Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Susanto Eko Prasetyo,1 Reviono,2 Suradi2 Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis I Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Staff Pengajar Program Pendidikan Dokter Spesialis I Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta Abstrak Latar Belakang: Penegakan diagnosis pneumonia secara cepat menggunakan biomarker seperti prokalsitonin. Tujuan utama penatalaksanaan pneumonia untuk mencapai perbaikan klinis terutama dengan pemberian antibiotik. Pemberian terapi tambahan sebagai suplementasi diusulkan misalkan menggunakan Omega 3 fatty acid (FA) untuk memperbaiki survival. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Omega 3 FA terhadap kadar prokalsitonin dan lama pencapaian perbaikan klinis pada pasien pneumonia komunitas. Metode: Penelitian uji klinis dengan metode Quasy Experimental secara pretest dan posttest. Subjek merupakan pasien pneumonia komunitas yang menjalani perawatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus – November 2015 secara purposive sampling didapatkan 30 pasien, 15 pasien sebagai kelompok perlakuan (diberi Omega 3 FA) dan 15 pasien sebagai kelompok kontrol (hanya terapi empirik). Hasil: Pemberian Omega 3 FA secara signifikan dapat menurunkan kadar prokalsitonin (penurunan = 5,03 ± 15,63; p = 0,004) pasien pneumonia. Meskipun begitu nilai akhir biomarker pada pasien tersebut secara statistik tidak berbeda signifikan dengan nilai akhir pada pasien yang hanya diberi terapi empirik (prokalsitonin = 0,40 ± 0,64 pada kelompok perlakuan dan 0,54 ± 1,36 pada kelompok kontrol). Pemberian Omega 3 FA tidak berpengaruh signifikan terhadap lama pencapaian perbaikan klinis (4,40 ± 0,63 hari dan 4,40 ± 0,99 hari; p = 0,965). Penurunan kadar prokalsitonin (p = 0,778) berkorelasi tidak signifikan dengan lama pencapaian perbaikan klinis. Kesimpulan: Pemberian Omega 3 FA terbukti dapat menurunkan kadar prokalsitonin dan mempercepat lama pencapaian perbaikan klinis. Tetapi jika dibandingkan dengan hanya terapi empirik perbedaan penurunan tersebut tidak signifikan secara statistik. (J Respir Indo. 2016; 36: 138-46) Kata Kunci: Omega 3 Fatty Acid, Prokalsitonin, Pneumonia Komunitas Effect of Omega 3 Fatty Acids to Procalcitonin Concentration and Survival of Clinical Community Pneumonia Patient Abstract Background: Diagnosis of pneumonia will be fast if using biomarkers such as procalcitonin. The main objective treatment of pneumonia to achieve clinical improvement especially with antibiotics. Additional supplementation therapy as proposed for example using Omega 3 fatty acid (FA) to improve survival. This study aimed to determine the effect of omega-3 FA on levels of procalcitonin and long achievement of clinical improvement in patients with community pneumonia. Methods: Clinical trials with quasy Experimental methods in pretest and posttest. The subject is a community pneumonia patients undergoing treatment in hospitals Dr. Moewardi Surakarta August - November 2015 purposively sampling with 30 patients, 15 patients in treatment group (given Omega 3 FA) and 15 patients as a control group (only empiric therapy). Results: Treatment of Omega 3 FA can significantly reduce levels of procalcitonin (decrease=5.03±15.63; p = 0.004) patients with pneumonia. Even so the final value of biomarkers in these patients was not statistically significant from the final value in patients who were only given empiric therapy (procalcitonin= 0.40±0.64 of treatment group and 0.54±1.36 of control group). Giving Omega 3 FA did not significantly affect the achievement of clinical improvement (4.40± 0.63 days and 4.40± 0.99 days; p = 0.965). Decreased levels of procalcitonin (p = 0.778) was not significantly correlated with clinical improvement long achievement. Conclusion: Treatment of Omega 3 FA shown to lower levels of procalcitonin and accelerate the achievement of the long clinical improvement. But when compared with empiric therapy only difference this reduction was not statistically significant. (J Respir Indo. 2016; 36: 138-46) Keywords: Omega 3 Fatty Acid, procalcitonin, Community Pneumonia Korespondensi: Susanto Eko Prasetyo Email: [email protected]; Hp: 0811264030 138 J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas PENDAHULUAN Pneumonia komunitas secara klinis meru­ pakan peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit) yang didapat di komunitas atau masyarakat.1,2 Pneu­monia merupakan salah satu penyakit infeksi dengan morbiditas dan mortalitas tinggi pada pasien yang dirawat di rumah sakit.3,4 World Health Report dari World Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat 450 juta kasus baru pneumonia setiap tahunnya dan sebagai penyebab 3,9 juta kematian dengan prevalensi kematian karena infeksi saluran napas bawah sekitar 6,9%.4 Lebih dari satu juta pasien dengan pneumonia membutuhkan perawatan rumah sakit, dimana 10% diantaranya memerlukan perawatan Intensive Care Unit (ICU) dan 20-50% dari seluruh pasien mengalami kematian.2,3 Diagnosis pneumonia didapatkan dari anam­ nesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, foto torak, dan laboratorium.1 Penggunaan biomarker untuk pene­ gakan diagnosis pneumonia secara cepat telah banyak digunakan. Metode skor gejala klinis dan radiologi terbukti tidak valid untuk membedakan etiologi bakteri dan viral, sehingga terapi inisial tidak dapat segera dilakukan.1,5 Biormarker C-reactive protein (CRP), jum­ lah leukosit, sitokin proinflamasi, procalcitonin (PCT), adrenomedullin (ADM), copeptin dan kortisol telah digunakan untuk menunjang penegakan diagnosis.6,7 Procalcitonin (PCT) merupakan prekursor calcitonin yang diproduksi oleh sel C tiroid dibawah kendali gen calcitonin gene related peptide-1 (CALC-1).6,8 Ekspresi gen calcitonin ditemukan pada sel neuroendokrin tiroid dan paru.8 Infeksi mikroba meningkatan ekspresi gen CALC-1 pada berbagai jaringan dan sel ekstra tiroid, termasuk ginjal, liver, pankreas, leukosit serta jaringan adiposa seiring dengan pelepasan PCT dalam tubuh (Hermawan, 2008). Pengukuran kadar PCT dilaporkan dapat memprediksi etiologi pneumonia komunitas.6,9 Tujuan utama penatalaksanaan pneumonia adalah untuk mencapai perbaikan klinis terutama dengan pemberian antibiotika. Pemberian terapi tambahan sebagai suplementasi diusulkan pada beberapa penelitian antara lain penggunaan Omega 3 fatty acid untuk memperbaiki survival. Omega 3 FA dapat mengubah produksi protein inflamasi J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 termasuk sitokin. Efek ini dimediasi oleh perubahan aktivasi faktor transkripsi utama yang terlibat dalam pengaturan ekspresi gen inflamasi. Dua faktor transkripsi yang berperan pada proses inflamasi adalah Nuclear Factor κB (NFκB) dan Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR-γ).10 Nuclear Factor κB merupakan faktor transkripsi utama yang terlibat dalam meningkatkan sitokin inflamasi dan molekul adhesi. Penurunan sitokin pro inflamasi akan menyebabkan penurunan kadar procalcitonin serum dan perbaikan klinis pada penderita pneumonia. Penelitian pemberian Omega 3 FA pada pasien pneumonia jarang dilakukan. Pemberian Omega 3 FA pada pasien dengan sepsis memberikan hasil bahwa pemberian Omega 3 FA akan memperlambat progresifitas penyakit khususnya pada disfungsi respirasi dan kardiovaskular. Penelitian oleh Curtis dkk pada tahun 2008 memberikan hasil adanya penurunan angka mortalitas pada pasien pneumonia nosokomial setelah pemberian Omega 3 FA. Sehingga menarik jika dilakukan penelitian tentang pengaruh Omega 3 FA pada pasien pneumonia komunitas dan mengetahui peran procalcitonin sebagai penanda prognosis pasien pneumonia komunitas. METODE Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain kuasi eksperimental untuk menilai apakah terdapat pengaruh kadar prokalsitonin dan interleukin-6 serum terhadap perbaikan klinis penderita pneumonia setelah pemberian omega 3 FA. Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2015 sampai November 2015 dengan sampel 30 pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang diambil dengan cara purposive sampling. Subjek terdiagnosis Usia > 18 tahun dengan pneumonia, mempunyai nilai PORT ≥ 70. Keadaan seperti terdapat riwayat pemakaian kortikosteroid dan antibiotik 90 hari sebelumnya, menderita hospital acquired pneumonia (HAP) serta didapatkan penyakit infeksi lain selain pneumonia menjadi kriteria eksklusi. Pasien diberhentikan dari penelitian apabila meninggal selama follow up, mengundurkan diri, dan muncul efek samping terhadap omega 3 selama penelitian berlangsung. Etika penelitian mendapat persetujuan Panitia Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 139 