SUSUNAN PENGURUS Pelindung Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) Rizqotul Maghfiroh Rojuli Universitas Airlangga Penyunting Ahli Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd. M.Kes Universitas Airlangga Dwi Iz’zati, S.Keb., Bd. M. Sc Universitas Airlangga Yulizawati, SST, M.Keb Universitas Andalas Board of Director Yuseva Sariati, SE, SST, M.Keb Universitas Brawijaya Winda Rinawan, S.Keb Universitas Brawijaya Redaksi Pimpinan Umum Bintang Dwita Dewantari Universitas Airlangga Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga Zulfa Navila F.S.J Universitas Airlangga Fajar Dwi P. Universitas Airlangga Resti Zulhaijah Universitas Airlangga Dian Rahma U.S Universitas Brawijaya Sekretaris Atika Nadia Public Relation Bendahara Puput Maulidah Universitas Brawijaya Erni Rosita Dewi Universitas Airlangga Siwi Arum Sari W. Poltekes Kemenkes Semarang Yuniarti Arsitasari Universitas Negeri Sebelas Maret Universitas Airlangga Romadhinniar Febriana Universitas Airlangga Tata Letak dan Layout Zukhaila Salma Universitas Airlangga Wanda Mardhotillah Universitas Gajah Mada Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya Rizka Sriyouni Universitas Andalas i BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 DAFTAR ISI ISSN : 2442 — 9171 Susunan Pengurus ......................................................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................................................................ ii Petunjuk Penulisan ....................................................................................................................................... iv Sambutan Pimpinan Umum ...................................................................................................................... x PENELITIAN Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri Haid Di Asrama Mu’alimat Surakarta Miladiyah Rahmawati, Mujahidatul Musfiroh, Sri Anggarini P ....................................................................................................................................................................................................... 1 Hubungan Umur dengan Penilaian Cadangan Ovarium pada Pasien Infertil Rita Defiyenti, Ashon Sa’adi K., Kasiati, Atika ....................................................................................................................................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA Penatalaksanaan Partus Prematurus Imminens pada Usia Kehamilan Setelah 34 Minggu Wafda Ardhian Latansyadiena ....................................................................................................................................................................................................... 12 PENYEGAR Peran Suami dalam Meningkatkan Kuantitas dan Kualitas Antenatal Care Dewa Ayu Mirah Indrayani, Nofi Nurul Fadilla ....................................................................................................................................................................................................... 20 Percepatan Afirmasi Positif dalam Gelombang Alfa dengan Musik Relaksasi Guna Menstimulasi Hormon Oksitosin dalam Proses Pengeluaran ASI Fanisa Mutiara Apriliani, Tesha Rosyida N.A. ....................................................................................................................................................................................................... 26 SMS BUNDA : Selamatkan Generasi Bangsa Sejak Awal Kehidupan Yuni Irawati, Lulu Latifah ....................................................................................................................................................................................................... 28 ii BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 DAFTAR ISI ISSN : 2442 — 9171 LAPORAN KASUS Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin dengan Preeklampsia Berat, Ketuban Pecah Preterm, Anemia, dan Haemorrhage Post Partum Et Causa Atonia Uteri Farida Fitriana, Ivon Diah Wittiarika, Lilik Hidayati ....................................................................................................................................................................................................... 31 iii BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi) Indonesian Midwifery Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan. Petunjuk Bagi Penulis : 1. BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat [email protected] dan [email protected] dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama penulis dan lembaga pengarang c. Abstrak d. Naskah (Text), yang terdiri atas: Pendahuluan Metode Hasil Pembahasan Kesimpulan Saran e. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut : iv BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 a. Judul b. Nama penulis dan lembaga pengarang c. Abstrak d. Naskah (Text), yang terdiri atas: e. 6. Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) Pembahasan Kesimpulan Saran Daftar Rujukan Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 7. a. Pendahuluan b. Isi c. Kesimpulan (Penutup) Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a. Judul b. Nama penulis dan lembaga pengarang c. Abstrak d. Naskah (Text), yang terdiri atas: e. 8. Pendahuluan Laporan kasus Pembahasan Kesimpulan Daftar Rujukan Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan katakata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). v BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut : Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku […] Contoh penulisan sitasi : Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1] Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2] A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. Dengan dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, vi BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du vii BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 savoir, 1969. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999. 2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35. 3. PUBLIKASI ELEKTRONIK Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http:// www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/ calax.htm> Artikel di website viii BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel> Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/ r_mla.html>. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel> Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>. ix BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Assalamu’alaikum wr. Wb. Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami dapat menerbitkan BIMABI Volume 4 nomor 1. Pada kesempatan ini juga saya ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh tim penerbit, penulis, dan mitra bebestari serta seluruh mahasiswa kebidanan di Indonesia yang telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI di awal tahun 2016. Selain itu saya juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) serta Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) yang telah memberikan dukungan dan membantu dalam menyelesaikan beberapa hambatan selama proses pembuatan jurnal. Saya berharap dengan diterbitkannya BIMABI Volume 4 nomor 1 ini, bisa meningkatkan minat menulis dan publikasi artikel ilmiah mahasiswa kebidanan di Indonesia. Besar harapan saya pula BIMABI bisa berkontribusi untuk kemajuan keilmuan kebidanan di Indonesia. Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat kekurangan pada BIMABI volume 4 nomor 1 ini. Semoga apa yang telah dilakukan bisa bermanfaat bagi kita semua. Wassalammu’alaikum Warahmatullahhi Wabarakatuh Surabaya, 17 Januari 2016 Bintang Dwita Dewantari (Pimpinan Umum) x BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Penelitian PENGARUH SENAM ANTI NYERI HAID TERHADAP INTENSITAS NYERI HAID DI ASRAMA MU’ALIMAT SURAKARTA Miladiyah Rahmawati1, Mujahidatul Musfiroh1, Sri Anggarini P2 1 Program Pendidikan DIV Bidan Pendidik, Fakultas Kedokteran UNS 2 Program Pendidikan DIII Kebidanan Fakultas Kedokteran UNS ABSTRAK Pendahuluan : Nyeri haid merupakan rasa sakit yang menyertai haid sehingga menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari. Salah satu pencegahannya dengan melakukan senam anti nyeri haid secara teratur. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta. Metode : Desain praeksperimen dengan rancangan one group pretest posttest. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling dengan jumlah 37 responden yang diberikan intervensi senam anti nyeri haid dan dilakukan antara 2 siklus haid. Uji analisis menggunakan uji Wilcoxon dengan program SPSS versi 18 for windows. Hasil : Seluruh responden mengalami penurunan intensitas nyeri haid dengan 91,9% tidak nyeri dan 8,1% mengalami nyeri ringan dan nilai signifikansi p sebesar 0,000. Kesimpulan : Ada pengaruh senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid pada siswi di Asrama Mu’alimat Surakarta. Kata kunci : Senam Anti Nyeri Haid, Nyeri Haid ABSTRACT Introduction. Menstrual pain is sickness that accompanies menstruation which can cause disruption in work or daily activity. Prevention can be done by doing anti menstrual pain gymnastics regularly. The objective of this study is to determine the effectiveness of anti-menstrual pain gymnastics to menstrual pain intensity in Mu’alimat Dormitory Surakarta. Methods. Pre-experiment design in this study was one group pretest posttest design. Sampling technique used purposive sampling technique,done by 37 respondents whom given anti menstrual pain gymnastics intervention and carried out between 2 menstrual cycles. Technique of Analyzing Data was using Wilcoxon test in SPSS version 18 for Windows software. Result. All respondents experienced the decrease in the intensity of painful menstruation with 91,9 % did not pain and 8.1 % had been mild pain and p value significance of 0.000. Conclusion. There is an effectiveness of anti-menstrual pain gymnastics on menstrual pain intensity of female students in Mu’alimat Dormitory Surakarta. Keywords : Anti Menstrual Pain Gymnastics, Menstrual Pain 1. PENDAHULUAN Nyeri haid yang dialami sebagian besar wanita di Indonesia timbul akibat kontraksi distrimik miometrium yang menampilkan satu gejala atau lebih, mulai dari nyeri ringan sampai berat di perut bagianbawah, bokong dan nyeri spasmodik di sisi medial paha [1]. 1 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Nyeri haid dibagi menjadi dua bagian, yaitu nyeri haid primer dan nyeri haid sekunder[2] . Nyeri haid juga memerlukan penanganan seperti halnya dengan rasa nyeri yang lain, sehingga aktivitas sehari-hari tetap dilanjutkan. Cara mengantisipasi nyeri haid yang dapat dilakukan salah satunya adalah olahraga teratur[1] . Olahraga secara teratur bermanfaat untuk membantu mengurangi nyeri haid karena akan memicu keluarnya hormon endorfin yang dinilai sebagai pembunuh alamiah untuk rasa nyeri. Hormon endorfin adalah zat yang dihasilkan oleh otak yang akan mengirimkan sinyal-sinyal ke sistem saraf. Hormon endorfin berfungsi sebagai obat penenang alami, sehingga menimbulkan rasa nyaman. Kadar endorfin ini dapat ditingkatkan dengan aktivitas olahraga [3,4,5] . Olahraga yang dapat dilakukan salah satunya adalah senam. Senam anti nyeri haid merupakan gerakan senam dilakukan sebelum haid untuk membebaskan rasa nyeri saat haid. Gerakan ini sangat sederhana, terdiri atas gerakan pelemasan dan peregangan otot. Gerakan senam ini bukanlah aerobik, sehingga dapat dilakukan sendiri di rumah[6] . Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan pada siswi Asrama Mu’alimat Surakarta diperoleh hasil dari 10 responden, 5 responden mengalami nyeri ringan, 4 responden mengalami nyeri sedang dan 1 responden mengalami nyeri berat. Upaya penanganan nyeri haid yang dilakukan oleh sebagian siswi masih sebatas penanganan yang terbatas yaitu dengan membiarkannya, mengoleskan minyak kayu putih atau balsem pada daerah yang nyeri, dan tiduran. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri Haid di Asrama Mu’alimat Surakarta”. jumlah 57 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Jumlah sampel yang diambil oleh peneliti adalah 37 responden. Instrumen untuk mengukur skala nyeri haid sebelum maupun setelah akupresur adalah lembar observasi Numerical Rating Scale (NRS) yang sudah baku. Penelitian terdiri dari pretest, intervensi, dan posttest. Tahap pretest dilakukan wawancara saat responden mengalami nyeri haid dan mempunyai riwayat nyeri haid. Lalu responden diberikan penjelasan untuk menilai data secara subjektif. Setelah responden selesai haid, responden diberikan intervensi senam anti nyeri haid dan dilakukan antara 2 siklus haid ( +3 minggu x 3 kali senam ) dengan dilakukan observasi saat senam oleh peneliti. Pengambilan data kedua atau posttest dilakukan setelah senam anti nyeri haid diberikan dan responden sudah mengalami haid lagi. Analisis data penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat meliputi distribusi frekuensi dan persentase sebelum dan sesudah senam anti nyeri haid. Analisis bivariat untuk mengetahui pengaruh senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid. Uji statistik menggunakan Wilcoxon karena data berskala nominal ordinal. Pada uji statistik Wilcoxon, hipotesis alternatif diterima apabila nilai probabilitas (p) < 0,05 dan ditolak jika nilai nilai probabilitas (p) > 0,05. 3. HASIL PENELITIAN A. Analisis Univariat Grafik 1. Intensitas Nyeri Haid Sebelum dan Setelah Senam Anti Nyeri Haid 2. METODE PENELITIAN Jenis penelitian adalah pra eksperimen dengan one-group pretest posttest design. Penelitian dilakukan di Asrama Mu’alimat Surakarta dari bulan Desember 2014 sampai Juli 2015. Objek penelitian yaitu siswi Asrama Mu’alimat Surakarta yang mengalami nyeri haid dan memiliki riwayat nyeri haid se- 2 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa intensitas nyeri haid sebelum dilakukan senam anti nyeri haid sebagian besar responden mengalami intensitas nyeri sedang yaitu sebanyak 16 responden dengan persentase 43,2%. Sedangkan intensitas nyeri haid setelah dilakukan senam anti nyeri haid adalah responden tidak mengalami nyeri yaitu sebanyak 34 responden dengan persentase 91,9 %. B. Analisis Bivariat Tabel 1. Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri Haid di Asrama Mu’alimat Surakarta sebelum setelah Negative Ranks N 0a Positive Ranks 37b Ties 0c Total 37 Sumber: Data primer, 2015 Berdasarkan hasil Wilcoxon Signed Rank pada tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 37 responden dengan hasil intensitas nyeri haid setelah dilakukan senam anti nyeri haid menurun daripada sebelum dilakukan senam anti nyeri haid, 0 responden tetap, dan 0 responden yang mengalami peningkatan tingkat nyeri haid setelah dilakukan senam anti nyeri haid. Tabel 2. Pengaruh Senam Anti Nyeri Haid Terhadap Intensitas Nyeri Haid di Asrama Mu’alimat Surakarta Z Asymp. Sig. (2-tailed) Sebelum - Sesudah -5.428a ,000 Pada hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon didapatkan nilai significancy p-value 0,000 (p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Ha diterima sehingga ada pengaruh yang bermakna antara senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta. 4. PEMBAHASAN Hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik Wilcoxon, didapatkan nilai significancy p-value 0,000 (p<0,05) maka artinya Ha diterima yang menyatakan ada pengaruh yang bermakna antara senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta. Senam anti nyeri haid merupakan gerakan senam untuk membebaskan rasa nyeri saat haid. Senam anti nyeri haid dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi rasa sakit saat haid[6]. Melakukan latihan secara teratur dan konsisten dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi rasa sakit saat haid. Latihan atau pergerakan pada senam dapat mengurangi sekresi hormon prostaglandin, dan meningkatkan hormon endorfin dan memintas darah menjauhi uterus[7] . Nyeri haid disebabkan oleh prostaglandin yang membuat otot-otot rahim berkontraksi, sehingga menyempitkan suplai darah ke endometrium[8]. Latihan atau pergerakan pada senam yang dilakukan secara terus menerusdapat meningkatkan hormon endorfin. Endorfin bekerja sebagai neurotransmiter di otak untuk mengurangi penyaluran dan persepsi nyeri. Hipofisis melepaskan endorfin sebagai respon terhadap olahraga dan selama pengalaman nyeri[9] . Saat nyeri haid terjadi, beberapa otot mengalami ketegangan. Latihan tubuh atau senam yang dilakukan dapat menolong otot-otot yang mengalami ketegangan untuk menjadi relaks. Otototot uterus yang mengalami ketegangan ketika diberikan latihan tubuh atau senam yang terfokus pada bagian panggul, menyebabkan otot-otot uterus yang tegang mengalami relaksasi, menguatkan otot, tulang dan jaringan pengikat tubuh serta dapat memperlancar aliran darah di rongga panggul sehingga mengurangi kontraksi berlebih dari otot-otot rahim dan nyeri pun berangsur-angsur berkurang[10]. Pengaruh senam atau latihan fisik akan memberikan perubahan fisiologi yang hampir terjadi pada setiap sistem tubuh. Latihan fisik akan memberikan pengaruh yang baik terhadap berbagai macam sistem yang bekerja di dalam tubuh, salah satunya adalah sistem 3 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 kardiovaskuler, di mana dengan latihan fisik yang teratur akan terjadi membuat jantung semakin kuat dan dapat memompa memompa lebih banyak darah ke pembuluh darah yang menyalurkan darah keseluruh tubuh terutama organ reproduksi. Aliran darah lancar, maka nyeri haid tidak begitu dirasakan[11] . Wanita yang berolahraga sekurang kurangnya satu kali seminggu dapat menurunkan intensitas rasa nyeri dan ketidaknyamanan pada bagian bawah abdominal. Pada wanita yang aktif secara fisik dilaporkan kurang terjadinya nyeri saat haid. Olahraga yang dilakukan secara teratur dapat memperlancar aliran darah pada otot di sekitar rahim sehingga akan meredakan rasa nyeri pada saat haid[1] . Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Penelitian yang dilakukan oleh Suparto (2009) berjudul Efektivitas Senam Dismenore dalam Mengurangi Dismenore pada Remaja Putri di SMUN 2 Sumenep dengan metode one group pretest post test design, diperoleh hasil nilai signifikansi yaitu 0,000 yang nilainya lebih kecil dari 0,05 yang berarti pemberian senam dismenore sangat efektif untuk mengurangi dismenore[12] . Nyeri haid dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor kejiwaan, faktor konstitusi, faktor obstruksi kanalis servikallis, faktor endokrin atau hormonal dan faktor alergi. Faktor lainnya yang dapat memperburuk Nyeri haid adalah rahim yang menghadap ke belakang (retroversi), kurang berolahraga, stres psikis atau stres sosial[8]. Nyeri adalah bentuk suatu rasa sensorik ketidaknyamanan yang bersifat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri[13]. Berdasarkan hasil penelitian dan didukung dengan penelitian lain, maka dapat disimpulkan bahwa senam anti nyeri haid memberikan efek yang nyata pada penanganan nyeri haid atau ada pengaruh yang bermakna antara senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta sehingga senam anti nyeri haid efektif dalam mengurangi nyeri haid. 5. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Intensitas nyeri haid sebelum dilakukan senam anti nyeri haid sebagian besar responden menga-lami tingkat nyeri sedang yaitu sebanyak 16 responden dengan persentase 43,2%, 14 responden mengalami nyeri ringan (37,8%), dan 7 responden mengalami nyeri berat (19%). 2. Intensitas nyeri haid setelah dilakukan senam anti nyeri haid adalah sebagian responden tidak mengalami nyeri yaitu sebanyak 34 responden dengan persentase 91,9% dan 3 responden mengalami nyeri ringan dengan persentase 8,1%. 3. Ada pengaruh senam anti nyeri haid terhadap intensitas nyeri haid di Asrama Mu’alimat Surakarta dengan hasil signifikansi p=0,000. B. Saran 1. Bagi Responden Responden diharapkan dapat melakukan senam anti nyeri haid sebelum menstruasi secara mandiri agar tingkat nyeri haid dapat dikurangi. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan mampu memberikan penyuluhan maupun seminar untuk menurunkan nyeri haid secara non-farmakologis bagi remaja putri yaitu dengan senam anti nyeri haid. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya disarankan untuk mem-perhatikan faktor yang dapat mempengaruhi rasa nyeri seperti kecemasan dan lingkungan. 4 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 DAFTAR PUSTAKA 1. Anugoro, D dan Ari W. Cara Jitu Mengatasi Nyeri Haid. Yogyakarta: ANDI, pp.49, 79, 2001 2. Manuaba, dkk. Buku Ajar Penuntun Kuliah Ginekologi. Jakarta:TIM, pp. 631-6, 2010. 3. Haruyama, S. The Miracle Of Endorphin : Sehat Mudah dan Praktis dengan Hormon Kebahagiaan. Bandung:Qonita, pp.72-3, 2011. 4. Kumalasari, I dan Iwan A. Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan. Jakarta:Salemba Medika, pp.72, 2013. 5. Wirakusumah, E.S.Tips Dan Diet Untuk Tetap Sehat, Cantik dan Bahagia di Masa Menopause. Jakarta:Gramedia, pp.7, 2003. 6. Laila, N.N. Buku Pintar Haid. Yogyakarta:Buku Biru, pp.25-6, 36, 114, 2011. 7. Sinclair, C. Buku Saku Kebidanan. Jakarta:EGC, pp. 592-3, 2009. 8. Sukarni, I dan Wahyu P. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Yogyakarta:Nuha Medika, pp. 46-8, 2013. 9. Corwin, E.J. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC, pp.392, 2009. 10. Kingston, B. Mengatasi Nyeri Haid. Jakarta:Arcan, 1991. 11. Syatria, A. Pengaruh Olahraga Terprogram terhadap Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang Mengikuti Ekstrakurikuler Basket. Semarang:Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2006. 12. Suparto, A. Efektivitas Senam Nyeri haid dalam Mengurangi Nyeri haid pada Remaja Putri. Phederal. 4: 1-8, 2011. 5 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Penelitian HUBUNGAN UMUR DENGAN PENILAIAN CADANGAN OVARIUM PADA PASIEN INFETRIL Rita Defiyenti1, Ashon Sa’adi2, K. Kasiati3, Atika4 1 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga 2 Departemen SMF Obstetri Ginekologi RSUD Dr. Soetomo, Surbaya 3 Politeknik Kesehatan Kemenkes, Surabaya 4 Departemen IKM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Umur berperan penting dalam penangganan masalah infertilitas. Angka kejadian infertilitas meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur wanita. Semakin meningkatnya umur wanita, cadangan ovarium semakin berkurang. Indikator cadangan ovarium dapat diketahui melalui pemeriksaan FSH basal pada hari ke-3 haid dan jumlah folikel antral. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan umur dengan penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil di klinik Fertilitas Graha Amerta tahun 2013. Metode : penelitian observasi analitik dengan desain cross sectional. Populasinya adalah semua wanita infertil yang mengikuti IVF di Klinik Fertilitas Graha Amerta pada bulan Januari-Desember 2013 sejumlah 94 responden. