Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan

advertisement
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan
Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
Susanto Eko Prasetyo,1 Reviono,2 Suradi2
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis I Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta
Staff Pengajar Program Pendidikan Dokter Spesialis I Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak
Latar Belakang: Penegakan diagnosis pneumonia secara cepat menggunakan biomarker seperti prokalsitonin. Tujuan utama penatalaksanaan
pneumonia untuk mencapai perbaikan klinis terutama dengan pemberian antibiotik. Pemberian terapi tambahan sebagai suplementasi
diusulkan misalkan menggunakan Omega 3 fatty acid (FA) untuk memperbaiki survival. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian Omega 3 FA terhadap kadar prokalsitonin dan lama pencapaian perbaikan klinis pada pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian uji klinis dengan metode Quasy Experimental secara pretest dan posttest. Subjek merupakan pasien pneumonia komunitas
yang menjalani perawatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus – November 2015 secara purposive sampling didapatkan 30
pasien, 15 pasien sebagai kelompok perlakuan (diberi Omega 3 FA) dan 15 pasien sebagai kelompok kontrol (hanya terapi empirik).
Hasil: Pemberian Omega 3 FA secara signifikan dapat menurunkan kadar prokalsitonin (penurunan = 5,03 ± 15,63; p = 0,004) pasien
pneumonia. Meskipun begitu nilai akhir biomarker pada pasien tersebut secara statistik tidak berbeda signifikan dengan nilai akhir pada
pasien yang hanya diberi terapi empirik (prokalsitonin = 0,40 ± 0,64 pada kelompok perlakuan dan 0,54 ± 1,36 pada kelompok kontrol).
Pemberian Omega 3 FA tidak berpengaruh signifikan terhadap lama pencapaian perbaikan klinis (4,40 ± 0,63 hari dan 4,40 ± 0,99 hari; p = 0,965).
Penurunan kadar prokalsitonin (p = 0,778) berkorelasi tidak signifikan dengan lama pencapaian perbaikan klinis.
Kesimpulan: Pemberian Omega 3 FA terbukti dapat menurunkan kadar prokalsitonin dan mempercepat lama pencapaian perbaikan klinis. Tetapi
jika dibandingkan dengan hanya terapi empirik perbedaan penurunan tersebut tidak signifikan secara statistik. (J Respir Indo. 2016; 36: 138-46)
Kata Kunci: Omega 3 Fatty Acid, Prokalsitonin, Pneumonia Komunitas
Effect of Omega 3 Fatty Acids to Procalcitonin Concentration and
Survival of Clinical Community Pneumonia Patient
Abstract
Background: Diagnosis of pneumonia will be fast if using biomarkers such as procalcitonin. The main objective treatment of pneumonia to
achieve clinical improvement especially with antibiotics. Additional supplementation therapy as proposed for example using Omega 3 fatty
acid (FA) to improve survival. This study aimed to determine the effect of omega-3 FA on levels of procalcitonin and long achievement of
clinical improvement in patients with community pneumonia.
Methods: Clinical trials with quasy Experimental methods in pretest and posttest. The subject is a community pneumonia patients undergoing
treatment in hospitals Dr. Moewardi Surakarta August - November 2015 purposively sampling with 30 patients, 15 patients in treatment
group (given Omega 3 FA) and 15 patients as a control group (only empiric therapy).
Results: Treatment of Omega 3 FA can significantly reduce levels of procalcitonin (decrease=5.03±15.63; p = 0.004) patients with pneumonia.
Even so the final value of biomarkers in these patients was not statistically significant from the final value in patients who were only given
empiric therapy (procalcitonin= 0.40±0.64 of treatment group and 0.54±1.36 of control group). Giving Omega 3 FA did not significantly affect
the achievement of clinical improvement (4.40± 0.63 days and 4.40± 0.99 days; p = 0.965). Decreased levels of procalcitonin (p = 0.778)
was not significantly correlated with clinical improvement long achievement.
Conclusion: Treatment of Omega 3 FA shown to lower levels of procalcitonin and accelerate the achievement of the long clinical improvement.
