BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak dimana satu atau lebih (prinsipal) melimpahkan wewenang kepada orang lain (agen) untuk kepentingan mereka. Permasalahan hubungan keagenan ini mengakibatkan terjadinya informasi asimetris dan konflik kepentingan (Jensen dan Meckling, 1976). Teori keagenan berusaha mendeskripsikan hubungan antara agen dan prinsipal dengan menggunakan mekanisme suatu kontrak. Teori keagenan menggunakan penekanan pada penyelesaian dua masalah yaitu: a) masalah keagenan yang muncul ketika keinginan/tujuan antara agen dan prinsipal bertentangan, dan sulit bagi prinsipal memverifikasi hasil kerja agen yang sesungguhnya. b) masalah pembagian resiko (risk sharing) yang terjadi ketika prinsipal dan agen mempunyai preferensi dan sikap yang berbeda terhadap suatu resiko. Fokus teori keagenan (Eisenhardt, 1989) adalah penentuan kontrak yang paling efesien mengatur hubungan antara prinsipal dan agen dengan asumsi bahwa: a) manusia mempunyai sifat mementingkan kepentingan diri sendiri, rasionalitas terbatas (Bounded rationality), keengganan resiko (risk aversion); b) organisasi meliputi konflik kepentingan antar anggotanya, dan c) informasi merupakan suatu komoditi dan dapat dibeli. 11 1 2 Teori keagenan dijadikan acuan utama dalam penelitian ini untuk menjelaskan konflik yang terjadi antara pemerintah daerah dan masyarakat yang diwakili oleh DPRD, berkaitan dengan kebijakan keuangan Daerah. Hal ini terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan kedua belah pihak yang terikat dalam suatu kontrak. Dalam kontrak tersebut pemerintah di samping ingin memuaskan prinsipal juga bertujuan untuk memaksimalkan kepentingannya. Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini dapat dilihat melalui hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan juga hubungan masyarakat dengan pemerintah daerah. Hubungan antara masyarakat dengan pemerintah adalah seperti hubungan antara principal dan agent. Masyarakat yang diwakili oleh DPRD adalah principal dan pemerintah adalah agent. Agent diharapkan dalam mengambil kebijakan keuangan menguntungkan principal. Principal memiliki wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan sumberdaya kepada agen dalam bentuk pajak, retribusi, dana perimbangan, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat, wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Bila keputusan agen merugikan bagi principal maka akan timbul masalah keagenan. Karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen (assymetric information) maka principal membutuhkan pihak ketiga yang mampu meyakinkan prinsipal bahwa apa yang dilaporkan oleh agent adalah benar. 3 2.2 Teori Kontijensi Hakikat teori kontijensi adalah tidak ada satu cara terbaik yang dapat digunakan dalam semua keadaan (situasi) lingkungan. Masuknya pengaruh variabel lingkungan dalam analisis organisasi diawali dengan kemunculan pendekatan sistem (system approach) dalam analisis organisasi. Pendekatan teori kontijensi mengidentifikasi bentuk-bentuk optimal pengendalian organisasi di bawah kondisi operasi yang berbeda dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana prosedur operasi pengendalian organisasi tersebut. Penelitian akuntansi keperilakuan pada awalnya dirancang dengan pendekatan Universalistic approach. Secara umum teori ini menyatakan bahwa perancangan dan penggunaan desain system pengendalian tergantung karakteristik organisasi dan kondisi lingkungan dimana sistem tersebut akan diterapkan. Berdasarkan teori kontinjensi maka terdapat faktor situasional lain yang mungkin akan saling berinteraksi dalam suatu kondisi tertentu. Berbagai penelitian yang menggunakan pendekatan kontijensi dilakukan, dengan tujuan mengidentifikasi berbagai variabel kontijensi yang memengaruhi perancangan dan penggunaan sistem pengendalian. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada ketidakkonsistenan antara satu peneliti dengan peneliti lainnya sehingga para peneliti berkesimpulan bahwa ada variabel lain yang memengaruhinya. Govindarajan (1986) dalam Husnatarina dan Nor (2007) mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan perbedaan dari hasil temuan tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontijensi (Contijency approach). 4 Pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel yang dapat bertindak sebagai moderating dan intervening. Murray (1990) dalam Husnatarina dan Nor (2007) menjelaskan bahwa variabel moderating adalah variabel yang memengaruhi hubungan antara dua variabel. Dalam penelitian ini, pendekatan kontijensi akan digunakan untuk mengevaluasi keefektifan hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM. Berdasarkan pendekatan di atas ada dugaan alokasi belanja modal akan memoderasi hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM. 2.3 Desentralisasi dan Federalisme Fiskal Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam Khusaini, 2006). Berdasarkan Undang-Undang Nommor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah: 1) Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks ekonomi makro. 