BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atlet Atletik 2.1.1 Pengertian Atlet Atletik Atletik merupakan suatu cabang olahraga tertua yang telah dilakukan oleh manusia sejak zaman purba sampai saat ini. Dapat dikatakan bahwa sejak manusia berada di muka bumi ini, atletik sudah ada karena gerakan-gerakan atletik berkaitan dengan gerakan-gerakan yang terdapat dalam cabang olahraga atletik seperti berjalan, berlari, melompat, dan melempar adalah gerakan-gerakan yang dilakukan manusia di dalam kehidupan sehari-hari (Gilang.dkk, 2007). Dalam olahraga atletik terdapat beberapa semboyan yaitu citius, alitus, dan fortunis atau dalam bahasa Indonesia menjadi lebih cepat, lebih tinggi dan lebih kuat. Atletik dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas jasmani yang terdiri dari gerakan alamiah manusia seperti berjalan, lari, lompat, tolak dan lempar. Atletik memiliki nilai-nilai edukasi yang memegang peranan penting terhadap perkembangan jasmani, bahkan sebagai dasar bagi peningkatan prestasi atlet cabang olahraga lainnya (Nenggala, 2007). Perlombaan atletik meliputi nomor perlombaan jalan cepat, lari, lompat dan lempar. Dengan kata lain bahwa atletik merupakan jenis olahraga yang meliputi berbagai macam pertandingan dengan keahlian yang berbeda-beeda. Namun terdapat dua jenis hal pokok yaitu track (lintasan) dan field (lapangan). Track terdiri dari lari jarak dekat, jarak sedang, dengan rintangan dan lain-lain dan field terdiri dari melempar dan melompat (dalam Irwansyah, 2006). Atletik mulai dikenal sejak masa penjajahan Hindia Belanda di Indonesia. Pada masa itu masyarakat sendiri belum mengenal atletik secara luas. Kalangan penajajah kemudian membentuk NIAU (Nederland Indische Athletik Unie), yaitu sebuah organisasi yang menyelenggarakan perlombaanperlombaan atletik. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) pada tanggal 3 September 1950 di Semarang. Kegiatan pertama yaitu pada akhir tahun itu juga PASI menyelenggarakan perlombaan atletik di Bandung (dalam Muhajar,2007). Dalam dunia olahraga, dikenal banyak sekali cabang olahraga, antara lain adalah atletik, pemainan, senam dan beladiri. Dari keempat cabang olahraga tersebut atletik memiliki peran yang penting, karena gerakan-gerakannya merupakan gerakan dasar bagi cabang olahraga lainnya. Menurut Aip Syarifuddin (1992) bearasal dari bahasa Yunani yaitu Athlon yang memiliki arti pertandingan, perlombaan, pergulatan atau perjuangan, sedangkan orang yang melakukannya dinamakan Athleta (Atlet). Kata atlet sering digunakan sebagai sebutan untuk seseorang yang biasanya dikaitkan dengan olahraga. Seseorang disebut sebagai atlet apabila seseorang tersebut adalah seorang olahragawan yang mengikuti sebuah perlombaan atau pertandingan yang meliputi kekuatan ketangkasan dan kecepatan dalam bidang olahraga. Selain itu dikatakan sebagai atlet apabila seseorang itu ahli dalam satu cabang olahraga dan memiliki prestasi (berprestasi) dari cabang olahraga tersebut. Hakikat dari kata atlet banyak diungkapkan oleh beberapa ahli. Menurut Basuki Wibowo (2002), atlet adalah subjek atau seseorang yang berprofesi atau menekuni suatu cabang olahraga tertentu dan berprestasi pada cabang olahraga tersebut, sedangkan menurut Peter Salim (1991) atlet adalah olahragawan, terutama dalam bidang yang memerlukan kekuatan, ketangkasan dan kecepatan. Selain itu menurut Monty P (2002), atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri yang memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang yang mempengaruhi spesifik dalam dirinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, atletik merupakan olahragawan, terutama yang mengikuti perlombaan atau pertandingan (kekuatan, ketangkasan dan kecepatan (Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Dapat disimpulkan bahwa atletik merupakan cabang olahraga yang mendasari semua cabang olahraga lainnya. Atletik terdiri dari lima nomor yaitu jalan, lari, lompat berjalan dan lempar. Olahragawan yang melakukan kegiatan dalam atletik disebut sebagai atlet. 