But when compared with empiric therapy only difference this reduction was not statistically significant. (J Respir Indo. 2016; 36: 138-46)
Keywords: Omega 3 Fatty Acid, procalcitonin, Community Pneumonia
Korespondensi: Susanto Eko Prasetyo
Email: [email protected]; Hp: 0811264030
138
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
PENDAHULUAN
Pneumonia komunitas secara klinis meru­
pakan peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit)
yang didapat di komunitas atau masyarakat.1,2
Pneu­monia merupakan salah satu penyakit infeksi
dengan morbiditas dan mortalitas tinggi pada pasien
yang dirawat di rumah sakit.3,4 World Health Report
dari World Health Organization (WHO) tahun 2008
menunjukkan bahwa terdapat 450 juta kasus baru
pneumonia setiap tahunnya dan sebagai penyebab
3,9 juta kematian dengan prevalensi kematian karena
infeksi saluran napas bawah sekitar 6,9%.4 Lebih dari
satu juta pasien dengan pneumonia membutuhkan
perawatan rumah sakit, dimana 10% diantaranya
memerlukan perawatan Intensive Care Unit (ICU) dan
20-50% dari seluruh pasien mengalami kematian.2,3
Diagnosis pneumonia didapatkan dari anam­
nesis, gejala klinis, pemeriksaan fisik, foto torak, dan
laboratorium.1 Penggunaan biomarker untuk pene­
gakan diagnosis pneumonia secara cepat telah banyak
digunakan. Metode skor gejala klinis dan radiologi
terbukti tidak valid untuk membedakan etiologi bakteri
dan viral, sehingga terapi inisial tidak dapat segera
dilakukan.1,5 Biormarker C-reactive protein (CRP), jum­
lah leukosit, sitokin proinflamasi, procalcitonin (PCT),
adrenomedullin (ADM), copeptin dan kortisol telah
digunakan untuk menunjang penegakan diagnosis.6,7
Procalcitonin (PCT) merupakan prekursor
calcitonin yang diproduksi oleh sel C tiroid dibawah
kendali gen calcitonin gene related peptide-1
(CALC-1).6,8 Ekspresi gen calcitonin ditemukan pada
sel neuroendokrin tiroid dan paru.8 Infeksi mikroba
meningkatan ekspresi gen CALC-1 pada berbagai
jaringan dan sel ekstra tiroid, termasuk ginjal, liver,
pankreas, leukosit serta jaringan adiposa seiring
dengan pelepasan PCT dalam tubuh (Hermawan,
2008). Pengukuran kadar PCT dilaporkan dapat
memprediksi etiologi pneumonia komunitas.6,9
Tujuan utama penatalaksanaan pneumonia
adalah untuk mencapai perbaikan klinis terutama
dengan pemberian antibiotika. Pemberian terapi
tambahan sebagai suplementasi diusulkan pada
beberapa penelitian antara lain penggunaan Omega
3 fatty acid untuk memperbaiki survival. Omega
3 FA dapat mengubah produksi protein inflamasi
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
termasuk sitokin. Efek ini dimediasi oleh perubahan
aktivasi faktor transkripsi utama yang terlibat dalam
pengaturan ekspresi gen inflamasi. Dua faktor
transkripsi yang berperan pada proses inflamasi
adalah Nuclear Factor κB (NFκB) dan Peroxisome
Proliferator Activated Receptor (PPAR-γ).10 Nuclear
Factor κB merupakan faktor transkripsi utama yang
terlibat dalam meningkatkan sitokin inflamasi dan
molekul adhesi. Penurunan sitokin pro inflamasi akan
menyebabkan penurunan kadar procalcitonin serum
dan perbaikan klinis pada penderita pneumonia.
Penelitian pemberian Omega 3 FA pada pasien
pneumonia jarang dilakukan. Pemberian Omega 3
FA pada pasien dengan sepsis memberikan hasil
bahwa pemberian Omega 3 FA akan memperlambat
progresifitas penyakit khususnya pada disfungsi
respirasi dan kardiovaskular. Penelitian oleh Curtis dkk
pada tahun 2008 memberikan hasil adanya penurunan
angka mortalitas pada pasien pneumonia nosokomial
setelah pemberian Omega 3 FA. Sehingga menarik jika
dilakukan penelitian tentang pengaruh Omega 3 FA
pada pasien pneumonia komunitas dan mengetahui
peran procalcitonin sebagai penanda prognosis pasien
pneumonia komunitas.
METODE
Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain
kuasi eksperimental untuk menilai apakah terdapat
pengaruh kadar prokalsitonin dan interleukin-6 serum
terhadap perbaikan klinis penderita pneumonia
setelah pemberian omega 3 FA.
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2015 sampai
November 2015 dengan sampel 30 pasien rawat inap
di RSUD Dr. Moewardi Surakarta yang diambil dengan
cara purposive sampling. Subjek terdiagnosis Usia >
18 tahun dengan pneumonia, mempunyai nilai PORT
≥ 70. Keadaan seperti terdapat riwayat pemakaian
kortikosteroid dan antibiotik 90 hari sebelumnya,
menderita hospital acquired pneumonia (HAP) serta
didapatkan penyakit infeksi lain selain pneumonia
menjadi kriteria eksklusi. Pasien diberhentikan dari
penelitian apabila meninggal selama follow up,
mengundurkan diri, dan muncul efek samping terhadap
omega 3 selama penelitian berlangsung. Etika penelitian
mendapat persetujuan Panitia Kelaikan Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
139
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
Diagnosis pneumonia ditegakkan jika pada
eksperimen sampel dibagi menjadi dua kelompok
foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif
yaitu 15 pasien kelompok perlakuan (diberi Omega
ditambah 2 atau lebih gejala batuk bertambah, peru­
3 1gr/hr) dan 15 pasien kelompok kontrol (hanya
bahan karakteristik dahak, suhu tubuh ≥ 38° C atau
terapi empirik). Biomarker yaitu kadar prokalsitonin
demam, ditemukan suara napas bronkial, ronki dan
diukur sebelum dan sesudah pemberian perlakuan.
leukosit >10.000 atau <4500. Penilaian derajat kep­a­
Sesudah perlakuan juga diamati lama waktu hingga
rahan pneumonia dapat dilakukan dengan menggu­
mulai mengalami perbaikan klinis.