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Diagnosis pneumonia ditegakkan jika pada eksperimen sampel dibagi menjadi dua kelompok foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif yaitu 15 pasien kelompok perlakuan (diberi Omega ditambah 2 atau lebih gejala batuk bertambah, peru­ 3 1gr/hr) dan 15 pasien kelompok kontrol (hanya bahan karakteristik dahak, suhu tubuh ≥ 38° C atau terapi empirik). Biomarker yaitu kadar prokalsitonin demam, ditemukan suara napas bronkial, ronki dan diukur sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. leukosit >10.000 atau <4500. Penilaian derajat kep­a­ Sesudah perlakuan juga diamati lama waktu hingga rahan pneumonia dapat dilakukan dengan menggu­ mulai mengalami perbaikan klinis. 1 nakan sistem skor Pneumonia Severity Index (PSI). Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat identitas, riwayat merokok, penyakit lain yang diderita, dan lain-lain pada formulir yang disediakan. Data awal subyek diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium darah dan foto toraks. Subjek kemudian dinilai jumlah skor PSI berdasarkan PORT kemudian diambil darah vena untuk memeriksa kadar prokalsitonin. Pengambilan darah dilakukan ≤ 2 jam setelah pasien masuk IGD sebanyak 3 ml. Pemeriksaan kadar prokalsitonin serum dilakukan di laboratorium klinik Prodia (3 ml darah) diukur menggunakan teknik enzyme-linked fluorescent assay (ELFA). Selanjutnya subjek dibagi menjadi 2 kelom­ pok, kelompok pertama mendapat omega 3 FA 1 gr Beberapa karakteristik dari sampel diukur dan dibandingkan antara kedua kelompok eksperimen. Hal ini dilakukan untuk mengetahui homogenitas kedua kelompok sampel sebagai syarat kelayakan prosedur eksperimen. Variabel dan karakteristik yang berbentuk kategorik dideskripsikan dengan angka frekuensi dan prosentase, selanjutnya diuji beda antara kedua kelompok dengan uji chi square. Variabel dan karakteristik yang berbentuk numerik dideskripsikan dengan nilai rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi), selanjutnya diuji beda antara kedua kelompok dengan uji t (independent samples t test) apabila memenuhi syarat normalitas atau dengan uji mann-whitney apabila tidak memenuhi syarat normalitas. Karakteristik dasar subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. secara oral, kelompok kedua hanya mendapat terapi Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa secara empirik. Antibiotik dan terapi suportif lainnya diberikan demografis proporsi pasien laki-laki dan perempuan sesuai terapi empirik atau definitif apabila sudah didapatkan data kultur. Pasien kemudian di follow-up sampai kondisi klinis stabil. Kondisi klinis stabil dinilai berdasarkan kriteria: dalam waktu 24 jam suhu aksiler < 37,8oC, frekuensi napas ≤ 24 kali per menit, denyut jantung ≤ 100 kali per menit, tekanan darah sitolik ≥ 90 mmHg, dan saturasi oksigen (SO2) ≥ 90% atau tekan parsial osigen arteri (PaO2) ≥ 60 mmHg saat bernapas dengan oksigen ruangan, mampu mempertahankan intake oral, dan status mental normal.12 Kemudian darah vena pasien diambil lagi untuk pemeriksaan kadarprokalsitonin setelah pemberian terapi omega 3 FA. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 17. HASIL antara kedua kelompok hampir sama sedangkan umur pasien kelompok perlakuan sedikit lebih tua. IMT dan riwayat merokok relatif sama antara kedua kelompok. Keberadaan penyakit-penyakit penyerta dan hasil kultur bakteri baik proporsi no growth, sampel tidak dikultur (karena tidak dapat mengeluarkan dahak), maupun tumbuhnya jenis-jenis bakteri tertentu, hampir memperlihatkan tidak adanya perbedaan antara kedua kelompok. Perbedaan yang cukup jelas hanya terlihat pada leukosit, PSI dan riwayat perawatan sebelumnya. Pada kelompok perlakuan, kadar leukosit dan skor PSI relatif lebih tinggi dengan proporsi riwayat perawatan sebelumnya yang lebih besar. Meskipun begitu pada semua variabel dan karakteristik tidak terdapat adanya perbedaan signifikan Penelitian dilakukan pada pasien pneumonia antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol yang dirawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sampel pada Selama bulan Agustus 2015 hingga November kedua kelompok termasuk homogen dan memenuhi 2015 diambil sampel sebanyak 30 pasien. Dalam aturan kelayakan eksperimen. 