasional tidak dapat
dihindarkan dengan pola persaingan dan pola konflik. Sumber konflik dapat terletak pada
kelangkaan sumber daya dan egosentrisme masing-masing negara. Timbulnya konflik bisa
dipicu oleh sikap atau tindakan yang bernuansa saling ketidakpercayan dan pemberian reaksi
yang berlebihan terhadap suatu peristiwa tertentu.22 Oleh karena itu konflik antara Israel dan
Palestina memang tidak dapat dihindari, namun dibutuhkan kesabaran dan peran serta semua
negara sebagai masyarakat internasional dalam memberikan masukan-masukan, melakukan
upaya-upaya, dan koordinasi guna terwujudnya perdamaian antara Israel dan Palestina,
tentunya tidak melupakan tugas dan peran-peran yang harus dilakukan PBB.
III. PENUTUP
Dampak yang paling besar atas rencana pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah
Palestina adalah kritik dari sejumlah negara (sebagai bagian dari masyarakat internasional)
atau yang lazim disebut “kritik internasional” terhadap rencana pembangunan pemukiman
Yahudi tersebut. Bisa saja masyarakat internasional akan semakin tidak percaya terhadap
setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah Israel ketika melakukan
hubungan internasional terhadap negara-negara (yang termasuk melakukan upaya protes
atas pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina), dan ini akan merugikan
negara Israel dalam posisi yang tidak menguntungkan di dalam melakukan perundinganperundingan atau kerjasama-kerjasama luar negeri, bahkan kebijakan sepihak Israel dalam
melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina dapat menjadi boomerang
bagi negara Israel di masa yang akan datang.
Jika ditinjau dari kacamata hukum internasional, maka rencana sepihak Israel dalam
melakukan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina jelas melanggar hukum
Dina Tsalist Wildana, Konflik Israel-Palestina (Study Terhadap Konsep Perdamaian Di Timur
Tengah), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 2; Lihat juga A. Agus Sriyono dkk, Hubungan
Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 113
22
Ibid. hlm. 9; Lihat juga T. May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan masalahmasalah Global; Isu, Konsep, Teori dan Paradigma. (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 2-3.
21
(273 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
internasional, ini dikarenakan tidak adanya itikad baik dari negara Israel dan tidak dipatuhinya
seruan-seruan masyarakat internasional dan beberapa organisasi internasional menjadikan
Israel sebagai public enemy. Disini peran PBB sangat dibutuhkan agar keseimbangan dapat
tercipta, dan nilai-nilai keadilan dapat ditegakkan. Upaya perdamaian (Israel-Palestina)
yang terus digagas oleh banyak pihak seolah menjadi sia-sia akibat kebijakan-kebijakan
kontroversial yang terus dijalankan oleh Pemerintah Israel.
Sebagai hukum yang bersifat fusi (gabungan) yang mengayomi berbagai negara
dengan latar belakang berbeda, hukum internasional menjadi sangat dibutuhkan dalam upaya
penyelesaian konflik Israel-Palestina ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Agus Sriyono dkk, Hubungan Internasional: Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Adian Husaini, Israel Sang Teroris yang Pragmatis, Jakarta: Pustaka Progressif, 2002.
Ali Muhtar Arifin, Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Konflik
Israel-Palestina (Studi Kasus Konflik Jalur Gaza Tahun 2007-2009), Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga, 2010.
Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Makassar: Pustaka Pena
Press, 2013.
Broto Wardoyo, Jalan Panjang Negosiasi Palestina-Israel, (Sebuah Opini), Lihat
http://satuharapan.com/index.php?id=148&txttn
ews[tt_news]=11834&
cHash=6e274e151304a7763e61d25bd b9c845e di akses 05 Maret 2014
COMES (Penerjemah), Terorisme Israel Membedah Paradigma dan Strategi Terorisme
Zionis, Bandung: Assyamil, 2001.
Dina Tsalist Wildana, Konflik Israel-Palestina (Study Terhadap Konsep Perdamaian Di
Timur Tengah), Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2009.
Fuad Bin Sayyid Abdurrahman Arrifa’i, Yahudi Dalam Informasi Dan Organisasi, Jakarta:
Gema Insani, 1995.
Hermawati, Sejarah Agama Dan Bangsa Yahudi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Inggrit Fernandes, Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Penduduk Sipil
Palestina di Wilayah Pendudukan Israel di Palestina, Padang: Program
Pascasarjana Universitas Andalas, 2011.
Mangulung dkk, Pemberian Status “Non-Member State” Kepada Palestina Oleh PBB,
Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Volume 1
Nomor 2 Edisi November 2013.
Okezone, Israel Setujui Pembangunan Pemukima Yahudi Baru, Lihat http://international.
okezone.com/read/2014/01/23/412/930525/israel-setujui-pembangunanpemukiman-yahudi-baru di akses 05 Maret 2014.
( 274 )
Israel - Palestina
Okezone, Pemukiman Ilegal Yahudi Naik Dua Kali Lipat, Lihat http://international.
okezone.com/read/2014/03/04/412/949575/pemukiman-ilegal-yahudi-naik-dua-kalilipat di akses 05 Maret 2014
Okezone, Uni Eropa Tuntut Israel Batalkan Pembangunan Pemukiman Yahudi, Lihat
http://international.okezone.com/read
/2013/11/07/412/893443/uni-eropa-tuntutisrael-batalkan-pembangunan-pemukiman-yahudi di akses 05 Maret 2014
Riza Zihbudi, Menyandera Timur Tengah; Kebijakan AS Dan Israel Atas NegaraNegara Muslim, Bandung: Mizan, 2007.
T. May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan masalah-masalah Global; Isu,
Konsep, Teori dan Paradigma. Bandung: Refika Aditama, 2003.
Vera Ellen Paat, Posisi Amerika Serikat Dalam Penyelesaian Konflik Palestina-Israel,
e-journal Universitas Sam Ratulangi Manado.
Viva News, Bangun Pemukiman Yahudi, Israel Lawan Tekanan Internasional, Lihat
http://www.umm.ac.id/id/internasional-umm-1458-bangun-pemukiman-yahudiisrael-lawan-tekanan-internasional.html di akses 05 Maret 2014
(275 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 276 )
Indication of Source
PERLINDUNGAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP
KOPI TORAJA SEBAGAI INDICATION OF SOURCE
PRODUCT MILIK INDONESIA
Ibnu Munzir*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Abstract: The legal protection on Toraja coffee brand as an indication of source
product owned by Tana Toraja and North Toraja (Indonesia) has determined
that in the use of Toarco Toraja brand by Key Coffee Inc. there should be an
indication of the place of origin so it would not mislead the public
Abstrak: Perlindungan hukum terhadap merek kopi Toraja sebagai produk
indikasi asal milik Tana Toraja dan Toraja Utara (Indonesia) mengatur
penggunaan merek Toarco Toraja oleh Key Coffee Inc harus mencantumkan
nama tempat asal dari barang tersebut agar tidak menyesatkan masyarakat.
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman seni dan
budaya. Hal ini sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa dan agama yang secara
keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya
itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang dapat dan perlu dilindungi oleh
undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri, tetapi
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri
yang melibatkan para penciptanya. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang
dlindungi ini dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya para penciptanya saja, tetapi
juga bagi bangsa dan negara.
Dalam dasawarsa terakhir ini, telah semakin nyata bahwa pembangunan harus
bersandarkan pada industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Kesepakatan
Indonesia untuk merealisasikan gagasan mengenai ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta
keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia
Pacific Economic Cooperation (APEC), telah menunjukkan keseriusan pemerintah dalam
mendukung sistem perekonomian yang bebas dan terbuka, serta secara tidak langsung
memacu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk lebih meningkatkan daya saingnya.
Setelah Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (selanjutnya disingkat
WTO), Indonesia wajib menyesuaikan ketentuan hukum nasionalnya dengan perjanjianPraktisi Hukum. Sarjana Hukum (S.H.) 2010 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister
Kenotariatan (M.Kn.) 2013 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.
*
(277 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
perjanjian yang telah disepakati dengan negara-negara anggota WTO yang lain. Perjanjian
tersebut dituangkan dalam WTO Agreement, Salah satu perjanjian yang telah disepakati oleh
anggota WTO adalah Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights
atau yang disebut perjanjian TRIPs. Persetujuan umumnya digunakan pada perjanjian yang
mengatur materi kerja sama di bidang ekonomi, kebudayaan, teknik, dan ilmu pengetahuan,1
seperti yang dituangkan dalam Perjanjian TRIPs yang mengatur batasan bagi negara anggota
WTO dalam menyusun peraturan perundang-undangan mereka untuk melindungi Hak
Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI). Maka peraturan perundang-undangan
Indonesia pun juga harus mengacu pada perjanjian TRIPs.2
HKI merupakan terjemahan dari istilah Intellectual property Right (IPR). Istilah
tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu hak, kekayaan, dan intelektual. Kekayaan merupakan
abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan intelektual
merupakan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan
seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya.3
Hak atas suatu karya cipta, baik karya seni, teknologi, atau buah pemikiran. HKI
seseorang harus dilindungi karena akan bermanfaat bukan hanya bagi dirinya, melainkan
pada seluruh umat manusia. Semakin derasnya arus perdagangan bebas, yang menuntut
makin tingginya kualitas produk yang dihasilkan terbukti semakin memacu perkembangan
teknologi yang mendukung kebutuhan tersebut. Seiring dengan hal ini, pentingnya peranan
hak kekayaan intelektual dalam mendukung perkembangan teknologi kiranya telah semakin
disadari.
Salah satu bagian dari sistem HKI yang diadopsi dari perjanjian TRIPS yaitu Indikasi
Geografis. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu
barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau
kombinasi dari ke dua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang
yang dihasilkan.4 Sedangkan indication of source product (produk indikasi asal) merupakan
bagian dari indikasi geografis.
Produk indikasi asal adalah hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan,
atau barang lainnya, termasuk bahan mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari
hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan
memiliki kekhususan dan belum terdaftar5 di negara asal dari produk tersebut. Oleh karena
itu dibutuhkan suatu perjanjian agar masalah yang timbul dapat diselesaikan sesuai dengan
prosedur.6
1
Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Edisi 2, Cetakan 1, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hlm. 92
2
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 1
3
Ibid., hlm. 15
4
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer, Cetakan 1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 217
5
Ibnu Munzir, Perlindungan Hukum Terhadap Kopi Toraja Sebagai Produk Indikasi Asal
Milik Tana Toraja Dan Toraja Utara Yang Terdaftar Sebagai Merek Dagang Di Indonesia Dan Jepang,
(Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013), hlm. 72
6
Birkah Latif dan Kadarudin, Hukum Perjanjian Internasional, Cetakan Pertama, (Makassar:
( 278 )
Indication of Source
Pengaturan mengenai Indikasi geografis yang dimuat dalam BAB VII Pasal 56-60
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Selanjutnya disingkat UU Merek),
yang diatur lebih khusus lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang
Indikasi Geografis (Selanjutnya disingkat PP Indikasi Geografis), dimana semua peraturan
tersebut diadopsi dari persetujuan TRIPs, yang terdapat dalam article 22 persetujuan TRIPs
mengenai indikasi geografis yang berkaitan dengan pemakaian merek.
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah dan
kaya akan produk potensi indikasi geografis. Dari segi sumber daya alam banyak produk
daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga
memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja
Coffee Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya
diikuti dengan perlindungan hukum untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek
persaingan usaha yang tidak sehat.7
Kopi Toraja adalah kopi yang diproduksi di Tana Toraja dan Toraja Utara. Penggemar
kopi di Indonesia, bahkan mayoritas konsumen kopi di dunia, mengetahui kopi Toraja. Kopi
yang berasal dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara (kabupaten di Indonesia) itu
memiliki cita rasa tinggi, sehingga terkenal di pasar internasional.
Kopi tumbuh di banyak kabupaten di Sulawesi Selatan seperti di Tana Toraja, Toraja
Utara dan Enrekang. Namun kopi dari Tana Toraja dan Toraja Utara memiliki karakteristik
dan cita rasa tinggikarena faktor alamnya. Keadaan alam Tana Toraja bergunung-gunung,
berada pada ketinggian 300 meter sampai 2.889 meter di atas permukaan laut. Faktor alam
tersebutlah yang membedakan rasa kopi Tana Toraja dengan kopi yang lain.Dengan cita
rasanya yang tinggi itu, harga kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara lebih
mahal dibandingkan kopi lain, yang tumbuh di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, kopi
tersebut telah lama masuk ke pasar internasional.8
Keterkenalan Kopi Toraja dimanfaatkan oleh perusahaan Key Coffee Inc. dari Jepang
dengan mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722 di Jepang
Pada tanggal 14 Januari 1977. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah
adat Toraja sebagai latar merek. Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan tersebut,
maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Apakah yang dimaksud
dengan indication of source? dan Bagaimanakah perlindungan hukum internasional terhadap
Kopi Toraja sebagai indication of source product milik Indonesia yang terdaftar sebagai
merek dagang di Jepang?
Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 21
7
www.scribd.com. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012
8
www.google.com apksa, Wadah Diskusi Pengetahuan Kekayaan Alam Kaltim, Diakses pada
tanggal 10 Juni 2012Top of ForBottom of Form
(279 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
II. PEMBAHASAN
A. Pengaturan Indication of Source
A.1 Pengertian Indication of Source
Sebagaimana yang telah disinggung pada bagian latar belakang tulisan ini bahwa
indication of source (indikasi asal) merupakan bagian dari indikasi geografis, dimana indikasi
geografis ini juga merupakan salah satu bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum dalam
kaitannya dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Pengertian indikasi asal adalah hasil
pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan mentah
dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal dari hasil
tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan dan belum terdaftar di negara
asal dari produk tersebut.
A.2 Indication of Source Merupakan Bagian Dari Indikasi Geografis
Sejarah yang berhasil di catat, produk pertama yang berhasil memperoleh perlindungan
indikasi geografis adalah keju Roquefort pada abad ke-14 di Prancis. Dikisahkan bahwa
Charlemagne, Penguasa Prancis ketika itu, memerintahkan agar keju-keju di bawa ke istananya
di Aix la Chapelle untuk perayaan akhir tahun. Perintah itu menandai bahwa popularitas keju
buatan rakyat telah berhasil memasuki gerbang istana. Pada tahun 1411, karena keunggulan
kualitas keju Roquefort, masyarakat Roquefort dianugerahi piagam kehormatan Kerajaan
(Royal Charter) oleh Raja Charles VI sehingga Roquefort menjadi satu-satunya desa yang
boleh memproduksi keju Roquefort. Penganugerahan piagam ini menjadi momentum penting
perlindungan Apelasi Asal (Appellation of Origns) yang pertama.9
Pada tahun 1863, keju Roquefort menerima perlindungan dalam wujud Sertifikat
Merek Sederhana. Perlindungan ini terus diperbaharui. Saat ini, Roquefort merupakan salah
satu produk komunitas Eropa dari Prancis yang dilindungi dalam bentuk Penunjuk Asal
(Protected Designation of Origins atau PDO). Jadi, meskipun kini Prancis lebih terkenal
sebagai produsen minuman anggur kelas atas dan sukses membuat minuman beralkohol ini
mendapat perlindungan Indikasi Geografis terkuat, minuman anggur bukanlah objek Indikasi
Geografis yang pertama.10
Indikasi geografis kemudian mengalami internasionalisasi sejalan dengan
meningkatnya perdagangan internasional di Eropa. Pada akhir abad ke-19, indikasi geografis
mulai diatur dalam perjanjian multilateral sebagai salah satu hak kekayaan industrial,
yakni dalam konvensi Paris tentang perlindungan hak kekayaan industrial 1883. Beberapa
varian dari indikasi geografis pun mulai disinggung dan bahkan diatur secara khusus oleh
beberapa konvensi internasional lainnya, meskipun konvensi itu umumnya tidak memiliki
jumlah anggota yang terlalu besar. Indikasi geografis kemudian menjadi salah satu rezim
hak HKI dalam persetujuan tentang aspek-aspek HKI yang terkait dengan perdangangan
Hadi Setia Tunggal, Tanya Jawab Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), (Jakarta: Harvarindo,
2012), hlm. 53.
10
Ibid.
9
( 280 )
Indication of Source
atau persetujuan TRIPs. Hal ini penting karena perjanjian ini dapat disebut sebagai salah
satu perjanjian multilateral yang paling berpengaruh di akhir abad ke-20 hingga saat ini.
Pengesahannya sebagai Annex IC dari perjanjian pembentukan organisasi perdagangan dunia
(the Agreement Establishing World Trade Organization), membuat perjanjian ini mengikat
mayoritas negara di dunia yang tergabung dalam keanggotaan WTO. Dengan tujuan utama
untuk membuat HKI tidak menjadi halangan perdagangan, indikasi geografis pun menjadi
lebih banyak dikenal, dipertimbangkan, berusaha diproteksi di banyak negara, dan bahkan
diperdebatkan dalam forum-forum internasional.11
Ide indikasi geografis sebagai rezim HKI pertama kali mengemuka setahun setelah
peninjauan paruh periode dalam proses negosiasi perjanjian umum tarif dan perdagangan (The
General Agreement on Tariff and Trade/GATT Midterm Review on Negotiation Process) tahun
1988 di Montreal, Kanada. Dalam forum peninjauan itu, komunitas Eropa memperkenalkan
pengertian indikasi geografis, termasuk Apelasi Asal (Geograpical Indication, Including
Appelation of Origins). Komunitas Eropa menyarankan perlindungan yang lebih kuat bagi
minuman anggur dan minuman keras sebagai produk andalan mereka, dan mempromosikan
ide untuk mengaplikasikan perlindungan lebih itu kepada barang dan jasa lainnya.12
Ide ini langsung disanggah oleh Amerika Serikat, yang justru memandang bahwa
cara perlindungan terbaik indikasi geografis adalah dengan mengintegrasikannya sebagai
bagian dari merek. Kontroversi itu cukup keras terjadi sampai akhirnya naskah perjanjian
TRIPs diputus di Marakesh pada tanggal 15 April 1994. Dalam naskah yang kini dikenal
sebagai perjanjian TRIPs, ketentuan-ketentuan indikasi geografis tampak lebih sebagai hasil
kompromi belaka. Ketentuan-ketentuan itu tidak secara spesifik mengatur detil perlindungan
dan membuka kemungkinan negosiasi lanjutan di beberapa sisi. Karena kontroversi masih
berlanjut, para negara anggota kemudian dimandatkan untuk meninjau pelaksanaan Bab
3 bagian II perjanjian TRIPs yang mengatur indikasi geografis. Disini terlihat perbedaan
pengaturan indikasi geografis dengan rezim-rezim lain seperti paten atau merek. Perlindungan
inidkasi geografis di tingkat internasional masih dalam proses mencari bentuk yang dapat
diterima oleh semua pihak.13
Perkembangan pengaturan indikasi geografis dalam berbagai instrumen internasional14
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Konvensi Paris 1883
Pengertian indikasi geografis dapat ditemukan dalam Paris Convention for the
Protection of Industrial Property atau Konvensi Paris yang pertama kali ditandatangani
pada tahun 1883 dan telah mengalami beberapa kali revisi hingga perubahan terakhir
pada tahun 1979. Dalam konvensi internasional tentang perlindungan hak kekayaan
Ibid., hlm. 54.
Ibid
13
Ibid
14
Instrumen internasional merupakan salah satu sumber hukum primer dalam sumber hukum
internasional, oleh karena itu dia dapat berdiri sendiri. Lihat Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum
Internasional, Cetakan Pertama, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 26
11
12
(281 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
industrial ini, terdapat beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan penanganan
atas indikasi yang salah atau false indications, termasuk indikasi tempat yang salah
(false indication to the source). Indikasi geografis tidak ditentukan sebagai rezim
yang spesifik, tetapi dalam Pasal 9 konvensi ini secara umum menentukan kewajibankewajiban yang berkaitan dengan cara penanganan barang-barang impor yang
mengandung merek dagang maupun nama dagang yang melawan hukum, termasuk
barang-barang yang menggunakan tanda asal tempat yang tidak tepat. Menurut
ketentuan ini, barang-barang tersebut harus dijadikan objek penyitaan.15
b. Perjanjian Madrid 1891
Perjanjian Madrid 1891 tentang represi terhadap indikasi asal barang yang
salah atau menyesatkan (The Madrid Agreement for the repression of false or
Deceptive Indications of Source on Goods of 1891), tidak menggunakan istilah
indikasi geografis, tetapi menggunakan istilah indikasi asal (Indication of Source)
dari produk barang. Perjanjian Madrid 1891 ini juga tidak menyatakan definisi
indikasi asal secara eksplisit. Meskipun demikian, dengan adanya keharusan untuk
menyita setiap barang yang memakai indikasi asal yang salah atau menyesatkan, bisa
ditafsirkan bahwa setiap indikasi asal harus secara jelas merepresintasikan tempat
asal dari barang terkait.16
c. Perjanjian Lisbon 1958
Perjanjian Lisbon 1958 tentang perlindungan perlindungan apelasi asal
dan registrasi internasionalnya atau the 1958 Lisbon Agreement fo the Protection
of Appelation of Origin and their International Registration/Lisbon Agreement
memperkenalkan istilah yang mirip dengan indikasi geografis, yakni apelasi asal
atau Appelation of Origin. Apelasi asal ini dapat diterjemahkan sebagai nama formal
asal. Dalam Pasal 2 ayat (1) perjanjian ini, apelasi asal atau Appelations of Origin
didefinisakan sebagai “nama geografis dari suatu negara, daerah, atau lokalitas yang
menandakan bahwa suatu produk berasal darinya dan memberikan kualitas dan
karakter yang secara eksklusif dan esensial disebabkan oleh lingkungan geografisnya,
termasuk faktor-faktor alam dan faktor manusia”.17
Definisi ini memberikan perlindungan khusus, tidak hanya terhadap
penggunaan suatu nama tempat secara tanpa hak, tetapi juga terhadap segala macam,
jenis, pembuatan, dan imitasi yang merupakan turunan produk dari daerah lain.
Aspek paling kuat untuk menentukan dapat tidaknya suatu tempat menjadi apelasi
asal biasanya adalah faktor lingkungan alamnya. Faktor ini dapat berupa karakter
tanah, cuaca, atau kombinasi unik dari ke duanya, yang membuat suatu produk
yang tumbuh atau yang dihasilkan dari padanya memiliki ketinggian kualitas yang
15
16
17
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 162
Ibid.
Ibid., hlm. 163
( 282 )
Indication of Source
khusus dibandingkan dengan produk-produk dalam klasifikasi yang sama tetapi
dikembangkan di lingkungan alam yang berbeda. Faktor manusia yang mempengaruhi
dan menguatkan karakter khusus tersebut juga diperhitungkan, tetapi harus dikaitkan
dengan faktor lingkungan alam sebagai faktor dominan. Karenanya, definisi apelasi
asal ini amat spesifik. Dalam Pasal 6 Perjanjian Lisabon, dinyatakan bahwa di dalam
negara-negara anggota penandatanganan perjanjian ini, setiap barang yang diproteksi
menurut perjanjian ini tidak akan menjadi generik meskipun ia telah menjadi amat
terkenal sehingga konsumen mulai menggeneralisasi barang-barang yang mirip
sebagai barang tersebut.18
d. Perjanjian TRIPs 1994
Perjanjian internasional ini merupakan hasil dari putaran perjanjian umum
internasional mengenai perdagangan dan tarif di Uruguay pada tahun 1994. Sebagai
salah satu rezim dari TRIPs, indikasi geografis diatur berdasarkan tujuan utama TRIPs
untuk mempromosikan perlindungan yang efektif dan memadai bagi HKI yang tidak
akan menjadi salah satu aspek non tarif yang menghalangi perdagangan barang dan
jasa secara internasional.19
Dalam persetujuan TRIPs ini diatur mengenai indikasi geografis yang berkaitan
dengan pemakaian merek. Dalam Article 22 (1) persetujuan TRIPs dikemukakan
bahwa:20
“Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications
which identify a goods as originating in the territory of a member, or a
region or locality in that territory, where a given quality, reputation, or other
characteristic of the good is essentially attributable to its geographycal
origin”.
Yang dimaksud dengan indikasi geografis berdasarkan persetujuan ini adalah
tanda yang mengidentifikasi suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau
daerah di dalam wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas,
dan karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis
tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dimengerti bahwa asal suatu barang
(termasuk jasa) yang melekat dengan reputasi, karakteristik, dan kualitas suatu barang
yang dikaitkan dengan wilayah tertentu dilindungi secara yuridis.21
Dalam konteks indikasi geografis, harus ada aspek-aspek khusus yang
dapat berwujud unsur-unsur alam, lingkungan lain, atau benda-benda tertentu yang
bersifat unik, yang menunjukkan keterkaitan yang khas antara nama tempat dan
barang. Aspek-aspek ini harus berpengaruh secara nyata terhadap kualitas barang
tersebut dan menentukan reputasi dari barang tersebut. Sejauh ini, indikasi geografis
Ibid., hlm. 164.
Ibid., hlm. 166.
20
Article 22 (1) Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement)
21
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights), (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 386.
18
19
(283 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
umumnya dikenal banyak memproduksi produk-produk pertanian. Misalnya; minyak
zaitun Tuscany yang diproduksi di daerah tertentu bernama Tuscany di Italia, dan
beras Basmiati yang diproduksi di daerah tertentu bernama Basmiati di India. Jadi,
indikasi geografis mengemuka dari hubungan kuat antara produk dengan karakter
tanah penghasil produk tersebut. Meskipun demikian, menurut TRIPs, aspek-aspek
yang mempengaruhi karakter dari suatu barang dapat juga berasal dari lingkungan
alam yang bukan tanah.22 Indikasi geografis melindungi konsumen dari kesesatan dan
kebingungan, tujuan ini sama dengan tujuan utama dari merek, hanya saja berbeda
dengan merek, indikasi geografis selalu berkaitan dengan daerah asal barang. Dalam
TRIPs juga memuat perlindungan tambahan untuk minuman anggur dan minuman
beralkohol lainnya, perlindungan tidak hanya diberikan bagi konsumen, tetapi juga
pada produsen. Ini juga termasuk salah satu yang membedakan antara indikasi
geografis dengan merek.23
Sebagai pengikut TRIPs, Indonesia merumuskan lagi aturan internasional ini
ke dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam Pasal 56
dijelaskan tentang indikasi geografis, bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai suatu
tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan
geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari ke dua faktor
tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Hal itu
berarti bahwa indikasi geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang
yang berasal dari suatu tempat, daerah atau wilayah tertentu yang menunjukkan
adanya kualitas reputasi, dan karakteristik termasuk faktor alam dan faktor manusia
yang dijadikan atribut dari barang tersebut.24
Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu identitas yang
menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu. Dan tempat atau
daerah itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Seperti misalnya
merek Kopi Toraja yang menunjukkan kualitas dan karakteristik Tana Toraja sebagai
penghasil kopi yang harmonis rasa asam pahitnya. Namun begitu, karakteristik suatu
produk indikasi geografis tidak melulu dipengaruhi faktor alam. Faktor campur
tangan manusia pun bisa menentukan kekhasan suatu produk. Misalnya kerajinan
batik jawa.25
Sebagai peserta TRIPs dan aktif dalam pergaulan dagang internasional,
Indonesia mau tidak mau perlu menyesuaikan diri dengan konsep indikasi geografis
ini. Meski pengaturan soal indikasi geografis sudah tersimpul dalam undang-undang
merek, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala. Kendalakendala tersebut kemudian berujung pada didaftarkannya indikasi “Toraja” oleh
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 167.
Ibid.
24
Ahmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 73.
25
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 152.
22
23
( 284 )
Indication of Source
perusahaan Key Coffee Inc, perusahaan dari Jepang. Key Coffee mendaftarkan
indikasi ini dengan merek “Toarco Toraja” lengkap dengan rumah adat masyarakat
Tana Toraja sebagai latar merek. Kopi Toraja sebenarnya hanya salah satu contoh
digondolnya kekayaan nasional Indonesia oleh luar negari.26
A.3 Indikasi Geografis Merupakan Bagian Dari Hak Kekayaan Intelektual
Hak kekayaan intelektual (HKI) secara umum dapat digolongkan ke dalam dua
kategori utama, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Ruang lingkup hak cipta adalah
karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, sedangkan ruang lingkup hak
kekayaan industri adalah dalam bidang teknologi. Dalam terminologi HKI dikenal istilah
“pencipta” dan/atau “penemu”. Istilah pencipta digunakan dalam bidang hak cipta sedangkan
istilah penemu lebih diarahkan dalam bidang hak kekayaan industri. Sebagai contoh,
penggubah lagu Indonesia Raya, WR. Soepratman, dapat dikatakan sebagai pencipta lagu
tersebut, sedangkan Thomas Alva Edison yang berhasil mematenkan bola lampu listrik dapat
dikatakan sebagai penemu teknologi tersebut. Sebaliknya, Albert Einstein yang berhasil
membuat karya ilmiah tentang Teori Relativitas untuk pertama kali dapat dikatakan sebagai
pencipta teori tersebut.27
Pembedaan istilah pencipta dan penemu, dalam kacamata hukum, diperlukan karena
ke duanya memiliki akibat hukum yang berbeda. Seorang ilmuwan yang berhasil menciptakan
sebuah teori ilmiah baru, seorang seniman yang berhasil menciptakan lagu baru, atau seorang
sastrawan yang berhasil menciptakan puisi baru, sudah dianggap sebagai pencipta terhitung
sejak tanggal pertama kali mereka mengumumkan hasil karya ciptanya kepada publik
walaupun mereka belum mendaftarkan hasil ciptaan tersebut ke instansi yang berwenang.
Meskipun demikian pendaftaran hak cipta tetap diperlukan guna keperluan pemberian hak
lisensi. Sebaliknya, seorang yang menemukan sebuah teknologi baru bisa disebut inventor
jika dia telah mendaftarkan patennya ke instansi yang berwenang dan berhasil disetujui.
HKI juga dapat berupa hak kekayaan industri yang meliputi hak atas:28
- Paten dan paten sederhana
- Merek/merek dagang (trade mark) dan indikasi geografis
- Desain industri (industrial design)
- Desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST)
- Rahasia dagang (trade secret)
- Perlindungan Varietas tanaman (PVT)
Sesuai namanya, maka hak kekayaan industrial hanya diperuntukkan bagi hasil
penemuan di bidang teknologi, khususnya teknologi untuk kepentingan industri secara
umum, termasuk industri pertanian (agri-indsutri). Penemuan teknologi baru dalam bidang
Ibid, hlm. 153.
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Yang Benar: Membahas
Secara Runtut Dan Detail Tentang Tata Cara Mengurus Hak Kekayaan Intelektual. (Jakarta: Pustaka
Yustisia, 2007), hlm. 17.
28
Ibid., hlm. 18
26
27
(285 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
hak kekayaan industri tersebut dapat berupa produk maupun proses. Penggolongan HKI ke
dalam hak cipta dan hak kekayaan industri, diperlukan karena adanya perbedaan sifat hasil
ciptaan dan hasil temuan. Perlindungan terhadap suatu ciptaan bersifat otomatis, artinya suatu
ciptaan diakui secara otomatis oleh negara sejak saat pertama kali ciptaan tersebut muncul
ke dunia nyata, meskipun ciptaan tersebut belum dipublikasikan dan belum didaftarkan.
Pendaftaran hak cipta tidak wajib dilakukan, kecuali untuk keperluan pemberian lisensi dan
pengalihan hak cipta. Perjanjian lisensi dan pengalihan hak cipta yang tidak didaftarkan ke
Direktorat Jenderal HKI dianggap tidak memiliki dasar hukum.29
Sebaliknya, hak kekayaan industri (paten, merek, desain industri, DTLST, Rahasia
dagang, dan PVT) ditentukan berdasarkan pihak yang pertama kali mendaftarkan hasil karya
intelektualnya ke instansi yang berwenang dan berhasil disetujui. Berdasarkan asas first
to file ini, maka pemohon hak tersebut harus segera mendaftarkan karya intelektualnya ke
instansi yang berwenang agar tidak didahului pihak lain. Seseorang yang telah memiliki hak
kekayaan industri diberi oleh negara hak eksklusif (hak istimewa/hak khusus) untuk secara
bebas melaksanakan haknya secara mandiri atau memberi lisensi kepada kepada pihak lain
untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas hasil karya intelektualnya. Meskipun demikian,
kebebasan dalam pelaksanaan hak eksklusif tidaklah bersifat absolut, karena dalam hal-hal
tertentu negara masih melakukan pembatasan demi untuk menjaga kepentingan umum.30
Pengelompokan hak atas kekayaan perindustrian seperti tertera di atas didasarkan
pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization. Dalam beberapa
literatur, khususnya literatur yang ditulis oleh para pakar dari negara yang menganut sistem
hukum Anglo Saxon, bidang hak atas kekayaan perindustrian yang dilindungi tersebut,
masih ditambah lagi beberapa bidang lain yaitu: trade secrets, service marks, dan unfair
competition protection. Sehingga hak atas kekayaan perindustrian itu dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:31
1. Patent
2. Utility Models
3. Industrial Designs
4. Trade Secrets
5. Trade Marks
6. Service Marks
7. Trade Names or Commercial Names
8. Appelations of Origin
9. Indications Of Origin
10. Unfair Competition Protection
29
30
31
Ibid.
Ibid., hlm. 19.
OK. Saidin, Op. Cit., hlm. 15.
( 286 )
Indication of Source
B. Perlindungan Hukum Internasional Terhadap Kopi Toraja sebagai Indication of Source
Product Milik Indonesia yang Terdaftar sebagai Merek Dagang di Jepang
Kopi Toraja merupakan kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara. Toraja
Utara adalah kabupaten yang sudah dimekarkan sejak 4 (empat) tahun lalu yakni tahun
2008, yang awalnya adalah satu kesatuan dari kabupaten Tana Toraja. Kopi Toraja memiliki
reputasi yang baik di beberapa negara di dunia termasuk Jepang dan Amerika Serikat karena
memiliki ciri khas kandungan asam rendah dan memiliki badan yang berat. Kopi Toraja saat
ini sudah terdaftar sebagai merek dagang di Jepang sejak tanggal 14 Januari tahun 1977
oleh pengusaha lokal di negara tersebut yaitu Perusahaan Key Coffee Inc. Merek dagang
tersebut diberi nama Toarco Toraja Coffee dengan gambar tongkonan sebagai label dari
merek dagangnya. Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan nama
yang sama menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya.
Perusahaan Key Coffee Inc. Memiliki anak perusahaan di Indonesia yang berlokasi di
Kabupaten Toraja Utara yang berdiri sejak sejak tanggal 2 april tahun 1976 sampai sekarang
yakni, PT. Toarco Jaya. Perusahaan Key Coffee Inc dan PT. Toarco Jaya masing-masing
memiliki pabrik pengolahan kopi. Key Coffee Inc memiliki pabrik pengolahan di Jepang dan
PT. Toarco Jaya memiliki pabrik pengolahan di daerah Tondoklitak Kabupaten Toraja Utara.
PT. Toarco Jaya tidak hanya memiliki pabrik pengolahan melainkan juga mengelola kebun
kopi seluas 5302 (lima ratus tiga puluh meter bujursangkar) di daerah Padamaran Toraja
Utara, dengan hak guna usaha sebagai alas haknya. Dari hasil kebun inilah PT. Toarco Jaya
mengekspor sebagian besar biji kopi Toraja ke Jepang, disamping itu PT. Toarco Jaya juga
membeli sebagian kecil hasil dari perkebunan kopi rakyat atau petani kopi yang dimiliki oleh
orang-perorang dari masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara.32
PT. Toarco Jaya sangat ketat dalam menyeleksi hasil dari kebun kopi rakyat yang
dijual kepadanya karena mereka menjaga kualitas ekspor kopinya. Sebagian besar hasil dari
pembelian kopi rakyat itu diolah melalui pabrik pengolahan lokal milik PT. Toarco Jaya dan
hanya diperjualbelikan dalam lingkup nasional, yang harga jualnya jauh di bawah dari harga
jual kopi yang diekspor ke Jepang. Hal ini pun berimbas dari pembelian kopi rakyat yang
hanya dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka tanpa adanya peningkatan taraf
hidup yang lebih baik. Terhadap masalah-masalah seperti inilah pentingnya perlindungan
Indikasi geografis dan indikasi asal, dimana tujuan utama perlindungan ini adalah untuk dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat yang dilindungi oleh indikasi geografis dan indikasi
asal suatu daerah, dalam hal ini masyarakat Tana Toraja dan Toraja Utara yang memproduksi
Kopi Toraja.
Indikasi Geografis adalah salah satu rezim hak kekayaan intelektual yang mengatur
tentang tanda suatu produk sehingga tampak jelas bahwa kualitas atau karakteristik khusus
dari produk itu dipengaruhi secara esensial oleh tempat asalnya. Tanda ini biasanya terdiri
32
Hasil wawancara penulis dengan Jabir Amien Selaku Direktur Administrasi P.T. Toarco Jaya;
Lihat juga Artikel P.T. Toarco Jaya: Membangkitkan Kembali Kopi Yang Hanya Tinggal Nama, Perjalanan
Panjang Toarco Toraja, 2012, (Jakarta: AEKI, 2012) hlm. 1
(287 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
dari nama asal produk, tetapi dapat juga terdiri dari simbol atau penamaan yang secara
langsung menunjuk kepada tempat asal produk tersebut. Tempat asal ini seringkali menjadi
jaminan bagi keunikan dan kualitas produk, sehingga mengindikasikan tempat asalnya, nilai
ekonomis produk juga meningkat. Secara teoritis, produk yang potensial untuk dilindungi
rezim indikasi geografis dapat berupa produk-produk pertanian, pangan, dan bahkan barangbarang kerajinan tangan, selama produk-produk tersebut mengusung nama tempat asal, dan
kualitasnya secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik khas tempat asalnya tersebut.
Miranda Risang Ayu mengemukakan bahwa Indikasi geografis juga merupakan nama
dagang yang dikaitkan, dipakai atau dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi
menunjukkan asal tempat produk tersebut. Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas
produk tersebut amat dipengaruhi oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik
dibenak masyarakat, khususnya konsumen, yang tahu bahwa tempat asal itu memang punya
kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk.33
Dari pendapat tersebut penulis melihat bahwa penamaan Kopi Toraja sebagai Indikasi
Asal Tana Toraja dan Toraja Utara yang dipakai sebagai merek dagang oleh Perusahaan
Jepang memiliki nilai ekonomis terhadap nilai jual produk mereka, walaupun tidak terlepas
dari karakteristik dan ciri khas yang dihasilkan oleh kopi tersebut. Hal ini berbanding terbalik
dengan apa yang dirasakan oleh petani kopi yang kurang banyak bermanfaat bagi peningkatan
taraf hidup petani kopi di daerah Toraja sebagai tempat asal tumbuhnya Kopi Toraja.
Perlindungan nama asal suatu produk dapat dilihat dari berbagai perjanjian-perjanjian
internasional, hal ini terkait dengan perlindungan Kopi Toraja sebagai produk yang dihasilkan
dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Beberapa perjanjian internasional pada dasarnya
telah menyinggung substansi Indikasi Geografis jauh sebelum TRIPs ditandatangani dan
diratifikasi oleh banyak negara. Perjanjian-perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:34
B.1 Paris Convention for the Protection of Industrial Property
Perlindungan nama dagang dalam konvensi ini termasuk nama dagang yang
menggunakan nama tempat asal produk, yang dalam istilah konvensi ini disebut sebagai
Indikasi Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source) dan Apelasi Asal atau Nama
Formal Asal (Appelation of Origin).35 Konvensi ini tidak mengatur kemungkinan adanya
perbedaan konsep yang memisahkan antara indikasi Asal dan Apelasi Asal, tetapi hanya
menegaskan bahwa semua produk yang menggunakan ke dua jenis rezim ini akan dilindungi
dengan keharusan untuk menyita impor barang yang secara langsung atau pun tidak langsung
menggunakan indikasi yang salah, baik salah dalam mengindikasikan tempat asal maupun
salah dalam mengindikasikan identitas produsen.36
Konvensi Paris 1883 juga mengatur merek kolektif dalam Pasal 7 bis. Merek kolektif
merupakan salah satu jenis sub sistem perlindungan dalam kerangka perlindungan merek
33
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual: (Indikasi Geografis),
Cetakan 1, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hlm. 1
34
Ibid., hlm. 16.
35
Ketentuan-ketentuan ini terkait dengan Pasal 1, 7, 10, 10 bis, dan 10 ter, Konvensi Paris 1883.
36
Ketentuan-ketentuan ini terkait dengan Pasal 9 dan 10 Konvensi Paris 1883.
