Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal

advertisement
Harianto
MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN BERBASIS SUMBER
DAYA LOKAL UNTUK PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI
MASYARAKAT
Achieving Local Resource-based Food Reliance for the
Acceleration of Community Nutrition Improvement
Harianto
Staf Pengajar Departemen Agribisnis – FEM, IPB dan Staf Khusus Presiden RI
Bidang Pangan dan Energi
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The concept of food sovereignty and food reliance or some pushes to prioritize local
food are efforts to address the inequality which rises along with globalization and economic
growth. Food reliance and go local are viewed as an effective layer of defense to face the
rapid flow of goods and services from outside. This paper is a review of various secondary
data and the latest information regarding food agricultural socioeconomics. The result
showed that consumption pattern in Indonesia is still dominated by rice. The dependence
on rice has made food security in Indonesia vulnerable to shocks due to rice shortage or rice
price hike in the market. Therefore, various efforts and policies towards a more diversified
household consumption need to be carried out continuously. High dependence on rice has
negative impacts on the development of other local resources-based food production.
These local resources-based foodstuffs have high potential to develop. Policy to enhance
food resilience based on local resources and policy on household nutritional improvement
need not only the role of the central government, but also much greater role of the local
government.
Keywords : food self-sufficiency, nutrition, local food
ABSTRAK
Paham kedaulatan dan kemandirian pangan, ataupun dorongan-dorongan untuk
mengutamakan pangan lokal, adalah salah satu bentuk upaya untuk mengatasi
ketimpangan
yang
muncul
yang
mengiringi
globalisasi
dan
pertumbuhan
ekonomi. Kemandirian pangan dan go local dipandang sebagai salah satu lapis pertahanan
yang efektif untuk menghadapi derasnya arus masuk barang dan jasa dari luar. Tulisan ini
merupakan review dari berbagai data sekunder dan informasi terakhir berkenaan dengan
sosial ekonomi pertanian pangan. Hasil analisis mendapatkan bahwa konsumsi masyarakat
di Indonesia masih didominasi oleh beras. Ketergantungan pada beras ini menjadikan
ketahanan pangan Indonesia memiliki risiko besar untuk terguncang pada saat terjadi
kelangkaan atau peningkatan harga beras di pasar. Oleh sebab itu, berbagai upaya dan
kebijakan untuk membuat konsumsi rumahtangga agar lebih terdiversifikasi perlu terus
dilakukan. Ketergantungan yang tinggi pada beras berdampak negatif bagi perkembangan
produksi pangan yang berbasis sumberdaya lokal lainnya. Bahan pangan yang berbasis
sumberdaya lokal ini memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan. Kebijakan untuk
meningkatkan kemandirian pangan berbasis sumberdaya lokal dan kebijakan untuk
14
Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Sumber daya Lokal untuk Percepatan Perbaikan Gizi
Masyarakat
perbaikan gizi rumahtangga tidak hanya tergantung pada pemerintah pusat, melainkan perlu
peranan pemerintah daerah yang jauh lebih besar.
Kata kunci : kemandirian pangan, gizi, pangan lokal
LATAR BELAKANG
Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi. Sepanjang
tahun 2004–2012 ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 5,8 persen.
Pertumbuhan ekonomi ini diikuti oleh turunnya angka pengangguran dan angka
kemiskinan. Angka pengangguran turun dari 9,9 persen pada tahun 2004 menjadi
6,1 persen pada tahun 2012. Angka kemiskinan turun menjadi 11,6 persen pada
tahun 2012 dari 16,7 persen pada tahun 2004.
Namun demikian, masih banyak permasalahan ekonomi yang perlu diatasi
Indonesia ke depan. Ekonomi Indonesia masih rentan terhadap goncangan
ekonomi internasional. Pada saat harga energi dunia meningkat tajam, pasar
keuangan global terpuruk, atau saat ekonomi kawasan Eropa dan Amerika
merosot, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan yang
nyata. Ketergantungan Indonesia yang tinggi pada impor bahan bakar minyak,
impor bahan baku manufaktur, impor pangan pokok, dan ekspor yang berbasis
bahan mentah, menjadikan goncangan ekonomi dunia segera ditransmisikan ke
perekonomian dalam negeri.
