sms bunda

advertisement
SUSUNAN PENGURUS
Pelindung
Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa
Kebidanan Indonesia (IKAMABI)
Rizqotul Maghfiroh Rojuli
Universitas Airlangga
Penyunting Ahli
Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd. M.Kes
Universitas Airlangga
Dwi Iz’zati, S.Keb., Bd. M. Sc
Universitas Airlangga
Yulizawati, SST, M.Keb
Universitas Andalas
Board of Director
Yuseva Sariati, SE, SST, M.Keb
Universitas Brawijaya
Winda Rinawan, S.Keb
Universitas Brawijaya
Redaksi
Pimpinan Umum
Bintang Dwita Dewantari
Universitas Airlangga
Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga
Zulfa Navila F.S.J Universitas Airlangga
Fajar Dwi P. Universitas Airlangga
Resti Zulhaijah Universitas Airlangga
Dian Rahma U.S Universitas Brawijaya
Sekretaris
Atika Nadia
Public Relation
Bendahara
Puput Maulidah Universitas Brawijaya
Erni Rosita Dewi Universitas Airlangga
Siwi Arum Sari W. Poltekes Kemenkes Semarang
Yuniarti Arsitasari Universitas Negeri Sebelas Maret
Universitas Airlangga
Romadhinniar Febriana
Universitas Airlangga
Tata Letak dan Layout
Zukhaila Salma Universitas Airlangga
Wanda Mardhotillah Universitas Gajah Mada
Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya
Rizka Sriyouni Universitas Andalas
i
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
DAFTAR ISI
ISSN : 2442 — 9171
Susunan Pengurus ......................................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................................................ ii
Petunjuk Penulisan ....................................................................................................................................... iv
Sambutan Pimpinan Umum ...................................................................................................................... x
PENELITIAN
Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri Haid Di Asrama Mu’alimat
Surakarta
Miladiyah Rahmawati, Mujahidatul Musfiroh, Sri Anggarini P
....................................................................................................................................................................................................... 1
Hubungan Umur dengan Penilaian Cadangan Ovarium pada Pasien Infertil
Rita Defiyenti, Ashon Sa’adi K., Kasiati, Atika
....................................................................................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Partus Prematurus Imminens pada Usia Kehamilan Setelah 34 Minggu
Wafda Ardhian Latansyadiena
....................................................................................................................................................................................................... 12
PENYEGAR
Peran Suami dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Antenatal Care
Dewa Ayu Mirah Indrayani, Nofi Nurul Fadilla
....................................................................................................................................................................................................... 20
Percepatan Afirmasi Positif dalam Gelombang Alfa dengan Musik Relaksasi Guna Menstimulasi Hormon Oksitosin dalam Proses Pengeluaran ASI
Fanisa Mutiara Apriliani, Tesha Rosyida N.A.
....................................................................................................................................................................................................... 26
SMS BUNDA : Selamatkan Generasi Bangsa Sejak Awal Kehidupan
Yuni Irawati, Lulu Latifah
....................................................................................................................................................................................................... 28
ii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
DAFTAR ISI
ISSN : 2442 — 9171
LAPORAN KASUS
Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin dengan Preeklampsia Berat, Ketuban Pecah Preterm,
Anemia, dan Haemorrhage Post Partum Et Causa Atonia Uteri
Farida Fitriana, Ivon Diah Wittiarika, Lilik Hidayati
....................................................................................................................................................................................................... 31
iii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
PETUNJUK PENULISAN
Pedoman Penulisan Artikel
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi)
Indonesian Midwifery Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh
peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan.
Petunjuk Bagi Penulis :
1.
BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.
2.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah
menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi
(1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman
judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka.
3.
Naskah dikirim melalui email ke alamat [email protected] dan [email protected]
dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
4.
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai
berikut:
a.
Judul
b.
Nama penulis dan lembaga pengarang
c.
Abstrak
d.
Naskah (Text), yang terdiri atas:

Pendahuluan

Metode

Hasil

Pembahasan

Kesimpulan

Saran
e. Daftar Rujukan
5.
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti
sistematika sebagai berikut :
iv
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
a.
Judul
b.
Nama penulis dan lembaga pengarang
c.
Abstrak
d.
Naskah (Text), yang terdiri atas:
e.
6.

Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

Pembahasan

Kesimpulan

Saran
Daftar Rujukan
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut:
7.
a.
Pendahuluan
b.
Isi
c.
Kesimpulan (Penutup)
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai
berikut:
a.
Judul
b.
Nama penulis dan lembaga pengarang
c.
Abstrak
d.
Naskah (Text), yang terdiri atas:
e.
8.