( 288 )
Indication of Source
secara umum. Kekhususan dibandingkan merek umum adalah kepemilikannya yang tidak
bersifat individual. Karena karakter komunal dari kepemilikannya, sistem ini umumnya
digunakan oleh negara-negara yang belum atau memilih tidak memproteksi indikasi Geografis
sebagai rezim HKI yang berdiri sendiri. Negara-negara tersebut memiliki sistem perlindungan
Indikasi Geografis diintegrasikan sebagai salah satu objek dalam lingkup perlindungan umum
nama dagang (trade name) yang bersistem kepemilikan komunal.37
Menurut Miranda Risang Ayu, negara-negara yang tidak mengatur Indikasi Geografis
secara independen juga melindungi Indikasi Geografis melalui ketentuan-ketentuan hukum
anti persaingan tidak sehat (Unfair Competition).38 Indonesia termasuk negara yang
menempatkan Indikasi Geografis sebagai bagian dari merek yang tidak bersifat independen.
Dalam kaitannya dengan Pasal 10 bis konvensi Paris 1883 juga mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan hukum anti persaingan tidak sehat, dapat dilihat sebagai berikut:39
Article 10bis
[Unfair Competition]
(1)The countries of the Union are bound to assure to nationals of such countries effective
protection against unfair competition.
(2)Any act of competition contrary to honest practices in industrial or commercial
matters constitutes an act of unfair competition.
(3)The following in particular shall be prohibited:
1. all acts of such a nature as to create confusion by any means whatever with
the establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a
competitor;
2. false allegations in the course of trade of such a nature as to discredit the
establishment, the goods, or the industrial or commercial activities, of a competitor;
3. indications or allegations the use of which in the course of trade is liable to mislead
the public as to the nature, the manufacturing process, the characteristics, the
suitability for their purpose, or the quantity, of the goods.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas menurut penulis, tindakan yang dimaksud
dalam pasal tersebut dalam kaitannya dengan persaingan curang yang dilakukan oleh Jepang
adalah pendaftaran yang dilakukan oleh perusahaan Jepang yang dapat menyebabkan
kebingungan tentang tempat asal dari merek Kopi Toraja yang dalam pendaftaran tersebut
menggunakan merek dagang Toarco Toraja dan lambang tongkonan sebagai label (tanda)
kemasannya, sehingga dapat menyesatkan publik atau negara-negara pengimpor kopi Toarco
Toraja dari Jepang yang dapat mengira bahwa Kopi Toraja berasal dari Jepang. Tidak hanya
itu, kebingungan dan tanda yang dapat menyesatkan publik juga berkenaan dengan proses
pembuatannya yang diolah melalui pabrik yang berada di Jepang yang langsung dikemas dan
diperdagangkan baik di dalam wilayah Jepang maupun di luar wilayah Jepang.
37
38
39
Miranda Risang Ayu, Op.Cit., hlm. 18.
Ibid
Pasal 10 bis Konvensi Paris 1883
(289 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Secara teoritis menurut Julius Rizaldi, Persaingan curang merupakan salah satu
jenis dari pelanggaran merek.40 Demikian halnya J. Thomas Mc. Carthy mengklasifikasikan
persaingan curang ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu, tindakan yang dapat menyebabkan
kebingungan konsumen, tindakan yang dapat menyesatkan konsumen, tindakan yang dapat
menyebabkan kerugian terhadap goodwill atau reputasi suatu bisnis. Untuk dapat menegaskan
uraian tersebut, tindakan-tindakan yang dapat dicontohkan sebagai tindakan persaingan
curang adalah:41
1) Pelanggaran terhadap merek dagang dan merek jasa;
2) Tindakan dilusi atas itikad tidak baik dari merek dagang;
3) Penggunaan nama perusahaan, bisnis dan profesional yang secara membingungkan
mempunyai kemiripan;
4) Kesalahan perwakilan dan kesalahan periklanan (false advertising)
5) Melakukan tindakan persaingan curang atas barang-barang yang dilakukan oleh
pengganti merek yang tidak diberi wewenang perintah atas merek.
Tindakan yang dijelaskan oleh McCarthy di atas adalah contoh tindakan-tindakan
terhadap merek. Berdasarkan contoh tindakan yang dijelaskan oleh McCarthy, penulis
mengganti contoh tindakan merek menjadi contoh tindakan indikasi geografis khususnya
terfokus kepada contoh tindakan pertama dan ke dua. Ada kesamaan antara pelanggaran yang
dilakukan oleh perusahaan Jepang, yaitu pelanggaran terhadap indikasi asal Tana Toraja dan
Toraja Utara (penggunaan nama Toraja sebagai merek dagangnya), dan tindakan itikad tidak
baik dari merek Toarco Toraja terhadap indikasi asal Tana Toraja dan Toraja Utara (adanya
monopoli perdagangan oleh perusahaan Jepang), dimana dalam hal ini Perusahaan Jepang
mengambil keuntungan besar dari penamaan Kopi Toraja sebagai merek dagang mereka.
Penulis juga berpendapat bahwa suatu perbuatan curang erat kaitannya dengan
pelanggaran merek, demikian pula pelanggaran merek erat kaitannya dengan pelanggaran
indikasi geografis atau Indikasi asal. Konsep persaingan curang juga dikemukakan oleh
Beverly W. Pattishal, David C. Hilliard dan Joseph Nye Welch, salah satu pendapatnya adalah
Likelihood of Confusion, mistake or deception yaitu terdapatnya bentuk dari sebuah merek
yang menyerupai atau memiliki persamaan dengan merek terkenal.42 Dari pendapat tersebut
penulis mengidentikkan merek terkenal sebagai Indikasi Geografis atau Indikasi Asal yang
telah mempunyai reputasi. Jadi penulis menguraikan pendapat tersebut menjadi terdapatnya
bentuk dari sebuah merek yang menyerupai atau memiliki persamaan dengan Indikasi Asal
yang telah memiliki reputasi. Dengan kata lain bahwa merek Toarco Toraja yang digunakan
sebagai merek dagang oleh perusahaan Jepang adalah Indikasi Asal yang telah mempunyai
reputasi atau sudah terkenal dalam perdagangan dunia.
Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal: Terhadap Persaingan Curang,
Edisi 1, Cetakan 1, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hlm. 107.
41
J. Thomas Mc. Carthy, “Trademark and Unfair Competition” dalam Julius Rizaldi, Ibid., hlm. 108.
42
Julius Rizaldi, Op.Cit., hlm. 109.
40
( 290 )
Indication of Source
B.2 The Madrid Agreement 1891 for the Repression of False or Deceptive Indication of
Source on Goods
Perjanjian Madrid 1891 merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang
memfokuskan diri dalam pengaturan Indikasi Geografis, dengan menggunakan istilah Indikasi
Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source), dalam perjanjian ini objek perlindungannya
adalah hanya khusus melindungi Indikasi Asal produk barang saja, dan tidak melindungi
produk jasa. Perjanjian Madrid 1891 mengharuskan setiap pihak penandatangan Perjanjian
(the contracting party) melakukan penahanan terhadap setiap aktivitas perdagangan yang
terkait dengan Indikasi Sumber yang salah atau menyesatkan konsumen di dalam wilayah
yurisdiksinya. Dalam konteks impor barang yang menggunakan Indikasi Sumber, perjanjian
ini sejalan dengan Konvensi Paris 1883 yang mewajibkan setiap negara penandatangan untuk
menyita barang impor yang menggunakan Indikasi Sumber yang menipu konsumen, baik
penipuan secara langsung maupun tidak langsung.43
Dalam konteks tersebut Indonesia tidak terikat dalam perjanjian Madrid 1891, karena
tidak termasuk dalam pihak penandatangan perjanjian tersebut. Walaupun Indonesia tidak
termasuk dalam perjanjian ini, penulis berpendapat bahwa karena perjanjian ini memfokuskan
kepada perlindungan Indikasi Asal suatu produk, maka seharusnya Indonesia juga meratifikasi
atau mengaksesi perjanjian tersebut karena negara Indonesia adalah negara yang memiliki
beragam indikasi Asal yang terdapat di beberapa daerah dalam wilayah Republik Indonesia.
Walaupun dalam kenyataannya Indonesia telah mengadopsi Indikasi Asal ke dalam UndangUndang Merek Nasional.
B.3 The Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellations of Origin
Perjanjian Lisabon 1958 menerapkan sistem perlindungan ekstra kuat terhadap suatu
produk yang diperdagangkan dengan nama tempat asal. Penandatangan perjanjian ini adalah
negara-negara maju di Eropa yang memiliki tradisi perlindungan Indikasi Geografis yang
kuat, salah satunya adalah negara Prancis. Sistem perlindungan ini biasa disebut Apelasi Asal
(Appellation of Origin).
Sampai tahun 2012 tercatat ada 32 negara yang menjadi anggota perjanjian ini
termasuk Algeria, Bulgaria, Burkina Faso, Congo, Costa Rica, Cuba, Czech Repulic,
Democratic People’s Republic of Korea, France, Gabon, Georgia, Greece, Haiti, Hungary,
Iran, Israel, Italy, Mexico, Montenegro, Marocco, Nicaragua, Peru, Portugal, Republic of
Moldova, Romania, Serbia, Slovakia, Spain, The Former Yugoslav Republic of Macedonia,
Togo, Tunisia, dan Turkey.44
Berbeda dengan perjanjian Madrid 1891, perjanjian Lisabon 1958 tidak mengkhususkan
lingkup perlindungannya hanya untuk barang, tetapi juga melindungi jasa. Pasal 3 Perjanjian
Lisabon menyatakan bahwa:45
Miranda Riasang Ayu, Op.Cit., hlm. 20.
http://www.wipo.int/treaties/en/. Diakses Pada Hari Senin, 5 November 2012
45
Article 3 Lisbon Agreement for the Protection of Appelation of Origin and their International
Registration.
43
44
(291 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Article 3 [Content of Protection]
Protection shall be ensured against any usurpation or imitation, even if the true
origin of the product is indicated or if the appellation is used in translated form or
accompanied by terms such as “kind,” “type,” “make,” “imitation”, or the like.
Berdasarkan Pasal 3 perjanjian Lisabon 1958 di atas, perjanjian ini harus diperluas
hingga tidak hanya mencakup segala bentuk tindakan penipuan terhadap konsumen akibat
representasi yang salah dari tempat asal suatu produk tetapi juga perlindungan produsen, yang
dilindungi dari segala bentuk peniruan, sekalipun peniruan itu secara terang-terangan tetap
mencantumkan nama asal tempat barang yang sebenarnya, misalnya dengan menambahkan
terjemahan, atau ditulis dengan tambahan kata seperti: “macam dari”, “jenis dari”, “buatan”,
“tiruan dari”, atau semacamnya.46 Sistem Apelasi Asal Perjanjian Lisabon tidak mengenal
adanya Lisensi.
Dalam Pasal 5 ayat (6) Perjanjian Lisabon 1958 menentukan bahwa jika merek dan
Apelasi Asal bersinggungan dalam hal pemakaian nama yang sama, merek harus ditempatkan
pada prioritas ke dua di bawah Apelasi Asal, walaupun merek tersebut sudah dipakai dan
terdaftar terlebih dahulu. Oleh karena itu, jika Apelasi Asal telah memperoleh perlindungan
hukum melalui proses registrasi atau pendaftaran, merek yang bernama sama dengan Apelasi
Asal harus dihentikan penggunaan namanya dalam waktu 2 (dua) tahun setelah pendaftaran
Apelasi Asal tersebut.
Apelasi Asal kehilangan perlindungannya ketika ciri khas dan kualitas dalam
produknya sudah tidak adal lagi. Dengan kata lain bahwa selama ciri khas dan kualitas masih
ada, maka selama itu pula akan terus dilindungi. Dalam Pasal 6 Perjanjian Lisabon 1958 juga
menegaskan bahwa Apelasi Asal tidak akan pernah menjadi Generik, dan ketika suatu produk
sudah menjadi Generik, maka produk tersebut tidak bisa lagi diregistrasi atau didaftarkan
menjadi Apelasi Asal yang telah terdaftar.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa ada 3 bentuk
perlindungan Apelasi Asal dalam Perjanjian Lisabon 1958 yaitu:
1) Pasal 3 yang menyatakan bahwa bukan hanya melindungi konsumen dari penipuan,
tetapi juga melindungi produsen dari segala bentuk penipuan meskipun dalam kemasan
atau iklannya mencantumkan kata-kata “macam dari”, “jenis dari”, “buatan”, “tiruan
dari”, atau semacamnya.
2) Pasal 5 ayat (6) yang menyatakan bahwa jika ada penggunaan nama yang sama dalam
suatu produk merek dan Apelasi Asal, merek harus dihentikan penggunaannya 2 (dua)
tahun setelah produk Apelasi Asal telah teregistrasi atau terdaftar.
3) Pasal 6 yang menyatakan bahwa suatu Apelasi Asal yang telah terdaftar tidak akan
pernah menjadi Generik.
Pada dasarnya Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut. oleh karena itu,
menurut penulis, Indonesia seharusnya juga meratifikasi atau mengaksesi perjanjian ini karena
46
Miranda Riasang Ayu, Op.Cit., hlm. 21.
( 292 )
Indication of Source
Lisbon Agreement 1958 memberikan perlindungan yang kuat terhadap Apelasi Asal. Jika
Indonesia meratifikasi perjanjian ini, negara-negara lain tidak dapat mendaftarkan Apelasi
Asal milik daerah dari suatu negara anggota menjadi merek dagang, seperti pendaftaran Kopi
Toraja yang dilakukan oleh Perusahaan Key Coffee Inc. sebagai merek dagang di Jepang,
dalam hal ini Kopi Toraja adalah Apelasi Asal atau Indikasi Asal Tana Toraja dan Toraja
Utara.
Berbeda halnya dengan pendapat Bapak Syarifuddin47 yang menyatakan bahwa tidak
diratifikasinya atau diaksesinya perjanjian Lisbon karena pada umumnya klausul-klausul
yang terdapat dalam perjanjian tersebut tidak menguntungkan negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia.
B.4 Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights 1994
Perjanjian TRIPs merupakan bagian dari paket Perjanjian Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Pada saat terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
di dalamnya terdapat Perjanjian TRIPs atau TRIPs Agreement, maka sebagai konsekuensinya
Indonesia sebagai anggota WTO wajib untuk menyesuaikan peraturan atas Hak Kekayaan
Intelektual dengan Perjanjian TRIPs. TRIPs merupakan singkatan dari Trade Related Aspect
of Intellectual Property Rights yang mengatur tentang aspek-aspek dagang dari Hak Kekayaan
Intelektual, termasuk perdagangan barang-barang tiruan.
Perjanjian TRIPs merupakan salah satu hasil perundingan putaran Uruguay yang
dikemas dalam satu naskah persetujuan akhir pembentukan WTO yang ditandatangani di
Marakesh, Maroko tahun 1994. Perjanjian TRIPs dapat dipandang sebagai salah satu dasar
multilateral yang paling komprehensif yang berhubungan dengan potensi-potensi halangan
perdagangan internasional yang bukan tarif. Dalam kerangka mencapai tujuan utama TRIPs
untuk menghapus halangan perdagangan internasional, perjanjian ini menegaskan dan
mengintegrasikan beberapa rezim Hak Kekayaan Intelektual yang telah diatur secara tersebar
dalam kerangka di beberapa konvensi internasional sebelumnya.
Secara historis, keberadaan TRIPs dapat dianggap sebagai kesuksesan negosiasi
Amerika Serikat dan Jepang. Ke dua negara inilah yang pertama kali mempromosikan ide
tentang pentingnya menegosiasikan tentang topik-topik Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
sebagai perluasan dari rencana topik yang semula hanya akan membahas merek atas barang
saja. Sebagai hasil dari promosi itu, hak kekayaan intelektual masuk ke dalam daftar topik
yang secara resmi akan menjadi bahan negosiasi dalam putaran Uruguay. Dalam negosiasi
tersebut, sebagai salah satu rezim yang dipertimbangkan untuk dilindungi oleh TRIPs, Indikasi
Geografis didukung kuat oleh Masyarakat Ekonomi Eropa / MEE (European Community/EC).
Masyarakat Ekonomi Eropa mengusung ide perlindungan bagi Indikasi Geografis, termasuk
Apelasi Asal, dengan perlindungan khusus yang lebih kuat untuk minuman Anggur (Wines)
dan minuman Keras (Spirits). Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa presentase
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Syarifuddin selaku Kepala Seksi (Kasi) Evaluasi Teknis
Sub Direktorat (Subdit) Indikasi Geografis. pada tanggal 30 Oktober 2012 di Tangerang.
47
(293 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
devisa negara-negara MEE terbesar memang bersumber dari produk-produk ini.48
Perjanjian TRIPs tersusun dalam tujuh bab yang terdiri dari 73 pasal. Salah satu
substansi yang diatur adalah perlindungan Indikasi Geografis yang ditegaskan dalam Pasal
22, 23, dan 24. Diangkatnya masalah-masalah perlindungan Indikasi Geografis dalam putaran
Uruguay merupakan hasil desakan dan lobby negara-negara Eropa yang sebagian besar adalah
penghasil minuman anggur dan minuman keras.
Perjanjian TRIPs mendefinisikan Indikasi Geografis dalam Pasal 22 ayat (1) sebagai
berikut:
“Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which
identify a goods as originating in the territory of a member, or a region or locality in
that territory, where a given quality, reputation, or other characteristic of the good is
essentially attributable to its geographycal origin”.
Sesuai dengan definisi tersebut di atas penulis menyimpulkan pengertian Indikasi
Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada barang-barang yang memiliki keaslian
geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya. Tanda
tersebut harus menunjukkan keterkaitan antara nama barang dan tempat asal dari barang
tersebut.
Satu hal yang paling penting diketahui bahwa Perjanjian TRIPs tidak membedakan
antara Indikasi Geografis, Indikasi Asal, dan Apelasi Asal. Perjanjian TRIPs adalah gabungan
dari perjanjian-perjanjian mulilateral yang ada sebelumnya seperti, Konvensi Paris 1883,
Perjanjian Madrid 1891, dan Perjanjian Lisbon 1958. Walaupun dalam kenyataannya
Perjanjian TRIPs memiliki standar minimum dalam pemberlakuannya. Artinya bahwa,
negara-negara anggota dapat menyesuaikan undang-undangnya sama seperti yang ada dalam
TRIPs atau dapat memperluas cakupan perlindungannya sesuai dengan perjanjian multilateral
yang ada sebelum TRIPs, dalam hal ini kaitannya dengan Indikasi Geografis.
Perjanjian TRIPs juga mengatur tentang perlindungan Indikasi Geografis dalam
bentuk perlindungan hukum yang berlaku di seluruh negara-negara anggota. Tujuannya,
untuk mencegah penggunaan nama Indikasi Geografis dengan tanpa hak. Selain itu, Indikasi
Geografis juga bertujuan untuk mencegah, mengurangi, atau menghilangkan kompetisi yang
tidak sehat (Unfair Competition) yang dapat merugikan baik produsen maupun konsumen.
Sesuai ketentuan, setiap negara anggota wajib menyediakan sarana hukum bagi perlindungan
Indikasi Geografis yang diatur dalam Pasal 22 ayat (2), (3), dan (4).
Article 22 (2)
in respect of geographical indications, member shall provide the legal means for
interested parties to prevent:
a. the use of any means in the designation or presentation of a good that indicates
or suggest that the good in question originates in a geographical area other
than the true place of origin in a manner which misleads the public as to the
geographical origin of the good.
48
Miranda Riasang Ayu, Op.Cit., hlm. 27.
( 294 )
Indication of Source
b. any use which constitutes an act of unfair competition within the meaning of
article 10 bis of the Paris Convention (1967)
Ketentuan Pasal 22 ayat (2) Perjanjian TRIPs di atas mengatur tindakan preventif bagi
negara anggota untuk melindungi produk-produk Indikasi Geografis dari praktek persaingan
curang, serta tindakan yang dapat menyalahgunakan penggunaan Indikasi Geografis sebagai
merek. Hal ini perlu diatur mengingat seringnya terjadi penggunaan nama geografis sebagai
merek dagang, sehingga memberikan kesan seolah-olah merek sama dengan Indikasi
Geografis. Selain itu adalah untuk melindungi konsumen dari kesesatan atau kebingungan.
Hal tersebut juga dikemukakan oleh OK. Saidin yang mengatakan bahwa ketentuanketentuan terhadap larangan pemakaian Indikasi Geografis tertentu untuk dipakai sebagai
merek, juga berlaku terhadap barang-barang yang diproduksi di kawasan atau wilayah tertentu
atau memang benar-benar di wilayah asal barang-barang tersebut diproduksi, namun secara
menyesatkan memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa barang tersebut berasal dari
wilayah lain.49
Menurut pendapat penulis penggunaan nama geografis sebagai merek dagang pada
dasarnya tidak dilarang menurut perjanjian TRIPs, hanya saja harus menyatakan kebenaran
tempat asal yang sebenarnya. Misalnya penggunaan nama Geografis Toraja yang dipakai
sebagai merek dagang Key Coffee Inc di Jepang dengan nama merek Toarco Toraja Coffee.
Key Coffee harus menyatakan bahwa kopi yang diperdagangkannya itu berasal dari Toraja,
dimana Toraja adalah salah satu wilayah geografis di Indonesia. Pernyataan tersebut dapat
melalui media massa / iklan kopi maupun keterangan pada kemasan mereknya di negara
Jepang.
Berbeda halnya pada pelanggaran yang dijelaskan pada Pasal 22 ayat (3) Perjanjian
TRIPs, bunyi dari pasal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Article 22 (3)
a member shall, ex officio if its legislation so permits or the request of an interested
party, refuse or invalidate the registration of a trademark which contains or consists
of ageographical indication with respect to goods not originating in the territory
indicated, if use of the indications in the trademark for such goods in that member is
of such a nature as to mislead the public as to the true place of origin.
Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Perjanjian TRIPs di atas lebih mengarah pada tindakan
untuk menolak setiap permohonan pendaftaran merek yang mempergunakan Indikasi Geografis
secara tanpa hak. Seperti misalnya kasus Kopi Toraja, pendaftaran merek Kopi Toraja oleh
Key Coffee Inc di Jepang adalah salah satu bukti pemanfaatan nama Indikasi Geografis atau
Indikasi asal Kopi Toraja yang dipakai sebagai merek di Jepang yang notabene kata Toraja
bukan berasal dari daerah atau wilayah Jepang. Pada saat pendaftaran dilakukan oleh Key
Coffee Inc di Jepang tahun 1977, Indonesia belum memiliki suatu peraturan khusus baik
49
OK. Saidin, Op.Cit., hlm. 387
(295 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lain mengenai Indikasi Geografis.
Dari uraian di atas penulis juga berpendapat bahwa penggunaan nama Geografis Toraja
pada merek Toarco Toraja Coffee tidak menjadi masalah ketika produk yang terdapat pada
merek Toarco Toraja Coffee adalah Kopi yang berasal dari Tana Toraja dan Toraja Utara dan
bukan berasal dari wilayah lain. Jika hal tersebut dilanggar maka dapat diajukan pembatalan
sesuai dengan ketentuan Pasal 22 (3) Perjanjian TRIPs.
Selanjutnya dalam Article 22 (4) Perjanjian TRIPs menyatakan bahwa:
“the protection under paragraph 1,2, and 3 shall be applicable against a geographical
indication which, although literally true as to the territory, region or locality in which
the goods originate, falsely represents to the public that the goods originate in another
territory”.
Pada pasal di atas menekankan pada pemberian perlindungan terhadap penggunaan
Indikasi Geografis yang benar namun dapat menyebabkan kekeliruan pada masyarakat atau
negara lain. Misalnya penggunaan kata Toraja dalam label kemasan produk Key Coffee Inc
dan memang benar bahwa yang ada dalam kemasan produk tersebut adalah produk yang
dihasilkan oleh kabupaten yang ada di Indonesia yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Tetapi
karena dipasarkan di Jepang dan label kemasannya bisa saja menggunakan bahasa Jepang,
maka hal tersebut menimbulkan kesesatan atau kebingungan bagi masyarakat.
Miranda Risang Ayu50 membagi perlindungan Indikasi Geografis menjadi dua tingkat.
Perlindungan tingkat pertama didasarkan pada Pasal 22 ayat (2) butir (a) dan (b) perjanjian
TRIPs, yang mewajibkan negara-negara anggota untuk mencegah penggunanaan Indikasi
Geografis yang salah dan berpotensi menyesatkan masyarakat. Dalam kaitan ini, perjanjian
TRIPs juga mengatur penghindaran persaingan tidak sehat.
Sedangkan perlindungan tingkat ke dua mendasarkan pada Pasal 23 ayat (1), (2), (3),
dan (4) Perjanjian TRIPs yang mengatur perlindungan tambahan bagi Indikasi Geografis.
Perlindungan ini hanya dikhususkan bagi minuman anggur dan minuman keras, perlindungan
tingkat ke dua ini sangat kuat, karena melarang pemakaian Indikasi terkait pada barang-barang
selain produk yang dihasilkan oleh pemegang hak, sekalipun pemakaian itu dilakukan secara
jujur sambil menyebutkan tempat asal-muasal dari produk tersebut dengan menggunakan
kata seperti, “jenis”, “tipe”, atau “bentuk”, “gaya”, “tiruan dari” dan lain-lain. Perlindungan
tingkat ke dua ini, produsen dilindungi dari kompetitor yang bermaksud mendompleng
reputasi produk tersebut secara tanpa hak untuk keuntungan pihaknya sendiri.
Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan (4) tersebut adalah hasil dari Perjanjian Lisbon 1958
yang dikonversi masuk ke dalam Perjanjian TRIPs. Dalam Undang-Undang Merek Indonesia
dan khususnya yang diatur dalam peraturan pelaksana PP Nomor 51 Tahun 2007 tentang
Indikasi geografis tidak mencantumkan perlindungan tingkat ke dua tersebut sebab minuman
anggur dan minuman keras bertentangan dengan moralitas dan agama yang terdapat dalam
Pasal 5 (a) Undang-Undang Merek dan Pasal 3 (a) PP Indikasi Geografis.
50
Miranda Risang Ayu, Op.Cit., hlm. 32.
(296 )
Indication of Source
Menurut hemat penulis bahwa jika pembuat undang-undang mencantumkan
perlindungan tingkat ke dua dengan mengganti minuman anggur dan minuman keras menjadi
produk-produk hasil pertanian dan kerajinan tangan, maka akan sangat membantu dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam bidang Indikasi Geografis baik dalam
lingkungan nasional maupun Internasional. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat bahwa
TRIPs memberikan batasan perlindungan minimum kepada negara-negara anggotanya
ke dalam peraturan nasionalnya, artinya bahwa perlindungan yang lebih luas sangat
dimungkinkan dalam suatu peraturan nasional negara-negara anggota TRIPs, selama tidak
menyalahi standar minimum perlindungan yang telah ditetapkan oleh TRIPs.
Pada dasarnya perlindungan Indikasi Geografis yang mirip dengan perlindungan
tingkat ke dua sudah dicantumkan dalam Pasal 25 huruf (d) PP Indikasi Geografis yang
menyatakan bahwa pelanggaran Indikasi Geografis mencakup salah satunya yaitu pemakaian
Indikasi Geografis secara tanpa hak sekalipun tempat asal barang dinyatakan. Dengan
penjelasan pasal tersebut adalah yang dimaksud dengan pemakaian Indikasi Geografis secara
tanpa hak mencakup antara lain; penyalahgunaan, peniruan, dan pencitraan negatif terhadap
Indikasi geografis tertentu, seperti: penggunaan kata “ala”, bentuknya sama dengan, serupa,
dibuat dengan cara yang sama, sama sifatnya, mirip, seperti, atau transliterasi, atau yang
sejenis / sepadan dengan kata-kata tersebut.
Menurut penulis pasal tersebut masih kurang kuat dan kurang maksimal dalam
perlindungannya, karena hukum nasional Indonesia membedakan antara Indikasi Geografis
dan Indikasi Asal. Oleh karena itu, seharusnya bukan hanya Indikasi Geografis yang dilindungi
secara tanpa hak dalam pemakaiannya, melainkan Indikasi Asal juga sangat perlu dilindungi.
Sehubungan dengan standar minimum Perjanjian TRIPs, jangka waktu perlindungan
Indikasi Geografis dibagi menjadi 2, yaitu:
a) Jangka waktu perlindungannya sama dengan perlindungan merek yakni 10 tahun, dan
dapat diperpanjang setiap 10 tahun selama ciri khas dan kualitasnya masih ada.
b)Jangka waktu perlindungannya tidak terbatas selama ciri khas dan kualitasnya masih
ada.
Kedua hal tersebut menurut prinsip standar minimum Perjanjian TRIPs, dimungkinkan
kepada negara-negara untuk memilih salah satu diantara ke dua jangka waktu perlindungan
Indikasi Geografis tersebut ke dalam hukum nasionalnya masing-masing. Indonesia menganut
jangka waktu perlindungan pada bagian (b) yaitu pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis yakni: Indikasi Geografis dilindungi selama
karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas
Indikasi Geografis tersebut masih ada.51
51
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Inidkasi Geografis
(297 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
III.PENUTUP
Indication of source (indikasi asal) merupakan bagian dari indikasi geografis, dimana
indikasi geografis ini juga merupakan salah satu bagian dari hak yang dilindungi oleh hukum
dalam kaitannya dengan HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Pengertian indikasi asal adalah
hasil pertanian, bahan pangan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya, termasuk bahan
mentah dan/atau hasil olahan, baik yang berasal dari hasil pertanian maupun yang berasal
dari hasil tambang, berasal dari daerah tertentu dan memiliki kekhususan dan belum terdaftar
di negara asal dari produk tersebut. Perlindungan hukum internasional terhadap Kopi Toraja
sebagai indication of source product milik Indonesia yang terdaftar sebagai merek dagang
di jepang terdapat dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property yang
mengatur bahwa perlindungan nama dagang termasuk nama dagang yang menggunakan nama
tempat asal produk, yang dalam istilah konvensi ini disebut sebagai Indikasi Sumber atau
Indikasi Asal (Indication of Source) dan Apelasi Asal atau Nama Formal Asal (Appelation of
Origin).
Selain itu The Madrid Agreement 1891 for the Repression of False or Deceptive
Indication of Source on Goods merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang
memfokuskan diri dalam pengaturan Indikasi Geografis, dengan menggunakan istilah
Indikasi Sumber atau Indikasi Asal (Indication of Source), dalam perjanjian ini objek
perlindungannya adalah hanya khusus melindungi Indikasi Asal produk barang saja, dan
tidak melindungi produk jasa. Sedangkan The Lisbon Agreement of 1958 for the Protection
of Appellations of Origin menerapkan sistem perlindungan ekstra kuat terhadap suatu produk
yang diperdagangkan dengan nama tempat asal, dan Agreement on Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights 1994 yang tidak membedakan antara Indikasi Geografis, Indikasi
Asal, dan Apelasi Asal, dalam Pasal 22 ayat (4) TRIPs yang menekankan pada pemberian
perlindungan terhadap penggunaan Indikasi Geografis yang benar namun dapat menyebabkan
kekeliruan pada masyarakat atau negara lain. Misalnya penggunaan kata Toraja dalam label
kemasan produk Key Coffee Inc dan memang benar bahwa yang ada dalam kemasan produk
tersebut adalah produk yang dihasilkan oleh kabupaten yang ada di Indonesia yaitu Tana
Toraja dan Toraja Utara. Tetapi karena dipasarkan di Jepang dan label kemasannya bisa saja
menggunakan bahasa Jepang, maka hal tersebut menimbulkan kesesatan atau kebingungan
bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Cetakan 1 Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ahmadi Miru, Hukum Merek: Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
(298 )
Indication of Source
Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama. Makassar:
Pustaka Pena Press, 2013.
______________________, Hukum Perjanjian Internasional, Cetakan Pertama. Makassar:
Pustaka Pena Press, 2013.
Boer Mauna, Hukum Internasional; Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi 2, Cetakan 1, Bandung: PT. Alumni, 2005.
Hadi Setia Tunggal, Tanya Jawab Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Jakarta:
Harvarindo, 2012.
Ibnu Munzir, Perlindungan Hukum Terhadap Kopi Toraja Sebagai Produk Indikasi
Asal Milik Tana Toraja Dan Toraja Utara Yang Terdaftar Sebagai Merek
Dagang Di Indonesia Dan Jepang, Tesis Tidak Di Publikasikan, Makassar: Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2013.
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HKI (Hak Kekayaan Intelektual) Yang Benar:
Membahas Secara Runtut Dan Detail Tentang Tata Cara Mengurus Hak
Kekayaan Intelektual. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2007.
Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal: Terhadap Persaingan
Curang, Edisi 1, Cetakan 1, Bandung: PT. Alumni, 2009
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual: (Indikasi
Geografis), Cetakan 1, Bandung: PT. Alumni, 2006.
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual: (Inttellectual Property Rights),
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
P.T. Toarco Jaya: Membangkitkan Kembali Kopi Yang Hanya Tinggal Nama, Perjalanan
Panjang Toarco Toraja, 2012, Jakarta: AEKI, 2012.
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer, Cetakan 1, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
www.wipo.int/treaties/en/. Diakses Pada Hari Senin, 5 November 2012
www.scribd.com. Diakses pada tanggal 10 Juni 2012.
www.google.com apksa, Wadah Diskusi Pengetahuan Kekayaan Alam Kaltim, Diakses
pada tanggal 10 Juni 2012.
( 299 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 300 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
GLOBALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM
INTERNASIONAL
Almusawir Nansa*
Fakultas Hukum Universitas 45
E-mail:[email protected]
Abstract: The formation of the World Trade Organization (WTO) has given the
concept of trade liberalization to the world in particular the member states,
in which, the basic concept of trade liberalization is the removal of barriers
to international trade. Concepts of trade liberalization in practice shaping
globalization.
Abstrak: Pembentukan World Trade Organization (WTO) telah memberikan
konsep liberalisasi perdagangan kepada dunia khususnya kepada negaranegara anggota, dimana, konsep dasar dari liberalisasi perdagangan
adalah penghilangan hambatan dalam perdagangan internasional. Konsep
liberalisasi perdagangan dalam pelaksanaannya membentuk globalisasi.
I. PENDAHULUAN
Istilah globalisasi perdagangan dapat disebutkan sebagai sebuah istilah yang memiliki
hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia
di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, yang mengakibatkan batas negar
menjadi tidak terlihat. Globalisasi perdagangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan lintas
negara. Pemahaman sejarah ini terlihat dari kegiatan para saudagar atau pedagang dari Eropa
yang melakukan pencarian atas produk rempah-rempah dari dunia timur, yang pada saat itu
menjadi suatu komoditi yang sangat diminati oleh konsumen dari benua Eropa.
Esensi model hukum dalam pradigma globalisasi perdagangan bebas hukum
didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber
daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan
melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya. Di sisi lain, hukum publik
didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan mengubah kebijakan yang
mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Selanjutnya hukum digunakan untuk
efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa. Sifat hukum jadi positivis-instrumentalis dan
tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, dan HAM.
Pengajar Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas 45, Makassar. Sarjana Hukum
(S.H.) 1993 dari Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih, Jayapura, Magister Ilmu Humaniora (M.Hum.)
1996 dari Program Pascasarjana Institut Hukum Bisnis, Jakarta.
*
( 301 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Globalisasi perdagangan penuh dengan tuntutan atas negara-negara yang ingin
(dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk, mengendurkan proteksi,
mengurangi subsidi, memangkas regulasi ekspor-impor, perburuhan, investasi, dan harga,
serta melakukan privatisasi atas perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak
membawa produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaan perusahaan
multi nasional dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak akan jauh berbeda
dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada hakekatnya bermodus eksploitasi
Terdapat beberapa hal penting yang perlu mendapat catatan dibidang akses pasar
bebas ini adalah semua negara anggota dapat menikmatinya tanpa terkecuali. Sebagai
konsekuensinya adalah persaingan semakin tajam. Karena “standing position” nya sama,
maka dalam pemanfaatan ini akan berlaku hukum alam, siapa yang lebih kuat, dia yang akan
menang.
Globalisasi Perdagangan merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi
nasional dan penciptaan lapangan kerja dan menuntut setiap negara lebih siap untuk dapat
mengambil manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang dihasilkan oleh WTO. Peluang
dan manfaat bagi Negara anggota WTO hanya dapat diperoleh apabila memahami semua
persetujuan WTO dan menerapkannya sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu prinsip
dasar yang diatur didalam WTO selain perdagangan bebas adalah adanya perdagangan yang
berkeadilan (Fair Trade).
Globalisasi pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial yang akan
membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan berpencar di dunia kepada suatu
tradisi tunggal yang tidak mengenal batas-batas wilayah.1 Globalisasi telah membuat dunia
seolah tanpa batas (borderless). Era ini ditandai dengan maraknya aktivitas di bidang
ekonomi. Salah satu ciri bisnis atau perekonomian yang paling menonjol pada era globalisasi:
moving quickly, sangat cepat mengalami perubahan. Seperti yang dikemukakan oleh William
Irvin Thompson, dengan dukungan teknologi dan informasi, kecepatan perubahan tidak lagi
menghitung abad, tahun, dan bulan, tetapi pergeseran dan perubahan dapat terjadi setiap hari.2
Dengan mekanisme fair trade, konsumen bersedia menghargai jerih payah produsen
yang selama ini tidak pernah diperhitungkan (pemeliharaan tanaman, mengusir burung,
menjemur padi, didalam usaha pertanian padi) sebagai komponen biaya produksi dalam
sistem perdagangan konvensional. Sebagai salah satu bentuk apresiasi konsumen atas jerih
payah produsen, mereka tidak keberatan untuk membeli harga premium (yang meliputi biaya
produksi ditambah biaya untuk reinvestasi) yang ditawarkan oleh produsen.
Sebaliknya, produsen juga menghargai kepedulian dan kepercayaan yang diberikan
oleh konsumen dengan selalu memberikan informasi sebenarnya mengenai produk mereka
(kondisi, waktu panen, varietas) dan menjaga kualitas/kuantitas produknya. Produsen juga
Lihat Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction, dalam Ida Susanti, dkk (ed).
Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan
Perdagangan Bebas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 3
2
Lihat Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 143
1
( 302 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
melakukan pertemuan rutin untuk membahas dan mencari jalan keluar tentang masalah
yang mereka hadapi, khususnya yang berkaitan dengan pola perdagangan yang adil. WTO
diharapkan dapat membentuk suatu kemitraan perdagangan yang dilandaskan pada dialog,
transparansi dan penghargaan yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan yang seimbang
(bagi Dunia Ketiga) didalam perdagangan internasional.
Konsep perdagangan bebas juga telah meningkatkan kekuasaan perusahaanperuasahaan multinasional terhadap konsumen dengan membuat regulasi (syarat-syarat)
yang sesungguhnya merupakan perangkap yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga.
Kecenderungannya akan mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada
perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan hilang. Perusahaanperusahaan tersebut memiliki kekuasaan monopolistik, misalnya monopoli harga. Kasus
yang paling menyeramkan adalah monopoli harga obat-obatan, yang menyebabkan harga obat
menjadi mahal dan tak terjangkau, yang kemudian menimbulkan munculnya pemalsuan obatobatan dan perdagangan obat-obat palsu dan atau kadaluarsa di negara-negara berkembang
dan terbelakang.
Perdagangan bebas telah memberikan kesempatan yang besar bagi perusahaanperusahaan di negara maju, untuk mendaftarkan kekayaan alam (natural processes and
resorces) yang belum memperoleh perlindungan hukum di negara-negara berkembang
seperti: produk pertanian berindikasi geografis dll, melalui rezim HKI yang dalam perdangan
bebas menuntut banyak biaya untuk diterapkan, semisal kebutuhan akan pengacara-pengacara
dan konsultan-konsultan (yang berkaitan dengan hal teknis) dengan level (pengetahuan dan
reputasi) internasional, terlebih lagi dalam kaitannya dengan sengketa HKI di WTO, dan
secara terus terang negara-negara berkembang belum siap menghadapi hal ini, termasuk
Indonesia.
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The
World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
membawa konsekuensi baik eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia
harus memetuhi seluruh hasil kepakatan dalam forum WTO. Konsekuensi internal Indonesia
harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional sesuai dengan
ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan hormonisasi hukum, Indonesia
harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan
WTO. Dengan demikian Indonesia telah terikat untuk mematuhi segala kaidah-kaidah yang
disepakati dalam persetujuan perdagangan internasional, termasuk melakukan perubahan
baik terhadap instrumen hukum maupun kebijaksanaan pembangunan di bidang perdagangan
Nampaknya liberalisasi pardagangan produk-produk pertanian tidak menjadikan
pertanian menjadi bebas. Sebaliknya liberalisasi perdagangan justru memperkuat sentalisme
pembangunan pertanian. Dalam era globalisasi perdagangan bebas, ketika negara tidak lagi
mencampuri urusan pengembangan sektor pertanian, negara tidak mengembalikan kekuasaan
dan fungsi petani untuk mengatur usaha tani mereka, tetapi justu memfasilitasi penyerahan
(303 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
penguasaan sumber-sumber alam, sistim produksi, serta sistim pemasaran dan perdagangan
kepada perusahaan transnasional. Oleh karena itu, permasalahan yang hendak dibahas dalam
tulisan ini adalah Bagaimanakah hubungan antara globalisasi dan perdagangan bebas? dan
Bagaimanakah paradigma hukum internasional terhadap perdagangan bebas?