140 J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Tabel 1. Karakteristik dan Variabel Dasar Subjek Penelitian Karakteristik dan Variabel Umur, mean ± SD Jenis Kelamin, f (%) Laki-laki Perempuan IMT, mean ± SD Riwayat Merokok, f (%) Merokok Bekas Perokok Tidak Merokok Riwayat Perawatan Sebelumnya (90 hari), f (%) Ya Tidak Penyakit Penyerta Keganasan, f(%) Penyakit Hati, f(%) Penyakit Jantung, f(%) Penyakit Serebrovaskular, f(%) DM, f(%) Lain-lain, f(%) Kultur Bakteri, f (%) No Growth Tidak Dikultur Klebsiella pneumonia Streptococcus sp Lain-lain Leukosit, mean ± SD PSI, mean ± SD PCT (pre), mean ± SD PCT (post), mean ± SD Penurunan PCT, mean ± SD Lama Pencapaian Perbaikan Klinis, mean ± SD Kel. Perlakuan (n = 15) 59,53 ± 11,31 Kel. Kontrol (n = 15) 56,40 ± 18,46 6 (40,0) 9 (60,0) 21,21 ± 2,79 7 (46,7) 8 (53,3) 20,76 ± 3,19 0,713 2 (13,3) 2 (13,3) 11 (73,3) 3 (20,0) 1 (6,7) 11 (73,3) 0,766 9 (60,0) 6 (40,0) 5 (33,3) 10 (66,7) 0,143 1 (6,7) 1 (6,7) 5 (33,3) 0 (0,0) 1 (6,7) 3 (20,0) 1 (6,7) 1 (6,7) 4 (26,7) 2 (13,3) 1 (6,7) 5 (33,3) 1,000 1,000 1,000 0,483 1,000 0,682 2 (13,3) 8 (53,3) 1 (6,7) 3 (20,0) 1 (6,7) 18473,33 ± 12859,15 90,87 ± 32,78 5,42 ± 15,99 0,40 ± 0,64 5,03 ± 15,63 4,40 ± 0,63 3 (20,0) 7 (46,7) 1 (6,7) 2 (13,3) 2 (13,3) 16206,67 ± 8425,34 78,20 ± 30,46 4,39 ± 11,53 0,54 ± 1,36 3,85 ± 11,54 4,40 ± 0,99 0,938 p 0,579 0,682 0,282 0,648 0,468 0,864 0,547 0,965 Sumber data primer, (2015). Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data variabel umur, IMT, PSI dinyatakan memenuhi syarat normalitas sehingga diuji beda dengan independent samples t test. Adapun data variabel leukosit, PCT baik pre maupun post, PCT (post – pre), dan lama pencapaian perbaikan klinis dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas sehingga diuji beda dengan mann-whitney test. Prosedur eksperimen mensyaratkan bahwa agar hasil pengukuran akhir (post) dapat digunakan sebagai parameter perbedaan efek dari perlakuan masing-masing kelompok maka hasil pengukuran awal (pre) dari kedua kelompok sebaiknya secara statistik tidak berbeda signifikan (homogen). Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai awal (pre) kadar prokalsitonin pada sampel kelompok perlakuan relatif lebih tinggi dibandingkan pada sampel kelompok kontrol. Meskipun begitu secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p>0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kadar prokalsitonin adalah homogen. J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 Pengaruh masing-masing perlakuan yaitu pem­ berian Omega 3 (kelompok perlakuan) dan hanya terapi empirik (kelompok kontrol) diketahui dari uji beda kadar prokalsitonin antara awal (pre) dan akhir (post) pada masing-masing kelompok. Perubahan kadar prokalsitonin pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa secara deskriptif terjadi penurunan kadar prokalsitonin (5,03 ± 15,63) pada kelompok perlakuan. Secara statistik penurunan kadar prokalsitonin (p=0,004). Dengan demikian diketahui bahwa terapi dengan pemberian Omega 3 dapat menurunkan kadar prokalsitonin. 141 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Tabel 2. Perbedaan Kadar Prokalsitonin pada Kelompok Perlakuan Pengamatan Awal (Pre) Akhir (Post) Penurunan p PCT 5,42 ± 15,99 0,40 ± 0,64 5,03 ± 15,63 0,004 secara statistik tidak signifikan (p=0,864). Perbandingan selisih (penurunan) antara kedua kelompok juga me­ nun­ jukkan bahwa meskipun penurunan kadar pro­ kalsitonin pada kelompok per­lakuan (5,03 ± 15,63) lebih banyak dibandingkan pada kelompok kontrol (3,85 ± Sumber data primer, (2015). Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data selisih (post – pre) PCT dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas sehingga uji beda antara awal (pre) dan akhir (post) dilakukan dengan wilcoxon signed rank test. Tabel 3. Pebedaan Kadar Prokalsitonin pada Kelompok Kontrol Pengamatan Awal (Pre) Akhir (Post) penurunan p kontrol (0,54 ± 1,36). Meskipun begitu perbedaan tersebut PCT 4,39 ± 11,53 0,54 ± 1,36 3,85 ± 11,54 0,002 Sumber data primer, (2015). Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data selisih (post – pre) PCT dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas sehingga uji beda antara awal (pre) dan akhir (post) dilakukan dengan wilcoxon signed rank test. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara deskriptif terjadi penurunan kadar prokalsitonin (3,85 ± 11,54) pada kelompok kontrol. Secara statistik penurunan kadar prokalsitonin (p=0,002) dinyatakan signifikan. Dengan demikian diketahui bahwa terapi empirik saja dapat menurunkan kadar prokalsitonin. Dalam penelitian hipotesis ada tidaknya 11,54) namun per­bedaan tersebut secara statistik tidak signifikan (p=0,547). Dengan demikian disimpulkan bahwa pemberian Ome­ga 3 tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar prokalsitonin. Interpretasinya adalah baik dengan diberi Omega 3 maupun hanya dengan terapi empirik saja, pasien pneumonia sama-sama mengalami penurunan kadar prokalsitonin, dan besarnya penurunan yang dise­babkan oleh pemberian Omega 3 tidak lebih baik dibandingkan yang disebabkan hanya oleh terapi empirik. Tabel 4. Perbedaan Kadar Prokalsitonin Perlakuan dan Kelompok Kontrol Kelompok Perlakuan Kontrol p Pre 5,42 ± 15,99 4,39 ± 11,53 0,468 antara PCT Post 0,40 ± 0,64 0,54 ± 1,36 0,864 Kelompok Penurunan 5,03 ± 15,63 3,85 ± 11,54 0,547 Sumber data primer, (2015). Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data PCT baik awal (pre), akhir (post), maupun selisih (post – pre) pada kedua kelompok dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas sehingga uji beda antara kedua kelompok dilakukan dengan mann-whitney test. pengaruh pemberian Omega 3 terhadap kadar prokalsitonin diuji berdasarkan perbandingan nilai Ada tidaknya pengaruh pemberian Omega akhir (post) atau selisih nilai (post – pre) biomarker 3 terhadap lama pencapaian perbaikan klinis diuji antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Perbandingan kadar prokalsitonin antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 4. Pada sub bab sebelumnya telah diuraikan bahwa meskipun secara deskriptif nilai awal (pre) kadar prokalsitonin pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol, namun secara statistik dinyatakan tidak berbeda signifikan atau homogen (p=0,468). Pada Tabel 4 dapat dilihat berdasarkan perbandingan lama waktu hingga pasien mulai mengalami perbaikan klinis antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Perbandingan lama pencapaian perbaikan klinis sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa secara deskriptif lama pencapaian perbaikan klinis pada kelompok perlakuan (4,40 ± 0,63) hampir sama dibandingkan pada kelompok kontrol (4,40 ± 0,99). Hal ini diperkuat dengan pengujian secara statistik yang menunjukkan bahwa secara deskriptif nilai akhir (post) kadar tidak adanya perbedaan signifikan (p=0,965). Dengan prokalsitonin pada kelompok perlakuan (0,40 ± 0,64) demikian disimpulkan bahwa pemberian Omega 3 tidak relatif lebih rendah dibandingkan pada kelompok berpengaruh pada lama pencapaian perbaikan klinis. 142 J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas Tabel 5. Hubungan antara Kadar Prokalsitonin dengan Lama Pencapaian Perbaikan Klinis Kelompok Lama Pencapaian Perbaikan Klinis PCT Perlakuan Kontrol rs p 4,40 ± 0,63 4,40 ± 0,99 0,40 ± 0,64 0,54 ± 1,36 0,054 0,778 Sumber data primer, (2015). Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data semua variabel dalam analisis korelasi dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas sehingga korelasi antara masingmasing biomarker dengan lama pencapaian perbaikan klinis dihitung dengan spearman’s rank. Nilai rs adalah koefisien korelasi antara PCT dengan lama pencapaian perbaikan klinis. Hubungan antara kadar prokalsitonin dengan lama pencapaian perbaikan klinis diuji dengan teknik korelasi bivariat. Yang dihubungkan dengan lama pencapaian perbaikan klinis adalah nilai akhir (post) kadar kedua biomarker. Hubungan antara kadar prokalsitonin dengan lama pencapaian perbaikan klinis dapat dilihat pada Tabel 5. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa secara deskriptif hubungan antara biomarker dengan lama pencapaian perbaikan klinis bersifat berbanding lurus (ditunjukkan dengan koefisien korelasi (rs) yang bernilai positif). Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar prokalsitonin akhir maka semakin lama pencapaian perbaikan klinis atau seba­ liknya semakin rendah kadar prokalsitonin akhir maka semakin cepat pencapaian perbaikan klinis. Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bah­ wa semua korelasi tidak signifikan (p>0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa lama pencapaian perbaikan klinis tidak berhubungan dengan kadar prokalsitonin. Hubungan antara skor PSI dengan kadar prokalsitonin diuji dengan teknik korelasi bivariat. Yang dihubungkan dengan skor PSI adalah nilai awal (pre) kadar kedua biomarker. Hubungan antara skor PSI kecenderungan bahwa semakin besar skor PSI maka semakin tinggi kadar prokalsitonin. Pengujian statistik menunjukkan bahwa skor PSI hanya berhubungan signifikan dengan kadar prokalsitonin (p=0,001). Dengan demikian disimpulkan bahwa skor PSI ber­ hubungan dengan kadar prokalsitonin. Semakin tinggi PSI semakin tinggi kadar PCT, sehingga semakin meningkat kebutuhan Omega 3. PEMBAHASAN Penatalaksanaan pneumonia bertujuan untuk mencapai perbaikan klinis terutama dengan pemberian antibiotika. Pemberian terapi tambahan sebagai suple­ mentasi diusulkan pada beberapa penelitian penggu­ naan Omega 3 fatty acid untuk memperbaiki survival. Omega 3 merupakan asam lemak tak jenuh yang mengandung asam linolenat, asam eikosa­pentaenoat dan dokosaheksanoat. Omega 3 FA dapat mengubah produksi protein inflamasi termasuk sitokin. Efek ini dimediasi oleh perubahan aktivasi faktor transkripsi utama yang terlibat dalam pengaturan ekspresi gen inflamasi. Dua faktor transkripsi yang berperan pada proses inflamasi adalah Nuclear Factor κB (NFκB) dan Peroxisome Proliferator Activated Receptor (PPAR-γ).10 Nuclear Factor κB merupakan faktor transkripsi utama yang terlibat dalam meningkatkan sitokin inflamasi dan molekul adhesi. Perbaikan klinis dapat ditandai dengan terpenuhinya semua kriteria atau minimal satu kriteria tidak terpenuhi berdasarkan kriteria Mandell disertai dengan penurunan sitokin pro inflamasi yang ditandai dengan penurunan kadar procalcitonin serum.12 Berdasarkan data dasar subjek penelitian kadar prokalsitonin serum pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah pemberian Omega 3 di­ dapatkan penurunan rata-rata kadar prokalsitonin dengan kadar prokalsitonin dapat dilihat pada Tabel 6. serum (5,03 ± 15,63) dan dinyatakan signifikan secara Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil perhitungan statistik (p=0,004), sedangkan kadar prokalsitonin korelasi bivariat antara skor PSI dengan kadar pro­ serum pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah kalsitonin awal (pre). Secara deskriptif hubungan perawatan didapatkan penurunan (3,85 ± 11,54) antara skor PSI dengan masing-masing biomarker dan dinyatakan signifikan secara statistik (p=0,002). bersifat berbanding lurus (ditunjukkan dengan koefisien Perbedaan kadar prokalsitonin post antara kelompok korelasi (rs) yang bertanda positif). Hal ini menunjukkan perlakuan dan kelompok kontrol relatif lebih rendah J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 143 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas pada kelompok perlakuan, tetapi secara statistik subunit inhibitor (inhibitory subunit of NFκB (IκB)) yang tidak signifikan dengan nilai p=0,864, perbedaan menyebabkan terjadinya translokasi dari dimer NFκB ke besarnya penurunan kadar PCT (pre – post) pada nukleus. Faktor transkripsi kedua yaitu PPAR-γ berfungsi perlakuan (5,03 + 15,63) dan kontrol (3,85 + 11,54) sebagai agen anti-inflamasi. Peroxisome proliferator tidak signifikan secara statistik. Dari hasil tersebut activated receptor-γ dapat secara langsung mengatur dapat disimpulkan bahwa pemberian Omega 3 pada ekspresi gen inflamasi dan sekaligus turut terlibat pasien pneumonia tidak memberikan perbedaan dalam proses aktivasi NFκB sehingga menyebabkan yang signifikan terhadap kadar prokalsitonin. interaksi palsu antara dua faktor transkripsi, NFκB Procalcitonin (PCT) merupakan prekursor maupun PPAR-γ dapat diatur oleh PUFA Omega calcitonin yang diproduksi oleh sel C tiroid dibawah 3.18,19 Penekanan aktivitas NF-kβ akan menurunkan kendali gen calcitonin gene related peptide-1 produksi prokalsitonin. (CALC-1). 6,8 Ekspresi gen calcitonin ditemukan pada sel neuroendokrin tiroid dan paru. Teori tersebut kurang sesuai dengan hasil Infeksi mikroba penelitian ini, hal ini mungkin dikarenakan peng­ meningkatan ekspresi gen CALC-1 pada berbagai gunaan dosis Omega 3 yang rendah yaitu 1 gr/hr, hal ini jaringan dan sel ekstra tiroid, termasuk ginjal, liver, dimaksudkan untuk menghindari efek samping dari pankreas, leukosit serta jaringan adiposa seiring dengan pemakaian Omega 3 yang terlalu tinggi antara lain pelepasan PCT dalam tubuh. Kadar normal fisiologis terjadinya pendarahan. Berbeda dengan penelitian PCT dalam serum kurang dari 0,1 ng/ml yang dapat Hosny dkk yang menunjukkan bahwa pemberian meningkat pada infeksi bakteri sistemik. Inflamasi pada Omega 3 dosis tinggi memberikan hasil penurunan infeksi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar prokalsitonin yang signifikan. 