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Variabel independen adalah umur, sedangkan variabel dependen adalah cadangan ovarium yang dinilai dari kadar FSH basal dan jumlah folikel antral. Instrumen yang digunakan lembar pengumpul data. Sumber data dari rekam medik. Analisis data menggunakan uji korelasi pearson. Hasil : menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan (p=0.005) antara variabel umur dengan jumlah folikel antral dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0.285). Hasil uji korelasi spearmen, terdapat hubungan yang signifikan (p=0.014) antara variabel umur dengan FSH basal dengan kekuatan korelasi lemah (r=0.252), dan adanya hubungan yang signifikan (p=0.004) antara variabel FSH basal dengan jumlah folikel antral dengan kekuatan korelasi lemah (r=-0.295). Kesimpulan : terdapat hubungan antara umur dengan kadar FSH basal, umur dengan jumlah folikel antral, kadar FSH basal dengan jumlah folikel antral dalam penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil. Kata kunci : Umur, FSH basal, Jumlah folilkel antral, cadangan ovarium, infertil. ABSTRACT Background : Age has an important role in treatment of infertility. Increasing age means decreasing the ovarian reserve. Indicator for ovarian reserve is using basal level of FSH level check up in third day of menstruation and the antral folilicle count. The objective of this study is to analyze the correlation between age and ovarium reserve rating on infertile patient in Graha Amerta Fertility Clinic during 2013. Method : This study applies analityc observational with a cross-sectional design.The population was all of infertile women that followed the IVF in Graha Amerta Fertility Clinic during January to December 2013 involves 94 respondent. The sample was collected using total sampling method. The independent variable is age, and the dependent variable is ovarian reserve from basal level of FSH basal and the antral follicle count. The data source is medical record and collected by check sheet. Data 6 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 fanalysis use Pearson test. Result : There is significant correlation (p=0,005) between age variable and the antral ollicle count but the coefficient correlation is weak (r=0,285). Based on spearmans correlation test’s result, there is a significant correlation (p=0,0014) between age variable and basal FSH but the coefficient correlation weak correlation (r=0,252), also there is a significant correlation (p=0,004) between basal FSH and antral follicle count with weak correlation (r=0,295). Conclusion : There is a correlation between age and basal FSH level, age and antral follicle count, basal FSH level and antral follicle count of ovarian reserve predict test in infertile patient. Keyword: age, basal FSH, antral follicle count, ovarian reserve, infertility 1. PENDAHULUAN World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 8-10% pasangan di dunia mempunyai riwayat sulit untuk memperoleh anak. Angka kejadian infertilitas di Indonesia berkisar 12-15%.[1]. Angka kejadian infertilitas ini meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur wanita. Semakin meningkatnya umur wanita, jumlah folikel di ovarium semakin berkurang. Hal ini dikarenakan banyaknya folikel atresia yang akhirnya habis pada saat menopause dan berkurangnya respon ovarium terhadap rangsangan gonadotropin sehingga mengakibatkan produksi estrogen menurun. Menurunnya estrogen akan memberikan sinyal umpan balik positif ke otak (hipotalamus) untuk merangsang peningkatan produksi follicle stimulating hormone (FSH).[2] Menurut WHO, pemeriksaan hormonal perlu dilakukan untuk mengetahui fungsi ovarium dan fungsi ovulasi. Pemeriksaan FSH serum basal pada hari ke-3 haid merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk memeriksa cadangan ovarium.[3] Kadar FSH basal sebenarnya tidak langsung menunjukkan jumlah folikel di ovarium, sedangkan hitung folikel antral ovarium (Antral Folicle Count/AFC) lebih mencerminkan cadangan ovarium secara langsung.[4] Masalah infertilitas tidak hanya menyangkut kesehatan fisik saja tetapi juga berdampak psikologis dan sosial bagi pasangan yang mengalaminya. Oleh karena itu diperlukan peran bidan sebagai promotif dan preventif untuk mengurangi kejadian infertilitas dan dampak dari infertilitas tersebut. Tujuan penelitian ini adalah Menganalisis hubungan umur dengan penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil di klinik Infertil Graha Amerta infertil Rumah Sakit Umum Dr.Soetomo Surabaya tahun 2013. 2. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah obsevasional analitik dengan desain cross sectional (potong lintang). Populasi dalam penelitian ini adalah semua wanita infertil yang sudah mengikuti program bayi tabung di Klinik Fertilitas Graha Amerta RS Soetomo Surabaya pada tanggal 1 Januari - 31 Desember 2013 yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling, dengan jumlah 94 responden. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 12-22 Mei 2014. Variabel bebas pada penelitian ini adalah umur wanita infertil yang sudah mengikuti program bayi tabung. Variabel terikat pada penelitian ini adalah cadangan ovarium yang dinilai dari kadar hormon FSH basal hari ke-3 haid dan jumlah folikel antral. Sumber data penelitian ini didapatkan dari rekam medis pasien yang dicatat pada lembar pengum pul data. Analis a data menggunakan uji korelasi Pearson dengan derajat kemaknaan p < 0,005 dan koefisien korelasi antara -1 sampai dengan 1. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik responden Responden dalam penelitian ini adalah wanita infertil yang mengikuti program bayi tabung di Klinik Fertilitas Graha Amerta sebanyak sebanyak 94 pasien. Berikut adalah gambaran karakteristik responden di Klinik Fertilitas Graha Amerta. 7 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 B. Umur Distribusi responden berdasarkan umur akan disajikan dalam tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Umur di Klinik Fertilitas Graha Amerta Surabaya Tahun 2013 Umur 20-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun Total Frekuensi Persentase (%) 22 23,4 27 28,7 35 37,2 10 10,6 94 100 Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa variasi umur responden yang mengikuti program bayi tabung hampir merata disetiap kelompok umur (22-44 tahun). Sebagian responden berumur >35 tahun. Rata-rata umur responden pada penelitian ini adalah 33 tahun dengan Standar devisiasi 4,884. C. Hasil pemeriksaan FSH basal Distribusi responden berdasarkan hasil pemeriksaan FSH basal akan disajikan dalam tabel 2 sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Hasil Pemeriksaan FSH Basal di Klinik Fertilitas Graha Amerta Surabaya Tahun 2013 Kadar FSH basal < 10 IU/ ml 10-15 IU/ ml >15 IU/ml Frekuensi Persentase (%) 88 93,6 4 4,2 2 2,1 Total 94 100 saan FSH basal <10 IU/ml. Rata-rata hasil pemeriksaan FSH Basal yaitu 7,25 IU/ml dengan standar devisiasi 2,323. D. Hasil USG jumlah folikel antral Distribusi responden berdasarkan hasil USG jumlah folikel antral akan disajikan dalam tabel 3 sebagai berikut : Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan Hasil USG Jumlah Folikel Antral di Klinik Fertilitas Graha Amerta Surabaya Tahun 2013 Jumlah folikel antral <5 5-10 11-30 Total Frekuensi Persentase (%) 23 56 15 94 24,5 59,6 16,0 100 Berdasarkan tabel 3, dari 94 responden yang mengikuti program bayi tabung, sebanyak 59,6% (56 orang) memiliki jumlah folikel antral antara 5-10 pada kedua ovarium. Rata-rata jumlah folikel antral responden yaitu 7,76 dengan standar deviasi 3,729. E. Hubungan umur dengan jumlah folikel antral Hasil uji korelasi pearson didapatkan nilai signifikansi p=0,005 dan nilai koefisien korelasi -0,285. Nilai p=<0.05, berarti menunjukkan adanya hubungan antara umur dengan jumlah folikel antral. Sedangkan nilai koefisien korelasi -0,285, berarti terdapat hubungan antar variabel yang berbanding terbalik yaitu semakin bertambah umur, maka jumlah folikel antral semakin berkurang. Hubungan ini memiliki kekuatan lemah yang ditunjukan pada gambar 1. Berdasarkan tabel 2 dari 94 responden yang mengikuti program bayi tabung, 93,6% (88 orang) memiliki hasil pemerik- 8 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Jumlah Folikel Antral Gambar 1. Grafik hubungan umur dengan jumlah folikel antral Umur (tahun) Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian sebelumnya oleh Mohammad Ali dan Sedigheh Ghandi[4] tentang umur dan FSH basal sebagai prediktor hasil Assisted Repr oduc tive Tec hnology ( ART). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa umur merupakan faktor prognosis yang paling penting terhadap hasil ART, namun kadar FSH serum basal juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang berpotensi besar mengalami kegagalan dalam ART, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya cadangan ovarium. Selain itu, hasil penelitian serupa tentang umur kronologis vs umur biologis ovarium menyimpulkan bahwa kadar antral follicle count (AFC) dan anti mullerian hormone (AMH) menurun seiring dengan meningkatnya umur, sebaliknya kadar FSH menunjukkan peningkatan seiring dengan bertambahnya umur.[6] Teori lain yang mendukung penelitian ini diungkapkan oleh Halim [4], bahwa peningkatan kadar FSH basal lebih dari 10 IU/ml pada fase folikuler (siklus hari ke-2 sampai hari ke-4 siklus haid) sudah m enunj uk k an adan ya penurun an cadangan ovarium. Berkurangnya jumlah folikel menyebabkan terjadinya penurunan jumlah hormon estrogen sehingga akan terjadi umpan balik positif ke otak untuk merangsang peningkatan produksi FSH. Apabila ovarian reserve (cadangan ovarium) telah menurun dratis, maka FSH akan meningkat sampai 30-40 IU/ml. Wanita yang memasuki umur menopause mengalami penurunan jumlah folikel atau cadangan ovarium sehingga terjadi peningkatan FSH. Pada wanita yang telah menopause didapatkan peningkatan kadar FSH diatas 40 IU/ml. Pada penelitian ini ditemukan responden dengan umur muda maupun umur tua yang memiliki kadar FSH basal yang tinggi. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pemeriksaan FSH dapat memberikan nilai prognostik pada keberhasilan program bayi tabung, dengan meningkatnya usia terutama akan mempengaruhi keberhasilan serta angka implantasi. Pada kelompok usia muda dengan kadar FSH yang tinggi akan meningkatkan angka pembatalan siklus dalam program bayi tabung, namun angka implantasi relatif masih cukup baik. Secara umum, wanita di atas 35 tahun dengan kadar FSH basal >15 mIU/ ml menunjukkan angka keberhasilan kehamilan yang rendah dan angka keguguran yang tinggi. Namun demikian, pasien tidak bisa digeneralisasikan bahwa semua yang mempunyai kadar FSH tinggi mempunyai cadangan ovarium yang rendah. Banyak penelitian melaporkan wanita dengan kadar FSH tinggi dengan umur di bawah 35 tahun dapat berhasil hamil dengan ataupun tanpa teknik bantuan reproduksi. Pada penelitian kasus di atas, umur 40 tahun dengan kadar FSH yang normal bahkan banyak yang tidak hamil.[4] F. Hubungan umur dengan jumlah FSH basal Pada penelitian ini, data FSH basal tidak terdistribusi normal sehingga digunakan uji korelasi sperman. Hasil uji ini menunjukkan nilai signifikansi p =0,014 dan nilai koefisien korelasi 0,252. Nilai p=<0,05 berarti terdapat hubungan antara umur dengan FSH basal. Sedangkan nilai koefisien korelasi 0,252 menunjukkan adanya hubungan yang berbanding lurus, artinya semakin bertambah umur wanita maka semakin tinggi pula kadar FSH basal. Hubungan ini memiliki kekuatan lemah, hal ini ditunjukan pada gambar 2. 