II. PEMBAHASAN
A. Hubungan Antara Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Pada akhir abad 18, pandangan perdagangan dari sitem perdagangan merkantilisme
mengalami pergeseran ke arah sistem perdagangan yang lebih bebas (liberalisasi pasar).
Tokoh-tokoh utama yan mempelopori sistem perdagangan bebas yaitu Adam Smith (melalui
teori keunggulan absolut, dalam bukunya yang berjudul “The Wealth of Natoions”) dan
David Ricardo (melalui teori keunggulan kompratif).3
Dasar pemikiran mengenai perdagangan bebas muncul pada masa perkembangan
tokoh-tokoh aliran klasik. Aliran klasik merupakan aliran yang beranggapan bahwa suatu
perekonomian akan sejalan secara efisien, apabila tidak ada campur tangan pemerintah dan
setiap individu dalam masyarakat diberikan kebebasan yang luas untuk berusaha sendiri.
Untuk mengatur hubungan antar negara yang mempunyai yurisdiksi dan kepentingan, maka
dibutuhkan suatu lembaga multilateral yang khusus untuk mengatur hubungan negaranegara tersebut dalam pelaksanaan perdagangan di antara mereka. Hal inilah yang mendasari
dilaksanakannya konferensi internasional multilateral di Bretton Woods.4
Bersamaan dengan lahirnya sistem keuangan dunia Bretton Woods, lahirlah IMF
(International Monetary Fund)dan GATT (General Agreement for Tariff and Trade).
IMF adalah organisasi yang mengatur moneter internasional. Sementara GATT adalah
sebuah rezim perdagangan internasional yang mengatur mengenai tarif dan perdagangan
internasional. Pada awal kemunculannya GATT hanya didukung oleh negara-negara maju,
yang cenderung pro terhadap kapitalisme perdagangan bebas. Sementara mayoritas negara
berkembang beroposisi terhadapnya.
Pendapat yang bersifat beoposisi terhadap perdaganan bebas dikemukakan oleh Sri
Edi Swasono dalam Nursalam Sianipar, sebagai berikut 5:
1. Pasar bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2. Pasar bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indo­nesia.
3. Pasar bebas tidak mampu memihak kepada bekas kaum Inlander (kaum terjajah) yang
jauh di bawah martabat kaum Eropah dan Timur Asing.
Lihat Paul H. Lindert dan Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, (Jakarta: Erlangga,
1986), hlm. 18
4
Lihat George Soul, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka:Dari Aristoteles Hingga
Keynes, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 73
5
Lihat Nursalam Sianipar, Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar
Bebas. (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2001), hlm. 66-67
3
( 304 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
4. Pasar bebas menutup hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli
akan menjadi penonton belaka, berada di luar pagar­pagar transaksi ekonomi.
5. Pasar bebas melahirkan swastanisasi yang memberikan cabang-cabang produksi yang
penting ba­negara dan menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan partikelir dan
asing.
6. Pasar bebas mencari keuntungan ekonomi. Pasar bebas menggeser, dan menggusur
rakyat dan tanah dan usaha-usaha ekonominya,
7. bebas memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong ter-bentuknya
polarisasi sosial ekonomi, memperenggang persatuan nasional.
8. Pasar bebas melihat sistem ekonomi subordinasi yang ekploitatif dan diskriminatif
terhadap yang lemah.
9. Kemudian pasar bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan
mendorng lidah kita bicara palsu, membabi buta anti subsidi, anti proteksi demi
efisiensi yang jarang memberi manfaat bagi si lemah.
Perkembangan perdagangan bebas menjand menjadi sangat penting, dengan
disepaktinya General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada 1947, yang mulai berlaku
tanggal 1 Januari 1948 dan memuat beberapa prinsip-prinsip liberalisme seperti mendukung
liberalisasi perdagangan. GATT melangsungkan proses berkelanjutan dari negosiasi
multilateral diantaranegara-negara dengan kepentingan yang sama dimana persetujuan telah
diraih dan negosiasi pun meluas pada seluruh partisipan GATT.6
Tujuan dari dibentuknya GATT ini adalah untuk mengatur dan mengurangi tarif pada
barang-barang impor dengan proses yang sama pada setiap anggotanya. Dalam konteks
organisasi, GATT lebih cenderung seperti sebuah perjanjian yang mengikat dan mengatur
perdagangan-perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara.7
Forum-forum GATT sering kali dilaksanakan untuk membahas permasalahan
perdagangan yang mungkin muncul dan biasa disebut negotiating rounds. Misalnya yang
telah dilakukan di Annecy, Torquay and Geneva yang berlangsung pada 1949 sampai 1956
kemudian 1960 dan 1970 di Dillon, Kennedy dan Tokyo dan yang terakhir adalah Uruguay.
Negotiating rounds inilah yang lama-kelamaan memicu lahirnya WTO (World Trade
Organization), sebuah reformasi dari GATT.
Perkembangan selanjutnya, pada Putaran Uruguay di Marrakesh (1986-1994) telah
diterima persetujuan tentang pembetukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/WTO), termasuk persetujuan sebagai lampirannya, yaitu Agreement Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods
(persetujuan mengenai Aspek-aspek Dagang mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (
TRIPs).
Lihat Mingst, Karen A. Essentials of International Relations. (New York & London: W. W.Norton
& Company, Inc., 1999), hlm. 262
7
Lihat Abbott, Roderick. “The World Trade Organization”. (Burlington: Ashgate Publishing
Company, 2007), hlm. 315-330.
6
(305 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Dengan berakhirnya perundingan Uruguay Round serta disetujui hasil perundingan
tersebut oleh para menteri dari negara-negara peserta di Marakesh April 1994, maka sistem
perdagangan internasional mengalami fase baru. GATT telah berkembang dalam wujud baru
sebagai World Trade Organization yang akan menjadi organisasi internasional dengan atribut
serta dengan wewenang yang jauh lebih luas daripada GATT. Dengan perkembangan ini
maka sistem perdagangan internasional mengalami penegasan agar lebih dapat menghadapi
tantangan baru. Demikian pula dengan berlakunya ACFTA Tahun 2010, maka hendaknya
Indonesia senantiasa berorientasi ke depan, serta berupaya mengadakan identifikasi tentang
perkembangan ekonomi yang didukung kemajuan di sektor perdagangan internasional
yang, yang berorientasi pada peningkatan ekspor non migas, peningkatan daya saing, serta
perluasan pasar luar negeri.
World Trade Organisation (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia adalah badan
antar-pemerintah, yang mulai berlaku 1 Januari 1995. Tugas utamanya adalah mendorong
perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan
seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan
internasional; penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negaranegara anggotanya.8
WTO membawa dua prinsip utama, yaitu prinsip most favoured nation treatment, yang
berarti bahwa WTO akan memberikan perlakuan yang sama pada setiap anggotanya tanpa
ada diskriminasi. Dan prinsip yang kedua adalah national treatment, yakni melarang adanya
diskriminasi pajak dalam negeri atas baik produk domestik maupun impor, sehingga tidak
perlu adanya penurunan tarif pajak. Disamping kedua prinsip diatas, ada sebuah konsensus
yang selalu digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan yaitu single undertaking, yang
berarti bahwa ada sebuah aturan yang mengikat semua anggota WTO dalam menyelesaikan
masalah serta menerima timbal balik yang tidak seimbang dalam negosiasi dengan negara
berkembang.9
Konsesus digunakan dalam pembuatan keputusan dalam WTO karena dianggap
relevan. Selain konsensus terdapat cara pengambilan keputusan dengan cara voting. Namun
voting hanya diambil apabila consensus yang telah dilakukan belum disepakati oleh para
anggota atau sedang berada pada posisi tertentu, seperti perjanjian multilateral yang tidak
dapat dijalankan sebelum konsensus dibuat.
Dalam bentuk barunya, rezim perdagangan bebas yang berlandaskan nilai-nilai
liberal ini lebih disukai oleh negara-negara berkembang daripada dalam bentuk lamanya.
Hal ini disebabkan meluasnya ruang lingkup kekuasaan dalam rezim tersebut. WTO lebih
menjanjikan perdagangan dunia dalam tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebenarnya hal ini
sama sekali tidak memaksa negara-negara berkembang untuk bergabung. Namun akses
yang dijanjikan oleh WTO seolah menjadi iming-iming bagi negara berkembang untuk ikut.
Jika tidak bergabung maka mereka akan menemui kesulitan dalam melakukan perdagangan
8
9
Kunjungi www.institute-for­-global-Justice.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2014
Lihat Abbott, Op.Cit., hlm. 317
( 306 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
internasional, sementara pasar-pasar yang menjanjikan ada dalam regulasi WTO.
Perdagangan bebas merupakan tantangan masa kini yang harus dihadapi dengan
jalan moderat, namun cerdas melalui perbaikan aturan main hukum ekonomi internasional,
dengan tujuan untuk menciptakan tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dengan
memperhatikan baik keseimbangan dan kesetaraan hubungan antara negara maju maupun
negara berkembang.10
Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized
Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs
Organization yang berpusat di Brussels, Belgium, penjualan produk antar negara tanpa pajak
ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.
Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan
(hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan
perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.”Sebenarnya perdagangan bebas
itu mempunyai dampak tersendiri buat setiap negara. Jika negara tersebut bisa menggunakan
peluang ini dengan baik maka akan memberikan dampak positif, tetapi jika negara tersebut
tidak mampu menggunakan peluang ini dengan baik maka akan berdampak negatif.
Semakin kuatnyanya dominasi Negara-negara maju melalui Trans National
Corporations (TNCs), semakin memonopoli inovasi dan pasar. Berbagai macam sarana
produksi, mulai dari benih, alat mesin pertanian, pestisida, modal, dan kriteria pasar
dimonopoli melalui undang-undang Hak Paten. Ini merupakan skenario pemusnahan kearifan
dan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga harus tunduk pada mekanisme TNCs, jika
ingin menembus pasar internasional.
Dalam konteks indonesia dengan kekuatan kekayaan potensial baik dalam sumber
daya alam maupun manusia dapat diefektifkan melalui kebijakan politik pemerintah.
Sejak tahun 1980-an pemerintah telah melakukan reformasi kebijakan ekonomi guna
memaksimalkan hasil-hasil pembangunan. Puluhan paket kebijaksanaan telah diberlakukan.
Namun sebagai negara berkembang Indonesia memiliki banyak kelemahan yang harus
disadari dan diwaspadai dalam kancah perdagangan internasional. Di samping itu, seperti
negara berkembang pada umumnya Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di berbagai
bidang kegiatan ekonomi dan tertinggal jauh dari negara-negara maju di bidang teknologi,
maka melalui perdagangan internasional sebagaimana ingin diciptakan dalam sistem GATT
dan WTO menawarkan kesempatan bagi semua negara untuk meningkatkan taraf hidup di
bawah rezim perdangan bebas.
BM. Koentjoro Jakti11 mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang
telah menandatangani kesepakatan liberalisasi perdagangan intenasional (WTO) pada putaran
Uruguay di Marakesh (Marocco) tahun 1994, Indonesia harus menerima risiko menghadapi
persaingan yang semakin ketat, demikian pula dengan berlakunya AFTA semenjak tahun 2003.
10
Lihat A.F. Elly Erawaty, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar,
dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 2
11
Lihat B. M. Kuntjoro Jakti. Materi Kuliah, Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
(307 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Kesepakatan tersebut harus diterima oleh Indonesia jika tidak ingin terisolasi dari negaranegara ASEAN lainnya, lebih-lebih di kawasan ASEAN Indonesia adalah satu-satunya negara
yang yang dulunya merupakan jajahan Belanda yang menganut sistem hukum Kontinental
(Civil Law). Sementara sebahagian besar negara-anggota ASEAN lainnya merupakan bekas
jajahan Inggris yang menganut sistem hukum Anglo Saxon (Common Law).
Sebagai negara bekas jajahan Inggris, negara-negara tersebut tidak akan banyak
memberikan harapan untuk mendukung Indonesia dalam bernegosiasi atau diplomasi guna
memperjuangkan hak dan kepentingannya dalam sidang WTO. Negara-negara tersebut secara
emosional bahkan lebih cenderung untuk mendukung negara bekas penjajahnya, misalnya
melalui Organisasi Negara Persemakmuran (Commonwealth). Hal ini merupakan problem
bagi Indonesia untuk tidak dapat menolak WTO meskipun kemungkinan lebih banyak
merugikan Indonesia sebagai negara berkembang. Selain itu kapabilitas wakil Indonesia di
sidang WTO dalam bernegosiasi masih lemah, mengingat keadaan ekonomi Indonesia yang
masih sangat bergantung pada bantuan luar negeri terutama bantuan dari negara-negara maju
yang menganut sistem hukum Common Law.
B. Perdagangan Bebas Dalam Paradigma Hukum Internasional
Sebagai suatu entitas yang dinamis, maka hukum tidak pernah berhenti di satu titik
tertentu, melainkan terus berakomodasi dengan kondisi sosial dan keadaan tertentu. Dewasa
ini, kita telah memasuki era perdagangan bebas dimana “hampir” tak ada lagi sekat-sekat
dalam perdagangan. Perdagangan bebas dan globalisasi adalah dua istilah yang sering disebut
secara berbarengan. Akademisi, politisi, ekonom, bahkan masyarakat awam sangat familiar
dengan kedua kata dan frasa tersebut. Namun, salah satu hal ironi dari kenyataan itu adalah
tidak atau kurang dimengertinya prinsip-prinsip, makna, sejarah, dan pangaruhnya pada
Negara-negara berkembang. Tanpa bermaksud “memonopoli” kebenaran, terkadang dapat
dibenarkan juga aksi anti globalisasi dan perdagangan bebas karna fakta menunjukkan bahwa
sistem ini membawa “kesengsaraan” bagi negara miskin. Disadari atau tidak, globalisasi
mengakibatkan ketidakadilan.
Dalam masyarakat yang telah melakukan proses transformasi struktural menuju
pada suatu masyarakat moderen industrial dengan sekalian badan, lembaga, serta gaya
kehidupannya. Gaya kehidupan ini dimaksudkan munculnya perubahan dalam orientasi
manusia yang dikondisikan oleh perubahan dan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung
di sekelilingnya. Seiring dengan perkembangan jaman yang kian modern dan disertai oleh
lintas batas berlakunya hukum-hukumnya, posisi dan peran negara menjadi terdegradasi
pula. Mau tidak mau, suka tidak suka, alam globalisasi menawarkan tekanan pasar bebas
yang kian merangsek ke seluruh dimensi kehidupan manusia, politik, ekonomi, budaya, dan
tak terkecuali di dunia hukum.
Globalisasi merupakan gerakan perluasan pasar dan di semua pasar yang berdasarkan persaingan, selalu ada yang memang dan yang kalah. Perdagangan bebas dapat juga menambah
kesenjangan antar negara-negara maju dan negara-negara pinggiran, yang akan membawa
( 308 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
akibat pada komposisi masyarakat dan kondisi kehidupan mereka.12
Pengaruh global perdagangan bebas terhadap hukum tidak dapat dielakkan, misalnya
menyangkut pembuatan program legislasi, memenuhi tuntutan pasar bebas merupakan
keharusan, dan juga terjadi tekanan-tekanan lembaga internasional, seperti WTO, IMF,
World Bank. Paradigma hukum dalam liberalisai ekonomi diarahkan pada bekerjanya
kemampuan pasar bebas dengan melucuti sejumlah kewajiban atau tanggung jawab negara
dalam pemenuhan fungsi-fungsi publik. Hukum, pada gilirannya, dikendalikan atas dasar
selera atau kepentingan pasar (market friendly legal reform paradigm) dibandingkan dengan
keharusan negara melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya.
Esensi model hukum ini, hukum didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi
yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan
untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak
perdata lainnya. Di sisi lain, hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku
menyimpang dan mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar
bebas. Selanjutnya hukum digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa.
Sifat hukum jadi positivis-instrumentalis dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosial,
politik, dan HAM.13
Hukum telah menjadi semacam “alat” dari golongan yang kuat (secara ekonomi) untuk
“menekan” golongan yang lemah, sehingga hukum (dalam hal ini penegakannya) telah jauh
dari orientasi keadilan. Hal ini “dicurigai” disebabkan oleh adanya gejala yang disebut dengan
“gejala reduksi normatif”,14 dalam pemahaman hukum. Akibatnya, menimbulkan kesulitankesulitan teknis dalam penerapannya dan menghasilkan analisis yang yang kurang objektif
(karena pengingkaran terhadap karakter objek). Dengan kata lain adanya gejala reduksi
normatif dalam hukum ini telah mengabaikan “humanisme” hukum dalam penerapannya.
Meskipun pola-pola reduksi ini berhasil menyederhanakan pola interaksi dan fungsi hukum
dalam pola interaksinya, namun pada sisi lain struktur sistem hukum yang dibangun tersebut
hanya melahirkan hukum sebagai norma.
Penerapan liberalisasi ekonomi yang tercermin melalui perdagangan internasional,
bagi negara-negara berkembang ternyata banyak mengundang masalah, terutama menyangkut
kesiapan pelaku ekonomi dalam berkompetisi. Demikian pula dengan kesiapan perangkat
hukum sebagai penunjang atas berlakunya liberalisasi perdagangan belum menampakkan
supremasinya. Hal ini merupakan persoalan yang paling krusial bagi negara berkembang
terutama mengenai eksistensi liberalisasi ekonomi yang dipercaya mampu menciptakan
kemakmuran yang optimal bagi masyarakat.
Slogan pasar bebas, perdagangan bebas, deregulasi, privatisasi dan liberalisasi,
bertujuan untuk memaksimalkan kebebasan dan sumber-sumber yang harus diberikan kepada
12
hlm. 115
Lihat Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi. (1999),
Lihat Harian Kompas, Edisi 27 September 2013
Lihat Lili Rasyidi dan I. B. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hlm. 9
13
14
( 309 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
berbagai perusahaan transnasional untuk beroperasi. Pada saat yang sama negara industri
maju menuntut minimalisasi campur tangan pemerintah untuk berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi. Upaya berbagai perusahaan untuk merebut pasar bebas, deregulasi, dan privatisasi
itu dimulai pada tingkat nasional dan seterusnya diperluas ke tingkat internasional dengan
menggunakan konsep pasar bebas.
Pradigma globalisasi ekonomi telah menjadi arus dominan, pembangunan sistem
hukum modern tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi kapitalistik yang
oleh sebabnya sistem hukum modern memerlukan tatanan normatif yang dapat mendukung
kerangka hukum rasional. Inilah yang kemudian menjadi tekanan Bank Dunia dan IMF,
termasuk pula desakan sejumlah negara donor, dalam legal framework for development
(kerangka hukum untuk pembangunan), yang memperkuat dan mempertegas disain pembaruan
hukum negara-negara penerimama bantuan keuangan dari IMF ke arah paradigma hukum
yang pro perdagangan bebas.
Integrasi perekonomian dunia akan diikuti oleh harmonisasi hukum. Terbentuknya
World Trade Organization (WTO) didahului oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional
seperti Masyarakat Ekonomi Eropa, NAFTA, AFTA serta APEC. Tidak ada kontradiksi
antara regionalisasi dengan globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global
mengharuskan terciptanya blok-blok perdagangan baru.15
Globalisasi ekonomi menimbulkan implikasi yang luas pada bidang hukum.
Globalisasi ekonomi turut menyebabkan tejadinya globalisasi hukum. Dalam kaitan ini
globalisasi hukum tidak hanya didasarkan pada kesepakatan antar bangsa tetapi juga pada
pemahaman mengenai tradisi hukum dan kebudayaan antara Barat dengan Timur. Globalisasi
hukum terjadi melalui upaya-upaya standarisasi hukum di antaranya melalui perjanjianperjanjian internasional. Sementara itu globalisasi di bidang kontrak-kontrak bisnis sejatinya
telah lama terjadi. Hal ini disebabkan karena negara-negara maju banyak membawa bentukbentuk kontrak bisnis yang baru ke dalam negara berkembang seperti perjanjian joint venture,
perjanjian lisensi serta perjanjian keagenan. Tidak mengherankan apabila bentuk-bentuk
kontrak bisnis tersebut hampir sama di setiap negara.16
Untuk mengantisipasi masalah ini dalam hukum internasional, khususnya hukum
perdagangan internasional, ada tiga teknik yang dapat dilakukan yakni :
1. negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya, sebaliknya
mereka menggunakan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubunganhubungan hukum perdagangan mereka.
2. Apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati
oleh salah satu pihak, hukum nasional negara tertentu dapat digunakan. Cara
Lihat Bary Hufbauer, “International Trade Organization and Economies in Transiton: A
Glimpse of The Twenty-First Century”, Law and Policy in International Business, Vol. 29, 1995, hlm. 108
16
Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya
Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, Lihat di http://www.ermanhukum.com, Diakses
pada tanggal 10 Februari 2014
15
( 310 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui prinsip choice
of law. Choice of law adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak
yang dituangkan dalam kontrak/perjanjian yang mereka buat.
3. Teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi
hukum aturan-aturan subtantif hukum perdagangan internasional. Cara ini dipandang
cukup efisien dan memungkinkan terhindarnya konflik diantara sistem-sistem hukum
yang dianut oleh masing-masing negara.
Unifikasi dan harmonisasi hukum mempunyai makna yang hampir sama walaupun
terdapat juga perbedaan dikeduanya. Kedua kata sama-sama berarti upaya atau proses
menyeragamkan substansi pengaturan sistem-sistem hukum yang ada. Penyeragaman tersebut
mencakup pengintegrasian sistem hukum yang sebelumnya berbeda. Perbedaan kedua kata
tersebut terletak pada derajat penyeragaman tersebut. Dalam unifikasi hukum, penyeragaman
mencakup penghapusan dan penggantian suatu sistem hukum dengan sistem hukum yang
baru.
Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang
mengenai investasi perdagangan, jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negaranegara maju (converagence). Namun tidak ada jaminan peraturan tersebut memberikan hasil
yang sama disemua tempat. Hal mana dikarenakan perbedaan sistim politik, ekonomi dan
budaya. Karena apa yang disebut hukum tergantung pada persepsi masyarakatnya.
Globalisasi hukum pada tataran berikutnya akan mengakibatkan peraturan-peraturan
yang berlaku di negara berkembang khususnya mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa
serta bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati atau berkiblat pada negara-negara maju
(converagence). Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa peraturan-peraturan tersebut
akan memberikan hasil yang sama di setiap negara. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan
sistem politik, ekonomi dan kebudayaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Friedman bahwa
tegaknya peraturan-peraturan hukum bergantung pada budaya hukum masyarakatnya.
Sementara budaya hukum masyarakat bergantung pada budaya hukum para anggotanya
yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan
bahkan oleh berbagai kepentingan. Dalam rangka menghadapi kondisi yang demikian,
diperlukan check and balances di dalam bernegara. Check and balance dalam bernegara
hanya dapat diwujudkan melaui keberadaan perlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri
serta partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan.17
Perdagangan bebas dikatakan akan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi
para pesertanya sekaligus akan mengurangi tingkat kesenjangan antar negara. Free trade
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada peningkatkan standar
kehidupan. Namun demikian, harus pula dipahami bahwa fenomena perdagangan bebas
tidak lain merupakan salah satu bagian dari skenario global. Tidak dapat dipungkiri bahwa
hakikat globalisasi adalah gerakan perluasan pasar. Dalam setiap pasar yang berdasarkan
17
Ibid.
(311 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
pada hukum persaingan akan selalu memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah.
Dengan demikian, perdagangan bebas dapat pula justru berpotensi memperlebar kesenjangan
di antara negara maju dengan negara pinggiran serta berpotensi membawa akibat pada
komposisi masyarakat beserta kondisi kehidupannya.
Contohnya pemberlakuan perjanjian dalam WTO yang memperkenalkan bidang
perjanjian yang mencakup ketentuan mengenai hak cipta, merek dagang, indikasi geografis,
desain industri, paten dan lain-lain, hal mana meletakkan kewajiban kepada negara anggota
untuk membuat aturan-aturan HKI nasionalnya sesuai dengan substansi WTO atau dengan
kata lain telah terjadi globalisasi hukum melalui usaha-usaha standarisasi hukum antara lain
melalui perjanjian-perjanjian internasional.
Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang lahir dari perdagangan bebas ini tentu
tidak akan jauh dari prinsip-prinsip perdagangan bebas yang menuntut persamaan. Semua
pihak dianggap sebagai “kompetitor” yang harus mampu bertahan dalam pertarungan.
Prinsip survival for the fittest. Mereka yang terkuat lah yang akan bertahan. Negara miskin
dan berkembang akan menjadi “konsumen” negara maju yang sudah mapan konsep HKI-nya
dengan melakukan proteksi dan stadarisasi produk.
Liberalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha standarisasi hukum antara lain melalui
perjanjian-perjanjian internasional. General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1994/
WTO misalnya, mencantumkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi oleh negara-negara
anggota yang kemudian menjadi substansi peraturan-peraturan nasional negara-negara
anggota.
Upaya unifikasi dan harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana
metode yang akan diterapkan. Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan
konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya
dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan metode komparatif. Metode-metode pembuatan
suatu perjanjian internasional dalam rezim globalisasi dan perdagangan bebas, terdapat
sejumlah prinsip yang digunakan , yang meliputi18:
1. Minimum standard, prinsip minimum standard ini banyak diterapkan dalam berbagai
perjanjian internasional dengan maksud untuk memberikan jaminan keamanan bagi
para pedagang asing. Dalam perkembangannya, prinsip ini telah menjadi bagian dari
hukum kebiasaan internasional;
2. Standard of Identical Treatment, prinsip ini dapat diterapkan secara sempit atau
luas dalam hubungan ekonomi di antara negara. Para raja jaman dahulu saling
memberikan jaminan bahwa mereka akan memberikan perlakuan serupa kepada
semua pedagangnya, misalnya dalam suatu perjanjian perdagangan dua pemimpin
kerajaan sama-sama memberikan jaminan bahwa para pedagang mereka yang berniaga
di wilayah kerajaan lain akan dibebaskan dari kewajiban militer atau mungkin pula
masing-masing negara menjamin kebebasan berniaga dalam berbagai bidang kegiatan
Lihat Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum
dan Non Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 53-56
18
( 312 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
ekonomi;
3. Standard of National Treatment, standar ini memberikan persamaan perlakuan di
dalam suatu negara, sehingga perlakuan terhadap orang asing adalah sama seperti
perlakuan terhadap warga negara sendiri;
4. Most Favoured-Nation Treatment, berdasarkan prinsip ini negara-negara memberikan
perlakuan sama seperti yang diberikan kepada negara ketiga. Standar ini memberikan
kesamaan landasan bagi negara maju dan Negara berkembang, negara industri maupun
agraris, dan dalam batas-batas tertentu antara sistem ekonomi bebas dan ekonomi
terpimpin;
5. Standard of The Open Door, prinsip ini mirip dengan prinsip most favoured-nation
treatment namun sebagai negara pembanding bukan hanya negara ketiga akan tetapi
setiap negara peserta yang mendapat keuntungan dari padanya.
6. Standard of Preferential Treatment, prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip yang
bermaksud untuk memberikan hak sama bagi semua pihak.Dalam sistem hubungan
internasional yang luas, kedua sistem ini tidak dapat diberlakukan secara simultan
tetapi dapat diharmonisasikan, misalnya dengan peraturan pengecualian atas prinsip
MFN terhadap negara tetangga atau sesama negara anggota suatu persatuan pabean
(custom union);
7. Standard of Equitable Treatment, prinsip ini diterapkan pada bidang yang terpengaruh
oleh kebijakan suatu negara. Prinsip ini memberikan jalan keluar dalam keadaan
dimana terdapat ketidakseimbangan mata uang atau perubahan struktur ekonomi
negara yang telah memaksa negara mengambil kebijakan pembatasan impor. Dalam
keadaan seperti ini, prinsip ini merupakan satu-satunya cara untuk memberlakukan
MFN dan mendapatkan keadilan proposional di antara negara-negara.
Dalam lingkup penerapan prinsip-prinsip liberalisasi perdagangan bebas, berarti kita
membicarakan rekayasa hukum atau rekayasa sosial melalui hukum. Sehubungan dengan
ini penggunaan hukum secara sadar untuk mengatur masyarakat, termasuk melakukan
manipulasi-manipulasi, seperti perubahan-perubahan dalam masyarakat, dengan demikian
hukum moderen memperoleh watak instrumentalnya.19
Hukum ini tidak dapat lain, kecuali membentuk hukum moderen yang merupakan
bagian dari hukum-hukum yang bersifat mendunia. Pengaruh global terhadap hukum tidak
dapat dielakkan, misalnya menyangkut pembuatan program legislasi, memenuhi tuntutan
pasar bebas merupakan keharusan, dan juga terjadi tekanan-tekanan lembaga internasional,
seperti WTO, IMF, World Bank.
Globalisasi ekonomi dengan motor liberalisasi perdagangan dan keuangan tidak selalu
memberikan keuntungan bagi semua orang (dan bangsa) di bumi ini.20 Konsep globalisasi
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 14
Lihat Ida Susanti dan Bayu Seto (Editor), Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah
Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan Gagasan tentang
Hukum IV, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 1.
19
20
(313 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
ekonomi dan perdagangan bebas, memerlukan perlindungan instrument hukum. Globalisasi
bukanlah suatu gerakan yang harus ditahan dan dibendung, tapi sebaliknya, memerlukan
nalar logik untuk menjauhkannya dari efek buruk bagi keadilan.
III. PENUTUP
Perdagangan bebas merupakan salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional
dan penciptaan lapangan kerja dan menuntut setiap Negara lebih siap untuk dapat mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari peluang yang dihasilkan oleh WTO. Peluang dan manfaat
bagi Negara anggota WTO hanya dapat diperoleh apabila memahami semua persetujuan
WTO dan menerapkannya sesuai dengan kepentingan nasional. Salah satu prinsip dasar yang
diatur didalam WTO selain perdagangan bebas adalah adanya perdagangan yang berkeadilan
berkeadilan (Fair Trade). Namun, globalisasi ekonomi dengan motor liberalisasi perdagangan
dan keuangan tidak selalu memberikan keuntungan bagi semua Negara didunia terutama bagi
Negara-negara berkembang.
Perdagangan bebas dan proteksi seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, perkembangan
perdagangan internasional begitu cepat, bahkan lebih cepat daripada ekonomi nasional dari
suatu negara. Namun disisi lain, proteksi perdagangan masih diterapkan oleh banyak negara
di dunia, bahkan oleh negara maju sekalipun.
Liberalisasi perdagangan yang tujuannya akan menghasilkan produk-produk yang
memilki keunggulan komparatif, namun pada praktiknya, keunggulan komparatif ini seakan
bergeser pada keunggulan kompetitif. Negara maju telah menjadikan WTO sebagai instrument
untuk membuat produk-produk hukum yang sangat sulit untuk dipenuhi Negara-negara
berkembang. Dengan demikian perdagangan yang berkeadilan dalam konsep perdagangan
bebas bagi Negara-negara anggota WTO jauh dari orientasi keadilan.
Esensi hukum dalam pradigma perdagangan bebas adalah hukum bersifat positivisinstrumentalis. Hukum didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi yang diperlukan bagi
efisiensi alokasi sumber daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan
pelaksanaan kontrak dan melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya..Di
sisi lain, hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan
mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Hukum
digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa. dan mengabaikan aspekaspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, Roderick. “The World Trade Organization”. Burlington: Ashgate Publishing
Company, 2007.
A.F. Elly Erawaty, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar,
dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2003.
( 314 )
Globalisasi dan Perdagangan Bebas
Bary Hufbauer, “International Trade Organization and Economies in Transiton: A
Glimpse of The Twenty-First Century”, Law and Policy in International Business,
Vol. 29, 1995.
B. M. Kuntjoro Jakti. Mata Kuliah Tertib Niaga, Program Ilmu Hukum. Jakarta: Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi. 1999.
_______________, “Peranan Hukum dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi:
Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, 4 Januari 1997.
George Soul, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka:Dari Aristoteles Hingga
Keynes, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Harian Kompas, Edisi 27 September 2013.
Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-Aspek Hukum
dan Non Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2006.
Ida Susanti, dkk (ed). Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas : Menelaah Kesiapan
Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003.
Ida Susanti dan Bayu Seto (Editor), Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah
Kesiapan Hukum Indonesia dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Percikan
Gagasan tentang Hukum IV, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Lili Rasyidi dan I. B. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju,
2003.
Manfred B. Slegar, Globalization : A Very Short Introduction.
Mingst, Karen A. Essentials of International Relations. New York & London: W. W.Norton
& Company, Inc., 1999.
Nursalam Sianipar, Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar
Bebas. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, 2001.
Paul H. Lindert dan Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, Jakarta: Erlangga,
1986.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979.
www.ermanhukum.com, Diakses pada tanggal 10 Februari 2014
www.institute-for­-global-Justice.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2014.
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
(315 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 316 )
Peran ICRC
PERAN ICRC TERHADAP PEMAJUAN DAN
PENGHORMATAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Sri Rahayu*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Muhammad Ashri*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Tri Fenny Widayanti*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Abstract: ICRC as an independent international organization in the field of
humanity has shown a variety of its role in promoting and enhancing respect
for human rights, both in condition of war, conflict, disaster as well as under
normal conditions. The involvement of ICRC in war or normal conditions
according to several parties from the Government of the Republic of Indonesia,
often exceed the authority that has mandated by the Geneva Conventions of
1949.
Abstrak: ICRC sebagai organisasi internasional yang independen di bidang
kemanusiaan, telah menunjukkan berbagai perannya dalam memajukan dan
meningkatkan penghormatan hak asasi manusia, baik dalam kondisi perang,
konflik, bencana, maupun dalam kondisi normal. Keterlibatan ICRC menurut
beberapa pihak dari Pemerintah Republik Indonesia, sebenarnya seringkali
melebihi kewenangan yang telah diamanatkan oleh Konvensi Jenewa 1949.
* Praktisi Hukum Internasional. Sarjana Hukum (S.H.) 2013 dari Bagian Hukum Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
* Guru Besar Hukum Perjanjian Internasional, Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Makassar. Sarjana Hukum (S.H.) 1988 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Magister Ilmu Hukum (M.H.) 1994 dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Doktor Ilmu Hukum (Dr.)
2008 dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
* Pengajar pada Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sarjana Hukum (S.H.) 2005 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Magister Ilmu Hukum (M.H.) 2008
dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.
(317 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
I. PENDAHULUAN
Penegakan Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disingkat HAM) merupakan suatu hal
yang mutlak untuk dilakukan. Maraknya kasus pelanggaran HAM hingga saat ini1, merupakan
bukti bahwa berbagai instrumen hukum penegakan HAM belum diimplementasikan secara
maksimal. Pelanggaran HAM yang tidak hanya terjadi di negara-negara konflik seperti,
Afghanistan, Irak, Myanmar, Sudan, Libya, dan lain-lain2. Bahkan juga terjadi di negaranegara damai seperti, Amerika Serikat, Inggris, Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan
lain-lain3, menjadi contoh bahwa kasus pelanggaran HAM bukanlah sesuatu hal yang dapat
disepelekan. Bahkan, kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan sebagai kasus yang
berlangsung terus menerus sepanjang masa (everlasting case).
Hukum internasional sebagai acuan dalam pelaksanaan ketertiban dunia hendaknya
memiliki peran yang sangat vital dalam mencegah maupun meredam pelanggaran HAM
yang kerap terjadi. Sebagai upaya untuk menekan itu, hukum internasional kemudian
merancang berbagai instrumen hukum yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM. Negara sebagai subjek hukum internasional utama4 yang memiliki
otoritas terbesar dalam melindungi terjaminnya HAM setiap warga negaranya, seringkali
lalai dalam melaksanakan kewajibannya.
Sebagai negara hukum5 yang telah meratifikasi berbagai instrumen hukum
internasional tentang HAM dan banyaknya peraturan perundang-undangan tentang HAM
yang telah dibuat, hendaknya mampu menekan Indonesia bahkan menghentikan praktikpraktik pelanggaran HAM yang kerap terjadi. Pemerintah Indonesia sebagai pemegang
otoritas tertinggi memiliki kewajiban yang sangat besar dalam mengusut, menghentikan, dan
mencegah berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Bahkan, pemerintah Indonesia
hendaknya mampu mengambil berbagai tindakan yang dianggap perlu sebagai upaya untuk
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Organisasi internasional sebagai salah satu subjek hukum internasional juga memiliki
kapasitas dalam pencegahan maupun penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Kehadiran
berbagai organisasi internasional tersebut merupakan suatu perkembangan positif dalam
hukum internasional itu sendiri6.
Bahkan, saat ini organisasi internasional memiliki peran yang cukup besar dalam
menentukan kebijakan vital secara internasional di berbagai bidang. Misalnya, United Nations
Security Council (UNSC) yang memiliki fungsi utama untuk memelihara perdamaian dan
keamanan intrenasional melalui dua cara, yaitu penyelesaian secara damai sengketa-sengketa
Amnesty International, Amnesty International Report 2012 The State of The World’s Human Rights,
United Kingdom, Amnesty International, 2012
2
United Nations High Commissioner for Refugee, Conflict Affected Fragile States, 2012, http://www.
unhcr.org/refworld/country,,STC,,HTI,,490591492,0.html diakses pada 2 Oktober 2012
3
bid.
4
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 17
5
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)
6
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Bagian 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 798
1
( 318 )
Peran ICRC
internasional yang dipandang mengancam perdamaian dan keamanan internasional serta
melakukan tindakan pemaksaan jika cara pertama dianggap tidak berhasil7.
Khusus mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai organisasi terbesar
di dunia,8 selain memiliki badan utama seperti United Nations General Assembly (UNGA),
United Nations Security Council (UNSC), Economic and Social Council, International Court
of Justice, Trusteeship Council, Secretariat, dan Repertory of Practice of United Nations
Organs9 juga memiliki lembaga-lembaga lain yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi
tersendiri sebagai upaya untuk mendukung kinerja PBB.
Lembaga yang berada di bawah naungan PBB seperti Office of High Commissioner for
Human Rights (OHCHR), United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO), Office of the United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR), dan
beberapa lembaga internasional lainnya seperti, International Committee of the Red Cross
(ICRC), Amnesty International, Human Rights Watch, Human Rights Action Center, Simon
Wiesenthel Center, National Association for the Advancement of Colored People (NAACP),
United State Department Bureau of Democracy, Human Rights and Labor.
Selain itu, juga terdapat beberapa lembaga regional lainnya seperti The Asian Human
Rights Commission (AHRC), African Commission on Human Rights and Peoples’ Rights,
European Commission Directorate for Employment, Social Affairs and Equal Opportunities,
Europian Union Ombudsman, Commission for Human Rights, Council of Europe, Office
of Democratic Institutions and Human Rights of The Organization for Security and CoOperation in Europe (OSCE)10, dan lain-lain yang merupakan beberapa lembaga internasional
yang mempunyai kewenangan sesuai tugas dan fungsinya untuk turut aktif dalam menjaga
ketertiban dunia, khususnya di bidang kemanusiaan.
Hampir keseluruhan organisasi internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan
terbentuk saat kondisi damai11 (pasca konflik12). Namun juga terdapat organisasi internasional
kemanusiaan lain yang pembentukannya didasarkan pada pengalaman saat konflik sedang
terjadi. Perang antara Perancis dan Italia melawan Austria pada tanggal 24 Juni 185913 akhirnya
melahirkan dua gagasan penting, yaitu membentuk organisasi kemanusiaan internasional
yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang
cedera di medan perang dan mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit
yang cedera di medan perang juga perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada
D.W. Bowett, Hukum Organisasi Internasional, diterjemahkan oleh: Bambang Iriana Djajaatmadja,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm 34
8
The Washington Post, International Organizations on the Web, http://www.washingtonpost.com/wpsrv/inatl/longterm/intorgs.htm diakses pada 29 Januari 2013
9
United Nations, Main Bodies, http://un.org/en/mainbodies/index.shtml diakses pada 29 Januari 2013
10
United For Human Rights, Human Rights Organizations: Intergovernmental and Governmental
Organizations,http://www.humanrights.com/voices-for-human-rights/human-rights-organizations/
governmental.html diakses pada 6 Oktober 2012
11
Human Rights Watch didirikan pada tahun 1978 dan Amnesty International didirikan pada tahun
1961. Kesemuanya didirikan saat Perang Dunia II telah berakhir.
12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, konflik adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan
13
PMI, Dunia Palang Merah, (Jakarta: PMI, 2009), hlm. 2
7
(319 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
waktu memberikan pertolongan pada saat perang14.