6,8 13 PCT melalui dua proses, yaitu secara langsung dan Pengaruh pemberian Omega 3 terhadap lama tidak langsung. Toksin dan lipopolisakarida yang pencapaian perbaikan klinis diuji berdasarkan per­ dilepaskan oleh mikroba dapat menginduksi pelepasan bandingan lama waktu hingga pasien mulai mengalami PCT secara langsung atau secara bergantian perbaikan klinis antara kelompok per­lakuan dengan sitokin inflamasi IL-1β, IL-6, dan TNF-α secara tidak kelompok kontrol. Secara deskriptif lama pencapaian langsung mempengaruhi produksi PCT. 6,14,15 Omega 3 bekerja dengan menghambat akti­ vitas NF-kβ, dimana yang kita ketahui NF-kβ akan merangsang pengeluaran sitokin pro­inflamasi. 16 Omega 3 Polyunsaturated fatty acid dapat mengu­ perbaikan klinis pada kelompok perlakuan (4,40 ± 0,63) relatif lebih cepat dibandingkan pada kelompok kontrol (4,40 ± 0,99). Meskipun begitu perbedaan tersebut secara statistik tidak signifikan (p=0,965). Hal ini membuktikan bahwa pemberian Omega 3 tidak bah produksi protein inflamasi termasuk kemokin, berpengaruh pada lama pencapaian perbaikan klinis. sitokin, growth factor dan matriks protease. Efek Hal ini dimungkinkan karena pemberian dosis Omega ini dimediasi oleh perubahan aktivasi faktor tran­ skripsi utama yang terlibat dalam pengaturan ekspresi gen inflamasi. Dua faktor transkripsi yang kemungkinan berperan dalam proses inflamasi adalah nuclear factor κB (NFκB) dan peroxisome proliferator activated recep­ tor (PPAR-γ). Nuclear factor κB merupakan faktor transkripsi utama yang terlibat dalam mening­katkan sitokin inflamasi, molekul 3 yang terlalu rendah, sehingga kurang memberikan pengaruh terhadap lama pencapaian perbaikan klinis. Pada penelitian ini secara deskriptif hubungan antara masing-masing biomarker dengan lama penca­paian perbaikan klinis bersifat berbanding lurus. Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar prokalsitonin akhir maka semakin lama pencapaian perbaikan klinis atau sebaliknya semakin adhesi dan gen siklooksigenase-2. Nuclear factor κB rendah kadar prokalsitonin akhir maka semakin diaktivasi oleh sinyal kaskade yang dipicu oleh stimulus cepat pencapaian perbaikan klinis. Meskipun begitu inflamasi ekstraseluler dan melibatkan fosforilasi dari pengujian statistik menunjukkan bahwa korelasi tidak 17 144 J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas signifikan (p>0,05). Dengan demikian disimpulkan bahwa lama pencapaian perbaikan klinis tidak berhubungan dengan kadar prokalsitonin. Pada penelitian ini didapatkan hasil yang sesuai dengan teori yang ada, tetapi hubungan tersebut tidak signifikan, hal ini kemungkinan dikarenakan peneliti tidak bisa mengontrol faktor perancu yang dapat mempengaruhi kadar prokalsitonin serum. Pada penelitian ini hubungan antara skor PSI dengan masing-masing biomarker bersifat berbanding lurus, hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin besar skor PSI maka semakin tinggi kadar prokalsitonin. Pengujian statistik menunjukkan bahwa skor PSI berhubungan signifikan dengan kadar prokalsitonin (p=0,001). Dengan demikian disimpulkan bahwa skor PSI berhubungan kadar prokalsitonin. KESIMPULAN Pemberian Omega 3 berpengaruh terhadap penurunan kadar prokalsitonin. Perbedaan penurunan kadar prokalsitonin pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak signifikan secara statistik. Pemberian Omega 3 berpengaruh terhadap lama pencapaian perbaikan klinis namun tidak signifikan secara statistik. Lama pencapaian perbaikan klinis berkorelasi dengan penurunan kadar prokalsitonin, tetapi tidak signifikan secara statistik. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperjelas pengaruh Omega 3 terhadap kadar prokalsitonin dan lama pencapaian perbaikan klinis dengan melakukan pengontrolan yang lebih ketat terhadap beberapa variabel perancu penyakit penyerta dan riwayat perawatan sebelumnya. Penyesuaian dosis Omega 3 yang lebih tepat serta cara pemberian. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa semakin berat infeksi yang ada maka akan semakin tinggi kadar sitokin yang dikeluarkan, sehingga semakin banyak produksi sitokin pro-inflamasi maka akan semakin besar produksi dari prokalsitonin. Keterbatasan pada penelitian ini adalah peneliti tidak dapat mengendalikan keadaan pasien yang memiliki penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi kadar prokalsitonin serum, serta waktu pengambilan sampel yang mungkin dilakukan pada saat PCT masih dalam kadar tinggi, sehingga pada penelitian ini kadar PCT serum tidak berpengaruh terhadap lama pencapaian perbaikan klinis. Hal ini dapat dijelaskan pada teknik metode quasi eksperimental sehingga setiap data yang tidak signifikan dapat diartikan ada faktor penyebab lainnya yang tidak diteliti. Sifat subjektifitas dari pasien dan peneliti pada jumlah hari dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang dengan anggapan perbaikan klinis, akibatnya validitas internal data tidak dapat dikoreksi. Keterbatasan alat timbang badan pasien yang tidak sama menyebabkan adanya perbedaan skala ukur antar timbangan (berbeda merk akan berbeda ketelitian), akibatnya penentuan IMT pasien pada hari yang berbeda dengan alat timbangan yang berbeda akan mengakibatkan batas (cut of point) IMT yang berbeda. J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016 DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014. Pneumonia komuniti. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2. Mulyadi, Asmalia N, Yurikno A. 2011. Etiology and risk factors for community acquired ­in dr. Zainoel Abidin Hospital, Banda Aceh. Folia Medica Indonesiana. 47(2):127-9. 3. Borovac DN, Pejčić T, Petković TR, Đorđević V, Đorđević I, Stanković I, et al. 2011. New markers in prognosis of severe community-acquired pneumonia. Scientific Journal of the Faculty of Medicine in Niš. 28(3):147-54. 4. Susyanti D, Taufik, Khairsyaf O, Medison I. 2014. Hubungan konsentrasi prokalsitonin dengan etiologi pneumonia pada penderita pneumonia komunitas. J Respir Indo. 34:71-6. 5. Singanayagam A, Chalmers JD, Hill AT. 2009. Severity assessment in community-acquired pneumonia: A review. Q J Med. 102:379–88. 6. Summah H, Qu JM. 2009. Biomarkers: A definite plus in pneumonia. Hindawi Publishing Corporation. 9:1-9. 7. Christ-Crain M & Opal SM. 2010. Clinical review: The role of biomarkers in the diagnosis 145 Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas and management of community-acquired pneu­ monia. Critical Care. 14(203):1-11. 8. Christ-Cain M, Muller B. 2005. Procalcitonin in bacterial infections hype, hope, more or less?. Swiss Med Wkly. 135:451-60 9. Postma DF, van Werkhoven CH, Hujits SM, Bolkenbass M, Oosterheert JJ, Bonten M. 2012. New trends in the prevention and management of community-acquired pneumonia. The Nether­ land Journal of Medicine. 70(8):337-48. 10.Boutroos C, Samasundar C, Razzah A. 2010. Omega 3 fatty acids. Arch Surg. 145(6):515-20. 11. Curtis L. Comment on: guideline for the management of hospital-acquired pneumonia in the UK. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 2008;62:641. 12. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell D, Dean NC, et al. 2007. Infectious diseases society of America/American thoracic society consensus guidelines on the management of community acquired pneumonia in adults. CID. 44:27-72. 13.Hermawan AG. 2008. Sepsis. In: Diding HP, editors. SIRS, sepsis dan syok septik (imunologi, 146 diagnosis dan penatalaksanaan). 1st edition. Surakarta: UNS Press; p. 1-17. 14. Maruna P, Nedelnikova K, Gurlich R. 2000. Physiology and genetics of procalcitonin. Physiol. Res. J. 49(1):S57-61. 15. Schuetz P, Widmar S, Chaudri A, Christ-cain M, Zimmerly W, Mueller B 2011. Prognostik value of procalcitonin in community-acquired pneumonia. Eur Respir J. 37:384-92. 16.Barnes C, Marina E, Anderson, Moots R. 2011. The many faces of interleukin-6: the role of IL-6 in inflammation, vasculopathy and fibrosis in systemic sclerosis. International Journal of Rheumatology. 10:1-6. 17. Frederic G. 2008. Long chain polyunsaturated fatty acids influence the immune system of infants. The Journal of Nutrition. 138:1807-12. 18. Calder P. 2002. Dietary modification of inflammation with lipids. Proceedings of The Nutrition Society. 61:345-58. 19. Phillip C. 2010. Omega 3 fatty acids and inflam­ matory processes. Nutrient. 2:355-74. J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016