1
nakan sistem skor Pneumonia Severity Index (PSI).
Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dicatat
identitas, riwayat merokok, penyakit lain yang diderita,
dan lain-lain pada formulir yang disediakan. Data
awal subyek diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, laboratorium darah dan foto toraks. Subjek
kemudian dinilai jumlah skor PSI berdasarkan PORT
kemudian diambil darah vena untuk memeriksa kadar
prokalsitonin. Pengambilan darah dilakukan ≤ 2 jam
setelah pasien masuk IGD sebanyak 3 ml. Pemeriksaan
kadar prokalsitonin serum dilakukan di laboratorium
klinik Prodia (3 ml darah) diukur menggunakan teknik
enzyme-linked fluorescent assay (ELFA).
Selanjutnya subjek dibagi menjadi 2 kelom­
pok, kelompok pertama mendapat omega 3 FA 1 gr
Beberapa karakteristik dari sampel diukur dan
dibandingkan antara kedua kelompok eksperimen. Hal
ini dilakukan untuk mengetahui homogenitas kedua
kelompok sampel sebagai syarat kelayakan prosedur
eksperimen. Variabel dan karakteristik yang berbentuk
kategorik dideskripsikan dengan angka frekuensi
dan prosentase, selanjutnya diuji beda antara kedua
kelompok dengan uji chi square. Variabel dan karakteristik
yang berbentuk numerik dideskripsikan dengan nilai
rata-rata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi),
selanjutnya diuji beda antara kedua kelompok dengan
uji t (independent samples t test) apabila memenuhi
syarat normalitas atau dengan uji mann-whitney apabila
tidak memenuhi syarat normalitas. Karakteristik dasar
subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
secara oral, kelompok kedua hanya mendapat terapi
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa secara
empirik. Antibiotik dan terapi suportif lainnya diberikan
demografis proporsi pasien laki-laki dan perempuan
sesuai terapi empirik atau definitif apabila sudah
didapatkan data kultur. Pasien kemudian di follow-up
sampai kondisi klinis stabil. Kondisi klinis stabil dinilai
berdasarkan kriteria: dalam waktu 24 jam suhu aksiler
< 37,8oC, frekuensi napas ≤ 24 kali per menit, denyut
jantung ≤ 100 kali per menit, tekanan darah sitolik ≥ 90
mmHg, dan saturasi oksigen (SO2) ≥ 90% atau tekan
parsial osigen arteri (PaO2) ≥ 60 mmHg saat bernapas
dengan oksigen ruangan, mampu mempertahankan
intake oral, dan status mental normal.12 Kemudian
darah vena pasien diambil lagi untuk pemeriksaan
kadarprokalsitonin setelah pemberian terapi omega 3
FA. Data dianalisis dengan menggunakan SPSS 17.
HASIL
antara kedua kelompok hampir sama sedangkan umur
pasien kelompok perlakuan sedikit lebih tua. IMT dan
riwayat merokok relatif sama antara kedua kelompok.
Keberadaan penyakit-penyakit penyerta dan hasil
kultur bakteri baik proporsi no growth, sampel tidak
dikultur (karena tidak dapat mengeluarkan dahak),
maupun tumbuhnya jenis-jenis bakteri tertentu,
hampir memperlihatkan tidak adanya perbedaan
antara kedua kelompok. Perbedaan yang cukup
jelas hanya terlihat pada leukosit, PSI dan riwayat
perawatan sebelumnya. Pada kelompok perlakuan,
kadar leukosit dan skor PSI relatif lebih tinggi dengan
proporsi riwayat perawatan sebelumnya yang lebih
besar. Meskipun begitu pada semua variabel dan
karakteristik tidak terdapat adanya perbedaan signifikan
Penelitian dilakukan pada pasien pneumonia
antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol
yang dirawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
(p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sampel pada
Selama bulan Agustus 2015 hingga November
kedua kelompok termasuk homogen dan memenuhi
2015 diambil sampel sebanyak 30 pasien. Dalam
aturan kelayakan eksperimen.