2.2 Sport Confidence (keprcayaan diri) Kepercayaan diri merupakan sebuah kemampuan individu dalam mengevaluasi tingkah lakunya secara keseluruhan sehingga ia akan melakukan sesuatu sebagaimana yang diharapkan olehnya (Lenney, 1997). Menurut Burns, kepercayaan diri adalah salah satu aspek kepribadian yang terbentuk dalam interaksi individu dengan lingkungannya terutama lingkungan sosial. Kepercayaan diri juga merupakan sikap mental seseorang dalam menilai diri sendiri maupun objek yang berada di sekitarnya sehingga seseorang mempunyai keyakinan akan kemampuan dirinya untuk dapat melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuannya (Rini, 2002). Menurut Lauster (1992), kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang berkaitan dengan keyakinan akan kemampuan diri seseorang sehingga tidak terpengaruh oleh orang lain dan dapat bertindak sesuai dengan kehendak yang di inginkan, gembira, optimis, cukup toleran dan bertanggung jawab. Kepercayaan diri berhubungan dengan kemampuan melakukan sesuatu yang baik, dengan kata lain individu yang percaya diri harus mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik (Supriyanto, 2013). Dalam teori Bandura kepercayaan diri dikenal sebagai self efficacy. Menurut Bandura self efficacy merupakan: “ Self efficacy is an individual’ judgment of his or her capabilities to organize and execute a course of action required to attain a desired performance (Bandura, 1997., hal. 260)” “ Efficacy expectations are derived from four sources of information: performance accomplishments (i.e., doing well during an athletic event), vicarious experiences (i.e., seeing peers and role models doing well in athletics), verbal persuasion (i.e., receiving encoutagement and support from significant others) and emotional / physical arousal (e.g., your heart is pounding indicating you are ready for competition)” (Bandura,1986., hal. 260). Dari kutipan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa self efficacy menurut Bandura adalah penilaian mengenai beberapa baik seseorang dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mengatasi situasi tugas tertentu dan berkaitan dengan persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasikan tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu. Baron dan Byrne (2000), mengemukakan bahwa self efficacy adalah penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensi untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan dan menghasilakan sesuatu. Menurut Schultz (1994), self efficacy merupakan perasaan seseorang terhadap kecukupan yang dimilikinya, efisiensi dan kemampuan seseorang dalam mengatasi kehidupan (Feist&Feist, 2006). Kepercayaan diri juga disebut dengan istilah self confidence. Self confidence merupakan modal utama seseorang atlet untuk dapat maju, karena pencapaian prestasi yang tinggi dan pemecahan rekor atlet itu sendiri harus dimulai dengan percaya bahwa ia dapat dan sanggup melampaui prestasi yang pernah dicapai. Atlet junior mungkin melakukan latihan dan pertandingan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan keinginannya. Rasa takut akan gagal mungkin mencekam atlet junior tersebut. Apabila pengalaman yang didapatkan hasilnya mengecewakan dan menimbulkan frustasi, maka akibatnya akan merugikan perkembangan atlet. Bahkan dapat menyebabkan atlet junior tersebut tidak mau ikut serta lagi dalam latihan dan pertandingan (Setyobroto, 2002). Menurut Singer (1984), pengalaman olahraga bagi seorang anak sangat penting. Apabila hal tersebut menghasilkan hasil yang positif serta menyenangkan maka mereka akan terlibat terus dalam kegiatan olahraga tersebut seumur hidup dan sebaliknya apabila mereka mendapatkan pengalaman yang negatif atau mengecewakan mereka akan mengundurkan diri dari kegiatan olahraga selamanya. Didalam bidang olahraga kepercayaan diri dikenal dengan istilah sport confidence. Menurut Vealey (1986), mendefinisikan sport confidence sebagai keyakinan individu mengenai kemampuan untuk berhasil dalam olahraga. Menurut Singer (Setyobroto, 2005), percaya diri merupakan perasaan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan apa yang harus dilakukan. Sport confidence terkait