Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah
kontrak dimana satu atau lebih (prinsipal) melimpahkan wewenang kepada orang
lain (agen) untuk kepentingan mereka. Permasalahan hubungan keagenan ini
mengakibatkan terjadinya informasi asimetris dan konflik kepentingan (Jensen
dan Meckling, 1976).
Teori keagenan berusaha mendeskripsikan hubungan antara agen dan
prinsipal dengan menggunakan mekanisme suatu kontrak. Teori keagenan
menggunakan penekanan pada penyelesaian dua masalah yaitu: a) masalah
keagenan yang muncul ketika keinginan/tujuan antara agen dan prinsipal
bertentangan, dan sulit bagi prinsipal memverifikasi hasil kerja agen yang
sesungguhnya. b) masalah pembagian resiko (risk sharing) yang terjadi ketika
prinsipal dan agen mempunyai preferensi dan sikap yang berbeda terhadap suatu
resiko.
Fokus teori keagenan (Eisenhardt, 1989) adalah penentuan kontrak yang
paling efesien mengatur hubungan antara prinsipal dan agen dengan asumsi
bahwa: a) manusia mempunyai sifat mementingkan kepentingan diri sendiri,
rasionalitas terbatas (Bounded rationality), keengganan resiko (risk aversion); b)
organisasi meliputi konflik kepentingan antar anggotanya, dan c) informasi
merupakan suatu komoditi dan dapat dibeli.
11
1
2
Teori keagenan dijadikan acuan utama dalam penelitian ini untuk
menjelaskan konflik yang terjadi antara pemerintah daerah dan masyarakat yang
diwakili oleh DPRD, berkaitan dengan kebijakan keuangan Daerah. Hal ini terjadi
akibat adanya perbedaan kepentingan kedua belah pihak yang terikat dalam suatu
kontrak. Dalam kontrak tersebut pemerintah di samping ingin memuaskan
prinsipal juga bertujuan untuk memaksimalkan kepentingannya.
Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini dapat dilihat melalui hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan juga hubungan
masyarakat dengan pemerintah daerah. Hubungan antara masyarakat dengan
pemerintah adalah seperti hubungan antara principal dan agent. Masyarakat yang
diwakili oleh DPRD adalah principal dan pemerintah adalah agent. Agent
diharapkan dalam mengambil kebijakan keuangan menguntungkan principal.
Principal memiliki wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan
sumberdaya kepada agen dalam bentuk pajak, retribusi, dana perimbangan, hasil
pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat, wajib menyampaikan
laporan
pertanggungjawaban
keuangan
daerahnya
untuk
dinilai
apakah
pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Bila
keputusan agen merugikan bagi principal maka akan timbul masalah keagenan.
Karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen (assymetric
information) maka principal membutuhkan pihak ketiga yang mampu
meyakinkan prinsipal bahwa apa yang dilaporkan oleh agent adalah benar.
3
2.2 Teori Kontijensi
Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang dapat
digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan. Masuknya pengaruh
variabel lingkungan dalam analisis organisasi diawali dengan kemunculan
pendekatan sistem (system approach) dalam analisis organisasi. Pendekatan teori
kontijensi mengidentifikasi bentuk-bentuk optimal pengendalian organisasi di
bawah kondisi operasi yang berbeda dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana
prosedur operasi pengendalian organisasi tersebut.
Penelitian
akuntansi
keperilakuan
pada
awalnya
dirancang
dengan
pendekatan Universalistic approach. Secara umum teori ini menyatakan bahwa
perancangan
dan penggunaan desain system pengendalian tergantung
karakteristik organisasi dan kondisi lingkungan dimana sistem tersebut akan
diterapkan. Berdasarkan teori kontinjensi maka terdapat faktor situasional lain
yang mungkin akan saling berinteraksi dalam suatu kondisi tertentu.
Berbagai penelitian yang menggunakan pendekatan kontijensi dilakukan,
dengan tujuan mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi
perancangan dan penggunaan sistem pengendalian. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara satu peneliti dengan peneliti
lainnya sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa ada variabel lain yang
memengaruhinya. Govindarajan (1986) dalam Husnatarina dan Nor (2007)
mengemukakan
bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari hasil temuan
tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (Contijency
approach).
4
Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel
yang dapat bertindak sebagai moderating dan intervening.
Murray (1990)
dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa variabel moderating
adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua variabel.
Dalam
penelitian ini, pendekatan kontijensi akan digunakan untuk mengevaluasi
keefektifan hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM. Berdasarkan
pendekatan di atas ada dugaan alokasi belanja modal akan memoderasi
hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM.