Kedua gagasan inilah yang kemudian menjadi alasan kuat dalam melatarbelakangi
terbentuknya ICRC. Pembentukan ICRC ini kemudian menjadi salah satu tonggak sejarah
bagi penghormatan HAM saat konflik. “Even wars have limits” kalimat inilah yang kemudian
menjadi dasar bagi terbentuknya Hukum Humaniter Internasional (HHI)15. Keempat Konvensi
Jenewa 1949 (KJ 1949) sebagai implementasi dari HHI mendapat apresiasi luar biasa dari
hampir seluruh negara di dunia. Sebanyak 194 negara16 telah menjadi bagian dari KJ 1949.
Tidak hanya itu, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa (PT I KJ 1977) dan
Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1977 (PT II KJ 1977) juga menjadi pelengkap KJ
1949. Sedangkan Protokol Tambahan III Konvensi Jenewa 2005 (PT III KJ 2005) berhasil
mengadopsi penggunaan sebuah lambang baru, yaitu kristal merah selain palang merah
dan bulan sabit merah17. Berbagai perjanjian internasional telah dibuat atas prakarsa ICRC
sebagai bentuk penghormatan HAM saat konflik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ICRC
memiliki peran yang vital dalam menjamin terlindunginya HAM seluruh pihak yang terlibat
saat konflik sedang berlangsung.
Namun, bagaimanakah peran ICRC saat konflik telah usai (kondisi damai)? Apakah
ICRC tetap berperan dalam menjamin penghormatan HAM? Lantas, bagaimanakah posisi
pemerintah suatu negara (dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia) dalam menjamin
HAM warga negaranya saat ICRC juga turut berperan dalam menjamin HAM?
II. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Dalam penyelesaian penelitian ini, Penulis memilih empat lokasi penelitian, yaitu:
a. Kantor Perwakilan Regional ICRC Jakarta;
b. Kantor Direktorat Jenderal Hukum Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia;
c. Perpustakaan Direktorat Jenderal Hukum Perjanjian Internasional Kementerian Luar
Negeri Republik Indonesia;
d. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu:
Universitas Sumatera Utara, Tinjauan Umum tentang ICRC, hlm. 19 http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/21986/3/Chapter%20II.pdf diakses pada 7 Oktober 2012
15
Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law (IHL) adalah aturanaturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalahmasalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata, baik internasional maupun
non-internasional. Demi alasan kemanusiaan, aturan-aturan tersebut membatasi hak pihak-pihak yang terlibat
konflik dalam hal pemilihan cara dans arana berperang dan melindungi orang-orang serta benda-benda yang
terkena, atau kemungkinan terkena dampak konflik.
16
ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/
CONVPRES?OpenView diakses pada 29 Januari 2013
17
ICRC, Kenali ICRC, (Jakarta: ICRC, 2006), hlm. 12
14
( 320 )
Peran ICRC
a. Data Primer atau data dasar yang diperoleh langsung dari pihak-pihak yang terkait
dalam penelitian ini. Data ini merupakan penjelasan langsung yang diperoleh oleh
beberapa responden, yaitu:
i. Kushartoyo BS, Pusat Dokumen ICRC Regional Jakarta
ii. Raudin Anwar, Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum Perjanjian Internasional/
Sesditjen HPI Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
iii. Shanti Damayanti, Staf Direktorat Perjanjian Internasional Politik dan Keawanan
Wilayah/PI Polkamwil Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
b. Data Sekunder atau data pendukung yang diperoleh dari berbagai literatur baik
berbagai bahan hukum, buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, dokumen, arsip, dan lainlain yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Wawancara dilakukan dalam bentuk Tanya jawab langsung dengan responden dengan
menggunakan metode bebas terpimpin untuk memperoleh data primer yang relevan
dengan penelitian ini.
b. Studi literatur (literature research) yang ditujukan untuk memperoleh data sekunder
dari berbagai bahan, dokumen, informasi, dan lain-lain yang kemudian akan dijadikan
acuan dalam menganalisis permasalahan yang ada.
4. Analisis Data
Berdasarkan data primer dan data sekunder yang telah diperoleh, Penulis kemudian
mengolah data tersebut dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data tersebut
kemudian dituliskan secara deskriptif untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terarah
dari hasil penelitian.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Landasan Hukum
Status hukum ICRC berdasarkan HHI adalah unik. ICRC tidak terkait dengan
pemerintah negara manapun dan bukan bagian dari PBB. ICRC bukan pula Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan juga bukan organisasi aktivis HAM.18
Di kebanyakan negara di mana ICRC bekerja, ICRC mengadakan perjanjian tingkat
markas besar dengan pihak berwenang. Perjanjian ini tunduk pada hukum internasional dan
memberi ICRC sejumlah hak istimewa dan kekebalan. Misalnya, kekebalan terhadap proses
hukum, yang melindunginya dari sidang administratif dan sidang pengadilan, serta tidak
dapat diganggu gugatnya gedung, arsip, dan dokumen-dokumen ICRC lainnya. Hak istimewa
dan kekebalan ICRC itu harus ada pada ICRC supaya ICRC dapat bekerja secara netral dan
mandiri. ICRC juga mengadakan perjanjian tingkat markas besar dengan negara Swiss yang
menjamin kemandirian dan kebebasan bertindak ICRC dari pemerintah Swiss.19
18
19
ICRC, Kunjungan Kepada Tahanan, (Jakarta: ICRC, 2008), hlm. 16
ICRC, Kenali ICRC, Loc.Cit
(321 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
a. ICRC sebagai international person
Terdapat beberapa doktrin hukum yang menyatakan bahwa ICRC telah
diakui memiliki “international personality” karena telah diakui sebagai
“international person”. Roland Portmann menyatakan bahwa:
It was not the ICRC’s effective influence in international relations that was
decisive, but rather that the relevant provisions of the Geneva Conventions
and the agreements concluded by the ICRC indicated that states must have
recognized the ICRC as an international person by implication.20
Selain itu, diakuinya ICRC sebagai salah satu subjek hukum internasional
karena hal tersebut dianggap relevan oleh doktrin hukum pada kasus ICTY
(International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia)21. Keikutsertaan
pegawai ICRC sebagai saksi (yang sebelumnya diajukan amicus curiae22 oleh
ICRC), keputusan penuntut umum yang menyatakan bahwa hak internasional
yang dimiliki ICRC memang ada (dalam hal memberikan kesaksian), terdapat
sebanyak 194 negara23 yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa, doktrin hukum
yang secara luas berlaku, merupakan beberapa alasan mengapa ICRC memiliki
“legal personality” pasca ICTY.
b. Kegiatan ICRC
Dalam situasi selain konflik bersenjata, ICRC mempunyai hak inisiatif
yang sudah diakui, sebagaimana diuraikan terutama dalam Statuta Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, yang memungkinkan organisasi ini
untuk menawarkan pelayanannya tanpa membuat penawaran tersebut menjadi
campur tangan urusan dalam negeri negara yang bersangkutan ataupun menjadi
pemberian status tertentu kepada pihak manapun.
Dalam menyikapi konsekuensi kemanusiaan dari penggunaan kekuatan
dalam situasi non-konflik bersenjata, ICRC tidak mengacu pada keseluruhan
spektrum instrumen hukum HAM internasional. ICRC hanya mengacu pada
Roland Portmann, Legal Personality in International Law, (New York, Cambridge University
Press, 2010), hlm. 112-114
21
ICTY adalah singkatan dari The International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia. ICTY
tersebut adalah pengadilan PBB yang mengadili berbagai tindakan kejahatan yang terjadi di dalam perang Bekas
Yugoslavia tahun 1990-an. Pengadilan ini didirikan tahun 1993 lalu untuk mengadili kejahatan perang seperti
pembunuhan secara massal, penyiksaaan, dll yang terjadi di Kroasia, Bosnia Herzegovina berdasarkan pasal ke-7
dari Piagam PBB. Selain pengadilan terhadap penjahat perang yang didirikan di Tokyo dan Nuremberg setelah
Perang Dunia kedua, ICTY merupakan satu-satunya pengadilan terhadap penjahat perang. ICTY terdiri atas 3
buah badan meliputi ‘Chambers’ atau majelis, ‘Office of the Prosecutor’ atau kantor kejaksaan, dan ‘Registry’
atau kantor pendaftaran, serta ‘Chambers’ memiliki 3 buah pengadilan. Di pengadilan masing-masing, ada 3
orang hakim yang tetap dan 6 orang yang tidak tetap.
22
Menurut Black’s Law Dictionary, Amicus curiae, a Latin term which literally means “friend of the
court,” is defined in Black’s Law Dictionary as “[a] person who is not a party to a lawsuit but who petitions
the court or is requested by the court to file a brief in the action because that person has a strong interest in the
subject matter.
23
ICRC, International Humanitarian Law, Loc.Cit.
20
( 322 )
Peran ICRC
aturan-aturan dasar yang melindungi manusia dalam situasi kekerasan. Aturanaturan dasar ini merupakan bagian kecil tetapi sentral dan esensial dari hukum
HAM internasional.24
Dalam konflik bersenjata non-internasional, ICRC juga mempunyai hak
inisiatif yang telah diakui oleh masyarakat internasional sebagaimana termaktub
dalam Pasal 3 ketentuan yang sama pada Konvensi-konvensi Jenewa. ICRC pada
khususnya boleh menawarkan pelayanannya kepada pihak-pihak yang berperang
dalam rangka mengunjungi orang-orang yang dicabut kebebasannya sehubungan
dengan konflik bersenjata, dengan tujuan untuk memverifikasi kondisi penahanan
mereka dan memulihkan kontak antara mereka dan keluarga. Pasal 3 ketentuan
yang sama tersebut menjelaskan bahwa hal ini “tidak mempengaruhi status
hukum pihak-pihak peserta konflik.”25
Dalam konflik internasional, negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa
1949 dan Protokol-protokol Tambahan 1977 terikat untuk menerima kegiatan
kemanusiaan ICRC sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 126 Konvensi Jenewa
III dan Pasal 143 Konvensi Jenewa IV.
Hak inisiatif ICRC juga diakui dalam Pasal 9-10 dan Pasal 81 Additional
Protocol I yang menetapkan bahwa negara-negara peserta konflik harus memberi
ICRC semua sarana yang ada dalam kewenangan mereka agar ICRC dapat
melaksanakan fungsi-fungsi kemanusiaan yang ditugaskan kepadanya oleh
Konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan tersebut dengan tujuan untuk
memastikan perlindungan dan bantuan bagi korban konflik.26
2. ICRC dan Perhimpunan Nasional
Di negara-negara yang dilanda konflik, PN dan ICRC bekerja sama untuk mengurangi
penderitaan manusia dengan meningkatkan operasi bantuan bersama bagi para korban.
Di mana terjadi konflik bersenjata atau ketegangan dalam negeri, ICRC mengkoordinasi
semua masukan dari berbagai komponen Gerakan serta mendukung PN setempat melalui
berbagai tindakan peningkatan kemampuan, terutama di bidang manajemen operasional dan
pengembangan sumber daya manusia.
Karena PN dan ICRC berbagi tanggung jawab untuk memberikan bantuan kepada
para korban konflik, mereka membutuhkan satu sama lain untuk menyelesaikan misi bersama
ini. ICRC telah mengembangkan keahlian yang cukup besar dalam pengembangan HHI dan
prinsip-prinsip dasar gerakan serta telah mempunyai pengalaman aksi yang kokoh dalam
konflik, termasuk melakukan pencarian, yang merupakan tanggung jawab utama sebuah
PN. Pengetahuan khusus ini sangat berharga bagi PN, sebab mereka dapat mengandalkan
dukungan ICRC untuk meningkatkan kinerja mereka di bidang-bidang tersebut27.
24
25
26
27
ICRC, Kekerasan dan Penggunaan Kekuatan, (Jakarta: ICRC, 2012), hlm 52
Ibid.
Ibid., hlm. 53
ICRC, Kenali ICRC, Op.Cit., hlm. 15
(323 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Sebaliknya, jaringan luas dan pengetahuan mendalam mengenai kondisi lokal yang
dimiliki oleh PN merupakan aset yang amat penting bagi ICRC dalam merencanakan dan
melaksanakan operasi-operasinya.
Bidang-bidang utama kerja sama antara ICRC dan PN mencakup:
1. Penyediaan keahlian teknis dan bantuan material serta keuangan kepada PN untuk
membantu mereka mengembangkan keterampilan, struktur, dan hubungan kerja
sama mereka sehingga mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara
efektif dan efisien.
2. Pemberian saran dan dukungan kepada PN mengenai kepatuhan terhadap syaratsyarat bagi pengakuan sebagai sebuah Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit
Merah, mengenai pengesahan dan revisi Anggaran Dasar mereka dan mengenai
masalah-masalah hukum lainnya, terutama yang terkait dengan implementasi HHI
atau kepatuhanterhadap hukum tersebut.
3. Peningkatan pertukaran informasi operasional dan peningkatan kordinasi kegiatan
di antara komponen-komponen Gerakan dalam rangka memanfaatkan dengan
sebaik-baiknya sumber daya yang tersedia dan membantu memperkuat tindakan
saling mendukung di antara mereka demi para korban konflik bersenjata dan situasi
kekerasan dalam negeri dan demi penerima bantuan, sesuai dengan Perjanjian Seville.
Kegiatan kerja sama dilaksanakan dengan cara berkonsultasi dan berkordinasi
secara erat dengan FI yang memegang peran sebagai pemimpin dalam membantu PN
melaksanakan keseluruhan upaya pengembangan diri mereka28. Tujuan kerja sama ICRC
adalah meningkatkan kemampuan PN untuk memenuhi tanggung jawab mereka sebagai
anggota dari Gerakan dalam memberikan pelayanan kemanusiaan di negara masing-masing.
ICRC terutama membantu dan mendukung PN dalam kegiatan mereka untuk:
1. Memberikan bantuan kepada para korban konflik dan ketegangan dalam negeri
(kesiapsiagaan dan penanggulangan).
2. Mempromosikan HHI dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip
dasar, cita-cita, dan kegiatankegiatan Gerakan.
3. Memulihkan hubungan antara anggota keluarga yang tercerai berai sebagai bagian
dari jaringan kerja pencarian Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di seluruh dunia29
Secara bekerja sama dengan PN setempat, ICRC mengembangkan program pertolongan
pertama pra-rumah sakit serta program evakuasi dan transportasi korban luka. ICRC juga
meningkatkan kapasitas Perhimpunan Nasional untuk memberikan tanggapan (respons)
terhadap situasi darurat, misalnya dengan menyelenggarakan kursus pertolongan pertama
bagi para relawan yang isinya ialah teknik penyelenggaraan dan teknik penyelamatan. ICRC
juga dapat memberikan peralatan komunikasi dan ambulans kepada PN untuk membantu
mereka mempersiapkan diri menghadapi keadaan darurat.
28
29
Ibid., hlm. 16
ICRC, Kenali ICRC, Loc.Cit.
( 324 )
Peran ICRC
3. ICRC di Indonesia
ICRC di Indonesia pertama kali pada masa pendudukan Jepang terjadi pada tahun
1942. Selanjutnya dibentuklah berbagai kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia
dengan ICRC sebagai salah satu bentuk upaya melegalkan seluruh kegiatan ICRC di Indonesia.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut antara lain:
a. Memorandum of Understanding (MoU)30 tentang kunjungan tahanan politik/keamanan
yang ditandatangani pada 30 November 1977.
b. Headquarter Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the
International Committee of the Red Cross on the Establishment of the ICRC Regional
Delegation in Jakarta yang ditandatangani pada 19 Oktober 1987.
c. Memorandum of Understanding (MoU) untuk mengatasi masalah kesehatan dan
kesehatan lingkungan di berbagai lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang
ditandatangani pada tahun 2011.
ICRC juga pada tahun-tahun awal keberadaannya di Indonesia, telah membuka
beberapa kantor sub-delegasi di berbagai daerah, seperti:
a. Tahun 1989, membuka kantor di Jayapura.
b. Tahun 1998, ICRC meninggalkan Papua dan membuka kantor di Aceh di bawah
payung Palang Merah Indonesia (PMI)
c. Tahun 2000, kantor ICRC dibuka di Ternate dan Ambon.
d. Tahun 2001, kantor ICRC dibuka kembali di Papua sementara kantor di Ambon
ditutup.
e. Tahun 2002, kantor di Ternate ditutup.
f. Tahun 2003, kantor di Aceh ibuka kembali setelah pertemuan antara Presiden
Megawati Soekarno Putri dengan Presiden ICRC Jacob Kellenberg.
g. Tahun 2009, pemerintah Indonesia menyampaikan keinginannya kepada ICRC untuk
merundingkan kembali kesepakatannya 1977 dan 1987 dan meminta agar ICRC
menutup sub-delegasinya di Aceh dan Papua. ICRC pun kemudian menutup kantor
sub-delegasinya di Aceh dan Papua.
Adapun mandat ICRC di Indonesia berdasarkan Article III Headquarter Agreement
tahun 1987, yaitu:
a. Strengthen and develop relations between the ICRC and the Governments within the
region.
b. To promote the Ingternational Humanitarian Law and the principles of the Red Cross
within the region.
c. To strengthen the ties between the ICRC and the National Red Cross and Red Crescent
Societies of the region.
d. To give support and assistance to the National Red Cross and Red Crescent Societies
where and whenever needed.
30
Nota Kesepahaman
(325 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
4. Kondisi Penghormatan HAM di Indonesia
Landasan Hukum
a. Lingkup Internasional
i. Bill of Human Rights yang terdiri atas31:
• Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mulai berlaku pada
10 Desember 194832
• Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sosial dan Politik yang mulai berlaku
pada 16 Desember 197633 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 200534
• Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang
mulai berlaku pada 3 Januari 197635 dan telah diratifikasi melalui UndangUndang Nomor 11 Tahun 200536
ii. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, yang mulai berlaku pada
26 Juni 198737 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun
199838
iii. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang
Luka dan Sakit di Medan Perang Pertempuran Darat 1949, yang mulai berlaku
pada 21 Oktober 195039 dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 59
Tahun 195840
iv. Konvensi Jenewa I tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang
Luka, Sakit, dan Korban Karam 1949, yang mulai berlaku pada 21 Oktober 195041
dan telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 195842
v. Konvensi Jenewa III tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang 1949, yang
mulai berlaku pada 21 Oktober 195043 dan telah diratifikasi melalui Undang31
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Human Rights Instruments,
2012, http://www2.ohchr.org/english/law/ diakses pada 3 Desember 2012
32
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan di
Indonesia, (Jakarta, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012), hlm. 5
33
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Loc.Cit.
34
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, dkk, Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan
di Indonesia, Op.Cit., hlm. 13
35
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Loc.Cit.
36
Rhona K. Smith, Hukum HAM, (Yogyakarta: Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
(PUSHAM UII), 2008), hlm. 300
37
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights, Loc.Cit.
38
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, dkk, Op.Cit., hlm. 6
39
ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/
INTRO/365OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
40
Fadillah Agus dalam presentasi training Hukum HAM untuk dosen pengajar HAM di Fakultas
Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII dan Norwegian Center
for Human Rights (NCHR) DI Yogyakarta, 22-24 September 2005, http://pushamuii.ac.id/download/ham/
hukum%20humaniter.pdf diakses pada 24 Januari 2013
41
ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/
INTRO/370OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
42
Fadillah agus, Loc.Cit.
43
ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/
( 326 )
Peran ICRC
Undang Nomor 59 Tahun 195844
vi. Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan Penduduk Sipil Pada Masa Perang
1949, yang mulai berlaku pada 21 Oktober 195045 dan telah diratifikasi melalui
Undang-Undang Nomor 59 Tahun 195846
vii. Statuta ICRC.
viii. Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
b. Lingkup Nasional
i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ii. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
iii. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
iv. Perjanjian Markas Besar antara Pemerintah Republik Indonesia dan ICRC tentang
Pendirian kantor delegasi ICRC Regional di Jakarta yang ditandatangani pada 19
Oktober 1987.
Respon Pemerintah Terhadap Isu Hak Asasi Manusia
a. Konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Terkait peristiwa GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah,
khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk
perempuan dan anak-anak, TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu
ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan.
Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu
persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan
bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali
merusak proses dialog.
Pada 19 Agustus 2002, Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan
kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir hingga akhir
Ramadhan, yaitu tanggal 7 Desember 2002 untuk menerima tawaran otonomi khusus
sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut atau harus menghadapi kekuatan militer
Indonesia. Tidak lama sebelum berakhirnya Agustus 2002, pemerintah memperlunak
sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. “Kami
mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September,
mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi
penyelesaian secara damai,” demikian pengumuman tersebut.
Berbagai perundingan telah diadakan sebagai bentuk respon pemerintah atas
konflik yang terjadi di Aceh. Undang-undang otonomi khusus pun juga telah dibuat
sebagai jalan keluar atas maraknya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM.
INTRO/375OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
44
Fadillah agus, Loc.Cit.
45
ICRC, International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/HHI.nsf/
INTRO/380OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
46
Fadillah agus, Loc.Cit.
( 327 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog
semua unsur masyarakat Aceh. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk
rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang
mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata
dari politik.
Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan
dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali
tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak
mempermainkan itikad baik pemerintah.
Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang
“bertingkah”, pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral
yang tinggi. Kalau sekarang pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan
atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu pemerintah
bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba
lagi jalan damai.
Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi tersebut mesti dipersiapkan
secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam
pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada
pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa sematamata diselesaikan secara militer.
Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi
pemerintah jika korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus
dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi
terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh.
Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi
itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari “kerusakan besar-besaran”.
Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh,
dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai
“perang kemanusiaan” itu.
b. Penyanderaan Papua
Terkait dengan peristiwa penyanderaan di Mapnduma pada 8 Januari 1996,
Els-HAM Papua dalam laporannya -mengacu pada laporan tiga gereja di Timikamengatakan bahwa ABRI kembali melakukan serangkaian tindak kekerasan yang
melanggar HAM antara Januari-Mei 1996 di Bela, Alama, Jila, dan Mapnduma,
melalui sebuah operasi secara diam-diam (silent operation) ketika saat yang sama
pihak gereja, tokoh masyarakat, dan ICRC sedang dalam proses negosiasi dengan
pihak OPM untuk pembebasan sandera secara damai.
“Ada 7 perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3
tahun dan 2 diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan
( 328 )
Peran ICRC
granat yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati
seketika, 2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4
orang dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi.”
Pasukan ABRI menduduki daerah perkampungan disekitar pegunungan tengah
itu dan memusnahkan kebun dan ternak peliharaan masyarakat, sehingga mereka
mengungsi ke hutan-hutan, dan akibatnya, sekitar 213 orang masyarakat meninggal
dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit.
Tindakan sepihak ABRI telah menggagalkan upaya negosiasi, dan kemudian
yang terjadi adalah “operasi militer pembebasan sandera”. Operasi pembebasan
sandera ini berlangsung dari tanggal 9-13 Mei 1996 di desa Ngeselema, yang
melibatkan ABRI, 16 anggota pasukan elit Angkatan Udara Inggris (SAS). Akibat
operasi ini, 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2 warga
Indonesia yang disandera dibunuh, dan rumah serta harta benda masyarakat di desa
Ngeselema, Uarem, Nolid, dan Yenggelo dibumihanguskan.
Berdasarkan pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Statuta ICRC dan Pasal 5 ayat (2) dan ayat
(3) Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, peran ICRC, yaitu:
1. Memelihara dan menyebarluaskan prinsip-prinsip dasar Gerakan.
2. Melaksanakan pengakuan terhadap setiap PN yang baru didirikan atau yang dibentuk
kembali, yang telah memenuhi syarat untuk diakui dan memberitakan kepada PN di
seluruh dunia mengenai pengakuan tersebut.
3. Melaksanakan tugas yang dibebankan oleh KJ 1949, bekerja untuk melaksanakan
HHI yang berlaku dalam pertikaian bersenjata dan memperhatikan keluhan-keluhan
berdasarkan dugaan adanya pelanggaran terhadap hukum tersebut.
4. Setiap saat berupaya sebagai lembaga netral yang melaksanakan kegiatan kemanusiaan
terutama pada saat pertikaian bersenjata maupun kerusuhan dalam negeri, menjamin
perlindungan dan terhadap korban-korban militer dan penduduk sipil dari konflik
tersebut dan akibat langsung dari padanya.
5. Menjamin bekerjanya Biro Pusat Pencarian47 yang ditetapkan dalam KJ 1949.
6. Membantu melatih petugas kesehatan menyediakan alat-alat kesehatan, bekerja sama
dengan PN, instansi kesehatan militer dan sipil serta pihak lainnya untuk persiapan
bila terjadi konflik bersenjata.
7. Menyebarluaskan pengertian dan penyebaran HHI yang berlaku pada saat terjadi
konflik bersenjata dan mengadakan kesiapan bagi perkembangannya.
8. Menjalankan mandat yang dipercayakan kepadanya oleh konferensi internasional.
9. ICRC dapat mengambil prakarsa kegiatan kemanusiaan yang sesuai dengan
perannya sebagai suatu lembaga penengah netral yang khusus dan independen serta
mempertimbangkan setiap pernyataan yang membutuhkan penelitian oleh lembaga48
47
48
Central Tracing Agency (CTA)
Universitas Sumatera Utara, Op.Cit., hlm.33
(329 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
4. Peran ICRC dalam Kondisi Konflik
Sejak Konvensi Jenewa I 1864, ICRC bekerja meningkatkan perlindungan bagi korban
perang dengan cara mendorong negara-negara untuk menyusun dan mengadopsi standarstandar hukum yang baru. Para ahli hukum ICRC menyelenggarakan dan berpartisipasi
dalam berbagai rapat dan konferensi mengenai permasalahan kemanusiaan.
Jika melihat pelanggaran aturan perang, ICRC akan mengadakan pendekatan rahasia
kepada pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Jika pelanggarannya serius, berulang,
dan dipastikan akan terjadi lagi, dan jika pendekatan rahasianya itu gagal, ICRC berhak
menyatakan pendirian di depan umum dengan mengecam kegagalan untuk menghormati
HHI tersebut, asalkan publisitas semacam itu oleh ICRC dianggap perlu demi kepentingan
orang-orang yang terkena atau terancam oleh pelanggraan-pelanggaran tersebut. Langkah
semacam itu bersifat pengecualian.
Bukanlah tugas ICRC untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas pelanggaran
HHI. Setiap negara peserta KJ 1949 wajib memasukkan ke dalam hukum nasionalnya
ketentuan mengenai penindakan terhadap pelanggaran HHI, termasuk mengenai penuntutan
dan ekstradisi atas penjahat perang.
ICRC aktif mengupayakan agar senjata yang digunakan maupun senjata yang
masih dalam pengembangan sesuai dengan ketentuan HHI. Dua hal mengenai persenjataan
menjadi kepedulian kemanusiaan: (1) apakah sebuah senjata tertentu bersifat membabi buta
sehingga sangat mungkin menimbulkan kematian dan luka-luka di kalangan sipil? (2) apakah
senjata ini menimbulkan penderitaan yang lebih besar daripada yang diperlukan bagi tujuan
militer tertentu? Kedua hal ini merupakan pokok dari kampanye pelarangan ranjau darat
yang berpuncak dengan diadopsinya Konvensi 1997 tentang Pelarangan atas Penggunaan,
Penimbunan, Pembuatan, dan Pemindahan Ranjau Darat Antipersonil dan Tentang
Penghancurannya (Konvensi Ottawa).
Pada tahun 2000, usai konflik Kosovo, ICRC mengupayakan perjanjian internasional
baru tentang bahan peledak lain sisa perang. Upaya ini didukung oleh banyak LSM dan
pemerintah. Sesuai perundingan antara negara-negara peserta Konvensi 1980 tentang Senjata
Konvensional Tertentu, dibuatlah perjanjian internasional baru untuk memperkecil bahaya
dari bahan peledak sisa perang. ICRC juga prihatin dengan senjata-senjata terbaru yang
sedang dikembangkan. Pada dasarwarsa 1990-an dilakukan kampanye untuk mewujudkan
pelarangan senjata laser yang membutakan. Tujuan tersebut tercapai pada tahun 1995.
ICRC tahu bahwa kemajuan semacam itu, yang sebenarnya dimaksudkan demi manfaat
kemanusiaan, bisa dipakai untuk membuat senjata biologis dan kimiawi yang lebih efektif.
Oleh karena itu, ICRC pada tahun 2002 secara terbuka mengingatkan kalangan pemerintah,
institusi militer, dan ilmuwan tentang kewajiban hukum dan kewajiban moral mereka untuk
mencegah terjadinya peracunan dan penyebaran penyakit menular secara sengaja sebagai
metode perang.
Ada bukti kuat bahwa tersebar luasnya berbagai senjata militer ukuran kecil
( 330 )
Peran ICRC
berdampak buruk pada penghormatan HHI dan pemberian bantuan kepada korban perang.
ICRC berpartisipasi dalam diskusi-diskusi internasional tentang masalah tersebut dengan
menjelaskan besarnya dampak negatif dari bebasnya peredaran senjata dan amunisi terhadap
penduduk sipil. ICRC mendorong pemerintah-pemerintah untuk memperhitungkan, ketika
membuat keputusan tentang pengiriman senjata, bagaimana kemungkinannya pihak penerima
akan menghormati HHI.
Dalam kaitannya untuk melindungi manusia dalam situasi konflik atau kekerasan
bersenjata, misi ICRC ialah untuk memperoleh penghormatan sepenuhnya terhadap isi dan
jiwa HHI. ICRC berupaya untuk:
1. Memperkecil bahaya yang mengancam orang-orang dalam situasi semacam itu.
2. Mencegah dan menghentikan perlakuan semena-mena terhadap mereka.
3. Mengupayakan agar hak-hak mereka diperhatikan dan suara mereka didengar.
4. Memberi mereka bantuan.
ICRC melakukan hal ini dengan cara terus berada di dekat para korban konflik dan
kekerasan maupun dengan cara menjalin dialog secara tertutup dengan pihak-pihak yang
terlibat, baik negara maupun non-negara.
Langkah formal pertama yang diambil oleh ICRC ketika suatu konflik pecah ialah
mengingatkan para pihak berwenang akan tanggung jawab dan kewajiban mereka terhadap
penduduk sipil, tawanan, dan prajurit yang terluka dan yang sakit, dengan mengutamakan
penghormatan terhadap integritas fisik dan martabat mereka. Setelah melaksanakan surveisurvei secara independen, ICRC selanjutnya mengajukan rekomendasi kepada para pihak
berwenang untuk mengambil tindakan nyata –yang bersifat preventif maupun korektif- untuk
memperbaiki situasi penduduk yang terkena dampak konflik itu.
Pada saat yang sama, ICRC mengambil tindakan atas prakarsanya sendiri untuk
menanggapi kebutuhan-kebutuan yang paling mendesak, terutama dengan cara:
1. Memberikan makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
2. Mengevakuasi dan/atau memindahkan orang-orang yang berada dalam bahaya.
3. Memulihkan dan memelihara hubungan antara anggota keluarga yang terpisah dan
mencari orang hilang.
Menyangkut tempat-tempat penahanan, ICRC juga melaksanakan sejumlah program
berjangka panjang dan terstruktur untuk memberikan bantuan teknis dan bantuan material
kepada pihak berwenang. Perlindungan adalah bagian utama dari kegiatan ICRC dan
menjadi bagian inti dari mandat ICRC maupun dari HHI. ICRC hadir di wilayah-wilayah
yang penduduk sipilnya berada dalam bahaya. ICRC menjalin dialog dengan semua pihak
pembawa senjata, baik militer, kelompok pemberontak, kepolisian, pasukan paramiliter,
maupun kelompok lain yang ikut serta dalam permusuhan.
Orang yang mengungsi di dalam wilayah negaranya akibat konflik bersenjata masuk
dalam kategori penduduk sipil yang terkena dampak konflik. Mereka berhak dilindungi oleh
HHI dan berhak menerima bantuan ICRC. Karena sangat sulitnya situasi yang dihadapi oleh
( 331)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
pengungsi internal, persentasi mereka sebagai penerima bantuan ICRC cukup besar. Jika
pihak berwenang nasional tidak mampu membantu mereka, ICRC turun tangan menyediakan
kebutuhan paling mendesak yang mereka hadapi. Ketika membantu pengungsi internal,
ICRC menyadari bahwa masyarakat yang menampung pengungsi ini sendiri mungkin sudah
terkuras sumber dayanya sehingga tak mampu lagi menerima pengungsi baru.
Dengan demikian, masyarakat penampung pengungsi itu sudah menjadi rentan, padahal
orang-orang yang belum mengungsi, yaitu yang terpaksa masih tinggal di tempat asalnya, juga
menghadapi kesulitan besar. Berdasarkan gambaran tersebutlah ICRC menentukan penerima
bantuannya. Faktor yang menentukan adalah kerentanan, bukan berasal dari kelompok mana
mereka berasal.
ICRC juga menyediakan pelayanan Berita Palang Merah49 untuk membantu pengungsi
eksternal berhubungan kembali dengan anggota keluarga yang terpisah dari mereka sebagai
akibat konflik. ICRC yakin bahwa seringkali penyebab utama pengungsian adalah pelanggaran
HHI. Karena itu, disamping kegiatannya membantu pengungsi internal dan eksternal, ICRC
juga berupaya menyebarluaskan HHI dan meningkatkan penghormatan terhadap HHI untuk
mencegah terjadinya pengungsian.
ICRC membantu perempuan korban konflik sebagai bagian dari mandatnya untuk
melindungi dan membantu semua korban konflik. Namun, karena perempuan mempunyai
kebutuhan yang spesifik menyangkut perlindungan, kesehatan, dan bantuan, ICRC berupaya
agar kebutuhan mereka ditanggapi secara memadai dalam semua kegiatannya. Pada
khususnya, ICRC menitikberatkan perlindungan yang harus diberikan kepada perempuan
dan penyebarluasan kesadaran kepada para pembawa senjata bahwa kekerasan seksual dalam
segala bentuknya dilarang oleh HHI sehingga perlu dicegah secara sungguh-sungguh.
Meskipun ICRC bertindak secara tidak memihak dalam membantu korban perang
dan korban situasi kekerasan dalam negeri, kebutuhan-kebutuhan seorang anak jelas berbeda
secara mendasar dari kebutuhan-kebutuhan perempuan, lelaki, atau orang lanjut usia. Anak
sering menjadi saksi mata tanpa daya atas kekejaman yang dilakukan terhadap orang tua atau
anggota keluarga mereka lainnya.
ICRC mendaftar anak-anak yang terpisah dari keluarga akibat konflik bersenjata dan
mencarikan kerabat terdekat mereka supaya hubungan mereka dengan keluarga pulih kembali.
Bilamana anak yang bersangkutan masih terlalu kecil atau masih mengalami trauma sehingga
tidak mampu memberikan informasi rinci mengenai identitasnya, ICRC akan memotretnya
dan menyebarluaskan potret ini atau memajangnya di tempat-tempat umum agar kerabatnya
ada yang mengenalinya. ICRC memberi anak-anak, beserta orang-orang sipil lainnya, bantuan
makanan dan bantuan materi lain, baik dalam keadaan darurat maupun dalam jangka panjang.
ICRC juga meningkatkan akses ke air yang aman dan perawatan kesehatan bagi mereka.
Konvensi Jenewa 1949 dan kedua Protokol tambahannya sangat mementingkan
upaya perlindungan anak, baik melalui ketentuan-ketentuan yang, melindungi penduduk
sipil secara keseluruhan maupun melalui ketentuan-ketentuan yang berfokus pada anak-anak.
49
Red Cross Media (RCM)
( 332 )
Peran ICRC
ICRC terlibat dalam merundingkan perjanjian-perjanjian internasional lain menyangkut
perlindungan anak, terutama Konvensi 1989 tentang Hak-hak Anak Beserta Protokol tahun
2000 tentang keterlibatan anak dalam konflik bersenjata dan Statuta Roma 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional. Pasal 8 Statuta Roma menetapkan bahwa merekrut atau
menggunakan anak berusia di bawah 15 tahun untuk ikut serta secara aktif dalam permusuhan
adalah kejahatan perang.
Dalam konflik bersenjata internasional, Konvensi Jenewa mengakui hak ICRC untuk
mengunjungi tawanan perang dan internir sipil. Mencegah ICRC melaksanakan misi ini
adalah pelanggaran HHI. Dalam konflik bersenjata non-internasional dan situasi kekerasan
dalam negeri, KJ 1949 (pasal 3) dan Anggaran Dasar Gerakan memberi ICRC wewenang
untuk menawarkan pelayanan kunjungan tahanan. Banyak pemerintah mengizinkan ICRC
melakukan hal tersebut.
ICRC berupaya untuk:
1. Mencegah atau mengakhiri kasus orang hilang dan eksekusi sumir, penyiksaan, dan
perlakuan buruk.
2. Memulihkan kontak antara tahanan dan keluarganya.
3. Memperbaiki kondisi penahanan sesuia dengan hukum yang berlaku.
ICRC melakukan hal itu dengan mengunjungi tempat penahanan. Berdasarkan
temuannya dari kunjungannya ke tempat penahanan, ICRC melakukan pendekatan
konfidensial kepada pihak yang berwenang dan, bilamana pelu, memberikan bantuan materi
atau medis kepada para tahanan.
Selama kunjungan, anggota delegasi ICRC berbicara langsung dengan setiap tahanan.
Anggota delegasi ICRC mencatat data mereka supaya kasus mereka dapat terus ditindaklanjuti
hingga saat pembebasan mereka. Para tahanan menceritakan kepada anggota delegasi ICRC
masalah-masaaah kemanusiaan yang mereka hadapi.
ICRC tidak mempermasalahkan alasan penangkapan atau penahanan mereka, tetapi
ICRC berusaha memperoleh jaminan hukum yang menjadi hak mereka sesuai HHI. Sebelum
mulai melakukan kunjungan ke tempat penahanan, ICRC terlebih dahulu menyerahkan
kepada pihak yang berwenang sejumlah syarat standar. Anggota delegasi ICRC harus
diizinkan untuk:
1. Menemui semua tahanan yang termasuk dalam mandat ICRC dan mengakses semua
tempat di mana mereka ditahan.
2. Mewawancarai tahanan yang dipilihnya, tanpa kehadiran saksi.
3. Membuat daftar tahanan yang teramsuk dalam mandat ICRC (selama kunjungan) atau
memperoleh daftar semacam itu dari pihak berwenang penahanan yang kemudian
diverifikasinya dan, bilamana perlu, dilengkapi.
4. Mengulangi kunjungan sesering yang mereka anggap perlu kepada tahanan yang
mereka pilih.
5. Memulihkan hubungan keluarga.
(333 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
6. Memberikan bantuan materi dan medis yang mendesak sesuai yang dibutuhkan.
Biro Pusat Pencarian ICRC bekerja memulihkan hubungan keluarga dalam semua
situasi konflik bersenjata atau kekerasan dalam negeri. Setiap tahun dibuka ratusan ribu kasus
baru mengenai orang yang dicari oleh keluarganya, baik itu pengungsi internal, pengungsi
eksternal, tahanan, ataupun orang hilang. Bilamana orang yang dicari ditemukan, dia dapat
mengirim dan menerima Berita Palang Merah dan atau dihubungkan dengan keluarganya,
berkat adanya jaringan global yang terdiri dari 186 PN dan didukung oleh ICRC.
Dalam konflik bersenjata internasional, Biro Pusat Pencarian tersebut memenuhi
tugasnya berdasarkan HHI untuk mengumpulkan, memproses, dan meneruskan informasi
tentang orang-orang yang dilindungi, terutama tawanan perang dan internir sipil. Bagi
tahanan dan keluarganya, memperoleh berita dari satu sama lain adalah sangat penting. ICRC
memberi tawanan perang, internir sipil, tahanan keamanan, dan kadang-kadang juga tahanan
hukum umum kesempatan berkomunikasi dengan keluarga.
Saat perang usai, banyak keluarga terus dihantui oleh ketidakpastian tentang nasib
anggotanya yang hilang. ICRC membantu dengan mengumpulkan informasi tentang orang
hilang atau dengan membangun berbagai mekanisme, bersama dengan pihak berwenang, yang
bertujuan untuk mengklarifikasi nasib atau keberadaan orang yang hilang dan memberikan
informasi kepada keluarganya.
Memelihara kesatuan keluarga adalah hak universal yang dijamin oleh hukum. ICRC
berupaya mempersatukan kembali anggota keluarga yang terpisah akibat konflik, dengan cara
menemukan keberadaannya dan menghubungkannya kembali dengan keluarga. Perhatian
khusus diberikan kepada anak yang terpisah dari orangtua dan kepada orang lanjut usia.
Kadang-kadang, dokumen perjalanan yang disediakan oleh ICRC menjadi satusatunya sarana bagi orang papa50 yang tidak mempunyai surat identitas resmi untuk dapat
bergabung kembali dengan keluarganya yang telah menetap di negara ketiga atau untuk dapat
kembali ke negara asalnya. Dengan semakin banyaknya pengungsi dan pencari suaka, ICRC
semakin sering mengeluarkan dokumen perjalanan bagi mereka yang telah memperoleh izin
untuk tinggal di sebuah negara penampung.