Ekonomi Indonesia juga masih menghadapi kendala yang besar di bidang
keterkaitan antar daerah. Ketersediaan infrastruktur transportasi dan
telekomunikasi yang belum merata menjadikan pergerakan barang dan orang
menjadi relatif mahal. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya hambatan
kelembagaan. Proses desentralisasi dan otonomi daerah memunculkan ekses
negatif berupa aturan-aturan untuk meningkatkan PAD ataupun aturan-aturan
dalam bingkai kemandirian daerah, yang pada gilirannya meningkatkan biayabiaya transaksi. Struktur pasar yang cenderung tidak kompetitif di tingkatan
tertentu dari rantai pemasaran, juga memberikan andil bagi rendahnya keterkaitan
antar daerah. Contohnya, pada bulan Juli 2013, saat Ramadhan, harga daging
ayam di Surabaya sebesar Rp 32 ribu per kilogram dan di Bandung Rp 38 ribu.
Pada bulan yang sama, saat harga cabe merah di Yogyakarta adalah Rp 26 ribu
per kilogram, harga di Bandung Rp 47 ribu. Disparitas harga antardaerah yang
terjadi cukup besar dan mencerminkan efisiensi pergerakan barang yang rendah.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam perekonomian yang masih
tersekat-sekat, menjadikan pertumbuhan tidak tersebar dengan baik. Di banyak
negara berkembang, ketimpangan di bidang infrastruktur menyebabkan arus
barang dan jasa mengalir tidak merata, dan dapat menghasilkan ketimpangan
kesejahteraan dalam masyarakat. Rasio Gini pendapatan, yang didekati dengan
besaran pengeluaran, di Indonesia untuk tahun 2012 adalah sebesar 0,41,
meningkat bila dibandingkan rasio Gini pada tahun 2004 yang sebesar 0,32.
Berbagai upaya perbaikan pemerataan infrastruktur dan peningkatan akses pada
15
Harianto
barang dan jasa untuk daerah-daerah tertinggal, diperkirakan akan dapat
memperbaiki kondisi ketimpangan ini.
Ketimpangan juga dialami pada lingkup global. Proses globalisasi dan
meningkatnya perdagangan internasional, tidak saja membawa kemakmuran
global, tetapi juga ketimpangan kesejahteraan antarnegara. Negara-negara maju
yang memiliki keunggulan kompetitif lebih mampu memperoleh manfaat yang
besar dari perdagangan bebas daripada negara-negara berkembang. Negaranegara berkembang meskipun memiliki keunggulan komparatif untuk berbagai
produk barang dan jasa, namun belum mampu secara maksimal memperoleh
berbagai manfaat dari perdagangan bebas. Keterbatasan dan ketertinggalan di
bidang teknologi, sumber daya manusia, dan modal ditengarai sebagai faktor yang
menyulitkan negara berkembang mengubah keunggulan komparatifnya menjadi
keunggulan kompetitif di pasar internasional.
Paham kedaulatan dan kemandirian pangan, ataupun dorongan-dorongan
untuk mengutamakan pangan lokal, adalah salah satu bentuk “upaya” untuk
mengatasi ketimpangan yang muncul yang mengiringi globalisasi dan
pertumbuhan ekonomi. Kemandirian pangan dan go local dipandang sebagai
salah satu lapis pertahanan yang efektif untuk menghadapi derasnya arus masuk
barang dan jasa dari luar. Barang dan jasa yang mengalir deras masuk dari luar
perlu dikurangi, karena dianggap dapat menekan dan mematikan produsen lokal
serta menciptakan ketergantungan.