dengan kemampuan mental yang penting dalam kesuksesan pada performance atlet. Self confidence lebih berkaitan dengan beberapa poin saja seperti teori Bandura yaitu self efficacy theory, competence motivation theory Harte’s (Bagherpour, dkk, 2012). Berdasarkan teori Self- efficacy Bandura, Vealey mengembangkan model self confidence yang berfokus pada olahraga. Dalam modelnya tersebut, sport confidence melihat seberapa tingkatan yang dimiliki oleh atlet terkait dengan kemampuannya untuk bekerja atau mengerjaka tugas secara sukses dalam olahraga (David 2014). Dalam model Vealaey sport confidence dapat di bagi menjadi dua yaitu State dan Trait. State confidence lebih berkaitan dengan ekspresi kepercayaan atlet tentang tugas yang spesifik atau pertandingan pada saat tertentu. Sedangkan Trait terkait dengan tipe tingkatan atlet tentang kemampuan mereka untuk berhasil dalam waktu tertentu. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, terdapat beberapa istilah yang terkait dengan kepercayaan diri, yaitu: Self esteem: merupakan sejauh mana kita melihat perasaan positif terhadap diri kita, sejauh mana kita memiliki sesuatu yang kita rasakan bernilai atau berharga dari diri kita, sejauh mana kita meyakini adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat, dan berharga di dalam diri kita. self efficacy : sejauh mana kita mempunyai keyakinan atas kepastian yang kita miliki untuk dapat atau bisa menjalankan tugas atau menangani persoalan dengan hasil yang bagus (to succeed), ini yang disebut dengan general general self efficacy. Dengan kata lain sejauh mana kita meyakini kapasitas kita dibidang kita dalam menangani urusan tertentu, ini di sebut dengan specific self efficacy self confidence : merupakan sejauh mana kita memiliki keyakinan terhadap penilaian kita atas kemampuan kita dan sejauh mana kita bisa merasakan adanya kepantasan untuk berhasil. Menurut James Neill (2005) self confidence merupakan kombinasi dari self efficacy. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka kepercayaan diri diartikan sebagai tingat keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk berhasil pada situasi olahraga tertentu. 2.2.1 Dimensi sport confidence Berdasarkan model sport confidence yang dikembangkan oleh Vealey dan Knight (dalam Horn, 2008) mengindentifikasikan tiga dimensi dalam sport confidence, yaitu: 1. Physical skills and Training Merupakan tingkat keyakinan atau kepercayaan atlet bahwa dirinya memiliki kemahiran dan keterampilan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. 2. Conitive Efficiency Merupakan berkaitan dengan bagaimana atlet dapat atau mampu fokus, mengatur konsentrasi dan membuat keputusan yang sesuai. 3. Resilience Merupakan keyakinan yang dimiliki atlet bahwa mereka mampu fokus, mampu bangkit kembali setelah mengalami performance yang buruk, mampu bangkit kembali dan memecahkan masalah. Berikut ini adalah bagan dari model sport confidence menurut Vealey. Gambar 2.1 Model Sport confidence menurut Vealey Giacobbi, dan Garner – Homan (1998) menemukan Sembilan sumber sport confidence: 1. Mastery: merupakan informasi yang diterima oleh individu tentang kemampuan yang dimiliki dirinya, dapat berupa persuasi verbal dari orang lain sehingga individu mempercayai dirinya bahwa ia mampu mengatasi masalah. 2. Demonstration of ability: merupakan keyakinan bahwa dirinya dapat menunjukkan kemampuan pada orang lain dan dapat membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan yang lebih baik karena berhasil mengalahkan lawan. 3. Physical / mental preparation : kesiapan secara fisik dan kesiapan secara mental yang dirasakan oleh atlet 4. Physical self presentation :merupakan perasaan- perasaan individu yang positif mengenai tubuh fisik atau citra tubuhnya, sehingga berpengaruh positif terhadap perasaan individu tentang dirinya secara umum 5. Social support: merupakan dukungan yang menyenangkan yang diperoleh individu dari lingkungan sosialnya, berbentuk ungkapan, penghargaan, ungkapan cinta kasih, pemberian informasi, pemberian saran secara verbal maupun nonverbal. 