Tujuan utama bantuan ICRC ialah untuk melindungi kehidupan dan kesehatan para
korban konflik, meringankan beban kesulitan mereka, dan memastikan bahwa berbagai
konsekuensi dari konflik yaitu penyakit, luka-luka, kelaparan, atau kerentanan terhadap
unsur-unsur tersebut tidak membahayakan masa depan mereka. Walaupun bantuan darurat
menyelamatkan kehidupan dan mengurangi dampak terburuk dari konflik, ICRC selalu
berusaha untuk tetap terarah pada tujuan utamanya, yaitu memulihkan kemampuan orang
untuk mencukupi kebutuhannya sendiri.
Dalam konflik tertentu, berbagai taktik yang tidak sah mungkin digunakan oleh
pihak yang bertikai, misalnya memblokade penyaluran makanan dan bahan-bahan pokok
lain, menghentikan sistem peredaran air, dan dengan sengaja merusak tanaman dan prasarana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, papa adalah [1] miskin; sengsara ; [2] terbelenggu oleh
indra dan tidak lagi ingat akan hakikatnya sebagai manusia; berdosa.
50
( 334 )
Peran ICRC
kehidupan. Dalam kasus-kasus semacam ini, ICRC berupaya untuk mencegah atau mengakhiri
pelanggaran tersebut dengan cara meminta pihak-pihak yang bertikai untuk memperhatikan
tanggung jawab mereka berdasarkan HHI.
Sebelum memulai suatu program bantuan apapun, ICRC melakukan asesmen yang
cermat mengenai kebutuhan masing-masing kelompok sesuai dengan lingkungannya agar
bantuan yang diberikan tepat. Di samping itu, ICRC berusaha memastikan bahwa bantuan
diditribusikan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan.
Dalam usahanya yang terus menerus untuk memperbaiki kualitas aksinya, ICRC
memantau setiap program secara menyeluruh, menyesuaikannya dengan perkembangan
situasi, dan bilamana program yang bersangkutan telah selesai, mengevaluasi pelajaranpelajaran yang bisa dipetik dan cara-cara untuk melakukannya dengan lebih baik di kemudian
hari.
Kebijakan evaluasi ICRC tersebut berlaku bagi setiap lingkup kegiatannya, bukan
hanya bagi operasi bantuan darurat kemanusiaan, sehingga ICRC dapat memberikan
tanggapan sebaik mungkin terhadap macam-macam kebutuhan yang dihadapi oleh para
korban konflik.
Pendekatan ICRC terhadap pemberian bantuan dalam situasi konflik ialah
mementingkan dinamika ekonomi rumah tangga. ICRC memikirkan sarana produksi untuk
memenuhi seluruh kebutuhan ekonomi rumah tangga yang dasar dan penyediaan sumber
daya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan ini. Seringkali dalam situasi krisis terdapat
kecenderungan untuk melupakan bahwa manusia membutuhkan lebih dari sekedar makanan
untuk bertahan hidup. Karena itu, ICRC memperhitungkan semua kebutuhan ekonomi dasar
rumah tangga, seperti papan, sandang, peralatan memasak, dan bahan bakar.
Berdasarkan tingkat hilangnya keamanan ekonomi, ICRC memberikan salah satu dari
ketiga jenis bantuan berikut ini:
1. Dukungan ekonomi, untuk melindungi sarana produksi vital yang dimiliki korban agar
mereka dapat mempertahankan kapasitas produksi dan keswasembadaan ekonomi di
tingkat rumah tangga.
2. Bantuan kelangsungan hidup, untuk melindungi kehidupan korban konflik dengan
cara memberi mereka barang-barang ekonomi yang esensial bagi kelangsungan hidup
mereka ketika sarana produksi mereka tidak mampu lagi menghasilkan barang-barang
tersebut.
3. Rehabilitasi ekonomi, untuk membantu korban konflik memulihkan sarana-sarana
produksi yang mereka miliki dan bilamana mungkin, memulihkan keswasembadaan
mereka.
Begitu terdeteksi tanda-tanda awal pecahnya sebuah konflik, ICRC mengingatkan
pihak-pihak berwenang terkait tentang perlindungan bagi orang sipil berdasarkan HHI,
termasuk penghormatan terhadap pribadi dan harta benda mereka. Bilamana penduduk sipil
mengalami kesulitan ekonomi akibat proses pemiskinan yang nyata dan berkurangnya atau
hilangnya sarana produksi, ICRC turun tangan dengan memberikan dukungan ekonomi.
(335 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Dukungan ekonomi dapat berupa, distribusi makanan untuk mendukung perekonomian,
pemberian bantuan untuk diversifikasi dan intensifikasi produksi, atau pelayanan dokter
hewan untuk melindungi ternak. Bilamana mungkin, ICRC memprioritaskan kegiatan
dukungan ekonomi. Namun, jenis-jenis bantuan yang lain seringkali juga sangat penting,
karena ICRC tidak berdaya mencegah proses pemiskinan dan dekapitalisasi yang diakibatkan
oleh konflik. Bilamana proses tersebut terjadi, ICRC memberikan bantuan kelangsungan
hidup, yaitu barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dapat lagi dihasilkan oleh sarana
produksi milik para korban sendiri.
Ketika keadaan mulai membaik, penduduk memerlukan bantuan untuk memulihkan
keswasembadaan mereka. Program-program rehabilitasi ekonomi ICRC bertujuan untuk
memulihkan dan memperkuat sarana produksi melalui serangkaian kegiatan, termasuk
distribusi benih, alat pertanian, alat penangkap ikan, dan obat-obatan ternak, atau rehabilitasi
sistem irigasi.
Program air dan habitat ICRC bertujuan untuk:
1. Menyediakan air minum dan air keperluan rumah tangga bagi korban konflik.
2. Melindungi penduduk dari bahaya lingkungan akibat lumpuhnya sistem penyediaan
air.
Untuk menyediakan akses ke air, memperbaiki higienis51, dan melindungi lingkungan,
ICRC:
1. Merehabilitasi instalasi pengolahan air, jaringan distribusi air, atau sistem air berbasis
gravitasi yang dihubungkan dengan rumah pompa.
2. Membangun sumur, memanfaatkan dan melindungi sumber air dan sistem pengalihan
air, dan membuat sarana penampungan air.
3. Memurnikan dan mendistribusikan air minum.
4. Membuat dan merehabilitasi toilet umum, dan sistem pengolahan air limbah;
mengumpulkan dan mengolah limbah, ternasuk limbah rumah sakit.
5. Merenovasi dan merekonstruksi sarana kesehatan dan sekolah.
6. Memperbaiki sarana dan prasarana di tempat-tempat penahanan untuk memenuhi
kebutuhan air minum minimum bagi para tahanan dan untuk menjamin sanitasi dan
kondisi kehidupan yang layak.
7. Membangun dan menyelenggarakan kamp-kamp bagi pengungsi internal.
8. Memperkenalkan program-program pengendalian vektor (hewan pembawa penyakit),
perlindungan bahan makanan, pengurangan konsumsi energi, dan penggunaan energi
alternatif.
Program-program kesehatan ICRC bertujuan agar korban konflik mempunyai akses
ke perawatan kesehatan esensial yang bersifat pencegahan (preventif) maupun penyembuhan
(kuratif) sesuai standar universal. Kegiatan ICRC yang terkait kesehatan antara lain
adalah rekostruksi atau rehabilitasi bangunan, dukungan manajemen, pelatihan staf medis,
51
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, higienis adalah berkenaan dengan atau sesuai dengan
ilmu kesehatan; bersih; bebas penyakit.
( 336 )
Peran ICRC
pengawasan epidemiologis, penggiatan kembali pelayanan imunisasi, penyediaan obat dan
alat medis yang penting, dan pemberian pinjaman berupa tim ahli bedah/tim medis asing.
Untuk mengatasi terganggunya pelayanan kesehatan primer akibat konflik, ICRC
memberikan bantuan kepada berbagai pusat kesehatan dan rumah sakit, sejauh mungkin
dengan partisipasi dari masyarakat setempat. Berkat pengalamannya yang panjang dalam
merawat korban perang, ICRC cukup ahli di bidang ini. Para ahli bedah ICRC melatih tenaga
medis luar negeri yang bekerja suka rela untuk ICRC tetapi belum terampil dalam bidang
tersebut. Mereka juga melatih dokter-dokter lokal untuk menguasai keterampilan ini agar
mereka dapat mengambil alih peran tim ICRC dalam merawat korban perang bilamana tim
ICRC telah pergi.
Staf media ICRC menyertai anggota delegasi mengunjungi tempat penahanan untuk
melakukan asesmen mengenai kesehatan para tahanan dan mendeteksi ada tidaknya dampak
fisik atau psikologis dari perlakuan buruk. Dokter dan perawat ICRC menguasa dengan baik
masalah kesehatan yang khas penjara, misalnya higiene, epidemiologi, gizi, dan vitamin.
Mereka mengidentifikasi masalah-masalah kesehatan umum yang mendesak. Bilamana risiko
suatu masalah kesehatan di sebuah penjara sangat besar sehingga bagian pelayanan kesehatan
di penjara ini kewalahan, ICRC menerapkan program kontrol vektor untuk menanggulangi
masalah seperti tuberkolosis, HIV/AIDS, dan kekurangan vitamin.
Pada tahun 1979, ICRC mendirikan sebuah unit rehabilitasi fisik bagi korban perang.
Semenjak itu, ICRC telah melaksanakan dan/atau memantau lebih dari 85 proyek di 36
negara. Ratusan ribu orang telah menerima prostesis, ortesis (sepatu penyangga tegak), kruk,
atau kursi roda, disertai fisioterapi. Ini membantu memulihkan mobilitas mereka dan, dalam
banyak kasus, juga kemandirian ekonomi mereka.
Dengan menyediakan bantuan keuangan, pendidikan, dan teknis, ICRC berupaya
agar pelayanan rehabilitasi menjangkau lebih banyak korban, meningkat mutunya, dan terus
berfungsi dalam jangka panjang, karena alat bantu gerak yang dipakai oleh korban perlu
diganti dan direparasi secara berkala seumur hidup mereka.
Tidak semua pemerintah menyediakan pelayanan rehabilitasi secara berkesinambungan.
Tidak adanya dukungan jangka panjang dari organisasi-organisasi setempat mendorong ICRC
membentuk dana khusus ICRC bagi orang cacat. Dana ini menjamin kesinambungan program
rehabilitasi setelah ICRC menarik diri dari negara yang bersangkutan dan mendukung pusatpusat rehabilitasi fisik di negara berkembang.
ICRC dan Indonesia
Berbagai isu HAM yang muncul di Indonesia memerlukan penanganan yang tepat dan
cepat dari berbagai pihak. Selain respon yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia,
negara-negara lain, LSM, dan organisasi-organisasi internasional, juga terdapat peran yang
secara signifikan diberikan oleh ICRC.
Pada tahun 1945-1965 ICRC bertindak sebagai penengah netral antara Indonesia dan
Belanda (pemulangan tahanan, pertukaran Berita Palang Merah), bantuan untuk interniran/
(337 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
tawanan sipil, dan lain-lain. Di tahun 1991, ICRC bertindak sebagai penengah netral dalam
krisis penyanderaan di Papua52. Operasi pembebasan sandera ini melibatkan seorang anggota
ICRC dan dengan menggunakan helikopter ICRC. Pemerintah Republik Indonesia pada tahun
2004 meminta bantuan kepada ICRC dalam upaya pembebasan sandera yang diberitakan
sekitar 151 orang yang ditahan oleh GAM di Aceh.
5. Peran ICRC Dalam Kondisi Normal
Kegiatan ICRC yang bersifat preventif dirancang untuk membatasi efek buruk
dari konflik dan menjaga agar efek-efek semacam itu sekecil mungkin. Semangat yang
sesungguhnya dari HHI ialah agar penggunaan kekuatan dilakukan secara terkendali dan
secara proporsional dengan tujuannya. Karena itu, ICRC berusaha untuk menyebarluaskan
seluruh rangkaian prinsip-prinsip kemanusiaan dalam rangka mencegah atau sekurangkurangnya membatasi kemungkinan-kemungkinan terburuk dari peperangan.
Dalam program-program preventifnya, target ICRC secara khusus ialah orang-orang
dan kelompok-kelompok yang berada dalam posisi untuk menentukan nasib para korban
konflik bersenjata atau yang dapat menghalangi atau memfasilitasi kegiatan ICRC. Kelompokkelompok tersebut antara lain adalah angkatan bersenjata, kepolisian, pasukan keamanan dan
pihak-pihak bersenjata lain, para pengambil keputusan, dan para tokoh masyarakat di tingkat
lokal maupun internasional dan dengan melihat ke depan, juga para remaja, mahasiswa dan
para pengajar mereka.
Strategi di balik kegiatan-kegiatan tersebut terdiri dari tiga tingkatan:
1. Membangun kesadaran.
2. Mempromosikan HHI melalui pengajaran dan pelatihan.
3. Mengintegrasikan HHI dalam kurikulum resmi di bidang hukum, pendidikan, dan
operasi.
Tujuan akhir dari program-program preventif ICRC tersebut ialah mempengaruhi
bersikap dan perilaku orang-orang dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap
orang-orang sipil dan korban-korban lain pada masa konflik bersenjata, memfasilitasi akses
terhadap korban, dan meningkatkan keamanan bagi kegiatan kemanusiaan.
Negara berkewajiban menjamin bahwa angkatan bersenjatanya menguasai HHI
dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal serta menerapkannya pada semua situasi. ICRC
mempromosikan pengintegrasian HHI dan prinsip-prinsip kemanusiaan ini ke dalam doktrin,
pendidikan, dan pelatihan militer serta membantu negara-negara melaksanakan proses tersebut.
Karena aparat penegak hukum dan ketertiban sering ditugasi menangani situasi gangguan dan
kekerasan dalam negeri, ICRC juga berupaya agar pihak kepolisian dan keamanan menerima
pelatihan HHI, hukum HAM, dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Dewasa ini, kelompok bersenjata yang jarang atau belum pernah menerima pelatihan
sering terlibat dalam pertempuran. Semakin banyaknya kelompok bersenjata semacam
itu mengakibatkan perlakuan semena-mena yang mengerikan terhdap penduduk sipil dan
52
Ibid.
( 338 )
Peran ICRC
membahayakan kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan. ICRC berusaha menjalin kontak
dengan semua pihak yang terlibat konflik untuk memperkenalkan kegiatan dan cara kerja
ICRC agar akses untuk membantu korban menjadi lebih mudah dan keamanan pekerja
kemanusiaan lebih terjamin.
Saat ini, semakin banyak organisasi, kelompok, dan individu yang melakukan
kegiatan kemanusiaan. Karena itu diperlukan dialog untuk mencegah timbulnya tumpang
tindih dan kekacauan usaha-usaha saat di lapangan. ICRC berupaya agar para pengambil
keputusan, tokoh masyarakat, anggota LSM, wartawan, dan orang-orang yang berpengaruh
lainnya mengenal kegiatan-kegiatan ICRC supaya ICRC memperoleh dukungan mereka
dalam menjamin implementasi HHI. Untuk tujuan itulah, ICRC melakukan “Diplomasi
Kemanusiaan”, misalnya dengan menjalin serta memelihara jaringan kontak dengan berbagai
pelaku kemanusiaan dan mengkoordinasi kegiatan dengan pelakupelaku lain di lapangan.
Untuk menjangkau calon pembuat keputusan dan tokoh masyarakat, ICRC membidik
dunia akademis, terutama fakultas hukum, ilmu politik, dan jurnalistik, untuk mendorong
dimasukannya HHI ke dalam berbagai program pelajaran yang diselenggarakan. Pendekatan
ICRC terhadap dunia akademis mencontoh pendekatannya terhadap militer, yaitu bekerja
sama dengan pihak berwenang di lingkungan pendidikan, memberikan pelatihan kepada
para calon pelatih, memproduksi bahan pengajaran yang dibutuhkan, dan memelihara suatu
jaringan kontak dengan dunia akademis.
ICRC pada tahun 1999 meluncurkan sebuah program riset yang bekerja sama dengan
dengan kalangan akademis. Program ini bertujuan mengetahui pandangan orang sipil dan
kombatan tentang perang dan meningkatkan penghormatan terhadap aturan perang. Melalui
riset ini, ICRC berupaya membangun momentum dan keahlian lokal maupun internasional
menyangkut strategi pencegahan dan memperkuat kegiatan riset HHI di kalangan lembaga
penelitian, perguruan tinggi, organisasi internasional, LSM, dan spesialis pencegahan.
Agar HHI dikenal oleh semua lapisan masyarakat dan menjadi bagian dari
pendidikan dasar, ICRC membantu kementerian pendidikan, PN, dan lembaga-lembaga
pendidikan lainnya di berbagai negara untuk mengintegrasikan HHI dan topik-topik terkait
ke dalam program pendidikan sekolah menengah. ICRC telah menyusun program pendidikan
untuk anak usia 13-18 tahun dalam rangka membantu mereka menghayati prinsip-prinsip
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut ketika
mengevaluasi berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan luar negeri.
Program pendidikan ini dinamai “Eksplorasi Hukum Humaniter”, terdiri dari satu
paket bahan ajar berdurasi 30 jam, dan telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Sejak
diluncurkan pada tahun 2001, program ini telah diadopsi atau sedang dipertimbangkan untuk
diadopsi ke dalam kurikulum pendidikan sekolah menengah atas oleh pihak berwenang
terkait di kurang lebih 90 negara.
Selanjutnya, pada akhir tahun 2001, ICRC meluncurkan proyek “Orang Hilang,”
yang bertujuan meningkatkan kesadaran di kalangan pemerintah, militer, dan organisasi
internasional maupun nasional mengenai tragedi orang hilang akibat konflik bersenjata atau
(339 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
situasi kekerasan dalam negeri dan mengenai derita batin pihak keluarga. Pada Februari
2003, sebagai puncak sebuah proses konsultasi yang melibatkan para ahli dari seluruh dunia,
ICRC mengadakan konferensi internasional tentang orang hilang dan keluarganya di Jenewa,
Swiss, yang dihadiri oleh 350 peserta dari 86 negara.
Rekomendasi-rekomendasi dari konferensi ini menjadi landasan kuat bagi pekerjaan
selanjutnya. Sasaran akhirnya ialah (1) memastikan bahwa seluruh pihak berwenang dan
pemimpin yang terkait masalah orang hilang memberikan pertanggungjawaban dan (2)
mencegah terjadinya kasus orang hilang. ICRC berkomitmen kuat terhadap proyek “Orang
Hilang” ini. Pedoman operasional menyangkut proyek ini tengah dilaksanakan oleh semua
delegasi ICRC yang terkait.
ICRC juga mengupayakan peningkatan implementasi (pelaksanaan) HHI. Pada tahun
2002, ICRC melaksanakan proyek peneguhan kembali dan pengembangan HHI. Sebagai
bagian dari proyek tersebut, ICRC mengadakan refleksi secara internal mengenai permasalahan
yang sudah ada maupun yang sedang muncul terkait HHI, selain juga mengadakan konsultasi
secara eksternal mengenai permasalahan tersebut.
Atas permintaan masyarakat internasional, ICRC mengadakan studi di seluruh dunia
tentang ketentuan-ketentuan kebiasaan HHI. Studi ini selesai pada tahun 2004 dan berhasil
mengidentifikasikan praktik-praktik yang selama ini telah diakui dan dapat melengkapi
hukum dan perjanjian tertulis, terutama praktik-praktik yang berlaku pada konflik bersenjata
non-internasional.
Di tingkat internasional, berbagai kursus dan lokakarya diadakan setiap tahun,
misalnya kursus HELP (Health Emergencies in Large Populations atau Darurat Kesehatan
di Daerah Berpenduduk Banyak), yang memungkinkan ICRC menerbitkan buku-buku
panduan mengenai bedah perang (war sugery) serta memberian kontribusi bagi jurnal-jurnal
profesional. Di lingkungan yang kurang aman, mendatangi korban luka dan membawanya ke
rumah sakit bisa merupakan kesulitan yang cukup besar.
Selain itu, ketika konfliknya telah usai, ranjau dan senjata-senjata ledak sisa perang
sering kali terus membunuh dan melumpuhkan penduduk sipil, menghalangi akses ke barang
kebutuhan dasar, dan menghambat rekonsiliasi. Sehingga ICRC melaksanakan program “Aksi
Ranjau”. Tujuannya ialah mengurangi penderitaan penduduk di daerah yang terkontaminasi
ranjau/senjata ledak sisa perang.
Program ini fleksibel dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan di masing-masing
daerah. Program ini bisa mencakup: penyediaan akses yang aman ke air dan kayu bakar atau
ke kawasan bermain yang aman bagi anak-anak dan kegiatan penyuluhan untuk mencegah
kecelakaan. Kegiatan penyuluhan ini bisa mencakup: memberikan informasi tentang kawasankawasan setempat yang terkontaminasi, membuat penduduk waspada akan bahaya ranjau dan
senjata ledak sisa perang, dan mempromosikan perilaku yang aman.
Melalui pelayanan konsultasi HHI-nya, ICRC juga mendorong negara-negara untuk
mengadopsi peraturan perundang-undangan yang memberlakukan HHI di tingkat nasional.
Para ahli hukum ICRC di markas besar Jenewa maupun di lapangan memberikan bantuan
( 340 )
Peran ICRC
teknis kepada negara-negara menyangkut antara lain, undang-undang untuk menuntut
penjahat perang dan undang-undang untuk melindungi lambang palang merah, bulan sabit
merah, dan kristal merah.
Di samping itu, ICRC bekerja untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
terhadap HHI. Kegiatan operasional ICRC bersifat melengkapi kegiatan hukumnya. Selain
memberikan bantuan kepada penduduk yang membutuhkan, ICRC juga hadir di lapangan
untuk memantau penghormatan terhadap HHI, untuk mengamati masalah-masalah yang
dihadapi oleh korban konflik bersenjata dalam kehidupan sehari-hari mereka dan untuk
memprakarsai pengembangan hukum baru.
ICRC dan Indonesia
ICRC telah bekerja di Indonesia sejak dasawarsa 1940-an. Setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, ICRC secara progresif mengembangkan kerja sama
erat dengan pemerintah Indonesia. Kerja sama ini dimulai sejak saat terjadinya konflik di
Maluku Selatan (1950-1952) ketika ICRC mengunjungi orang-orang yang ditahan oleh
ABRI. Demikian pula, ICRC diberi ijin untuk mengunjungi anggota G30S/PKI yang ditahan
berkaitan dengan percobaan kudeta pada tahun 1965.
Kunjungan tahanan ICRC pertama kali dilakukan di Lombok pada tahun 1966. Di
tahun yang sama pula, ICRC bersama PMI menggelar operasi bantuan kemanusiaan selama
6 bulan bagi pengungsi di Kalimantan. Kunjungan tahanan ICRC pun juga pertama kali
dilakukan pada tahun 1970 di pulau Jawa, tepatnya di penjara Tangerang53
Pada tahun 1977, ICRC memperoleh ijin tertulis resmi dari pemerintah Republik
Indonesia untuk mengunjungi semua tahanan/narapidana politik di Indonesia. Di lain pihak,
operasi bantuan kemanusiaan dan kesehatan selama setahun juga digelar di Papua sebagai
akibat bencana kekeringan. Dalam dasawarsa 1980-an, ICRC diperbolehkan mengunjungi
para aktivis Muslim yang ditahan di Indonesia.
Setelah itu, ICRC diperbolehkan mengunjungi orang-orang yang ditahan akibat
kekerasan bersenjata di seluruh Indonesia, termasuk di Aceh, Sumatera Utara, Jawa, Bali, dan
Papua, maupun di Timor-Timur (sewaktu Timor Timur masih menjadi bagian Indonesia)54.
Orang-orang yang dikunjungi tersebut ditahan di tempat-tempat penahanan yang ada di
bawah tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kementerian Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia (KemenkumHAM), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
Kunjungan-kunjungan ini (dan semua kunjungan lainnya kepada para tahanan yang dilakukan
oleh ICRC di seluruh dunia) mengikuti prosedur dan tata cara yang persis sama55.
Salah satu kegiatan ICRC pada tahun 1984 adalah dengan mengunjungi Yogyakarta
untuk menyerahkan obat-obatan kepada Palang merah Indonesia (PMI) Yogyakarta56. Misi
ICRC pertama ke Papua dilaksanakan pada 1988 dan pada tahun berikutnya mendapatkan ijin
untuk mengadakan kunjungan tahanan. Pada tahun 1991 kunjungan tahanan pertama dilakukan
53
54
55
56
Ibid.
ICRC, Kunjungan Kepada Para Tahanan, Loc.Cit.
bid., hlm. 17
ICRC, ICRC Di Indonesia, http://icrcjakarta.info/icrc-di-Indonesia/ diakses pada 6 Oktober 2012
( 341 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
di Aceh. Sebuah lonjakan yang sangat besar dilakukan oleh ICRC dengan menggagas program
akademik untuk meningkatkan pengintegrasian HHI ke dalam kurikulum fakultas hukum di
Indonesia.
Di tahun 1998, kerja sama pertama ICRC dengan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI) di bidang penahanan. Pada tahun ini pula, memulai program integrasi
HHI dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD)57. Di tahun yang sama,
POLRI memberi akses sebesar-besarnya kepada ICRC ke semua fasilitas penahanan POLRI.
Saat terjadi tsunami di Aceh (2004-2005), ICRC bekerja sama dengan PMI untuk memberi
bantuan kemanusiaan bagi korban tsunami58.
Pada tahun 2007-2008, ICRC mengadaptasikan kegiatan kunjungan tahanannya
dan secara bertahap mengembangkan pendekatan struktural terhadap masalah penahanan
di Indonesia. Selain itu, ICRC juga telah menghentikan operasi bantuan kemanusiaan dan
rehabilitasi tsunami di Aceh59.
Selain bekerja sama dengan pihak berwenang di Indonesia, ICRC juga melakukan
berbagai kegiatan lainnya dengan Perhimpunan Nasional Indonesia (dikenal dengan Palang
Merah Indonesia/PMI). Berbagai bantuan kemanusiaan telah dilakukan dan diberikan oleh
ICRC melalui kordinasi dengan PMI. Bantuan kemanusiaan operasi katarak di Papua60, Program
Donasi Kacamata di Papua61, penyelesaian konflik di Pulau Galang (1975)62, penanggulangan
bencana tsunami di Aceh melalui program yang disebut Restoring Family Links63, peluncuran
buku64, berbagai pertemuan dgn PN lain65, berbagai pelatihan66, sosialisasi67, seminar68,
bantuan bagi korban bencana alam, dan lain-lain juga turut dilaksanakan oleh ICRC bekerja
sama dengan PMI. ICRC dan PMI pun juga telah bekerja sama dalam menerbitkan berbagai
buklet yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat.
Selain kunjungan ke tahanan, ICRC juga memeriksa kesehatan lingkungan penjara,
sanitasi, makanan, dan kesehatan tubuh tahanan. Bantuan lain yang juga diberikan oleh ICRC
juga berupa seminar, workshop, diskusi, lomba debat, International Humanitarian Law Moot
Ibid.,
Ibid.,
59
Ibid.,
60
PMI, Operasi Katarak dan Donasi Kacamata di Papua http://pmi.or.id/ina/publication/?act=detail&p_
id=384 diakses pada 22 Januari 2013
61
PMI, PMI Terima Donasi Rp 1 M dari Sidomuncul http://pmi.or.id/ina/publication/?act=detail&p_
id=399 diakses pada 22 Januari 2013
62
PMI, PMI Bersiap Membantu Perdamaian Dunia http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=360
diakses pada 22 Januari 2013
63
Ibid.,
64
PMI, Peluncuran Buku ABC Hukum Humaniter http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=456
diakses pada 22 Januari 2013
65
PMI, PMI Gelar South East Asia Leaders Meeting 2010 http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_
id=498 diakses pada 22 Januari 2013
66
PMI, Tiga Belas Negara Ikuti Pelatihan di Pusat Air dan Sanitasi Darurat PMI http://pmi.or.id/ina/
news/?act=detail&p_id=711 diakses pada 22 Januari 2013
67
PMI, Sosialisasi Lambang dan RUU Kepalangmerahan Bersama Forum Bakohumas http://pmi.
or.id/ina/news/?act=detail&p_id=902 diakses pada 22 Januari 2013
68
PMI, Seminar Hukum Humaniter Internasional: Palang merah Untuk Indonesia http://pmi.or.id/
ina/news/?act=detail&p_id=805 diakses pada 22 Januari 2013
57
58
( 342 )
Peran ICRC
Court Competition (IHL MCC), dan berbagai kegiatan lainnya untuk mempromosikan HHI
baik kepada pasukan TNI69, POLRI70, mahasiswa71, maupun masyarakat umum72.
IV. PENUTUP
Meskipun landasan hukum baik dalam lingkup internasional maupun nasional
mengenai perlindungan HAM telah dibuat, namun dalam realitasnya, berbagai peraturan
hukum tentang HAM tersebut masih belum diimplementasikan sebagaimana mestinya. Terkait
isu HAM yang dipaparkan sebelumnya, respon yang diberikan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sudah sepantasnya untuk dilakukan (sudah tepat). Namun, untuk beberapa tahap
penyelesaian, pemerintah Republik Indonesia masih lebih cenderung menggunakan tindakan
di jalur militer yang sebenarnya menurut pandangan penulis merupakan tahap yang paling
akhir untuk ditempuh.
ICRC sebagai organisasi internasional yang independen di bidang kemanusiaan
telah menunjukkan berbagai perannya dalam memajukan dan meningkatkan penghormatan
HAM baik dalam kondisi perang, konflik, bencana, maupun dalam kondisi normal. Berbagai
tindakan riil yang telah diambil yaitu dengan melakukan berbagai seminar, workshop, diskusi,
peluncuran buku, dan berbagai kegiatan kemanusiaan lainnya (operasi katarak, kunjungan
ke berbagai tahanan, dan lain-lain) demi memajukan dan menyebarluaskan penghormatan
HAM, khususnya dalam Hukum Humaniter Internasional. Kegiatan ICRC tentu saja tidak
dapat dilaksanakan tanpa kerja sama dengan berbagai Perhimpunan Nasional, pemerintah,
LSM, dan komunitas-komunitas lain. Selain itu, kegiatan ICRC tidak hanya ditujukan ke
angkatan bersenjata, tapi juga ke pelajar, bahkan masyarakat umum
Implementasi berbagai produk hukum yang telah diratifikasi maupun dibuat oleh
Pemerintah Republik Indonesia hendaknya diperbaiki sesuai dengan yang diamanatkan
dalam berbagai produk hukum tersebut. Penyelesaian melalui jalur militer hendaknya juga
dikurangi bahkan dihilangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan lebih menggunakan
jalur dialog dan menghilangkan berbagai tindakan kekerasan yang marak terjadi dalam
penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM.
Keterlibatan ICRC baik dalam kondisi konflik maupun kondisi damai di suatu negara
merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Namun, keikutsertaan ICRC ini juga hendaknya
tidak melebihi dari apa yang telah diamanatkan atau diatur. Bahkan, menurut beberapa
ICRC, Sosialisasi Hukum Humaniter Internasional, Hukum HAM, dan Hukum Udara di Lingkungan
TNI AU, http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-hukum-humaniterinternasional-hukum-ham-dan-hukumudara-di-lingkungan-tni-au/ diakses pada 22 Januari 2013
70
ICRC, Sosialisasi Standar Kepolisian Internasional dan VCD Dilematis Anggota Brimob di
Palembang,
http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-standar-kepolisianinternasional-dan-vcd-dilematisanggota-brimob-di palembang/ diakses pada 22 Januari 2013
71
ICRC, UPH Berhasil Merebut Juara HHI Moot Court Competition ke-7 http://icrcjakarta.info/
berita/uph-berhasil-merebut-juara-HHI-moot-court-competition-ke-7/ diakses pada 22 Januari 2013
72
ICRC, Diskusi Publik dan Peluncuran Buku Islam dan Hukum Humaniter Internasional http://
icrcjakarta.info/galeri-foto-video/videos/diskusi-publik-dan-peluncuranbuku-islam-dan-hukum-humaniterinternasional/ diakses pada 22 Januari 2013
69
(343 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
pihak dari Pemerintah Republik Indonesia, keterlibatan ICRC di Indonesia sebenarnya seringkali
melewati kewenangan yang telah diamanatkan oleh Konvensi Jenewa 1949.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Amnesty International. Amnesty International Report 2012 The State of The World’s Human
Rights. United Kingdom: Amnesty International, 2012.
Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global. Bandung: Alumni, 2005.
D.W. Bowett. Hukum Organisasi Internasional (diterjemahkan oleh: Bambang Iriana
Djajaatmadja. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Mengukur Realitas dan Persepsi Penyiksaan
di Indonesia Melalui Indeks Penyiksaan serta Indeks Persepsi Penyiksaan. Jakarta:
Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2012.
Rhona K. Smith. Hukum HAM. Yogyakarta: Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
(PUSHAM UII), 2008.
Jurnal:
ICRC. Kenali ICRC. 2006
ICRC. Kunjungan Kepada Tahanan. 2008
PMI. Dunia Palang Merah. 2009
Websites:
Fadillah Agus dalam presentasi training Hukum HAM untuk dosen pengajar HAM di Fakultas
Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh PUSHAM UII dan
Norwegian Center for Human Rights (NCHR) DI Yogyakarta, 22-24 September 2005,
http://pushamuii.ac.id/download/ham/hukum%20humaniter.pdf diakses pada 24 Januari
2013
ICRC. ICRC di Indonesia. http://icrcjakarta.info/icrc-di-Indonesia/ diakses pada 6 Oktober 2012
ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents, http://www.icrc.org/ihl.nsf/
INTRO/370OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/
INTRO/365OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/
INTRO/375OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
ICRC. International Humanitarian Law-Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/
INTRO/380OpenDocument diakses pada 24 Januari 2013
ICRC. International Humanitarian Law–Treaties and Documents. http://www.icrc.org/ihl.nsf/
CONVPRES?OpenView diakses pada 29 Januari 2013
( 344 )
Peran ICRC
ICRC. Sosialisasi Hukum Humaniter Internasional, Hukum HAM, dan Hukum Udara di
Lingkungan TNI AU. http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-hukum-humaniterinter
nasional-hukum-ham-dan-hukum-udara-di-lingkungan-tni-au/ diakses pada 22
Januari 2013
ICRC. Sosialisasi Standar Kepolisian Internasional dan VCD Dilematis Anggota Brimob di
Palembang. http://icrcjakarta.info/berita/sosialisasi-standar-kepolisianinternasionaldan-vcd-dilematis-anggota-brimob-di-palembang/ diakses pada 22 Januari 2013
ICRC. UPH Berhasil Merebut Juara IHL Moot Court Competition ke-7. http://icrcjakarta.
info/berita/uph-berhasil-merebut-juara-ihl-mootcourt-competition-ke-7/
diakses
pada 22 Januari 2013
Office of The United Nations High Commissioner for Human Rights. Human Rights
Instruments. http://www2.ohchr.org/english/law/ diakses pada 3 Desember 2012
PMI. Operasi Katarak dan Donasi Kacamata di Papua. http://pmi.or.id/ina/
publication/?act=detail&p_id=384 diakses pada 22 Januari 2013
PMI. Peluncuran Buku ABC Hukum Humaniter. http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_
id=456 diakses pada 22 Januari 2013
PMI. PMI Bersiap Membantu Perdamaian Dunia. http://pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_
id=360 diakses pada 22 Januari 2013
PMI. PMI Gelar South East Asia Leaders Meeting 2010. http://pmi.or.id/ina/
news/?act=detail&p_id=498 diakses pada 22 Januari 2013
PMI. Seminar Hukum Humaniter Internasional: Palang merah Untuk Indonesia. http://pmi.
or.id/ina/news/?act=detail&p_id=805 diakses pada 22 Januari 2013
PMI. Sosialisasi Lambang dan RUU Kepalangmerahan Bersama Forum Bakohumas. http://
pmi.or.id/ina/news/?act=detail&p_id=902 diakses pada 22 Januari 2013
PMI. Tiga Belas Negara Ikuti Pelatihan di Pusat Air dan Sanitasi Darurat. PMI http://pmi.
or.id/ina/news/?act=detail&p_id=711 diakses pada 22 Januari 2013
The Washington Post. International Organizations on the Web. http://www.washingtonpost.
com/wp-srv/inatl/longterm/intorgs.htm diakses pada 29 Januari 2013
United For Human Rights. Human Rights Organizations: Intergovernmental and
Governmental Organizations. http://www.humanrights.com/voices-for-humanrights/human-rightsorganizations/governmental.html diakses pada 6 Oktober 2012
United Nations High Commissioner for Refugee. Conflict Affected Fragile States. http://
www.unhcr.org/refworld/country,,STC,,HTI,,490591492,0.html diakses pada 2
Oktober 2012
United Nations. Main Bodies. http://un.org/en/mainbodies/index.shtml diakses pada 29
Januari 2013
Universitas Sumatera Utara. Tinjauan Umum tentang ICRC. http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/21986/3/Chapter%20II.pdf diakses pada 7 Oktober 2012
( 345 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 346 )
Hak Anak
PENERAPAN INSTRUMEN HAK ASASI MANUSIA
TERHADAP ANAK DALAM SITUASI KONFLIK
BERSENJATA
Citra Reskia*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Abdul Maasba Magassing*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Maskun*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Abstract: The Convention on the Rights of the Child 1989 is part of the
international human rights instruments in the protection and enforcement of
the rights of children to the effects of armed conflict. Their right to a decent
life, education and children’s health is a right that must be upheld in conflict
situations.
Abstrak: Konvensi Hak Anak Tahun 1989 merupakan bagian dari instrumen
internasional Hak Asasi Manusia dalam upaya perlindungan dan penegakan
hak-hak anak terhadap dampak dari konflik bersenjata. Hak mereka atas
kehidupan yang layak, pendidikan dan kesehatan merupakan hak anak yang
harus tetap ditegakkan dalam situasi konflik.
I. PENDAHULUAN
Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam kandungan sampai
dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat perlindungan baik dari
orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak mempunyai hak yang bersifat
asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa.
Hak asasi anak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat
jaminan dan perlindungan hukum baik hukum Internasional maupun nasional. Secara
Praktisi Hukum Internasional, Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (2013) dari Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
*
Pengajar Senior di Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sarjana (SH) dari Fakultas Hukum UNHAS, Magister Ilmu Hukum (MH) dari Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung, Doktor Ilmu Hukum (DR) dari Pogram Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
*
Pengajar pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sarjana Hukum 1998 dari Fakultas Hukum Unhas, Magister Ilmu Hukum (LL.M.) 2004 dari University of New
South Wales, Sydney, Australia.
*
( 347 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
universal dilindungi dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR)1, dan untuk
menjamin tegaknya hak-hak anak, pada tahun 1989 PBB menyetujui Konvensi Hak Anak
(UN’s Convention on the Rights of the Child)2 yang menegaskan perlindungan terhadap hakhak anak.
Realitas keadaan anak di dunia ini masihlah belum menggembirakan. Kepedulian
terhadap persoalan anak terutama mulai berlangsung pada tahun 1920-an, seusai Perang Dunia
I. Pihak yang banyak menderita adalah kaum perempuan dan anak-anak. Para aktivis tampil
ke publik mendesak sejumlah pihak agar memberikan perhatian yang lebih serius terhadap
perempuan dan anak-anak yang menjadi korban perang. Salah satu di antara para aktivis itu
bernama Eglantyne Jebb, yang kemudian mengembangkan butir-butir pernyataan tentang hak
anak yang pada tahun 1923 diadopsi Save the Children Fund International Union.3
Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan juta anak hidup menderita, bahkan tewas
akibat perang yang berkecamuk di berbagai Negara seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia,
Pelestina, Guatemala, Liberia, Srilanka, Mozambik, Angola, Afganistan, Rwanda, Libya,
Suriah, Somalia atau Sudan, Kamboja, Haiti ataupun Bosnia. Akibat perang yang tak kunjung
usai, korban warga sipil dari tahun ke tahun kian meningkat, khususnya anak-anak.
Anak terus saja menjadi korban utama konflik bersenjata. Penderitaan mereka sangat
beragam bentuknya. Anak dibunuh, kehilangan orangtua karena mereka tewas, dibuat cacat,
diculik, kehilangan hak atas pendidikan dan kesehatan, menderita trauma batin dan emosi
yang mendalam. Mereka mengungsi dan sangatlah rentan khususnya terhadap kekerasan,
pengerahan, eksploitasi seksual, penyakit, kurang gizi, dan kematian. Anak dikerahkan
dan digunakan sebagai tentara anak-anak dalam skala yang sangat besar. Status gadis anak
perempuan memberikan resiko tambahan, khususnya terhadap kekerasan seksual. Padahal
para pihak yang bertikai telah diwajibkan untuk melindungi hak anak-anak tersebut.