2.3 Desentralisasi dan Federalisme Fiskal
Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara
teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu
desentralisasi
politik,
desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam
Khusaini, 2006).
Berdasarkan Undang-Undang Nommor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah:
1) Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks ekonomi makro.
2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara
keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan
dengan memperbesar taxing power daerah.
3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar
daerah
dengan mekanisme
block
grant/transfer
dan
memperbesar
5
kewenangan daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki.
4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat.
5) Meningkatkan
akuntabilitas,
efektivitas
dan
efisiensi dalam
rangka
peningkatan kinerja daerah.
6) Meningkatkan kualitas pelayanan publik.
7) Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor
publik.
Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang
bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik,
dan kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme
fiskal (fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan
dampak
ekonomi
generation theories)
theories).
dari
dan
Traditional
desentralisasi,
new
yaitu
perspective
traditional
theories
theories
(second
(first
generation
theories menyatakan terdapat dua keuntungan dari
desentralisasi, yaitu:
1) Hayek (1945) dalam Khusaini (2006) mengemukakan tentang penggunaan
“knowledge in society”, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan
yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang
efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya.
2) Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006) mengungkapkan terdapat dimensi
persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi
antar pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan
6
masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan
selera
dan
keinginan
mereka.
Hal
ini
tidak
akan
terjadi
dalam
pemerintahan sentralistik jika pemerintah pusat menyediakan barang dan
jasa publik secara seragam.
Teori fiscal federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan
tercapai dengan desentralisasi fiskal melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dimana
desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan
keputusan kepada pemerintah tingkat rendah
(Akai and Sakata, 2002) yang
berfungsi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik jangka panjang (Faridi,
2011). Aristovnik (2012) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat dibagi
menjadi dua luas kategori yaitu: (i) otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii)
pentingnya fiskal pemerintah daerah. Dengan menerapkan sistem pemerintahan
terdesentralisasi, pemerintah daerah akan dikejar untuk meningkatkan usahanya
dalam memberikan pelayanan publik
yang
lebih
baik di wilayahnya
(Suhardjanto,dkk., 2009).
Federalisme fiskal menampilkan model normatif yang menggambarkan
pemerintah pusat sebagai penafsir arif aspirasi masyarakat, yang memberikan
arahan dalam aturan-aturan kelembagaan antar pemerintahan untuk menjamin
lembaga-lembaga pemerintah daerah bertindak sesuai keinginan pusat (dengan
asumsi sesuai keinginan seluruh rakyat). Bahkan kalaupun tak semua pemerintah
pusat tidak sedemikian arif, aturan-aturan ini mungkin masih dapat memberikan
rujukan yang bermanfaat dalam hubungan fiskal antar pemerintahan (Bird, 1993
dalam Bird, 1998).
7
2.4 Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran adalah hasil dari perencanaan yang berupa daftar mengenai
bermacam-macam kegiatan terpadu, baik menyangkut penerimaannya maupun
pengeluarannya
yang
dinyatakan dalam bentuk uang dalam jangka waktu
tertentu (Syamsi, 1994 dalam Hanafi dan Nugroho, 2009). Senada dengan itu,
Mardiasmo (2004) juga menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu
tertentu
yang
dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran
adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran
pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif
dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan
pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja
tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan defisit atau
surplus.
Anggaran yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah akan
disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan yaitu untuk memberikan pelayanan
dan kesejahteraan bagi rakyat. Sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2003,
penyusunan
anggaran
daerah
atau
sering
disebut dengan
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan pendekatan anggaran
berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja merupakan teknik penganggaran
yang mengikuti pendekatan New Public Management. New Public Management
berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan
kebijakan. Penggunaan paradigma
New Public Management
menimbulkan
8
beberapa konsekuensi bagi pemerintah, di antaranya adalah tuntutan untuk
melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi
tender (Hanafi dan Nugroho, 2009). New Public Management memberikan
perubahan
manajemen
sektor
publik
yang
cukup
drastis
dari
sistem
manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi
model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar.
Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana, melainkan telah
mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat.
2.5 APBD Dalam Era Otonomi Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Mamesah (1995:20)
dalam Halim (2007: 16) adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah,
di mana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya
guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun
anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan
sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran
dimaksud.
Era pasca reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan cukup mendasar.