9 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Gambar 2. Grafik hubungan umur dengan kadar FSH basal basal maka semakin sedikit jumlah folikel antral. Hubungan ini memiliki kekuatan lemah sesuai dengan pada gambar 3. Umur (tahun) Hasil penelitian ini menguatkan hasil penelitian sebelumnya oleh IB Putra Adnyana[7] yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah folikel antral dengan respon ovarium terhadap stimulasi ovulasi dan didapatkan nilai titik potong sebesar 4,5, sensitivitas 77,8% dan spesifisitas 71,4% untuk jumlah folikel antral sebagai prediktor respons ovarium terhadap stimulasi ovulasi. Pada penelitian ini ditemukan beberapa responden berumur 35 tahun yang memiliki jumlah folikel antral yang rendah. Hal ini disebabkan pada responden didapatkan riwayat operasi Salpingo oovarektomi sinistra (SOS), endometrioma. Dalam tubuh seorang wanita sehat terdapat dua buah (sepasang) ovarium yang terletak di kanan dan kiri uterus (rahim). Fungsi utama ovarium ini adalah menghasilkan ovum (sel telur) dan hormon reproduksi wanita terutama estrogen. Apabila salah satu atau kedua indung telur (ovarium) wanita diangkat maka sel telur akan berkurang dan akan mengalami penurunan kadar hormon estrogen, progesteron, dan testosteron. Operasi ini membuat seorang wanita sulit untuk hamil lagi dan juga mempercepat masa menopause walaupun masih dalam umur reproduktif[4]. G. Hubungan FSH basal dengan jumlah folikel antral Hasil uji korelasi spearman didapatkan nilai signifikansi (p)=0,004 dan nilai koefisien korelasi -0,295. Nilai p=<0,05 menunjukkan adanya hubungan antara FSH basal dengan jumlah folikel antral. Nilai koefisien korelasi -0,295, berarti hubungan yang dihasilkan berbanding terbalik, artinya semakin tinggi kadar FSH FSH Basal FSH Basal Gambar 3. Grafik hubungan kadar FSH basal dengan jumlah folikel antral Jumlah Folikel Antral Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Zunaidi tentang hubungan umur terhadap FSH basal dan jumlah folikel antral ovarium dalam penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan kekuatan korelasi lemah antara variabel FSH basal dengan jumlah folikel antral ovarium (r= -0.35). Hal ini disebabkan karena sampel pada penelitian tersebut lebih sedikit (35 pasien) dan dengan umur responden kurang dari 35 tahun.[8] Dalam penelitian ini ditemukan satu kasus ekstrim yaitu pada umur muda (29 tahun) terdapat kadar FSH basal yang meningkat (14.81 IU/ml). Hal ini dikarenakan responden memiliki riwayat endometrioma dan gangguan ovulasi. Kista ovarium yang berisi jaringan endometriotik dapat tumbuh cukup besar. Kista ini disebut juga dengan kista coklat karena cairan coklat tua ditemukan didalamnya. Kissta coklat atau kista endometriosis ini lebih tepat disebut endometrioma. Jika dibiarkan, maka pertumbuhan kista ini dapat menghancurkan sebagian atau seluruh jaringan ovarium normal, termasuk sel telur. Endometrioma harus diangkat dengan pembedahan, biasanya melalui laparoskopi karena terapi medis tidak efektif dalam pengobatan endometrioma. [9] Wanita yang pernah menjalani pembedahan ovarium maupun dengan satu ovarium sejak lama diketahui mempunyai nilai kadar FSH yang lebih 10 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 tinggi dibandingkan mereka yang mempunyai dua ovarium karena cadangan ovariumnya berkurang.[4] Hitung folikel antral (AFC) merupakan prediktor tunggal terbaik untuk menilai respon ovarium dalam teknologi IVF (in vitro fertilization). Terdapat dua penelitian yang menyimpulkan bahwa AFC merupakan parameter yang lebih baik d ib a n d in gk a n F SH bas a l . A FC berhubungan dengan respons stimulasi terhadap program superovulasi dalam program bayi tabung sehingga AFC merupakan faktor yang paling sensitif untuk menilai ovarian reserve.[4] 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara umur dengan kadar FSH basal, umur dengan jumlah folkel antral, dan antara kadar FSH basal dengan jumlah folikel antral (AFC) dalam penilaian cadangan ovarium pada pasien infertil. Saran bagi bidan diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk tambahan informasi dalam memberikan berbagai penyuluhan kepada remaja pranikah, pasangan usia subur (PUS) mengenai kejadian infertilitas terutama tentang faktor risiko yang berhubungan dengan umur wanita sehingga bidan dapat melakukan rujukan secara tepat pada pasangan yang infertil untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan kepada tenaga kesehatan yang lebih ahli. DAFTAR PUSTAKA 1. Fauziah Y. Infertilitas dan Gangguan Alat Reproduksi. Yogyakarta: Nuha Medika, 2012. 2. Darmasetiawan, M. Sjarief, et al. Fertilisasi Invitro dalam Praktek Klinik. Jakarta: Puspa Swara, 2006. 3. Samsulhadi dan Hendarto Hendy. Aplikasi Klinis Induksi Ovulasi dan Stimulasi Ovarium: Buku Panduan Praktis bagi Klinisi. Jakarta : Sagung Seto, 2009. 4. Halim, Binarwan. Penilaian Fungsi Ovarium. Jakarta : Puspa Swara IKAPI, 2006. 5. Ali, Karimzadeh Mohammad dan Sedigheh Ghandi.” Age and Basal FSH as a Predictor of ART Outcome”. Iranial Journal of Reproductive Medicine 7:1(2009) :19-22. 6. Soebijanto Soegiharto. “Kadar anti mularian hormon (AMH) serum sebagai predictor respon ovarium pada perempuan yang mendapatkan stimulasi ovarium pada fertilisasi invitro (FIV)”,Majalah obstetric ginekologi Indonesia vol 33, no 4, 2009. 7. Adnyana IB, Putra.” Hubungan Jumlah Folikel Antral dengan Respons Ovarium terhadap Stimulasi Ovulasi”. J Peny Dalam 7:3 (2006) :178-185. 8. Zunaidi, Alfian. “Hubungan Umur terhadap FSH basal dan Jumlah Folikel Antral Ovarium dalam Penilaian Cadangan Ovarium pada Pasien Infertil. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2011. 9. Indar, Anwar NC. Seleksi Pasien Menuju Fertilisasi In Vitro. Jakarta : Puspa Swara Anggota IKAPI. 2006. 11 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Tinjauan Pustaka PENATALAKSANAAN PARTUS PREMATURUS IMMINENS PADA USIA KEHAMILAN SETELAH 34 MINGGU Wafda Ardhian Latansyadiena1 1 D4 Kebidanan, Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Latar Belakang: Kehamilan prematur merupakan masalah terbesar dalam obstetri modern dan didefinisikan sebagai kelahiran yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu. Risiko morbiditas dan mortalitas yang timbul akibat persalinan prematur ini sangat besar. Namun, seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman persalinan prematur (Partus Premature Imminens) dan persalinan prematur sesungguhnya. Kurangnya metode yang efektif untuk memprediksi dan mencegah persalinan prematur menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi persalinan prematur. Penanganan sering dihadapkan dengan dilema penggunaan berbagai agen farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya rendah, atau memiliki efek samping yang serius pada ibu atau janin. Bukti ilmiah yang mendukung terhadap penggunaan obat berikut ini tidak terlalu kuat. Penanganan yang paling sering digunakan adalah obat tokolitik, kortikosteroid, dan antibiotik. Kondisi ini membuat pasien harus mengalami perawatan di rumah sakit yang sebenarnya mungkin tidak diperlukan dan menyebabkan efek samping. Tujuan: Untuk mengetahui penatalaksanaan yang tepat pada partus prematurus imminens dengan umur kehamilan setelah 34 minggu. Hasil: Pemberian terapi tokolitik dan kortikosteroid pada partus prematurus imminens umur kehamilan setelah 34 minggu memiliki faktor risiko terjadi gawat janin akibat adanya penurunan aliran darah uteroplasenta dan meningkatkan angka persalinan prematur. Kata Kunci: Partus Prematurus Imminens, Kortikosteroid, Tokolitik ABSTRACT Background: Premature labor, constitutent a major problem terms of obstetrics and defined as delivery before 37 weeks of gestation. The higher risk mortality and morbidity for premature labor delivery. But, the diagnostic partus prematurus imminens and partus premature is difficult. Uneffective methods changed incidence premature labor. Dilemma of management premature labor often occured as a unspesific pharmacology, low effectiveness, and had the effect for mother or foetus. Scientific evidence told the pharmacology management is low. The most management is tocolitic, corticosteroid, and antibiotics. This condition made patients take treatment might was not necessary and caused effect. Goal: Find out the management partus prematurus imminens after 34 weeks of gestation Result: Tcolitic and corticosteroid management of partus prematurus imminens after 34 weeks of gestation have a risk fetal distress. It was happened because blood current for foetus decreased and increased incidence of premature labor Key words: Partus Prematurus Imminens, Corticosteroid, Tocolitic 1. PENDAHULUAN Persalinan prematur yaitu kelahiran bayi kurang dari 37 minggu. Persalinan prematur merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian dan kesakitan neonatus. Risiko kelahiran prematur antara lain kematian bayi, kecacatan bayi, gawat nafas, perdarahan 12 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 otak, infeksi/sepsis dan gagal jantung. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian persalinan preterm adalah usia ibu, paritas, jarak persalinan, tingkat pendidikan, pelayanan antenatal, anemia, merokok, dan minum alkohol. Risiko morniditas dan mortalitas yang timbul akibat persalinan preterm ini sangat besar. Namun, seringkali terjadi kesulitan untuk menentukan diagnosis ancaman persalinan prematur (Partus Premature Imminens) dan persalinan prematur sesungguhnya sehingga intervensi yang dilakukan seringkali tidak sesuai. Selama ini pengelolaan partus prematurus imminens cenderung kuratif dimana yang menjadi tujuan utama pengelolaan adalah meningkatkan usia hamil, meningkatkan berat lahir, menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal yang keseluruhannya dilakukan setelah diagnosis persalinan belum cukup bulan ini ditegakkan. Kurangnya metode yang efektif untuk memprediksi dan mencegah persalinan prematur menyebabkan sedikit perubahan pada insidensi persalinan prematur. Penggunaan berbagai agen farmakologis yang mungkin kurang spesifik, efikasinya rendah, atau memiliki efek samping yang serius pada ibu atau janin menjadi penanganan dilematik. Pemberian tokolitik dan kortikosteroid menjadi komponen utama dalam penatalaksanaan partus prematurus imminens karena berkaitan dengan pematangan paru janin. Pematangan paru janin terjadi pada usia kehamilan 34 minggu. Oleh karena itu, pemberian tokolitik dan kortikosteroid pada usia sebelum 34 minggu sangat penting karena bertujuan menunda persalinan agar mencapai usia kehamilan 34 minggu sehingga paru-paru janin matang dan mengurangi angka gangguan pernafasan pada neonatal. Namun, bukti ilmiah yang mendukung penggunaan obat ini pada usia kehamilan setelah 34 minggu tidak terlalu kuat. Usia kehamilan setelah 34 minggu angka morbiditas dan mortalitas dianggap sama dengan kehamilan aterm sehingga tidak ada manfaat yang berati dalam pemberian kedua terapi tersebut. Kondisi ini membuat pasien harus mengalami perawatan di rumah sakit yang sebenarnya mungkin tidak diperlukan dan menyebabkan efek samping. Selain itu, hal ini menjadi beban keluarga karena perawatan di rumah sakit memerlukan biaya yang banyak. 