6. Coaches’ Leadership : berkaitan dengan kepemimpinan pelatih yang meliputi aspek pembuatan keputusan, teknik motivasi, memberikan umpan balik dan mengarahkan kelompok atau suatu regu dengan penuh percaya diri 7. Vicarious experiences: adanya observasi kemudian meniru penampilan orang lain yang nantinya akan diterapkan ke dirinya sendiri 8. Environmental comfort: kenyaman kondisi fisik lingkungan yang dihadapi atlet, seperti cuaca, tempat bertanding dan fasilitas yang ada untuk mendukung pertandingan atau latihan. 9. Situational favorableness: merupakan perasaan bahwa siatuasi pertandingan sesuai dengan keinginannya. Misalanya saaat pihak panitia pelaksanaan pertandigan turut mendukung atlet yang bersangkutan Gambar 2.2 Nine sources of sport confidence (Vealey, Hayashi, GarnerHolman, & Giacobbi, 1998). 2.3 Motivasi Berprestasi 2.3.1 Pengertian motivasi berprestasi Menurut Silva III dan Weinberg (1984), mengatakan bahwa untuk menjadi pelatih yang baik maka seseorang harus menjadi motivator yang baik, karena yang menentukan prestasi seorang atlet pada akhirnya adalah atlet itu sendiri bukan sang pelatih dan pelatih hanya lebih banyak memberikan bimbingan, petunjuk serta dorongan-dorongan. Menurut Thomas F. Staton (1968), seseorang belajar hanya bila ia memiliki kemauan untuk belajar. Kemauan dalam belajar ini menunjukan bahwa individu yang bersangkutan mempunyai motivasi untuk belajar. Dalam proses latihan mungkin pelatih sudah merasa memberikan pelajaran atau latihan dengan sebaikbaiknya dalam membina anak asuhnya, tetapi bila anak asuhnya tersebut tidak memiliki motivasi untuk belajar atau berlatih maka hasil yang didapatkan tidak akan memuaskan. Atlet tanpa memiliki motivasi untuk berprestasi akan sulit untuk didorong berprestasi (Setyobroto, 2002). Motivasi berasal dari bahasa latin yaitu movere yang memiliki arti “menggerakan” (to move). Terdapat beberapa rumusan terkait motivasi (dalam Winardi, 2008), yaitu: “Motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, pengarahan dan terjadinya persistensi kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan kea rah tujuan tertentu” (Mitchell, 1982). Definisi lain tentang motivasi menyatakan bahwa: “Motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap entusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu” (Gray,dkk.,1984). Beberapa ahli menyatakan bahwa motivasi perlu memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang menimbulkan dan mengarahkan aktivitas-aktivitas seseorang (Atkinson, 1964). Adapula pendapat yang menyatakan bahwa motivasi berkaitan dengan bagaimana perilaku diawali, dienerji, dipertahankan, diarahkan, dihentikan dan jenis reaksi subjektif macam apa terdapat di dalam organisme yang bersangkutan sewaktu segala hal yang dikemukakakan berlangsung (Jones, 1955). Motivasi (Santrock,2010) adalah proses yang memberikan semangat, arah dan kegigihan perilaku. Dengan kata lain perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Motivasi dapat diartikan sebagai energy atau kekuatan seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasismennya dalam melaksanakan suatu kegitan. Baik yang berasal dari dalam dirinya yang biasa disebut motivasi intrinsik atau dari luar individu yang biasa disebut sebagai motivasi ekstrinsik (Yudhamawati & Haryanto, 2011). Motivasi yang dimiliki oleh individu akan menentukan kualitas perilaku yang ditampilkannya serta berkaitan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja atau prestasi seseorang (Yudhamawati & Haryanto, 2011). Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003), mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator diantarnya yaitu, durasi kegiatan, frekuensi kegiatan, presistensi pada kegiatan, ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam menghadapi rintangan dan kesulitan, devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan, tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan, tingkat kualifikasi prestasi atau out put yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan dan arah sikap terhadap sasaran kegiatan (Yudhawati & Haryanto, 2011). Menurut Abraham H. Maslow dalam teori kebutuhan, motivasi