Bentuk APBD yang baru didasari pada peraturan-peraturan mengenai Otonomi
Daerah terutama UU No. 22/1999 yang telah diubah menjadi UU No. 32/2004
yang telah diubah menjadi UU No. 33/2004, PP No. 105/2000. Akan tetapi,
karena untuk menerapkan peraturan yang baru diperlukan proses, maka untuk
9
menjembatani pelaksanaan keuangan daerah pada kedua era tersebut dikeluarkan
Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.903/2375/SJ tanggal 17
November 2001. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mengakomodasi transisi
dari UU No. 5/1974 ke UU No. 22/1999 yang kini telah diubah menjadi UU No.
32/2004.
Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar
laporan keuangan makin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD
diperkirakan tidak akan terdiri dari dua sisi dan akan dibagi menjadi tiga bagian
yaitu Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori
yang baru yang belum ada di era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan
merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari
pendapatan daerah.
2.6 Kinerja Keuangan Daerah (Fiskal)
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu
hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja
daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.
Bentuk keuangan tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur
Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD.
Terkait dengan pentingnya kinerja, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya
adalah pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai sukses
atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja
10
diperlukan untuk menilai tingkat besarnya penyimpangan antara kinerja aktual
dengan kinerja yang diharapkan. Dengan mengetahui penyimpangan tersebut,
dapat dilakukan upaya perbaikan dan peningkatan kinerja (Rai, 2008). Dalam
lingkup perusahaan, pengukuran kinerja perusahaan yang ditimbulkan sebagai
akibat dari proses pengambilan keputusan manajemen merupakan persoalan yang
lebih kompleks dan lebih sulit, karena akan menyangkut masalah efektivitas
pemanfaatan modal, efisiensi dan rentabilitas dari kegiatan perusahaan dan
menyangkut nilai serta keamanan dari berbagai tuntutan dari pihak ketiga
(Helfert, 1982).
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator
keuangan (Sularso dan Restianto, 2011). Analisis kinerja keuangan pada dasarnya
dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis
sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensipotensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator keuangan,
maka alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis
keuangan.
Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis keuangan secara luas
telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, namun pada
lembaga publik, khususnya pemerintah daerah, masih sangat terbatas. Hal
tersebut dikarenakan adanya keterbatasan penyajian laporan keuangan pada
pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan
keuangan oleh perusahaan yang bersifat komersil. Di samping itu, penilaian
keberhasilan APBD sebagai
penilaian
pertanggungjawaban
pengelolaan
11
keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang
memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun
struktur APBD (Halim, 2007).
Secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan
kaidah pengukuran dalam analisis rasio terhadap organisasi sektor publik,
khususnya APBD. Namun demikian, analisis terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah tetap harus dilakukan dalam rangka pengelolaan keuangan
daerah yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel (Halim, 2007). Beberapa
rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja fiskal daerah di antaranya: Rasio
Pajak, pajak per kapita, upaya pajak, dan ruang fiskal.
2.6.1 Rasio Pajak
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan
jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara
dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara
jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio pajak dapat digunakan
untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur
kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat
kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan ekonomi
masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi
potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam
analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah
barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun.
12
Nilai PDRB ini pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur
ekonomi yang terjadi di suatu wilayah.
Negara menggunakan GDP sebagai salah satu tolak ukur yang dapat
digunakan untuk mengetahui jumlah pendapatan suatu negara. Produk domestik
bruto (Gross Domestic Product) adalah jumlah produk berupa barang dan jasa
yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara
(domestik) selama satu tahun. Pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan
produksi barang dan
jasa dalam keadaan ekonomi
masyarakat
suatu
perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat ekonomi yang
dicapai tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sehingga tingkat
kenaikan GDP yang dapat menyebabkan perubahan rasio pendapatan negara
karena GDP merupakan pembilang dari perhitungan Tax Ratio (Sumitro dalam
Danny 2013).
2.6.2 Pajak Per Kapita
Pajak per kapita memang belum banyak digunakan dalam menghitung
tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber pendapatan daerah. Namun, pajak
per
kapita
dapat
digunakan
sebagai
alternatif
alat
hitung efektifitas
pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara
jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah
penduduknya. Pajak per kapita menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada
pajak daerah. Semakin tinggi pajak per kapita akan meningkatkan PAD, akan
semakin tinggi dana yang tersedia untuk dialokasikan (salah satunya alokasi ke
13
belanja
modal)
sehingga
semakin
tinggi
stimulus
peningkatan
indeks
pembangunan manusia.