KETERGANTUNGAN KONSUMSI DOMESTIK PADA BERAS
Ekonomi Indonesia yang terus tumbuh dicerminkan juga oleh pendapatan
per kapita yang meningkat. Pada tahun 2004, pendapatan per kapita Indonesia
adalah sebesar Rp10,4 juta dan meningkat menjadi sebesar Rp33,3 juta pada
tahun 2012. Pendapatan penduduk ini menyebabkan meningkatnya permintaan
pangan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga yang
meningkat menyebabkan naiknya permintaan berbagai bahan makanan. Rumah
tangga yang meningkat pendapatannya tidak saja meningkatkan kuantitas
konsumsi makanan, tetapi juga menuntut perbaikan kualitas dari bahan makanan
yang dikonsumsi.
Pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia untuk pangan relatif besar.
Pada tahun 2012, pengeluaran untuk pangan menduduki pangsa sebesar 51
persen dari total pengeluaran rumah tangga. Dalam kelompok pengeluaran
pangan, beras menduduki posisi penting. Rata-rata pengeluaran rumah tangga
untuk beras pada tahun 2007 masih sebesar 20 persen dari total pengeluaran
pangan. Untuk tahun 2012, pangsa pengeluaran untuk beras masih di atas 17
persen. Pangsa beras dalam anggaran rumah tangga tentunya semakin penting
pada kelompok masyarakat pendapatan rendah.
Beras merupakan komoditas yang sampai saat ini dianggap memiliki
peranan yang strategis dalam mencapai ketahanan pangan di Indonesia.
16
Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Sumber daya Lokal untuk Percepatan Perbaikan Gizi
Masyarakat
Seberapa jauh setiap rumah tangga memiliki akses terhadap komoditas ini sering
dijadikan patokan keadaan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Bahkan
pada masa lalu, salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan suatu
rumah tangga tergolong miskin atau tidak adalah garis kemiskinan setara beras.
Pentingnya beras dalam ketahanan pangan di Indonesia dapat dilihat pada
kontribusi beras dalam asupan gizi rumah tangga. Beras menyumbang lebih dari
60 persen kebutuhan kalori dan karbohidrat rumah tangga. Keragaman sumber
kalori dapat menjadi indikasi tingkat kesejahteraan rumah tangga. Semakin tinggi
komponen starchy food, termasuk beras, sebagai sumber kalori yang dikonsumsi
rumah tangga, maka semakin rendah kesejahteraan rumah tangga tersebut.
Ternyata bukan saja sebagai sumber kalori dan karbohidrat, beras juga menjadi
sumber utama asupan protein khususnya untuk rumah tangga yang tergolong
miskin. Rumah tangga miskin memperoleh asupan proteinnya lebih dari 40 persen
berasal dari beras.
Pengeluaran yang cukup besar untuk membeli beras menyebabkan harga
beras dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Pada saat berbagai harga
pangan non-beras meningkat, maka dampaknya terhadap konsumsi beras relatif
sangat kecil. Sebaliknya, apabila harga beras meningkat, maka pengaruhnya
terhadap konsumsi berbagai pangan non-beras cukup besar. Hal ini dapat dilihat
pada Tabel 1. Posisi penting beras dalam basket makanan penduduk menjadikan
kebijakan stabilisasi harga beras dan kebijakan untuk menjamin akses penduduk
terhadap beras tetap menjadi perhatian utama. Berbagai upaya untuk melakukan
diversifikasi bahan pangan pokok sampai saat ini belum menunjukkan
keberhasilan.