140
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
Tabel 1. Karakteristik dan Variabel Dasar Subjek Penelitian
Karakteristik dan Variabel
Umur, mean ± SD
Jenis Kelamin, f (%)
Laki-laki
Perempuan
IMT, mean ± SD
Riwayat Merokok, f (%)
Merokok
Bekas Perokok
Tidak Merokok
Riwayat Perawatan Sebelumnya (90 hari), f (%)
Ya
Tidak
Penyakit Penyerta
Keganasan, f(%)
Penyakit Hati, f(%)
Penyakit Jantung, f(%)
Penyakit Serebrovaskular, f(%)
DM, f(%)
Lain-lain, f(%)
Kultur Bakteri, f (%)
No Growth
Tidak Dikultur
Klebsiella pneumonia
Streptococcus sp
Lain-lain
Leukosit, mean ± SD
PSI, mean ± SD
PCT (pre), mean ± SD
PCT (post), mean ± SD
Penurunan PCT, mean ± SD
Lama Pencapaian Perbaikan Klinis, mean ± SD
Kel. Perlakuan
(n = 15)
59,53 ± 11,31
Kel. Kontrol
(n = 15)
56,40 ± 18,46
6 (40,0)
9 (60,0)
21,21 ± 2,79
7 (46,7)
8 (53,3)
20,76 ± 3,19
0,713
2 (13,3)
2 (13,3)
11 (73,3)
3 (20,0)
1 (6,7)
11 (73,3)
0,766
9 (60,0)
6 (40,0)
5 (33,3)
10 (66,7)
0,143
1 (6,7)
1 (6,7)
5 (33,3)
0 (0,0)
1 (6,7)
3 (20,0)
1 (6,7)
1 (6,7)
4 (26,7)
2 (13,3)
1 (6,7)
5 (33,3)
1,000
1,000
1,000
0,483
1,000
0,682
2 (13,3)
8 (53,3)
1 (6,7)
3 (20,0)
1 (6,7)
18473,33 ± 12859,15
90,87 ± 32,78
5,42 ± 15,99
0,40 ± 0,64
5,03 ± 15,63
4,40 ± 0,63
3 (20,0)
7 (46,7)
1 (6,7)
2 (13,3)
2 (13,3)
16206,67 ± 8425,34
78,20 ± 30,46
4,39 ± 11,53
0,54 ± 1,36
3,85 ± 11,54
4,40 ± 0,99
0,938
p
0,579
0,682
0,282
0,648
0,468
0,864
0,547
0,965
Sumber data primer, (2015).
Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data variabel umur, IMT, PSI dinyatakan memenuhi syarat normalitas sehingga diuji beda
dengan independent samples t test. Adapun data variabel leukosit, PCT baik pre maupun post, PCT (post – pre), dan lama
pencapaian perbaikan klinis dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas sehingga diuji beda dengan mann-whitney test.
Prosedur eksperimen mensyaratkan bahwa
agar hasil pengukuran akhir (post) dapat digunakan
sebagai parameter perbedaan efek dari perlakuan
masing-masing kelompok maka hasil pengukuran
awal (pre) dari kedua kelompok sebaiknya secara
statistik tidak berbeda signifikan (homogen). Pada Tabel
1 dapat dilihat bahwa nilai awal (pre) kadar prokalsitonin
pada sampel kelompok perlakuan relatif lebih tinggi
dibandingkan pada sampel kelompok kontrol. Meskipun
begitu secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan
(p>0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
kadar prokalsitonin adalah homogen.
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Pengaruh masing-masing perlakuan yaitu pem­
berian Omega 3 (kelompok perlakuan) dan hanya
terapi empirik (kelompok kontrol) diketahui dari uji beda
kadar prokalsitonin antara awal (pre) dan akhir (post)
pada masing-masing kelompok. Perubahan kadar
prokalsitonin pada masing-masing kelompok dapat
dilihat pada Tabel 2 dan 3.
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa secara
deskriptif terjadi penurunan kadar prokalsitonin (5,03
± 15,63) pada kelompok perlakuan. Secara statistik
penurunan kadar prokalsitonin (p=0,004). Dengan
demikian diketahui bahwa terapi dengan pemberian
Omega 3 dapat menurunkan kadar prokalsitonin.
141
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
Tabel 2. Perbedaan Kadar Prokalsitonin pada Kelompok Perlakuan
Pengamatan
Awal (Pre)
Akhir (Post)
Penurunan
p
PCT
5,42 ± 15,99
0,40 ± 0,64
5,03 ± 15,63
0,004
secara statistik tidak signifikan (p=0,864). Perbandingan
selisih (penurunan) antara kedua kelompok juga me­
nun­
jukkan bahwa meskipun penurunan kadar pro­
kalsitonin pada kelompok per­lakuan (5,03 ± 15,63) lebih
banyak dibandingkan pada kelompok kontrol (3,85 ±
Sumber data primer, (2015).
Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data selisih (post – pre)
PCT dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas
sehingga uji beda antara awal (pre) dan akhir (post)
dilakukan dengan wilcoxon signed rank test.
Tabel 3. Pebedaan Kadar Prokalsitonin pada Kelompok Kontrol
Pengamatan
Awal (Pre)
Akhir (Post)
penurunan
p
kontrol (0,54 ± 1,36). Meskipun begitu perbedaan tersebut
PCT
4,39 ± 11,53
0,54 ± 1,36
3,85 ± 11,54
0,002
Sumber data primer, (2015).
Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data selisih (post – pre)
PCT dinyatakan tidak memenuhi syarat normalitas
sehingga uji beda antara awal (pre) dan akhir (post)
dilakukan dengan wilcoxon signed rank test.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara
deskriptif terjadi penurunan kadar prokalsitonin (3,85
± 11,54) pada kelompok kontrol. Secara statistik
penurunan kadar prokalsitonin (p=0,002) dinyatakan
signifikan. Dengan demikian diketahui bahwa terapi
empirik saja dapat menurunkan kadar prokalsitonin.