Pendahuluan

Laporan kasus

Pembahasan

Kesimpulan
Daftar Rujukan
Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font
Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak
digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali
singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan
menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.
9.
Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan katakata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari
pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari
terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.
10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari
250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak.
Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan).
v
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda
yang ditulis dari umum ke khusus.
12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic).
13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan.
14. Ucapan terima kasih
15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai
dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut:
Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :
Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan
nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran
dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku
[…]
Contoh penulisan sitasi :
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang
(invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini
adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1]
Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan
dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun
terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk
dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah
tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga
mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin
yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah
sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional
cacing
tanah
dipercaya
dapat
meredakan
demam,
menurunkan
tekanan
darah,
menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2]
A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Penulis Tunggal
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.
Dengan dua atau tiga orang penulis
Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic).
Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday,
vi
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope,
the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.
Lebih dari tiga penulis
Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.
Editor sebagai penulis
Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.
Penulis dan editor
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun
terbit.
Contoh:
Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956.
Penulis berupa tim atau lembaga
Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.:
Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.
Karya multi jilid/buku berseri
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.
Terjemahan
Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah.
Contoh:
Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London:
Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du
vii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
savoir, 1969.
Artikel atau bab dalam buku
Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku.
Contoh:
Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical
Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78.
Brosur, pamflet dan sejenisnya
Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.
2. SERIAL
Artikel jurnal dengan volume dan edisi
Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman
Contoh:
Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.”
Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.
3. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Buku Online
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan
tahun akses <link online buku>
Contoh:
Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://
www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.
Artikel jurnal online
Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan
tahun akses jurnal <link online jurnal>
Contoh:
Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.”
Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/
calax.htm>
Artikel di website
viii
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
“judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link
online artikel>
Contoh:
“Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue
University.
6
Februari
2003.
<http://owl.english.purdue.
edu/handouts/research/
r_mla.html>.
Publikasi lembaga
Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya.
Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>
Contoh:
United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National
Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29
June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.
ix
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami
dapat menerbitkan BIMABI Volume 4 nomor 1. Pada kesempatan ini juga
saya ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim penerbit, penulis,
dan mitra bebestari serta seluruh mahasiswa kebidanan di Indonesia yang
telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI di awal tahun 2016.
Selain itu saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Ikatan Bidan
Indonesia (IBI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia
(AIPKIND) serta Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia
(IKAMABI) yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam
menyelesaikan beberapa hambatan selama proses pembuatan jurnal.
Saya berharap dengan diterbitkannya BIMABI Volume 4 nomor 1 ini,
bisa meningkatkan minat menulis dan publikasi artikel ilmiah mahasiswa
kebidanan di Indonesia. Besar harapan saya pula BIMABI bisa berkontribusi
untuk kemajuan keilmuan kebidanan di Indonesia.
Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada BIMABI volume 4 nomor 1 ini. Semoga apa yang telah
dilakukan bisa bermanfaat bagi kita semua.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh
Surabaya, 17 Januari 2016
Bintang Dwita Dewantari
(Pimpinan Umum)
x
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Penelitian
PENGARUH SENAM ANTI NYERI HAID
TERHADAP INTENSITAS NYERI HAID DI
ASRAMA MU’ALIMAT SURAKARTA
Miladiyah Rahmawati1, Mujahidatul Musfiroh1, Sri Anggarini
P2
1
Program Pendidikan DIV Bidan Pendidik, Fakultas Kedokteran UNS
2
Program Pendidikan DIII Kebidanan Fakultas Kedokteran
UNS
ABSTRAK
Pendahuluan : Nyeri haid merupakan rasa sakit yang menyertai haid sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari. Salah satu pencegahannya dengan melakukan
senam anti nyeri haid secara teratur. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh
senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta.
Metode : Desain praeksperimen dengan rancangan one group pretest posttest. Teknik
sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling dengan jumlah 37 responden yang diberikan intervensi senam anti nyeri haid dan dilakukan antara 2 siklus haid.
Uji analisis menggunakan uji Wilcoxon dengan program SPSS versi 18 for windows.
Hasil : Seluruh responden mengalami penurunan intensitas nyeri haid dengan 91,9%
tidak nyeri dan 8,1% mengalami nyeri ringan dan nilai signifikansi p sebesar 0,000.
Kesimpulan : Ada pengaruh senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid pada
siswi di Asrama Mu’alimat Surakarta.
Kata kunci : Senam Anti Nyeri Haid, Nyeri Haid
ABSTRACT
Introduction. Menstrual pain is sickness that accompanies menstruation which can
cause disruption in work or daily activity. Prevention can be done by doing anti menstrual pain gymnastics regularly. The objective of this study is to determine the effectiveness of anti-menstrual pain gymnastics to menstrual pain intensity in Mu’alimat Dormitory Surakarta.
Methods. Pre-experiment design in this study was one group pretest posttest design.
Sampling technique used purposive sampling technique,done by 37 respondents whom
given anti menstrual pain gymnastics intervention and carried out between 2 menstrual
cycles. Technique of Analyzing Data was using Wilcoxon test in SPSS version 18 for
Windows software.
Result. All respondents experienced
the decrease in the intensity of painful
menstruation with 91,9 % did not pain and 8.1 % had been mild pain and p value
significance of 0.000.
Conclusion. There is an effectiveness of anti-menstrual pain gymnastics on menstrual
pain intensity of female students in Mu’alimat Dormitory Surakarta.
Keywords : Anti Menstrual Pain Gymnastics, Menstrual Pain
1. PENDAHULUAN
Nyeri haid yang dialami sebagian
besar wanita di Indonesia timbul akibat
kontraksi distrimik miometrium yang
menampilkan satu gejala atau lebih, mulai
dari nyeri ringan sampai berat di perut
bagianbawah, bokong dan nyeri spasmodik di sisi medial paha [1].
1
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Nyeri haid dibagi menjadi dua
bagian, yaitu nyeri haid primer dan nyeri
haid sekunder[2] . Nyeri haid juga memerlukan penanganan seperti halnya dengan
rasa nyeri yang lain, sehingga aktivitas
sehari-hari tetap dilanjutkan. Cara mengantisipasi nyeri haid yang dapat dilakukan
salah satunya adalah olahraga teratur[1] .
Olahraga secara teratur bermanfaat
untuk membantu mengurangi nyeri haid
karena akan memicu keluarnya hormon
endorfin yang dinilai sebagai pembunuh
alamiah untuk rasa nyeri. Hormon endorfin
adalah zat yang dihasilkan oleh otak yang
akan mengirimkan sinyal-sinyal ke sistem
saraf. Hormon endorfin berfungsi sebagai
obat penenang alami, sehingga menimbulkan rasa nyaman. Kadar endorfin ini dapat
ditingkatkan dengan aktivitas olahraga
[3,4,5]
.
Olahraga yang dapat dilakukan salah
satunya adalah senam. Senam anti nyeri
haid merupakan gerakan senam dilakukan
sebelum haid untuk membebaskan rasa
nyeri saat haid. Gerakan ini sangat sederhana, terdiri atas gerakan pelemasan dan
peregangan otot. Gerakan senam ini bukanlah aerobik, sehingga dapat dilakukan
sendiri di rumah[6] .
Berdasarkan studi pendahuluan
yang telah dilakukan pada siswi Asrama
Mu’alimat Surakarta diperoleh hasil dari 10
responden, 5 responden mengalami nyeri
ringan, 4 responden mengalami nyeri sedang dan 1 responden mengalami nyeri
berat. Upaya penanganan nyeri haid yang
dilakukan oleh sebagian siswi masih sebatas penanganan yang terbatas yaitu dengan membiarkannya, mengoleskan minyak kayu putih atau balsem pada
daerah yang nyeri, dan tiduran.
Berdasarkan hal tersebut, penulis
tertarik untuk meneliti “Pengaruh Senam
Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri
Haid di Asrama Mu’alimat Surakarta”.
jumlah 57 orang. Teknik sampling yang
digunakan adalah purposive sampling.
Jumlah sampel yang diambil oleh peneliti
adalah 37 responden.
Instrumen untuk mengukur skala
nyeri haid sebelum maupun setelah akupresur adalah lembar observasi Numerical
Rating Scale (NRS) yang sudah baku.
Penelitian terdiri dari pretest, intervensi,
dan posttest. Tahap pretest dilakukan
wawancara saat responden mengalami
nyeri haid dan mempunyai riwayat nyeri
haid. Lalu responden diberikan penjelasan
untuk menilai data secara subjektif. Setelah responden selesai haid, responden
diberikan intervensi senam anti nyeri haid
dan dilakukan antara 2 siklus haid ( +3
minggu x 3 kali senam ) dengan dilakukan
observasi saat senam oleh peneliti. Pengambilan data kedua atau posttest dilakukan setelah senam anti nyeri haid diberikan dan responden sudah mengalami
haid lagi.
Analisis data penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat.
Analisis univariat meliputi distribusi frekuensi dan persentase sebelum dan sesudah senam anti nyeri haid. Analisis
bivariat
untuk mengetahui pengaruh
senam anti nyeri haid terhadap intensitas
nyeri haid. Uji statistik menggunakan Wilcoxon karena data berskala nominal ordinal. Pada uji statistik Wilcoxon, hipotesis
alternatif diterima apabila nilai probabilitas
(p) < 0,05 dan ditolak jika nilai nilai probabilitas (p) > 0,05.
3. HASIL PENELITIAN
A. Analisis Univariat
Grafik 1. Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Setelah Senam Anti Nyeri
Haid
2. METODE PENELITIAN
Jenis
penelitian
adalah
pra
eksperimen dengan one-group pretest
posttest design. Penelitian dilakukan di
Asrama Mu’alimat Surakarta dari bulan
Desember 2014 sampai Juli 2015.
Objek penelitian yaitu siswi Asrama
Mu’alimat Surakarta yang mengalami nyeri
haid dan memiliki riwayat nyeri haid se-
2
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Berdasarkan grafik dapat diketahui
bahwa intensitas nyeri haid sebelum
dilakukan senam anti nyeri haid sebagian
besar responden mengalami intensitas
nyeri sedang yaitu sebanyak 16 responden
dengan persentase 43,2%. Sedangkan
intensitas nyeri haid setelah dilakukan
senam anti nyeri haid adalah responden
tidak mengalami nyeri yaitu sebanyak 34
responden dengan persentase 91,9 %.
B. Analisis Bivariat
Tabel 1. Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid
Terhadap Intensitas Nyeri Haid di
Asrama Mu’alimat Surakarta
sebelum setelah
Negative Ranks
N
0a
Positive Ranks
37b
Ties
0c
Total
37
Sumber: Data primer, 2015
Berdasarkan hasil Wilcoxon Signed
Rank pada tabel di atas menunjukkan
bahwa terdapat 37 responden dengan
hasil intensitas nyeri haid setelah dilakukan
senam anti nyeri haid menurun daripada
sebelum dilakukan senam anti nyeri haid, 0
responden tetap, dan 0 responden yang
mengalami peningkatan tingkat nyeri haid
setelah dilakukan senam anti nyeri haid.
Tabel 2. Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid
Terhadap Intensitas Nyeri Haid di
Asrama Mu’alimat Surakarta
Z
Asymp. Sig.
(2-tailed)
Sebelum - Sesudah
-5.428a
,000
Pada hasil perhitungan dengan
menggunakan uji statistik Wilcoxon didapatkan nilai significancy p-value 0,000
(p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ha diterima sehingga ada pengaruh yang bermakna antara senam anti
nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di
Asrama Mu’alimat Surakarta.
4. PEMBAHASAN
Hasil
perhitungan
dengan
menggunakan uji statistik Wilcoxon,
didapatkan nilai significancy p-value 0,000
(p<0,05) maka artinya Ha diterima yang
menyatakan
ada
pengaruh
yang
bermakna antara senam anti nyeri haid
terhadap intensitas nyeri haid di Asrama
Mu’alimat Surakarta.
Senam anti nyeri haid merupakan
gerakan senam untuk membebaskan rasa
nyeri saat haid. Senam anti nyeri haid
dapat menghilangkan atau setidaknya
mengurangi rasa sakit saat haid[6].
Melakukan latihan secara teratur dan
konsisten dapat menghilangkan atau
setidaknya mengurangi rasa sakit saat
haid. Latihan atau pergerakan pada
senam dapat mengurangi sekresi hormon
prostaglandin, dan meningkatkan hormon
endorfin dan memintas darah menjauhi
uterus[7] .
Nyeri
haid
disebabkan
oleh
prostaglandin yang membuat otot-otot
rahim
berkontraksi,
sehingga
menyempitkan
suplai
darah
ke
endometrium[8]. Latihan atau pergerakan
pada senam yang dilakukan secara terus
menerusdapat meningkatkan hormon
endorfin. Endorfin bekerja sebagai
neurotransmiter di otak untuk mengurangi
penyaluran dan persepsi nyeri. Hipofisis
melepaskan endorfin sebagai respon
terhadap
olahraga
dan
selama
pengalaman nyeri[9] .
Saat nyeri haid terjadi, beberapa
otot mengalami ketegangan. Latihan
tubuh atau senam yang dilakukan dapat
menolong otot-otot yang mengalami
ketegangan untuk menjadi relaks. Otototot uterus yang mengalami ketegangan
ketika diberikan latihan tubuh atau senam
yang terfokus pada bagian panggul,
menyebabkan
otot-otot uterus
yang
tegang mengalami relaksasi, menguatkan otot, tulang dan jaringan pengikat
tubuh serta dapat memperlancar aliran
darah di rongga panggul sehingga mengurangi kontraksi berlebih dari otot-otot
rahim dan nyeri pun berangsur-angsur
berkurang[10].
Pengaruh senam atau latihan fisik
akan memberikan perubahan fisiologi
yang hampir terjadi pada setiap sistem
tubuh. Latihan fisik akan memberikan
pengaruh yang baik terhadap berbagai
macam sistem yang bekerja di dalam
tubuh, salah satunya adalah sistem
3
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
kardiovaskuler, di mana dengan latihan
fisik yang teratur akan terjadi membuat
jantung semakin kuat dan dapat memompa
memompa lebih banyak darah ke pembuluh darah yang menyalurkan darah keseluruh tubuh terutama organ reproduksi.
Aliran darah lancar, maka nyeri haid tidak
begitu dirasakan[11] .
Wanita yang berolahraga sekurang kurangnya satu kali seminggu dapat menurunkan intensitas rasa nyeri dan ketidaknyamanan pada bagian bawah abdominal.
Pada wanita yang aktif secara fisik dilaporkan kurang terjadinya nyeri saat haid.
Olahraga yang dilakukan secara teratur
dapat memperlancar aliran darah pada otot
di sekitar rahim sehingga akan meredakan
rasa nyeri pada saat haid[1] .
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Penelitian yang
dilakukan oleh Suparto (2009) berjudul
Efektivitas Senam Dismenore dalam Mengurangi Dismenore pada Remaja Putri di
SMUN 2 Sumenep dengan metode one
group pretest post test design, diperoleh
hasil nilai signifikansi yaitu 0,000 yang
nilainya lebih kecil dari 0,05 yang berarti
pemberian senam dismenore sangat efektif
untuk mengurangi dismenore[12] .
Nyeri haid dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain faktor kejiwaan,
faktor konstitusi, faktor obstruksi kanalis
servikallis, faktor endokrin atau hormonal
dan faktor alergi. Faktor lainnya yang dapat memperburuk Nyeri haid adalah rahim
yang menghadap ke belakang (retroversi),
kurang berolahraga, stres psikis atau stres
sosial[8].
Nyeri adalah bentuk suatu rasa
sensorik ketidaknyamanan yang bersifat
subjektif dan individual dan kemungkinan
nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang
yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri[13].
Berdasarkan hasil penelitian dan
didukung dengan penelitian lain, maka
dapat disimpulkan bahwa senam anti nyeri
haid memberikan efek yang nyata
pada penanganan nyeri haid atau ada
pengaruh yang bermakna antara senam
anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri
haid di Asrama Mu’alimat Surakarta
sehingga senam anti nyeri haid efektif
dalam mengurangi nyeri haid.
5. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Intensitas nyeri haid sebelum
dilakukan senam anti nyeri haid
sebagian besar responden
menga-lami tingkat nyeri sedang
yaitu sebanyak 16 responden
dengan persentase 43,2%, 14
responden mengalami nyeri
ringan (37,8%), dan 7 responden
mengalami nyeri berat (19%).
2. Intensitas nyeri haid setelah
dilakukan senam anti nyeri haid
adalah sebagian responden tidak
mengalami nyeri yaitu sebanyak
34 responden dengan persentase
91,9% dan 3 responden
mengalami nyeri ringan dengan
persentase 8,1%.
3. Ada pengaruh senam anti nyeri
haid terhadap intensitas nyeri
haid di Asrama Mu’alimat
Surakarta
dengan
hasil
signifikansi p=0,000.
B. Saran
1. Bagi Responden
Responden diharapkan dapat
melakukan senam anti nyeri haid
sebelum menstruasi secara mandiri agar tingkat nyeri haid dapat
dikurangi.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan mampu memberikan penyuluhan maupun seminar untuk menurunkan nyeri
haid secara non-farmakologis
bagi remaja putri yaitu dengan
senam anti nyeri haid.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya disarankan
untuk mem-perhatikan faktor yang
dapat mempengaruhi rasa nyeri
seperti kecemasan dan lingkungan.
4
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
DAFTAR PUSTAKA
1. Anugoro, D dan Ari W. Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid. Yogyakarta: ANDI,
pp.49, 79, 2001
2. Manuaba, dkk. Buku Ajar Penuntun
Kuliah Ginekologi. Jakarta:TIM, pp.
631-6, 2010.
3. Haruyama, S. The Miracle Of Endorphin : Sehat Mudah dan Praktis dengan Hormon Kebahagiaan. Bandung:Qonita, pp.72-3, 2011.
4. Kumalasari, I dan Iwan A. Kesehatan
Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan
dan
Keperawatan.
Jakarta:Salemba Medika, pp.72, 2013.
5. Wirakusumah, E.S.Tips Dan Diet Untuk Tetap Sehat, Cantik dan Bahagia di
Masa Menopause. Jakarta:Gramedia,
pp.7, 2003.
6. Laila, N.N. Buku Pintar Haid. Yogyakarta:Buku Biru, pp.25-6, 36, 114,
2011.
7. Sinclair, C. Buku Saku Kebidanan.