Tabel 1. Nilai Elastisitas Silang Perubahan Harga Non-beras dan Perubahan
Harga Beras
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Komoditas
(%∆QBeras)/(%∆PNon-beras)
(%∆QNon-beras)/(%∆PBeras)
Serealia lain
Umbi-umbian
Daging
Ikan
Telur
Susu
Sayuran
Buah-buahan
Kacang-kacangan
0,006
0,021
-0,017
-0,017
-0,010
0,005
-0,063
-0,065
0,013
-0,126
-0,163
-0,173
-0,265
-0,211
0,330
-0,267
-0,673
-0,128
Sumber: Handewi (2001). Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan
Timur Indonesia. Disertasi Doktor di Institut Pertanian Bogor.
Ketergantungan yang tinggi pada beras dalam memenuhi gizi masyarakat
memperbesar risiko ketahanan pangan nasional. Beras telah menjadi bahan
17
Harianto
pangan pokok rumah tangga dari Sabang sampai Merauke. Tingkat partisipasi
konsumsi beras melebihi angka 95 persen rumah tangga Indonesia. Rumah
tangga yang di masa lalu menggunakan jagung, ubi, ketela, ataupun sagu sebagai
bahan pangan pokoknya, sebagian besar telah beralih ke beras. Berbagai faktor
dapat disebutkan mengapa rumah tangga lebih memilih beras sebagai bahan
pangan pokok, seperti misalnya karena alasan kepraktisan, mudah diperoleh, lebih
bergengsi, ataupun biaya yang lebih murah untuk sampai siap saji.
Ketergantungan yang tinggi pada beras dalam asupan pangan masyarakat
menjadikan upaya perbaikan gizi semakin berat. Berdasarkan informasi dari
Kementrian Kesehatan, prevalensi kekurangan gizi pada balita di tahun 2010
masih cukup tinggi, yaitu sebesar 17,9 persen. Angka ini sudah jauh lebih baik
daripada prevalensi kekurangan gizi pada balita di tahun 2003 yang sebesar 23,2
persen.
Tingginya tingkat partisipasi konsumsi beras serta penyebaran konsumsi
yang merata secara geografis, memiliki konsekuensi pada pentingnya sistem
distribusi yang efektif dan efisien. Sumber penghasil utama beras adalah di
Indonesia bagian barat, terutama di pulau Jawa, sedangkan konsumennya
tersebar di seluruh tanah air. Tanpa adanya sistem distribusi yang baik, rumah
tangga konsumen beras di Indonesia bagian timur akan mengalami kesulitan untuk
memperoleh akses terhadap beras. Apalagi rumah tangga di Indonesia bagian
timur umumnya memiliki pendapatan yang lebih rendah daripada rumah tangga di
bagian barat. Tentunya tidak adil jika rumah tangga dengan pendapatan yang lebih
rendah justru harus membeli kebutuhan pokoknya, yaitu beras, dengan harga yang
lebih tinggi.
PERLUNYA DIVERSIFIKASI KONSUMSI SELAIN BERAS
Beras merupakan komoditas utama yang dihasilkan petani tanaman
pangan. Pendapatan petani ini ditentukan oleh jumlah produksi yang dihasilkannya
dan harga yang diterima bagi produknya. Luas lahan yang digarap petani bahkan
cenderung semakin sempit. Oleh sebab itu peningkatan pendapatan usahatani
padi dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan atau peningkatan
harga yang diterima petani. Berdasarkan data yang ada, produktivitas usahatani
padi semakin sulit untuk ditingkatkan. Jadi peluang yang ada untuk meningkatkan
pendapatan petani adalah peningkatan harga.
Permasalahan muncul saat akan memutuskan kebijakan yang ditujukan bagi
peningkatan harga padi atau beras. Beras saat ini masih menjadi bahan pangan
terpenting bagi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Beras
menyumbang mayoritas konsumsi kalori penduduk Indonesia dan juga konsumsi
protein. Dengan kata lain, apabila harga beras menjadi mahal maka pemenuhan
kecukupan kalori dan protein rumah tangga atau ketahanan pangan rumah tangga
akan semakin terganggu.