Dalam penelitian hipotesis ada tidaknya
11,54) namun per­bedaan tersebut secara statistik tidak
signifikan (p=0,547). Dengan demikian disimpulkan
bahwa pemberian Ome­ga 3 tidak berpengaruh terhadap
penurunan kadar prokalsitonin. Interpretasinya adalah
baik dengan diberi Omega 3 maupun hanya dengan
terapi empirik saja, pasien pneumonia sama-sama
mengalami penurunan kadar prokalsitonin, dan besarnya
penurunan yang dise­babkan oleh pemberian Omega 3
tidak lebih baik dibandingkan yang disebabkan hanya
oleh terapi empirik.
Tabel 4. Perbedaan Kadar Prokalsitonin
Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Kelompok
Perlakuan
Kontrol
p
Pre
5,42 ± 15,99
4,39 ± 11,53
0,468
antara
PCT
Post
0,40 ± 0,64
0,54 ± 1,36
0,864
Kelompok
Penurunan
5,03 ± 15,63
3,85 ± 11,54
0,547
Sumber data primer, (2015).
Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data PCT baik awal
(pre), akhir (post), maupun selisih (post – pre)
pada kedua kelompok dinyatakan tidak memenuhi
syarat normalitas sehingga uji beda antara kedua
kelompok dilakukan dengan mann-whitney test.
pengaruh pemberian Omega 3 terhadap kadar
prokalsitonin diuji berdasarkan perbandingan nilai
Ada tidaknya pengaruh pemberian Omega
akhir (post) atau selisih nilai (post – pre) biomarker
3 terhadap lama pencapaian perbaikan klinis diuji
antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol. Perbandingan kadar prokalsitonin antara
kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dapat
dilihat pada Tabel 4.
Pada sub bab sebelumnya telah diuraikan
bahwa meskipun secara deskriptif nilai awal (pre)
kadar prokalsitonin pada kelompok perlakuan lebih
tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol, namun
secara statistik dinyatakan tidak berbeda signifikan
atau homogen (p=0,468). Pada Tabel 4 dapat dilihat
berdasarkan perbandingan lama waktu hingga pasien
mulai mengalami perbaikan klinis antara kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol. Perbandingan lama
pencapaian perbaikan klinis sebagaimana dapat dilihat
pada Tabel 1 menunjukkan bahwa secara deskriptif
lama pencapaian perbaikan klinis pada kelompok
perlakuan (4,40 ± 0,63) hampir sama dibandingkan
pada kelompok kontrol (4,40 ± 0,99). Hal ini diperkuat
dengan pengujian secara statistik yang menunjukkan
bahwa secara deskriptif nilai akhir (post) kadar
tidak adanya perbedaan signifikan (p=0,965). Dengan
prokalsitonin pada kelompok perlakuan (0,40 ± 0,64)
demikian disimpulkan bahwa pemberian Omega 3 tidak
relatif lebih rendah dibandingkan pada kelompok
berpengaruh pada lama pencapaian perbaikan klinis.
142
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
Tabel 5. Hubungan antara Kadar Prokalsitonin dengan Lama
Pencapaian Perbaikan Klinis
Kelompok
Lama Pencapaian Perbaikan Klinis
PCT
Perlakuan
Kontrol
rs
p
4,40 ± 0,63
4,40 ± 0,99
0,40 ± 0,64
0,54 ± 1,36
0,054
0,778
Sumber data primer, (2015).
Keterangan: Berdasarkan uji shapiro-wilk, data semua variabel
dalam analisis korelasi dinyatakan tidak memenuhi
syarat normalitas sehingga korelasi antara masingmasing biomarker dengan lama pencapaian
perbaikan klinis dihitung dengan spearman’s rank.
Nilai rs adalah koefisien korelasi antara PCT dengan
lama pencapaian perbaikan klinis.
Hubungan antara kadar prokalsitonin dengan
lama pencapaian perbaikan klinis diuji dengan teknik
korelasi bivariat. Yang dihubungkan dengan lama
pencapaian perbaikan klinis adalah nilai akhir (post)
kadar kedua biomarker. Hubungan antara kadar
prokalsitonin dengan lama pencapaian perbaikan
klinis dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa secara
deskriptif hubungan antara biomarker dengan lama
pencapaian perbaikan klinis bersifat berbanding
lurus (ditunjukkan dengan koefisien korelasi (rs) yang
bernilai positif). Hal ini menunjukkan kecenderungan
bahwa semakin tinggi kadar prokalsitonin akhir maka
semakin lama pencapaian perbaikan klinis atau seba­
liknya semakin rendah kadar prokalsitonin akhir maka
semakin cepat pencapaian perbaikan klinis. Meskipun
begitu pengujian statistik menunjukkan bah­
wa semua
korelasi tidak signifikan (p>0,05). Dengan demikian
disimpulkan bahwa lama pencapaian perbaikan klinis
tidak berhubungan dengan kadar prokalsitonin.
Hubungan antara skor PSI dengan kadar
prokalsitonin diuji dengan teknik korelasi bivariat. Yang
dihubungkan dengan skor PSI adalah nilai awal (pre)
kadar kedua biomarker. Hubungan antara skor PSI
kecenderungan bahwa semakin besar skor PSI maka
semakin tinggi kadar prokalsitonin. Pengujian statistik
menunjukkan bahwa skor PSI hanya berhubungan
signifikan dengan kadar prokalsitonin (p=0,001).