2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah. 3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar daerah dengan mekanisme block grant/transfer dan memperbesar 5 kewenangan daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki. 4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. 5) Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja daerah. 6) Meningkatkan kualitas pelayanan publik. 7) Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik. Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal (fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi generation theories) theories). dari dan Traditional desentralisasi, new yaitu perspective traditional theories theories (second (first generation theories menyatakan terdapat dua keuntungan dari desentralisasi, yaitu: 1) Hayek (1945) dalam Khusaini (2006) mengemukakan tentang penggunaan “knowledge in society”, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan yang terdesentralisasi akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. 2) Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006) mengungkapkan terdapat dimensi persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi antar pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan 6 masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak akan terjadi dalam pemerintahan sentralistik jika pemerintah pusat menyediakan barang dan jasa publik secara seragam. Teori fiscal federalism menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan tercapai dengan desentralisasi fiskal melalui pelaksanaan otonomi daerah. Dimana desentralisasi fiskal adalah pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai and Sakata, 2002) yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik jangka panjang (Faridi, 2011). Aristovnik (2012) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat dibagi menjadi dua luas kategori yaitu: (i) otonomi fiskal pemerintah daerah, dan (ii) pentingnya fiskal pemerintah daerah. Dengan menerapkan sistem pemerintahan terdesentralisasi, pemerintah daerah akan dikejar untuk meningkatkan usahanya dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik di wilayahnya (Suhardjanto,dkk., 2009). Federalisme fiskal menampilkan model normatif yang menggambarkan pemerintah pusat sebagai penafsir arif aspirasi masyarakat, yang memberikan arahan dalam aturan-aturan kelembagaan antar pemerintahan untuk menjamin lembaga-lembaga pemerintah daerah bertindak sesuai keinginan pusat (dengan asumsi sesuai keinginan seluruh rakyat). Bahkan kalaupun tak semua pemerintah pusat tidak sedemikian arif, aturan-aturan ini mungkin masih dapat memberikan rujukan yang bermanfaat dalam hubungan fiskal antar pemerintahan (Bird, 1993 dalam Bird, 1998). 7 2.4 Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran adalah hasil dari perencanaan yang berupa daftar mengenai bermacam-macam kegiatan terpadu, baik menyangkut penerimaannya maupun pengeluarannya yang dinyatakan dalam bentuk uang dalam jangka waktu tertentu (Syamsi, 1994 dalam Hanafi dan Nugroho, 2009). Senada dengan itu, Mardiasmo (2004) juga menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan defisit atau surplus. Anggaran yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah akan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan yaitu untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2003, penyusunan anggaran daerah atau sering disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan pendekatan anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja merupakan teknik penganggaran yang mengikuti pendekatan New Public Management. New Public Management berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management menimbulkan 8 beberapa konsekuensi bagi pemerintah, di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (Hanafi dan Nugroho, 2009). New Public Management memberikan perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana, melainkan telah mengubah peran pemerintah, terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. 2.5 APBD Dalam Era Otonomi Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menurut Mamesah (1995:20) dalam Halim (2007: 16) adalah rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah, di mana di satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud. Era pasca reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan cukup mendasar. Bentuk APBD yang baru didasari pada peraturan-peraturan mengenai Otonomi Daerah terutama UU No. 22/1999 yang telah diubah menjadi UU No. 32/2004 yang telah diubah menjadi UU No. 33/2004, PP No. 105/2000. Akan tetapi, karena untuk menerapkan peraturan yang baru diperlukan proses, maka untuk 9 menjembatani pelaksanaan keuangan daerah pada kedua era tersebut dikeluarkan Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No.903/2375/SJ tanggal 17 November 2001. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk mengakomodasi transisi dari UU No. 5/1974 ke UU No. 22/1999 yang kini telah diubah menjadi UU No. 32/2004. Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan makin informatif. Untuk itu, dalam bentuk yang baru, APBD diperkirakan tidak akan terdiri dari dua sisi dan akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu Penerimaan, Pengeluaran dan Pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori yang baru yang belum ada di era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. 2.6 Kinerja Keuangan Daerah (Fiskal) Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk keuangan tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD. Terkait dengan pentingnya kinerja, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja berfungsi untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja 10 diperlukan untuk menilai tingkat besarnya penyimpangan antara kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan. Dengan mengetahui penyimpangan tersebut, dapat dilakukan upaya perbaikan dan peningkatan kinerja (Rai, 2008). Dalam lingkup perusahaan, pengukuran kinerja perusahaan yang ditimbulkan sebagai akibat dari proses pengambilan keputusan manajemen merupakan persoalan yang lebih kompleks dan lebih sulit, karena akan menyangkut masalah efektivitas pemanfaatan modal, efisiensi dan rentabilitas dari kegiatan perusahaan dan menyangkut nilai serta keamanan dari berbagai tuntutan dari pihak ketiga (Helfert, 1982). Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan (Sularso dan Restianto, 2011). Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensipotensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan indikator keuangan, maka alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis keuangan. Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, namun pada lembaga publik, khususnya pemerintah daerah, masih sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan penyajian laporan keuangan pada pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan penyajian laporan keuangan oleh perusahaan yang bersifat komersil. Di samping itu, penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan 11 keuangan daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi ataupun struktur APBD (Halim, 2007). Secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukuran dalam analisis rasio terhadap organisasi sektor publik, khususnya APBD. Namun demikian, analisis terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah tetap harus dilakukan dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, efektif, efisien dan akuntabel (Halim, 2007). Beberapa rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja fiskal daerah di antaranya: Rasio Pajak, pajak per kapita, upaya pajak, dan ruang fiskal. 2.6.1 Rasio Pajak Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak yang dimiliki. PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi daerah baik tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. 12 Nilai PDRB ini pada umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Negara menggunakan GDP sebagai salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui jumlah pendapatan suatu negara. Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Pertumbuhan ekonomi adalah proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam keadaan ekonomi masyarakat suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat ekonomi yang dicapai tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sehingga tingkat kenaikan GDP yang dapat menyebabkan perubahan rasio pendapatan negara karena GDP merupakan pembilang dari perhitungan Tax Ratio (Sumitro dalam Danny 2013). 2.6.2 Pajak Per Kapita Pajak per kapita memang belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber pendapatan daerah. Namun, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif alat hitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya. Pajak per kapita menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Semakin tinggi pajak per kapita akan meningkatkan PAD, akan semakin tinggi dana yang tersedia untuk dialokasikan (salah satunya alokasi ke 13 belanja modal) sehingga semakin tinggi stimulus peningkatan indeks pembangunan manusia. Gregory dalam DJPK (2013) menekankan bahwa rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun, semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu, seperti statistik yang lebih baik, pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut: Pajak Pajak Per Kapita = PDRB X PDRB X 100% ……….