Realitas yang dihadapi anak-anak tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran
bahwa masalah anak belumlah mereda. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan
anak dan pelaksanaan hak-hak anak masih perlu dimaksimalkan sebagai gerakan global
yang melibatkan potensi-potensi negara seluruh bangsa di dunia. Untuk itu dalam konteks
menjamin dan melindungi hak-hak anak, realisasinya diwujudkan dalam kebijakan (policy),
hukum (law), sedangkan dalam konteks pemenuhan hak anak, realisasinya dilakukan dengan
tindakan konkrit yang dapat mewujudkan perlindungan anak yang diharapkan.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka kemudian dapat
dirumuskan dengan permasalahan hukum sebagai berikut; pertama, bagaimanakah
UDHR adalah deklarasi yang terdiri dari 30 pasal yang mengumandang seruan agar rakyat
menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam deklarasi. Deklarasi tersebut diterima oleh 49 negara, tidak
ada yang menentang, 9 abstain dan berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak ekonomi,
social dan budaya.
2
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), untuk seterusnya akan disingkat dengan
KHA, merupakan sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang prinsip-prinsip dasar perlindungan hak
anak di muka bumi.
3
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 28.
1
( 348 )
Hak Anak
perlindungan hukum terhadap anak berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam
situasi konflik bersenjata? dan yang kedua, bagaimanakah perlindungan hukum terhadap
anak dalam situasi konflik bersenjata menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989?
II. PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Berdasarkan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Dalam Situasi Konflik Bersenjata
Dalam situasi amanpun anak membutuhkan perlindungan dalam artian yang luas
demikian juga halnya anak yang berada dalam situasi konflik apalagi bila dihubungkan
dengan situasi konflik bersenjata dimana dalam hal ini mereka masuk dalam katagori anak
yang membutuhkan perlindungan khusus.4
Secara normatif negara tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk
melindungi dan membantu anak-anak pada saat terjadi konflik bersenjata. Kewajiban ini
merupakan prinsip dasar dari hak asasi manusia (HAM) dan hukum perang (humanitarian
law).
Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)
merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal HAM dan ketentuan
norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional
mengenai hak asasi manusia yang memasukkan masing-masing hak-hak sipil dan politik,
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam Konvensi Hak Anak terdapat empat prinsip
umum yang kemudian ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas konvensi ini
secara keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program penerapan
dalam lingkup nasional. Prinsip-prinsip sangat penting untuk memahami bagaimana untuk
sepenuhnya melaksanakan konvensi tersebut.
A.1 Pengertian Anak, Perlindungan Anak, dan Konflik Bersenjata
Menurut Supriyadi W. Eddyono, anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila hal terebut
adalah demi kepentingannya.5 Pengertian anak secara hukum, dimana pengertian anak
diletakkan sebagai objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses legitimasi, generalisasi
dan sistematika aturan yang mengatur tentang anak. Perlindungan secara hukum inilah yang
akan memberikan perlindungan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak.6
Dalam pengertian hukum Maulana Hasan Wadong memberikan pengertian anak dan
juga pengelompokan anak didasari oleh adanya unsur internal dan eksternal dalam diri anak,
adapun unsur internal tersebut adalah:7
- Anak sebagai subjek hukum: Anak digolongkan sebagai makhluk yang memiliki hak
http://magdalenasitorus.blogspot.com/2008/09/anak-dalam-situasi-konflik-bersenjata.html. (diakses
22 Oktober 2012).
5
Pasal 1 Konvensi Hak Anak 1989.
6
Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo, 2000),
hlm. 5.
7
Ibid.
4
( 349 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
asasi manusia yang terikat oleh peraturan perundang-undangan;
- Persamaan hak dan kewajiban anak: Seorang anak akan memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan orang dewasa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.
Sedangkan unsur eksternal dalam diri anak ialah:8
- Adanya ketentuan hukum dengan asas persamaan dalam hukum (equality before the
law);
- Adanya hak-hak istimewa (privilege) dari pemerintah melalui Undang-Undang Dasar
1945.
Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam
berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan
bangsa di kemudian hari. Jika mereka telah matang pertumbuhan pisik maupun mental dan
sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.9
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan
anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan
adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan
dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum,baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun tidak tertulis.Hukum
merupakanjaminan bagi kegiatan perlindungan anak.10
Arif Gosita memberikan definisi tentang perlindungan anak/remaja yaitu: suatu
kegiatan bersama yang bertujuan mengusahakan, pengamanan, pengadaan dan pemenuhan
kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak/remaja yang sesuai dengan kepentingannya dan
hak asasinya.11
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin
dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun. Bertitik tolak pada konsep
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensip, maka Undang-undang
tersebut meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asasasas Nondikriminasi, asas kepentingan yang terbaik untuk anak, asas hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta asas penghargaan terhadap pandangan/
pendapat anak.12
Perlindungan anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian yaitu:
- Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang
hukum publik dan dalam bidang hukum keperdataan;
- Perlindungan anak yang bersifat non yuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang
Ibid, hlm. 6
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 33
10
Ibid.
11
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak di Indonesia, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), hlm.
3
12
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2009), hlm. 25-26
8
9
( 350 )
Hak Anak
sosial, bidang kesehatan, bidang pendidikan.13
Dalam Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)
merupakan instrument hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak secara detail
dan merupakan tolak ukur yang harus dipakai secara utuh dalam implementasi hak asasi
anak.14 Dalam hukum humaniter dikenal dua bentuk perang atau sengketa bersenjata, yaitu
sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Pada
perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam Protokol
I tahun 1977 yang juga memasukkan perlawanan terhadap dominasi kolonial, perjuangan
melawan pendudukan asing da perlawanan terhadap rezim rasialis sebagai bentuk-bentuk
lain dari sengketa bersenjata internasional. Dalam hukum humaniter, suatu keadaan dikatakan
perang berdasarkan dua unsur, yaitu:15
- Adanya konflik yang menggunakan kekuatan bersenjata disatu wilayah;
- Intensitas penggunaan kekuatan bersenjata yang cukup tinggi dan terorganisir.
Seorang ahli perang internasional, Quincy Wright mengkategorikan empat tahapan
perkembangan sejarah perang yaitu:16
- Perang yang dilakukan oleh binatang (by animals);
- Perang yang dilakukan oleh manusia primitif (by primitive men);
- Perang yang dilakukan oleh manusia yang beradab (by civilized men);
- Perang yang menggunakan teknologi modern (by using modern technology).
Sejalan dengan perkembangan situasi maka istilah perang kemudian digantikan dengan
sangketa bersenjata (armed conflict). Pengertian konflik bersenjata identik dengan pengertian
perang yangmerupakan perkembangan pengertian perang di dalam masyarakat internasional
dan secara teknis intensitasnya sama dengan perang.menurut seorang ahli Kossoy, bahwa
dilihat dari segi hukum, penggantian adalah more justified and logical.17 Adapun pendapat
beberapa pakar lain tentang pengertian konflik bersenjata anatara lain:18
Menurut Pictet “The term armed conflict has been used here in addition to the
word“war” which it is tending to supplant”. Sedangkan Menurut Edward Kossoy “The term
armed conflict tends to replace, at least in allrelevant legal formulations, the older notion
of war on purely legal consideration thereplacement of war bay armed conflicts seem more
justified and logical”
Dapat dijelaskan bahwa tidak dapat ditemukan defenisi resmi dari “armed conflict”
oleh karena itu perlu dicari jalan lain untuk dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan
Maidin Gultom, Op Cit, hlm. 34
Rika Saraswati, Op Cit, hlm. 22
15
Fadillah Agus, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas
Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hlm. 2-4
16
Quincy Wright, A study of War, (The University Chicago Press, Chicago, 1951), dikutip dari
Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Fadillah Agus (Ed.), (Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta : 1997), hlm. 1-3
17
KGPH Haryomataram, Hukum Humaniter, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hlm. 15.
18
Suardi, Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Ilmiah Santika, Vol.
2 No. 3 Juli 2005, hlm. 291.
13
14
( 351 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
armed conflict.19 Haryomataram membedakan antara sangketa bersenjata internasional
(international armed conflict) dan sanketa bersenjata non-internasional (non international
armed conflict), dansecara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang
diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensikonvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.20
Selanjutnya sengketa bersenjata Internasional dinyatakan dalam ketentuan pasal 2
Konvensi Jenewa 1949 sebagai sengketa bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih,
baik sebagai perang yang diumumkan maupun apabila pernyataan perang tersebut tidak
diakui salah satu dari mereka.21
“In addition to the provisions which shall be implemented in peace time, the present
convention shall apply to all cases of declared war or of any other armed conflict
which may arise between two or more of the high Contracting Parties, even if the
state of war is not recognized by one of them”.
Pada perkembangannya, pengertian sengketa bersenjata internasional diperluas dalam
Protokol I tahun 1977 menetapkan jenis situasi sengketa bersenjata internasional atau situasi
yang disamakan dengan sengketa bersenjata internasional. Dalam hal ini, dimana peoples
(suku bangsa) sedang bertempur melawan dominasi colonial dan pendudukan asing dan
melawan system pemerintahan rasialis dalam rangka memenuhi haknya untuk menentukan
nasibnya sendiri.22 Sengketa ini biasa disebut dengan istilah War of National Liberation atau
yang dikenal dengan istilah CAR conflict (conflict Against Racist Regime) ini adalah fighting
against Colonial domination; Alien occupation; and against Racist Regime, sebagaimana
dalam Pasal 1 ayat 4 Protokol 1 tahun 1977.
Untuk istilah Non-international Armed Conflict dapat dilihat dalam Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 yang menentukan aturan-aturan HHI dan kewajiban para pihak yang berkonflik
untuk melindungi korban perang dalam perang yang tidak bersifat internasional. Namun
pasal tersebut tidak memberikan criteria atau defenisi sengketa bersenjata non-internasional.
Kriteria tentang konflik bersenjata non-internasional dimuat dalam Protokol Tambahan II
Tahun 1977 Tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Noninternasional.23
A.2 Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Beberapa prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat kita jumpai dalam berbagai
instrumen HAM dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Adapun beberapa
prinsip hak asasi manusia yaitu:24
- Bersifat universal dan tak dapat dicabut (universality and inalienability). Hak asasi
19
Ibid.
Ibid.
Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 56.
22
Rina Rusman, Op Cit, hlm. 58.
23
Ibid, hlm. 60.
24
KOMNAS HAM, Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia, www.komnasham.go.id/pendidikandan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasi-manusia (Diakses 22 Desember 2012, Pukul 22.14
WITA).
20
21
( 352 )
Hak Anak
-
-
-
-
-
merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di dunia memikinya.Hakhak tersebut tidak bisa diserahkan secara sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan
pernyataan yang tercantum dalam Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia: “Setiap
umat manusa dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya.”
Tidak bisa dibagi (indivisibility). Kepentingan yang setara dari tiap-tiap hak asasi
manusia, apakah itu sipil, politik, ekonomi, sosial ataupun budaya. Seluruh hak asasi
manusia memiliki status yang setara, dan tidak dapat ditempatkan pada pengaturan
yang bersifat hirarkis. Hak seseorang tidak dapat diingkari oleh karena orang lain
memutuskan bahwa hak tersebut kurang penting atau bukan yang utama. Prinsip
indivisibility ini diperkuat kembali oleh Deklarasi Wina, 1993.
Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain (interdependence and interrelatedness).
Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik
secara keseluruhan maupun sebagian. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu, hak
untuk mendapatkan pendidikan atau hak untuk memperoleh informasi adalah hak
yang saling bergantung satu sama lain.
Sederajat dan tanpa diskriminasi (equality and non-discrimination). Setiap individu
sederajat sebagai umat manusia dan memiliki kebaikan yang inheren dalam harkatmartabatnya masing-masing. Setiap umat manusia berhak sepenuhnya atas hakhaknya tanpa ada pembedaan dengan alasan apapun, seperti yang didasarkan atas
perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan
politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar belakang sosial, cacat dan
kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya sebagaimana yang
telah dijelaskan oleh badan pelaksana hak asasi manusia.
Turut berpartisipasi dan berperan aktif (participation and inclusion). Setiap orang
dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara bebas dan berarti
dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, baik
kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan
kebebasan dasar.
Ada pertanggungjawaban dan penegakkan hukum (accountability and rule of law).
Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak
asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar
yang tercantum di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia. Seandainya mereka
gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak
untuk mengajukan tuntutan secara layak.
A.3 Perlindungan Terhadap Hak Anak Berdasarkan Prinsip-Prinsip HAM
Dalam situasi amanpun anak membutuhkan perlindungan dalam artian yang luas
demikian juga halnya anak yang berada dalam situasi konflik apalagi bila dihubungkan
dengan situasi konflik bersenjata dimana dalam hal ini mereka masuk dalam katagori anak
( 353)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
yang membutuhkan perlindungan khusus.25 Secara normatif negara tidak bisa melepaskan
diri dari tanggung jawabnya untuk melindungi dan membantu anak-anak pada saat terjadi
konflik bersenjata. Kewajiban ini merupakan prinsip dasar dari hak asasi manusia (HAM)
dan hukum perang (humanitarian law).
Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)
merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal HAM dan ketentuan
norma hukum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian
internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan masing-masing hak-hak sipil
dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dalam Konvensi Hak Anak terdapat empat
prinsip umum yang kemudian ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas konvensi
ini secara keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program penerapan
dalam lingkup nasional. Prinsip-prinsip sangat penting untuk memahami bagaimana untuk
sepenuhnya melaksanakan konvensi tersebut.
- Prinsip Non-Diskriminasi (Pasal 2). Dalam Pasal 2 KHA bahwa semua hak berlaku
untuk semua anak tanpa terkecuali dan dalam situasi apapun. Ini adalah kewajiban
negara untuk melindungi anak dari diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik
atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status
kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari sianak sendiri
atau dari orang tua atau walinya yang sah dan untuk mengambil tindakan positif untuk
menjamin hak-hak mereka.26 Pasal-pasal tertentu KHA menyediakan bentuk-bentuk
perlindungan khusus bagi anak yang cenderung mengalami diskriminasi. Sebab,
diskriminasi adalah akar berbagai bentuk eksploitasi terhadap anak.27 Prinsip ini juga
merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM.
- Prinsip Kepentingan Terbaik untuk Anak (Pasal 3). Prinsip kepentingan terbaik
bagi anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana
prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam
semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor
publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif.28
Kepentingan terbaik bagi anak bukan dipahami sebagai memberikan kebebasan
anak menentukan pandangan dan pendapatnya sendiri secara liberal. Peran orang
dewasa justru menghindarkan anak memilih suatu keadaan yang tidak adil dan tidak
eksploitatif, walaupun hal itu tidak dirasakan lagi oleh anak di dalam situasi konflik.
- Prinsip atas Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (Pasal 6).
http://magdalenasitorus.blogspot.com/2008/09/anak-dalam-situasi-konflik-bersenjata.html.
(Diakses 22 Oktober 2012, Pukul 00.10 WITA).
26
Children Right’s in Walles: UNCRC dalam http://www.childrensrightswales.org.uk/uncrc-principles.
aspx, (Diakses 9 januari 2013, Pukul 21:15 WITA).
27
Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan Konvensi
PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak,
2008), hlm. 3.
28
Rika Saraswati, Op Cit, hlm. 25.
25
( 354 )
Hak Anak
Walaupun dalam keadaan konflik bersenjatapun, setiap anak tetap harus tetap dijamin
hak untuk hidup dengan aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin,
serta berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang
secara layak, dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak yang harus dipenuhi oleh pihak yang
disebutkan oleh KHA yang memiliki kewajiban dan tanggun jawab untuk itu.
- Hak tumbuh dan berkembang anak dalam hal ini meliputi segala bentuk pendidikan
(baik formal maupun nonformal) dalam KHA pada intinya terdapat hak untuk
memperoleh akses pendidikan dalam segala bentuk dan tingkatan (education rights),
dan hak yang berkaitan dengan taraf hidup secara memadai untuk pengembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the rights to standart of living).
- Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Pasal 12). Mengacu kepada Pasal 12
ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan
pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara
bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely).
negara peserta wajib menjamin bahwa anak diberikan kesempatan untuk menyatakan
pendapatnya pada setiap proses peradilan ataupun administrasi yang mempengaruhi
hak anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.29 Prinsip ini juga merupakan
pencerminan dari prinsip indivisibility HAM.
B. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Situasi Konflik Bersenjata Menurut Konvensi
Hak Anak Tahun 1989
B.1 Latar Belakang dan Sejarah Konvensi Hak Anak Tahun 1989
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), untuk seterusnya akan
disingkat dengan KHA, merupakan sebuah perjanjian internasional yang termasuk salah satu
instrumen HAM internasional yang mengatur tentang prinsip-prinsip dasar perlindungan hak
anak di muka bumi. Dalam hukum internasional Konvensi dikelompokkan sebagai salah satu
sumber hukum internasional, selain kebiasaan internasional (International Custom), prinsipprinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The General Principles of
Law Recognized by Civilized Nations) dan keputusan atau resolusi organisasi internasional
(vide Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Agung Internasional).30
Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dengan Resolusi 44/25pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai
kekuatan memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. KHA merupakan
perjanjian internasional mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengintegrasikan hak
sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya (economic, social and cultural rights). Kehadirannya mengesampingkan
dikotomisasi antara hak sipil dan politik sebagai generasi pertama HAM dengan dengan hak
Muhammad Joni, Op Cit, hlm. 5.
Edy Ikhsan, Bebarapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, (Fakultas Hukum: Universitas Sumatera
Utara, 2002), hlm. 1.
29
30
(355 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
ekonomi, sosial dan budaya yang dikenal generasi kedua HAM.31
Di dalamnya diatur secara detail hak asasi anak dan tolak ukur yang harus dipakai
pemerintah secara utuh dalam implementasi hak asasi anak di negara masing-masing.
Dilahirkan dari system hukum dan nilai-nilai tradisional yang pluralis, KHA menjadi sebuah
instrumen yang tidak begitu banyak dipersoalkan dan diperdebatkan oleh negara-negara
anggota PBB.Ia mencerminkan hak dasar anak dimanapun di dunia ini: hak untuk hidup,
berkembang, terlindungi dari pengaruh buruk, penyiksaan dan eksploitasi serta hak untuk
berpartisipasi secara utuh dalam lingkup keluarga, kehidupan budaya dan sosial.32
Gagasan mengenai hak anak bermula sejak berakhirnya Perang Dunia I sebagai
reaksiatas penderitaan yang timbul akibat daribencana peperangan terutama yang dialamioleh
kaum perempuan dan anak-anak. Liga Bangsa-Bangsa saat itu tergerak karenabesanya
jumlah anak yang menjadi yatimpiatu akibat perang.33 Pandangan ini dipengaruhi oleh
laporan tentang ketidakadilan yang serius yang diderita oleh anak-anak: tingginya tingkat
kematian anak, perawatan kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dasar. Ditemukan pula berbagai kasus yang mencemaskan mengenai anak-anak
yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam pekerjaan-pekerjaan yang
membahayakan, mengenai anak-anak dalam penjara atau dalam keadaan yang lain, serta
mengenai anak-anak sebagai pengungsi dan korban konflik bersenjata.34
Melirik sejarah perkembangannya, masyarakat dunia sekarang ini nampaknya
harus berhutang kepada Eglantynee Jebb, pendiri Save the Children Fund (sebuah lembaga
swadaya masyarakat internasional yang bekerja untuk perlindungan anak). Beliau, setelah
menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, merawat para pengungsi anak di Balkan,
akibat Perang Dunia I, membuat sebuah rancangan “Piagam Anak” pada tahun 1923. Dalam
ringkasan tersebut, Jebb mengembangkan 7 (tujuh) gagasan mengenai hak-hak anak.35
Kemudian pada tahun 1924 untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi
secara Internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa.Deklarasi ini dikenal juga sebagai Deklarasi
Jenewa.Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1948 Majelis Umum PBB kemudian
mengadopsi Deklarasi Universal Hak AsasiManusia pada tanggal 10 Desember. Peristiwa ini
yang kemudian pada setiap tahunnya diperingati sebagai Hari HakAsasi Manusia se-dunia
ini menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM dan beberapa hal menyangkut hak
khusus bagi anak-anak tercakup dalam deklarasiini.36 Deklarasi Umum tersebut menyatakan:
“Semua manusia dilahirkan merdeka dan sama dalam keluhuran dan hak dan juga
menekankan bahwaIbu dan Anak berhak atas perlakuan perlindungan khususserta
Muhammad Joni, Op Cit, hlm. 2.
Edy Ikhsan, Loc Cit.
33
Supriyadi W. Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Materi :
Pengantar Konvensi Hak Anak, (Jakarta: ELSAM, 2005), hlm. 1
34
Anonim, Hak Anak, Lembar Fakta No. 10 (Revisi 1), Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Anak,
hlm. 3
35
UNICEF. Pengembangan Hak Anak: Pedoman Pengembangan Pelatihan tentang Konvensi
Hak Anak, (Jakarta, 1996). Hlm. 8; Lihat juga M. Joni, dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan
Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999). Hlm. 30 dikutip dalam
Edy Ikhsan, Loc Cit, hlm. 1-2.
36
Supriyadi W. Eddyono, Loc Cit.
31
32
( 356 )
Hak Anak
harus merujuk kepada keluarga sebagai kelompok yang fundamental dalam
masyarakat”37
Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan Pernyataan mengenai
Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak. Kemudian pada
tahun 1979 negara Polandia mengajukan sebuah rancangan teks Konvensi Hak-hak Anak
yang mengikat secara yuridis pada sebuah acara memperingati tahun anak, yang disponsori
oleh PBB.38
Pada tanggal 20 November 1989, akhirnya, Konvensi Hak Anak, dengan 54 buah
pasal yang kita kenal sekarang, diadopsi oleh PBB dan dinyatakan berlaku sejak September
1990. Sejak saat itu, KHA mempunyai ikatan hukum yang kuat bagi tiap negara yang
meratifikasinya. Pada 31 Desember 1995, tidak kurang dari 185 Negara telah meratifikasi
Konvensi ini. Jumlah seperti ini belum pernah tercapai sebelumnya di bidang hak asasi
manusia. Konvensi juga untuk pertama kalinya membentuk suatu badan internasional
yang bertanggung jawab untuk mengawasi penghormatan atas hak-hak anak, yakni Komite
Hak-hak Anak (Committee on the Rights of the Child).39
Penting untuk diingat bahwa CRC membentuk sebuah komite mengenai hak anak
tersebut, yang dimandatkan untuk memonitor kemajuan yang dibuat Negara pihak terhadap
kewajiban mereka menurut konvensi dan protokol oprasionalnya.40
B.2 Substansi Materi Konvensi Hak Anak 1989
Konvensi ini merupakan instrument Internasional di bidang Hak Asasi Manusia
dengan cakupan hak yang paling komprehensif. Terdiri dari 54 pasal, Konvensi hingga saat
ini dikenal sebagaisatu-satunya konvensi di bidang Hak Asasi Manusia yang mencakup
baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sekaligus.
Mengkualifikasikan materi KHA bukan saja menegaskan apa yang merupakan hak-hak anak,
namun juga bagaimana tanggungjawab negara menjalankan kewajibannya. Materi yang
terkandung dalam KHA dapat dikualifikasi kepada:41
- Penegasan hak-hak anak,
- Perlindungan anak oleh negara,
- Peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, orangtua, dan swasta) dalam
menjamin, menghormati, memajukan, memenuhi, dan melindungi hak -hak anak.
Disamping itu, berdasarkan strukturnya, isi Konvensi ini terdiri atas empat bagian
yaitu:
- Mukadimah/Preambule. Didalam preambul atau mukadimah KHA di kemukakan
http://www.unicef.org/crc/crc.htm. (Diakses 12 November 2012 Pukul 15:00 WITA).
Supriyadi, Loc Cit.
39
Ibid.
40
Erica Harper, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation,
(Jakarta: PT. Grasindo, 2009), hlm. 204.
41
Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan Konvensi
PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional Perlindungan Anak,
2008), hlm. 6
37
38
( 357)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
bagaimana latar belakang dan landasan filosofis hak-hak anak.42
- Bagian I. Terdiri dari 41 pasal (Pasal 1 sampai dengan Pasal 41) yang berisi ketentuanketentuan subtantif menyangkut hak-hak anak.
- Bagian II. Terdiri atas empat pasal (Pasal 42 sampai dengan Pasal 45) yang berisi
ketentuan-ketentuan yang menyangkut mekanisme monitoring dan implementasi.
- Bagian III. Terdiri atas Sembilan pasal terakhir (Pasal 46 sampai dengan Pasal 54)
yang berisi ketentuan-ketentuan yang menyangkut pemberlakuan konvensi ini.
-
-
-
-
Ada empat Prinsip yang terkandung didalam Konvensi Hak Anak, yakni :43
Prinsip non-diskriminasi. Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam
Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun.
Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak.
Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child). Yaitu bahwa dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan
sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).
Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival
and development). Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak
memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa
negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup
dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).
Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).
Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang
mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan
keputusan. Prinsip ini tertang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak.
Selanjutnya, Hak-hak anak yang terdapat dalam KHA bisa dikelompokkan ke dalam
4 (empat) kategori hak-hak anak, yaitu:44
1. Hak untuk kelangsungan hidup, yaitu hak-hak anak untuk mempertahankan hidup
dan hak untuk memperoleh standar kesehatan dan perawatan sebaik-baiknya;
2. Hak untuk tumbuh kembang, yang meliputi segala hak untuk mendapatkam
pendidikan, dn untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi perkembangan
fiski, mental, spritual, moral dan sosial anak;
3. Hak untuk mendapatkan perlindungan, yang meliputi perlindungan dari diskriminasi,
tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak-anak yang tidak mempunyai keluarga
dan bagi anak-anak pengungsi;
4. Hak untuk berpartisipasi, meliputi hak-hak untuk menyatakan pendapat dalam segala
hal yang mempengaruhi anak.
42
43
44
Ibid.
Supriyadi W. Eddyono, Op Cit, hlm. 2-3
Edy Ikhsan, Op Cit, hlm. 3
( 358 )
Hak Anak
B.3 Perlindungan Hukum terhadap Anak Menurut KHA Tahun 1989
Pada Perang Dunia II, korban sipil terdiri 50% dari mereka yang mati, sebagian besar
dari serangan bom. Namun, pada tahun 1996, dalam laporannya tentang Dampak Konflik
Bersenjata pada Anak, Graça Machel45 memperkirakan bahwa warga sipil terdiri 90% korban
perang dan proporsi terbesar dari para korban adalah perempuan dan anak. Abad sebelumnya
angka ini telah hanya 5%.46 Terdapat enam pelanggaran berat terhadap anak selama konflik
bersenjata yang disebutkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya, menjadi dasar
Dewan dalam melindungi anak-anak selama perang. Hal tersebut dipilih karena kemampuan
mereka untuk dipantau dan diukur, sifat mengerikan mereka dan keparahan konsekuensi
mereka pada kehidupan anak-anak. Enam pelanggran berat tersebut adalah membunuh atau
melukai anak-anak, rekrutmen atau penggunaan tentara anak-anak, perkosaan dan bentukbentuk kekerasan seksual terhadap anak-anak, penculikan anak-anak, serangan terhadap
sekolah atau rumah sakit, serta penolakan akses kemanusiaan bagi anak-anak.47
Salah satu tugas yang paling mendesak ketika konflik mengancam adalah untuk
menemukan cara untuk melindungi anak-anak. Perlindungan dalam pengertian ini berarti
tidak hanya membela mereka melawan kekerasan, tetapi juga memastikan bahwa hak-hak
dan kebutuhan mereka dihormati dan dipenuhi. Dalam hal ini Konvensi tentang Hak Anak Tahun 1989, adalah suatu bingkai hukum
yang terpenting sebagai perlindungan terhadap hak anak terutama dalam konflik bersenjata.
Konvensi Hak Anak merupakan sumber hukum yang memberi materi pada pembuatan
hukum dan harmonisasi hukum tentang anak. Dengan demikian kaidah-kaidah yang terdapat
dalam Konvensi Hak Anak Tahun 1989 sekaligus merupakan materi hukum yang memberi isi
peraturan perundang-undangan mengenai hak anak dan juga perlindungannya.48
Hak anak merupakan bagian integral dari hak asasi manusia dan Konvensi Hak Anak
merupakan bagian integral dari instrument internasional tentang hak asasi manusia. Secara
garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut: pertama, penegasan
hak-hak anak. kedua, perlindungan anak oleh negara. Ketiga, peran serta berbagai pihak
(pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.
Perlindungan terhadap hak asasi anak dalam situasi konflik bersenjata (children in situation
of armed conflict) diartikan sebagai perlindungan anak sebagai korban konflik (the protection
of children as the victims of that conflict). Fokus perlindungan tersebut dititikberatkan pada
Graca Machel terkenal di dunia atas komitmennya terhadap hak-hak anak dan perempuan, pendidikan,
dan pembangunan. Dia menjabat sebagai Presiden Komisi Nasional UNESCO di Mozambik, sebagai delegasi
ke Konferensi UNICEF tahun 1988. Pada tahun 1994 Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali menunjuk
Graca ahli independen yang bertugas memproduksi Laporan PBB tentang Dampak Konflik Bersenjata pada Anak
(The Impact of Armed Conflict on Children 1996, Graça Machel. A/51/306.Add.1) dan Graca menghabiskan
1994-1996 bepergian untuk menyelidiki penderitaan anak-anak di negara dilanda perang. (http://www.unicef.
org/graca. Diakses 25 Januari 2013, Pukul 11.15 WITA).
46
Rachel Harvey, Children and Armed Conflict: A Guide to International Humanitarian and
Human Right Law, (IBCR: Montreal, Canada, 2003), hlm. 5
47
Office of the Special Representative of the Secretary-General for Children and Armed Conflict,
the Six Grave Violation Against Children During Armed Conflict: the legal foundation, working paper N.1,
UNICEF, Oktober 2009, hlm. 2-3.
48
Muhammad Joni, Op Cit, hlm. 72
45
( 359 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
perlindungan anak dari dampak-dampak kekerasan, termasuk di dalamnya kebutuhan dasar
hidup dan hak atas pendidikan. Cakupan perlindungan tersebut, meskipun tidak bisa dipisahpisahkan, meliputi 2 (aspek) berikut:49
a. Anak yang terlibat sebagai kombatan (children as participants);
b. Anak sebagai bagian penduduk sipil yang menjadi korban konflik (children as
victims).50
Ketentuan hukum mengenai perekrutan tentara anak dalam International Convention
on the Right of the Child (Konvensi Hak Anak) hanya terdapat dalam Pasal 3851 yang memuat
berbagai kewajiban negara untuk tidak merekrut anak di bawah usia 15 tahun dan memberikan
perlindungan bagi anak yang terkena dampak konflik bersenjata. Protokol Tambahan tahun
2000 (Optional Protocol on the Involvement in Armed Conflict to the Convention on the
Right of the Child). Pasal-pasal 1, 2, 3, 4 dan 6 yang mengatur tentang kewajiban negara
untuk memastikan bahwa anak-anak yang berusia 18 tahun tidak terlibat secara langsung
dan tidak merekrut secara wajib dalam suatu permusuhan dan dalam angkatan bersenjata.
Ketentuan ini merupakan perbaikan dari Konvensi Hak Anak Tahun 1989 yang menyatakan
bahwa batas usia minimum anak untuk dapat direkrut adalah 15 tahun.
Selain itu, anak sebagai bagian dari penduduk sipil yang menjadi korban konflik
bersenjata harus tetap mendapatkan perlindungan terhadap kebutuhan dasar dan hak atas
pendidikannya.
Hak anak untuk tetap menikmati hak atas pendidikan harus dipenuhi oleh kedua belah pihak
yang bersengketa, bagaimanapun sulitnya keadaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 dan
29 KHA.
Pendidikan memiliki bagian penting dalam pencegahan dan pemulihan dalam
memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak dalam situasi konflik dan pasca-konflik. Pendidikan
juga melayani fungsi yang lebih luas. Pendidikan memberikan bentuk dan struktur untuk
kehidupan anak-anak dan dapat menanamkan nilai-nilai masyarakat, mempromosikan
keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam meningkatkan perdamaian,
stabilitas dan saling ketergantungan.
Selain pendidkan, kesehatan merupakan hal yang utama yang tidak dapat diabaikan,
sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 24 KHA bahwa pihak-pihak yang bersengketa
menjamin hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh
dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan.
Anak-anak adalah yang paling rentan terhadap serangan kolektif pada kesehatan dan
kesejahteraan dasar mereka, selain itu, salah satu efek yang paling langsung dari konflik
bersenjata adalah gangguan pasokan makanan yang menyebabkan banyaknya anak-anak
Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Memunculkan Anak sebagai Aktor Perdamaian: Upaya
Memutus Siklus Konflik Secara Transformatif, (Jakarta: 2007), hlm. 15
50
Ben Majekodunmi, Protection in Practice: The protection of children’s rights in situations
of armed conflict, UNICEF Experience in Burundi, (Italy: UNICEF Innocents Research Centre Florence,
1999), hlm. 3
51
Lihat Pasal 38 KHA.
49
( 360 )
Hak Anak
yang mengalami malnutrisi.52
Pada Pasal 39 dari Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa :
“Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan reintegrasi sosial seorang anak
yang menjadi korban bentuk penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan,
penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam atau hukuman yg kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat, atau konflik bersenjata. Penyembuhan dan reintegrasi
tersebut harus berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan kesehatan,
harga diri dan martabat si anak.”
Ketentuan tersebut memastikan bahwa kesehatan dan gizi, kesejahteraan psikososial
dan pendidikan merupakan prioritas komponen bantuan kemanusiaan adalah cara terbaik untuk
memastikan pemulihan fisik dan psikologis anak-anak dan reintegrasi sosial. Berdasarkan hal
tersebut diatas, maka terhadap anak yang berada dan menjadi korban dalam konflik bersenjata
harus tetap mendapatkan perlindungan atas kesehatan, pedidikan serta perkembangan tubuh
dan jiwanya.
Selanjutnya, ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak
dapat dikelompokkan menjadi:53
a. Hak atas kelangsungan hidup (survival rights);
b. Hak untuk berkembang (development rights);
c. Hak untuk berpartisipasi (participation rights);
d. Hak untuk Perlindungan (protection rights).
Memang disadari, adanya KHA dan instrumen internasional mengenai HAM lainnya
tidak serta merta bisa merubah situasi dan kondisi kehidupan anak-anak di dunia. Namun
dengan adanya instrumen tersebut, yang menjadi standar minimal, setidaknya ada acuan
yang bisa digunakan untuk melakukan advokasi bagi perubahan atau mendorong lahirnya
peraturan perundangan, kebijakan-kebijakan ataupun program-program yang lebih baik bagi
anak-anak. KHA merupakan instrumen internasional yang telah memberikan dasar untuk
bertindak. Jelas apa yang kurang adalah mekanisme dan kemauan untuk penegakan.
III.PENUTUP
Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)
merupakan instrumen yang berisirumusan prinsip-prinsip universal HAM dan ketentuan
norma hukum mengenai hak-hak anak. Terdapat empat prinsip umum yaitu: prinsip
nondiskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik untuk anak, prinsip atas hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan prinsip penghargaan atas pendapat anak.
UNICEF, The Impact of Armed Conflict on Child Development, http://www.un.org/rights/impact.
htm. (Diakses 10 Januari 2012, Pukul 22:13 WITA).
53
Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada Era
Otonomi Daerah, Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Surakarta, hlm. 80-83.
52
( 361 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Ratifikasi universal ataskonvensi tersebut merefleksikan komitmen global terhadap prinsipprinsip hak-hakanak, dan perlindungannya. Prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk
memahami bagaimana untuk sepenuhnya melaksanakan konvensi tersebut dan memberikan
arahan bagi programpenerapannya dalam lingkup nasional.
Kebutuhan dasar anak-anak harus dilindungi ketika konflik mengancam, dan
perlindungan tersebut memerlukan pemenuhan atas hak-hak mereka melalui pelaksanaan
Konvensi Hak Anak Tahun 1989. Fokus perlindungan tersebut dititikberatkan pada
perlindungan anak dari dampak-dampak kekerasan, termasuk di dalamnya kebutuhan dasar
hidup dan hak atas pendidikan. Cakupan perlindungan tersebut meliputi Anak yang terlibat
sebagai kombatan (children as participants) dan Anak sebagai bagian penduduk sipil yang
menjadi korban konflik (children as victims). Konvensi ini merupakan perangkat hukum
yang telah cukup memberikan perlindungan terhadap anak dalam hal keterlibatan anak dalam
angkatan bersenjata “tentara anak” serta dalam hal penegakan hak-hak anak dalam situasi
konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Absori, Perlindungan Hukum Hak-hak Anak dan Implementasinya di Indonesia pada
Era Otonomi Daerah, Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Anonim, Hak Anak, Lembar Fakta No. 10 (Revisi 1), Kampanye Dunia untuk Hak Asasi
Anak.
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak di Indonesia, Jakarta: Akademi Pressindo, 1989.
Ben Majekodunmi, Protection in Practice: The protection of children’s rights in situations
of armed conflict, UNICEF Experience in Burundi, Italy: UNICEF Innocents
Research Centre Florence, 1999.
Children Right’s in Walles: UNCRC dalam http://www.childrensrigh tswales.org.uk/uncrcprinciples.aspx, (Diakses 9 januari 2013, Pukul 21:15 WITA).
Edy Ikhsan, Bebarapa Catatan Tentang Konvensi Hak Anak, Fakultas Hukum: Universitas
Sumatera Utara, 2002.
Erica Harper, International Law and Standard Applicable in Natural Disaster Situation,
Jakarta: PT. Grasindo, 2009.
Fadillah Agus, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter,
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta : 1997.
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
http://magdalenasitorus.blogspot.com/2008/09/anak-dalam-situasi-konfli k-bersenjata.html.
(Diakses 22 Oktober 2012).
http://www.unicef.org/crc/crc.htm. (Diakses 12 November 2012 Pukul 15:00 WITA).
http://www.unicef.org/graca. (Diakses 25 Januari 2013, Pukul 11.15 WITA).
( 362 )
Hak Anak
KGPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Jakarta: CV Rajawali, 1984.
KOMNAS HAM, Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia, www.komnasham.go.id/
pendidikan-dan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasi-manusia (Diakses
22 Desember 2012, Pukul 22.14 WITA).
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.
Maulana Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Grasindo,
2000.
Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Dan
Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, Jakarta:
Komisi Nasional Perlindungan Anak, 2008.
M. Joni, dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Adytia Bakti, 1999.
Quincy Wright, A study of War, Chicago: The University Chicago Press, 1951.
Rachel Harvey, Children and Armed Conflict: A Guide to International Humanitarian
and Human Right Law, IBCR: Montreal, Canada, 2003.
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009.
Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Suardi, Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Ilmiah
Santika, Vol. 2 No. 3 Juli 2005. Hlm. 291.
Supriyadi W. Eddyono, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X, Materi :
Pengantar Konvensi Hak Anak, Jakarta: ELSAM, 2005.
UNICEF, Pengembangan Hak Anak: Pedoman Pengembangan Pelatihan tentang
Konvensi Hak Anak, Jakarta, 1996.
UNICEF, The Impact of Armed Conflict on Child Development, http://www.un.org/rights/
impact.htm. (Diakses 10 Januari 2012, Pukul 22:13 WITA).
Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), Memunculkan Anak sebagai Aktor Perdamaian:
Upaya Memutus Siklus Konflik Secara Transformatif, Jakarta: 2007.
( 363 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 364 )
Indigenous People
PERLINDUNGAN HAK ULAYAT INDIGENOUS PEOPLE
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Muh. Afif Mahfud*
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
E-mail: [email protected]
Abstract: Indigenous people is society that has its own legal system to regulate
its teritory known as teritorial right (hak ulayat). Teritorial right of indigenous
people is always diminished or depleted by state authority over land as a
dominant law. However, teritorial right is fundamental right that had been
regulated in national and international legal instrument.
Abstrak: Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat yang mempunyai
tatanan hukumnya sendiri untuk mengatur wilayahnya yang disebut dengan
hak ulayat. Hak ulayat tersebut senantiasa dikurangi atau dihilangkan
dengan hak menguasai negara sebagai hukum dominan. Padahal, hak ulayat
merupakan hak asasi yang telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum
nasional dan internasional
I. PENDAHULUAN
Indigenous people (masyarakat hukum adat) merupakan kesatuan sosial yang
mempunyai susunan yang teratur serta memiliki pengurus dan kekayaan sendiri baik kekayaan
materiil maupun kekayaan imateriil1. Masyarakat hukum adat mendiami suatu wilayah tertentu
yang di bawah penguasaan dan pengaturannya. Hak masyarakat untuk mengatur wilayahnya
inilah yang dikenal dengan hak ulayat. Di Indonesia, masyarakat hukum adat sebagai kesatuan
sosial telah ada sebelum Indonesia merdeka sehingga kepentingan masyarakat hukum adat
tersebut harus pula diakui dan diakomodasi dalam hukum nasional. Pengakuan tentang
masyarakat hukum adat di Indonesia telah tertuang dalam Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 28 I
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Dalam tataran implementatif, pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut
harus berhadapan dengan hak menguasai negara yang diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI 1945. Hak menguasai negara berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan hak-hak
ulayat masyarakat hukum adat. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 41
tahun 1999 tentang Kehuatanan dan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara. Padahal, hak ulayat masyarakat hukum adat adalah hak asasi yang
telah dijamin dalam berbagai instrumen hukum internasional yaitu Universal Declaration on
Human Right, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, International
*
Praktisi Hukum. Sarjana Hukum (S.H.) 2013 dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
( 365 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Convenant on Civil and Political Right, Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples
in Independent Countries (Convention No. 169) tahun 1989, United Nations Declaration of
the Rights of Indigenous People dan Declaration on The Right to Developement (DRD).