Gregory dalam DJPK (2013) menekankan bahwa rasio pajak per PDB
merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun, semakin tinggi tingkat
persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga
ukuran tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu, seperti statistik yang
lebih baik, pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per kapita
dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga dapat
dirumuskan sebagai berikut:
Pajak
Pajak Per Kapita =
PDRB
X
PDRB
X 100% ……….(1)
Jumlah Penduduk
2.6.3 Upaya Pajak
Upaya pajak merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan
dengan kinerja keuangan daerah. Upaya pajak didefinisikan sebagai rasio antara
penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan tarif
pajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak
standar. Upaya pajak berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang
menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya pajak yang semakin besar yang
berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi
fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagai : (1) rasio antara kapasitas fiskal
14
dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan
upaya fiskal (Nanga, 2005).
Sedangkan menurut Adi (2006), upaya pajak dapat digunakan
menganalisis
posisi
fiskal
suatu
daerah
yaitu
untuk
dengan membandingkan
penerimaan pajak terhadap kapasitas fiskal. Dengan demikian posisi fiskal
sama dengan upaya pengumpulan pajak. Nilai upaya pajak yang diperoleh dari
perbandingan penerimaan pajak terhadap kapasitas fiskal tersebut berkisar 01. Untuk menentukan
fiskal di suatu daerah apakah lemah
atau
kuat
tergantung standar yang digunakan. Secara sederhana disebutkan, bila upaya
fiskal mendekati satu maka dapat dikatakan posisi fiskal suatu daerah kuat,
dan bila mendekati 0 posisi fiskal lemah.
Upaya pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan
kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang
digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat adalah produk
domestik regional bruto. Dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah
dari
sisi
pendapatan
secara
makro
upaya pajak diukur
dengan
membandingkan realisasi PAD terhadap PDRB. Indikator ini mengukur
sejauh mana pemerintah daerah menciptakan pendapatan (generating income)
berdasarkan
kapasitas
dan
potensi lingkungan ekonomi di daerahnya
(BAPPENAS). Upaya pajak dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Realisasi PAD
Upaya pajak =
x 100% ………………………… (2)
PDRB
15
Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan otonomi
daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah seringkali
diukur dengan menggunakan PAD, dimana pajak daerah dan retribusi daerah
menjadi komponen PAD yang memberikan kontribusi yang sangat besar.
2.6.4 Ruang Fiskal
Ruang fiskal merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang
dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai
kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh
pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan
yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah.
Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi
dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya
(earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan
belanja bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013).
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian
besar anggaran digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal
sangat penting karena dapat
menjadi stimulus perekonomian daerah (DJPK, 2013) dan pada akhirnya dapat
meningkatkan daya saing daerah. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat
kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Studi
Fajar dan Ghozali (2013) menemukan bahwa rasio ruang fiskal tahun lalu
16
berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya
dengan arah hubungan yang positif.
Ruang fiskal merupakan bagian yang harus mendapat perhatian serius. Ruang
fiskal dapat diciptakan dengan meningkatkan pendapatan asli daerah dan
meningkatkan efisiensi anggaran. Ruang fiskal yang tercipta tahun lalu dapat
dijadikan tolok ukur untuk merancang ruang fiskal tahun berikutnya, bagaimana
cara meningkatkannya, menggunakan strategi apa, dan di sektor apa saja efisiensi
harus ditingkatkan. Dengan demikian, alokasi belanja, terutama belanja modal,
dapat direncanakan sesuai dengan prioritas pembangunan di daerah (Hidayat
2013).
Tinjauan dari sisi teori keagenan, pengelolaan ruang fiskal daerah dapat
menyebabkan munculnya masalah-masalah keagenan, terutama pada upaya
memperbesar ruang fiskal melalui efisiensi belanja. Sebagaimana telah umum
diketahui bahwa potensi penyelewengan keuangan daerah melalui belanja cukup
besar selama ini yang diindikasikan oleh banyaknya kasus korupsi terkait dengan
belanja-belanja daerah. Upaya efisiensi belanja tentu akan menimbulkan konflik
di antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan di dalamnya, dalam hal ini
eksekutif dan legislatif. Jika demikian, maka usaha untuk memperbesar ruang
fiskal akan menemui tantangan berat sehingga akan membawa dampak pada
kebijakan pengalokasian belanja, khususnya belanja modal (Hidayat 2013).
Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi
dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya
17
(earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan
Belanja Bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013).