2. PEMBAHASAN Persalinan prematur merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal di seluruh dunia[1]. Partus prematurus atau persalinan prematur dapat diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang disertai pendataran dan/ atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) sejak hari pertama haid terakhir[2]. Persalinan prematur berlangsung pada kehamilan 28 minggu sampai kurang dari 37 minggu[3]. Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian persalinan prematur adalah usia ibu, paritas, jarak persalinan, tingkat pendidikan, pelayanan antenatal, anemia, merokok, dan minum alkohol[4]. Secara umum, terjadinya persalinan prematur sampai saat ini masih menjadi teori-teori yang sangat kompleks. Seringkali terjadi kesulitan untuk m enentuk an diagnosis ancam an persalinan prematur atau yang sering disebut Partus Prematurus Imminent (PPI) dan persalinan prematur yang sesungguhnya [5,6]. Persalinan prematur dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu melalui infeksi maternal, hipoksia dan stress oksidatif. Hal tersebut merupakan tiga mekanisme biologis utama terjadinya persalinan preterm. Kekurangan zat besi dapat meningkatkan risiko infeksi ibu dan hemoglobin yang rendah dapat menyebabkan keadaan hipoksia kronis yang dapat menginduksi stres ibu dan janin. Sistem kekebalan tubuh akan diaktifkan dengan adanya infeksi, peradangan, atau kortisol yang dirilis setelah respon stres, kemudian axis hipotalamus-hipofisis-adrenal ibu atau janin akan diaktifkan. Keadaan ini dapat memicu terjadinya persalinan dan akhirnya mengakibatkan persalinan preterm. 13 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Pada akhirnya, kekurangan zat besi juga dapat meningkatkan stres oksidatif yang mengakibatkan kerusakan eritrosit dan unit feto-plasenta[4]. Pada penelitian yang dilakukan Leno, dkk. menunjukkan persalinan prematur terbanyak berasal dari kelompok usia 20 – 35 tahun[4].Persalinan prematur lebih sering terjadi pada wanita multipara dibandingkan wanita primipara. Hal ini disebabkan adanya jaringan parut uterus akibat kehamilan dan persalinan sebelumnya. Jaringan parut ini menyebabkan tidak adekuatnya persediaan darah ke plasenta sehingga plasenta menjadi lebih tipis dan mencakup uterus yang luas. Plasenta yang melekat tidak kuat mengakibatkan isoferitin, protein hasil produksi sel limfosit T untuk menghambat reaktifitas uterus dan melindungi buah kehamilan, diproduksi sedikit sehingga risiko untuk mengalami persalinan prematur lebih besar[7]. Penelitian juga menemukan bahwa keterpaparan asap rokok memberi risiko 3,9 kali secara signifikan terhadap kelahiran prematur dibandingkan dengan yang tidak terpapar asap rokok. Hal ini menunjukkan bahwa rokok merupakan zat yang berbahaya bagi kesehatan, khususnya ibu hamil yang akan berdampak buruk bagi ibu maupun janin. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang terpapar asap rokok baik secara aktif maupun pasif dapat menyebabkan bayi terlahir dengan berat badan kurang. Racun nikotin yang terkandung dalam rokok dapat menghambat proses aliran darah dari ibu ke janin, akibatnya perkembangan bayi menjadi terlambat. Kondisi ini berjalan terus hingga memasuki masa persalinan dan menyebabkan bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Selain itu, bayi juga dapat lahir prematur atau lahir dalam usia yang belum matang[8]. Dari faktor psiko-sosial pekerjaan ditemukan bahwa kejadian persalinan prematur lebih banyak pada ibu hamil yang bekerja dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak bekerja. Ibu hamil yang bekerja dapat meningkatkan kejadian persalinan prematur baik melalui kelelahan fisik atau stres yang timbul akibat pekerjaannya, terutama bekerja terlalu lama[4,9]. Penelitian lain yang dilakukan oleh Eiriksdottir di Islandia juga menyebutkan pendapatan keluarga dan stres merupakan faktor risiko yang menyebabkan kelahiran prematur[10]. Menurut Dr Ali Khashan dari Univeritas Manchester di Inggris, stres yang berat sebelum atau sekitar waktu menjelang kehamilan, dapat mengubah kadar stress hormone cortisol dan corticotropin releasing hormone (CRH) yang berpengaruh pada penanaman embrio dan pembentukan plasenta. Secara keseluruhan, wanita yang pernah mengalami stres enam bulan sebelum hamil, sekitar 16% cenderung mengalami persalinan prematur. Sementara itu, resiko bayi meninggal atau sakit pada persalinan prematur naik hingga 23%. Hal itu dimungkinkan dampak dari sisi kejiwaan sehingga mempengaruhi hormonal kemudian mengakibatkan persalinan prematur[11,12]. Ancaman persalinan prematur memiliki kriteria yaitu sebagai berikut[5]. 1. Adanya kontraksi adekuat minimal 2 3 kali dalam waktu 10 menit dengan selang waktu relaksasi yang cukup. 2. Adanya perubahan dilatasi serviks pada 2 pemeriksaan dengan selang waktu 1 jam yang dilakukan oleh pemeriksa yang sama disertai dengan adanya kontraksi uterus. 3. Adanya kontraksi yang teratur disertai dilatasi serviks 1-2 cm dan penipisan serviks. Secara teori, adapun parameterparameter yang digunakan untuk memprediksi terjadinya persalinan prematur. 14 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Tabel 1. Skor Bishop Nilai 0 1 2 3 Dilatasi serviks 0 1-2 cm 3-4 cm >4c m Penipis an serviks 0-30% 4050% 6070% >70 % Station Konsist ensi serviks -3 Kenyal -2 Medi um -1 Lunak 0 Posisi serviks Posteri or Medi al Anteri or Sumber : Jenny, 2008 Skor Bishop merupakan parameter yang baik untuk memprediksi terjadinya persalinan prematur. Semakin besar nilai Skor Bishop menunjukkan ancaman persalinan prematur yang terjadi semakin progresif sehingga semakin sulit untuk dihambat. Pada beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan prematur berkisar 76% pada skor Bishop ≥ 5. Tabel 2. Skor Baumgarten Nilai 1 2 3 4 Kontrak si Tidak teratur Teratu r - - Ketuba n Utuh Pecah di atas/ tidak jelas - Peca h di bawa h Perdar ahan Dilatasi serviks Spotti ng 1 cm Banya k 2 cm 3 cm 4 cm Sumber : Jenny, 2008 Skor Baumgarten juga merupakan salah satu parameter yang baik untuk memprediksi persalinan prematur dengan atau tanpa adanya ketuban pecah dini. Pada beberapa penelitian didapatkan angka kejadian persalinan prematur sebesar 10% pada skor tokolisis Baumgarten < 3. Bila skor tokolisis Baumgarten > 3 maka angka kejadian persalinan prematur meningkat sebesar 85%[5]. Berdasarkan Buku Pengelolaan Persalinan Preterm [13], penatalaksanaan persalinan prematur adalah sebagai berikut. 1. Tirah baring (bedrest) Kepentingan istirahat disesuaikan dengan kebutuhan ibu. 2. Rehidrasi Rehidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah persalinan preterm karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi prematur. Tirah baring dan rehidrasi merupakan salah satu upaya agar aliran darah ke plasenta meningkat dan lancar sehingga janin selalu dalam keadaan baik [14] . 3. Pemberian terapi konservatif (ekspetan) tokolitik. Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan Rujukan 2013, jika ditemui salah satu dari keadaan berikut ini, tokolitik tidak perlu diberikan dan bayi dilahirkan secara pervaginam atau perabdominam sesuai kondisi kehamilan[15]: a. Usia kehamilan di bawah 24 dan di atas 34 minggu b. Ada tanda korioamnionitis (infeksi intrauterine), preeklampsia, atau perdarahan aktif c. Ada gawat janin d. Janin meningal atau adanya kelainan kongenital yang kemungkinan hidupnya kecil Pemberian tokolitik dilakukan usia 24 -34 minggu karena tujuan utama penggunaan tokolitik ini memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulur surfaktan paru-paru janin, sedangkan paru-paru janin matang usia 34 minggu [15,16]. American College of Obstetricians and Gynecologisis membuat pernyataan berikut mengenai tokolitik: “sampai saat ini, belum ada penelitian secara meyakinkan membuktikan terjadinya peningkatan kesintasan atau indeks prognosis neonatus jangka panjang lainnya pada pemberian terapi tokolitik. Di pihak lain, kemungkinan gangguan akibat 15 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 terapi tokolitik pada ibu dan neonatus sudah terbukti. Pemberian kortikosteroid sebelum 34 minggu gestasi jelas bermanfaat, pemberian obat tokolitik untuk perpanjangan kehamilan jangka pendek dapat dibenarkan. Di luar itu, pertanyaan apakah obat tokolitik perlu digunakan pada usia gestasi berapapun tidak dapat dijawab saat ini, terutama setelah 34 minggu gestasi” [17]. Obat tokolitik yang memiliki fungsi kerja untuk menghambat saluran kalsium (antagonis kalsium). Aktifitas otot polos, termasuk miometrium, secara langsung berhubungan dengan kalsium bebas di dalam sitoplasma dan penurunan konsentrasi kalsium akan menghambat kontraksi. Ion kalsium mencapai sitoplasma melalui portal atau saluran membran spesifik. Penyekat saluran kalsium bekerja menghambat pemasukan kalsium melalui membran sel dengan berbagai mekanisme[18]. Dengan demikian, terjadi penurunan konsentrasi kalsium. Meskipun beberapa fakta memperlihatkan bahwa penyekat kanal kalsium menjanjikan beberapa harapan sebagai obat tokolitik terapi persalinan prematur, beberapa penelitian juga mengingatkan untuk mengklarifikasi bahaya potensial pada ibu atau janin sebab relaksasi otot polos tidak terbatas pada uterus saja, melainkan juga mengenai pembuluh darah sistemik dan uterus. Resistensi vaskular yang menurun karena nifedipin dapat menyebabkan hipotensi pada ibu sehingga menurunkan perfusi uteroplasenta[18]. Studi-studi hewan dengan berbagai spesies yang dilaporkan telah memperlihatkan adanya hiperkapnia, asidosis, hipoksemia, dan kematian janin. Pada pengamatan yang dilakukan Lirette dkk. menunjukkan hasil terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta pada kelinci [18,19] .Hepatotoksisitas maternal yang diinduksi oleh obat telah dilaporkan ketika nifedipin digunakan untuk terapi persalinan prematur sehingga mengakibatkan dihentikannya pemberian obat ini[19]. Oleh karena itu, diperlukan prediktor diagnosis yang baik agar menghindarkan pasien dari terapi tokolitik dan efek sampingnya, serta menurunkan angka perawatan rumah sakit dan angka rujukan ke fasilitas perawatan perinatologi. 4. Pemberian terapi kortikosteroid Mekanisme kerja kortikisteroid pada perkembangan paru adalah meningkatkan surfaktan paru. Kortikosteroid melibatkan induksi protein yang mengatur sistem biokimia dengan sel tipe II pada paru janin yang memproduksi surfaktan. Pada selsel paru janin manusia yang dikultur, pemberian deksametason meningkatkan kandungan protein surfaktan A, B, C, D, sambil merangsang aktifitas semua enzim penting untuk biosistesi fosfolipid. Karena itu, konsentrasi fosfatidilkolin yang larut meningkat. Pada gilirannya hal ini merangsang perkembangan badan-badan lamelar, yang kemudian disekresikan ke dalam lumen ruang udara[14]. Pemberian kortikosteroid ini mencegah morbiditas neonatal pada penggunaan usia kehamilan 24-34 minggu. Semua kehamilan kurang dari 34 minggu yang akan diakhiri diberikan kortikosteroid dalam bentuk deksamethasone atau betamethasone[20]. Evaluasi dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemberian kortikosteroid pada usia kehamilan 24-34 minggu efektif memperbaiki outcome neonatal. Pemakaian kortikosteroid pada kehamilan setelah usia 34 minggu jarang ditemukan penurunan angka morbiditas dan tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung atau membantah. Penggunaan kortikosteroid hanya direkomendasikan jika terbukti adanya immaturitas paru pada pemeriksaan amnionsintesis[21,22,23]. Kehamilan > 34 minggu hanya perlu dilakukan observasi kemajuan persalinan serta kesejahteraan janin intrauterine. Terdapat efek jangka pendek pada ibu, antara lain oedem paru, infeksi, dan pengendalian glukosa yang lebih sulit pada ibu diabetik [18,23]. Pada penelitian Elliot dan Radin juga melaporkan bahwa kortikosteroid menginduksi uterus dan persalinan preterm pada manusia. Dengan demikian, pemberian kortikosteroid akan meningkatkan angka persalinan prematur. Pemberian kortikosteroid yang tidak memiliki manfaat kuat pada pematangan paru umur kehamilan setelah 34 minggu justru dapat mempercepat angka persalinan prematur dan hal ini akan berpengaruh dengan outcome bayi lahir 16 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 preterm. Oleh karena itu, keputusan pemberian kortikostreoid harus tepat sesuai klasifikasi umur kehamilan. 