Jakarta:EGC, pp. 592-3, 2009.
8. Sukarni, I dan Wahyu P. Buku Ajar
Keperawatan
Maternitas.
Yogyakarta:Nuha Medika, pp. 46-8, 2013.
9. Corwin, E.J. Buku Saku Patofisiologi
Ed.3. Jakarta: EGC, pp.392, 2009.
10. Kingston, B. Mengatasi Nyeri Haid.
Jakarta:Arcan, 1991.
11. Syatria, A. Pengaruh Olahraga Terprogram terhadap Tekanan Darah
pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro yang Mengikuti Ekstrakurikuler Basket. Semarang:Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, 2006.
12. Suparto, A. Efektivitas Senam Nyeri
haid dalam Mengurangi Nyeri haid
pada Remaja Putri. Phederal. 4: 1-8,
2011.
5
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Penelitian
HUBUNGAN UMUR DENGAN
PENILAIAN CADANGAN OVARIUM
PADA PASIEN INFETRIL
Rita Defiyenti1, Ashon Sa’adi2, K. Kasiati3, Atika4
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga
2
Departemen SMF Obstetri Ginekologi RSUD Dr. Soetomo,
Surbaya
3
Politeknik Kesehatan Kemenkes, Surabaya
4
Departemen IKM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan : Umur berperan penting dalam penangganan masalah infertilitas. Angka
kejadian infertilitas meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur wanita. Semakin
meningkatnya umur wanita, cadangan ovarium semakin berkurang. Indikator cadangan
ovarium dapat diketahui melalui pemeriksaan FSH basal pada hari ke-3 haid dan jumlah
folikel antral. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan umur dengan
penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil di klinik Fertilitas Graha Amerta tahun
2013.
Metode : penelitian observasi analitik dengan desain cross sectional. Populasinya
adalah semua wanita infertil yang mengikuti IVF di Klinik Fertilitas Graha Amerta pada
bulan Januari-Desember 2013 sejumlah 94 responden. Pengambilan sampel dengan
teknik total sampling. Variabel independen adalah umur, sedangkan variabel dependen
adalah cadangan ovarium yang dinilai dari kadar FSH basal dan jumlah folikel antral.
Instrumen yang digunakan lembar pengumpul data. Sumber data dari rekam medik.
Analisis data menggunakan uji korelasi pearson.
Hasil : menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p=0.005) antara variabel umur
dengan jumlah folikel antral dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0.285). Hasil uji
korelasi spearmen, terdapat hubungan yang signifikan (p=0.014) antara variabel umur
dengan FSH basal dengan kekuatan korelasi lemah (r=0.252), dan adanya hubungan
yang signifikan (p=0.004) antara variabel FSH basal dengan jumlah folikel antral
dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0.295).
Kesimpulan : terdapat hubungan antara umur dengan kadar FSH basal, umur dengan
jumlah folikel antral, kadar FSH basal dengan jumlah folikel antral dalam penilaian
cadangan ovarium pada pasien infertil.
Kata kunci : Umur, FSH basal, Jumlah folilkel antral, cadangan ovarium, infertil.
ABSTRACT
Background : Age has an important role in treatment of infertility. Increasing age
means decreasing the ovarian reserve. Indicator for ovarian reserve is using basal level
of FSH level check up in third day of menstruation and the antral folilicle count. The
objective of this study is to analyze the correlation between age and ovarium reserve
rating on infertile patient in Graha Amerta Fertility Clinic during 2013.
Method : This study applies analityc observational with a cross-sectional design.The
population was all of infertile women that followed the IVF in Graha Amerta Fertility
Clinic during January to December 2013 involves 94 respondent. The sample was
collected using total sampling method. The independent variable is age, and the
dependent variable is ovarian reserve from basal level of FSH basal and the antral
follicle count. The data source is medical record and collected by check sheet. Data
6
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
fanalysis use Pearson test.
Result : There is significant correlation (p=0,005) between age variable and the antral
ollicle count but the coefficient correlation is weak (r=0,285). Based on spearmans
correlation test’s result, there is a significant correlation (p=0,0014) between age variable and basal FSH but the coefficient correlation weak correlation (r=0,252), also there
is a significant correlation (p=0,004) between basal FSH and antral follicle count with
weak correlation (r=0,295).
Conclusion : There is a correlation between age and basal FSH level, age and antral
follicle count, basal FSH level and antral follicle count of ovarian reserve predict test in
infertile patient.
Keyword: age, basal FSH, antral follicle count, ovarian reserve, infertility
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO)
memperkirakan bahwa 8-10% pasangan di
dunia mempunyai riwayat sulit untuk
memperoleh
anak.
Angka
kejadian
infertilitas di Indonesia berkisar 12-15%.[1].
Angka kejadian infertilitas ini meningkat
bersamaan dengan bertambahnya umur
wanita. Semakin meningkatnya umur
wanita, jumlah folikel di ovarium semakin
berkurang. Hal ini dikarenakan banyaknya
folikel atresia yang akhirnya habis pada
saat menopause dan berkurangnya respon
ovarium
terhadap
rangsangan
gonadotropin sehingga
mengakibatkan
produksi estrogen menurun. Menurunnya
estrogen akan memberikan sinyal umpan
balik positif ke otak (hipotalamus) untuk
merangsang peningkatan produksi follicle
stimulating hormone (FSH).[2]
Menurut
WHO,
pemeriksaan
hormonal
perlu
dilakukan
untuk
mengetahui fungsi ovarium dan fungsi
ovulasi. Pemeriksaan FSH serum basal
pada
hari
ke-3
haid
merupakan
pemeriksaan yang paling sering dilakukan
untuk memeriksa cadangan ovarium.[3]
Kadar FSH basal sebenarnya tidak
langsung menunjukkan jumlah folikel di
ovarium, sedangkan hitung folikel antral
ovarium (Antral Folicle Count/AFC) lebih
mencerminkan cadangan ovarium secara
langsung.[4] Masalah infertilitas tidak hanya
menyangkut kesehatan fisik saja tetapi
juga berdampak psikologis dan sosial bagi
pasangan yang mengalaminya. Oleh
karena itu diperlukan peran bidan sebagai
promotif dan preventif untuk mengurangi
kejadian infertilitas dan dampak dari
infertilitas tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah Menganalisis hubungan umur dengan penilaian
cadangan ovarium pada pasien infertil di
klinik Infertil Graha Amerta infertil Rumah
Sakit Umum Dr.Soetomo Surabaya tahun
2013.
2. METODE
Jenis penelitian yang digunakan
adalah obsevasional analitik dengan
desain cross sectional (potong lintang).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita infertil yang sudah mengikuti
program bayi tabung di Klinik Fertilitas
Graha Amerta RS Soetomo Surabaya
pada tanggal 1 Januari - 31 Desember
2013 yang memenuhi kriteria inklusi.
Teknik
pengambilan
sampel
menggunakan total sampling, dengan
jumlah 94 responden. Penelitian ini
dilakukan pada tanggal 12-22 Mei 2014.
Variabel bebas pada penelitian ini
adalah umur wanita infertil yang sudah
mengikuti program bayi tabung. Variabel
terikat pada penelitian ini adalah
cadangan ovarium yang dinilai dari kadar
hormon FSH basal hari ke-3 haid dan
jumlah folikel antral. Sumber data
penelitian ini didapatkan dari rekam medis
pasien yang dicatat pada lembar
pengum pul
data.
Analis a
data
menggunakan uji korelasi Pearson
dengan derajat kemaknaan p < 0,005 dan
koefisien korelasi antara -1 sampai
dengan 1.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik responden
Responden dalam penelitian ini
adalah wanita infertil yang mengikuti program bayi tabung di Klinik Fertilitas Graha
Amerta sebanyak sebanyak 94 pasien.
Berikut adalah gambaran karakteristik
responden di Klinik Fertilitas Graha
Amerta.
7
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
B. Umur
Distribusi responden berdasarkan
umur akan disajikan dalam tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Umur di Klinik Fertilitas
Graha Amerta Surabaya Tahun
2013
Umur
20-29
tahun
30-34
tahun
35-39
tahun
40-44
tahun
Total
Frekuensi
Persentase
(%)
22
23,4
27
28,7
35
37,2
10
10,6
94
100
Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa
variasi umur responden yang mengikuti
program bayi tabung hampir merata
disetiap kelompok umur (22-44 tahun).
Sebagian responden berumur >35 tahun.
Rata-rata umur responden pada penelitian
ini adalah 33 tahun dengan Standar
devisiasi 4,884.
C. Hasil pemeriksaan FSH basal
Distribusi responden berdasarkan
hasil pemeriksaan FSH basal akan disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Hasil Pemeriksaan FSH
Basal di Klinik Fertilitas Graha
Amerta Surabaya Tahun 2013
Kadar
FSH
basal
< 10 IU/
ml
10-15 IU/
ml
>15 IU/ml
Frekuensi
Persentase (%)
88
93,6
4
4,2
2
2,1
Total
94
100
saan FSH basal <10 IU/ml. Rata-rata hasil
pemeriksaan FSH Basal yaitu 7,25 IU/ml
dengan standar devisiasi 2,323.
D. Hasil USG jumlah folikel antral
Distribusi responden berdasarkan
hasil USG jumlah folikel antral akan disajikan dalam tabel 3 sebagai berikut :
Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan Hasil USG Jumlah Folikel
Antral di Klinik Fertilitas Graha
Amerta Surabaya Tahun 2013
Jumlah
folikel
antral
<5
5-10
11-30
Total
Frekuensi
Persentase (%)
23
56
15
94
24,5
59,6
16,0
100
Berdasarkan tabel 3, dari 94
responden yang mengikuti program bayi
tabung, sebanyak 59,6% (56 orang)
memiliki jumlah folikel antral antara 5-10
pada kedua ovarium. Rata-rata jumlah
folikel antral responden yaitu 7,76 dengan
standar deviasi 3,729.
E. Hubungan umur dengan jumlah
folikel antral
Hasil
uji
korelasi
pearson
didapatkan nilai signifikansi p=0,005 dan
nilai koefisien korelasi -0,285. Nilai
p=<0.05, berarti menunjukkan adanya
hubungan antara umur dengan jumlah
folikel antral. Sedangkan nilai koefisien
korelasi -0,285, berarti terdapat hubungan
antar variabel yang berbanding terbalik
yaitu semakin bertambah umur, maka
jumlah folikel antral semakin berkurang.
Hubungan ini memiliki kekuatan lemah
yang ditunjukan pada gambar 1.
Berdasarkan tabel 2 dari 94 responden yang mengikuti program bayi tabung,
93,6% (88 orang) memiliki hasil pemerik-
8
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Jumlah Folikel Antral
Gambar 1. Grafik hubungan umur dengan
jumlah folikel antral
Umur (tahun)
Hasil penelitian ini menguatkan hasil
penelitian sebelumnya oleh Mohammad Ali
dan Sedigheh Ghandi[4] tentang umur dan
FSH basal sebagai prediktor hasil Assisted
Repr oduc tive
Tec hnology
( ART).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
umur merupakan faktor prognosis yang
paling penting terhadap hasil ART, namun
kadar FSH serum basal juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi wanita
yang berpotensi besar mengalami
kegagalan dalam ART, kemungkinan
disebabkan oleh berkurangnya cadangan
ovarium. Selain itu, hasil penelitian serupa
tentang umur kronologis vs umur biologis
ovarium menyimpulkan bahwa kadar antral
follicle count (AFC) dan anti mullerian
hormone (AMH) menurun seiring dengan
meningkatnya umur, sebaliknya kadar FSH
menunjukkan peningkatan seiring dengan
bertambahnya umur.[6]
Teori
lain yang mendukung
penelitian ini diungkapkan oleh Halim [4],
bahwa peningkatan kadar FSH basal lebih
dari 10 IU/ml pada fase folikuler (siklus hari
ke-2 sampai hari ke-4 siklus haid) sudah
m enunj uk k an
adan ya
penurun an
cadangan ovarium. Berkurangnya jumlah
folikel menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah hormon estrogen sehingga akan
terjadi umpan balik positif ke otak untuk
merangsang peningkatan produksi FSH.
Apabila ovarian reserve
(cadangan
ovarium) telah menurun dratis, maka FSH
akan meningkat sampai 30-40 IU/ml.
Wanita yang memasuki umur menopause
mengalami penurunan jumlah folikel atau
cadangan ovarium sehingga
terjadi
peningkatan FSH. Pada wanita yang telah
menopause didapatkan peningkatan
kadar FSH diatas 40 IU/ml.
Pada penelitian ini ditemukan
responden dengan umur muda maupun
umur tua yang memiliki kadar FSH basal
yang tinggi. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa pemeriksaan FSH dapat
memberikan nilai prognostik pada
keberhasilan program bayi tabung,
dengan meningkatnya usia terutama akan
mempengaruhi keberhasilan serta angka
implantasi. Pada kelompok usia muda
dengan kadar FSH yang tinggi akan
meningkatkan angka pembatalan siklus
dalam program bayi tabung, namun angka
implantasi relatif masih cukup baik.
Secara umum, wanita di atas 35
tahun dengan kadar FSH basal >15 mIU/
ml menunjukkan angka keberhasilan
kehamilan yang rendah dan angka
keguguran yang tinggi. Namun demikian,
pasien tidak bisa digeneralisasikan bahwa
semua yang mempunyai kadar FSH tinggi
mempunyai cadangan ovarium yang
rendah. Banyak penelitian melaporkan
wanita dengan kadar FSH tinggi dengan
umur di bawah 35 tahun dapat berhasil
hamil dengan ataupun tanpa teknik
bantuan reproduksi. Pada penelitian
kasus di atas, umur 40 tahun dengan
kadar FSH yang normal bahkan banyak
yang tidak hamil.[4]
F. Hubungan umur dengan jumlah
FSH basal
Pada penelitian ini, data FSH basal
tidak
terdistribusi normal sehingga
digunakan uji korelasi sperman. Hasil uji
ini menunjukkan nilai signifikansi p =0,014
dan nilai koefisien korelasi 0,252. Nilai
p=<0,05 berarti terdapat hubungan antara
umur dengan FSH basal. Sedangkan nilai
koefisien korelasi 0,252 menunjukkan
adanya hubungan yang berbanding lurus,
artinya semakin bertambah umur wanita
maka semakin tinggi pula kadar FSH
basal. Hubungan ini memiliki kekuatan
lemah, hal ini ditunjukan pada gambar 2.
9
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Gambar 2. Grafik hubungan umur dengan
kadar FSH basal
basal maka semakin sedikit jumlah folikel
antral. Hubungan ini memiliki kekuatan
lemah sesuai dengan pada gambar 3.
Umur (tahun)
Hasil penelitian ini menguatkan hasil
penelitian sebelumnya oleh IB Putra
Adnyana[7] yang menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
jumlah folikel antral dengan respon
ovarium terhadap stimulasi ovulasi dan
didapatkan nilai titik potong sebesar 4,5,
sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 71,4%
untuk jumlah folikel antral sebagai
prediktor respons ovarium terhadap
stimulasi ovulasi.
Pada penelitian ini ditemukan
beberapa responden berumur 35 tahun
yang memiliki jumlah folikel antral yang
rendah.
Hal ini disebabkan
pada
responden didapatkan riwayat operasi
Salpingo oovarektomi sinistra (SOS),
endometrioma. Dalam tubuh seorang
wanita
sehat
terdapat
dua
buah
(sepasang) ovarium yang terletak di kanan
dan kiri uterus (rahim). Fungsi utama
ovarium ini adalah menghasilkan ovum (sel
telur) dan hormon reproduksi wanita
terutama estrogen. Apabila salah satu atau
kedua indung telur (ovarium) wanita
diangkat maka sel telur akan berkurang
dan akan mengalami penurunan kadar
hormon estrogen, progesteron, dan
testosteron. Operasi ini membuat seorang
wanita sulit untuk hamil lagi dan juga
mempercepat masa menopause walaupun
masih dalam umur reproduktif[4].
G. Hubungan FSH basal dengan jumlah
folikel antral
Hasil uji korelasi spearman didapatkan nilai signifikansi (p)=0,004 dan nilai
koefisien korelasi -0,295. Nilai p=<0,05
menunjukkan adanya hubungan antara
FSH basal dengan jumlah folikel antral.
Nilai koefisien korelasi -0,295, berarti
hubungan yang dihasilkan berbanding
terbalik, artinya semakin tinggi kadar FSH
FSH Basal
FSH Basal
Gambar 3. Grafik hubungan kadar FSH
basal dengan jumlah folikel
antral
Jumlah Folikel Antral
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya
oleh Zunaidi tentang hubungan umur terhadap FSH basal dan jumlah folikel antral
ovarium dalam penilaian cadangan
ovarium pada pasien infertil yang
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan dengan kekuatan korelasi
lemah antara variabel FSH basal dengan
jumlah folikel antral ovarium (r= -0.35).
Hal ini disebabkan karena sampel pada
penelitian tersebut lebih sedikit (35
pasien) dan dengan umur responden
kurang dari 35 tahun.[8]
Dalam penelitian ini ditemukan satu
kasus ekstrim yaitu pada umur muda (29
tahun) terdapat kadar FSH basal yang
meningkat (14.81 IU/ml). Hal ini
dikarenakan responden memiliki riwayat
endometrioma dan gangguan ovulasi.
Kista ovarium yang berisi jaringan endometriotik dapat tumbuh cukup besar. Kista
ini disebut juga dengan kista coklat
karena cairan coklat tua ditemukan
didalamnya. Kissta coklat atau kista
endometriosis ini lebih tepat disebut
endometrioma. Jika dibiarkan, maka
pertumbuhan
kista
ini
dapat
menghancurkan sebagian atau seluruh
jaringan ovarium normal, termasuk sel
telur. Endometrioma harus diangkat
dengan pembedahan, biasanya melalui
laparoskopi karena terapi medis tidak
efektif dalam pengobatan endometrioma.
[9]
Wanita yang pernah menjalani
pembedahan ovarium maupun dengan
satu ovarium sejak lama diketahui
mempunyai nilai kadar FSH yang lebih
10
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
tinggi dibandingkan mereka yang
mempunyai dua ovarium karena cadangan
ovariumnya berkurang.[4]
Hitung folikel antral (AFC)
merupakan prediktor tunggal terbaik untuk
menilai respon ovarium dalam teknologi
IVF (in vitro fertilization). Terdapat dua
penelitian yang menyimpulkan bahwa AFC
merupakan parameter yang lebih baik
d ib a n d in gk a n
F SH
bas a l .
A FC
berhubungan dengan respons stimulasi
terhadap program superovulasi dalam
program bayi tabung sehingga AFC
merupakan faktor yang paling sensitif
untuk menilai ovarian reserve.[4]
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan pada penelitian ini
adalah terdapat hubungan antara umur
dengan kadar FSH basal, umur dengan
jumlah folkel antral, dan antara kadar FSH
basal dengan jumlah folikel antral (AFC)
dalam penilaian cadangan ovarium pada
pasien infertil.
Saran bagi bidan diharapkan dengan
adanya hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk tambahan
informasi dalam memberikan berbagai
penyuluhan kepada remaja pranikah,
pasangan usia subur (PUS) mengenai
kejadian infertilitas terutama tentang faktor
risiko yang berhubungan dengan umur
wanita sehingga bidan dapat melakukan
rujukan secara tepat pada pasangan yang
infertil untuk mendapatkan pemeriksaan
dan pengobatan kepada tenaga kesehatan
yang lebih ahli.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauziah Y. Infertilitas dan Gangguan
Alat Reproduksi. Yogyakarta: Nuha
Medika, 2012.
2. Darmasetiawan, M. Sjarief, et al.
Fertilisasi Invitro dalam Praktek Klinik.
Jakarta: Puspa Swara, 2006.
3. Samsulhadi dan Hendarto Hendy.
Aplikasi Klinis Induksi Ovulasi dan
Stimulasi Ovarium: Buku Panduan
Praktis bagi Klinisi.
Jakarta :
Sagung Seto, 2009.
4. Halim, Binarwan. Penilaian Fungsi
Ovarium. Jakarta : Puspa Swara
IKAPI, 2006.
5. Ali, Karimzadeh Mohammad dan
Sedigheh Ghandi.” Age and Basal
FSH as a Predictor of ART Outcome”.
Iranial Journal of Reproductive
Medicine 7:1(2009) :19-22.
6. Soebijanto Soegiharto. “Kadar anti
mularian hormon (AMH) serum sebagai predictor respon ovarium pada
perempuan yang mendapatkan stimulasi
ovarium pada fertilisasi
invitro (FIV)”,Majalah obstetric ginekologi
Indonesia vol 33, no 4,
2009.
7. Adnyana IB, Putra.” Hubungan
Jumlah
Folikel
Antral
dengan
Respons Ovarium terhadap Stimulasi
Ovulasi”. J Peny Dalam
7:3
(2006) :178-185.
8. Zunaidi, Alfian. “Hubungan Umur
terhadap FSH basal dan Jumlah
Folikel
Antral
Ovarium
dalam
Penilaian Cadangan Ovarium pada
Pasien Infertil. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, 2011.
9. Indar, Anwar NC. Seleksi Pasien
Menuju Fertilisasi In Vitro. Jakarta :
Puspa
Swara Anggota IKAPI.
2006.
11
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Tinjauan
Pustaka
PENATALAKSANAAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS PADA USIA KEHAMILAN SETELAH 34 MINGGU
Wafda Ardhian Latansyadiena1
1
D4 Kebidanan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK
Latar Belakang: Kehamilan prematur merupakan masalah terbesar dalam obstetri
modern dan didefinisikan sebagai kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan 37
minggu. Risiko morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat persalinan prematur ini
sangat besar. Namun, seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman
persalinan prematur (Partus Premature Imminens) dan persalinan prematur
sesungguhnya. Kurangnya metode yang efektif untuk memprediksi dan mencegah
persalinan prematur menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi persalinan