Titik tolak pembahasan tulisan ini adalah pertanyaan bagaimanakah pengakuan hak
ulayat masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional serta bagaimanakah perlindungan
hak ulayat masyarakat hukum adat di Indonesia dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).
II. PEMBAHASAN
A. Pengakuan Hak Ulayat Indigenous People Dalam Sistem Hukum Nasional
Di dunia, terdapat 1.072 kelompok masyarakat hukum adat dengan jumlah 370
juta jiwa yang menempati 70 negara termasuk 1 juta penduduk yang ada di Indonesia2.
Masyarakat hukum adat yang menempati wilayah Indonesia ini telah ada sebelum Indonesia
merdeka. Nilai-nilai masyarakat hukum adat telah menjadi sumber utama pembentukan
pancasila melalui metode analisis dan sintesis. Pengakuan masyarakat hukum adat di
Indonesia secara konstitusional terdapat pada Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup,
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang.
Eksistensi masyarakat hukum adat diakui dengan syarat sepanjang masih hidup dapat
diukur dari tiga kriteria yaitu adanya masyarakat hukum adat, adanya tanah/wilayah masyarakat
hukum adat dan adanya tatanan hukum yang mengatur masyarakat tersebut3, sedangkan
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia bermakna bahwa eksistensinya
harus sesuai dengan undang-undang. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat
dalam sistem hukum nasional sebagaimana yang termuat dalam Pasal 18 B ayat (2) tersebut
merupakan suatu hal yang sangat tepat karena menurut Von Savigny hukum tumbuh dalam
masyarakat. Artinya, hukum tersebut harus sesuai dengan jiwa rakyat (volk geist) atau nilainilai yang ada di masyarakat. Masyarakat hukum adat yang hidup dalam corak religius magis,
kontan, komunal dan konkrit juga akan memiliki sistem hukum yang memiliki corak hukum
yang substantif4. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan masyarakat nasional yang memiliki
corak hukum yang formal-prosedural.
Fergus Mac Kay menyatakan bahwa hubungan masyarakat hukum adat dengan tanah
dan sumber daya alam di dalamnya haruslah dipahami sebagai hal yang fundamental bagi
kelangsungan budaya dan spiritual masyarakat tersebut. Bagi masyarakat hukum adat, tanah
Kantor Perburuhan Internasional. Hak-hak Masyarakat Adat yang Berlaku; Pedoman untuk
Konvensi ILO 169. (Jakarta, 2010)
3
Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan
VI. (Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara, 2009), hlm. 54-55
4
A. Suryaman Mustari Pide. Hukum Adat; Dulu, Kini dan Akan Datang. (Makassar : Pelita
Pustaka, 2009), hlm. 51
2
(366 )
Indigenous People
bukan hanya faktor produksi tetapi elemen spritual5. Hal senada juga dikemukakan oleh
Ortiga bahwa tanah bagi masyarakat hukum adat bukan hanya bernilai ekonomi tetapi bagian
dari sistem kehidupan dan kepercayaan masyarakat hukum adat6. Dalam hal inilah terjadi
perbedaan antara pemahaman masyarakat pada umumnya dan masyarakat hukum adat.
Achmad Sodiki menyatakan bahwa penyeragaman di bidang hukum ditopang oleh
penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial menuntut tunduknya hukum lokal (adat)
pada kriteria hukum undang-undang sebagai produk politik. Hal ini menimbulkan berbagai
kesenjangan antara lain kesenjangan konsep, kesenjangan kesadaran hukum dan kesenjangan
fungsi.7
Berdasarkan uraian tersebut maka tepatlah teori the law of non transferability
law yang dikemukakan oleh Robert M. Seidman. Seidman menyatakan bahwa hukum
suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain. Pendapat Seidman ini
didukung oleh pandangan penganut aliran postmodernisme yang menyatakan bahwa hukum
uniform yang dibentuk untuk diterapkan ke dalam masyarakat yang tidak uniform sudah
tidak mungkin dipertahankan lagi karena hukum berbeda-beda sesuai konteks dan kultur
hukum yang berbeda-beda8. Masyarakat hukum adat sudah seharusnya diberikan hak untuk
mengatur wilayahnya sendiri yang dikenal dengan hak ulayat. Berdasarkan persepsi ini maka
eksistensi hukum adat dengan sistem hukumnya sendiri harus dilindungi dan hukum nasional
tidak boleh dipaksakan keberlakuannya kepada masyarakat hukum adat. Perlindungan hak
ulayat masyarakat hukum adat terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisionil dihormati sepanjang selaras dengan
perkembangan zaman.
Diakui dan dilindunginya masyarakat hukum adat dalam sistem hukum nasional
menunjukan bahwa Indonesia menganut pluralisme hukum. Griffths membagi pluralisme
hukum tersebut menjadi dua yaitu pluralisme hukum yang kuat dimana hukum adat sejajar
dengan hukum nasional dan pluralisme hukum yang lemah dimana hukum adat menjadi
subordinat dari hukum nasional9. Merujuk pada teori tersebut maka sangat jelas bahwa
Indonesia menganut pluralisme hukum yang lemah. Hal ini tampak dalam syarat pengakuan
masyarakat hukum adat dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yaitu
sepanjang masih ada, sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan selaras
dengan perkembangan zaman.
Dalam konteks Indonesia, pluralisme hukum yang lemah bermakna hukum adat
berada di bawah hukum nasional. Artinya, sistem hukum masyarakat hukum adat diakui
MacKay, Fergus. Indigenous Peoples’ Right to Free, Prior, and Informed Consent and the World
Bank’s Extractive Industries Review. Makalah, World Bank Seminar, 2004.
6
Ortiga, Roque Roldán. 2004. “Models for Recognizing Indigenous Land Rights in Latin American.
(Washington D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development The World Bank, 2004), hlm. 5
7
Teori tentang fungsi hukum sebagai a tool of social control (alat rekayasa sosial) dikemukakan oleh
Roscoe Pound
8
Lily Rasjidi dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2001), hlm. 78
9
Soetandyo Wignjoesoebroto et.al. Untuk Apa Pluralisme Hukum?; Regulasi, Negosiasi dan
Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia. (Jakarta: Epistema Institute, 2011), hlm.3
5
(367 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
keberlakuannya sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional. Dianutnya pluralisme
hukum yang lemah di Indonesia tentunya akan membahayakan eksistensi masyarakat hukum
adat karena eksistensinya digantungkan pada hukum nasional. Jika ketentuan hukum nasional
tidak berpihak pada pemenuhan hak masyarakat hukum adat maka masyarakat hukum adat
hanya bisa menerima kenyataan tersebut. Kenyataannya, Indonesia sebagai sebuah negara
bangsa memiliki kecenderungan memantapkan eksistensi otoritas hukum yang terpusat dan
pada saat yang sama melemahkan otoritas-otoritas hukum lokal (hukum adat).
Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh masyarakat hukum adat akibat dianutnya
pluralisme yang lemah adalah pemberlakuan paham hak menguasai negara yang diatur dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Achmad Sodiki menyatakan bahwa hak ulayat masyarakat
hukum adat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3)
bersifat lex spesialis terhadap hak menguasai negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal
33 ayat (3) UUD NRI 194510.
Berdasarkan asas tersebut maka seharusnya hak menguasai negara tersebut tidak
diberlakukan dalam wilayah masyarakat hukum adat dan kewenangan pengaturan wilayahnya
diberikan kepada masyarakat hukum adat yang bersangkutan (hak ulayat). Abrar Saleng
menyatakan bahwa hak ulayat dapat dipersamakan dengan hak bangsa dan wewenang
kepala persekutuan hukum adat dipersamakan dengan hak menguasai negara11. Faktanya,
paham hak menguasai negara tersebut jika disandingkan dengan hak ulayat menjadi lebih
dominan sedangkan hak ulayat menjadi semakin inferior. Hal ini disebabkan hubungan
yang tercipta antara hak ulayat dan hak menguasai negara tersebut tidak sejajar karena
hak ulayat ditempatkan di bawah hak menguasai negara. Salah satu penyebab dominannya
hak menguasai negara tersebut adalah tidak adanya batasan-batasan yang jelas tentang hak
menguasai negara. Bahkan, hak menguasai negara tersebut rentan disalahfungsikan oleh
penguasa demi kepentingannya.
Dalam konteks inilah, hak menguasai negara tersebut harus ditentukan batas-batasnya
agar tidak disalahgunakan oleh pihak manapun. Maria S.W. Sumardjono menyatakan bahwa
kewenangan negara harus dibatasi oleh dua hal, yaitu: pertama, hal-hal yang diatur oleh
negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945.
Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara
harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat12.
Ketiadaan batasan mengenai hak menguasai negara menyebabkan undang-undang
yang berdasarkan paham tersebut cenderung mengeliminasi hak-hak masyarakat hukum adat.
Achmad Sodiki. Politik Hukum Agraria. (Jakarta : Konstitusi Pers, 2013), hlm. 96.
Abrar Saleng. Hukum Pertambangan. (Jogjakarta : UII Press, 2004), hlm. 51
12
Maria SW Sumardjono, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan
Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14
Februari 1998 di Yogyakarta.
10
11
( 368 )
Indigenous People
Dalam tulisan ini, penulis akan menganalisis dua undang-undang yang mengeleminasi hak
ulayat masyarakat hukum adat yaitu Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU
Kehutanam) dan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara (UU Minerba). Dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan dinyatakan bahwa hutan
negara dapat berupa hutan adat. Ketika hutan adat ditetapkan sebagai hutan negara maka
masyarakat hukum adat yang berkeinginan mengelola dan memanfaatkannya harus terlebih
dahulu memohon izin kepada pemerintah. Substansi pasal ini jelas menunjukan terjadinya
perampasan lahan yang dilakukan negara.
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa kategorisasi hutan adat sebagai hutan
negara telah melanggar Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 28 I UUD NRI 1945. Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa keberadaan hutan adat dalam kesatuannya dengan wilayah
hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat adalah konsekuensi pengakuan terhadap hukum
adat sebagai living law13. Namun kenyataannya, hingga saat ini terdapat banyak masyarakat
hukum adat yang hidup di wilayah yang telah diklaim sebagai hutan negara. Salah satu
contohnya adalah orang rimba yang sebagian wilayahnya telah berubah menjadi Hutan
Tanaman Industri (HTI) akibat izin yang diberikan oleh pemerintah14.
Upaya penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat juga terdapat dalam UU
Minerba. Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e UU ini dinyatakan bahwa pemerintah berwenang
menetapkan wilayah pertambangan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah
dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam pasal
ini, masyarakat hukum adat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan tidak dimintai
keterangan dan persetujuan tentang penetapan wilayah pertambangan. Pasal ini jelas telah
menghilangkan hak ulayat masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, menghilangkan
sumber penghidupannya dan berpotensi melanggar hak masyarakat hukum adat atas
lingkungan hidup yang baik. Melalui kedua undang-undang ini pemerintah telah berupaya
secara sistematis untuk menghilangkan hak ulayat masyarakat hukum adat15.
Lemahnya perlindungan terhadap masyarakat hukum adat juga tampak dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengakuan hak ulayat. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai hal tersebut hanya dalam bentuk Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Bentuk hukum
pedoman tersebut yang hanyalah suatu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang
kekuatan mengikatnya (terutama mengikat ke luar instansi BPN) sangat lemah. Padahal,
sengketa/konflik berkenaan dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya seringkali
bersifat lintas sektor, berkaitan dengan kewenangan instansi-instansi lain di luar Badan
Pertanahan Nasional seperti Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2013 yang diucapkan pada tanggal 16 Mei 2013
Isyana Artharini, Mengembalikan Hutan Adat Ke Pemilik Aslinya. http://id.berita.yahoo.com/
blogs/newsroomblog/mengembalikan-hutan-adat-ke-pemilik-aslinya-.html. diakses pada tanggal 11 Januari
2013.
15
Maria S.W. Soemardjono. Kebijakan Pertanahan. Op. Cit. hlm. 56
13
14
( 369 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Daya Mineral.
Substansi Permen Agraria/Kepala BPN yang menyerahkan kewenangan mengakui
eksistensi masyarakat hukum adat menurut penulis juga bermasalah karena pemerintah daerah
juga berwenang menentukan izin lokasi industri sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 ayat
(2) dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Hal
serupa juga terjadi dalam Pasal 37 UU Minerba yang menyatakan bahwa bupati berwenang
untuk menerbitkan izin usaha pertambangan yang berada dalam satu wilayah kabupaten/kota.
Dalam Pasal 171 UU tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah daerah kabupaten/ kota yang
bersangkutan berhak mendapatkan 2,5% dari keuntungan investasi tersebut. Uraian tersebut
menunjukan bahwa pemerintah daerah dihadapkan pada dua pilihan yaitu mengakui hak ulayat
masyarakat hukum adat yang tidak membawa keuntungan ekonomi atau memberikan izin
lokasi kepada industri yang dapat membawa keuntungan ekonomi. Dalam posisi demikianlah
maka pemerintah daerah dapat mengorbankan pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat
demi kepentingan ekonomi daerah.
B. Perlindungan Hak Ulayat Indogenous People Di Indonesia Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Masyarakat hukum adat dengan ciri kehidupan tradisionalnya tentu sangat susah untuk
mempertahankan hak-haknya di tengah-tengah sistem hukum yang modern. Masyarakat
hukum adat dianggap sebagai masyarakat terbelakang, kondisi demikian menyebabkan hak
ulayat masyarakat hukum adat rentan untuk dilanggar. Masyarakat hukum adat terkadang
teralienasi dari lingkungan hidup yang sejatinya merupakan tonggak terdepan bagi eksistensi
dan masa depan masyarakat hukum adat. Dalam konteks inilah, masyarakat hukum adat
menjadi salah-satu entitas yang paling rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia
(HAM)16. Sesuai dengan pendapat tersebut, Jack Donnely menyatakan bahwa masyarakat
hukum adat rentan terhadap pelanggaran HAM dan perlu dilindungi dalam instrumen hukum
internasional17.
Menyadari pentingnya perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat tersebut maka
dibentuklah berbagai konvensi untuk melindungi HAM masyarakat hukum adat diantaranya
Konvensi ILO No. 107 Tahun 1957 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat dan
Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara
Merdeka. Salah satu perubahan dari Konvensi ILO No. 107 Tahun 1957 menjadi Konvensi
ILO No. 169 Tahun 1989 adalah pengakuan bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak
untuk hidup sesuai dengan sistem hukum dan politik masyarakat hukum adat tersebut.
Kemudian, pada tanggal 12 September 2007, telah disahkan United Nations Declaration
of the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Latar belakang dibuatnya UNDRIP tersebut
adalah penderitaan dan ketidakadilan sebagai akibat dari penjajahan dan pencabutan tanahIfdhal Kasim. Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 253
17
Jack Donnely. Universal Human Rights in Theory & Practice. (Ithaca: Cornell University Press,
2003), hlm. 253
16
( 370 )
Indigenous People
tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tersebut.
Pada tahun 2001, United Nation Working Group dalam penelitiannya menyatakan
bahwa masyarakat hukum adat bukan hanya dipengaruhi tetapi juga mendapat kerugian
dalam proses pembangunan. Sehingga, proses pembangunan seharusnya diselaraskan dengan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat18. Pelaksanaan konvensi dan deklarasi
tersebut tentu tidak boleh dipisahkan dari instrumen hukum internasional tentang HAM
lainnya yaitu Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights, International Covenant on Civil and Political Right
(ICPR) dan Declaration on The Right to Developement (DRD).
Salah satu hal yang menjadi inti dari berbagai instrumen hukum internasional tersebut
adalah the right of self determination. The right of self determination diatur dalam Pasal 1
ayat (2) International Covenant on Civil and Political Right19. The right of self determination
bermakna bahwa anggota sistem internasional manapun (masyarakat hukum adat) berhak
untuk memiliki sistem sosial sendiri dan berhak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Hakhak ini ditentukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan oleh kelompok
lainnya sehingga penghormatan terhadap the right of self determination dan pengakuan
terhadap hak-hak individual merupakan hal yang sangat krusial. Sehingga, penghormatan
terhadap the right of self determination masyarakat adat dan pengakuan terhadap kebebasan
dan hak-haknya menjadi suatu hal yang sangat krusial.
Dalam piagam PBB dinyatakan bahwa prinsip-prinsip the right of self determination
adalah prinsip-prinsip yang tidak dapat diabaikan dalam sistem internasional yang tercantum
dalam Piagam PBB Pasal 1 dan Pasal 55. Guna mewujudkan the right of self determination
terhadap semua individu dan kelompok termasuk masyarakat hukum adat maka Pasal 2
ICPR menekankan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menghormati hak-hak yang
diakui oleh kovenan ini dan memastikan pelaksanaannya bagi semua individu sehingga yang
berada di wilayahnya tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pandangan politik ataupun lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status
kelahiran dan status lainnya.
Kewajiban negara untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat juga terdapat
dalam Pembukaan kovenan ini yang mengingatkan negara-negara akan kewajibannya
menurut Piagam PBB untuk memajukan penghormatan terhadap HAM serta mengingatkan
individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan HAM. Bahkan, Pasal
5 Juncto Pasal 46 kovenan tersebut secara tegas melarang dilakukannya pembatasan atau
penyimpangan HAM dan tafsiran HAM dalam kovenan ini tidak dapat diartikan secara lebih
sempit. The right of self determination secara eksplisit diakui pula dalam Declaration On
The Right of Developement (DRD) sebagai perwujudan integral dari pembangunan serta
dalam pelaksanaannya memerlukan penerapan prinsip non diskriminasi. Artinya, negara
Margot E. Salomon dan Arjun Sengupta. 2003. The Right to Developement : Obligation of States
and the Rights of Minorities and Indigenous People. Minority Rights Group International. Hlm. 32
19
Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan SIPOL)
pada tanggal 30 September 2005
18
( 371 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
beserta individu berkewajiban untuk memenuhi the right of self determination setiap orang
tanpa terkecuali termasuk terhadap masyarakat hukum adat.
Kewajiban negara untuk memenuhi hak masyarakat hukum adat terdapat dalam
berbagai instrumen hukum internasional. Dalam DRD dinyatakan bahwa negara harus
memastikan bahwa masyarakat hukum adat akan mendapatkan hak-haknya dalam proses
pembangunan. Sehingga, hak, kepentingan dan aspirasi masyarakat hukum adat tidak boleh
dikesampingkan dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan hak terhadap pembangunan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Deklarasi ini adalah hak asasi manusia yang
dimiliki oleh setiap orang untuk menikmati pembangunan ekonomi, sosial dan budaya
merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan hak tersebut dapat berupa perorangan
maupun kelompok sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) deklarasi ini.
Selaras dengan Dalam Pasal 2 Konvensi ILO 169 tahun 1989 dan Pasal 38 UNDRIP
diatur bahwa pemerintah berkewajiban mengambil langkah sistematis dan terkoordinasi
untuk melindungi hak ulayat masyarakat hukum adat. Tindakan terkoordinasi dan sistematis
bermakna pemerintah harus membuat undang-undang, kebijakan, program dan proyek secara
komprehensif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat hukum adat dan melakukan
pemantauan secara terus menerus atas kehidupan masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 2 ayat
(1) dinyatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab mengembangkan kepentingan dengan
mengikutsertakan masyarakat yang berkepentingan, mengkoordinasikan dan melakukan
tindakan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat dan menjamin bahwa
mereka dihargai integritasnya. Tindakan terkoordinasi dan sistematis tersebut dijabarkan
dalam ayat (2) pasal tersebut. Adapun tindakan-tindakan tersebut, meliputi:
a) Menjamin anggota masyarakat adat untuk memperoleh manfaat secara merata atas
hak dan kesempatan yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan oleh negara
kepada penduduk lainnya
b)Meningkatkan terwujudnya pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat adat sesuai dengan identitas sosial dan budaya, adat istiadat dan lembaga
mereka
c) Membantu anggota masyarakat yang berkepentingan untuk membatasi kesenjangan
sosial ekonomi dari masyarakat lain dengan cara yang sesuai dengan aspirasi dan
jalan hidup mereka
Adapun salah satu bentuk tindakan sistematis tersebut adalah pemantauan. Pemantauan
tersebut bertujuan memastikan persamaan hak, kesempatan dan mengurangi ketimpangan
sosial ekonomi masyarakat hukum adat dengan masyarakat lainnya. Pandangan umum Komite
HAM No. 23 juga menyatakan bahwa negara wajib melakukan langkah-langkah positif untuk
perlindungan HAM baik melalui kekuasaan legislatif, kehakiman maupun administratifnya.
Declaration on the Right of Developement menyatakan bahwa kewajiban di tingkat nasional
adalah kewajiban untuk menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat hukum adat diantaranya
adalah hak untuk menggunakan sumber daya alam, hak atas tanah, partisipasi representatif
( 372 )
Indigenous People
serta transportasi di dalam proses pembuatan keputusan.
Kewajiban untuk memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat hanya akan terealisasi
melalui pemerintahan yang baik karena tanpa pemerintahan yang baik maka akan sangat
susah untuk mewujudkan konsep perlindungan dan keadilan sosial. Pemerintahan tersebut
harus menggunakan pendekatan berbasis hak terhadap pembangunan yang berkaitan
dengan masyarakat hukum adat. Pendekatan hak ini sesuai dengan perubahan paradigma
pembangunan sebagaimana yang terdapat dalam Declaration on the Right of Developement.
Deklarasi ini telah mengubah paradigma dari pembangunan model kesejahteraan menjadi
kebijakan yang didasarkan pada hak-hak. Perubahan kebijakan dari pembangunan sebagai
itikad baik menjadi pembangunan sebagai hak.
Kewajiban pemerintah untuk melakukan tindakan sistematis dan terkoordinasi
untuk melindungi hak ulayat masyarakat hukum adat bertolak belakang dengan realitas di
Indonesia. Pemerintah Indonesia malah melakukan tindakan sistematis dan terkoordinasi
untuk mengurangi bahkan menghilangkan hak-hak masyarakat hukum adat. Padahal, dalam
Pasal 38 Deklarasi PPB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat mewajibkan negara mengambil
langkah-langkah legislatif yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Undangundang yang melanggar hak-hak masyarakat hukum adat antara lain UU Kehutanan dan UU
Minerba.
Substansi UU Kehutanan dan UU Minerba telah melegitimasi penghapusan hak
ulayat masyarakat hukum adat dengan menempatkan hutan adat sebagai hutan negara serta
penempatan dan penggunaan wilayah masyarakat hukum adat untuk kegiatan pertambangan
mineral dan batu bara tanpa persetujuan masyarakat hukum adat. Hal ini jelas telah melanggar
Pasal 8 ayat (2) UNDRIP yang menyatakan bahwa seharusnya pemerintah menyediakan
mekanisme yang efektif bagi aktivitas yang mempunyai tujuan atau akibat pengambilalihan
atas tanah dan sumber daya masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adatlah yang
sejatinya memiliki hak untuk mengatur wilayahnya sendiri yang mengikat ke dalam dan ke
luar. Seharusnya, jika pemerintah ingin menggunakan wilayah masyarakat hukum adat maka
harus dengan seizin masyarakat hukum adat tersebut. Selain itu, kedua UU tersebut juga telah
melanggar Pasal 2 ayat (2) DRD yang mengatur tentang pentingnya peraturan yang melindungi
hak-hak masyarakat hukum adat dan hak-haknya yang tidak boleh dikesampingkan dalam
proses pembangunan.
Selain itu, ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin hak-hak masyarakat hukum
adat juga tampak dalam bentuk peraturan yang mengatur mengenai pengakuan masyarakat
hukum adat yang hanya dalam bentuk Peraturan Menteri. Bentuk peraturan ini tentu tidak
akan optimal karena masalah hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan masalah yang
kompleks dan lintas kementerian. Selain itu, pengakuannya pun tergantung pada kebijakan
pemerintah daerah. Sikap pemerintah Indonesia yang tidak serius dalam menjamin hakhak ulayat masyarakat hukum adat berakibat pada pelanggaran hak-hak masyarakat hukum
adat secara meluas. Bagaimana tidak, pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan
berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat sedangkan masyarakat
( 373 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
hukum adat memiliki posisi tawar yang lemah untuk mempertahankan hak-hak sosial, hukum,
politik dan ekonominya.
Penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat akan berdampak pada penghilangan
hak-hak individual yang kepemilikannya didasarkan pada hak ulayat tersebut. Penghilangan
hak-hak individual masyarakat hukum adat telah melanggar Pasal 17 DUHAM yang
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki harta benda baik secara pribadi
maupun bersama-sama dengan orang lain dan tidak seorangpun dapat dirampas harta bendanya
secara sewenang-wenang. Hal tersebut juga bertentangan dengan Pasal 10 UNDRIP yang
menyatakan bahwa hak milik dan penguasaan oleh masyarakat hukum adat atas tanah yang
ditempati secara tradisional harus diakui. Hal serupa juga berlaku bagi tanah-tanah yang tidak
didiami oleh masyarakat hukum adat tetapi secara tradisional telah diakses untuk kegiatan
pemenuhan kebutuhan hidupnya secara keseluruhan. Dalam Pasal 25 ayat (3) UNDRIP juga
dinyatakan bahwa negara memberikan pengakuan dan perlindungan kepada tanah, wilayah
dan sumber daya masyarakat hukum adat. Selain itu, Pasal 33 ayat (1) Deklarasi PBB tentang
Hak-Hak Masyarakat Adat menyatakan bahwa masyarakat adat mempunyai hak untuk
menentukan identitas mereka sendiri atau keanggotaan menurut kebiasaan dan tradisinya.
Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan, tradisi
dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan. Dengan demikian,
identifikasi tanah, wilayah, sumber daya dan lingkup hak yang berkaitan dengan tanah
dan sumber daya tersebut tidak hanya didasarkan pada konsep hukum dan tradisi yang
dihormati oleh negara yang seringkali berbenturan langsung dengan konsep hukum dan
tradisi masyarakat adat. Declaration on The Right of Developement juga menegaskan bahwa
masyarakat hukum adat memiliki kedaulatan atas kekayaan dan sumber daya alamnya.
Konsepsi yang demikian didasarkan pada diadopsinya prinsip the right of developement di
dalam DRD. Dalam DRD dinyatakan pula bahwa the right of self determination termasuk
pula hak unutk berpartisipasi sebagai sebuah kelompok dalam merancang dan menerapkan
sistem pembangunan yang berkelanjutan. Elemen kunci yang berkaitan dengan pemajuan
dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai sebuah kelompok. Dalam
konteks hukum nasional, penghilangan atau pencabutan hak individu masyarakat hukum
adat tersebut juga bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, Pasal 29 ayat (1)
dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
memberikan perlindungan kepada setiap orang atas pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan hak miliknya. Berdasarkan laporan HuMa pada tahun 2012, pelanggaran terhadap hak
untuk memiliki atau menguasai kekayaan berjumlah 44 kasus20.
Berdasarkan laporan HuMa, penghilangan hak ulayat masyarakat hukum adat untuk
memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam paling sering terjadi yaitu sebanyak
58 kasus atau 25% dari jumlah pelanggaran HAM yang dialami masyarakat hukum adat
hingga bulan November tahun 2012. Salah satunya adalah kasus perampasan tanah ulayat
milik masyarakat Tanjung Medang oleh pengusaha di Muara Enim, atau pembabatan hutan
20
Ibid.
( 374 )
Indigenous People
Kemenyan milik Kemenyan Humbahas oleh PT. Toba Pulp Lestari Kabupaten Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara21.
Berbagai pelanggaran terhadap hak masyarakat hukum adat tersebut tentunya akan
menimbulkan resistensi dari masyarakat hukum adat sehingga menimbulkan konflik antara
masyarakat hukum adat dengan pemerintah serta masyarakat hukum adat dengan pihak
investor. Hingga November 2012, HuMa mendokumentasikan 232 konflik sumberdaya alam
dan agraria. Konflik pertambangan yang terjadi hingga saat ini mencapai 17 kasus dengan
luas lahan pertambangan mencapai 29.780 ha. Selain itu, terdapat 72 konflik kehutanan
dengan luas area konflik kehutanan mencapai lebih dari 1,2 juta hektar. Konflik tersebut
terjadi di 17 provinsi. Konflik sektor kehutanan pada umumnya disebabkan hak menguasai
negara secara sepihak pada tanah-tanah yang dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal.
Konflik tersebut melibatkan 91.968 orang dari 315 komunitas adat22.
Ortiga menyatakan bahwa terdapat enam kriteria untuk menilai kualitas perlindungan
hak ulayat masyarakat hukum adat23 yakni; pertama, pengakuan hak atas tanah masyarakat
hukum adat. Kedua, pengakuan teritorial. Ketiga, hak-hak atas sumber daya alam. Keempat,
pemberian hak atas tanah kepada masyarakat hukum adat. Kelima, otonomi masyarakat hukum
adat untuk mengatur wilayahnya sendiri. Keenam, tindakan hukum yang dapat dilakukan
masyarakat hukum adat guna mempertahankan tanahnya. Berdasarkan kriteria tersebut
tampak bahwa hanya satu kriteria yang telah dipenuhi oleh pemerintah Indonesia yaitu
memberikan hak kepada masyarakat hukum adat untuk menuntut pemenuhan hak-haknya
melalui pengadilan. Akan tetapi, kelima kriteria lainnya hingga saat ini belum dipenuhi oleh
pemerintah Indonesia.
Dalam konteks pembangunan masyarakat hukum adat di Indonesia tampaknya
harus digalakkan melalui pendekatan global karena pendekatan internasional merupakan
pendekatan yang sangat penting dalam mewujudkan hak atas pembangunan. Di dalam hak
terhadap pembangunan, semua pihak dimaksudkan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan
hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1), (2), (3), Pasal 4 ayat (1),
(2), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 10 Declaration on the Right of Developement. Selaras dengan
hal tersebut, Komite International Covenant on Economic, Social and Cultural Right dalam
menjelaskan Pasal 2 ayat (1) kovenan tersebut menyatakan bahwa maksud dari frase maximum
of available resources adalah perlindungan terhadap hak-hak yang ada dalam kovenan ini
dalam pemenuhannya juga melibatkan kerjasama dan bantuan internasional24. Dalam Pasal
28 UDHR juga dinyatakan bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia tidak hanya
terbatas pada individu dan negaranya tetapi melekat pada semua entitas internasional. Ini
berarti, semua negara di dunia berkepentingan dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya termasuk dalam konteks masyarakat hukum adat.
21
22
23
24
Pusat Data Base dan Informasi HuMa. Outlook Konflik Sumber daya agraria tahun 2012, hlm. 6
Ibid, hlm. 8.
Ortiga, Roque Roldán. Op. Cit, hlm. 7
Margot E. Salomon dan Arjun Sengupta. Op. Cit, hlm. 34
( 375 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Maraknya pelanggaran terhadap hak-hak asasi masyarakat hukum adat haruslah
menyadarkan pemerintah bahwa perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan
suatu hal yang mendesak dan penting untuk dilakukan. Langkah awal yang dapat dilakukan
oleh pemerintah adalah membuat undang-undang tentang pembatasan hak menguasai negara,
pembuatan undang-undang tersendiri tentang masyarakat hukum adat sebagaimana yang
telah dilakukan Filipina serta edukasi terhadap masyarakat hukum adat tentang hak-haknya.
III.PENUTUP
Dalam hukum nasional, eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat telah diakui
melalui Pasal 18 B ayat (1) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD NRI 1945. Pengakuan atas hak ulayat
masyarakat hukum adat menjadi dilematis ketika harus dihadapkan dengan hak menguasai
negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945. Hal ini disebabkan,
hak menguasai negara tersebut hingga saat ini tidak ditentukan batas-batasnya secara jelas.
Akibatnya, timbulnya peraturan perundang-undangan yang dapat mengingkari hak ulayat
masyarakat hukum adat.
Peraturan perundang-undangan yang mengingkari hak ulayat masyarakat hukum adat
tersebut adalah Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang
Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Padahal, hak ulayat
masyarakat hukum adat merupakan bagian dari hak asasi. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran
terhadap pelaksanaan hak ulayat tersebut adalah pelanggaran untuk melaksanakan hak
otonomi, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber
alam serta pelanggaran terhadap hak untuk memiliki atau menguasai kekayaan. Berbagai
pelanggaran tersebut bermakna perlindungan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat di
Indonesia belum maksimal baik ditinjau dari perspektif hukum nasional indonesia maupun
dari perspektif hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Suryaman Mustari Pide. Hukum Adat; Dulu, Kini dan Akan Datang. Makassar: Pelita
Pustakam 2009.
Abrar Saleng. Hukum Pertambangan. Jogjakarta: UII Press, 2004
Achmad Sodiki. Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi Pers, 2013.
Ifdhal Kasim. Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Isyana Artharini, Mengembalikan Hutan Adat ke Pemilik Aslinya. http://id.berita.yahoo.
com/blogs/newsroomblog/mengembalikan-hutan-adat-ke-pemilik-aslinya-.html.
Diakses pada tanggal 11 Januari 2013.
Jack Donnely. Universal Human Rights in Theory & Practice. Ithaca: Cornell University
Press, 2003.
( 376 )
Indigenous People
Kantor Perburuhan Internasional. Hak-hak Masyarakat Adat yang Berlaku; Pedoman
untuk Konvensi ILO 169. Jakarta, 2010.
Lily Rasjidi dan Ira Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Penerbit
Citra Aditya Bhakti, 2001.
Mac Kay, Fergus. Indigenous Peoples’ Right to Free, Prior, and Informed Consent and the
World Bank’s Extractive Industries Review. 2004.
Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan
Tanah Oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta.
__________________, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
Cetakan VI. Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara, 2009.
Margot E. Salomon dan Arjun Sengupta. The Right to Developement: Obligation of States
and the Rights of Minorities and Indigenous People. Minority Rights Group
International, 2003.
Ortiga, Roque Roldán. “Models for Recognizing Indigenous Land Rights in Latin American.
Washington D.C.: The International Bank for Reconstruction and Development The
World Bank, 2004.
Pusat Data Base dan Informasi HuMa. Outlook Konflik Sumber daya agraria tahun 2012.
Soetandyo Wignjoesoebroto et.al. Untuk Apa Pluralisme Hukum?; Regulasi, Negosiasi
dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia. Jakarta: Epistema Institute,
2011.
( 377 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
( 378 )
Penyelesaian Sengketa
PERAN NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
INTERNASIONAL DENGAN KEKERASAN BUKAN
PERANG
Albert Pede*
Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
E-mail:[email protected]
Abstract: The role of the state in international dispute resolution is needed
in international law known some form of coercive measures, namely (1)
Retorsion; (2) Reprisals, (3) pacific blockade, and (4) Intervention. Fourth it is
the methods of international dispute resolution with violence not war.
Abstrak: Peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional sangat
dibutuhkan Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk tindakan
paksaan, yaitu (1) Retorsi; (2) Tindakan Pembalasan; (3) Blokade secara
damai; dan (4) Intervensi. Keempat hal tersebut merupakan metode-metode
penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang.
I. PENDAHULUAN
Hubungan negara-negara dalam pergaulan tata kehidupan masyarakat internasional
tidak selamanya berjalan dengan baik, adakalanya dalam pergaulan masyarakat internasional
tersebut terjadi ketidakharmonisan atau dapat dikatakan sebagai pertikaian. Pertikaian tersebut
dapat timbul akibat arogansi negara terhadap negara lain, atau bisa jadi karena adanya campur
tangan suatu negara terhadap urusan dalam negeri negara lain, sehingga mengakibatkan
negara yang satu tidak senang dengan negara lain. Hal-hal tersebut menjadikan pergaulan
tata kehidupan masyarakat internasional menjadi semakin kompleks, karena setiap pertikaian
harus dicarikan jalan keluarnya atau diselesaikan melalui penyelesaian sengketa yang terbaik
agar pertikaian tersebut tidak terjadi secara berlarut-larut, bahkan dapat menambah pihakpihak (negara) yang ikut dalam sengketa tersebut.
Pada umumnya hukum internasional membedakan sengketa internasional atas sengketa
yang bersifat politik dan sengketa yang bersifat hukum. Sengketa politik adalah sengketa
dimana suatu negara mendasarkan tuntutannya atas pertimbangan non yuridik, misalnya atas
dasar politik atau kepentingan nasional lainnya, sedangkan sengketa hukum ialah sengketa
dimana suatu negara mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang
* Pengajar tetap pada Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo. Sarjana Hukum (S.H.) 2007 dari
Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo, Magister Ilmu Hukum (M.H) 2012 dari Program Pascasarjana
Universitas Muslim Indonesia, Makassar.
( 379 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum internasional,1 perlunya
dibedakan antara yang satu dengan sengketa yang lainnya karena ini terkait dengan metode
dari penyelesaian sengketa itu sendiri, dan setiap sengketa memiliki metode penyelesaiannya
masing-masing.
Penyelesaian sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa,
kedua adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari ‘dispute’
John G. Merrills memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan
suatu keadaan atau objek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di
pihak-pihak lain.2 Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan yang tidak secara
eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional. Persoalan
yang timbul adalah apa yang bisa dijadikan sebagai subjek persengketaan. Menurut Merrills
subjek dari persengketaan dapat bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan
suatu negara sampai persoalan perbatasan. 3 Subjek-subjek tersebut hingga saat ini masih
eksis keberadaannya, bahkan semakin kompleks permasalahan yang dihadapi.
Disamping itu harus pula dibedakan antara sengketa dengan konflik.4 Adapun John
Collier dan Vaughan Lowe membedakan antara sengketa (dispute) dengan konflik (conflict).
Sengketa (dispute) adalah:
“a specific disagreement concerning a matter of fact, law or policy in wich a claim or
assertion of one party is met with refusal, counter claim or denial by another”.5
Sedangkan konflik adalah istilah umum atau genus dari pertikaian (hostility) antara
pihak-pihak yang seringkali tidak fokus. Dengan demikian, setiap sengketa adalah konflik,
tetapi tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sengketa antara
Indonesia dengan Malaysia menyangkut kepemilikan atas Pulau Sipadan Ligitan adalah
sengketa (dispute), namun demikian perseteruan antara Amerika dengan Iran sejak kejatuhan
Syah Iran adalah konflik mengingat begitu kompleksnya permasalahan antara kedua negara.
Demikian halnya problem dengan Israel-Arab, menurut Merrills lebih tepat dikategorikan
sebagai “situations” atau konflik menurut istilah John Collier. Hal ini dikarenakan
kompleksnya permasalahan pihak-pihak terkait, dan dalam situations itu umumnya terdapat
Lihat Melda Theresia S, Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Kekuatan Bersenjata
Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Menjaga Perdamaian Dunia, (Makalah), hlm. 2; Lihat juga Boer
Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, (Jakarta:
Alumni, 2001), hlm. 188
2
Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung:
Refika Aditama, 2006), hlm. 224; Lihat juga John G. Merrills, International Dispute Settlement, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1991), hlm. 1
3
Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Ibid.; Lihat juga John G. Merrills, The Means of
Dispute Settlement, dalam Malcolm D. Evans (Ed.), International Law, (New York: Oxford University Press,
2003), hlm. 529-530
4
Lihat Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Ibid.; Lihat juga John O’Brien, International Law,
(London: Cavendish, 2001), hlm. 633
5
Lihat Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 322;
Lihat juga John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law, (New York:
Oxford University Press, 1999).
1
( 380 )
Penyelesaian Sengketa
banyak specific disputes,6 apalagi di era yang semakin modern seperti sekarang ini, maka
jenis dari sengketa itupun makin beragam macamnya.
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan
sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan
yang kemudian dibantah oleh pihak lain.7 Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan
secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga
tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek
hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak
aktor non negara,8 sehingga sengketa-sengketa yang terjadi di masa sekarang membutuhkan
penanganan yang extra, karena aktor yang terlibat bukan hanya negara.