(1) Jumlah Penduduk 2.6.3 Upaya Pajak Upaya pajak merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah. Upaya pajak didefinisikan sebagai rasio antara penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan tarif pajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak standar. Upaya pajak berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya pajak yang semakin besar yang berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagai : (1) rasio antara kapasitas fiskal 14 dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan upaya fiskal (Nanga, 2005). Sedangkan menurut Adi (2006), upaya pajak dapat digunakan menganalisis posisi fiskal suatu daerah yaitu untuk dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap kapasitas fiskal. Dengan demikian posisi fiskal sama dengan upaya pengumpulan pajak. Nilai upaya pajak yang diperoleh dari perbandingan penerimaan pajak terhadap kapasitas fiskal tersebut berkisar 01. Untuk menentukan fiskal di suatu daerah apakah lemah atau kuat tergantung standar yang digunakan. Secara sederhana disebutkan, bila upaya fiskal mendekati satu maka dapat dikatakan posisi fiskal suatu daerah kuat, dan bila mendekati 0 posisi fiskal lemah. Upaya pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat adalah produk domestik regional bruto. Dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dari sisi pendapatan secara makro upaya pajak diukur dengan membandingkan realisasi PAD terhadap PDRB. Indikator ini mengukur sejauh mana pemerintah daerah menciptakan pendapatan (generating income) berdasarkan kapasitas dan potensi lingkungan ekonomi di daerahnya (BAPPENAS). Upaya pajak dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Realisasi PAD Upaya pajak = x 100% ………………………… (2) PDRB 15 Upaya pajak merupakan aspek relevan bila dikaitkan dengan tujuan otonomi daerah, yaitu peningkatan kemandirian daerah. Kemandirian daerah seringkali diukur dengan menggunakan PAD, dimana pajak daerah dan retribusi daerah menjadi komponen PAD yang memberikan kontribusi yang sangat besar. 2.6.4 Ruang Fiskal Ruang fiskal merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD untuk membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah seperti pembangunan infrastruktur daerah. Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan belanja bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013). Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin (belanja pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus perekonomian daerah (DJPK, 2013) dan pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing daerah. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Studi Fajar dan Ghozali (2013) menemukan bahwa rasio ruang fiskal tahun lalu 16 berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya dengan arah hubungan yang positif. Ruang fiskal merupakan bagian yang harus mendapat perhatian serius. Ruang fiskal dapat diciptakan dengan meningkatkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan efisiensi anggaran. Ruang fiskal yang tercipta tahun lalu dapat dijadikan tolok ukur untuk merancang ruang fiskal tahun berikutnya, bagaimana cara meningkatkannya, menggunakan strategi apa, dan di sektor apa saja efisiensi harus ditingkatkan. Dengan demikian, alokasi belanja, terutama belanja modal, dapat direncanakan sesuai dengan prioritas pembangunan di daerah (Hidayat 2013). Tinjauan dari sisi teori keagenan, pengelolaan ruang fiskal daerah dapat menyebabkan munculnya masalah-masalah keagenan, terutama pada upaya memperbesar ruang fiskal melalui efisiensi belanja. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa potensi penyelewengan keuangan daerah melalui belanja cukup besar selama ini yang diindikasikan oleh banyaknya kasus korupsi terkait dengan belanja-belanja daerah. Upaya efisiensi belanja tentu akan menimbulkan konflik di antara pihak-pihak yang mempunyai kepentingan di dalamnya, dalam hal ini eksekutif dan legislatif. Jika demikian, maka usaha untuk memperbesar ruang fiskal akan menemui tantangan berat sehingga akan membawa dampak pada kebijakan pengalokasian belanja, khususnya belanja modal (Hidayat 2013). Perhitungan ruang fiskal daerah yaitu total Pendapatan Daerah dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya 17 (earmarked), dan belanja yang sifatnya mengikat yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, kemudian dibagi dengan total pendapatannya (DJPK, 2013). Kebijakan fiskal terdiri dari kinerja fiskal yang meliputi sejumlah konsep yang saling berhubungan. Konsep-konsep tersebut adalah kapasitas fiskal (fiscal capacity), kebutuhan fiskal (fiscal need), upaya fiskal (fiscal effort), dan tingkat kinerja fiskal (fiscal performance level). Dalam hal ini, kemampuan suatu daerah (jurisdiksi) untuk menjalankan tugas fiskalnya sangat ditentukan oleh posisi fiskal dari daerah tersebut, dimana posisi fiskal ditentukan oleh kapasitas fiskal relatif terhadap kebutuhan fiskalnya yakni besarnya pengeluaran yang diperlukan untuk menyediakan layanan publik (Nanga, 2005). Kapasitas fiskal dapat diartikan sebagai kemampuan dari suatu juridiksi untuk meningkatkan penerimaan untuk membiayai pengeluaran atau layanan publik yang menjadi tanggungannya. Kebutuhan fiskal mengukur besarnya pengeluaran di daerah yang diperlukan untuk menjamin tingkat kinerja atau layanan standar. Nilai ini dihitung dari jumlah penduduk yang menjadi sasaran dengan biaya yang diperlukan untuk menyediakan tingkat layanan standar. Konsep kebutuhan fiskal menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Secara teori kebutuhan fiskal bukan ditentukan oleh penerimaan daerah namun justru sebaliknya, yaitu penerimaan daerahlah yang dipengaruhi oleh kebutuhan daerah (Rindayati, 2009). 