5. Pemberian Antibiotik Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan dan Rujukan juga menjelaskan bahwa pemberian antibiotika profilaksis pada persalinan prematur digunakan untuk mencegah infeksi streptococus grup B[15]. Perencanaan Persalinan. Pengambilan keputusan untuk melakukan persalinan merujuk pada analisis skor bishop dan baumgarten. Analisis kedua skor tersebut menguraikan bahwa PPI susah untuk dihambat jika terjadi pengeluaran darah bertambah banyak dan konsistensi serviks lunak. Umur kehamilan kurang dari 34 minggu adalah syarat untuk penundaan persalinan [24] . Usia kehamilan > 34 minggu dapat melahirkan di tingkat dasar/ primer, mengingat prognosis relatif baik dan morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterm[14,16]. 3. KESIMPULAN Persalinan prematur merupakan suatu keadaan disertai tanda-tanda persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan sebelum 37 minggu. Partus Prematurus Imminens (PPI) merupakan ancaman persalinan prematur yang kemungkinan dapat dilakukan penundaan persalinan dengan kriteria tertentu. PPI pada usia kehamilan 24-34 minggu dapat dilakukan penundaan persalinan dengan pemberian terapi tokolitik dan kortikosteroid. Hal ini dilakukan untuk menunggu pematangan paru yang akan matang pada usia kehamilan 34 minggu sehingga mengurangi angka gangguan pernafasan neonatal. Pada usia kehamilan setelah 34 minggu tidak direkomendasikan pemberian tokolitik dan kortikosteroid sesuai dengan pemaparan dalam guidline RCOG (Royal College of Obstericians and Gynaecologies) bahwa penanganan persalinan preterm merekomendasikan tidak perlu menggunakan agen tokolitik jika tidak terdapat bukti yang jelas yang akan meningkatkan outcome pada terjadinya persalinan preterm. Pemberian terapi tokolitik dan kortikosteroid pada partus prematurus imminens umur kehamilan setelah 34 minggu memiliki faktor risiko terjadi gawat janin akibat adanya penurunan aliran darah uteroplasenta dan meningkatkan angka persalinan prematur. DAFTAR RUJUKAN 1. Ariana, Dhina., Sayono, dan Erna Kusumawati. Faktor Risiko Kejadian Persalinan Prematur, Laporan Penelitian, Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang, 2011. 2. Agustiana, Tria. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Prematur di Indonesia Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010), Skripsi S-1, Jakarta: Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi Universitas Indonesia, 2012. 3. Jannah, Miftahul. Hubungan Infeksi Saluran Kemih pada Ibu Hamilterhadap Partus Prematur di RSUD Dr. Adjidarmo Lebak Banten Periode Januari hingga Desember 2010, Riset, Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2011. 4. Jusuf, Jenny. Efektifitas dan Efek Samping Ketorolac sebagai Tokolitik pada Ancaman Persalinan Prematur, Tesis S-2, Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2008. 5. Islam, Mutiara. Perbandingan Kadar Interleukin 10 pada Partus Prematurus Imminen dengan Kehamilan Preterm Normal, Tesis S2, Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2010. 6. Edrin, Verdani Leoni., Ariadi, dan Lili Irawati. Gambaran Karakteristik Inu Hamil pada Persalinan Preterm di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2012, dalam Jurnal Kesehatan Andalas, Padang: Pendidikan Dokter Universitas Andalas, Volume 3, Nomor 3, hlm. 1 – 7, 2014. 7. Mukibati, Titin., Tinuk Esti, dan Rudiati. Gambaran Faktor Penyebab Persalinan Prematur di Kamar Bersalin RSUD dr. Soeroto Ngawi tahun 2010, Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 3 (2): 116 – 123, 2012. 17 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 8. Koniyo, Mira., Buraerah H. Hakim, dan A. Arsunan. Determinan Kejadian Kelahiran Bayi Prematur di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, Laporan Penelitian, Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, 2012. 9. Firdiyanti, Rita., Nusratuddin, dan Eddy Tiro. Hubungan Kadar Progesteron Induced Blocking Factor (PIBF) Serum dengan Kejadian Persalinan Preterm, Laporan Penelitian, Makassar: Bagian Obstetri dan Ginekologi Universitas Hasanuddin, 2013. 10. Paembonan, Novhita., Jumriani, dan Dian Sidik. Faktor Risiko Kejadian Kelahiran Prematur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar, Laporan Penelitian, Makassar: Bagian Epidemiologi Universitas Hasanuddin, 2014. 11. Aden, Christine. Pengaruh Paket Aman Terhadao Pengetahuan dan Pelaksanaan Perawatan Kehamilan oleh Ibu Risiko Persalinan Prematur Serta Efetivitasnya Terhadap Maturitas Kehamilan di Jakarta, Tesis S-2, Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008. 12. Somadina, Iswara. Granulocyte Colony Stimulating Factor (G-CSF) sebagai Prediktor Persalinan Preterm, 2013. 8 Juni 2015 <http://ojs.unud.ac.id/ index.php/obgyn/article/ viewFile/13441/9141> 13. Himpunan Kedokteran Fetomaternal Indonesia. Panduan Pengelolaan Persalinan Preterm Nasional, Bandung: Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2011. 14. Ramayanti, Helen. Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Kejadian Persalinan Preterm di RSU Bhakti Yudha Depok Periode Januari 2008-Desember 2010, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran, 2011. 15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Saku Pelayanan 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan, Jakarta: Kemenkes RI, 2013. Saifuddin, Abdul Bari., Trijatmo, dan Winkjosastro. ed. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: PT. Bina Pustaka, Cetakan ke-4, 2011. Leveno, Kenneth., et al. Obstetri Williams: Panduan Ringkas, Ed. 21. terj. Brahm U. Pendit: “William Manual Of Obstetrics, 21st Ed.”, Jakarta: EGC, Cetakan Ke-1, 2009. Cunninghan F. Gary., et al. Obstetri Williams, Ed. 21, Vol 1. terj. Hartono, Andry: “Williams Obstetrics, 21 Ed.”, Jakarta: EGC, Cetakan Ke-1, 2006. Kesuma, Hadrians. Obat-obat Tokolitik di Bagian Kebidanan, 2007. 11 Juni 2015 <http:// www.usearchmedia.com/>. Roosdhantia, Isnia. Perbedaan Skor Apgar pada Ketuban Pecah dini Usia Kurang dari 34 Minggu yang Diberi dan Tidak Diberi Deksametason, Laporan Hasil Penelitian, Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2012. Manuaba, Ida Ayu, Fajar, dan Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Pendidikan Bidan, Ed.2., Jakarta: EGC, 2010. Pratama, Rizky. Perbandingan Kadar Serum Progesteron Pada Persalinan Preterm dan Kehamilan Normal, Tesis Spesialis, Medan: Departemen Obstetri dan Ginekologi Universitas Sumatera Utara, 2014. Bonanno, Clarissa., and Ronald J. Wapner. Antenatal Corticosteroid in the Management of Preterm Birth: Are We Back Where We Started?, New York: Department of Obstetrics and Gynecology Columbia University College, 2012. D. Chan, Paul., and Susan M.Johnson. Current Clinical Strategies Gynecology and Obstetrics, USA: Laguna Hills California, 2006. 18 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 25. Mufaza, Uyun. Pengetahuan dan Perilaku Orangtua dalam Pemberian Obat Penurun Panas pada Anak Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi, Skripsi-S1, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. 26. Subijanto, Achmad Arman. Review: Keanekaragaman Genetik HLA-DR dan Variasi Kerentanan terhadap Penyakit Asma; Tinjauan Khusus pada Asma dalam Kehamilan, dalam Jurnal Biodiversitas, 9 (3): 237-243., Solo: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008. 19 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Penyegar PERAN SUAMI DALAM MENINGKATKAN KUANTITAS DAN KUALITAS ANTENATAL CARE Dewa Ayu Mirah Indrayani 1, Nofi Nurul Fadilla1 1 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya Angka Kematian Ibu dan Bayi di Inodesia Wanita adalah makhluk dengan berbagai risiko yang harus ditanggungnya. Salah satu fase yang berisiko di dalam kehidupan wanita adalah saat ia hamil. Kehamilan yang seharusnya menjadi suatu proses yang alamiah ternyata dapat menyumbangkan angka kematian ibu dan bayi. Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya adalah aset berharga yang sudah sepantasnya mendapat perhatian khusus. Namun ironisnya, Angka Kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu, masih menunjukan angka yang tinggi di Indonesia dan jauh berada diatas AKI di negara ASEAN lainnya. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012[1] untuk AKI hasilnya sangat mengejutkan. Kematian ibu melonjak sangat signifikan menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup atau mengembalikan pada kondisi tahun 1997. Ini berarti kesehatan ibu justru mengalami kemunduran selama 15 tahun. Pada tahun 2007, AKI di Indonesia sebenarnya telah mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. AKI yang sangat tinggi itu artinya Indonesia bahkan jauh lebih buruk dari negara-negara paling miskin di Asia, seperti Timor Leste, Myanmar, Bangladesh dan Kamboja. Indonesia kini telah berpredikat terbelakang di Asia dalam melindungi kesehatan ibu[2]. Menurut World Health Organization [3] Indonesia menduduki peringkat pertama dengan AKI tertinggi dari 181 negara di dunia. Perdarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kurang energi kronik pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya perdarahan dan infeksi[4]. Tidak hanya AKI yang menjadi fokus Pembangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia, khusus untuk bidang kesehatan berfokus pula melalui percepatan penurunan Angka Kematian Anak (AKA) untuk Bayi dan Balita. Target MDGs untuk Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia adalah sebesar 23 per 1000 KH pada tahun 2015 dari kondisi saat ini yaitu sebesar 34 per 1000 KH[5]. Apabila kondisi ini dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya dari pihak terkait, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengalami kemunduran dari segi kuantitas dan kualitas SDM hanya karena kasus kematian ibu dan bayi yang seharusnya dapat dicegah. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan adalah melalui Antenatal Care (ANC) sebagai deteksi dini komplikasi kehamilan pada ibu dan janin. Kunjungan ANC adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan pelayanan atau asuhan antenatal. ANC dilakukan secara rutin minimal 4 kali kunjungan (K4) selama hamil[6]. Tujuan dari ANC dapat tercapai apabila ada komitmen dari berbagai pihak yang terkait baik itu pemerintah, nakes (dokter, bidan, perawat), ibu hamil maupun keluarga (termasuk suami) untuk menyukseskannya. Sesuai dengan pernyataan Kepmenkes RI dalam Pedoman ANC Terpadu[7], salah satu konsep pelayanan antenatal terpadu dan berkualitas adalah melibatkan ibu dan keluarganya terutama suami dalam menjaga kesehatan dan gizi ibu hamil, menyiapkan persalinan dan kesiagaan bila terjadi penyulit atau komplikasi. Jika suami tidak menginginkan suatu kehamilan, hal ini dapat membuat permasalahan pada istrinya dalam menerima kehamilannya[8]. 