prematur. Penanganan sering dihadapkan dengan dilema penggunaan berbagai agen
farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya rendah, atau memiliki efek
samping yang serius pada ibu atau janin. Bukti ilmiah yang mendukung terhadap
penggunaan obat berikut ini tidak terlalu kuat. Penanganan yang paling sering
digunakan adalah obat tokolitik, kortikosteroid, dan antibiotik. Kondisi ini membuat
pasien harus mengalami perawatan di rumah sakit yang sebenarnya mungkin tidak
diperlukan dan menyebabkan efek samping.
Tujuan: Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada partus prematurus
imminens dengan umur kehamilan setelah 34 minggu.
Hasil: Pemberian terapi tokolitik dan kortikosteroid pada partus prematurus imminens
umur kehamilan setelah 34 minggu memiliki faktor risiko terjadi gawat janin akibat
adanya penurunan aliran darah uteroplasenta dan meningkatkan angka persalinan
prematur.
Kata Kunci: Partus Prematurus Imminens, Kortikosteroid, Tokolitik
ABSTRACT
Background: Premature labor, constitutent a major problem terms of obstetrics and
defined as delivery before 37 weeks of gestation. The higher risk mortality and morbidity
for premature labor delivery. But, the diagnostic partus prematurus imminens and partus
premature is difficult. Uneffective methods changed incidence premature labor. Dilemma
of management premature labor often occured as a unspesific pharmacology, low
effectiveness, and had the effect for mother or foetus. Scientific evidence told the
pharmacology management is low. The most management is tocolitic, corticosteroid,
and antibiotics. This condition made patients take treatment might was not necessary
and caused effect.
Goal: Find out the management partus prematurus imminens after 34 weeks of
gestation
Result: Tcolitic and corticosteroid management of partus prematurus imminens after 34
weeks of gestation have a risk fetal distress. It was happened because blood current for
foetus decreased and increased incidence of premature labor
Key words: Partus Prematurus Imminens, Corticosteroid, Tocolitic
1. PENDAHULUAN
Persalinan prematur yaitu kelahiran
bayi kurang dari 37 minggu. Persalinan
prematur merupakan masalah serius
karena dapat menyebabkan kematian dan
kesakitan neonatus. Risiko kelahiran
prematur antara lain kematian bayi,
kecacatan bayi, gawat nafas, perdarahan
12
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
otak, infeksi/sepsis dan gagal jantung.
Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
persalinan preterm adalah usia ibu, paritas,
jarak persalinan, tingkat pendidikan,
pelayanan antenatal, anemia, merokok,
dan minum alkohol.
Risiko morniditas dan mortalitas
yang timbul akibat persalinan preterm ini
sangat besar. Namun, seringkali terjadi
kesulitan untuk menentukan diagnosis
ancaman persalinan prematur (Partus
Premature Imminens) dan persalinan
prematur sesungguhnya sehingga
intervensi yang dilakukan seringkali tidak
sesuai. Selama ini pengelolaan partus
prematurus imminens cenderung kuratif
dimana yang menjadi tujuan utama
pengelolaan adalah meningkatkan usia
hamil, meningkatkan berat lahir,
menurunkan morbiditas dan mortalitas
perinatal yang keseluruhannya dilakukan
setelah diagnosis persalinan belum cukup
bulan ini ditegakkan. Kurangnya metode
yang efektif untuk memprediksi dan
mencegah
persalinan
prematur
menyebabkan sedikit perubahan pada
insidensi
persalinan
prematur.
Penggunaan berbagai agen farmakologis
yang mungkin kurang spesifik, efikasinya
rendah, atau memiliki efek samping yang
serius pada ibu atau janin menjadi
penanganan dilematik.
Pemberian
tokolitik
dan
kortikosteroid menjadi komponen utama
dalam penatalaksanaan partus prematurus
imminens karena berkaitan dengan
pematangan paru janin. Pematangan paru
janin terjadi pada usia kehamilan 34
minggu. Oleh karena itu, pemberian
tokolitik dan kortikosteroid pada usia
sebelum 34 minggu sangat penting karena
bertujuan menunda persalinan agar
mencapai usia kehamilan 34 minggu
sehingga paru-paru janin matang dan
mengurangi angka gangguan pernafasan
pada neonatal. Namun, bukti ilmiah yang
mendukung penggunaan obat ini pada usia
kehamilan setelah 34 minggu tidak terlalu
kuat. Usia kehamilan setelah 34 minggu
angka morbiditas dan mortalitas dianggap
sama dengan kehamilan aterm sehingga
tidak ada manfaat yang berati dalam
pemberian kedua terapi tersebut. Kondisi
ini membuat pasien harus mengalami
perawatan di rumah sakit yang sebenarnya
mungkin
tidak
diperlukan
dan
menyebabkan efek samping. Selain itu, hal
ini menjadi beban keluarga karena
perawatan di rumah sakit memerlukan
biaya yang banyak.
2. PEMBAHASAN
Persalinan prematur merupakan
penyebab utama morbiditas dan
mortalitas neonatal di seluruh dunia[1].
Partus prematurus atau persalinan
prematur dapat diartikan sebagai
dimulainya kontraksi uterus yang disertai
pendataran dan/ atau dilatasi serviks
serta turunnya bayi pada wanita hamil
yang lama kehamilannya kurang dari 37
minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari
pertama haid terakhir[2]. Persalinan
prematur berlangsung pada kehamilan 28
minggu sampai kurang dari 37 minggu[3].
Faktor risiko yang mempengaruhi
kejadian persalinan prematur adalah usia
ibu, paritas, jarak persalinan, tingkat
pendidikan, pelayanan antenatal, anemia,
merokok, dan minum alkohol[4].
Secara umum, terjadinya persalinan
prematur sampai saat ini masih menjadi
teori-teori yang sangat kompleks.
Seringkali terjadi kesulitan untuk
m enentuk an diagnosis ancam an
persalinan prematur atau yang sering
disebut Partus Prematurus Imminent
(PPI) dan persalinan prematur yang
sesungguhnya [5,6]. Persalinan prematur
dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme, yaitu melalui infeksi
maternal, hipoksia dan stress oksidatif.
Hal tersebut merupakan tiga mekanisme
biologis utama terjadinya persalinan
preterm. Kekurangan zat besi dapat
meningkatkan risiko infeksi ibu dan
hemoglobin yang rendah dapat
menyebabkan keadaan hipoksia kronis
yang dapat menginduksi stres ibu dan
janin. Sistem kekebalan tubuh akan
diaktifkan dengan adanya infeksi,
peradangan, atau kortisol yang dirilis
setelah respon stres, kemudian axis
hipotalamus-hipofisis-adrenal ibu atau
janin akan diaktifkan. Keadaan ini dapat
memicu terjadinya persalinan dan
akhirnya mengakibatkan persalinan
preterm.
13
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Pada akhirnya, kekurangan zat besi juga
dapat meningkatkan stres oksidatif yang
mengakibatkan kerusakan eritrosit dan unit
feto-plasenta[4].
Pada penelitian yang dilakukan
Leno, dkk. menunjukkan persalinan
prematur terbanyak berasal dari kelompok
usia 20 – 35 tahun[4].Persalinan prematur
lebih sering terjadi pada wanita multipara
dibandingkan wanita primipara. Hal ini
disebabkan adanya jaringan parut uterus
akibat
kehamilan
dan
persalinan
sebelumnya.
Jaringan
parut
ini
menyebabkan
tidak
adekuatnya
persediaan darah ke plasenta sehingga
plasenta menjadi lebih tipis dan mencakup
uterus yang luas. Plasenta yang melekat
tidak kuat mengakibatkan isoferitin, protein
hasil produksi sel limfosit T untuk
menghambat
reaktifitas
uterus
dan
melindungi buah kehamilan, diproduksi
sedikit sehingga risiko untuk mengalami
persalinan prematur lebih besar[7].
Penelitian juga menemukan bahwa
keterpaparan asap rokok memberi risiko
3,9 kali secara signifikan terhadap
kelahiran prematur dibandingkan dengan
yang tidak terpapar asap rokok. Hal ini
menunjukkan bahwa rokok merupakan zat
yang
berbahaya
bagi
kesehatan,
khususnya
ibu
hamil
yang
akan
berdampak buruk bagi ibu maupun janin.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut
dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang
terpapar asap rokok baik secara aktif
maupun pasif dapat menyebabkan bayi
terlahir dengan berat badan kurang. Racun
nikotin yang terkandung dalam rokok dapat
menghambat proses aliran darah dari ibu
ke janin, akibatnya perkembangan bayi
menjadi terlambat. Kondisi ini berjalan
terus hingga memasuki masa persalinan
dan menyebabkan bayi lahir dengan berat
badan kurang dari 2500 gram. Selain itu,
bayi juga dapat lahir prematur atau lahir
dalam usia yang belum matang[8].
Dari faktor psiko-sosial pekerjaan
ditemukan bahwa kejadian persalinan
prematur lebih banyak pada ibu hamil yang
bekerja dibandingkan dengan ibu hamil
yang tidak bekerja. Ibu hamil yang bekerja
dapat meningkatkan kejadian persalinan
prematur baik melalui kelelahan fisik atau
stres yang timbul akibat pekerjaannya,
terutama bekerja terlalu lama[4,9]. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Eiriksdottir di
Islandia juga menyebutkan pendapatan
keluarga dan stres merupakan faktor risiko
yang menyebabkan kelahiran prematur[10].
Menurut Dr Ali Khashan dari Univeritas
Manchester di Inggris, stres yang berat
sebelum atau sekitar waktu menjelang
kehamilan, dapat mengubah kadar stress
hormone
cortisol
dan
corticotropin
releasing
hormone
(CRH)
yang
berpengaruh pada penanaman embrio dan
pembentukan
plasenta.
Secara
keseluruhan,
wanita
yang
pernah
mengalami stres enam bulan sebelum
hamil, sekitar 16% cenderung mengalami
persalinan prematur. Sementara itu, resiko
bayi meninggal atau sakit pada persalinan
prematur naik hingga 23%. Hal itu
dimungkinkan dampak dari sisi kejiwaan
sehingga
mempengaruhi
hormonal
kemudian
mengakibatkan
persalinan
prematur[11,12].
Ancaman
persalinan
prematur
memiliki kriteria yaitu sebagai berikut[5].
1. Adanya kontraksi adekuat minimal 2 3 kali dalam waktu 10 menit dengan
selang waktu relaksasi yang cukup.
2. Adanya perubahan dilatasi serviks
pada 2 pemeriksaan dengan selang
waktu 1 jam yang dilakukan oleh
pemeriksa yang sama disertai dengan
adanya kontraksi uterus.
3. Adanya kontraksi yang teratur disertai
dilatasi serviks 1-2 cm dan penipisan
serviks.
Secara teori, adapun parameterparameter yang digunakan untuk memprediksi terjadinya persalinan prematur.
14
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Tabel 1. Skor Bishop
Nilai
0
1
2
3
Dilatasi
serviks
0
1-2
cm
3-4
cm
>4c
m
Penipis
an
serviks
0-30%
4050%
6070%
>70
%
Station
Konsist
ensi
serviks
-3
Kenyal
-2
Medi
um
-1
Lunak
0
Posisi
serviks
Posteri
or
Medi
al
Anteri
or
Sumber : Jenny, 2008
Skor Bishop merupakan parameter
yang baik untuk memprediksi terjadinya
persalinan prematur. Semakin besar nilai
Skor Bishop menunjukkan ancaman
persalinan prematur yang terjadi semakin
progresif sehingga semakin sulit untuk
dihambat. Pada beberapa penelitian
didapatkan angka kejadian persalinan
prematur berkisar 76% pada skor Bishop ≥
5.
Tabel 2. Skor Baumgarten
Nilai
1
2
3
4
Kontrak
si
Tidak
teratur
Teratu
r
-
-
Ketuba
n
Utuh
Pecah
di
atas/
tidak
jelas
-
Peca
h di
bawa
h
Perdar
ahan
Dilatasi
serviks
Spotti
ng
1 cm
Banya
k
2 cm
3 cm
4 cm
Sumber : Jenny, 2008
Skor Baumgarten juga merupakan
salah satu parameter yang baik untuk
memprediksi persalinan prematur dengan
atau tanpa adanya ketuban pecah dini.
Pada beberapa penelitian didapatkan
angka kejadian persalinan prematur
sebesar
10%
pada
skor
tokolisis
Baumgarten < 3. Bila skor tokolisis
Baumgarten > 3 maka angka kejadian
persalinan prematur meningkat sebesar
85%[5].
Berdasarkan
Buku Pengelolaan
Persalinan Preterm [13], penatalaksanaan
persalinan prematur adalah sebagai
berikut.
1. Tirah baring (bedrest)
Kepentingan istirahat disesuaikan
dengan kebutuhan ibu.
2. Rehidrasi
Rehidrasi oral maupun intravena
sering
dilakukan
untuk
mencegah
persalinan preterm karena sering terjadi
hipovolemik pada ibu dengan kontraksi
prematur.
Tirah
baring
dan
rehidrasi
merupakan salah satu upaya agar aliran
darah ke plasenta meningkat dan lancar
sehingga janin selalu dalam keadaan baik
[14]
.
3. Pemberian
terapi
konservatif
(ekspetan) tokolitik.
Menurut Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan
Rujukan 2013, jika ditemui salah satu dari
keadaan berikut ini, tokolitik tidak perlu
diberikan dan bayi dilahirkan secara
pervaginam atau perabdominam sesuai
kondisi kehamilan[15]:
a. Usia kehamilan di bawah 24 dan
di atas 34 minggu
b. Ada tanda korioamnionitis (infeksi
intrauterine), preeklampsia, atau
perdarahan aktif
c. Ada gawat janin
d. Janin meningal atau adanya
kelainan
kongenital
yang
kemungkinan hidupnya kecil
Pemberian tokolitik dilakukan usia 24
-34 minggu karena tujuan utama
penggunaan
tokolitik ini
memberi
kesempatan bagi terapi kortikosteroid
untuk menstimulur surfaktan paru-paru
janin, sedangkan paru-paru janin matang
usia 34 minggu [15,16].
American College of Obstetricians
and Gynecologisis membuat pernyataan
berikut mengenai tokolitik: “sampai saat
ini, belum ada penelitian secara
meyakinkan
membuktikan
terjadinya
peningkatan kesintasan atau indeks
prognosis neonatus jangka panjang
lainnya pada pemberian terapi tokolitik. Di
pihak lain, kemungkinan gangguan akibat
15
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
terapi tokolitik pada ibu dan neonatus
sudah terbukti. Pemberian kortikosteroid
sebelum 34 minggu gestasi jelas
bermanfaat, pemberian obat tokolitik untuk
perpanjangan kehamilan jangka pendek
dapat dibenarkan. Di luar itu, pertanyaan
apakah obat tokolitik perlu digunakan pada
usia gestasi berapapun tidak dapat dijawab
saat ini, terutama setelah 34 minggu
gestasi” [17].
Obat tokolitik yang memiliki fungsi
kerja untuk menghambat saluran kalsium
(antagonis kalsium). Aktifitas otot polos,
termasuk miometrium, secara langsung
berhubungan dengan kalsium bebas di
dalam
sitoplasma
dan
penurunan
konsentrasi kalsium akan menghambat
kontraksi.
Ion
kalsium
mencapai
sitoplasma melalui portal atau saluran
membran spesifik. Penyekat saluran
kalsium bekerja menghambat pemasukan
kalsium melalui membran sel dengan
berbagai mekanisme[18]. Dengan demikian,
terjadi penurunan konsentrasi kalsium.
Meskipun
beberapa
fakta
memperlihatkan bahwa penyekat kanal
kalsium menjanjikan beberapa harapan
sebagai obat tokolitik terapi persalinan
prematur,
beberapa
penelitian
juga
mengingatkan
untuk
mengklarifikasi
bahaya potensial pada ibu atau janin
sebab relaksasi otot polos tidak terbatas
pada uterus saja, melainkan juga
mengenai pembuluh darah sistemik dan
uterus. Resistensi vaskular yang menurun
karena nifedipin dapat menyebabkan
hipotensi pada ibu sehingga menurunkan
perfusi uteroplasenta[18].
Studi-studi hewan dengan berbagai
spesies
yang
dilaporkan
telah
memperlihatkan
adanya
hiperkapnia,
asidosis, hipoksemia, dan kematian janin.
Pada pengamatan yang dilakukan Lirette
dkk. menunjukkan hasil terjadi penurunan
aliran darah uteroplasenta pada kelinci
[18,19]
.Hepatotoksisitas
maternal
yang
diinduksi oleh obat telah dilaporkan ketika
nifedipin digunakan untuk terapi persalinan
prematur
sehingga
mengakibatkan
dihentikannya pemberian obat ini[19]. Oleh
karena itu, diperlukan prediktor diagnosis
yang baik agar menghindarkan pasien dari
terapi tokolitik dan efek sampingnya, serta
menurunkan angka perawatan rumah sakit
dan angka rujukan ke fasilitas perawatan
perinatologi.
4. Pemberian terapi kortikosteroid
Mekanisme kerja kortikisteroid pada
perkembangan paru adalah meningkatkan
surfaktan paru. Kortikosteroid melibatkan
induksi protein yang mengatur sistem
biokimia dengan sel tipe II pada paru janin
yang memproduksi surfaktan. Pada selsel paru janin manusia yang dikultur,
pemberian deksametason meningkatkan
kandungan protein surfaktan A, B, C, D,
sambil merangsang aktifitas semua enzim
penting untuk biosistesi fosfolipid. Karena
itu, konsentrasi fosfatidilkolin yang larut
meningkat. Pada gilirannya hal ini
merangsang perkembangan badan-badan
lamelar, yang kemudian disekresikan ke
dalam lumen ruang udara[14].
Pemberian
kortikosteroid
ini
mencegah morbiditas neonatal pada
penggunaan usia kehamilan 24-34
minggu. Semua kehamilan kurang dari 34
minggu yang akan diakhiri diberikan
kortikosteroid
dalam
bentuk
deksamethasone atau betamethasone[20].
Evaluasi
dari
beberapa
penelitian
menyebutkan
bahwa
pemberian
kortikosteroid pada usia kehamilan 24-34
minggu efektif memperbaiki outcome
neonatal. Pemakaian kortikosteroid pada
kehamilan setelah usia 34 minggu jarang
ditemukan penurunan angka morbiditas
dan tidak ada bukti yang kuat untuk
mendukung
atau
membantah.
Penggunaan
kortikosteroid
hanya
direkomendasikan jika terbukti adanya
immaturitas paru pada pemeriksaan
amnionsintesis[21,22,23]. Kehamilan > 34
minggu hanya perlu dilakukan observasi
kemajuan persalinan serta kesejahteraan
janin intrauterine. Terdapat efek jangka
pendek pada ibu, antara lain oedem paru,
infeksi, dan pengendalian glukosa yang
lebih sulit pada ibu diabetik [18,23]. Pada
penelitian
Elliot
dan
Radin
juga
melaporkan
bahwa
kortikosteroid
menginduksi uterus dan persalinan
preterm pada manusia. Dengan demikian,
pemberian
kortikosteroid
akan
meningkatkan angka persalinan prematur.
Pemberian kortikosteroid yang tidak
memiliki manfaat kuat pada pematangan
paru umur kehamilan setelah 34 minggu
justru
dapat
mempercepat
angka
persalinan prematur dan hal ini akan
berpengaruh dengan outcome bayi lahir
16
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
preterm. Oleh karena itu, keputusan
pemberian kortikostreoid harus tepat
sesuai klasifikasi umur kehamilan.
5. Pemberian Antibiotik
Dalam Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan
Rujukan
juga
menjelaskan
bahwa
pemberian antibiotika profilaksis pada
persalinan prematur digunakan untuk
mencegah infeksi streptococus grup B[15].
Perencanaan Persalinan.
Pengambilan
keputusan
untuk
melakukan persalinan merujuk pada
analisis skor bishop dan baumgarten.
Analisis kedua skor tersebut menguraikan
bahwa PPI susah untuk dihambat jika
terjadi pengeluaran darah bertambah
banyak dan konsistensi serviks lunak.
Umur kehamilan kurang dari 34 minggu
adalah syarat untuk penundaan persalinan
[24]
. Usia kehamilan > 34 minggu dapat
melahirkan di tingkat dasar/ primer,
mengingat prognosis relatif baik dan
morbiditas
dianggap
sama
dengan
kehamilan aterm[14,16].
3. KESIMPULAN
Persalinan prematur merupakan
suatu keadaan disertai tanda-tanda
persalinan yang berlangsung pada usia
kehamilan sebelum 37 minggu. Partus
Prematurus Imminens (PPI) merupakan
ancaman persalinan prematur yang
kemungkinan dapat dilakukan penundaan
persalinan dengan kriteria tertentu. PPI
pada usia kehamilan 24-34 minggu dapat
dilakukan penundaan persalinan dengan
pemberian
terapi
tokolitik
dan
kortikosteroid. Hal ini dilakukan untuk
menunggu pematangan paru yang akan
matang pada usia kehamilan 34 minggu
sehingga mengurangi angka gangguan
pernafasan neonatal. Pada usia kehamilan
setelah 34 minggu tidak direkomendasikan
pemberian tokolitik dan kortikosteroid
sesuai dengan pemaparan dalam guidline
RCOG (Royal College of Obstericians and
Gynaecologies)
bahwa
penanganan
persalinan preterm merekomendasikan
tidak perlu menggunakan agen tokolitik jika
tidak terdapat bukti yang jelas yang akan
meningkatkan outcome pada terjadinya
persalinan preterm. Pemberian terapi
tokolitik dan kortikosteroid pada partus
prematurus imminens umur kehamilan
setelah 34 minggu memiliki faktor risiko
terjadi gawat janin akibat adanya
penurunan aliran darah uteroplasenta dan
meningkatkan angka persalinan prematur.
DAFTAR RUJUKAN
1. Ariana, Dhina., Sayono, dan Erna
Kusumawati. Faktor Risiko Kejadian
Persalinan
Prematur,
Laporan
Penelitian,
Semarang:
Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhammadiyah Semarang, 2011.
2. Agustiana, Tria. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Persalinan
Prematur di Indonesia Tahun 2010
(Analisis Data Riskesdas 2010),
Skripsi S-1, Jakarta: Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat Peminatan
Epidemiologi Universitas Indonesia,
2012.
3. Jannah, Miftahul. Hubungan Infeksi
Saluran
Kemih
pada
Ibu
Hamilterhadap Partus Prematur di
RSUD Dr. Adjidarmo Lebak Banten
Periode Januari hingga Desember
2010,
Riset,
Jakarta:
Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, 2011.
4. Jusuf, Jenny. Efektifitas dan Efek
Samping Ketorolac sebagai Tokolitik
pada Ancaman Persalinan Prematur,
Tesis S-2, Semarang: Program
Pascasarjana
Universitas
Diponegoro, 2008.
5. Islam, Mutiara. Perbandingan Kadar
Interleukin
10
pada
Partus
Prematurus
Imminen
dengan
Kehamilan Preterm Normal, Tesis S2, Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas, 2010.
6. Edrin, Verdani Leoni., Ariadi, dan Lili
Irawati. Gambaran Karakteristik Inu
Hamil pada Persalinan Preterm di