Kebijakan fiskal terdiri dari kinerja fiskal yang meliputi sejumlah konsep
yang saling berhubungan. Konsep-konsep tersebut adalah kapasitas fiskal (fiscal
capacity), kebutuhan fiskal (fiscal need), upaya fiskal (fiscal effort), dan tingkat
kinerja fiskal (fiscal performance level). Dalam hal ini, kemampuan suatu daerah
(jurisdiksi) untuk menjalankan tugas fiskalnya sangat ditentukan oleh posisi fiskal
dari daerah tersebut, dimana posisi fiskal ditentukan oleh kapasitas fiskal relatif
terhadap kebutuhan fiskalnya yakni besarnya pengeluaran yang diperlukan untuk
menyediakan layanan publik (Nanga, 2005).
Kapasitas fiskal dapat diartikan sebagai kemampuan dari suatu juridiksi
untuk meningkatkan penerimaan untuk membiayai pengeluaran atau layanan
publik yang menjadi tanggungannya. Kebutuhan fiskal mengukur besarnya
pengeluaran di daerah yang diperlukan untuk menjamin tingkat kinerja atau
layanan standar. Nilai ini dihitung dari jumlah penduduk yang menjadi sasaran
dengan biaya yang diperlukan untuk menyediakan tingkat layanan standar.
Konsep kebutuhan fiskal menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah
dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan
daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Secara teori
kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru
sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah
(Rindayati, 2009).
18
Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan
dengan kinerja keuangan daerah. Upaya fiskal didefinisikan sebagai rasio antara
penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan
tarifpajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak
standar. Upaya fiskal berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang
menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan
bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya fiskal yang semakin besar yang
berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi
fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagi : (1) rasio antara kapasitas fiskal
dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan
upaya fiskal (Nanga, 2005).
Kemandirian fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi
dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa
diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti
bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap
pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD
seperti pajak, retribusi dan sebagainya. Untuk mengukur derajat kemandirian
fiskal daerah/derajat otonomi fiskal daerah yaitu menggunakan rasio antara PAD
dengan total penerimaan APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer
dari pemerintah pusat (Radianto, 1997; Thesaurianto, 2007).
Keadaan fiskal daerah yang terdiri atas penerimaan dan pengeluaran daerah
akan memengaruhi kinerja perekonomian daerah berupa PDRB, penyerapan
19
tenaga kerja serta produksi, dan ketahanan pangan. Kinerja perekonomian akan
memengaruhi ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan akan memengaruhi
kinerja fiskal karena kapasitas fiskal daerah akan dipengaruhi oleh kondisi
masyarakatnya. Keadaan masyarakat dengan daya beli rendah akan menghasilkan
pendapatan pajak daerah yang rendah pula sehingga akan menghasilkan kinerja
fiskal yang rendah (Situmorang, 2009).
2.7 Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ekonomi
Kebijakan Fiskal diberlakukan pemerintah sebagai sarana fasilitasi dalam
penstabilan anggaran keuangan. Kebijakan fiskal berperan dalam memacu laju
pertumbuhan daerah sebagai dasar pembangunan nasional. Kebijakan fiskal
sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan
berikut : 1) untuk meningkatkan laju investasi; 2) untuk mendorong investasi
optimal secara sosial; 3) meningkatkan kesempatan kerja; 4) untuk meningkatkan
stabilitas ekonomi ditengah
ketidakstabilan internasional;
5) untuk
menanggulangi inflasi; dan 6) untuk meningkatkan dan mendistribusikan
pendapatan nasional (Rindayati, 2009). Dalam hal ini kebijakan fiskal merujuk
kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti pajak, subsidi dan pengeluaran
pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dengan mengontrol antara
15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan kekuatan utama dalam
menggerakkan perekonomian dibanyak negara berkembang. Jadi berdasarkan
volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua lingkaran
ekonomi. Kebijakan fiskal memengaruhi kegiatan perekonomian melalui : 1)
20
alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan
pengeluaran publik, 2) bentuk-bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah
dan 3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro,
2000; Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2000; Rindayati, 2009).
Tantangan dalam penerapan desentralisasi fiskal tidak hanya dalam
penentuan strategi pembiayaan yang tepat tetapi juga kepada masalah
pengendalian defisit anggaran. Defisit anggaran merupakan penyebab utama
ketidakseimbangan makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan
komponen utama pada kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip
pengurangan defisit anggaran dapat dilakukan melalui dua hal : 1) dapat dikurangi
melalui pengeluaran anggaran, dan 2) peningkatan pendapatan pemerintah.
Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan,
penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan sebagai berikut :
1) Pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih substansial dan lebih
cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta peningkatan pajak
pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem pajak dan aturan
mengenai pajak yang memakan waktu. 2) Tujuan utama dari program
penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan negara
dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi serta
peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan
bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (Jhingan, 2000;
Todaro, 2000).