20 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Jika dukungan suami didapat seorang ibu, ibu akan merasa ada pengharapan besar dari orang-orang terdekatnya untuk mempertahankan kehamilannya. Hal inilah yang mempengaruhi intensitas ibu melakukan ANC menuju persiapan kehamilan lanjut, persalinan dan nifas. Menurunkan AKI dan AKB melalui ANC Menurut Kebijakan Departemen Kesehatan[9] dalam upaya mempercepat penurunan AKI dan AKB pada dasarnya dapat mengacu kepada intervensi strategis “Empat Pilar Safe Motherhood” yang salah satu diantaranya adalah melalui pelayanan ANC. Meskipun ANC tidak dapat diklaim sebagai satu-satunya solusi atas tingginya kematian ibu dan bayi di negara berkembang, namun ANC yang berkualitas dapat membantu untuk pencapaian Milenium Development Goals dalam penurunan AKI dan AKB[10]. ANC merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan dan perawat bidan) untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK)[7]. Tujuan pengawasan wanita hamil ialah menyiapkan ibu hamil sebaik-baiknya secara fisik dan mental, serta menyelamatkan ibu dan bayi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, sehingga keadaan postpartum sehat dan normal. Ini berarti dalam ANC seorang ibu hamil akan diusahakan agar sampai akhir kehamilan sekurang kurangnya, harus sama sehatnya atau lebih sehat, adanya kelainan fisik atau psikologi harus ditemukan dini dan diobati, wanita melahirkan tanpa kesulitan dan bayi yang dilahirkan sehat fisik dan mental[11]. Menurut Depkes RI[9] pelayanan standar yang harus dilakukan oleh bidan atau tenaga kesehatan saat ANC dikenal dengan 10T. Standar pelayanan ini diterapkan berdasarkan evidanced based dengan tujuan dan maksud untuk mengetahui status kesehatan ibu dan janin. Pelayanan standar 10T tersebut diantaranya adalah : 1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan 2. Pemeriksaan tekanan darah 3. Nilai status gizi (ukur lingkar lengan atas) 4. Pemeriksaan puncak rahim (tinggi fundus uteri) 5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ) 6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan. 7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan 8. Test laboratorium (rutin dan khusus) 9. Tatalaksana kasus 10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan ANC untuk setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal, yaitu 1 kali kunjungan selama trimester pertama (sebelum minggu ke 14 ), 1 kali kunjungan selama trimester kedua (antara minggu 14 -28) dan 2 kali kunjungan selama trimester ketiga (antara minggu 28-36 dan sesudah minggu ke 36). Semakin tinggi tingkat kesadaran para wanita hamil akan pentingnya pemeriksaan kehamilannya (sekurang-kurangnya 4 kali), semakin dini pula komplikasi dalam kehamilan dapat ditangani[6]. Di Indonesia cakupan kunjungan ibu hamil K1 pada tahun 2011 adalah 95,71% dari target 95 % dan kunjungan ibu hamil K4 sebanyak 88,27% dari target 90%[12]. Meskipun kunjungan ibu hamil hampir memenuhi target, masih perlu ada perhatian khusus peningkatan kunjungan ANC terutama pada K4 sebagai masa persiapan kelahiran. Beberapa faktor yang mempengaruhi tercapai atau tidaknya kunjungan KI sampai K4 ibu hamil diantaranya adalah faktor internal (paritas dan usia) dan eksternal (pengetahuan, sikap, ekonomi, sosial budaya, geografis, informasi dan dukungan)[9]. Saat ini, muncul fenomena ibu hamil tanpa dukungan dari suami yang disebabkan oleh banyak hal salah satunya karena kesibukan mencari nafkah, tingkat pengetahuan suami yang rendah, dan sikap acuh suami yang menganggap kehamilan sepenuhnya tanggung jawab wanita[6]. Pernyataan ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh Lia Mulyanti, dkk [13] pada 30 ibu hamil di Rumah Bersalin Bhakti IBI 21 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Semarang Tahun 2010 menunjukan ibu hamil yang tidak mendapat dukungan suami sebanyak 17 orang (56,7%) sedangkan ibu hamil yang mendapat dukungan suami hanya sebanyak 13 orang (43,3%). Analisis Hubungan Dukungan Suami dengan Kunjungan ANC Tabel 1. Dukungan Suami dalam Kunjungan ANC Dukungan suami pada ibu hamil Tidak mendukung Mendukung Total Kunjungan ANC Tidak baik 11 (64,7 %) 2 (15,4 %) 13 (43,3 %) Baik Jumlah 17 (56,7 %) 13 (43,3 %) 30 (100 %) 6 (35,3 %) 11 (84,6 %) 17 (56,7 %) Sumber: Lia Mulyanti13 Tabel diatas adalah hubungan persentase antara dukungan suami dengan kunjungan ANC di Rumah Bersalin Bhakti IBI Semarang tahun 2010. Dapat diketahui bahwa dari 17 ibu hamil yang tidak didukung oleh suaminya, hanya 6 orang (35,3%) melakukan kunjungan ANC dengan baik. Sedangkan dari 13 ibu hamil yang mendapatkan dukungan suaminya, 11 orang (84,6%) melakukan kunjungan ANC dengan baik. Data sejenis juga diperoleh dari analisis hubungan dukungan suami terhadap motivasi ibu. Tabel 2. Analisis Hubungan Dukungan Suami terhadap Motivasi Ibu Dukungan suami Mendukung Tidak Mendukung Jumlah Motivasi Ibu TermotiTidak vasi Termotivasi n % N % Jumlah n % 26 13, 3 50. 0 3 0 1 0 77 ,5 22 ,5 21, 2 4 0 10 0 5 31 86, 7 50. 0 4 78, 8 9 5 Adapun penelitian lain pada salah satu daerah di Indonesia yang dilakukan oleh Deviana Haruma-wati[15] di Puskesmas Babadan Ponorogo kepada 20 orang ibu hamil. Sebanyak 9 ibu hamil mendapat dukungan suami dan 8 orang diantaranya melakukan kunjungan ANC dengan baik (rutin melakukan kunjungan) dan 1 antara 9 orang itu melakukan kunjungan tidak baik. Sedangkan 11 ibu hamil yang lain tidak memperoleh dukungan suami, 3 diantaranya melakukan kunjungan ANC dengan baik dan 8 diantaranya tidak melakukan kunjungan ANC. Terdapat pula perbedaan psikologis yang dialami 9 ibu hamil yang mendapat dukungan suami yaitu ibu lebih tenang menghadapi kehamilan dan persalinan. Ketiga daerah di Indonesia ini adalah beberapa bukti adanya hubungan antara dukungan suami dengan kunjungan ANC. Data-data ini menunjukan bahwa sebagaian besar ibu yang melakukan kunjungan ANC dengan baik karena mendapat dukungan suami dalam masa kehamilannya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dukungan suami baik fisik maupun psikis merupakan suatu bentuk perwujudan dari sikap perhatian dan kasih sayang. Sikap ini bila diberikan pada ibu hamil akan memberikan pengaruh positif dalam persiapan untuk menghadapi kehamilan minggu-minggu selanjutnya, persalinan, masa nifas dan perawatan bayi melaui kunjungan ANC[16]. Suami dukung ANC, Ibu Selamat Bayi Sehat Dalam jurnal “Influence of Family Members on Utilization of Maternal Health Care Services”[17] disebutkan bahwa di antara suami dan ibu mertua, suami ibu hamil itu dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh, terutama pada ibu muda (remaja dan dewasa muda). Dengan demikian, keterlibatan suami sangat penting sebagai strategi untuk meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu termasuk ANC. Sumber: Rismawati, dkk14 22 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Adapun beberapa bentuk dukungan yang dapat diberikan suami kepada istri untuk menyukseskan program ANC, diantaranya : 1. Memberi dukungan fisik Menurut Murray, Mc Kinney & Gorrie [18] , selama kehamilan ibu membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan suami seperti misalnya : membantu angkat air dari sumur, membantu menyapu halaman, membantu mencuci piring dan pekerjaan lain yang meringankan istri. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab ibu hamil kurang patuh dalam melakukan ANC secara teratur dan tepat waktu, salah satu diantaranya yaitu kesibukan ibu terhadap pekerjaan rumah [19] . Urusan-urusan rumah tangga membuat ibu merasa terbebani dan tidak memiliki waktu untuk melakukan ANC terlebih untuk pasangan tanpa melibatkan asisten rumah tangga atau bantuan dari orang lain dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Sehingga dengan adanya bantuan dari suami, diharapkan istri menjadi lebih fokus dengan kehamilan termasuk dalam kunjungan ANC. 2. Mengingatkan jadwal ANC Jadwal kunjungan ANC selama masa kehamilan tidak terjadwal setiap minggu, seperti yang diketahui kunjungan ANC dilakukan minimal 4 kali (1 kali pada TM 1, 1 kali pada TM 2 dan 2 kali pada TM 3)[6]. Jarak antara kunjungan 1 ke kunjungan berikutnya kurang lebih 1-2 bulan setelah kunjungan pertama dan hal ini berpotensi membuat ibu hamil lupa dengan jadwal kunjungan selanjutnya. Dalam situasi ini suami dapat mengambil peran dalam mengingatkan istri jadwal kunjungan ANC. Suami harus berperan aktif selalu menyarankan istri pentingnya ANC dan rutin melakukan kunjungan[6]. Keadaan seperti ini dapat pula disiasati dengan memberi pujian bila istri sudah melakukan kunjungan atau telah mengikuti pesan bidan/dokter. Suatu pujian, sanjungan dan penilaian yang baik akan memotivasi seseorang melakukan hal berkaitan dengan pujian, sebaliknya hukuman dan pandangan negatif seseorang akan menjadi hambatan proses terbentuknya perilaku[6]. 3. Menemani istri dalam kunjungan ANC Kunjungan ANC yang ideal dan disarankan adalah kunjungan dengan didampingi oleh suami atau kerabat. Memberi pengetahuan kepada wanita hamil dan suaminya dapat menghasilkan dampak lebih besar pada perilaku kesehatan ibu dalam kehamilannya dibanding memberi pengetahuan tanpa ada pendampingan suami[20]. Adapun maksud dari keikutsertaan suami dalam melakukan kunjungan yaitu diharapkan tidak hanya istri namun suami sebagai orang terdekat istri juga mengetahui gejala dan tanda komplikasi kehamilan, gizi dalam kehamilan, P4K dan hal-hal penting lainnya yang diperlukan selama masa kehamilan. Pertemuan langsung suami dengan bidan/ dokter menjadi kesempatan pasangan untuk berkonsultasi seputar kehamilan. Dengan mewajibkan kehadiran suami selama kunjungan ANC akan mempermudah unit perawatan kesehatan primer mendapat persetujuan suami dalam mempermudah perawatan ibu hamil[21]. Hal ini disebabkan karena suami telah memperoleh pengetahuan selama ANC tentang keadaan yang mungkin akan terjadi pada ibu hamil, sehingga perawatan atau perujukan menjadi lebih efektif karena tidak ada penolakan dari suami sebagai decision maker. perawatan atau perujukan menjadi lebih efektif karena tidak ada penolakan dari suami sebagai decision maker. Selain itu kunjungan ANC dengan suami juga berpengaruh pada psikologis ibu hamil yaitu ibu menjadi lebih percaya diri dengan kehamilannya serta mengurangi kecemasan istri selama kunjungan ANC[22]. 4. Mencari informasi seputar kehamilan Informasi-informasi yang diperoleh suami sebagai bentuk pengetahuan seputar kehamilan, persalinan, nifas hingga perawatan bayi dapat diperoleh suami melalui internet, antental class, membaca buku KIA, dan mencari informasi ke bidan, dokter atau kerabat yang sudah berpengalaman. Informasiinformasi ini nantinya dapat di-share sebagai tambahan pengetahuan istri seputar kehamilan. 