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun
2012, dalam Jurnal Kesehatan
Andalas, Padang: Pendidikan Dokter
Universitas Andalas, Volume 3,
Nomor 3, hlm. 1 – 7, 2014.
7. Mukibati, Titin., Tinuk Esti, dan
Rudiati. Gambaran Faktor Penyebab
Persalinan Prematur di Kamar
Bersalin RSUD dr. Soeroto Ngawi
tahun
2010,
Jurnal
Penelitian
Kesehatan Suara Forikes, 3 (2): 116 –
123, 2012.
17
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
8. Koniyo, Mira., Buraerah H. Hakim, dan
A. Arsunan. Determinan Kejadian
Kelahiran Bayi Prematur di Rumah
Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo, Laporan
Penelitian,
Makassar:
Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin, 2012.
9. Firdiyanti, Rita., Nusratuddin, dan Eddy
Tiro. Hubungan Kadar Progesteron
Induced Blocking Factor (PIBF) Serum
dengan Kejadian Persalinan Preterm,
Laporan Penelitian, Makassar: Bagian
Obstetri dan Ginekologi Universitas
Hasanuddin, 2013.
10. Paembonan, Novhita., Jumriani, dan
Dian Sidik. Faktor Risiko Kejadian
Kelahiran Prematur di Rumah Sakit Ibu
dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar,
Laporan Penelitian, Makassar: Bagian
Epidemiologi Universitas Hasanuddin,
2014.
11. Aden, Christine. Pengaruh Paket
Aman Terhadao Pengetahuan dan
Pelaksanaan Perawatan Kehamilan
oleh Ibu Risiko Persalinan Prematur
Serta Efetivitasnya Terhadap Maturitas
Kehamilan di Jakarta, Tesis S-2,
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, 2008.
12. Somadina, Iswara. Granulocyte Colony
Stimulating Factor (G-CSF) sebagai
Prediktor Persalinan Preterm, 2013. 8
Juni
2015
<http://ojs.unud.ac.id/
index.php/obgyn/article/
viewFile/13441/9141>
13. Himpunan Kedokteran Fetomaternal
Indonesia.
Panduan
Pengelolaan
Persalinan
Preterm
Nasional,
Bandung: Persatuan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia, 2011.
14. Ramayanti,
Helen.
Hubungan
Karakteristik
Ibu
Hamil
dengan
Kejadian Persalinan Preterm di RSU
Bhakti Yudha Depok Periode Januari
2008-Desember
2010,
Jakarta:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Pembangunan
Nasional
Veteran,
2011.
15. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Buku Saku Pelayanan
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar
dan
Rujukan,
Jakarta:
Kemenkes RI, 2013.
Saifuddin, Abdul Bari., Trijatmo, dan
Winkjosastro. ed. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: PT.
Bina Pustaka, Cetakan ke-4, 2011.
Leveno, Kenneth., et al. Obstetri
Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21.
terj. Brahm U. Pendit: “William Manual
Of Obstetrics, 21st Ed.”, Jakarta: EGC,
Cetakan Ke-1, 2009.
Cunninghan F. Gary., et al. Obstetri
Williams, Ed. 21, Vol 1. terj. Hartono,
Andry: “Williams Obstetrics, 21 Ed.”,
Jakarta: EGC, Cetakan Ke-1, 2006.
Kesuma,
Hadrians.
Obat-obat
Tokolitik di Bagian Kebidanan, 2007.
11
Juni
2015
<http://
www.usearchmedia.com/>.
Roosdhantia, Isnia. Perbedaan Skor
Apgar pada Ketuban Pecah dini Usia
Kurang dari 34 Minggu yang Diberi
dan Tidak Diberi Deksametason,
Laporan Hasil Penelitian, Semarang:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponegoro, 2012.
Manuaba, Ida Ayu, Fajar, dan Gde.
Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan KB untuk Pendidikan Bidan,
Ed.2., Jakarta: EGC, 2010.
Pratama, Rizky. Perbandingan Kadar
Serum Progesteron Pada Persalinan
Preterm dan Kehamilan Normal, Tesis
Spesialis,
Medan:
Departemen
Obstetri dan Ginekologi Universitas
Sumatera Utara, 2014.
Bonanno, Clarissa., and Ronald J.
Wapner. Antenatal Corticosteroid in
the Management of Preterm Birth: Are
We Back Where We Started?, New
York: Department of Obstetrics and
Gynecology
Columbia
University
College, 2012.
D.
Chan,
Paul.,
and
Susan
M.Johnson.
Current
Clinical
Strategies
Gynecology
and
Obstetrics,
USA:
Laguna
Hills
California, 2006.
18
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
25. Mufaza, Uyun. Pengetahuan dan
Perilaku Orangtua dalam Pemberian
Obat Penurun Panas pada Anak
Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi,
Skripsi-S1,
Jakarta:
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,
2009.
26. Subijanto, Achmad Arman. Review:
Keanekaragaman Genetik HLA-DR
dan Variasi Kerentanan terhadap
Penyakit Asma; Tinjauan Khusus
pada Asma dalam Kehamilan, dalam
Jurnal Biodiversitas, 9 (3): 237-243.,
Solo:
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta, 2008.
19
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Penyegar
PERAN SUAMI DALAM MENINGKATKAN KUANTITAS DAN KUALITAS ANTENATAL CARE
Dewa Ayu Mirah Indrayani 1, Nofi Nurul Fadilla1
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga, Surabaya
Angka Kematian Ibu dan Bayi di
Inodesia
Wanita adalah makhluk dengan
berbagai risiko yang harus ditanggungnya.
Salah satu fase yang berisiko di dalam
kehidupan wanita adalah saat ia hamil.
Kehamilan yang seharusnya menjadi suatu
proses yang alamiah ternyata dapat
menyumbangkan angka kematian ibu dan
bayi. Ibu hamil dengan janin yang
dikandungnya adalah aset berharga yang
sudah sepantasnya mendapat perhatian
khusus. Namun ironisnya, Angka Kematian
Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator
kesehatan ibu, masih menunjukan angka
yang tinggi di Indonesia dan jauh berada
diatas AKI di negara ASEAN lainnya. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia tahun 2012[1] untuk AKI hasilnya
sangat mengejutkan. Kematian ibu
melonjak sangat signifikan menjadi 359 per
100.000
kelahiran
hidup
atau
mengembalikan pada kondisi tahun 1997.
Ini berarti kesehatan ibu justru mengalami
kemunduran selama 15 tahun. Pada tahun
2007, AKI di Indonesia sebenarnya telah
mencapai 228 per 100.000 kelahiran
hidup. AKI yang sangat tinggi itu artinya
Indonesia bahkan jauh lebih buruk dari
negara-negara paling miskin di Asia,
seperti Timor Leste, Myanmar, Bangladesh
dan Kamboja.
Indonesia kini telah berpredikat
terbelakang di Asia dalam melindungi
kesehatan ibu[2]. Menurut World Health
Organization [3] Indonesia menduduki
peringkat pertama dengan AKI tertinggi
dari 181 negara di dunia.
Perdarahan menempati persentase
tertinggi penyebab kematian ibu (28%),
anemia dan kurang energi kronik pada ibu
hamil menjadi penyebab utama terjadinya
perdarahan dan infeksi[4].
Tidak hanya AKI yang menjadi fokus
Pembangunan Millenium atau Millenium
Development Goals (MDGs) pada tahun
2015 sebagai upaya peningkatan kualitas
sumber daya manusia Indonesia, khusus
untuk bidang kesehatan berfokus pula
melalui percepatan penurunan Angka
Kematian Anak (AKA) untuk Bayi dan
Balita. Target MDGs untuk Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah
sebesar 23 per 1000 KH pada tahun 2015
dari kondisi saat ini yaitu sebesar 34 per
1000 KH[5].
Apabila kondisi ini dibiarkan begitu
saja tanpa ada upaya dari pihak terkait,
tidak menutup kemungkinan Indonesia
akan mengalami kemunduran dari segi
kuantitas dan kualitas SDM hanya karena
kasus kematian ibu dan bayi yang
seharusnya dapat dicegah. Salah satu
upaya preventif yang dapat dilakukan
adalah melalui Antenatal Care (ANC)
sebagai deteksi dini komplikasi kehamilan
pada ibu dan janin.
Kunjungan ANC adalah kunjungan
ibu hamil ke bidan atau dokter sedini
mungkin semenjak ia merasa dirinya
hamil untuk mendapatkan pelayanan atau
asuhan antenatal. ANC dilakukan secara
rutin minimal 4 kali kunjungan (K4)
selama hamil[6].
Tujuan dari ANC dapat tercapai
apabila ada komitmen dari berbagai pihak
yang terkait baik itu pemerintah, nakes
(dokter, bidan, perawat), ibu hamil
maupun keluarga (termasuk suami) untuk
menyukseskannya. Sesuai dengan
pernyataan Kepmenkes RI dalam
Pedoman ANC Terpadu[7], salah satu
konsep pelayanan antenatal terpadu dan
berkualitas adalah melibatkan ibu dan
keluarganya terutama suami dalam
menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil,
menyiapkan persalinan dan kesiagaan
bila terjadi penyulit atau komplikasi.
Jika suami tidak menginginkan
suatu kehamilan, hal ini dapat membuat
permasalahan pada istrinya dalam
menerima kehamilannya[8].
20
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Jika dukungan suami didapat seorang ibu,
ibu akan merasa ada pengharapan besar
dari orang-orang terdekatnya untuk
mempertahankan kehamilannya. Hal inilah
yang mempengaruhi intensitas ibu
melakukan ANC menuju persiapan
kehamilan lanjut, persalinan dan nifas.
Menurunkan AKI dan AKB melalui ANC
Menurut
Kebijakan
Departemen
Kesehatan[9] dalam upaya mempercepat
penurunan AKI dan AKB pada dasarnya
dapat mengacu kepada intervensi strategis
“Empat Pilar Safe Motherhood” yang salah
satu diantaranya adalah melalui pelayanan
ANC. Meskipun ANC tidak dapat diklaim
sebagai satu-satunya solusi atas tingginya
kematian ibu dan bayi di negara
berkembang, namun ANC yang berkualitas
dapat membantu untuk pencapaian
Milenium Development Goals dalam
penurunan AKI dan AKB[10]. ANC
merupakan pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan terlatih (dokter spesialis
kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu
bidan dan perawat bidan) untuk ibu selama
masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai
dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan
Kebidanan (SPK)[7].
Tujuan pengawasan wanita hamil
ialah menyiapkan ibu hamil sebaik-baiknya
secara
fisik
dan
mental,
serta
menyelamatkan ibu dan bayi dalam
kehamilan, persalinan dan masa nifas,
sehingga keadaan postpartum sehat dan
normal. Ini berarti dalam ANC seorang ibu
hamil akan diusahakan agar sampai akhir
kehamilan sekurang kurangnya, harus
sama sehatnya atau lebih sehat, adanya
kelainan fisik atau psikologi harus
ditemukan dini dan diobati, wanita
melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang
dilahirkan sehat fisik dan mental[11].
Menurut Depkes RI[9] pelayanan
standar yang harus dilakukan oleh bidan
atau tenaga kesehatan saat ANC dikenal
dengan 10T. Standar pelayanan ini
diterapkan berdasarkan evidanced based
dengan tujuan dan maksud untuk
mengetahui status kesehatan ibu dan
janin. Pelayanan standar 10T tersebut
diantaranya adalah :
1. Timbang berat badan dan ukur tinggi
badan
2. Pemeriksaan tekanan darah
3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan
atas)
4. Pemeriksaan puncak rahim (tinggi
fundus uteri)
5. Tentukan presentasi janin dan denyut
jantung janin (DJJ)
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan
berikan imunisasi Tetanus Toksoid
(TT) bila diperlukan.
7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90
tablet selama kehamilan
8. Test laboratorium (rutin dan khusus)
9. Tatalaksana kasus
10. Temu wicara (konseling), termasuk
Perencanaan
Persalinan
dan
Pencegahan Komplikasi (P4K) serta
KB pasca persalinan
ANC untuk setiap wanita hamil
memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan
selama periode antenatal, yaitu 1 kali
kunjungan selama trimester pertama
(sebelum minggu ke 14 ), 1 kali kunjungan
selama trimester kedua (antara minggu 14
-28) dan 2 kali kunjungan selama
trimester ketiga (antara minggu 28-36 dan
sesudah minggu ke 36). Semakin tinggi
tingkat kesadaran para wanita hamil akan
pentingnya pemeriksaan kehamilannya
(sekurang-kurangnya 4 kali), semakin dini
pula komplikasi dalam kehamilan dapat
ditangani[6].
Di Indonesia cakupan kunjungan
ibu hamil K1 pada tahun 2011 adalah
95,71% dari target 95 % dan kunjungan
ibu hamil K4 sebanyak 88,27% dari target
90%[12]. Meskipun kunjungan ibu hamil
hampir memenuhi target, masih perlu ada
perhatian khusus peningkatan kunjungan
ANC terutama pada K4 sebagai masa
persiapan kelahiran.
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi
tercapai
atau
tidaknya
kunjungan KI sampai K4 ibu hamil
diantaranya adalah faktor internal (paritas
dan usia) dan eksternal (pengetahuan,
sikap, ekonomi, sosial budaya, geografis,
informasi dan dukungan)[9].
Saat ini, muncul fenomena ibu
hamil tanpa dukungan dari suami yang
disebabkan oleh banyak hal salah
satunya karena kesibukan mencari
nafkah, tingkat pengetahuan suami yang
rendah, dan sikap acuh suami yang
menganggap kehamilan
sepenuhnya
tanggung jawab wanita[6]. Pernyataan ini
sesuai dengan hasil survei yang dilakukan
oleh Lia Mulyanti, dkk [13] pada 30 ibu
hamil di Rumah Bersalin Bhakti IBI
21
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Semarang Tahun 2010 menunjukan ibu
hamil yang tidak mendapat dukungan
suami sebanyak 17 orang (56,7%)
sedangkan ibu hamil yang mendapat
dukungan suami hanya sebanyak 13 orang
(43,3%).
Analisis Hubungan Dukungan Suami
dengan Kunjungan ANC
Tabel 1. Dukungan Suami dalam Kunjungan ANC
Dukungan
suami pada
ibu hamil
Tidak mendukung
Mendukung
Total
Kunjungan ANC
Tidak
baik
11
(64,7
%)
2
(15,4
%)
13
(43,3
%)
Baik
Jumlah
17
(56,7
%)
13
(43,3
%)
30
(100
%)
6
(35,3
%)
11
(84,6
%)
17
(56,7
%)
Sumber: Lia Mulyanti13
Tabel
diatas
adalah
hubungan
persentase antara dukungan suami
dengan kunjungan ANC di Rumah Bersalin
Bhakti IBI Semarang tahun 2010. Dapat
diketahui bahwa dari 17 ibu hamil yang
tidak didukung oleh suaminya, hanya 6
orang (35,3%) melakukan kunjungan ANC
dengan baik. Sedangkan dari 13 ibu hamil
yang mendapatkan dukungan suaminya,
11 orang (84,6%) melakukan kunjungan
ANC dengan baik. Data sejenis juga
diperoleh dari analisis hubungan dukungan
suami terhadap motivasi ibu.
Tabel 2. Analisis Hubungan Dukungan
Suami terhadap Motivasi Ibu
Dukungan
suami
Mendukung
Tidak
Mendukung
Jumlah
Motivasi Ibu
TermotiTidak
vasi
Termotivasi
n
%
N
%
Jumlah
n
%
26
13,
3
50.
0
3
0
1
0
77
,5
22
,5
21,
2
4
0
10
0
5
31
86,
7
50.
0
4
78,
8
9
5
Adapun penelitian lain pada salah
satu daerah di Indonesia yang dilakukan
oleh
Deviana
Haruma-wati[15]
di
Puskesmas Babadan Ponorogo kepada
20 orang ibu hamil. Sebanyak 9 ibu hamil
mendapat dukungan suami dan 8 orang
diantaranya melakukan kunjungan ANC
dengan baik (rutin melakukan kunjungan)
dan 1 antara 9 orang itu melakukan
kunjungan tidak baik. Sedangkan 11 ibu
hamil yang lain tidak memperoleh
dukungan
suami,
3
diantaranya
melakukan kunjungan ANC dengan baik
dan 8 diantaranya tidak melakukan
kunjungan ANC. Terdapat pula perbedaan
psikologis yang dialami 9 ibu hamil yang
mendapat dukungan suami yaitu ibu lebih
tenang menghadapi kehamilan dan
persalinan.
Ketiga daerah di Indonesia ini
adalah beberapa bukti adanya hubungan
antara
dukungan
suami
dengan
kunjungan
ANC.
Data-data
ini
menunjukan bahwa sebagaian besar ibu
yang melakukan kunjungan ANC dengan
baik karena mendapat dukungan suami
dalam masa kehamilannya.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa
dukungan suami baik fisik maupun psikis
merupakan suatu bentuk perwujudan dari
sikap perhatian dan kasih sayang. Sikap
ini bila diberikan pada ibu hamil akan
memberikan pengaruh positif dalam
persiapan untuk menghadapi kehamilan
minggu-minggu selanjutnya, persalinan,
masa nifas dan perawatan bayi melaui
kunjungan ANC[16].
Suami dukung ANC, Ibu Selamat Bayi
Sehat
Dalam jurnal “Influence of Family
Members on Utilization of Maternal Health
Care Services”[17] disebutkan bahwa di
antara suami dan ibu mertua, suami ibu
hamil itu dianggap sebagai orang yang
paling berpengaruh, terutama pada ibu
muda (remaja dan dewasa muda).
Dengan
demikian, keterlibatan suami
sangat penting sebagai strategi untuk
meningkatkan pemanfaatan pelayanan
kesehatan ibu termasuk ANC.
Sumber: Rismawati, dkk14
22
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Adapun beberapa bentuk dukungan
yang dapat diberikan suami kepada istri
untuk menyukseskan program ANC,
diantaranya :
1. Memberi dukungan fisik
Menurut Murray, Mc Kinney & Gorrie
[18]
, selama kehamilan ibu membutuhkan
bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas
rumah tangganya. Beberapa tindakan yang
dapat dilakukan suami seperti misalnya :
membantu angkat air dari sumur,
membantu menyapu halaman, membantu
mencuci piring dan pekerjaan lain yang
meringankan istri.
Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab ibu hamil kurang patuh dalam
melakukan ANC secara teratur dan tepat
waktu, salah satu diantaranya yaitu
kesibukan ibu terhadap pekerjaan rumah
[19]
. Urusan-urusan rumah tangga membuat
ibu merasa terbebani dan tidak memiliki
waktu untuk melakukan ANC terlebih untuk
pasangan tanpa melibatkan asisten rumah
tangga atau bantuan dari orang lain dalam
menyelesaikan
pekerjaan
rumah.
Sehingga dengan adanya bantuan dari
suami, diharapkan istri menjadi lebih fokus
dengan
kehamilan
termasuk
dalam
kunjungan ANC.
2. Mengingatkan jadwal ANC
Jadwal kunjungan ANC selama
masa kehamilan tidak terjadwal setiap
minggu, seperti yang diketahui kunjungan
ANC dilakukan minimal 4 kali (1 kali pada
TM 1, 1 kali pada TM 2 dan 2 kali pada TM
3)[6]. Jarak antara kunjungan 1 ke
kunjungan berikutnya kurang lebih 1-2
bulan setelah kunjungan pertama dan hal
ini berpotensi membuat ibu hamil lupa
dengan jadwal kunjungan selanjutnya.
Dalam situasi ini suami dapat mengambil
peran dalam mengingatkan istri jadwal
kunjungan ANC. Suami harus berperan
aktif selalu menyarankan istri pentingnya
ANC dan rutin melakukan kunjungan[6].
Keadaan seperti ini dapat pula
disiasati dengan memberi pujian bila istri
sudah melakukan kunjungan atau telah
mengikuti pesan bidan/dokter.
Suatu
pujian,
sanjungan
dan
penilaian yang baik akan memotivasi
seseorang melakukan hal berkaitan
dengan pujian, sebaliknya hukuman dan
pandangan negatif seseorang akan
menjadi hambatan proses terbentuknya
perilaku[6].
3. Menemani istri dalam kunjungan ANC
Kunjungan ANC yang ideal dan
disarankan adalah kunjungan dengan
didampingi oleh suami atau kerabat.
Memberi pengetahuan kepada wanita
hamil dan suaminya dapat menghasilkan
dampak lebih besar pada perilaku
kesehatan ibu dalam kehamilannya
dibanding memberi pengetahuan tanpa
ada pendampingan suami[20].
Adapun maksud dari keikutsertaan
suami dalam melakukan kunjungan yaitu
diharapkan tidak hanya istri namun suami
sebagai orang terdekat istri juga
mengetahui gejala dan tanda komplikasi
kehamilan, gizi dalam kehamilan, P4K
dan hal-hal penting lainnya yang
diperlukan selama masa kehamilan.
Pertemuan langsung suami dengan bidan/
dokter menjadi kesempatan pasangan
untuk berkonsultasi seputar kehamilan.
Dengan mewajibkan kehadiran
suami selama kunjungan ANC akan
mempermudah unit perawatan kesehatan
primer mendapat persetujuan suami
dalam mempermudah perawatan ibu
hamil[21]. Hal ini disebabkan karena suami
telah memperoleh pengetahuan selama
ANC tentang keadaan yang mungkin akan
terjadi pada ibu hamil, sehingga
perawatan atau perujukan menjadi lebih
efektif karena tidak ada penolakan dari
suami sebagai decision maker. perawatan
atau perujukan menjadi lebih efektif
karena tidak ada penolakan dari suami
sebagai decision maker.
Selain itu kunjungan ANC dengan
suami juga berpengaruh pada psikologis
ibu hamil yaitu ibu menjadi lebih percaya
diri
dengan
kehamilannya
serta
mengurangi kecemasan istri
selama
kunjungan ANC[22].
4. Mencari informasi seputar kehamilan
Informasi-informasi yang diperoleh
suami sebagai bentuk pengetahuan
seputar kehamilan, persalinan, nifas
hingga perawatan bayi dapat diperoleh
suami melalui internet, antental class,
membaca buku KIA,
dan mencari
informasi ke bidan, dokter atau kerabat
yang sudah berpengalaman. Informasiinformasi ini nantinya dapat di-share
sebagai tambahan pengetahuan istri
seputar kehamilan.
23
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Dari
hasil
analisis
dengan
menggunakan uji statistik diperoleh
bahawa ada hubungan secara bermakna
antara tingkat pengetahan suami dengan
sikap dukungan yang diberikan suami
selama proses kehamilan sampai masa
nifas[23]. Pengetahuan yang dimiliki suami
tentang kehamilan, persalinan dan nifas,
membuat suami semakin aware dengan
hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan
seperti memahami tanda-tanda dan
persiapan persalinan, perubahan fisik dan
psikologis ibu hamil, memahami perannya
sebagai pendamping persalinan, pembuat
keputusan
yang
rasional,
hingga
mendukung IMD dan ASI ekslusif[24].
Upaya Meningkatkan Dukungan Suami
dalam Menyukseskan ANC
Mengingat
akan
pentingnya
dukungan suami dalam menyukseskan
ANC, perlu ada kiat-kiat khusus yang
diterapkan pasangan suami istri dan bidan/
dokter yang memberikan pelayanan
diantaranya adalah :
1. Bidan/dokter melibatkan partisipasi
suami dalam pemeriksaan ANC[25].
Dalam hal ini bidan/dokter dapat
meningkatkan
peran
suami
dalam
kunjungan ANC dengan cara meminta
suami yang mendampingi istri masuk
ruang pemeriksaan untuk mendapat