berkaitan pada pendapat bahwa manusia memiliki lima hierarchy of needs. Dimana bila sutu kebutuhan telah terpenuhi kebutuhan tersebut tidak lagi menjadi motivator (Hersey, 1996). Teori Maslow ini telah memberikan fondasi dan mengilhami pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif (Yudhawati & Haryanto, 2011). Menurut Herzberg, motivasi dijelaskan dalam two-factor theory. Yang dimaksud dengan two-factor theory adalah terdiri dari Motivational factor dan hygiene factors. Motivational factor merupakan berkaitan dengan hal-hal yang mendorong berprestasi yang sifatnya intrinsik yang berarti berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan hygiene factors merupakan faktor-faktor yang sifatnya ekstrinsik yang bersumber dari luar diri yang turut untuk menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan seseorang (Yudhawati & Haryanto, 2011). Menurut Edwin Locke (Nana 2005), mengemukakan bahwa terdapat empat mekanisme motivasi (Yudhawati & Haryanto, 2011), yaitu: 1. Tujuan-tujuan mengarahkan perhatian 2. Tujuan-tujuan mengatur upaya 3. Tujuan-tujuan meningkatkan persistensi 4. Tujuan-tujuan menunjang strategi-strategi dan rencana-rencana kegiatan. Menurut McClelland (1987), mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai usaha untuk mencapai sukses atau berhasil dalam kompetisi dengan suatu ukuran keunggulan yang dapat berupa prestasi orang lain maupun prestasi sendiri. Lindgern (1976), mengemukakan hal yang senada bahwa motivasi merupakan suatu dorongan yang ada pada seseorang sehubungan dengan prestasi yaitu menguasai, memanipulasi serta mengatur lingkungan sosial maupun fisik, mengatasi segala rintanagn dan memelihara kualitas kerja yang tinggi, bersaing melalui usaha-usaha untuk melebihi hasil kerja yang lampau, serta mengungguli hasil kerja yang lain. Menurut Gagne dan Barline (1975), motivasi berprestasi adalah cara seseorang untuk berusaha dengan baik untuk prestasi, sedangkan Santrock (2003) menjelaskan bahwa motivasi berprestasi merupakan keinginan untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu standart kesuksesan dan untuk melakukan suatu usaha dengan mencapai kesuksesan (Supriyanto, 2012). Dalam teorinya McClelland (Walgito, 2010), mengemukakan bawa motif sosial merupakan motif yang kompleks dan merupakan sumber dari banyak perilaku atau perbuatan manusia. Motif sosial merupakan hal yang penting untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku individu dan kelompok. McClelland (1976) juga berpendapat bahwa individu mempunyai cadangan energi potensial, yang mana energi ini dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi, serta peluang yang tersedia. Teori motivasi berprestasi (Achievement motivation theory) merupakan teori yang dikenalkan oleh David McClelland, namun teori ini didasari oleh teori kebutuhan Maslow (Simamora, 2009). McClelland (1976), berpendapat bahwa motivasi dapat dibedakan dalam tiga hal, yaitu: 1. Need of Achievement Motivasi untuk berprestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Individu yang memiliki motivasi atau need ini akan meningkatkan performance, sehingga dengan demikian akan terlihat kemampuan berprestasinya. Menurut Koesther (Frey, Hartig, & Rupp, 2009) individu yang memiliki motivasi berprestasi adalah individu motivasinya bersifat intrinsik. Ciri-ciri individu yang menunjukan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, senang dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka. Need of Achievement merupakan motivasi untuk berprestasi, karena itu individu akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Individu perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasi tersebut. Ciri-ciri dari individu yang memiliki high achievement adalah: a. Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat. Dengan kata laun individu ini memilih untuk menghindari tujuan prestasi yang mudah dan sulit, serta cenderung menetapjan tujuan prestasi yang dianggap mampu mereka raih dan mengambil resiko yang telah diperhitungkan. b. Menyukai situasi-situasi dimana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri bukan karena faktor-faktor lain seperti keberntungan c. Menginginkan feed beck tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah (Yudhawati & Haryanto, 2011). 