Dengan demikian disimpulkan bahwa skor PSI ber­
hubungan dengan kadar prokalsitonin. Semakin tinggi
PSI semakin tinggi kadar PCT, sehingga semakin
meningkat kebutuhan Omega 3.
PEMBAHASAN
Penatalaksanaan pneumonia bertujuan untuk
mencapai perbaikan klinis terutama dengan pemberian
antibiotika. Pemberian terapi tambahan sebagai suple­
mentasi diusulkan pada beberapa penelitian penggu­
naan Omega 3 fatty acid untuk memperbaiki survival.
Omega 3 merupakan asam lemak tak jenuh yang
mengandung asam linolenat, asam eikosa­pentaenoat
dan dokosaheksanoat.
Omega 3 FA dapat mengubah produksi protein
inflamasi termasuk sitokin. Efek ini dimediasi oleh
perubahan aktivasi faktor transkripsi utama yang
terlibat dalam pengaturan ekspresi gen inflamasi. Dua
faktor transkripsi yang berperan pada proses inflamasi
adalah Nuclear Factor κB (NFκB) dan Peroxisome
Proliferator Activated Receptor (PPAR-γ).10 Nuclear
Factor κB merupakan faktor transkripsi utama yang
terlibat dalam meningkatkan sitokin inflamasi dan
molekul adhesi. Perbaikan klinis dapat ditandai dengan
terpenuhinya semua kriteria atau minimal satu kriteria
tidak terpenuhi berdasarkan kriteria Mandell disertai
dengan penurunan sitokin pro inflamasi yang ditandai
dengan penurunan kadar procalcitonin serum.12
Berdasarkan data dasar subjek penelitian
kadar prokalsitonin serum pada kelompok perlakuan
sebelum dan sesudah pemberian Omega 3 di­
dapatkan penurunan rata-rata kadar prokalsitonin
dengan kadar prokalsitonin dapat dilihat pada Tabel 6.
serum (5,03 ± 15,63) dan dinyatakan signifikan secara
Pada Tabel 6 dapat dilihat hasil perhitungan
statistik (p=0,004), sedangkan kadar prokalsitonin
korelasi bivariat antara skor PSI dengan kadar pro­
serum pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah
kalsitonin awal (pre). Secara deskriptif hubungan
perawatan didapatkan penurunan (3,85 ± 11,54)
antara skor PSI dengan masing-masing biomarker
dan dinyatakan signifikan secara statistik (p=0,002).
bersifat berbanding lurus (ditunjukkan dengan koefisien
Perbedaan kadar prokalsitonin post antara kelompok
korelasi (rs) yang bertanda positif). Hal ini menunjukkan
perlakuan dan kelompok kontrol relatif lebih rendah
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
143
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
pada kelompok perlakuan, tetapi secara statistik
subunit inhibitor (inhibitory subunit of NFκB (IκB)) yang
tidak signifikan dengan nilai p=0,864, perbedaan
menyebabkan terjadinya translokasi dari dimer NFκB ke
besarnya penurunan kadar PCT (pre – post) pada
nukleus. Faktor transkripsi kedua yaitu PPAR-γ berfungsi
perlakuan (5,03 + 15,63) dan kontrol (3,85 + 11,54)
sebagai agen anti-inflamasi. Peroxisome proliferator
tidak signifikan secara statistik. Dari hasil tersebut
activated receptor-γ dapat secara langsung mengatur
dapat disimpulkan bahwa pemberian Omega 3 pada
ekspresi gen inflamasi dan sekaligus turut terlibat
pasien pneumonia tidak memberikan perbedaan
dalam proses aktivasi NFκB sehingga menyebabkan
yang signifikan terhadap kadar prokalsitonin.
interaksi palsu antara dua faktor transkripsi, NFκB
Procalcitonin (PCT) merupakan prekursor
maupun PPAR-γ dapat diatur oleh PUFA Omega
calcitonin yang diproduksi oleh sel C tiroid dibawah
3.18,19 Penekanan aktivitas NF-kβ akan menurunkan
kendali gen calcitonin gene related peptide-1
produksi prokalsitonin.
(CALC-1).
6,8
Ekspresi gen calcitonin ditemukan pada
sel neuroendokrin tiroid dan paru.
Teori tersebut kurang sesuai dengan hasil
Infeksi mikroba
penelitian ini, hal ini mungkin dikarenakan peng­
meningkatan ekspresi gen CALC-1 pada berbagai
gunaan dosis Omega 3 yang rendah yaitu 1 gr/hr, hal ini
jaringan dan sel ekstra tiroid, termasuk ginjal, liver,
dimaksudkan untuk menghindari efek samping dari
pankreas, leukosit serta jaringan adiposa seiring dengan
pemakaian Omega 3 yang terlalu tinggi antara lain
pelepasan PCT dalam tubuh. Kadar normal fisiologis
terjadinya pendarahan. Berbeda dengan penelitian
PCT dalam serum kurang dari 0,1 ng/ml yang dapat
Hosny dkk yang menunjukkan bahwa pemberian
meningkat pada infeksi bakteri sistemik. Inflamasi pada
Omega 3 dosis tinggi memberikan hasil penurunan
infeksi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
kadar prokalsitonin yang signifikan.