edukasi seputar kehamilan bersama
istrinya dan tidak hanya menunggu di luar
tempat praktik bidan/dokter. Sedangkan
ibu dengan kunjungan ANC yang tidak
didampingi suami, diberi saran oleh bidan/
dokter untuk mengajak suami datang
menemani pada kunjungan berikutnya
sekaligus menjelaskan manfaat-manfaat
dari keterlibatan suami tersebut bagi ibu
dan kehamilannya.
2. Memberikan penyuluhan kepada
suami mengenai konsep ‘Suami Siaga’
Suami siaga yaitu kewaspadaan
suami untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan istrinya yang sedang hamil
sampai dengan persalinannya. Suami
siaga senantiasa siap memberikan yang
terbaik untuk istri dan janinnya. Sebagai
suami siaga ia siap dan ikhlas untuk
memeriksakan kehamilan istrinya dan ikut
mempersiapkan persalinan dengan tenaga
medis[25].
Peran suami siaga ini dapat
ditingkatkan melalui penyuluhan yang
dilakukan oleh pihak terkait, seperti : bidan,
dokter, kader, suami siaga, dll. Penyuluhan
dapat dilakukan pada sarana atau tempattempat berkumpul dan berinteraksi para
lelaki, misalnya tempat kerja dan forum
komunikasi desa. Penyuluhan suami
siaga diharapkan dapat mengubah
perilaku suami yang memiliki istri hamil
agar lebih memiliki sikap peduli dan siaga
terhadap kehamilan.
Adapun pengertian suami siaga
secara rinci adalah :
Siap :
1. Secara mental, ketika ibu sedang
menghadapi
persalinan,
suami
mempersiapkan mentalnya untuk
memberikan
dukungan
atau
semangat kepada istri.
2. Secara fisik, suami mempersiapkan
diri dan lingkungan untuk menjaga
dan melindungi istrinya.
3. Secara
materil,
suami
mempersiapkan
dana
untuk
persalinan istrinya.
Antar : Suami mengantarkan istri ketika
kunjungan ANC, merasakan adanya
tanda- tanda dan gejala persalinan.
Jaga : Suami menjaga istri ketika
menghadapi persalinan[26].
Setiap
kehamilan
berisiko
membawa komplikasi, hampir tidak dapat
diprediksi siapa, kapan dan bagaimana
ibu hamil mengalami komplikasi. Fakta
inilah yang dapat dijadikan pelajaran
bahwa setiap ibu hamil harus mempunyai
akses asuhan kehamilan dan persalinan
yang berkualitas yang dapat diperoleh
melalui ANC terpadu. ANC yang
berkualitas dapat diperoleh salah satunya
melalui dukungan suami yang dapat
diberikan
dalam
beberapa
bentuk
dukungan terhadap istrinya. Dukungandukungan ini dapat ditingkatkan melalui
kesadaran suami itu sendiri, ajakan dari
istri, bidan/dokter dan penyuluhan tentang
suami siaga.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik. 2013. Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
2. BKKBN. Angka Kematian Ibu
Melahirkan. 2013. 20 October 2015
<http://www.m enegpp.go.id/v2/
indeks.phhp/datadaninformasi/
kesehatan>.
24
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
3. Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
4. Joewono, Benny. Data Penelitian AKI
dan AKB di Indonesia. 2012. 29
Oktober
2015
<http://
www.kompas.com>
5. Depk es RI. 2008.
Millenium
Development Goals 2015. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
6. Saifuddin. 2006. Pelayanan Kesehatan
Maternal & Neonatal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
7. Kementerian Kesehatan RI. 2010.
Pedoman Pelayanan Antenatal.
Jakarta: Kementerian Kesehatan
Direktur Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat
8. C a t h e r i n e
A.
Niven.
2005.
Psychological Care for Families:
Before, During and After Birth. British:
British Library Cataloguing in
Publication Data
9. Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan
Nasional. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia
10. Depdiknas. 2005.
Educational
Indicators in Indonesia, 2004/2005.
Jakarta: Ministry of National
11. Wiknjosastro, H, dkk. 2006. Ilmu
Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
12. Depkes RI. 2012. Pedoman Pelayanan
Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar
Puskesmas. Jakarta: Pusdiknakes
13. Lia Mulyanti. “Hubungan Dukungan
Suami pada Ibu Hamil dengan
Kunjungan ANC di Rumah Bersalin
Bhakti IBI Jl. Sendangguwo Baru V No
44c Kota Semarang”. 2010. 15
Ok tober
2015<http://
www.jurnal.unimus.ac.id>
14. Rismawati, dkk. Hubungan Dukungan
Suami dengan Motivasi Ibu Hamil
terhadap Pemeriksaan Antenatal Care
(ANC) di RSKDIA Siti Fatimah
Makassar Tahun 2012. Makasar:
STIKES Nani Hasanuddin Makassar.
15. Harum awati,
Deviana.
2012.
Penelitian: Gambaran Dukungan
Suami dalam Antenatal Care Ibu
Hamil. Ponorogo.
16. Notoatmodjo, S. 2005. Promosi
Kesehatan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT Rineka Cipta
17. Upadhyay P. 2014. Influence of
Family Members on Utilization of
Maternal Health Care Services
Among Teen and Adult Pregnant
Women in Kathmandu, Nepal: A
Cross Sectional Study. Thailand:
Faculty of Medicine, Prince of Songkla
University, Hat Yai, Songkhla
18. Gorrie, T.M., Mc Kinney, E.S., &
Murray, S.S. 2005. Foundation of
Maternal Newborn Nursing 2 nd.
California: WB Saunders Co
19. Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi
Sosial. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
20. Britta C., Mullany, et.al.. 2009. 29
Oktober
2015
<http://
www.jnma.com.np/jnma/index.php/
jnma/article/viewFile/191/673>
21. Aparajita Chattopadhyay. Men In
Maternal Care: Evidence From India.
Journal Of Biosocial Science. 2012.
29
Oktober
2015
<http://
journals.cambridge.org/action/
d i s p l a y A b s t r a c t ?
fromPage=online&aid=8478377&fileId
=S0021932011000502>
22. Kusmiati, dkk. 2008. Panduan
Lengkap Perawatan Kehamilan.
Yogyakarta: Fitramaya
23. Muhariadi Nugroho. 2005. Peranan
Suami dalam Perawatan Kehamilan
dan Persalinan Istri. Surabaya:
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
24. Soemantri KN. 2004. Kajian Kematian
Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta:
Depkes RI
25. Nurani, Meytha Winarso, Inang. 2013.
Gerakan Partisipatif Ibu Hamil,
Menyusui dan Bayi. Jakarta: EGC
26. Syafrudin Hamidah, 2009. Kebidanan
25
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Penyegar
PERCEPATAN AFIRMASI POSITIF
DALAM GELOMBANG ALFA DENGAN
MUSIK RELAKSASI GUNA MENSTIMULASI HORMON OKSITOSIN DALAM
PROSES PENGELUARAN ASI
Fanisa Mutiara Apriliani1, Tesha Rosyida N.A1
1
Program Studi D III, Akademi Kebidanan, Yogyakarta
Menyusui adalah proses pemberian
Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi, dimana
bayi memiliki refleks menghisap untuk
mendapatkan dan menelan ASI.[1] Akan
tetapi, proses menyusui bukanlah suatu
hal yang mudah. Banyak keluhan yang
dirasakan ibu menyusui, salah satunya
adalah ibu merasa cemas dan khawatir
bahwa ASI nya tidak bisa keluar dan tidak
mencukupi kebutuhan bayi sehingga
menimbulkan stres pada ibu terutama
pada ibu pasca salin yang akan melakukan
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Kelelahan,
perasaan stres, takut, dan cemas setelah
melahirkan yang dirasakan oleh seorang
ibu dapat menyebabkan hormon oksitosin
yang berfungsi dalam proses kelancaran
aliran ASI terhambat produksinya.[2]
Hormon oksitosin berperan pada
refleks pengeluaran ASI (let down refleks)
yang akan mengerutkan sel-sel otot
disekitar kelenjar payudara sehingga ASI
terperas keluar. Walaupun produksi ASI
cukup banyak, apabila refleks ini tidak
bekerja maka bayi tidak akan
mendapatkan ASI yang memadai. [3]
Sehingga, perlu dilakukan manjemen stres
pada ibu agar ibu berada pada kondisi
yang nyaman dan percaya diri akan ASI
yang akan dikeluarkan.
Banyak cara yang bisa dilakukan
untuk membantu ibu dalam merangsang
pengeluaran ASI secara alamiah. Salah
satu caranya yaitu dengan afirmasi postif
yang dilakukan ketika ibu dalam kondisi
rileks dan berada pada gelombang otak
Alfa. Kondisi rileks ini dapat diperoleh melalui musik relaksasi. Terapi musik ini
merupakan salah satu teknik distraksi yang
efektif dan dipercaya dapat menurunkan
nyeri fisiologis, stres dan kecemasan
dengan mengalihkan perhatian seseorang
dari nyeri.[4]
Musik memiliki beberapa kelebihan,
yaitu karena musik bersifat nyaman,
m e n e n a ngk a n,
m em b u a t
r i l ek s ,
berstruktur, dan universal. Perlu diingat
bahwa banyak dari proses dalam hidup
kita selalu berirama. Sebagai contoh,
nafas kita, detak jantung, dan pulsasi
semuanya berulang dan berirama.
Relaksasi yang dalam dan teratur
membuat sistem endokrin, aliran
darah, persyarafan dan sistem lain di
dalam tubuh anda akan berfungsi lebih
baik.[5]
Menjaga sikap positif sangatlah
penting seperti merasa tenang dan rileks
selama menyusui, karena ketika ibu
merasa rileks, maka akan merangsang
hormon di dalam tubuh, yaitu hormon
endorfin atau hormon kebahagiaan.
Salah satu fungsi dari hormon endorfin adalah bisa membantu tubuh untuk
mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon
prolaktin adalah hormon utama dalam
proses produksi ASI. Selain hormon
prolaktin, terdapat hormon oksitosin yang
dihasilkan oleh hipofisis posterior dimana
hormon ini berfungsi untuk pengeluaran
ASI atau pada saat LDR (let down reflex).
Refleks pengeluaran ASI lebih rumit
dibandingkan refleks pembentukan ASI.
Pikiran maupun perasaan ibu akan sangat
memengaruhi refleks ini. Dengan melihat
bayinya, memikirkan bayi dengan
perasaan penuh kasih sayang,
mendengar tangisan bayi, mencium bayi
dan perasaan ibu yang tenang serta
bahagia. Semua ini dapat meningkatkan
refleks pengeluaran ASI. Sebaliknya,
stres merupakan hal yang
dapat
menghambat refleks oksitosin. Perasaan
negatif, kesakitan, khawatir, ragu-ragu,
kecewa dan stres dalam keadaan darurat
akan menghambat refleks oksitosin dan
juga mengakibatkan pancaran ASI-nya
26
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
berhenti. Opiate dan endorfin B yang
dilepaskan saat seseorang dalam tekanan
(stres) akan menghambat pelepasan
oksitosin.[3]
Fungsi lain dari hormon endorfin
bisa memicu aktivasi gelombang alfa yang
ada dalam otak. Gelombang alfa adalah
jenis gelombang otak yang ada ketika
dalam kondisi rileks dan nyaman.[7] Kondisi
ini adalah kondisi yang tepat untuk memberikan afirmasi positif kepada ibu. Karena
gelombang alfa adalah penghubung antara
pikiran sadar dan bawah sadar manusia.
Pikiran bawah sadar yaitu pikiran yang
tidak selalu bersifat tidak sadar.
Sebaliknya, pikiran bawah sadar
sebenarnya sangat sadar dan responsif
terhadap setiap kejadian. Pikiran bawah
sadar dikatakan tidak sadar dalam
pengertian bahwa pikiran sadar tidak sadar
akan keberadaan, kegiatan atau operasi,
upaya komunikasi dan pengaruh pikiran
bawah sadar terhadap pikiran, persepsi,
dan perilaku. Pikiran bawah sadar diberi
nama demikian karena (pikiran sadar) kita
tidak sadar akan keberadaan pikiran ini.
Saat dua orang berinteraksi, pikiran bawah
sadar mereka saling sibuk mengamati
kegiatan bawah sadar lawan bicaranya,
tanpa pikiran sadar mereka tahu apa yang
sedang terjadi.[8]
Komunikasi
bawah
sadar
mempunyai efek pengaruh yang sama
kuat, bahkan bisa lebih kuat daripada
pengaruh komunikasi dengan pikiran
sadar. Sehingga sangat efektif apabila
pada kondisi ini dilakukan afirmasi positif
guna menyakinkan ibu tentang kecukupan
ASI nya sehingga ibu tidak lagi cemas.
Afirmasi ini akan lebih efektif apabila
dengan bantuan suami dan dukungan dari
orang-orang terdekat si ibu. Suami dapat
mensugestikan kata-kata positif untuk
meyakinkan ibu, contohnya yaitu, “Ibu,
Ayah percaya bahwa ASI ibu akan cukup
untuk kebutuhan nutrisi anak kita. Ayah
akan selalu mendampingi ibu disini”. Selain
itu, sang ayah juga dapat memberikan
sentuhan guna merangsang hormon
endorfin pada ibu, sehingga ibu lebih
merasa nyaman, rileks dan percaya diri.
Musik relaksasi dapat membantu
proses pengeluaran hormon endorfin
yang akan memberikan rasa nyaman dan
rileks pada ibu. Dalam keadaan ini gelombang alfa akan bekerja karena ibu berada
dalam zona sangat nyaman sehingga
akan mulai berpindah dari alam sadar ke
alam bawah sadar.Saat ini ibu maupun
suami dapat mengucapkan afirmasi positif
untuk membangun kepercayaan diri ibu
dan mengurangi rasa stresnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rosalia, R. 2012. Pengaruh senam
yoga terhadap peningkatan produksi
asi pada ibu yang menyusui di
wilayah kerja puskesmas nanggalo
padang tahun 2012. Padang:
Universitas Andalas.
2. Budiarti, V & Nurhidayati, A. 2012.
Pemanfaatan zat laktagogum pada
daun tapak liman (elephantopus scaber l.) Sebagai alternati memperlancar
hormon oksitosin dalam pengeluaran
asi eksklusif. Bimabi vol 1 no.3.
3. “Ibu Stress, Asi Terhenti”. 2012. 25
Oktober 2015. < Http://anakku.net>.
4. Potter, p.a., & Perry, a.g. 2006. Buku
Ajar Fundamental Keperawatan
(pp.1507, 1529-1532). Jakarta: EGC.
5. Universitas Diponegoro. 2014. 26 Oktober
2015.
<Http://
eprints.undip.ac.id/43162/1/14._bab_1
.pdf>.
6. Lawrenc e
ra,
lawrence
rm .
Breasfeeding. A guide for the medical
profession. Edisi ke-6. Philadelphia;
mosby,2011
7. “ Mengakses Alpha Theta dalam Satu
Menit”. Quantum Mind Technology
Center. 2012. 25 Oktober 2015.
<http://www.naqsdna.com/2012/05/
mengakses-alpha-theta-dalam -1menit.html>.
8. “ Gelombang Alpha dapat Meningkatkan Kreatifitas”. Quantum Mind Technology Center. 2012. 25 Oktober
2 0 1 5 .
< h t t p : / /
www.naqsdna.com/2012/05/
gelombang-alpha-dapatmeningkatkan-kreativitas.html>.
27
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Penyegar
SMS BUNDA : SELAMATKAN GENERASI BANGSA SEJAK AWAL KEHIDUPAN
Yuni Irawati1, Lulu Latifah1
1
Program Diploma DIV Kebidanan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Padjadjaran, Sumedang
Pembangunan
kesehatan
merupakan bagian dari pembangunan
nasional, dimana setiap penduduk dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal, sebagai salah satu unsur
kesejahteraan
umum
dari
tujuan
pembangunan
nasional
yang
akan
terwujud ketika penyelenggaraan upaya
kesehatan oleh bangsa Indonesia dapat
berjalan secara optimal. Salah satu yang
menjadi indikator penting sebuah negara
dinyatakan negara maju adalah dengan
mengukur derajat kesehatan suatu negara
yakni, menurunnya angka kematian ibu
dan anak.
RPJMN 2014-2019, menjadikan
Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian
Bayi menjadi salah satu indikator sasaran
pembangunan kesehatan dimana angka
yang ditargetkan untuk AKI pada tahun
2019 mencapai angka 306/100.000
kelahiran hidup. Dan AKB ditargetkan
mencapai angka 24/1.000 kelahiran hidup.
Setelah RPJMN, masih ada target yang
harus dicapai oleh Indonesia yakni SDG’S
yang merupakan kelanjutan dari program
MDG’s yang akan selesai pada akhir tahun
2015.[1]
Antenatal care atau pemeriksaan
kehamilan memegang peranan yang
sangat penting untuk dapat mendeteksi
sedini mungkin masalah-masalah yang
dialami oleh ibu hamil, sehingga kematian
atau penyakit yang tidak perlu terjadi pada
ibu dan bayi dapat dihindari.
Masyarakat
pada
umumnya
beranggapan
bahwa
kehamilan
merupakan suatu hal biasa sehingga
merasa tidak perlu untuk memeriksakan
kehamilannya ke tenaga kesehatan. Selain
anggapan yang salah, faktor ibu yang
bekerja di luar rumah, letak Negara
Indonesia yang merupakan Negara
kepulauan dan geografis yang sangat
bervariasi menjadi suatu kendala di
Indonesia. Untuk menciptakan Negara
yang maju, kendala-kendala di atas
haruslah dapat segera dipecahkan dan
dicarikan solusinya[2]. Dimana saat ini
sudah ada satu program untuk bisa
memecahkan kondisi tersebut dan
program tersebut disebut sms bunda.
Perawatan
prenatal
adalah
perawatan yang diberikan kepada ibu
hamil untuk mencegah komplikasi dan
menurunkan kejadian morbiditas atau
kematian perinatal dan maternal.[3]
Periode antepartum meliputi saat
kehamilan dari hari pertama periode
menstruasi normal terakhir ke awal
persalinan yang sebenarnya, yang
menandai awal periode intrapartum.
Sejumlah penelitian telah melihat ke
dalam
hambatan
yang
dihadapi
perempuan ketika mereka membutuhkan
perawatan kesehatan. Secara umum, tiga
tingkat hambatan dapat diidentifikasi:
1. Tingkat Pertama terjadi ketika seorang
wanita atau keluarganya juga tidak
mengakui ada kebutuhan untuk
perawatan kesehatan atau gagal untuk
mencari perawatan kesehatan ketika
kebutuhan diakui. Contoh hambatan
tersebut meliputi :
a. Kurangnya pengetahuan atau
pemahaman tentang kehamilan
normal, dan tanda-tanda dan
gejala komplikasi kehamilan, dan
b. Membuat keputusan untuk tidak
mencari
perawatan
karena
kurangnya kenyamanan dengan
sistem
perawatan
kesehatan
dianggap sebagai budaya asing.
28
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
2. Tingkat kedua dari penghalang terjadi
ketika seorang wanita memiliki
kesulitan mencapai kesehatan setelah
dia
dan
k eluarganya
telah
m em utuskan
untuk
mencari
perawatan. Contoh situasi seperti
adalah :
a. masalah keterjangkauan,
b. masalah dengan transportasi, dan
c. ketersediaan janji di fasilitas lokal.[4]
Masyarakat pada umumnya beranggapan
bahwa kehamilan merupakan suatu hal
biasa, alamiah yang tidak memerlukan
perhatian ekstra. Anggapan inilah yang
membuat banyak ibu-ibu yang merasa
tidak
perlu
untuk
memeriksakan
kehamilannya ke tenaga kesehatan. Selain
anggapan yang salah, faktor ibu yang
bekerja di luar rumah, letak Negara
Indonesia
yang merupakan Negara
kepulauan dan geografis yang sangat
bervariasi menjadi suatu kendala di
Indonesia.
Untuk menciptakan Negara yang
maju, kendala-kendala di atas haruslah
dapat segera dipecahkan dan dicarikan
solusinya. Ketika masalah di atas dapat di
temukan solusinya maka, selain dapat
mencegah terjadinya kematian ibu dan
bayi, Indonesia pun dapat memperoleh
generasi-generasi cemerlang di masa
depan. Karena, seribu hari pertama
kehidupan di dalam kandungan itulah
masa-masa pertumbuhan otak pada janin
yang akan menentukan kehidupannya
setelah lahir nanti. Generasi emas ini
haruslah didukung dengan ibu yang patuh
untuk
memeriksakan
kehamilannya
minimal 4 kali, gizi makro dan mikro yang
terpenuhi, serta mengenali tanda bahaya
yang mungkin terjadi di setiap trimester
kehamilan. Kendati keempat kendala yang
sudah disebutkan di atas, maka timbulah
inovasi-inovasi dan gagasan yang berasal
dari berbagai tenaga kesehatan khususnya
bidan untuk membuat suatu layanan yang
mudah diakses, tidak mengeluarkan
banyak biaya, menarik bagi ibu hamil. Dan
diharapkan dengan adanya program ini
selain dapat membuat ibu hamil lebih
sehat,
menarik
ibu
untuk
pergi
memeriksakan kehamilan di tenaga
kesehatan dan mendeteksi secara dini
masalah-masalah apa saja yang ibu alami
saat masa kehamilan. Dan program
tersebut disebut SMS Bunda.
SMS Bunda yang digunakan untuk
Menyelamatkan Ibu dan Bayi di Indonesia
hasil kolaborasi JHPIEGO dengan GE
Foundation. Wanita hamil dan ibu setelah
melahirkan sekarang memiliki cara baru
untuk belajar bagaimana memastikan
mereka dan bayi mereka tetap sehat melalui ponsel mereka.
JHPIEGO, dengan dukungan dari
GE Foundation, telah mengembangkan
SMS Bunda - layanan pesan teks untuk
wanita hamil dan ibu setelah melahirkan.
SMS Bunda menyediakan informasi yang
menyelamatkan hidup wanita selama
kehamilan dan pada hari-hari awal setelah
melahirkan, seperti membantu wanita
mengidentifikasi
tanda-tanda
bahwa
mereka atau bayi mereka mungkin perlu
mengunjungi fasilitas kesehatan.
"SMS Bunda membantu bidan
untuk mendorong ibu untuk mengunjungi
fasilitas kesehatan. Tujuan kami adalah
untuk melihat semua wanita hamil
melahirkan bayi mereka di fasilitas
tersebut. "Koordinator bidan Safida Irianti
mengatakan selama acara promosi di
kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera
Utara, awal bulan ini. Sekitar 200 wanita
hamil dari daerah, bersama-sama dengan
petugas
kesehatan
dan
pejabat
pemerintah, hadir dalam acara tersebut.
Menurut WHO dan UNICEF, tingkat
kematian ibu dan bayi di Indonesia sangat
tinggi. Bahkan, Indonesia memiliki tingkat
tertinggi kematian ibu di kawasan AsiaPasifik. Diperkirakan 9.600 perempuan
meninggal setiap tahun akibat komplikasi
selama kehamilan dan persalinan, angka
kematian di kalangan bayi yang baru lahir
tidak menurun sejak tahun 2002.
Mayoritas kedua kematian ibu dan
bayi baru lahir dapat dicegah. Namun,
banyak wanita dan keluarga mereka tidak
memiliki pengetahuan tentang apa yang
diharapkan selama kehamilan dan
periode postnatal, termasuk praktikpraktik kesehatan dan tanda-tanda
bahaya bagi ibu dan bayi.
Dalam
sebuah
acara
untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat di
Karawang, Jawa Barat, awal tahun ini,
JHPIEGO Presiden dan CEO Dr Leslie
Mancuso menjelaskan manfaat dari
layanan SMS Bunda. "SMS Bunda