2. Need of Power Dalam interaksi sosial, individu akan mempunyai motivasi untuk berkuasa. Need of power adalah keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain (Robbins,2003). McClelland menyatakan bahwa motivasi untuk berkuasa sangat berhubungan dengan motivasi dalam mencapai suatu posisi kepemimpinan. Need of Power adalah motivasi terhadap kekuasaan. Individu memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Individu yang memiliki power of need yang tinggi akan mengadakan control, mengendalikan atau memerintah orang lain, dan ini merupakan salah satu indikasi atau salah satuu manifestasi dari need of power tersebut. Ciri-ciri dari individu yang memiliki need of power yang tinggi (Robbins, 2003) adalah: a. Menyukai pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan b. Suka bertanggung jawab c. Berjuang untuk memengaruhi individu lain d. Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari sebuah organisasi dimanapun dia berada e. Senang ditempatkan dalam siatuasi yang koperatif dan berorietasi status f. Melakukan sesuatu untuk dapat mempengaruhi orang lain dan dapat mengekspresikan motif kekuasaannya g. Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi. 3. Need of Affiliation Afiliasi menunjukan bahwa individu memiliki motivasi untuk berhubungan dengan individu lainnya. Motivasi untuk berafiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan untuk mempunyai hubungan yang erat, selalu mencari teman dan mempertahankan hubungan yang telah dibina denga individu lain tersebut, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain (Robbins, 2003). Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interksi sosial yang tinggi. Orang-orang dengan need of affiliation yang tinggi ialah orang yang berusaha mendapatkan persahabatan. Ciri –ciri orang yang memiliki need of affiliation yang tinggi (Robbins, 2003) adalah: a. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya dari pada segi tugas-tugas yang ada dalam pekerjaan tersebut b. Melakukan pekerjaannya lebih efektif apabila bekerjasama dengan orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif c. Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain d. Lebih suka bersama dengan orang lain dan selalu berushaa menghindari konflik e. Berjuang untuk bersahabat f. Lebih menyukai situasi-situasi yang kooperatif dari pada situasi –situasi yang kompetitif g. Menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat pengertian mutual yang tinggi 2.3.2 Faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi Terdapat beberapa faktor dan kondisi yang mempengaruhi prestasi seorang atlet terdiri dari beberapa factor yaitu, (Gunarsa dalam Adisasmito, 2007): 1. Sehat fisik dan mental Kondisi fisik atlet memegang peranan penting dalam menjalankan peranan penting dalam menjalankan program latihannya. Program latihan kondisi fisik haruslah direncanakan secara baik, sistematis dan ditujukan untuk meningkatkan kesegaran jasmani dan kemampuan fungsional dari system tubuh sehingga dapat menimbulkan atlet mencapai yang lebih baik sesuai harapan. Fisik seorang atlet juga menentukan prestasi atlet seperti yang dikatakan M. Sajoto (1988), bahwa “kondisi fisik adalah salah satu syarat yang sangat diperlukan dalam setiap usaha peningktan prestasi atlet, bahkan dapat dikatakan dasar landasan titik tolak suatu awalan prestasi”. Kondisi merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan, baik peningkatannya maupun pemeliharaannya, artinya bahwa setiap usaha peningkatan kondisi fisik, maka harus mengembangkan semua komponen tersebut walaupun perlu dilakukan prioritas. Merupakan suatu kesatuan organis yang memungkinkan motivasi berprestasi berkembang, yang meliputi, kebugaran, emosi, motivasi dan sebgainya. 2. Lingkungan yang sehat dan menyenangkan Suhu yang normal, udara yang bersih dan sehat, sinar matahari yang cukup, bersih dan rapih serta keadaan sekitar yang cukup menarik merupakan lingkungan yang dapat mendorong motivasi atlet untuk berprestasi. 