18 Upaya fiskal merupakan upaya yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan kinerja keuangan daerah. Upaya fiskal didefinisikan sebagai rasio antara penerimaan aktual di dalam juridiksi yang dihasilkan dengan menerapkan tarifpajak terhadap apa yang dapat ditingkatkan dengan menerapkan tarif pajak standar. Upaya fiskal berhubungan dengan indeks kinerja fiskal yang menunjukkan apabila indeks kinerja fiskal yang semakin tinggi menunjukkan bahwa daerah yang bersangkutan memiliki upaya fiskal yang semakin besar yang berarti pula memiliki posisi fiskal yang semakin kuat. Dengan demikian posisi fiskal dapat dihitung atau didefinisikan sebagi : (1) rasio antara kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal dan atau (2) rasio antara tingkat kinerja fiskal dengan upaya fiskal (Nanga, 2005). Kemandirian fiskal daerah menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya. Untuk mengukur derajat kemandirian fiskal daerah/derajat otonomi fiskal daerah yaitu menggunakan rasio antara PAD dengan total penerimaan APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer dari pemerintah pusat (Radianto, 1997; Thesaurianto, 2007). Keadaan fiskal daerah yang terdiri atas penerimaan dan pengeluaran daerah akan memengaruhi kinerja perekonomian daerah berupa PDRB, penyerapan 19 tenaga kerja serta produksi, dan ketahanan pangan. Kinerja perekonomian akan memengaruhi ketahanan pangan. Kondisi ketahanan pangan akan memengaruhi kinerja fiskal karena kapasitas fiskal daerah akan dipengaruhi oleh kondisi masyarakatnya. Keadaan masyarakat dengan daya beli rendah akan menghasilkan pendapatan pajak daerah yang rendah pula sehingga akan menghasilkan kinerja fiskal yang rendah (Situmorang, 2009). 2.7 Kebijakan Fiskal untuk Pembangunan Ekonomi Kebijakan Fiskal diberlakukan pemerintah sebagai sarana fasilitasi dalam penstabilan anggaran keuangan. Kebijakan fiskal berperan dalam memacu laju pertumbuhan daerah sebagai dasar pembangunan nasional. Kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud mencapai tujuan berikut : 1) untuk meningkatkan laju investasi; 2) untuk mendorong investasi optimal secara sosial; 3) meningkatkan kesempatan kerja; 4) untuk meningkatkan stabilitas ekonomi ditengah ketidakstabilan internasional; 5) untuk menanggulangi inflasi; dan 6) untuk meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional (Rindayati, 2009). Dalam hal ini kebijakan fiskal merujuk kepada ukuran-ukuran fiskal yang komplek seperti pajak, subsidi dan pengeluaran pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi. Dengan mengontrol antara 15 sampai 50 persen dari GDP, pemerintah merupakan kekuatan utama dalam menggerakkan perekonomian dibanyak negara berkembang. Jadi berdasarkan volume, kebijakan fiskal berpengaruh secara substansial pada semua lingkaran ekonomi. Kebijakan fiskal memengaruhi kegiatan perekonomian melalui : 1) 20 alokasi dari sumber anggaran terhadap berbagai kegiatan yang merupakan pengeluaran publik, 2) bentuk-bentuk pembiayaan dalam pengeluaran pemerintah dan 3) keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran pemerintah (Todaro, 2000; Musgrave and Peggy, 1989; Jhingan, 2000; Rindayati, 2009). Tantangan dalam penerapan desentralisasi fiskal tidak hanya dalam penentuan strategi pembiayaan yang tepat tetapi juga kepada masalah pengendalian defisit anggaran. Defisit anggaran merupakan penyebab utama ketidakseimbangan makroekonomi, dan mengurangi defisit anggaran merupakan komponen utama pada kebanyakan program penyesuaian. Secara prinsip pengurangan defisit anggaran dapat dilakukan melalui dua hal : 1) dapat dikurangi melalui pengeluaran anggaran, dan 2) peningkatan pendapatan pemerintah. Walaupun kedua pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan, penekanan diberikan kepada pendekatan pertama karena alasan sebagai berikut : 1) Pengurangan pengeluaran anggaran lebih mudah, lebih substansial dan lebih cepat pengurangannya dibandingkan meningkatkan pajak serta peningkatan pajak pendapatan sering memerlukan perubahan dalam sistem pajak dan aturan mengenai pajak yang memakan waktu. 2) Tujuan utama dari program penyesuaian secara struktural adalah dalam arti luas mengurangi aturan negara dalam perekonomian dan menyiapkan insentif untuk meningkatkan produksi serta peningkatan pajak untuk mengelola tingkat pengeluaran yang ada akan bertentangan dengan tujuan dari program penyesuaian struktural (Jhingan, 2000; Todaro, 2000). 