6,8
13
PCT melalui dua proses, yaitu secara langsung dan
Pengaruh pemberian Omega 3 terhadap lama
tidak langsung. Toksin dan lipopolisakarida yang
pencapaian perbaikan klinis diuji berdasarkan per­
dilepaskan oleh mikroba dapat menginduksi pelepasan
bandingan lama waktu hingga pasien mulai mengalami
PCT secara langsung atau secara bergantian
perbaikan klinis antara kelompok per­lakuan dengan
sitokin inflamasi IL-1β, IL-6, dan TNF-α secara tidak
kelompok kontrol. Secara deskriptif lama pencapaian
langsung mempengaruhi produksi PCT.
6,14,15
Omega 3 bekerja dengan menghambat akti­
vitas NF-kβ, dimana yang kita ketahui NF-kβ akan
merangsang pengeluaran sitokin pro­inflamasi.
16
Omega 3 Polyunsaturated fatty acid dapat mengu­
perbaikan klinis pada kelompok perlakuan (4,40 ±
0,63) relatif lebih cepat dibandingkan pada kelompok
kontrol (4,40 ± 0,99). Meskipun begitu perbedaan
tersebut secara statistik tidak signifikan (p=0,965).
Hal ini membuktikan bahwa pemberian Omega 3 tidak
bah produksi protein inflamasi termasuk kemokin,
berpengaruh pada lama pencapaian perbaikan klinis.
sitokin, growth factor dan matriks protease. Efek
Hal ini dimungkinkan karena pemberian dosis Omega
ini dimediasi oleh perubahan aktivasi faktor tran­
skripsi utama yang terlibat dalam pengaturan
ekspresi gen inflamasi. Dua faktor transkripsi yang
kemungkinan berperan dalam proses inflamasi
adalah nuclear factor κB (NFκB) dan peroxisome
proliferator activated recep­
tor (PPAR-γ). Nuclear
factor κB merupakan faktor transkripsi utama yang
terlibat dalam mening­katkan sitokin inflamasi, molekul
3 yang terlalu rendah, sehingga kurang memberikan
pengaruh terhadap lama pencapaian perbaikan klinis.
Pada penelitian ini secara deskriptif hubungan
antara masing-masing biomarker dengan lama
penca­paian perbaikan klinis bersifat berbanding lurus.
Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin
tinggi kadar prokalsitonin akhir maka semakin lama
pencapaian perbaikan klinis atau sebaliknya semakin
adhesi dan gen siklooksigenase-2. Nuclear factor κB
rendah kadar prokalsitonin akhir maka semakin
diaktivasi oleh sinyal kaskade yang dipicu oleh stimulus
cepat pencapaian perbaikan klinis. Meskipun begitu
inflamasi ekstraseluler dan melibatkan fosforilasi dari
pengujian statistik menunjukkan bahwa korelasi tidak
17
144
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
signifikan (p>0,05). Dengan demikian disimpulkan
bahwa lama pencapaian perbaikan klinis tidak
berhubungan dengan kadar prokalsitonin.
Pada penelitian ini didapatkan hasil yang sesuai
dengan teori yang ada, tetapi hubungan tersebut tidak
signifikan, hal ini kemungkinan dikarenakan peneliti
tidak bisa mengontrol faktor perancu yang dapat
mempengaruhi kadar prokalsitonin serum.
Pada penelitian ini hubungan antara skor PSI
dengan masing-masing biomarker bersifat berbanding
lurus, hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa
semakin besar skor PSI maka semakin tinggi kadar
prokalsitonin. Pengujian statistik menunjukkan bahwa
skor PSI berhubungan signifikan dengan kadar
prokalsitonin (p=0,001). Dengan demikian disimpulkan
bahwa skor PSI berhubungan kadar prokalsitonin.
KESIMPULAN
Pemberian Omega 3 berpengaruh terhadap
penurunan kadar prokalsitonin. Perbedaan penurunan
kadar prokalsitonin pada kelompok kontrol dan
perlakuan tidak signifikan secara statistik. Pemberian
Omega 3 berpengaruh terhadap lama pencapaian
perbaikan klinis namun tidak signifikan secara statistik.
Lama pencapaian perbaikan klinis berkorelasi dengan
penurunan kadar prokalsitonin, tetapi tidak signifikan
secara statistik. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan
untuk memperjelas pengaruh Omega 3 terhadap
kadar prokalsitonin dan lama pencapaian perbaikan
klinis dengan melakukan pengontrolan yang lebih ketat
terhadap beberapa variabel perancu penyakit penyerta
dan riwayat perawatan sebelumnya. Penyesuaian
dosis Omega 3 yang lebih tepat serta cara pemberian.
Hasil ini sesuai dengan teori bahwa semakin
berat infeksi yang ada maka akan semakin tinggi
kadar sitokin yang dikeluarkan, sehingga semakin
banyak produksi sitokin pro-inflamasi maka akan
semakin besar produksi dari prokalsitonin.