21
Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap
ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : 1) pengurangan tenaga kerja
di sektor publik dan upah, 2) pengurangan investasi publik, 3) pengurangan
subsidi dan 4) pengurangan/pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal
dengan pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan
dan ketahanan pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran
dan permintaan tenaga kerja, kredit, komoditi yang dipasarkan dan menyebabkan
perubahan dalam infrastruktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada
pendapatan rumah tangga, permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan
intensitas dari pengaruh tersebut tergantung pada pendekatan terhadap
pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan ekonomi suatu negara, kerangka
waktu dan pada suksesnya program penyesuaian yang menyebabkan pertumbuhan
ekonomi (FAO, 1997 ; Rindayati, 2009).
2.8 Belanja Modal
Belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung yang
digunakan untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal yaitu
pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan dapat menambah
aset pemerintah yang selanjutnya meningkatkan biaya pemeliharaan (Mardiasmo,
2004).
Pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang
memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya
22
adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau
menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas asset
(Standar Akuntansi Pemerintah/SAP) Dalam SAP, belanja modal dapat
dikategorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama antara lain, belanja modal tanah,
peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta
belanja modal fisik lainnya.
Halim, (2007) membagi belanja modal menjadi 2 (dua) bagian : 1) Belanja
publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh
masyarakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan jembatan dan jalan raya,
pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. 2) Belanja
aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh
masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur, seperti pembelian
kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan dan pembangunan rumah
dinas.
Belanja Modal memiliki peran yang sangat penting guna meningkatkan
infrastruktur publik, sehingga dapat mendukung peningkatan pertumbuhan
ekonomi. Mardiasmo (2009:93) menyatakan bahwa secara normatif semakin
tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan
publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik
terhadap pembangunan.
Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh
positif pada pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Peningkatan pelayanan
sektor publik secara berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan prasarana
23
publik, investasi pemerintah juga meliputi perbaikan fasilitas pendidikan,
kesehatan,
dan
sarana
penunjang
lainnya.
Syaratan
fundamental untuk
pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang
seimbang dengan pertambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut harus
didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang
sifatnya menaikan
produktivitas
(Ismerdekaningsih
dan Rahayu, 2002).
Dengan ditambahnya infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh
pemerintah daerah, diharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di
daerah (Harianto dan Adi, 2006). Daniel (2014) menemukan bahwa keserasian
belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan pada variabel daya saing. Ini
berarti semakin tinggi alokasi belanja modal semakin tinggi daya saing daerah.
2.9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan,
kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan
pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan,
sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk
hidup layak. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata
sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks
harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur
keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan
sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah
dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu,
IPM juga sebagai alat
24
pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan
antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang
dilakukan pada periode sebelumnya. Sebelum menghitung IPM, setiap komponen
IPM harus dihitung indeksnya. (BPS, 2012a:19). Formula yang digunakan dalam
perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut:
Indeks X(i) =
Keterangan :
…………………………………… (3)
X(i)
= Komponen IPM ke-i
X(min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i
X(maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i
Untuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas
maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Nilai Maksimum dan Minimum dari Setiap Komponen IPM
Komponen IPM
Maksimum
Minimum
Keterangan
1.
Angka Harapan Hidup (Tahun)
85
25
Standar UNDP
2.
Angka Melek Huruf (Persen)
100
0
Standar UNDP
3.
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
15
0
4.
Daya Beli (Rupiah PPP)
732.720a
300.000 (1996)
360.000b (1999,dst)
Pengeluaran per
Kapita Rill
Disesuaikan
Sumber: BPS, 2012b
Keterangan:
a)
Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018
b)
Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru
Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut:
IPM j =
………………………………………… (4)
25
Keterangan:
Indeks X(i,j) = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah ke-j
I = 1,2,3 (urutan komponen IPM)
J = 1,2 ……….k (wilayah)
Rumus yang digunakan dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia
menurut Badan Pusat Statistik, 2012 adalah sebagai berikut :
IPM = 1/3 (Indeks X1+Indeks X2+Indeks X3) …………………….. (5)
Dimana : X1 : lamanya hidup
X2 : tingkat pendidikan
X3 : standar hidup layak yang menggunakan indikator kemampuan
daya beli
Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari
pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand
dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan
sarana utama dalam pembangunan.