Permasalahan kebijakan tidak saja muncul dipandang dari sudut konsumen
beras secara umum, tetapi juga apabila dipersempit menjadi konsumen di
18
Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Sumber daya Lokal untuk Percepatan Perbaikan Gizi
Masyarakat
pertanian dan perdesaan. Sebagian terbesar petani di Indonesia adalah petani
yang memiliki lahan sempit (petani gurem) dan buruh tani. Untuk petani gurem
dan buruh tani ini, padi yang dihasilkannya sering tidak mencukupi untuk konsumsi
keluarganya sehingga pada dasarnya petani gurem dan buruh tani bertindak
sebagai net consumers. Harga beras yang tinggi dengan demikian belum tentu
menguntungkan bagi petani yang jumlah produksi berasnya lebih kecil daripada
jumlah beras yang dikonsumsi. Harga beras yang tinggi akan lebih
menguntungkan petani yang memiliki lahan luas atau yang memiliki jumlah surplus
produksi yang besar.
Banyak pihak yang menaruh harapan pada program diversifikasi untuk
memecahkan permasalahan di atas. Namun dari hasil yang dicapai saat ini dapat
dikatakan program diversifikasi belum berhasil. Program diversifikasi telah
dicanangkan sejak tahun 1974, tetapi ternyata hingga sekarang beras masih
merupakan sumber kalori yang dominan dalam konsumsi pangan rumah tangga
(Tabel 2).
Tabel 2. Sumber Konsumsi (kilokalori/kapita/hari) Anjuran Dibandingkan Kondisi
Konsumsi Aktual Tahun 2005.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Kelompok Pangan
Serealia
Umbi-umbian
Daging dan ikan
Minyak dan lemak
Buah/Biji berminyak
Kacang-kacangan
Gula
Sayuran dan buah-buahan
Lain-lainnya
Total
Anjuran
Aktual 2005
1.000
120
240
200
60
100
100
120
60
2.000
1.241
73
139
199
51
67
99
93
35
1.997
Sumber: Susenas (diolah)
Pada dasarnya diversifikasi akan berhasil jika pendapatan masyarakat
meningkat. Tanpa adanya upaya peningkatan pendapatan, maka program
diversifikasi akan terus mengalami kegagalan. Ada pendapat dalam teori ekonomi,
yang disebut sebagai Bennett Law, yang menyatakan bahwa semakin tinggi
tingkat kemakmuran masyarakat maka komposisi sumber kalori yang berasal dari
bahan pangan starchy akan semakin menurun. Diversifikasi secara otomatis akan
terjadi apabila pendapatan masyarakat meningkat. Pada saat pendapatan rumah
tangga meningkat, konsumsi akan bergeser menuju pada sumber kalori dan
protein yang lebih bermutu tinggi.
Saat ini semakin sulit mengandalkan pada kebijakan-kebijakan atau
intervensi pemerintah pusat yang memerlukan pembiayaan anggaran.
19
Harianto
Kemampuan pemerintah pusat dari sisi fiskal semakin terbatas. Sebagain besar
anggaran telah digeser atau disalurkan ke daerah otonom (kabupaten ataupun
kota). Kemampuan pemerintah pusat yang semakin mengecil tentunya perlu
diimbangi oleh peranan pemerintah daerah otonom yang lebih besar lagi dalam
mendukung pembangunan pertanian. Keterbatasan kemampuan ini dapat dilihat
pada semakin menurunnya kualitas sarana dan prasarana pertanian dan
perdesaan. Kompetisi dalam pemanfaatan anggaran semakin besar, karena
adanya berbagai tuntutan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar, seperti subsidi
bahan bakar, pembayaran utang, belanja pegawai, penanganan pengungsi dan
bencana alam. Sedangkan ada tuntutan lainnya yang juga penting, yaitu
ketahanan fiskal dalam bentuk surplus yang harus semakin besar dalam
pendapatan dan belanja negara agar pinjaman pemerintah mampu semakin
dikurangi.