Dalam praktik hubungan antarnegara pada saat ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah menjadi organisasi intergovernmental yang besar.9 Sejak diadopsinya Piagam
PBB muncul anggapan bahwa penggunaan kekerasan atau perang telah diharamkan dalam
praktik hubungan internasional sebagai kelanjutannya, negara-negara harus menggunakan
metode-metode damai sebagai satu-satunya pilihan yang tersedia bagi mereka untuk
menyelesaikan segala sengketa yang dimilikinya. Sehingga hanya dua kemungkinan yang
tersisa bagi penggunaan kekerasan, yakni dalam hal bela diri dan apabila terdapatnya otorisasi
dari Dewan Keamanan PBB. Ketentuan ini di anggap para ahli hukum sebagai jantung
dari ketentuan dalam piagam dan prinsip yang paling penting yang terdapat dalam hukum
internasional kontemporer. Misalnya, Pasal 2 (3) Piagam PBB menyatakan selain adanya
kewajiban bagi semua negara untuk menyelesaikan pertikaian secara damai, dalam situasi
perdamaian internasional, keamanan dan keadaan tidak terancam.10 Oleh karena itu dalam
hal ini peran dari PBB sangat dibutuhkan guna mentertibkan negara-negara sebagai kesatuan
masyarakat internasional
Konsep yang saat ini terus dikembangkan, yaitu konsep “hidup berdampingan secara
damai” (peacefull co-existence).11 Lahirnya sejumlah negara baru setelah perang dunia
kedua,12 membuat hubungan negara-negara tersebut sangat berpotensi terjadinya sebuah
sengketa. Disamping itu perlu dikemukakan bahwa suatu sengketa bukanlah suatu sengketa
menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya tidak mempunyai akibat pada
hubungan keduabelah pihak.13 Oleh karena itu mengidentifikasi sebuah sengketa internasional
Sefriani, Ibid.
Pirhot Nababan, Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Diplomatik,
Lihat http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/07/tinjauan-umum-penyelesaian-sengketa.html di akses pada
tanggal 26 Februari 2014
8
Sefriani, Op.Cit.
9
Lihat Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, (Makassar:
Pustaka Pena Press, 2013), hlm. 90
10
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit.
11
Lihat T. May Rudi, Hukum Internasional 1, Cetakan Ketiga, (Bandung: Refika Aditama, 2010),
hlm. 48
12
Lihat Muhammad Ashri, Hukum Perjanjian Internasional, Dari Pembentukan Hingga Akhir
Berlakunya, (Makassar: Arus Timur, 2012), hlm. 177
13
Lihat Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),
hlm. 3
6
7
( 381 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
itu sangat penting dibutuhkan agar dapat diselesaikan / dicarikan solusinya sesuai dengan
metode-metode yang disediakan oleh hukum internasional atau dengan kata lain metode
tersebut tidak melanggar kaidah-kaidah hukum internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, permasalahan yang hendak dibahas dalam tulisan ini adalah
Bagaimanakah peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional? dan Bagaimanakah
penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang?
II. PEMBAHASAN
A. Peran Negara dalam Penyelesaian Sengketa Internasional
Negara dalam menghadapi sengketa internasional maka dibutuhkan peran aktifnya
guna dapat menyelesaikan sengketa-sengketa internasional baik yang dihadapinya secara
langsung, maupun permintaan dari negara lain yang sedang bersengketa untuk dibantu dalam
penyelesaiannya. Peran negara dalam konteks tersebut terkait dengan yurisdiksi universal
yang dimiliki oleh setiap negara yang berdaulat sebagai salah satu subjek dari hukum
internasional.
Yurisdiksi universal ini tidak semata-mata berkaitan dengan tempat atau waktu maupun
pelaku dari peristiwa hukum tersebut melainkan berdasarkan kepada corak dan sifatnya
sendiri. Misalnya, peristiwa itu menyangkut kepentingan semua negara atau semua umat
manusia tanpa memandang tempat terjadinya persitiwa, tanpa memandang kewarganegaraan
dari si pelakunya maupun korbannya sendiri, tanpa memandang waktu atau kapan terjadinya
peristiwa tersebut dan lain sebagainya. Dalam hal ini, sepatutnyalah peristiwa itu tidak
dibiarkan begitu saja lewat tanpa terjangkau oleh hukum. Hukum internasional menetapkan
bahwa terhadap peristiwa seperti ini tunduk pada yurisdiksi semua negara di dunia. Jadi
sifatnya universal. Sifat dan corak universal ini dapat ditinjau dari sudut waktunya, tempatnya,
pelakunya, korbannya, dan sudah tentu yang terpenting tersentuhnya rasa keadilan semua
umat manusia. Dengan singkat dapat dirumuskan yurisdiksi universal ini yaitu yurisdiksi
suatu berdasarkan hukum internasional atas suatu peristiwa hukum yang melibatkan siapa
saja, dimana saja, dan kapan saja yang menyangkut kepentingan dan rasa keadilan semua
umat manusia.14 Jadi yurisdiksi universal ini sangat dibutuhkan suatu peran aktif dari negaranegara di dunia.
Oleh karena itu terhadap peristiwa hukum yang demikian itu adalah menjadi
kewajiban dan tanggungjawab semua negara untuk mencegah dan memberantasnya. Suapaya
yurisdiksi ini menjadi benar-benar efektif, maka setiap negara sepatutnya mengatur di dalam
hukum nasionalnya masing-masing atas peristiwa hukum seperti itu, sesuai dengan isi
dan jiwa dari yurisdiksi universal yang telah diberikan oleh hukum internasional. dengan
demikian dapat diharapkan bahwa pelaku peristiwa hukum tersebut tudak akan terhindar dari
jangkauan hukum.15 Dalam interaksinya satu sama lain amat besar kemungkinannya negara
375
14
Lihat I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm.
15
Ibid.
( 382 )
Penyelesaian Sengketa
membuat kesalahan ataupun pelanggaran yang merugikan negara lain, disinilah muncul
pertanggungjawaban negara.16 Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional
pada dasarnya dilator belakangi pemikiran bahwa tidak ada satupun negara yang dapat
menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap
hak negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaikinya atau dengan
kata lain mempertanggungjawabkannya.17 Hal ini sebenarnya merupakan hal yang biasa
dalam system hukum dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum
akan menimbulkan tanggungjawab bagi pelanggarnya.18 Menjadi penting kiranya ketika
tanggungjawab ini kemudian tidak dijalankan oleh semua negara.
Dalam hukum internasional dikenal adanya dua macam aturan, primary rules dan
secondary rules. Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan
kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau instrument
lainnya. Adapun secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana
dan apa akibat hukum apabila primary rules itu dilanggar oleh negara. Secondary rules
inilah yang disebut hukum tanggungjawab negara (the law of state responsibility).19 Hal ini
yang kemudian menjadikan peran aktif dari suatu negara terhadap penyelesaian sengketa
internasional menjadi salah satu dari sekian banyak tanggungjawab yang dimiliki oleh
negara-negara berdaulat dewasa ini.
B. Penyelesaian Sengketa Internasional dengan Kekerasan Bukan Perang
Pada bagian kedua abad ke-20, salah satu ciri pokok masyarakat internasional
ialah bermunculannya negara-negara baru sebagai akibat implementasi dekolonisasi. Bila
di waktu berdirinya di tahun 1945, PBB hanya beranggotakan 51 negara, sekarang jumlah
tersebut hampir mencapai 4 kali lipat yaitu 191, ditambah Vatikan yang tetap berada di luar
organisasi dunia tersebut. Jumlah negara merdeka di dunia dewasa ini adalah 192 dan 141
lahir sesudah tahun 1945. Ini berarti bahwa negara-negara baru tersebut sama sekali tidak ikut
merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional zaman sebelumnyayang mengatur
kehidupan dalam pergaulan antarbangsa. Lalu timbul pertanyaan mengenai sikap mereka
terhadap hukum internasional,20 karena sikap tersebut merupakan kekuatan dari daya ikat
kaidah-kaidah hukum internasional
Negara-negara berkembang yang jumlahnya sekitar 145 dengan sistem pemerintahan
yang saling berbeda tidak selalu mempunyai pandangan dan sikap yang sama terhadap
hukum internasional. Namun dalam banyak hal terutama bagi Negara-negara Asia dan Afrika
terdapat kesamaan pandangan terhadap sistem hukum tersebut. Sebelumnya negara-negara
Asia dan Afrika mempunyai sikap yang kritis terhadap hukum internasional dengan salah
Sefriani, Op.Cit, hlm. 266; Lihat juga Mohamad Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan
Internasional, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm. 47
17
Sefriani, Ibid.; Lihat juga Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional,
Cetakan Pertama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 173
18
Sefriani, Ibid.; Lihat juga Martin Dixon, Textbook on International Law, (Blckstone Press
Limited, 2000), hlm. 231
19
Sefriani, Ibid. hlm. 266-267
20
Lihat Alma Manuputty dkk, Hukum Internasional, (Depok: Rechta, 2008), hlm. 191
16
( 383 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
satu alasannya karena pengalaman pahit yang dialami di waktu berada di bawah hukum
internasional di zaman kolonial karena ketentuan- ketentuan hukum yang dibuat pada waktu
itu hanya untuk kepentingan kaum penjajah. Bahkan akibatnya masih dirasakan sampai
zaman sesudah kemerdekaan,21 trauma tersebut yang menjadikan kemudian negara-negara
dunia ketiga memiliki jarak dalam pergaulan internasional terhadap negara-negara maju.
Dalam proses penyelesaian sengketa, dikenal beberapa jenis upaya penyelesaian
sengketa. Sebuah sengketa internasional dapat diselesaikan melalui jalur kekerasan ataupun
dengan cara damai. Tindakan kekerasan dapat berupa perang, tindakan bersenjata non-perang,
retorsi, reprisal, blokade damai, embargo, maupun intervensi. Sedangkan cara damai dapat
ditempuh melalui jalur pengadilan yang dapat berupa arbitrase internasional atau pengadilan
internasioal, maupun melalui jalur diluar pengadilan yang dapat berupa negosiasi, mediasi,
jasa baik, konsiliasi, penyelidikan, penemuan fakta, penyelesaian regional, maupun melalui
PBB,22 bahkan dalam beberapa hal tertentu sengketa-sengketa tersebut wajib menggunakan
penyelesaian melalui konsiliasi,23 namun tidak menjadi mutlak digunakan ketika sengketasengketa tersebut berkaitan dengan hukum internasional publik.
Dewasa ini hukum internasional memiliki peran besar dalam menyelesaikan sengketa
internasional, diantaranya:
1. Pada prinsipnya, hukum internasional berupaya agar hubungan antarnegara terjalin
lewat ikatan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;
2. Hukum internasional member aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;
3. Hukum internasional member pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara,
prosedur, atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya;
dan
4. Hukum internasional modern semata-mata menganjurkan cara penyelesaian secara
damai, baik sengketa itu bersifat antarnegara maupun antara negara dan subjek hukum
internasional lainnya.24
Bila terjadi sengketa dan ternyata para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketanya
secara damai, kadang-kadang salah satu pihak terpaksa mengambil tindakan sepihak.
Tindakan sepihak demikian dilakukan dengan sasaran untuk mencapai tujuannya dengan
menguntungka pihaknya sendiri. Tindakan tersebut berupa tindakan paksaan, yang berupa
tekanan agar pihak lain merasa terpaksa menerima kehendaknya. Dalam hukum internasional
dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu :
Ibid. hlm. 191-192
Lihat Revy S. Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian Masalah Dalam
Sengketa Perdagangan Internasional, Jurnal Universitas Sam Ratulangi Manado, Vol.XXI/No.3/AprilJuni/2013, hlm. 33
23
Lihat Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung:
Alumni, 2003), hlm. 191
24
Lihat Muhammad Ashri dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional Dan Hukum Islam
Tentang Sengketa Dan Perdamaian, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2013), hlm. 256-257
21
22
( 384 )
Penyelesaian Sengketa
1. Retorsi (retorsion);
2. Tindakan Pembalasan (reprisals);
3. Blokade secara damai (pacific blockade); dan
4. Intervensi (intervention).25
Keempat hal tersebut di atas merupakan metode-metode penyelesaian sengketa
internasional dengan kekerasan bukan perang. Apakah yang dimaksud dengan keempat
metode penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang tersebut. Berikut
penulis akan uraikan satu persatu.
1. Retorsi
Retorsi adalah istilah teknis untuk pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan yang tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut
dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi
kehormatan negara yang kehormatannya dihina, misalnya merenggangnya hubungan
diplomatik, pencabutan previlege-previlege diplomatik.26 Pengertian lain tentang retorsi
dijelaskan bahwa retorsi adalah tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara
terhadap negara lain yang telah lebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat.
Retorsi merupakan tindakan pembalasan terhadap negara lain yang telah melakukan
perbuatan tidak sopan atau tindakan tidak adil. Biasanya retorsi berupa tindakan yang sama
atau yang mirip dengan tindakan yang telah dilakukan oleh negara yang dikenai retorsi. Dapat
dicontohkan, misalnya deportasi dibalas dengan deportasi atau pertanyaan persona non grata
dibalas dengan pernyataan persona non grata.27
Retorsi adalah tindakan sah yang dimaksudkan untuk merugikan negara yang telah
melakukan pelanggaran. Retorsi juga merupakan tindakan self help. Wujud retorsi antara
lain:
a. Pemutusan hubungan diplomatic;
b. Pencabutan hak-hak istimewa diplomatik;
c. Penarikan konsesi pajak atau tarif;
d. Pengehntian bantuan ekonomi;28
e. Pembatasan gerak-gerik perwakilan diplomatik negara lawan;
f. Penarikan kembali exequatur bagi konsul negara lawan;
g. Penghapusan hak-hak istimewa warga negara / perusahaan milik negara lawan;
h. Penutupan tapal batas bagi arus lalu lintas; dan
i. Penolakan barang impor hasil negara lawan.29
Lihat, Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI Press,
2006),hlm. 196
26
Lihat Danial, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses
Penyelesaian Konflik Internasional, Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional Jakarta, hlm. 2337
27
Sefriani, Op.Cit. hlm. 349
28
Ibid.
29
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 197
25
( 385 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Jika kita perhatikan maka retorsi tidak melanggar hukum internasional. sebaliknya jika
dilihat dari kepentingan negara lawan, maka retorsi ini melanggar haknya. Cirri khas dari retorsi
ini adalah bahwa tindakan pembalasan tidak bertentangan / melanggar hukum internasional.
hukum internasional sebagai tertib hukum ditinjau dari segi retorsi ini menunjukkan
kelemahannya, karena pembelaan hak diserahkan pada pihak yang berkepentingan. Retorsi
ini dalam praktiknya sangat bervariasi bentuknya, maka sukar untuk memberikan criteria
yang dapat dijadikan pembenaran tindakannya. Dalam rangka PBB maka anggota PBB untuk
mempraktikan retorsi ada rambu-rambunya yang ditetapkan dalam Piagam PBB Pasal 2 (3).
Bila tindakan retorsi ini dalam keadaan tertentu dapat membahayakan bagi perdamaian dan
keamanan internasional. maka tindakan retorsi itu menurut Starke dapat dianggap ilegal.30
2. Tindakan Pembalasan
Tindakan-tindakan pembalasan adalah metode yang dipakai oleh negara-negara
untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara lain dengan melakukan tindakantindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah
pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan
illegal, sedang retorsi meliputi tindakan yang sifatnya balas dendam yang dibenarkan oleh
hukum.31 Suatu tindakan kekerasan agar dapat dianggap sebagai tindakan pembalasan, maka
tindakan itu harus memenuhi syarat-syarat :
a. Bahwa telah di usahakan untuk menyelesaikan sengketa dengan damai;
b. Bahwa pihak lawan telah melakukan tindakan melawan hukum;
c. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak dapat dilakukan dengan berlebih-lebihan.
Misalnya tuntutan yang diajukan tidak seimbang dengan kerugian yang diderita;
d. Bahwa tindakan pembalasan tersebut tidak boleh merugikan kepentingan negara
ketiga dan warganegaranya;
e. Tindakan pembalasan tersebut harus dihentikan bila keadaan yang di tuntut telah
dipenuhi oleh pihak lawan. Yang dimaksudkan dengan keadaan tersebut adalah
keadaan pemulihan hak atau penggantian kerugian yang menjadi sebab dilakukan
tindakan pembalasan.32
Pada masa sekarang tindakan pembalasan dapat berupa :
a. Tindakan terhadap diri atau kekayaan warganegara lawan;
b. Pemboman atas wilayah tertentu;
c. Penduduk atas wilayah pihak lawan;
d. Penghentian pembayaran hutang.33
Tindakan pembalasan sendiri dapat dibedakan antara tindakan pembalasan yang positif
dan yang negatif. Tindakan pembalasan yang positif adalah tindakan yang dalam keadaan
normal merupakan tindakan yang melanggar hukum internasional. sedangkan yang dimaksud
30
31
32
33
Ibid.
Danial, Op.Cit., hlm. 2338
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 198
Ibid. hlm. 198-199
( 386 )
Penyelesaian Sengketa
dengan tindakan pembalsan yang negatif adalah suatu penolakan untuk melakukan kewajiban
internasional, misalnya pemenuhan kewajiban untuk suatu perjanjian internasional.34
Hukum internasional telah mengenal hak sebuah negara untuk menyatakan pembalasan
atau retaliasi sebagai alat untuk mempertahankan hak yang dilanggar oleh negara lain. Sejarah
awal perkembangan hukum pembalasan memperlihatkan kekauan formalism hukum. Pada
abad ke-16 dan ke-17, misalnya, perang terus pecah dan tidak ada rujukan kecuali dalam
buku-buku hukum yang menyatakan bahwa pernyataan perang itu sendiri bisa menjadi legal.
Ada perkembangan praktik yang berkaitan dengan pembalasan yang sangat diperbolehkan
pada masa itu.35
Jika, contohnya, armada Spanyol menangkap kapal saudagar Inggris, ia bisa
mengajukan surat permohonan pembalasan kepada Raja yang mensahkannya secara legal
untuk maju dan menangkap kapal milik Spanyol yang setara nilainya untuk menggantikan
kerugian saudagar tersebut. Jika setelah penangkapan miliki Spanyol yang ia sanggup
lakukan ternyata nilainya melebihi apa yang dinyatakan, harus ada penghitungan yang
kemudian hasilnya diserahkan kepada Pemerintah Inggris untuk dikembalikan kepada
Spanyol. Kenyataan yang terjadi adalah permintaan hukum pembalasan ini dipelajari dengan
menggunakan coda duello.36
Praktiknya, dalam bentuk yang paling terorganisir, menyebabkan pertumbuhan
angkatan laut nasional, yang menggantikan tindakan negara untuk tindakan individu.
Mungkin dapat dikatakan bahwa masyarakat internasional saat ini memasuki periode ketiga,
dimana tindakan internasional bersama menggantikan tindakan negara. Tentu saja, semua
yang telah disebutkan yang berkaitan dengan bentuk pertolongan sendiri berdasarkan hukum
negara modern berlaku sama dengan masalah pembalasan atau retaliasi. Negara yang bertikai
sekarang memiliki tugas, jika ia merupakan negara anggota PBB, untuk merujuk kasusnya
kepada Dewan Keamanan dan tidak mengambil tindakan dengan mengatasnamakan dirinya
sendiri.37
Praktik yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Britania Raya sejak
pembentukan PBB merupakan contoh yang jelas untuk perujukan terhadap prosedur yang
baru. Pada bulan Agustus 1946 Amerika Serikat memprotes Yugoslavia terkait tindakan
agresif yang dilakukan terhadap pesawat Amerika Serikat yang terbang melewati Yugoslavia
ketika pesawat tersebut terpaksa melalui daerah tersebut akibat cuaca buruk. Amerika Serikat
mengajukan tuntutan yang berhubungan dengan pesawat dan crew-nya yang terpaksa harus
mendarat dan menyatakan permintaan tersebut dalam bentuk ultimatum, meminta persetujuan
dalam waktu 48 jam. Namun, alih-alih menggunakan ancaman lama sebagai tindakan untuk
masalah pelanggaran, Amerika Serikat menyatakan bahwa jika permintaannya tidak dipenuhi,
Ibid. hlm. 199
Lihat Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations, Pengantar Hukum Modern Antarbangsa, alih
bahasa Fitria Mayasari, (Bandung: Nuansa, 2012), hlm. 204-205
36
Philip C. Jessup, Ibid. hlm. 205; Lihat juga Clark, The English Practice With Regards to Reprisals
by Private Persons, 27 Am. J. International Law 1993, hlm. 694
37
Philip C. Jessup, Ibid.
34
35
( 387 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
Amerika Serikat akan “menghubungi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan pertemuan
secepatnya dan mengambil tindakan yang tepat”. Masalah tersebut diselesaikan melalui
negosiasi langsung antara dua pemerintahan dan tidak mendahului Dewan Keamanan PBB.38
Pada tanggal 9 Desember 1946, Pemerintah Inggris mengajukan nota kepada
Pemerintah Albania sehubungan dengan insiden Kanal Corfu; pada tanggal 15 Mei, kapal
perang Inggris telah ditembak oleh penjaga pantai Albania, dan pada tanggal 22 Oktober
2 kapal penghancur Inggris terkena ranjau yang mengakibatkan kerusakan serius kepada
kedua kapal serta menelan korban 44 tentara dan pelaut. Setelah mempertanyakan keabsahan
Pemerintah Albania di bawah hukum internasional, Pemerintah Inggris menuntut permintaan
maaf, perbaikan kerusakan kapal, dan kompensasi penuh terhadap kerabat korban. Nota
tersebut juga berisi: “Jika tidak ada balasan yang memuaskan setelah 14 hari pengiriman
nota ini maka Pemerintah Inggris tidak memiliki pilihan lain selain membawa masalah ke
Dewan Keamanan PBB sebagai ancaman serius, serta pelanggaran terhadap perdamaian dan
keamanan internasional, menunjukan tindakan criminal atas keamanan pelaut yang tidak
bersalah dari negara manapun yang secara sah menggunakan jalur internasional”. Balasan
dari Pemerintah Albania, tertanggal 21 Desember dianggap tidak memuaskan. Maka pada
tanggal 10 Januari 1947 perwakilan Inggris menyerahkan surat tersebut kepada Sekertaris
Jenderal PBB untuk di daftarkan kepada Dewan Keamanan bedasarkan Pasal 35 Piagam
PBB.39
3. Blokade Secara Damai
Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai.
Kadang-kadang digolongkan sebagai suatu pembalasan, pada umumnya tindakan itu ditujukan
untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk menaati permintaan ganti rugi
kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.40 Blokade damai sudah lebih dari
reprisal tetapi masih di bawah perang. Beberapa penulis meragukan legalitas blokade damai
juga sebagai tindakan. Demikian halnya tindakan unilateral blokade damai dipertanyakan
keabsahannya ditinjau dari Piagam PBB.41
Blokade secara damai lazim dipakai untuk memaksakan agar negara pihak lawan
menyetujui permintaan negara yang memblokir. Jika kita bandingkan dengan bentuk tindakan
pembalasan maka blokade dengan damai adalah bentuk khusus dari tindakan pembalsan.
Namun ada pendapat yang mengatakan bahwa blokade damai dapat dikategorikan sebagai
intervensi atau tindakan pembalasan. Blokade secara damai disebutkan dalam Pasal 42
Piagam PBB yaitu sebagai salah satu tindakan yang dapat diambil oleh Dewan Keamanan
PBB dalam menjalankan tugasnya untuk memulihkan dan mempertahankan perdamaian dan
keamanan internasional. menurut Starke ada beberapa hal yang postif dengan penggunaan
blokade damai ini, karena blokade damai ini tidak menggunakan kekerasan sebagaimana
38
39
40
41
Ibid. hlm. 205-206
Ibid. hlm. 206
Danial, Op.Cit., hlm. 2338
Sefriani, Op.Cit. hlm. 352
( 388 )
Penyelesaian Sengketa
perang yang sifatnya luwes jika dibandingkan dengan tindakan pembalasan, maka tindakan
blokade damai ini dianggap sebagai perang. Negara-negara maritime yang kuat menggunakan
blokade damai untuk menghindarkan beban perang dan kesulitan akibat perang.42
4. Intervensi
Intervensi adalah campur tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan
dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi
atau barang di negara tersebut.43 Intervensi sebagai suatu sarana untuk menyelesaikan sengketa
antara pihak yang terlibat dalam konflik. Ini merupakan campur tangan pihak ketiga dalam
sengketa antar para pihak yang terlibat dalam konflik yang bermaksud untuk menyelesaikan
sengketa meraka. Campur tangan pihak ketiga dalam mencari penyelesaian antara para
pihak yang bersengketa harus dibedakan dengan campur tangan pihak ketiga dalam sengketa
yang berupa good offices, mediasi atau nasihat-nasihat pihak ketiga dalam usaha mencari
penyelesaian sengketa. Intervensi pihak ketiga dimaksudkan agar para pihak yang sedang
konflik mencari penyelesaian secara damai misalnya dengan cara melalui arbitrasi atau
dengan cara menerima kondisi-kondisi tertentu yang di usulkan oleh pihak ketiga. Negara
pihak ketiga dalam intervensi ini dapat bertindak sendiri atau bersama-sama.44
Intervensi yang dilakukan oleh pihak ketiga dapat terjadi pada saat konflik antara
pihak mulai muncul sampai para pihak dapat mencapai penyelesaian sengketanya bahkan
sengketa setelah dicapai penyelesaian sengketa. Sering terjadi intervensi dilakukan sebelum
pecah perang antara para pihak karena intervensi dilakukan untuk mencegah pecahnya
perang. Dalam hal tertentu intervensi juga dapat dilakukan pihak ketiga setelah pecah perang
antara para pihak sebagai konsekuensi dari sengketa mereka. Dalam abad ke-19 prinsip non
intervensi dikemukakan Wolf Vattel telah mendapat pengakuan. Namun hukum internasional
dalam abad ke-19 ditandai dengan adanya pengecualian atas prinsip non intervensi ini,
yang disebut dengan hak intervensi di dasarkan pada perjanjian atau pada prinsip penolong
diri sendiri (self help) atau penjagaan diri sendiri (self reservation). Usaha negara-negara
monarki seperti Rusia, Austria, dan Prusia setelah tahun 1815 pada umumnya menetapkan
prinsip intervensi militer dengan dasar Holly Alliance. Napoleon III mencoba mencari
pengakuan untuk hak intervensi yang di dasarkan pada penentuan nasib sendiri (national self
determination) masih belum berhasil mendapat pengakuan.45
Alasan baru untuk intervensi yang di dasarkan pada kemanusiaan (humanity)
menghasilkan teori yang di dasarkan pada politik liberal dan konsep dasar hak-hak asasi
manusia. Pada abad ke-19 praktik-praktik negara menunjukkan tambahnya alasan intervensi
yang di dasarkan pada alasan kemanusiaan, juga kadang-kadang tersamar adanya intervensi
untuk kepentingan ekonomi, politik, atau alasan lain. Menurut J.G. Starke membedakan tiga
bentuk intervensi. Yaitu : (1) Intervensi Internal (Internal Intervention). Misalnya negara A
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 199-200
Danial, Op.Cit., hlm. 2338; Lihat juga Oppenheim Lauterpacht, International Law: A Treaties,
Vol I: Paece, edisi ke-8, Longmas, 1967, hlm. 305
44
Sri Setianingsih Suwardi, Op.Cit. hlm 200
45
Ibid. hlm. 200-202
42
43
( 389 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
mengadakan intervensi di negara B, dimana di negara B sedang ada pihak yang berkonflik.
Apakah intervensi A akan memihak pada pemerintah yang sah ataukah akan memihak pihak
pemberontak; (2) Intervensi Eksternal (External Intervention). Misalnya pihak A melakukan
intervensi dalam kaitan bermusuhan dengan pihak lainnya, sebagai contoh dalam Perang
Dunia II Italia memihak Jerman melawan Inggris; (3) Intervensi Menghukum (Punitive
Intervention). Dalam hal ini merupakan pembalasan (reprisal) misalnya adanya perang yang
singkat untuk membalas kerugian yang di derita karena adanya pelanggaran berat dari suatu
perjanjian.46
III. PENUTUP
Peran negara dalam penyelesaian sengketa internasional sangat dibutuhkan guna
dapat menyelesaikan sengketa-sengketa internasional baik yang dihadapinya secara
langsung, maupun permintaan dari negara lain yang sedang bersengketa untuk dibantu dalam
penyelesaiannya. Hal ini yang kemudian menjadikan peran aktif dari suatu negara terhadap
penyelesaian sengketa internasional menjadi salah satu dari sekian banyak tanggungjawab
yang dimiliki oleh negara-negara berdaulat dewasa ini. Bila terjadi sengketa dan ternyata
para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketanya secara damai, kadang-kadang salah satu
pihak terpaksa mengambil tindakan sepihak. Tindakan sepihak demikian dilakukan dengan
sasaran untuk mencapai tujuannya dengan menguntungka pihaknya sendiri. Tindakan tersebut
berupa tindakan paksaan, yang berupa tekanan agar pihak lain merasa terpaksa menerima
kehendaknya. Dalam hukum internasional dikenal beberapa bentuk tindakan paksaan, yaitu
(1) Retorsi (retorsion); (2) Tindakan Pembalasan (reprisals); (3) Blokade secara damai (pacific
blockade); dan (4) Intervensi (intervention). Keempat hal tersebut merupakan metode-metode
penyelesaian sengketa internasional dengan kekerasan bukan perang.
DAFTAR PUSTAKA
Alma Manuputty dkk, Hukum Internasional, Depok: Rechta, 2008.
Birkah Latif dan Kadarudin, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Makassar:
Pustaka Pena Press, 2013.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Jakarta: Alumni, 2001.
Clark, The English Practice With Regards to Reprisals by Private Persons, 27 Am. J.
International Law 1993.
Danial, Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Proses
Penyelesaian Konflik Internasional, Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas Nasional
Jakarta.
46
Ibid. hlm. 202
( 390 )
Penyelesaian Sengketa
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
_________, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Cetakan Pertama, Jakarta:
Rajawali Pers, 1991.
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung:
Refika Aditama, 2006.
John Collier & Vaughan Lowe, The Settlement of Disputes in International Law, New
York: Oxford University Press, 1999.
John G. Merrills, International Dispute Settlement, Cambridge: Cambridge University
Press, 1991.
John O’Brien, International Law, London: Cavendish, 2001.
Malcolm D. Evans (Ed.), International Law, New York: Oxford University Press, 2003.
Martin Dixon, Textbook on International Law, Blckstone Press Limited, 2000.
Melda Theresia S, Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Kekuatan Bersenjata
Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Menjaga Perdamaian Dunia, Makalah.
Muhammad Ashri, Hukum Perjanjian Internasional, Dari Pembentukan Hingga Akhir
Berlakunya, Makassar: Arus Timur, 2012.
_______________ dan Rapung Samuddin, Hukum Internasional Dan Hukum Islam
Tentang Sengketa Dan Perdamaian, Jakarta: Kompas Gramedia, 2013.
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:
Alumni, 2003.
Mohamad Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta: Liberty, 1990.
Oppenheim Lauterpacht, International Law: A Treaties, Vol I: Paece, edisi ke-8, Longmas,
1967.
Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations, Pengantar Hukum Modern Antarbangsa,
alih bahasa Fitria Mayasari, Bandung: Nuansa, 2012.
Pirhot Nababan, Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Internasional Secara
Diplomatik, Lihat http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007/07/tinjauan-umumpenyelesaian-sengketa.html di akses pada tanggal 26 Februari 2014
Revy S. Korah, Mediasi Merupakan Salah Satu Alternatif Penyelesaian Masalah Dalam
Sengketa Perdagangan Internasional, Jurnal Universitas Sam Ratulangi Manado,
Vol.XXI/No.3/April-Juni/2013.
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: UI Press, 2006.
T. May Rudi, Hukum Internasional 1, Cetakan Ketiga, Bandung: Refika Aditama, 2010.
( 391 )
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Seluruh jajaran Dewan Redaksi “Jurnal Hukum Internasional” Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI)
Jakarta.
2. Prof. Dr. Alma Manuputty, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(UNHAS) Makassar.
3. Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(UNHAS) Makassar.
4. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H.
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(UNHAS) Makassar.
5. Dr. Abdul Maasba Magassing, S.H., M.H.
Dosen Senior Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
(UNHAS) Makassar.
6. Dr. Aktieva Tri Tjitrawati, S.H., M.H.
Dosen Tetap Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Airlangga
(UNAIR) Surabaya.
7. Dr. Devy Sondakh, S.H., M.H.
Dosen Tetap Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi
(UNSRAT) Manado.
8. I Made Arsana, S.T., M.Eng.Sc.
Dosen Tetap Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Atas kerjasamanya sebagai Penyunting Ahli/Mitra Bestari dalam artikel
yang telah dimuat dalam “Jurnal Hukum Internasional” Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin 2013-2014.
(
)
INDEKS PENGARANG (2013-2014)
Agus, D.___(I) 7-17
Anwar, R.F.___(II) 120-134; (III) 247-263
Ashri, M.___(III) 317-345
Beddu, S.___(III) 265-275
Brabander, R.D.___(II) 120-134
Devyta.___(I) 59-68
Gerlings, D.___(II) 120-134
Hendrapati, M.___(II) 174-195
Juwana, H.___(I) 1-5
Kadarudin.___(II) 208-219
Laitupa, S.___(II) 220-233
Lukman, M.L.___(I) 109-119
Magassing, A.M.___(II) 234-246; (III) 347-363
Mahfud, M.A.___(III) 365-377
Mangulung.___(II) 234-246
Manuputty, A.___(III) 247-263
Maskun.___(II) 150-172; (II) 234-246; (III) 247-263; (III) 347-363
Munzir, I.___(III) 277-299
Nansa, A.___(III) 301-315
Noor, S.M.___(II) 136-148
Nur, R.___(I) 69-90
Pede, A.___(III) 379-391
Rahayu, S.___(III) 317-345
Ramli, R.N.H.___(III) 247-263
Reskia, C.___(III) 347-363
Sakharina, I.K.___(II) 196-207
Schobesberger, T.___(II) 120-134
Silambi, E.D.___(I) 43-58
Sumardi, J.___(III) 247-263
Wibisana, A.G.___(I) 91-108
Widayanti, T.F.___(III) 317-345
Wulandari, W.___(I) 19-41
372
(
)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
INDEKS SUBJEK (2013-2014)
Cultural Claims.___(I) 59-68
Cultural Property Disputes.___(I) 59-68
Equity.___(I) 91-108
Globalisasi.___(III) 301-315
Hak Anak.___(III) 347-363
Indication of Source.___(III) 277-299
Indigenous People.___(III) 365-377
Individu sebagai subjek.___(II) 150-172
Israel - Palestina.___(III) 265-275
Kasus Prita Mulyasari Vs RS. Omni Internasional.___(I) 43-58
Kasus Sipadan-Ligitan.___(II) 174-195
Kasus Sirip Kuning.___(I) 109-119
Konvensi ILO.___(I) 7-17
Konvensi Pekerja Migran.___(I) 1-5
Law Enforcement.___(II) 120-134
Legislative.___(II) 120-134
Non-member state.___(II) 234-246
Penegakan Hukum di Laut.___(III) 247-263
Pengungsi dan HAM.___(II) 196-207
Penyelesaian Sengketa.___(III) 379-391
Peran ICRC.___(III) 317-345
Perdagangan Bebas.___(III) 301-315
Potensi Perang Global.___(II) 220-233
Praktik Spionase.___(II) 208-219
Public Emergency.___(I) 19-41
Selat Makassar.___(II) 136-148
Self Determination.___(I) 69-90
The Global Policy.___(I) 91-108
(
)
J
PERSYARATAN PENULISAN
urnal Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin memuat naskah
yang berupa artikel konseptual dan hasil penelitian, dengan ketentuan penulisan sebagai
berikut:
Artikel Konseptual
Isi dalam kerangka konseptual dituangkan ke dalam sistematika penulisan yang berintikan
pembahasan penulis yang berasal dari rumusan pokok permasalahan. Unsur-unsur yang
harus dipenuhi dalam penulisan artikel konseptual adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis;
(3) Abstrak dan kata kunci; (4) Bagian pendahuluan; (5) Bagian Inti atau pembahasan;
(6) Penutup; (7) Daftar pustaka
Artikel Hasil Penelitian
Unsur penulisan artikel hasil penelitian adalah: (1) Judul; (2) Nama penulis; (3) Abstrak
dan kata kunci; (4) Bagian Latar Belakang; (5) Metode Penelitian (6) Hasil penelitian
dan pembahasan; (6) Kesimpulan, (7) Saran; (8) Daftar pustaka
Format Naskah
Naskah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a) Naskah harus memenuhi kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar;
b)Naskah yang ditulis baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, harus
disertai abstrak berbahasa Inggris dan Indonesia, maksimal 50 kata;
c) Jumlah halaman artikel konseptual 15-30 halaman, artikel penelitian 25-40 halaman,
diserahkan dalam bentuk printout dan softcopy;
d)Kertas A4, Huruf Times New Roman, ukuran 12;
e) Menggunakan spasi ganda;
f) Pemuatan tabel dan grafik harus disertai sumber dan penomorannya;
g)Tulisan yang diserahkan wajib disertai dengan bahan pustaka yang dibuat alpabetik
(kecuali bagi penulis dengan reputasi nasional dan internasional, tulisan dibolehkan
untuk tidak disertai bahan pustaka); dengan ketentuan sebagai berikut:
i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan],
Tempat terbit: Penerbit, dan Tahun).
Contoh: Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994.
Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [ditebalkan dan
dimiringkan], Tempat terbit, :, Penerbit, dan Tahun).
Contoh: Shaw, M.N., International Law, 2nd edition, Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986.
ii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan],
Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan
angka halaman).
Contoh: Alma P. Manuputty, States Cooperation in Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal
Ilmu Hukum amanna gappa, Vol. 14, No.1 Maret, (2006) : 35
iii. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [dibalik], Judul [dimiringkankan], Nama
jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman (hanya menuliskan angka
halaman).
Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual
Property, Vol.7, No. 5 (2004) : 668-670.
120
(
)
Jurnal Hukum Internasional Vol. I, No. 3 Maret 2014
iv. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website,
Tanggal akses)
Contoh:
Stephen A. Hasen, A. S. and Vanfleet, W. J., Traditional Knowledge and Intellectual Property
Rights: A Handbook on Issues and Option for TK Holder in Protecting Their IP and Maintaining
Biological Diversity, in http://shr.aaas.org./tek/handbook/handbook/pdf, accessed 12 March
2010
v. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan
tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama,
Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun).
Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010
Abdul Rasal Rauf, Memasuki Era Baru Kemajuan HAM, Opini pada Tribun Timur, Makassar,
2005.
h)Teknik kutipan yang digunakan adalah catatan kaki (footnotes), dengan ketentuan
sebagai berikut:
i. Buku Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan],
[Tempat terbit, :, Penerbit, Tahun diletakkan dalam tanda kurung], dan Halaman).
Contoh: Jimly Asshidiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1994), hlm. 3.
ii. Buku Berbahasa Inggris (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [ditebalkan dan
dimiringkan], [Tempat terbit, :, Penerbit, Tahun diletakkan dalam tanda kurung],
dan Halaman).
Contoh: M.N. Shaw, International Law, 2nd edition, (Cambridge: Grotius Publications Limited, 1986, p. 5.
iii. Jurnal Berbahasa Indonesia (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkan],
Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman.
Contoh:
Alma P. Manuputty, States Cooperation in Combating Transboundary Air Pollution, Jurnal
Ilmu Hukum amanna gappa, Vol. 14, No.1 Maret, (2006), hlm. 35
iv. Jurnal Berbahasa Inggris (Nama penulis [tidak dibalik], Judul [dimiringkankan],
Nama jurnal [ditebalkan], Vol., Edisi (Tahun), :, Halaman.
Contoh: Shiva, V., TRIPs, Human Rights and the Public Domain, The Journal of World Intellectual
Property, Vol.7, No. 5 (2004), pp. 668-670.
v. Website Berbahasa Indonesia dan Inggris (Nama penulis, Judul, Alamat website,
Tanggal akses)
Contoh: Lufsiana, Konflik Kewenangan Penegakan Hukum Perikanan, http://Konflik-KewenanganPenegakan-HUKUM-PERIKANAN.aspx.htm, diakses 23 Nopember 2010.
vi. Surat kabar dalam rubrik berita disebutkan hanya nama Surat Kabarnya dan
tanggal terbitnya. Akan tetapi, surat kabar dalam rubrik opini disebutkan (Nama,
Judul [ditebalkan], Opini Nama Surat kabar, Tempat terbit, dan Tahun).
Contoh: Harian KOMPAS, 17 Oktober 2010
Abdul Rasal Rauf, Memasuki Era Baru Kemajuan HAM, Opini pada Tribun Timur, Makassar,
2005.
Penyerahan Tulisan
a) Tulisan dapat diserahkan langsung di Sekretariat: Bagian Hukum Internasional Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Tamalanrea, 90245,
Makassar; atau
b) Dikirim via-email ke: [email protected]
c) Setiap artikel yang diserahkan, harap mencantumkan alamat jelas serta melampirkan
curriculum vitae Penulis (instansi dan e-mail).
(
)
(
)
Download