UNDP telah melaksanakan penelitian dan menerbitkan buku Laporan
Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang berisi mengenai
perkembangan indeks HDI di seluruh dunia dan pembahasan komprehensif
mengenai suatu aspek pembangunan manusia yang menjadi permasalahan dan
kepedulian global. IPM ini merupakan indeks komposit atas 3 indeks, yaitu :
1) Indeks harapan hidup, sebagai perwujudan dimensi umur panjang dan sehat
(longevity)
2) Indeks pendidikan, sebagai perwujudan dimensi pengetahuan (knowledge)
3). Indeks standar hidup layak, sebagai perwujudan dimensi hidup layak (decent
living)
26
1) Indeks harapan hidup
Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam perhitungannya, yaitu Anak
Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Besarnya nilai maksimum
dan minimumnya telah disepakati oleh semua Negara (175 negara) sebagai
standar UNDP, yakni 85 tahun sebagai batas atas dan 25 tahun sebagai batas
terendah.
2) Indeks pendidikan
Perhitungannya menggunakan dua indikator, yaitu : angka melek huruf (Lit)
dan rata-rata lama sekolah (Man Years School [MYS]). Angka melek huruf adalah
persentase dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis
dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata
jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh
jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani. Indikator
ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi yang ditamatkan dan tingkat
pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki.
Pendidikan dan kesehatan yang baik akan meningkatkan kapasitas serta
berperan membuka peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendapatan yang
lebih tinggi (Lanjouw dkk, 2001). Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap
tingkat kesejahteraan dan kualitas pembangunan manusia.
3) Indeks standar hidup layak
Perhitungan UNDP menggunakan Produk Domestik Bruto riil yang
disesuaikan, sedangkan BPS menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil
yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Agar dapat melihat perkembangan
27
tingkatan dan status IPM UNDP membedakan tingkat IPM berdasarkan empat
klasifikasi yakni: low (IPM kurang dari 50), lower-medium (IPM antara 50 dan
65,99), upper-medium (IPM antara 66 dan 79,99) dan high (IPM 80 ke atas).
Perlu dicatat bahwa IPM mengukur tingkat pembangunan manusia secara
relatif, bukan absolut. Pengukuran IPM telah mengalami beberapa perubahan
sejak pertama kali dicetuskan dan yang terpenting adalah indeks tersebut telah
disederhanakan sehingga sekarang IPM dihitung secara langsung.
2.10 Penelitian Terdahulu
Fhino dan Priyo (2009) meneliti tentang hubungan antara dana alokasi
umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia, Penelitian ini
mengambil daerah penelitian kabupaten/kota di Jawa Tengah, dengan data DAU,
Belanja Modal, dan Human Development Index (HDI). Jumlah kabupaten dan
kota yang datanya memenuhi syarat untuk diteliti adalah 29 kabupaten dan 6 kota
di Jawa Tengah. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik inferensia
dengan menggunakan regresi sederhana (simple regression). Hasil penelitiannya
adalah belanja modal berpengaruh terhadap IPM atau Human Development Index
(HDI). Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan
pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari
tingkat IPM.
Denni (2012) meneliti tentang Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan
Ekonomi, Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa
Tengah Tahun 2006-2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
28
data sekunder yang bersumber pada laporan badan pusat statistik (BPS Jateng)
khususnya data tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Populasi merupakan
keseluruhan subjek penelitian (studi sensus) Hasil penelitiannya menunjukan
perkembangan IPM mengalami peningkatan dengan kategori IPM menengah
selama periode tahun 2006-2009 hingga mampu mencapai target IPM yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan hasil regresi panel menunjukan
kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM. Pertumbuhan
ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM dan Belanja modal
berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM.
Titin (2012) meneliti tentang Pengaruh Alokasi Belanja Langsung Terhadap
Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Kota
di Sumatera Selatan). Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa data realisasi belanja langsung pemerintah Kabupaten dan Kota di
Sumatera Selatan pada tahun 2010. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis
statistik inferensial dengan menggunakan regresi sederhana (simple regression).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belanja langsung tidak dapat
memprediksi indeks Pembangunan Manusia.
Lilis dan Yohana (2012) meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
DAU, DAK, PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. Populasi yang diamati
dalam Penelitian ini adalah pemerintah Kabupaten dan kota sejawa tengah,
pengambilan sampel dilakukan berdasarkan metode purposive sample. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak
29
berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM), Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbukti
berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) dan Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan belanja modal (BM) terbukti
berpengaruh positif terhadap terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Hendarmin, (2012) meniliti tentang Pengaruh Belanja Modal Pemerintah
Daerah dan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja
dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat,
hasil penelitiannya menyatakan bahwa terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya
variabel investasi swasta yang memiliki pengaruh signifikan namun koefisiennya
berslope negatif (bertolak belakang dengan teori ekonomi); sementara variabel
belanja modal pemerintah daerah walaupun memiliki slope positif (sesuai dengan
teori ekonomi) namun tidak signifikan.