Berbagai upaya yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani
ternyata menghadapi berbagai kendala. Sebagian besar petani Indonesia adalah
petani berlahan sempit, buruh tani, ataupun petani semi-subsisten. Bagi petani
yang masih memiliki ciri subsisten, maksimisasi pendapatan (keuntungan
usahatani) sering bukan tujuan, sebaliknya tujuannya adalah meminimalkan risiko,
baik risiko produksi maupun konsumsi. Kebijakan yang berupa insentif harga
belum tentu efektif dalam mempengaruhi keputusan petani yang memiliki sifat
subsisten. Hal yang sama dialami oleh kebijakan teknologi. Adopsi teknologi baru
juga relatif lambat terjadi di kelompok petani subsisten.
KEMANDIRIAN PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL
Sumber bahan makanan rumah tangga Indonesia berasal dari produksi
dalam negeri dan dari impor. Indonesia termasuk importir utama untuk berbagai
makanan pokok seperti beras, gandum, kedelai, jagung, dan gula. Konsumsi gula
domestik hampir setengahnya dicukupi melalui impor. Kondisi yang sama berlaku
bagi pemenuhan kebutuhan kedelai. Impor bahan makanan yang relatif besar
tentunya dapat meningkatkan risiko ketahanan pangan.
Tabel 3. Impor Pangan Pokok Indonesia Tahun 2012
Komoditas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Beras
Gandum
Tepung terigu
Jagung
Kedelai
Gula rafinasi
Kuantitas (dalam juta ton)
1,8
6,3
0,5
1,5
1,9
2,8
Sumber: Kementerian Pertanian (2013), BPS (2013), Kementerian Perindustrian (2013)
20
Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Sumber daya Lokal untuk Percepatan Perbaikan Gizi
Masyarakat
Harga bahan pangan pokok di pasar internasional yang sering bergejolak
menyebabkan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas harga pangan di dalam
negeri menjadi semakin sulit. Pada masa lalu gejolak harga pangan di pasar dalam
negeri dapat diredam dengan memanfaatkan harga bahan pangan pokok di pasar
internasional yang relatif stabil. Saat ini kondisi yang sebaliknya terjadi, dimana
gejolak harga di pasar internasional ditransmisikan ke pasar domestik yang
harganya relatif stabil.
Harga bahan pangan di pasar internasional semakin mudah bergejolak
akibat semakin eratnya korelasi antara harga pangan dengan harga energi.
Terjadi kompetisi penggunaan biji-bijian antara untuk pangan, pakan, dan energi.
Harga energi yang relatif volatile di pasar internasional berimbas pada harga
bahan pangan. Harga bahan pangan di pasar dunia juga semakin bergejolak,
terutama di pasar future komoditas, pada saat pasar finansial mengalami tekanan.
Ketergantungan yang besar pada bahan pangan impor ternyata
memunculkan risiko makroekonomi yang nyata. Harga bahan pangan yang
meningkat di pasar internasional dapat menimbulkan inflasi di dalam negeri, yang
bersumber dari volatile price bahan makanan. Inflasi yang meningkat ini direspon
oleh pengelola moneter atau Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga.
Impor bahan pangan yang besar juga memberi beban yang berat pada neraca
perdagangan Indonesia. Pengaruh volatile price bahan makanan terhadap
makroekonomi ini pada akhirnya dapat menekan daya saing perekonomian secara
keseluruhan.
Indonesia yang memiliki sistem ekonomi yang terbuka aktivitas impor bukan
sesuatu yang dilarang. Di samping importir bahan pangan penting, Indonesia juga
eksportir bahan pangan yang besar. Indonesia adalah negara pengekspor utama
produk kelapa sawit, kopi, kakao, dan berbagai produk tanaman perkebunan
lainnya. Indonesia juga menjual ke luar negeri produk kehutanan, seperti kayu dan
rotan.