tepatnya adalah tipe inovasi yang dapat
membuat perbedaan di negara seperti
Indonesia.
Dengan
menyediakan
29
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
penting langsung melalui ponsel mereka,
kami memiliki kesempatan nyata untuk
menyelamatkan nyawa."
SMS Bunda memberikan solusi
murah dan inovatif yang menjangkau ibu
hamil dan ibu setelah melahirkan dimana
pun mereka berada. Setelah mengirimkan
pesan pendaftaran sederhana, perempuan
menerima pesan yang ditargetkan gratis
tentang perawatan antenatal dan postnatal
disesuaikan dengan panggung mereka dari
kehamilan dari trimester pertama sampai
42 hari setelah melahirkan. SMS tersebut
akan dikirimkan seminggu 3 kali. Konten
yang telah dikembangkan oleh dokter
sesuai dengan pedoman Departemen
Kesehatan serta Mobile Alliance for
Maternal Action (MAMA).
JHPIEGO bekerja bekerjasama
dengan
Health
Promotion
Center
Kementerian Kesehatan (Pusat Promosi
Kesehatan),
serta
dinas
kesehatan
kabupaten, untuk melaksanakan layanan
di kabupaten percontohan yaitu, Karawang
dan Cirebon di Jawa Barat dan Pakpak
Bharat di Sumatera Utara.
SMS Bunda diharapkan dapat
bermanfaat bagi ibu hamil dan ibu setelah
melahirkan di daerah lain dengan
membantu untuk memerangi tingginya
angka kematian ibu dan bayi. Saat ini,
SMS Bunda telah mencapai sekitar 2.000
perempuan di tiga kabupaten percontohan,
sementara lebih dari 30.000 pesan teks
telah dikirimkan ke wanita yang terdaftar
sejak layanan ini diperkenalkan pada bulan
April tahun ini (2011).[5,6]
Periode antepartum meliputi saat
kehamilan dari hari pertama periode
menstruasi normal terakhir ke awal
persalinan yang sebenarnya. Kehadiran
untuk perawatan prenatal jauh di bawah
tingkat yang diinginkan di sebagian besar
negara-negara berkembang, dikarenakan
masyarakat pada umumnya beranggapan
bahwa kehamilan merupakan suatu hal
biasa, alamiah yang tidak memerlukan
perhatian ekstra, sehingga merasa tidak
perlu untuk memeriksakan kehamilannya
ke tenaga kesehatan. Selain anggapan
yang salah, faktor ibu yang bekerja di luar
rumah, letak Negara Indonesia yang
merupakan negara kepulauan dan
geografis yang sangat bervariasi menjadi
suatu kendala di Indonesia. Saat ini sudah
ada
satu
program
untuk
bisa
memecahkan kondisi tersebut dan
program tersebut disebut SMS Bunda.
SMS
Bunda
diharapkan
dapat
menyelamatkan hidup wanita selama
kehamilan dan pada hari-hari awal setelah
melahirkan, serta dapat mengurangi
angka kematian kematian ibu dan bayi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan. 29 Oktober 2015 <
www.bpkp.go.id/RPJMN>.
2. Kementrian PPN/ dan Bappenas.
2015.
29
Oktober
2015
<www.sekretariatmdgs.or.id>.
3. Berghella, Vincenzo. 2007. Obstetric
evidence based guidelines. USA :
Informa Healthcare.
4. Oxford university press. 29 Oktober
2015 <http://www.oxfordjournals.org/
>.
5. “SMS Bunda”.Emas Saving lives of
Mothers and Newborns. 2014. 29 Oktober 2015<http://emasindonesia.org/
>.
6. Apec Digital Opportunity Center. 29
Oktober
2015
<http://
www.apecdoc.org/> .
30
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Laporan
Kasus
ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU BERSALIN DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT, KETUBAN PECAH PRETERM,
ANEMIA, DAN HAEMORRHAGE POST
PARTUM ET CAUSA ATONIA UTERI
Farida Fitriana1, Ivon Diah Wittiarika1 , Lilik Hidayati2
1
2
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga Surabaya
Instalasi Rawat Darurat Lt. 2 Obstetri Ginekologi, RSUD
Dr. Soetomo, Surabaya
ABSTRAK
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, khususnya di Jawa Timur mengalami
peningkatan dari 71,07 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) (tahun 2010) menjadi 103,90
per 100.000 KH (tahun 2011). Pada tahun 2011, penyebab kematian ibu terbanyak
adalah perdarahan 32%, dan Pre-Eklampsia 25%. Kasus ini merupakan kejadian preEklampsia berat dan Haemorrhage Post Partum (HPP) yang terjadi di Ruang VK IRD
RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 06-02-2014. Diagnosa pasien saat MRS
GIIIP1011 38-39 minggu, inpartu kala I fase laten dengan PEB + KPP + Anemia.
Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan tahapan empat kala persalinan. Pada kala I,
dilakukan observasi kondisi ibu dan janin, pemberian MgSO4, antibiotik, dan
pemeriksaan lab darah dan urin. Pada kala II, dilakukan pertolongan persalinan dengan
vakum ekstraksi. Pada kala III, dilakukan manajemen aktif kala tiga. Pada kala IV,
dilakukan eksplorasi dan repair jalan lahir. Dalam dua jam post partum, terjadi
perdarahan lebih dari 500cc, kontraksi uterus lembek, dan terdapat tanda syok
hipovolemik. Tatalaksana yang diberikan berfokus pada tindakan penanganan HPP,
meliputi resusitasi, identifikasi penyebab HPP, dan tes laboratorium. Hasil pemeriksaan
didapatkan kontraksi uterus lembek, plasenta lahir lengkap, dan robekan jalan lahir
sudah di repair, sehingga diketahui penyebab HPP adalah atonia uteri. Setelah itu,
dilanjutkan dengan terapi penyebab berupa masase fundus uteri, pemberian obat
uterotonika, dan dilakukan kontrol lokal dengan tampon kondom kateter. Sebab tampon
kondom kateter gagal, maka dilakukan tindakan operatif. Dalam kasus ini, bidan dapat
melakukan tugas pokok dan fungsi secara mandiri, kolaborasi, maupun rujukan untuk
menyelamatkan kondisi pasien.
Kata kunci: Pre-eklampsia, Haemorrhage Post Partum (HPP).
ABSTRACT
The Maternal Mortality Rate (MMR) in Indonesia, especially in East Java increased from
71.07 per 100,000 live births (in 2010) to 103.90 per 100,000 live births (2011). In 2011,
the highest cause of maternal mortality is bleeding 32%, and Pre-Eclampsia 25% . This
case report is the incidence of severe pre-eclampsia and Haemorrhage Post Partum
(HPP) that occurs at emergency unit Dr. Soetomo Hospital on 06-02-2014. Patient's
diagnose is GIIIP1011 38-39 weeks, latent phase with PEB + KPP + Anemia. Delivery
management was done based on the four stage of delivery, including observation of
maternal and fetal condition, giving MgSO4, antibiotics, and blood and urine laboratory
tests in the first stage. In the second stage, made aid delivery by vacuum extraction. In
the third stage, carried out active management of the third stage. In the fourth stage, did
exploration and repair the birth canal. In two hours post partum, there are hemorrhage
more than 500 cc, uterine contraction was weak, and there are signs of hypovolemic
shock, so the diagnose of HPP was decided. Procedures of treatment are given
31
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
focusing on HPP treatment, including resuscitation, identifying the cause of HPP, and
laboratory tests. Examination result was obtained flaccid uterine contractions, the
placenta was complete, and already laceration repair in the birth canal, so the cause of
HPP was atonic uterus. After that, proceed with the massage therapy on fundus of
uterus, giving uterotonic drug, and local control was done with tampon condom catheter.
Because the tampon condom catheter failed, then did the operative therapy. In this
case, the midwife can perform basic tasks and functions independently, collaboration,
and referral to save the patient's condition.
Keywords: Pre-eclampsia, Haemorrhage Post Partum (HPP).
1. LATAR BELAKANG
Salah satu indikator pencapaian
derajat kesehatan suatu negara adalah
Angka Kematian Ibu (AKI). Di Indonesia,
AKI menurun dari 307 per 100.000
Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2004
menjadi 228 per 100.000 KH pada tahun
2007. Target yang akan dicapai sesuai
kesepakatan Millenium Development
Goals (MDGs) tahun 2015, AKI turun
menjadi 102 per 100.000 KH[1], meskipun
demikian angka tersebut masih tertinggi di
Asia[2]. Data Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa timur menyebutkan bahwa AKI tahun
2011 mencapai 104,3 per 100.000 KH[3].
Data Dinas Kesehatan Kota Surabaya
tahun 2013 menyebutkan bahwa AKI pada
tahun 2009 mencapai 81,60 per 100.000
KH, tahun 2010 mengalami penurunan
menjadi 71,07 per 100.000 KH, namun
pada tahun 2011 mengalami peningkatan
tajam menjadi 103,90 per 100.000 KH[4,5].
Dengan demikian, upaya penurunan AKI di
Indonesia, khususnya di Jawa Timur
membutuhkan usaha keras yang terus
menerus dari semua pihak.
Menurut laporan Kesehatan Ibu dan
Anak (KIA) Provinsi tahun 2011, jumlah
kematian ibu yang dilaporkan sebanyak
5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu
terbanyak masih didominasi oleh
perdarahan 32%, hipertensi dalam
kehamilan 25%, infeksi 5%, partus lama
5%, dan abortus 1%[6]. Menurut WHO[7],
komplikasi utama yang menyebabkan 80%
kematian maternal meliputi perdarahan
pasca persalinan, infeksi (biasanya setelah
melahirkan), tekanan darah tinggi selama
kehamilan (pre-eklampsia dan eklampsia),
dan aborsi yang tidak aman.
Pre-Eklampsia Berat (PEB) adalah
suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan
timbulnya
hipertensi
≥160/110 mmHg disertai protein urine dan
atau edema pada wajah dan telapak
tangan saat kehamilan 20 minggu atau
lebih[8]. Gejala Klinis PEB meliputi:
tekanan darah sistolik ≥160 mmHg,
diastolik ≥110 mmHg, protein urin ≥5gr/24
jam atau kualitatif (+4), oliguri jumlah
produksi urine ≤500cc/24 jam atau disertai
kenaikan kadar kreatinin darah, adanya
gejala impending eklampsia: gangguan
visus, gangguan serebral, nyeri
epigastrium, hiperrefleksia, dan adanya
Sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver Enzymes, Low Platelets) [8]. Pada
PEB terjadi peningkatan curah jantung
dan resistensi perifer, hal ini akan
berakibat fatal jika ibu melakukan aktivitas
yang meningkatkan payah jantung,
termasuk mengejan[9]. Oleh karena itu,
pada penatalaksanaan aktif PEB,
dilakukan percepatan kala II, salah
satunya dapat dilakukan dengan bantuan
ekstraksi vakum [9].
Ketuban Pecah Pretem (KPP)
adalah pecahnya ketuban sebelum
inpartu, atau pecahnya ketuban sebelum
pembukaan 3 cm pada primigravida, dan
sebelum pembukaan 5 cm pada
multigravida[10]. Anemia adalah defisiensi
sel darah merah atau kekurangan
hemoglobin. Hal ini mengakibatkan
penurunan jumlah sel darah merah dalam
batas normal tetapi jumlah hemoglobinnya
subnormal. Karena kemampuan darah
untuk membawa oksigen berkurang,
maka individu akan terlihat pucat atau
kurang tenaga[11]. Berdasarkan gambaran
klinis, anemia dapat dibagi menjadi tiga,
yakni anemia ringan (Hb : 8 – 10gr%),
anemia sedang (Hb: 6 – 8 gr%), anemia
berat (Hb: kurang dari 6 gr%)[11].
Perdarahan pasca persalinan atau
Haemorrhage Post Partum (HPP) ialah
perdarahan lebih dari 500 ml yang terjadi
setelah lahirnya bayi[9,12].
32
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Klasifikasi HPP meliputi Perdarahan post
partum primer yaitu perdarahan yang
terjadi dalam 24 jam pertama, dan
perdarahan post partum sekunder yaitu
perdarahan yang terjadi setelah 24 jam
pertama sampai 6 minggu setelah bayi
lahir[9]. Terdapat empat faktor penyebab
utama HPP, yaitu kegagalan kontraksi dan
retraksi serabut otot miometrium atau
atonia uteri (Tone), adanya jaringan yang
tertinggal atau retensi plasenta sehingga
mengganggu kontraksi uterus (Tissue),
kerusakan pada saluran genitalia dapat
terjadi secara spontan atau melalui
manipulasi yang digunakan untuk
melahirkan bayi (Trauma), dan gangguan
pembekuan darah (Thrombosis) [9,12].
2. KASUS
Kasus ini terjadi di Ruang VK
Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada tanggal 06-022014 pukul 16.45 WIB. Pasien berusia 33
tahun rujukan dari RS. Bunda Surabaya
dengan GIIIP1011 + ATH + PEB + KPP +
Anemis, sebelumnya pasien merupakan
rujukan dari BPM “M” (dirujuk ke RS “B” tgl
06-02-2014 jam 12.00 WIB dengan
diagnosa GIIP1001 UK 38-39 minggu/T/H/
Inpartu kala I fase laten dengan KPP).
Pasien mengeluh kenceng-kenceng
yang semakin lama dan semakin sering
sejak jam 19.00 WIB (tgl 05-02-2014),
ketuban pecah byor di rumah jam 23.00
WIB (tgl 05-02-2014), dan air ketuban
terus merembes keluar hingga sekarang.
Diketahui bahwa Hari Pertama Haid
Terakhir (HPHT) tanggal 13-05-2013, dan
Taksiran Persalinan (TP): 20-02-2014.
Berdasarkan riwayat obstetri didapatkan
bahwa anak pertama berusia tujuh tahun,
melahirkan normal, dan selama kehamilan
hingga persalinan tidak ada penyulit, tahun
2010 ibu mengalami abortus komplit Usia
Kehamilan (UK) 3 bulan.
Riwayat kehamilan sekarang
didapatkan bahwa kehamilan ini
merupakan kehamilan ke-3. Ante Natal
Care (ANC) rutin di Bidan “M” ±6 kali
dikatakan normal, pasien juga periksa di
Poli Hamil RS. Bunda ±2 kali, dan saat
kontrol tanggal 02-02-2014 Tekanan Darah
(TD) 160/90 mmHg, belum mendapat
intervensi apapun. Gerak janin pertama
kali usia 5 bulan, dan gerak janin masih
aktif sampai sekarang. Imunisasi TT
(Tetanus Toksoid) lengkap, dan tidak ada
obat - obatan khusus yang dikonsumsi
selama kehamilan. Pasien maupun
keluarga tidak pernah atau sedang
menderita penyakit jantung, hipertensi,
asma, diabetes mellitus, ginjal, hepatitis,
dan TBC.
Hasil
pem eriksaan
umum
menunjukkan kesadaran pasien Compos
Mentis, Tanda-Tanda Vital meliputi TD:
160/90 mmHg; Suhu: 36,80C; Nadi: 86 kali
per menit; RR: 18 kali per menit.
Pemeriksaan fisik didapatkan data
sebagai berikut:
a. Muka: Terdapat oedema dan pucat
pada wajah, konjungtiva anemis,
sklera putih, bibir agak pucat.
b. Abdomen: Tidak ada luka bekas SC.
 Leopold I
: TFU pertengahan
pusat (31 cm), bagian fundus
teraba lunak, kurang bundar, dan
tidak melenting
 Leopold II
: Teraba tahanan
besar di sebelah kanan dan
bagian kecil di sebelah kiri.
 Leopold III
: Teraba keras,
bulat dan sulit digoyangkan
 Leopold IV
: Divergen
 Palpasi WHO: 4/5; His: 3x45”,
DJJ: 156 kali per menit, teratur
c. Ekstremitas Atas/ Bawah
Terdapat oedema pada kaki, tidak
terdapat varises pada kaki. Tidak
terdapat oedema pada tangan. Pada
tangan kiri terpasang infus RD5% sisa
±450 ml menetes
c. Genetalia: Tidak ada oedema,
kondiloma lata/akuminata, terdapat
keluaran lendir darah. Terpasang
dower kateter dengan jumlah urin
±100cc sejak dipasang (pukul 13.30
WIB).
d. VT (jam 16.50 WIB, oleh PPDS
Obgyn): Ø 3 cm, eff 50%, ket (-),
presentasi kepala, denominator SS
mell, H1, UPD ∞ normal, PS: 5.
e. Anus: Tidak terdapat hemorrhoid
Pemeriksaan penunjang dilakukan
pukul 16.55 WIB, didapatkan hasil protein
rebus +3. Bidan melakukan kolaborasi
dengan dr.Obgyn pukul 17.00 WIB,
didapatkan advis:
a. O2 masker 6-8 lpm
b. NST, USG, cek HDT, SI/ TIBC
c. Observasi T rektal/ 3 jam
d. Cek DL, UL, FH
33
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
e. Injeksi MgSO4 20% 4 gram IV adalah Nifedipin 10 mg per oral dan
dilanjutkan MgSO4 40% 5 gram SP Amoxcillin 500 mg per oral jam 10.00 WIB
dengan kecepatan 1 gram/ jam (2,5 cc/ (di BPM).
jam)
Berdasarkan data subjektif dan
f. Balance cairan: CM= CK + 500 cc
objektif
diatas, ditegakkan diagnosa
g. Minum maximal 1000 cc/ 24 jam
berupa
G
IIIP1011 38-39 minggu, inpartu
h. Nifedipin 3x10 mg bila TD ≥ 160/110
kala
I
fase
laten dengan PEB + KPP +
mmHg
Anemia.
i. Injeksi Cefotaxim 3x1 gram IV
Janin tunggal, Hidup, Intrauterin,
j. Observasi CHPB
presentasi kepala. Penatalaksanaan
k. Pro OD mulai 8 tpm
l. Bila inpartu pro percepat kala II dilakukan dengan berkolaborasi antara
Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi dan
dengan VE
Bidan. Penatalaksanaan dilakukan
m. Waspada HPP
n. Observasi keluhan/ VS/ DJJ/ His/ berdasarkan empat kala tahapan
persalinan.
tanda-tanda impending eklampsia
Dari data rekam medik didapatkan
bahwa terapi yang sudah didapat pasien
Kala I
Tabel 1. Penatalaksanaan dan Evaluasi Kala 1
Tanggal /
jam
06-022014
17.00
WIB
17.05
WIB
17.10
WIB
17.15
WIB
17.25
WIB
17.30
WIB
17.40
WIB
18.00
WIB
18.10
WIB
18.20
WIB
18.40
WIB
Penatalaksanaan dan Evaluasi
Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan pada
ibu; ibu faham.
Memfasilitasi information to consent dan informed consent pada ibu dan
keluarga untuk pertolongan persalinan dengan vakum; lembar Informed
consent ditanda tangani suami.
Memfasilitasi dokter untuk pemeriksaan USG dan NST;
Hasil: NST: 130/ 6-8/ Reaktif,
USG: hasil tidak terdokumentasikan dalam RM
Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan lab lengkap + FH, dan
sampel urin untuk pemeriksaan UL; Sampel darah dan urin telah diambil
dan diberikan ke keluarga untuk dibawa ke laboratorium.
Memasang masker O2; masker O2 terpasang dengan keceepatan 7lpm.
Mengobservasi CHPB; hasil terdokumentasikan di lembar observasi kala
I.
Menginjeksi MgSO4 20% 4 gram (20 cc) IV selama 15 menit; MgSO4
20% 4 gram telah diinjeksikan dan terdapat reaksi panas pada tubuh ibu.
Membantu meminumkan Nifedipin 10 mg per oral.; obat telah diminum
dan tidak ada reaksi alergi
Menginjeksi MgSO4 40% 5 gram (25 cc) melalui Syringe Pump dengan
kecepatan 2,5 cc/jam; MgSO4 40% 5 gram telah terpasang pada syringe
pump dan di cabangkan dengan infus ibu melalui three way
Menyiapkan ruangan, partus set, vakum set, dan obat-obatan yang
dibutuhkan dalam persalinan.
Menerima hasil pemeriksaan laboratorium darah;
34
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Hasil Lab Tanggal 06-02-2014
KIMIA KLINIK
Hasil
Remar
ks
20,2
Satua
n
mg/dl
BUN
Nilai Rujukan
Albumin
2,41
g/dl
Rendah
3,40-5,00
Glukosa darah
182
mg/dl
Tinggi
40-121
Kreatinin Serum
1,98
mg/dl
SGOT
47
U/L
Tinggi
<38
SGPT
78
U/L
Tinggi
<41
WBC
6,8
4,50-10,50
LY
22,8
x103/
Ul
%
MO
8,7
%
1,70-9,30
GR
28,0
%
10-20
0,50-1,20
HEMATOLOGI
20,50-51,10
1,40-6,50
3
LY#
2,8
MO#
0,8
GR#
6,8
RBC
1,69
HGB
4,2
x10 /
Ul
x103/
Ul
x103/
Ul
x103/
Ul
g/dl
1,20-3,40
HCT
30,2
%
35,00-60,00
MCV
84,4
Fl
80,00-90,99
MCH
28,9
pg
27,00-31,00
MCHC
34,2
g/dl
33,00-37,00
RDW
14,0
%
0,10-0,60
42,20-75,20
4,00-6,00
Rendah
11,00-18,00
11,60-13,70
3
PLT
175
MPV
8,0
X10 /
Ul
Fl
150.00-450.00
APTT
28,2
Detik
Control APTT
25,3
Detik
PPT
11,6
Detik
Natrium
145
mmol/l
136-144
Kalium
4,1
mmol/l
3,8-5,0
7,80-11,00
Control PPT
INR_PPT
ELEKTROLIT
35
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
19.30 WIB
19.40 WIB
Klorida
URINE LENGKAP
112
mmol/l
GLU
Negatif
Negatif
BIL
Negatif
Negatif
KET
Negatif
Negatif
SG
1,025
1010-1015
BLD
1+
-
Ph
6,0
6-8
PRO
Negatif
Negatif
URO
3,2
NIT
Negatif
Negatif
LEU
1+
Negatif
Colour
Yellow
-
Clarity
Clear
-
Erytrosit
(mikroskopik)
Leukosit
(mikroskopik)
Epitel (mikroskopik)
2-5
/Lp
0-2
2-5
/Lp
0-5
Byk
/Lp
Sedikit
Kristal (mikroskopik)
-
/Lp
Negatif
Silinder
(mikroskopik)
Lain-lain
(mikroskopik)
Lain-lain
-
/Lp
Negatif
Bakteri
positif
/Lp
Negatif
HbSAg
Negatif
umol/
L
97-103
Negatif
Negatif
Menginjeksi Cefotaxim 1 gram IV dalam Ecosol NaCl 0,9% 100 cc; infus
telah diganti dengan Cefotaxim, dialirkan dengan kecepatan 40 ttm.
Mengganti Cefotaxim yang telah habis dengan cairan RL (ke-2); RL
telah diberikan dengan kecepatan 20 ttm.
Kala II
Tanggal: 06-02-2014
Jam: 19.50 WIB
S : ingin mengejan
O: VT (oleh dr. PPDS Obgyn): Ø 10 cm,eff
100%, pres.kep, UUK kidep, Ket (-), H
III (+). TD:160/100 mmHg, DJJ: 144
kali per menit, His: 4 x 45” Terlihat
Doran, Teknus, Perjol
A : GIIIP1011, 38-39 minggu kala II dengan
PEB + KPP + Anemia
Janin tunggal, Hidup, Intrauterin,
presentasi kepala
P: Membantu pasien mengatur posisi
nyaman mengajarkan teknik mengedan
yang benar kolaborasi dengan dr. PPDS
Obgyn untuk melakukan pertolongan
persalinan, pukul 20.00 WIB bayi lahir
spontan Belakang Kepala VE, ♀, AS: 7-8
Kala III
Tanggal: 06-02-2014
Jam: 20.01 WIB
S: O: KU lemah, terlihat tanda pelepasan
plasenta, tidak teraba janin kedua
A: P2012 kala III Post VE a.i. PEB dengan
KPP + Anemia
36
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
P: Menyuntikkan oksitosin 10 IU
Memotong tali pusat
Melakukan PTT, plasenta lahir spontan
pukul 20.15 WIB, kesan lengkap,
kotiledon dan selaput ketuban utuh.
Kala IV
Tanggal: 06-02-2014
Jam: 20.16 WIB
S: merasa lemas
O: KU lemah; kesadaran apatis; wajah,
konjungtiva dan bibir pucat
TD: 100/90 mmHg, N: 100 kali per
menit, S: 36,70C, RR: 22 kali per
menit
TFU 3 jari atas pusat, kontraksi uterus
lembek, jumlah perdarahan ±600 cc,
kandung kemih kosong.
A: P2012 kala IV Post VE a.i. PEB dengan
KPP + Anemia + HPP e.c. atonia uteri
P:
Tabel 2. Penatalaksanaan dan evaluasi kala IV
Tanggal/
jam
20.18 WIB
20.20 WIB
20.30 WIB
20.31 WIB
20.31 WIB
20.35 WIB
20.45 WIB
20.50 WIB
20.55 WIB
21.00 WIB
Penatalaksanaan dan Evaluasi
Melakukan eksplorasi jalan lahir; hasil: kontraksi uterus lembek, SARSBR intak, laserasi portio (+) jam 1, luka episiotomy (+) mediolateral (s)