21 Dampak dari pengurangan defisit anggaran dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan dapat dikaji lebih lanjut melalui : 1) pengurangan tenaga kerja di sektor publik dan upah, 2) pengurangan investasi publik, 3) pengurangan subsidi dan 4) pengurangan/pemotongan pelayanan publik. Kebijakan fiskal dengan pengurangan pengeluaran publik akan mempengaruhi ekonomi pangan dan ketahanan pangan melalui pengaruh pada harga dan volume dari penawaran dan permintaan tenaga kerja, kredit, komoditi yang dipasarkan dan menyebabkan perubahan dalam infrastruktur sosial dan ekonomi. Penekanan khusus pada pendapatan rumah tangga, permintaan pangan dan produksi pangan. Arah dan intensitas dari pengaruh tersebut tergantung pada pendekatan terhadap pengeluaran untuk publik, kondisi sosial dan ekonomi suatu negara, kerangka waktu dan pada suksesnya program penyesuaian yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi (FAO, 1997 ; Rindayati, 2009). 2.8 Belanja Modal Belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal yaitu pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan dapat menambah aset pemerintah yang selanjutnya meningkatkan biaya pemeliharaan (Mardiasmo, 2004). Pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya 22 adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas asset (Standar Akuntansi Pemerintah/SAP) Dalam SAP, belanja modal dapat dikategorikan ke dalam 5 (lima) kategori utama antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta belanja modal fisik lainnya. Halim, (2007) membagi belanja modal menjadi 2 (dua) bagian : 1) Belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. 2) Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur, seperti pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan dan pembangunan rumah dinas. Belanja Modal memiliki peran yang sangat penting guna meningkatkan infrastruktur publik, sehingga dapat mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi. Mardiasmo (2009:93) menyatakan bahwa secara normatif semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan. Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Peningkatan pelayanan sektor publik secara berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan prasarana 23 publik, investasi pemerintah juga meliputi perbaikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sarana penunjang lainnya. Syaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikan produktivitas (Ismerdekaningsih dan Rahayu, 2002). Dengan ditambahnya infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh pemerintah daerah, diharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di daerah (Harianto dan Adi, 2006). Daniel (2014) menemukan bahwa keserasian belanja daerah berpengaruh positif dan signifikan pada variabel daya saing. Ini berarti semakin tinggi alokasi belanja modal semakin tinggi daya saing daerah. 2.9 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup layak. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat 24 pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya. Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya. (BPS, 2012a:19). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut: Indeks X(i) = Keterangan : …………………………………… (3) X(i) = Komponen IPM ke-i X(min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i X(maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i Untuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Nilai Maksimum dan Minimum dari Setiap Komponen IPM Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan 1. Angka Harapan Hidup (Tahun) 85 25 Standar UNDP 2. Angka Melek Huruf (Persen) 100 0 Standar UNDP 3. Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 15 0 4. Daya Beli (Rupiah PPP) 732.720a 300.000 (1996) 360.000b (1999,dst) Pengeluaran per Kapita Rill Disesuaikan Sumber: BPS, 2012b Keterangan: a) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut: IPM j = ………………………………………… (4) 25 Keterangan: Indeks X(i,j) = Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah ke-j I = 1,2,3 (urutan komponen IPM) J = 1,2 ……….k (wilayah) Rumus yang digunakan dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia menurut Badan Pusat Statistik, 2012 adalah sebagai berikut : IPM = 1/3 (Indeks X1+Indeks X2+Indeks X3) …………………….. (5) Dimana : X1 : lamanya hidup X2 : tingkat pendidikan X3 : standar hidup layak yang menggunakan indikator kemampuan daya beli Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana utama dalam pembangunan. UNDP telah melaksanakan penelitian dan menerbitkan buku Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) yang berisi mengenai perkembangan indeks HDI di seluruh dunia dan pembahasan komprehensif mengenai suatu aspek pembangunan manusia yang menjadi permasalahan dan kepedulian global. IPM ini merupakan indeks komposit atas 3 indeks, yaitu : 1) Indeks harapan hidup, sebagai perwujudan dimensi umur panjang dan sehat (longevity) 2) Indeks pendidikan, sebagai perwujudan dimensi pengetahuan (knowledge) 3). Indeks standar hidup layak, sebagai perwujudan dimensi hidup layak (decent living) 26 1) Indeks harapan hidup Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam perhitungannya, yaitu Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Besarnya nilai maksimum dan minimumnya telah disepakati oleh semua Negara (175 negara) sebagai standar UNDP, yakni 85 tahun sebagai batas atas dan 25 tahun sebagai batas terendah. 