Impor dan ekspor adalah aktivitas yang tidak dapat dielakkan bagi negaranegara yang tidak autarki. Impor memiliki sisi positif, yaitu (1) dapat memperoleh
produk dengan harga yang lebih murah, (2) meningkatkan keragaman produk yang
tersedia, (3) meningkatkan kompetisi dan efisiensi di pasar domestik, dan (4)
mempercepat pertukaran dan alih teknologi. Namun impor juga dapat membawa
dampak negatif, yaitu (1) tertekannya produsen domestik, (2) membebani
cadangan devisa, (3) meningkatkan ketergantungan, (4) dan dapat memunculkan
misalokasi sumber daya domestik. Misalokasi terjadi jika sumber daya untuk
pangan dalam negeri masih banyak yang menganggur, tetapi impor pangan terus
meningkat. Keluhan utama yang sering muncul sebagai protes atas impor pangan
adalah impor dapat menimbulkan ketergantungan dan memperlemah kedaulatan
ekonomi, sosial, dan pertahanan negara.
Berbagai dampak negatif akibat ketergantungan pada bahan pangan impor
menyebabkan kuatnya dorongan untuk adanya kemandirian pangan. Kemandirian
pangan memerlukan syarat yang lebih ketat dibanding ketahanan pangan. Jika
dalam ketahanan pangan yang dipentingkan adalah akses setiap orang terhadap
pangan, baik melalui produksi dalam negeri ataupun impor, maka kemandirian
21
Harianto
pangan disamping mementingkan akses juga mengutamakan sumber bahan
pangan dari domestik. Semakin tinggi komponen impor dalam konsumsi pangan
rumah tangga, maka semakin rendah kemandirian pangan.
Impor pangan dianggap berbeda dengan impor mesin, peralatan, bahan
baku dan bahan penolong untuk manufaktur. Impor bahan pangan habis untuk
dikonsumsi, dan tidak meningkatkan kapasitas produktif negara. Sebaliknya impor
mesin dan peralatan, tidak saja meningkatkan kapasitas produktif dalam negeri
tetapi juga dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar. Impor bahan
pangan juga dianggap menghamburkan devisa yang mahal bagi keperluan yang
lebih rendah nilainya dibandingkan impor barang modal dan bahan baku.
Bahan pangan pokok dinilai lebih murah dihasilkan dengan menggunakan
sumber daya dalam negeri daripada impor. Bahan pangan dapat dihasilkan
dengan menggunakan tenaga kerja dan sumber daya tanah, yang secara ekonomi
relatif murah di negara-negara berkembang. Tenaga kerja dan tanah yang
menganggur pada dasarnya memiliki biaya imbangan (opportunity cost) yang
rendah dan bahkan mendekati nol. Untuk memproduksi pangan lokal, petani dapat
memanfaatkan sumber daya dan fasilitas yang sudah tersedia secara lokal.
Derajat subsistensi di sisi input dan output rumah tangga petani yang
menghasilkan pangan lokal umumnya cukup tinggi. Petani menggunakan tenaga
kerja keluarga sendiri, menggunakan benih atau bibit dari hasil panen sebelumnya,
dan sebagian hasilnya dikonsumsi untuk keperluan rumah tangga.
Katergantungan pada pasar relatif rendah bagi petani penghasil pangan lokal ini.
Bahan pangan lokal memiliki ciri yang antara lain (1) diproduksi tidak jauh
dari tempat konsumsinya, (2) mengutamakan pemakaian sumber daya lokal, (3)
teknologi yang digunakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi penduduk
setempat, dan (4) lebih ramah lingkungan. Jika bahan pangan produksi lokal
diharapkan mampu memiliki peranan dalam perbaikan gizi ataupun ketahanan
pangan masyarakat, sifat dari produksi pangan berbasis sumber daya lokal yang
cenderung subsisten tentunya perlu diubah. Perlu ada upaya-upaya serius untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas bahan pangan lokal. Untuk itu, perbaikan
dan peningkatan akses petani kepada teknologi tepat guna perlu diperluas.