3. Fasilitas lapangan dan alat yang lengkap dan baik untu latihan Berkaitan dengan kondisi lapangan yang baik dan menarik serta peralatan yang baik akan memperkuat motivasi atlet 4. Olahraga yang sesuai dengan bakat dan naluri atlet Pertandingan dan permainan merupakan saluran dan sublimasi (memperhalus dorongan-dorongan negative) unsur bawaan atau naluri, seperti ingin tahu, keberanian, ketegasan, sifat memberontak, agrasif dan sebagainya. Olahraga yang tepat sesuai dengan unsur naluri akan mengembangkan motivasi secara baik. 5. Pegaturan aktivitas latihan yang menarik Program latihan yang teratur dan dikemas dengan menarik akan memberikan motivasi yang tinggi pada atlet 6. Atlet bantu audio-visual Dengan melibatkan alat bantu audio visual, dapat dilakukan evaluasi dalam latihan sehingga dapat meningkatkan motivasi yang tinggi pada atlet untuk berlatih dengan lebih bersemangat. 7. Metode latihan Pemilihan metode yang sesuai akam membuat atlet dalam proses latihan. Dalam proses latihan sebaiknya pelatih memulai dari hal yang diketahui sampau hal yang tidak diketahui. Dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks, dan dari yang pasti menuju yang tidak pasti. Dari penjelasan di atas, terdapat beberapa unsur pribadi yang dapat mempengaruhi prestasi seseorang atlet selain faktor lingkungan, unsur pribadi atle tersebut yaitu: sehat secara fisik dan mental dan olahraga yang sesuai dengan bakat dan naluri atlet. Unsur pribadi atlet berhubungan dengan motivasi yang pada khususnya akan di fokuskan kepada motivasi berprestasi. Menurut Adisasmito (2007), menjelaskan beberapa ciri-ciri atlet yang memiliki motivasi tinggi yaitu: 1. Pemilihan tugas yang menantang Cenderung memiliki aktivitas yang lebih menantang tetapi tidak berada di atas taraf kemampuan dan cenderung memilih aktivitas yang sederajat dengan kesulitan pada tingkay sedang dan memberikan peluang atau memungkinkan mereka untuk berhasil. Mereka cenderung menghindari tugas yang terlalu mudah, karena sedikitnya tantang atau sedikitnya kepuasan yang didapat. 2. Bertanggung jawab Berkaitan dengan kedisiplinan secara pribadi pada hasil kinerjanya dan mereka lebih bertanggung jawab. Dengan hal ini mereka dapat merasa puas saat pada menyelesaikan suatu tugas dengan baik. 3. Tekun Tekun di sini berkaitan dengan ketekunan dalam mengerjaka tugas yang diberikan serta tidak mudah menyerah dan cenderung untuk terus mencoba menyelesaikan tugas yang diberikan. 4. Melakukan evaluasi Dalam melakuka evaluasi tidak hanya mengevaluasi dalam keberhasilan mereka saja melainkan kegagalan yang dialaminya juga. Kemudian meminta umpan balik terhadap pelatih merupakan suatu upaya atlet dalam melakukan evaluasi kemampuannya. 5. Inovatif Hal ini berkaitan dengan gerakan serta penampilan yang dikeluarkan dan mencari cara baru yang kreatif untuk menyelesaikan tugasnya. 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian ini mengembangkan sebuah kerangka berfikir berdasarkan fenomena atlet atletik PASI di lapangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara sport confidence dengan motivasi berprestasi pada atlet atletik PASI. Berikut ini merupakan kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian: Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Subjek penelitian ini adalah atlet atletik PASI. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dapat di tarik kesimpulan bahwa terdapat kendala dalam proses latihan dan saat pertandingan yang terjadi pada atlet junior, kendala ini berkaitan dengan kurangnya keinginan dan lebih berkembang dari sebelumnya. Kemudian pada saat berlatih pelatih bersikap tegas karena jika para atlet tidak di didik secara tegas para atlet kurang memiliki keinginan untuk menjadi lebih maju. Variabel 1 yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sport confidence dan Variabel 2 adalah Motivasi berprestasi (Need of Achievement). Dari fenomena di atas dapat di tarik rumusan masalah bahwa penelitian ini ingin mengetahui apakah ada hubungan antara Sport confidence dengan motivasi berprestasi pada atlet atletik PASI.