Melakukan heacting laserasi portio dan perineum
Kolaborasi dengan dr. PPDS Obgyn; advis:
Pasang infus RL double line (cairan RL ke-3)
Cek DL ulang cito, siap darah
Masase fundus uteri
Drip oksitosin 2 ampul dalam 500 cc RL
Misoprostol 4 tablet (800 mcg) perrektal
Penjahitan laserasi portio + perineoraphy
Masase fundus uteri ibu; kontraksi uterus lembek
Memasang infus RL 500 cc + 20 IU oksitosin sekaligus mengambil
sampel darah untuk cek DL; infus terpasang di tangan kanan, menetes
40 ttm, dan darah telah diambil ±10 cc dan sudah dibawa ke lab.
Memasukkan Misoprostol 800 mcg perrektal
Mengobservasi kondisi ibu; T: 100/60 mmHg, N: 116 kali per menit, RR:
22 kali per menit
Melakukan pemeriksaan Hb Sahli pada ibu; hasil: Hb 3,3 gr%
Memasang tampon kondom kateter; pemasangan tampon kondom
kateter gagal
Menghubungi dr. PPDS Anestesi untuk fasilitasi rencana laparotomi; dr.
PPDS Anestesi pro back up
Catatan Perkembangan
kandung kemih kosong, jumlah
Tanggal : 06-02-2014
perdarahan ±1500 cc.
pukul: 21.05 WIB
TD: 90/60 mmHg; N: 120 kali per menit
S : lemas, mengantuk, darah terus keluar
cepat, lemah; S: 36,50C; RR: 20 kali
dari kemaluan.
per menit. Hb: 3,3 gr%
O : KU lemah, kesadaran somnolen, A : P2012 Post VE 1 jam a.i. PEB dengan
konjungtiva anemis, muka dan bibir
KPP + Anemia + HPP e.c. atonia uteri
pucat, akral dingin.
+ tampon kondom kateter gagal +
TFU 3 jari atas pusat, kontraksi uterus
syok hipovolemik
lembek, fluksus aktif vulva/vagina (+), P :
Tabel 3. Penatalaksanaan dan evaluasi
Tanggal/
jam
Penatalaksanaan dan Evaluasi
2 1 . 1 0
WIB
Kolaborasi dengan dr. PPDS Obgyn; advis: pro cito laparotomi, bila gagal
pro histerektomi, melapor Spv dr. BON Sp.OG dan disetujui.
37
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
2 1 . 1 5
WIB
2 1 . 2 0
WIB
2 3 . 3 0
WIB
Komunikasi Informasi Edukasi dan informed consent pada keluarga untuk
tindakan laparotomi dan jika gagal akan dilakukan histerktomi,
menjelaskan pada keluarga ibu tujuan dan prosedur tindakan; keluarga
setuju dan lembar informed consent telah ditandatangani suami.
Menyiapkan ibu ke OK lantai 5 dan mengantar ibu ke OK dengan posisi
syok; ibu telah diterima oleh dokter di OK lantai 5.
Follow up kegiatan operasi:
Mulai jam: 21.30 WIB
Berhenti jam: 23.30 WIB
Jenis Operasi : B. Lynch proc. Modifikasi Surabaya + Tubektomi Pameroy
Bilateral
Operator : dr. F
Jenis Anastesi : General Anastesi
Post operasi pasien pindah ke ROI
3. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesa pada
pasien dengan GIIIP1011 38-39 minggu
diketahui bahwa ibu didiagnosa PEB pada
kehamilan ke-3, hal ini tidak sesuai dengan
teori Fraser[13] yang menyatakan bahwa
salah satu faktor risiko PEB adalah
primigravida yaitu wanita nulipara memiliki
risiko lebih besar (7-10%) jika dibandigkan
multipara. Selain itu didapatkan bahwa
pasien berusia 33 tahun, hal ini tidak
sesuai dengan teori Cunningham [14] yang
menyatakan bahwa faktor risiko PEB
adalah umur yang ekstrim (<20 dan >35
tahun). Pada riwayat obstetri lalu
didapatkan bahwa ibu tidak memiliki
riwayat HPP sebelumnya, hal ini tidak
sesuai dengan teori Saifuddin, dkk[9] yang
menyatakan bahwa riwayat HPP pada
persalinan sebelumnya merupakan faktor
risiko terbesar terjadinya HPP.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik
didapatkan TD: 160/90 mmHg, terdapat
oedema pada muka, dan hasil protein
rebus +3, hal ini merupakan gejala klinis
Pre-Eklampsia sebagaimana teori Abadi[8].
Pada pemeriksaan konjungtiva didapatkan
konjungtiva anemis, bibir agak pucat, dan
pada pemeriksaan Hb didapatkan nilai Hb
4,2 g/dl, hal ini sesuai dengan teori
Boediwarsono, dkk[11] dan termasuk dalam
kategori anemia berat (Hb: kurang dari 6
gr%). Pada palpasi abdomen didapatkan
besar uterus sesuai dengan usia
kehamilan (TFU 31 cm pada UK 38-39
minggu), oedema yang terdapat pada kaki
merupakan hal yang fisiologis dalam
kehamilan akibat dari kombinasi efek
progesteron yang melemaskan tonus
vaskular, terhambatnya aliran balik vena
oleh uterus yang membesar, dan gaya
gravitasi[15].
Berdasarakan data subjektif dan
objektif, ditegakkan diagnosa GIIIP1011 3839 minggu, inpartu kala I fase laten
dengan PEB + KPP + Anemia. Janin
tunggal, Hidup, Intrauterin, presentasi
kepala. Diagnosa PEB dietagakkan
berdasarkan teori Abadi, dkk[8], yakni TD:
160/90 mmHg yang menunjukkan
peningkatan curah jantung (tekanan
darah sistolik) lebih dari normal (>120
mmHg atau kenaikan 30 mmHg dari
biasanya)[9], terdapat oedema pada muka
merupakan oedema yang patologik akibat
hipoalbuminemia atau kerusakan sel
endotel kapilar yang meningkatkan
tekanan onkotik sehingga meningkatkan
jumlah cairan tubuh pada interstisial[9],
dan hasil protein rebus +3 yang
merupakan tanda kerusakan sel
glomerulus ginjal sehingga meningkatkan
permeablitias membran basalis, akibatnya
terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria[9]. Diagnosa KPP ditegakkan
berdasarakan teori Mochtar[10] bahwa
berdasarkan hasil anamnesa, ibu merasa
ketuban pecah byor dan merasa air
ketuban terus merembes keluar hingga
dirujuk ke RSDS, pemerksaan lakmus (+)
yang mengubah lakmus merah menjadi
biru (cairan ketuban bersifat basa), dan
pada VT tidak didapatkan selaput
ketuban, dan saat dilakukan evaluasi
kemajuan persalinan di RSDS, ibu masih
dalam fase laten (pembukaan serviks ≤3
cm) sebagaimana teori Mochtar [10],
diagnosa KPP ditegakkan bila pecahnya
ketuban sebelum pembukaan 3 cm pada
primigravida, dan sebelum pembukaan 5
cm pada multigravida. Diagnosa anemia
ditegakkan dari pemeriksaan fisik berupa konjungtiva dan muka pucat yang
38
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
diakibatkan dari berkurangnya kemampuan
hemoglobin darah membawa oksigen[11],
dan
pemeriksaan
laboratorium
menunjukkan Hb: 4,2 g/dl sehingga
termasuk dalam kategori anemia berat
(Hb: <6 gr%)[11]. Diagnosa janin berupa
tunggal (berdasarkan hasil USG), hidup
(berdasarkan DJJ melalui Doppler dan
USG), intrauterin (berdasarkan hasil USG),
presentasi kepala (berdasarkan palpasi
Leopold III).
Penatalaksanaan dilakukan dengan
berkolaborasi dengan Dokter Obgyn,
didapatkan advis tatalaksana PEB berupa
pemberian oksigen 6-8 lpm untuk
resusitasi, cek DL, UL, untuk mengetahui
faal ginjal (kreatinin serum, BUN), faal
hepar (SGOT, SGPT) dimana organ ginjal
dan hepar adalah organ sasaran
komplikasi PEB[9], selain itu pemeriksaan
DL bertujuan untuk mengetahui adanya
sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated
Liver Enzymes, Low Platelets Counts),
pemeriksaan UL bertujuan untuk
mengetahui adanya protein dan albumin
dalam urin[9,10]. Pasien mendapat injeksi
MgSO4 karena memenuhi syarat
pemberian injeksi tersebut, yaitu: Refleks
Patella (+), RR >16 kali per menit, produksi
urin minimal 150 cc/6 jam atau minimal 30
ml/jam dalam 4 jam terakhir, dan tersedia
Calsium Glukonas 1 gr 10% sebagai
antidotum MgSO4[8]. Injeksi MgSO4
sebagai anti-konvulsan diberikan dengan
dosis MgSO4 20% 4 gram IV dilanjutkan
MgSO4 40% 5 gram SP dengan kecepatan
1 gram/ jam (2,5 cc/jam) sesuai dengan
teori Baihaqi, dkk[16], penetapan balance
cairan dan pembatasan jumlah cairan yang
masuk agar tidak terjadi penumpukan
cairan intersel dalam tubuh. Pemberian
Nifedipin sebagai anti hipertensi diberikan
jika TD ≥ 160/110 mmHg[16], memasang
infus RD5% sebagai restorasi cairan, dan
memasang kateter urin untuk memantau
output cairan yang mencerminkan fungsi
ginjal. Advis tatalaksana KPP meliputi
observasi suhu rectal setiap 3 jam untuk
mengobservasi adanya reaksi infeksi,
injeksi Cefotaxim sebagai antibiotik
spektrum luas sebagai profilaksis terhadap
reaksi infeksi, dan merupakan golongan
Sefalosporin generasi ke-3 yang aman
diberikan pada ibu hamil[17]. Pemantauan
k ondisi j anin
dilak uk an m elalui
pemeriksaan NST, USG, dan observasi
DJJ setiap 1 jam[16]. Evaluasi kemajuan
persalinan dan kondisi ibu dengan
observasi CHPB (Cortonen, His,
Penurunan, Bundle), observasi vital sign
dan keluhan ibu, serta tanda impending
eklampsia (nyeri kepala hebat, gangguan
visus, hiperrefleksia, dan nyeri
epigastrium)[9]. Penatalaksanaan PEB dan
KPP dilakukan secara aktif (bertujuan
terminasi kehamilan), hal ini sesuai
dengan teori Abadi,dkk[8] dan Baihaqi,dkk
[16]
yang menyatakan bahwa syarat
dilakukan penatalaksanaan aktif PEB
adalah UK ≥34 minggu, TBJ>2000 gram,
dan berdasarkan hasil VT diperoleh Pelvic
Score bernilai lima, maka persalinan
dapat dilakukan pervaginam dengan
induksi persalinan menggunakan OD
(Oksitosin Drip) untuk mempercepat kala I
persalinan sesuai indikasi janin (KPP) dan
indikasi ibu (kehamilan dengan hipertensi)
berdasarkan teori Saifuddin [9], dan
mempercepat kala II persalinan dengan
bantuan vakum ekstraksi, hal ini dilakukan
karena pada pasien PEB tidak boleh
mengejan terlalu lama karena terjadi
peningkatan curah jantung dan resistensi
perifer pada penderita hipertensi [9].
Penatalaksanaan anemia dilakukan
dengan pemeriksaan SI (Serum Iron) dan
TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang
bertujuan untuk mengetahui efektivitas
transport zat besi dalam tubuh sebagai
upaya mengetahui penyebab anemia[11].
Adanya anemia, pemberian MgSO4,
nifedipin, dilakukannya oksitosin drip, dan
VE pada persalinan meningkatkan risiko
terjadinya HPP. Hal ini sesuai teori
Mochtar[10] yang menyatakan bahwa
anemia mengakibatkan berkurangnya
asupan nutrisi dan oksigen ke jaringan,
termasuk ke otot, sehingga berpotensi
terjadi HPP karena iskemia miometrium
uterus, nifedipin merupakan calcium
channel blockers, padahal kalsium
dibutuhkan untuk kontraksi otot, oksitosin
drip menyebabkan otot uterus mengalami
kelelahan setelah dirangsang kontraksi
terus-menerus, dan tindakan persalinan
dengan VE dapat meningkatkan laserasi
jalan lahir (trauma) yang dapat
menyebabkan HPP[9,10].
P e n a t a l ak s a n a a n
d il ak uk a n
berdasar hasil kolaborasi dengan dokter
Obgyn, meliputi menjelaskan hasil
pemeriksaan pada pasien dan keluarga,
memfasilitasi informed consent atas
tindakan yang dilakukan (pertolongan
39
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
vakum, dan induksi persalinan), lalu
berkolaborasi dengan dokter untuk
pertolongan persalinan dengan vakum,
bayi lahir pukul 20.00 WIB (Tgl 06-022014), ♀, AS: 7-8. Manajemen aktif kala III
dilakukan segera setelah bayi lahir,
menyuntikkan oksitosin 10 IU IM,
memotong tali pusat bayi, dan melakukan
Penegangan Tali Pusat Terkendali (PTT)
[18]
. Plasenta lahir spontan lengkap pukul
20.15 WIB. Saat kala IV persalinan, ibu
mengeluh lemas, konjungtiva dan bibir
pucat, TD: 100/90 mmHg, Nadi: 100 kali
per menit, TFU 3 jari atas pusat, kontraksi
uterus lembek, jumlah perdarahan ±600
cc, kandung kemih kosong. Dari hasil
anamnesa dan pemeriksaan tersebut,
diagnosa HPP et causa atonia uteri
ditegakkan. Hal ini sesuai dengan teori
Saifuddin[12] yang menjelaskan bahwa
tanda gejala HPP karena atonia uteri
adalah uterus tidak berkontraksi (lembek),
perdarahan segera setelah anak lahir,
dengan disertai gejala syok yang masih
dalam garis waspada (ditandai dengan
perkiraan kehilangan darah 500-1000 ml,
TD normal, respon asimptomatik, takikardi,
pusing, lemas)[16]. Tindakan yang dilakukan
sesuai dengan teori Saifuddin[9,12] yang
menyatakan bahwa tatalaksana HPP
adalah resusutasi (memasang infus
kristaloid double line, monitoring tanda
vital), mencari penyebab HPP (eksplorasi
jalan lahir untuk mencari adanya trauma
dan melakukan heacting pada daerah yang
mengalami laserasi), dan pemeriksaan
laboratorium DL, serta persiapan transfusi
darah. Langkah selanjutnya yaitu terapi
penyebab, sebagaimana teori Saifuddin
[9,12]
diketahui bahwa HPP ini terjadi karena
atonia uteri, sehingga dilakukan masase
fundus uteri secara kontinyu, dan
pemberian obat uterotonika (Misoprostol 4
tablet per rectal, dan drip oksitosin 2 ampul
dalam 500cc RL). Pada kasus ini, HPP
tidak berhenti meski sudah dilakukan
masase fundus uteri dan pemberian obat
uterotonika, kemudian dilakukan kontrol
lokal dengan pemasangan tampon kondom
kateter[9,12,18]. Evaluasi dari pemasangan
tampon kondom kateter gagal dan HPP
terus berlanjut, lalu dilakukan tindakan
pembedahan, dengan mempertimbangkan
fluksus aktif karena kontraksi uterus
lembek, usia, paritas, dan kondisi ibu
dilakukan operasi Histerektomi, hal ini
sesuai dengan teori Saifuddin[9] yang
menyatakan bahwa penanganan terakhir
HPP adalah pembedahan, salah satunya
adalah Histerektomi.
Satu jam setelah bayi lahir, ibu
merasa semakin lemas, mengantuk, dan
darah terus keluar dari kemaluan, hasil
pemeriksaan fisik diketahui bahwa KU
lemah, kesadaran somnolen, konjungtiva
anemis, muka dan bibir pucat, akral
dingin, TD: 90/60 mmHg, N: 120 kali per
menit cepat lemah, S: 36,50C, RR: 20 kali
per menit yang merupakan tanda gejala
syok hipovolemik sebagaimana teori
Baihaqi, dkk[16] dimana pada teori tersebut
diperkirakan ibu kehilangan darah 15002000 ml, dan hal ini sesuai dengan kasus
yakni jumlah darah yang keluar ±1500 ml.
Hasil pemeriksaan penunjang diketahui
Hb ibu 3,3 gr%, hal ini termasuk dalam
anemia berat[11], anemia meningkatkan
risiko terjadinya HPP, dan adanya HPP
mengakibatkan terjadinya anemia sebagai
akibat kehilangan darah akut (anemia
hemorargi)[11]. Penatalaksanaan yang
dilakukan meliputi memposisikan ibu
dengan posisi syok, dan segera
mempersiapkan pasien untuk tindakan
operatif. Operasi dilakukan selama ±2 jam
dengan jenis operasi B. Lynch proc.
Modifikasi Surabaya + Tubektomi
Pameroy Bilateral. Setelah operasi
selesai, pasien dipindahkan ke ROI
(Ruang Observasi Intensif) untuk
mendapatkan perawatan.
Sebagai bidan, dalam hal ini
melakukan tugas pokok dan fungsi
berupa kolaborasi dengan dokter Obgyn
untuk melakukan tatalaksana terhadap
kondisi pasien, mengobservasi secara
rutin kondisi ibu dan janin, memberi KIE
ibu dan keluarga, memfasilitasi ibu dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya, asistensi
pertolongan persalinan dengan ekstraksi
vakum, dan memfasilitasi serta asistensi
dalam tindakan dan follow up operasi.
4. KESIMPULAN
Pasien berumur 33 tahun dengan
GIIIP1011 38-39 minggu, inpartu kala I fase
laten dengan PEB + KPP + Anemia. Janin
tunggal, Hidup, Intrauterin, presentasi
kepala. Diagnosa PEB ditegakkan dari
pemeriksaan TD: 160/90 mmHg, terdapat
oedema pada muka, dan hasil protein
rebus +3. Diagnosa KPP ditegakkan dari
40
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
pemeriksaan bahwa pasien merasa air
ketuban merembes keluar, pemerksaan
lakmus (+), hasil VT tidak didapatkan
selaput ketuban, dan saat dilakukan
evaluasi kemajuan persalinan, ibu masih
dalam fase laten (pembukaan serviks ≤3
cm). Diagnosa Anemia ditegakkan dari
pemeriksaan konjungtiva anemis, bibir
agak pucat, dan Hb: 4,2 g/dl (termasuk
dalam kategori anemia berat). Diagnosa
janin berupa tunggal (berdasarkan hasil
USG), hidup (berdasarkan DJJ melalui
Do p p l er
d an
U SG ) ,
i n tr a ut er i n
(berdasarkan hasil USG), presentasi
kepala (berdasarkan palpasi Leopold III).
Penatalaksanaan yang dilakukan
adalah penatalaksanaan aktif, meliputi pro
Oksitosin Drip (OD), dan percepatan kala II
dengan VE. Tatalaksana PEB meliputi:
pemberian O2, Injeksi MgsO4 20% 4 gram
IV dilanjutkan MgSO4 40% 5 gram,
balance cairan, Nifedipin, observasi tanda
impending eklampsia, dan percepatan kala
II dengan VE. Tatalaksana KPP meliputi:
Observasi T rektal/3 jam, Injeksi Cefotaxim
3x1 gram IV, dan pro OD. Pemantauan
kesejahteraan janin dilakukan melalui
pemeriksaan NST, USG, dan observasi
DJJ. Pemantauan kemajuan persalinan
dan kondisi ibu melalui pemeriksaan
observasi CHPB, observasi keluhan, dan
vital sign. Adanya anemia, pemberian
MgSO4, nifedipin, dilakukannya oksitosin
drip, dan VE pada persalinan
meningkatkan risiko terjadinya HPP.
Satu jam setelah bayi lahir terjadi
HPP et causa atonia uteri yang ditegakkan
dari hasil pemeriksaan TFU 3 jari atas
pusat, kontraksi uterus lembek, jumlah
perdarahan ±600 cc, kandung kemih
kosong. Kondisi pasien semakin menurun
dan terjadi syok hipovolemik, ditegakkan
dari anamnesa pasien merasa semakin
lemas, mengantuk, dan darah terus keluar
dari kemaluan, hasil pemeriksaan fisik
diperoleh KU lemah, kesadaran somnolen,
konjungtiva anemis, muka dan bibir pucat,
akral dingin, TD: 90/60 mmHg, N: 120 kali
per menit cepat lemah, S: 36,50C, RR: 20
kali per menit, Hb: 3,3 gr%, dan jumlah
darah yang keluar ±1500 ml.
Tatalaksana yang dilakukan adalah
resusutasi (memasang infus kristaloid
double line, monitoring tanda vital),
mencari penyebab HPP (eksplorasi jalan
lahir untuk mencari adanya trauma dan
melakukan heacting pada daerah yang
mengalami laserasi), dan pemeriksaan
laboratorium DL, serta persiapan transfusi
darah. Langkah selanjutnya yaitu terapi
penyebab, dilakukan masase fundus uteri
secara kontinyu, dan pemberian obat
uterotonika (Misoprostol 4 tablet per
rectal, dan drip oksitosin 2 ampul dalam
500cc RL). Pada kasus ini, HPP tidak
berhenti meski sudah dilakukan masase
fundus uteri dan pemberian obat
uterotonika, kemudian dilakukan kontrol
lokal dengan pemasangan tampon
k ondom
k ateter.
Evaluas i dari
pemasangan tampon kondom kateter
gagal dan HPP terus berlanjut, lalu
dilakukan tindakan pembedahan, dengan
mempertimbangkan fluksus aktif karena
kontraksi uterus lembek, usia, paritas, dan
kondisi ibu, maka dilakukan tindakan
operatif berupa operasi B. Lynch proc.
Modifikasi Surabaya + Tubektomi
Pameroy Bilateral.
Sebagai bidan, dalam hal ini
melakukan tugas pokok dan fungsi berupa
kolaborasi dengan dokter Obgyn untuk
melakukan tatalaksana terhadap kondisi
pasien, mengobservasi secara rutin
kondisi ibu dan janin, memberi
Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) ibu
dan keluarga, memfasilitasi ibu dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya, asistensi
pertolonganpersalinan dengan ekstraksi
vakum, dan memfasilitasi serta asistensi
dalam tindakan dan follow up operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Buku Panduan HKN 48
Tahun 2012. 2012. 12 Maret 2013.
<www.depkes.go.id/.../
BUKU_PANDUAN_HKN_48_TAHUN
_2012_....>
2. K e m e n t e r i a n
Pem ber dayaan
Perempuan. Angka Kematian Ibu
Melahirkan. 2011. 13 Maret 2013.
<menegpp.go.id/V2/index.../
kesehatan?...23%3Aangka-kematianibu..>.
3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Timur. Tabel Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Timur Tahun
2011.2013.
4. Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Angka Kematian Ibu Tahun 2009,
2010, 2011. 2013.
41
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
5. Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Cakupan Persalinan Ditolong Tenaga
Kesehatan Kota Surabaya Tahun
2009, 2010, 2011. 2013.
6. Direktorat Bina Kesehatan Ibu,
Kementerian Kesehatan RI. Upaya
Percepatan Penuruan Angka Kematian
Ibu. 2010. 21 Januari 2015. <http://
www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/01/
Factsheet_Upaya-PP-AKI.pdf>.
7. WHO. Maternal Mortality. 2012. 13
Maret 2013. <http://www.who.int/
mediacentre/factsheets/fs348/en/>.
8. Abadi, A., Abdullah, M.N., Gumilar,
E.D., dkk. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Surabaya:-, 2008.
9. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T.,
Wiknjosastro, G.H. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: YBPSP, 2009.
10. Mochtar, R. Sinopsis Obstetri. Jakarta:
EGC, 2012.
11. Boediwarsono, Soebandri, Sugianto,
dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
FK UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. Surabaya: AUP, 2007.
Saifuddin, A.,B. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2006
Fraser, Diane M and Cooper,Margaret
A. Myles Buku Ajar Bidan Myles Buku
Ajar Bidan ed.14 alih bahasa Sri
Rahayu, Jakarta: EGC, 2009.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom
SL et al. Williams Obstetri 21nd.
Jakarta: EGC, 2005.
Coad, J., Dunstall, M. Anatomi Dan
Fisiologi Untuk Bidan, Penerjemah
Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC, 2006.
Baihaqi, I., Aulia, R., Karmila, N.H.,
dkk. Melody of Phantom. Surabaya:-,
2010.
Kasim, F., Trisna, Y. Informasi
Spesialite Obat (ISO) Indonesia
vol.48. Jakarta: PT. ISFI, 2013.
Depkes RI. Buku Panduan Asuhan
Persalinan Normal. Jakarta: Depkes
RI, 2005.
42
BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016
Download