Teknologi tepat guna yang diperkenalkan hendaknya memiliki risiko produksi yang
dapat diterima petani.
Pengembangan bahan pangan dengan menggunakan sumber daya lokal
juga memerlukan berbagai kondisi atau prasyarat untuk dapat berkelanjutan.
Dengan meminjam pikiran Mosher (1966) dalam bukunya Getting Agriculture
Moving, maka diperlukan empat syarat dari 5 syarat yang dituliskan Mosher.
Syarat tersebut adalah: (1) a market for the products, (2) adaptability to changing
technologies, (3) locally available inputs such as equipment and supplies, dan (4)
increasing the quality and amount of agricultural land. Tanpa hadirnya empat
prasyarat ini, maka sulit mengharapkan bahan pangan lokal mampu bersaing
dengan bahan pangan yang selama ini sudah dominan menempati anggaran
rumah tangga.
22
Mewujudkan Kemandirian Pangan Berbasis Sumber daya Lokal untuk Percepatan Perbaikan Gizi
Masyarakat
KESIMPULAN
Konsumsi rumah tangga di Indonesia masih didominasi oleh beras.
Kontribusi beras dalam anggaran rumah tangga dan dalam menyumbang asupan
gizi masih tinggi. Ketergantungan pada beras ini menjadikan ketahanan pangan
Indonesia memiliki risiko besar untuk terguncang pada saat terjadi kelangkaan
atau peningkatan harga beras di pasar. Oleh sebab itu, berbagai upaya dan
kebijakan untuk membuat konsumsi rumah tangga agar lebih terdiversifikasi perlu
terus dilakukan. Selama beras dianggap memiliki keunggulan relatif dari aspek
harga, kandungan gizi, dan kemudahan memperoleh dan menyajikan, maka akan
sulit mengurangi dominasi beras dari menu makanan pokok rumah tangga.
Ketergantungan yang tinggi pada beras juga membawa dampak negatif bagi
perkembangan produksi pangan yang berbasis sumber daya lokal lainnya. Bahan
pangan yang berbasis sumber daya lokal ini memiliki potensi tinggi untuk
dikembangkan. Bahan pangan lokal memiliki manfaat strategis dalam (1) meredam
ketergantungan pada bahan pangan impor, (2) meningkatkan ketersediaan pangan
lokal, (3) menciptakan peluang ekonomi di perdesaan, dan (4) memperbaiki
diversifikasi dan asupan gizi rumah tangga.
Kebijakan untuk meningkatkan kemandirian pangan berbasis sumber daya
lokal dan kebijakan untuk perbaikan gizi rumah tangga tidak hanya tergantung
pada pemerintah pusat, melainkan perlu peranan pemerintah daerah yang jauh
lebih besar. Pemerintah daerah adalah pihak yang mengetahui dengan baik
potensi dan permasalahan yang dihadapi daerahnya. Dengan demikian, berbasis
“lokal” tidak hanya dalam pengertian sumber daya tetapi juga dalam arti berbagai
upaya dan kebijakan lokal.
Pemerintah daerah dapat melakukan pemantauan terhadap dinamika aspek
produksi, perdagangan, industri, sampai konsumsi bahan pangan, bahkan
melakukan peramalan bagi pemenuhan kebutuhan pangan di daerahnya.
Pemerintah daerah juga perlu mewaspadai goncangan-goncangan yang dapat
terjadi di pasar bahan pangan dan dampaknya bagi ketahanan pangan masyarakat
di wilayahnya. Pengalaman masa lalu tentang penerapan Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi (SKPG) dapat dijadikan rujukan, terutama bagi daerah-daerah
yang rawan kekurangan pangan, untuk meningkatkan efektivitas intervensi
kebijakan oleh daerah dalam mengatasi permasalahan pangan dan gizi bagi
rumah tangga miskin.
23
Download