2) Indeks pendidikan Perhitungannya menggunakan dua indikator, yaitu : angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (Man Years School [MYS]). Angka melek huruf adalah persentase dari penduduk usia 15 tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis dalam huruf latin atau huruf lainnya. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas di seluruh jenjang pendidikan formal yang pernah dijalani atau sedang menjalani. Indikator ini dihitung dari variabel pendidikan yang tertinggi yang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang ditamatkan dan tingkat pendidikan yang sedang diduduki. Pendidikan dan kesehatan yang baik akan meningkatkan kapasitas serta berperan membuka peluang yang lebih besar untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi (Lanjouw dkk, 2001). Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan dan kualitas pembangunan manusia. 3) Indeks standar hidup layak Perhitungan UNDP menggunakan Produk Domestik Bruto riil yang disesuaikan, sedangkan BPS menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. Agar dapat melihat perkembangan 27 tingkatan dan status IPM UNDP membedakan tingkat IPM berdasarkan empat klasifikasi yakni: low (IPM kurang dari 50), lower-medium (IPM antara 50 dan 65,99), upper-medium (IPM antara 66 dan 79,99) dan high (IPM 80 ke atas). Perlu dicatat bahwa IPM mengukur tingkat pembangunan manusia secara relatif, bukan absolut. Pengukuran IPM telah mengalami beberapa perubahan sejak pertama kali dicetuskan dan yang terpenting adalah indeks tersebut telah disederhanakan sehingga sekarang IPM dihitung secara langsung. 2.10 Penelitian Terdahulu Fhino dan Priyo (2009) meneliti tentang hubungan antara dana alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia, Penelitian ini mengambil daerah penelitian kabupaten/kota di Jawa Tengah, dengan data DAU, Belanja Modal, dan Human Development Index (HDI). Jumlah kabupaten dan kota yang datanya memenuhi syarat untuk diteliti adalah 29 kabupaten dan 6 kota di Jawa Tengah. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik inferensia dengan menggunakan regresi sederhana (simple regression). Hasil penelitiannya adalah belanja modal berpengaruh terhadap IPM atau Human Development Index (HDI). Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat IPM. Denni (2012) meneliti tentang Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah Tahun 2006-2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan 28 data sekunder yang bersumber pada laporan badan pusat statistik (BPS Jateng) khususnya data tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian (studi sensus) Hasil penelitiannya menunjukan perkembangan IPM mengalami peningkatan dengan kategori IPM menengah selama periode tahun 2006-2009 hingga mampu mencapai target IPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan hasil regresi panel menunjukan kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap IPM. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM dan Belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM. Titin (2012) meneliti tentang Pengaruh Alokasi Belanja Langsung Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia (Studi Kasus Pada Pemerintah Kabupaten Kota di Sumatera Selatan). Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data realisasi belanja langsung pemerintah Kabupaten dan Kota di Sumatera Selatan pada tahun 2010. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis statistik inferensial dengan menggunakan regresi sederhana (simple regression). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa belanja langsung tidak dapat memprediksi indeks Pembangunan Manusia. Lilis dan Yohana (2012) meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. Populasi yang diamati dalam Penelitian ini adalah pemerintah Kabupaten dan kota sejawa tengah, pengambilan sampel dilakukan berdasarkan metode purposive sample. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak 29 berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) dan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan belanja modal (BM) terbukti berpengaruh positif terhadap terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Hendarmin, (2012) meniliti tentang Pengaruh Belanja Modal Pemerintah Daerah dan Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kesempatan Kerja dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat, hasil penelitiannya menyatakan bahwa terhadap pertumbuhan ekonomi, hanya variabel investasi swasta yang memiliki pengaruh signifikan namun koefisiennya berslope negatif (bertolak belakang dengan teori ekonomi); sementara variabel belanja modal pemerintah daerah walaupun memiliki slope positif (sesuai dengan teori ekonomi) namun tidak signifikan. Terhadap kesempatan kerja, hanya variabel belanja modal yang memiliki pengaruh signifikan dan memiliki koefisien yang positif (sesuai teori); sementara variabel investasi swasta walaupun memiliki slope positif (sesuai teori) namun tidak signifikan. Terhadap kesejahteraan masyarakat, pengaruh belanja modal pemerintah daerah dan investasi swasta melalui jalur pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, kedua variabel pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, namun slope dari pertumbuhan ekonomi menunjukkan nilai yang negatif (tidak sesuai teori). Secara umum, untuk meningkatkan 30 kesejahteraan di Kalimantan Barat jalur yang dapat digunakan adalah peningkatan belanja modal pemerintah daerah sehingga dapat memperluas kesempatan kerja, yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Nana dan Dwirandra (2012) meneliti tentang Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Pada Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Dan Kemiskinan Kabupaten Dan Kota. Penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode sampling jenuh dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik analisis regresi linier berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan Kinerja keuangan yang terdiri dari rasio kemandirian menunjukan bahwa berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektivitas, rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya antara kinerja keuangan terhadap pengangguran, menunjukkan bahwa kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengangguran, sedangkan antara kinerja keuangan terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa rasio kemandirian berpengaruh positif secara signifikan terhadap kemiskinan, dan rasio efektivitas, rasio efisiensi, serta pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Nur (2013) meneliti tentang Pengaruh Pengangguran, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2007-2011, hasil penelitiannya menyatakan bahwa pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran 31 pemerintah baik secara parsial maupun bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap IPM. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan analisis regresi data panel. model efek tetap (FEM) dengan metode Generalized Least Square (GLS). Setiawan dan Hakim (2013) meneliti tentang Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Penelitian ini menganalisis perilaku Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data-data yang digunakan adalah data sekunder dari berbagai sumber data, yakni buku laporan, dokumen, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan judul penelitian dari Badan Pusat Statistik. Dengan menggunakan Error Correction Model (ECM), paper ini menemukan bahwa PDB dan PPN berpengaruh terhadap IPM dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Estimasi model ECM menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008 berpengaruh terhadap IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi pemerintahan tidak berpengaruh terhadap IPM. Swandewi (2014) meneliti tentang pengaruh dana perimbangan dan kemandirian keuangan daerah terhadap keserasian anggaran dan kesejahteraan masyarakat kada Kabupaten/Kota di Provinsi Bali, hasil penelitiannya menyatakan bahwa dana perimbangan dan kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap keserasian anggaran, namun dana perimbangan tidak signifikan pada tingkat signifikansi 5 persen. Kemandiriaan keuangan daerah, dana perimbangan, dan keserasian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Dana perimbangan tidak berpengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui keserasian anggaran, 32 sedangkan kemandirian keuangan daerah berpengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat melalui keserasian anggaran, penelitiannya menggunakan metode analisis jalur yang merupakan pengembangan dari metode regresi. Selanjutnya Amalia dan Purbadharmaja (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Kemandirian Keuangan Daerah Dan Keserasian Alokasi Belanja Terhadap Indeks Pembangunan Manusia, menyatakan bahwa kemandirian keuangan daerah dan keserasian alokasi belanja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2008-2012. Kemandirian keuangan daerah secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2008-2012. Keserasian alokasi belanja secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Provinsi Bali tahun 2008-2012. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan alokasi belanja pemerintah dalam pelayanan publik terutama di bidang kesehatan dan pendidikan berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Teknik analisis yang digunakan adalah rasio keuangan yang digunakan untuk mengetahui kemandirian keuangan daerah dan keserasian alokasi belanja serta regresi linear berganda.