Keterbatasan pada penelitian ini adalah peneliti
tidak dapat mengendalikan keadaan pasien yang
memiliki penyakit penyerta yang dapat mempengaruhi
kadar prokalsitonin serum, serta waktu pengambilan
sampel yang mungkin dilakukan pada saat PCT
masih dalam kadar tinggi, sehingga pada penelitian ini
kadar PCT serum tidak berpengaruh terhadap lama
pencapaian perbaikan klinis. Hal ini dapat dijelaskan
pada teknik metode quasi eksperimental sehingga
setiap data yang tidak signifikan dapat diartikan
ada faktor penyebab lainnya yang tidak diteliti. Sifat
subjektifitas dari pasien dan peneliti pada jumlah hari
dinyatakan sehat dan diperbolehkan pulang dengan
anggapan perbaikan klinis, akibatnya validitas
internal data tidak dapat dikoreksi.
Keterbatasan alat timbang badan pasien yang
tidak sama menyebabkan adanya perbedaan skala
ukur antar timbangan (berbeda merk akan berbeda
ketelitian), akibatnya penentuan IMT pasien pada
hari yang berbeda dengan alat timbangan yang
berbeda akan mengakibatkan batas (cut of point)
IMT yang berbeda.
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014.
Pneumonia komuniti. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
2. Mulyadi, Asmalia N, Yurikno A. 2011. Etiology
and risk factors for community acquired ­in dr.
Zainoel Abidin Hospital, Banda Aceh.
Folia
Medica Indonesiana. 47(2):127-9.
3. Borovac DN, Pejčić T, Petković TR, Đorđević V,
Đorđević I, Stanković I, et al. 2011. New markers
in prognosis of severe community-acquired
pneumonia. Scientific Journal of the Faculty of
Medicine in Niš. 28(3):147-54.
4. Susyanti D, Taufik, Khairsyaf O, Medison I. 2014.
Hubungan konsentrasi prokalsitonin dengan
etiologi pneumonia pada penderita pneumonia
komunitas. J Respir Indo. 34:71-6.
5. Singanayagam A, Chalmers JD, Hill AT. 2009.
Severity assessment in community-acquired
pneumonia: A review. Q J Med. 102:379–88.
6. Summah H, Qu JM. 2009. Biomarkers: A definite
plus in pneumonia. Hindawi Publishing Corporation.
9:1-9.
7. Christ-Crain M & Opal SM. 2010. Clinical
review: The role of biomarkers in the diagnosis
145
Susanto Eko Prasetyo: Pengaruh Omega 3 Fatty Acid Terhadap Kadar Prokalsitonin dan Perbaikan Klinis pada Pasien Pneumonia Komunitas
and management of community-acquired pneu­
monia. Critical Care. 14(203):1-11.
8. Christ-Cain M, Muller B. 2005. Procalcitonin in
bacterial infections hype, hope, more or less?.
Swiss Med Wkly. 135:451-60
9. Postma DF, van Werkhoven CH, Hujits SM,
Bolkenbass M, Oosterheert JJ, Bonten M. 2012.
New trends in the prevention and management
of community-acquired pneumonia. The Nether­
land Journal of Medicine. 70(8):337-48.
10.Boutroos C, Samasundar C, Razzah A. 2010.
Omega 3 fatty acids. Arch Surg. 145(6):515-20.
11. Curtis L. Comment on: guideline for the management
of hospital-acquired pneumonia in the UK. Journal
of Antimicrobial Chemotherapy. 2008;62:641.
12.
Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A,
Bartlett JG, Campbell D, Dean NC, et al. 2007.
Infectious diseases society of America/American
thoracic society consensus guidelines on the
management of community acquired pneumonia
in adults. CID. 44:27-72.
13.Hermawan AG. 2008. Sepsis. In: Diding HP,
editors. SIRS, sepsis dan syok septik (imunologi,
146
diagnosis dan penatalaksanaan). 1st edition.
Surakarta: UNS Press; p. 1-17.
14. Maruna P, Nedelnikova K, Gurlich R. 2000.
Physiology
and
genetics
of
procalcitonin.
Physiol. Res. J. 49(1):S57-61.
15. Schuetz P, Widmar S, Chaudri A, Christ-cain M,
Zimmerly W, Mueller B 2011. Prognostik value of
procalcitonin in community-acquired pneumonia.
Eur Respir J. 37:384-92.
16.Barnes C, Marina E, Anderson, Moots R. 2011.
The many faces of interleukin-6: the role of
IL-6 in inflammation, vasculopathy and fibrosis
in systemic sclerosis. International Journal of
Rheumatology. 10:1-6.
17. Frederic G. 2008. Long chain polyunsaturated fatty
acids influence the immune system of infants. The
Journal of Nutrition. 138:1807-12.
18. Calder P. 2002. Dietary modification of inflammation
with lipids. Proceedings of The Nutrition Society.
61:345-58.
19. Phillip C. 2010. Omega 3 fatty acids and inflam­
matory processes. Nutrient. 2:355-74.
J Respir Indo Vol. 36 No. 3 Juli 2016
Download