Terhadap kesempatan kerja, hanya
variabel belanja modal yang memiliki pengaruh signifikan dan memiliki koefisien
yang positif (sesuai teori); sementara variabel investasi swasta walaupun memiliki
slope positif (sesuai teori) namun tidak signifikan. Terhadap kesejahteraan
masyarakat, pengaruh belanja modal pemerintah daerah dan investasi swasta
melalui jalur pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, kedua variabel
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja berpengaruh signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat, namun slope dari pertumbuhan ekonomi menunjukkan
nilai yang negatif (tidak sesuai teori). Secara umum, untuk meningkatkan
30
kesejahteraan di Kalimantan Barat jalur yang dapat digunakan adalah peningkatan
belanja modal pemerintah daerah sehingga dapat memperluas kesempatan kerja,
yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Nana dan Dwirandra (2012) meneliti tentang Pengaruh Kinerja Keuangan
Daerah Pada Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan Kabupaten
Dan Kota. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sampling
jenuh dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik
analisis regresi linier berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan Kinerja
keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian menunjukan bahwa berpengaruh
positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio
efektivitas, rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya antara kinerja keuangan
terhadap pengangguran, menunjukkan bahwa kinerja keuangan berupa rasio
kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengangguran, sedangkan antara kinerja
keuangan
terhadap
kemiskinan
menunjukkan
bahwa
rasio
kemandirian
berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan, dan rasio efektivitas,
rasio efisiensi, serta pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan
terhadap kemiskinan.
Nur (2013) meneliti tentang Pengaruh Pengangguran, Pertumbuhan
Ekonomi, dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Manusia
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011, hasil penelitiannya
menyatakan bahwa pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran
31
pemerintah baik secara parsial maupun bersama-sama berpengaruh secara
signifikan terhadap IPM. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menggunakan analisis regresi data panel. model efek tetap (FEM) dengan
metode Generalized Least Square (GLS).
Setiawan dan Hakim (2013) meneliti tentang Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia. Penelitian ini menganalisis perilaku Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Data-data yang digunakan adalah data sekunder dari berbagai sumber
data, yakni buku laporan, dokumen, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan
judul penelitian dari Badan Pusat Statistik. Dengan menggunakan Error
Correction Model (ECM), paper ini menemukan bahwa PDB dan PPN
berpengaruh terhadap IPM dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Estimasi model
ECM
menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008
berpengaruh terhadap IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi
pemerintahan tidak berpengaruh terhadap IPM.
Swandewi (2014) meneliti tentang pengaruh dana perimbangan dan
kemandirian keuangan daerah terhadap keserasian anggaran dan kesejahteraan
masyarakat kada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, hasil penelitiannya
menyatakan bahwa dana perimbangan dan kemandirian keuangan daerah
berpengaruh positif terhadap keserasian anggaran, namun dana perimbangan tidak
signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen. Kemandiriaan keuangan daerah,
dana perimbangan, dan keserasian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap
kesejahteraan masyarakat. Dana perimbangan tidak berpengaruh signifikan secara
tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui keserasian anggaran,
32
sedangkan kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan secara tidak
langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui keserasian anggaran,
penelitiannya menggunakan metode analisis jalur yang merupakan pengembangan
dari metode regresi.
Selanjutnya Amalia dan Purbadharmaja (2014) dalam penelitiannya yang
berjudul Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah Dan Keserasian Alokasi
Belanja Terhadap Indeks Pembangunan Manusia, menyatakan bahwa kemandirian
keuangan daerah dan keserasian alokasi belanja secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi
Bali tahun 2008-2012. Kemandirian keuangan daerah secara parsial berpengaruh
positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di
Provinsi Bali tahun 2008-2012. Keserasian alokasi belanja secara parsial
berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia
kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2008-2012. Berdasarkan hal tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan alokasi belanja pemerintah dalam pelayanan
publik terutama di bidang kesehatan dan pendidikan berpengaruh terhadap indeks
pembangunan manusia. Teknik analisis yang digunakan adalah rasio keuangan
yang digunakan untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah dan keserasian
alokasi belanja serta regresi linear berganda.
Download