23 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Dari hasil analisis dengan menggunakan uji statistik diperoleh bahawa ada hubungan secara bermakna antara tingkat pengetahan suami dengan sikap dukungan yang diberikan suami selama proses kehamilan sampai masa nifas[23]. Pengetahuan yang dimiliki suami tentang kehamilan, persalinan dan nifas, membuat suami semakin aware dengan hal-hal yang berkaitan dengan kehamilan seperti memahami tanda-tanda dan persiapan persalinan, perubahan fisik dan psikologis ibu hamil, memahami perannya sebagai pendamping persalinan, pembuat keputusan yang rasional, hingga mendukung IMD dan ASI ekslusif[24]. Upaya Meningkatkan Dukungan Suami dalam Menyukseskan ANC Mengingat akan pentingnya dukungan suami dalam menyukseskan ANC, perlu ada kiat-kiat khusus yang diterapkan pasangan suami istri dan bidan/ dokter yang memberikan pelayanan diantaranya adalah : 1. Bidan/dokter melibatkan partisipasi suami dalam pemeriksaan ANC[25]. Dalam hal ini bidan/dokter dapat meningkatkan peran suami dalam kunjungan ANC dengan cara meminta suami yang mendampingi istri masuk ruang pemeriksaan untuk mendapat edukasi seputar kehamilan bersama istrinya dan tidak hanya menunggu di luar tempat praktik bidan/dokter. Sedangkan ibu dengan kunjungan ANC yang tidak didampingi suami, diberi saran oleh bidan/ dokter untuk mengajak suami datang menemani pada kunjungan berikutnya sekaligus menjelaskan manfaat-manfaat dari keterlibatan suami tersebut bagi ibu dan kehamilannya. 2. Memberikan penyuluhan kepada suami mengenai konsep ‘Suami Siaga’ Suami siaga yaitu kewaspadaan suami untuk menjaga kesehatan dan keselamatan istrinya yang sedang hamil sampai dengan persalinannya. Suami siaga senantiasa siap memberikan yang terbaik untuk istri dan janinnya. Sebagai suami siaga ia siap dan ikhlas untuk memeriksakan kehamilan istrinya dan ikut mempersiapkan persalinan dengan tenaga medis[25]. Peran suami siaga ini dapat ditingkatkan melalui penyuluhan yang dilakukan oleh pihak terkait, seperti : bidan, dokter, kader, suami siaga, dll. Penyuluhan dapat dilakukan pada sarana atau tempattempat berkumpul dan berinteraksi para lelaki, misalnya tempat kerja dan forum komunikasi desa. Penyuluhan suami siaga diharapkan dapat mengubah perilaku suami yang memiliki istri hamil agar lebih memiliki sikap peduli dan siaga terhadap kehamilan. Adapun pengertian suami siaga secara rinci adalah : Siap : 1. Secara mental, ketika ibu sedang menghadapi persalinan, suami mempersiapkan mentalnya untuk memberikan dukungan atau semangat kepada istri. 2. Secara fisik, suami mempersiapkan diri dan lingkungan untuk menjaga dan melindungi istrinya. 3. Secara materil, suami mempersiapkan dana untuk persalinan istrinya. Antar : Suami mengantarkan istri ketika kunjungan ANC, merasakan adanya tanda- tanda dan gejala persalinan. Jaga : Suami menjaga istri ketika menghadapi persalinan[26]. Setiap kehamilan berisiko membawa komplikasi, hampir tidak dapat diprediksi siapa, kapan dan bagaimana ibu hamil mengalami komplikasi. Fakta inilah yang dapat dijadikan pelajaran bahwa setiap ibu hamil harus mempunyai akses asuhan kehamilan dan persalinan yang berkualitas yang dapat diperoleh melalui ANC terpadu. ANC yang berkualitas dapat diperoleh salah satunya melalui dukungan suami yang dapat diberikan dalam beberapa bentuk dukungan terhadap istrinya. Dukungandukungan ini dapat ditingkatkan melalui kesadaran suami itu sendiri, ajakan dari istri, bidan/dokter dan penyuluhan tentang suami siaga. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pusat Statistik. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. 2. BKKBN. Angka Kematian Ibu Melahirkan. 2013. 20 October 2015 <http://www.m enegpp.go.id/v2/ indeks.phhp/datadaninformasi/ kesehatan>. 24 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 3. Kemenkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 4. Joewono, Benny. Data Penelitian AKI dan AKB di Indonesia. 2012. 29 Oktober 2015 <http:// www.kompas.com> 5. Depk es RI. 2008. Millenium Development Goals 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 6. Saifuddin. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 7. Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pedoman Pelayanan Antenatal. Jakarta: Kementerian Kesehatan Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat 8. C a t h e r i n e A. Niven. 2005. Psychological Care for Families: Before, During and After Birth. British: British Library Cataloguing in Publication Data 9. Depkes RI. 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 10. Depdiknas. 2005. Educational Indicators in Indonesia, 2004/2005. Jakarta: Ministry of National 11. Wiknjosastro, H, dkk. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 12. Depkes RI. 2012. Pedoman Pelayanan Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar Puskesmas. Jakarta: Pusdiknakes 13. Lia Mulyanti. “Hubungan Dukungan Suami pada Ibu Hamil dengan Kunjungan ANC di Rumah Bersalin Bhakti IBI Jl. Sendangguwo Baru V No 44c Kota Semarang”. 2010. 15 Ok tober 2015<http:// www.jurnal.unimus.ac.id> 14. Rismawati, dkk. Hubungan Dukungan Suami dengan Motivasi Ibu Hamil terhadap Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) di RSKDIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2012. Makasar: STIKES Nani Hasanuddin Makassar. 15. Harum awati, Deviana. 2012. Penelitian: Gambaran Dukungan Suami dalam Antenatal Care Ibu Hamil. Ponorogo. 16. Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Rineka Cipta 17. Upadhyay P. 2014. Influence of Family Members on Utilization of Maternal Health Care Services Among Teen and Adult Pregnant Women in Kathmandu, Nepal: A Cross Sectional Study. Thailand: Faculty of Medicine, Prince of Songkla University, Hat Yai, Songkhla 18. Gorrie, T.M., Mc Kinney, E.S., & Murray, S.S. 2005. Foundation of Maternal Newborn Nursing 2 nd. California: WB Saunders Co 19. Sarwono. 2000. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada 20. Britta C., Mullany, et.al.. 2009. 29 Oktober 2015 <http:// www.jnma.com.np/jnma/index.php/ jnma/article/viewFile/191/673> 21. Aparajita Chattopadhyay. Men In Maternal Care: Evidence From India. Journal Of Biosocial Science. 2012. 29 Oktober 2015 <http:// journals.cambridge.org/action/ d i s p l a y A b s t r a c t ? fromPage=online&aid=8478377&fileId =S0021932011000502> 22. Kusmiati, dkk. 2008. Panduan Lengkap Perawatan Kehamilan. Yogyakarta: Fitramaya 23. Muhariadi Nugroho. 2005. Peranan Suami dalam Perawatan Kehamilan dan Persalinan Istri. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 24. Soemantri KN. 2004. Kajian Kematian Ibu dan Anak di Indonesia. Jakarta: Depkes RI 25. Nurani, Meytha Winarso, Inang. 2013. Gerakan Partisipatif Ibu Hamil, Menyusui dan Bayi. Jakarta: EGC 26. Syafrudin Hamidah, 2009. Kebidanan 25 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Penyegar PERCEPATAN AFIRMASI POSITIF DALAM GELOMBANG ALFA DENGAN MUSIK RELAKSASI GUNA MENSTIMULASI HORMON OKSITOSIN DALAM PROSES PENGELUARAN ASI Fanisa Mutiara Apriliani1, Tesha Rosyida N.A1 1 Program Studi D III, Akademi Kebidanan, Yogyakarta Menyusui adalah proses pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi, dimana bayi memiliki refleks menghisap untuk mendapatkan dan menelan ASI.[1] Akan tetapi, proses menyusui bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak keluhan yang dirasakan ibu menyusui, salah satunya adalah ibu merasa cemas dan khawatir bahwa ASI nya tidak bisa keluar dan tidak mencukupi kebutuhan bayi sehingga menimbulkan stres pada ibu terutama pada ibu pasca salin yang akan melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Kelelahan, perasaan stres, takut, dan cemas setelah melahirkan yang dirasakan oleh seorang ibu dapat menyebabkan hormon oksitosin yang berfungsi dalam proses kelancaran aliran ASI terhambat produksinya.[2] Hormon oksitosin berperan pada refleks pengeluaran ASI (let down refleks) yang akan mengerutkan sel-sel otot disekitar kelenjar payudara sehingga ASI terperas keluar. Walaupun produksi ASI cukup banyak, apabila refleks ini tidak bekerja maka bayi tidak akan mendapatkan ASI yang memadai. [3] Sehingga, perlu dilakukan manjemen stres pada ibu agar ibu berada pada kondisi yang nyaman dan percaya diri akan ASI yang akan dikeluarkan. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu ibu dalam merangsang pengeluaran ASI secara alamiah. Salah satu caranya yaitu dengan afirmasi postif yang dilakukan ketika ibu dalam kondisi rileks dan berada pada gelombang otak Alfa. Kondisi rileks ini dapat diperoleh melalui musik relaksasi. Terapi musik ini merupakan salah satu teknik distraksi yang efektif dan dipercaya dapat menurunkan nyeri fisiologis, stres dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri.[4] Musik memiliki beberapa kelebihan, yaitu karena musik bersifat nyaman, m e n e n a ngk a n, m em b u a t r i l ek s , berstruktur, dan universal. Perlu diingat bahwa banyak dari proses dalam hidup kita selalu berirama. Sebagai contoh, nafas kita, detak jantung, dan pulsasi semuanya berulang dan berirama. Relaksasi yang dalam dan teratur membuat sistem endokrin, aliran darah, persyarafan dan sistem lain di dalam tubuh anda akan berfungsi lebih baik.[5] Menjaga sikap positif sangatlah penting seperti merasa tenang dan rileks selama menyusui, karena ketika ibu merasa rileks, maka akan merangsang hormon di dalam tubuh, yaitu hormon endorfin atau hormon kebahagiaan. Salah satu fungsi dari hormon endorfin adalah bisa membantu tubuh untuk mengeluarkan hormon prolaktin. Hormon prolaktin adalah hormon utama dalam proses produksi ASI. Selain hormon prolaktin, terdapat hormon oksitosin yang dihasilkan oleh hipofisis posterior dimana hormon ini berfungsi untuk pengeluaran ASI atau pada saat LDR (let down reflex). Refleks pengeluaran ASI lebih rumit dibandingkan refleks pembentukan ASI. Pikiran maupun perasaan ibu akan sangat memengaruhi refleks ini. Dengan melihat bayinya, memikirkan bayi dengan perasaan penuh kasih sayang, mendengar tangisan bayi, mencium bayi dan perasaan ibu yang tenang serta bahagia. Semua ini dapat meningkatkan refleks pengeluaran ASI. Sebaliknya, stres merupakan hal yang dapat menghambat refleks oksitosin. Perasaan negatif, kesakitan, khawatir, ragu-ragu, kecewa dan stres dalam keadaan darurat akan menghambat refleks oksitosin dan juga mengakibatkan pancaran ASI-nya 26 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 berhenti. Opiate dan endorfin B yang dilepaskan saat seseorang dalam tekanan (stres) akan menghambat pelepasan oksitosin.[3] Fungsi lain dari hormon endorfin bisa memicu aktivasi gelombang alfa yang ada dalam otak. Gelombang alfa adalah jenis gelombang otak yang ada ketika dalam kondisi rileks dan nyaman.[7] Kondisi ini adalah kondisi yang tepat untuk memberikan afirmasi positif kepada ibu. Karena gelombang alfa adalah penghubung antara pikiran sadar dan bawah sadar manusia. Pikiran bawah sadar yaitu pikiran yang tidak selalu bersifat tidak sadar. Sebaliknya, pikiran bawah sadar sebenarnya sangat sadar dan responsif terhadap setiap kejadian. Pikiran bawah sadar dikatakan tidak sadar dalam pengertian bahwa pikiran sadar tidak sadar akan keberadaan, kegiatan atau operasi, upaya komunikasi dan pengaruh pikiran bawah sadar terhadap pikiran, persepsi, dan perilaku. Pikiran bawah sadar diberi nama demikian karena (pikiran sadar) kita tidak sadar akan keberadaan pikiran ini. Saat dua orang berinteraksi, pikiran bawah sadar mereka saling sibuk mengamati kegiatan bawah sadar lawan bicaranya, tanpa pikiran sadar mereka tahu apa yang sedang terjadi.[8] Komunikasi bawah sadar mempunyai efek pengaruh yang sama kuat, bahkan bisa lebih kuat daripada pengaruh komunikasi dengan pikiran sadar. Sehingga sangat efektif apabila pada kondisi ini dilakukan afirmasi positif guna menyakinkan ibu tentang kecukupan ASI nya sehingga ibu tidak lagi cemas. Afirmasi ini akan lebih efektif apabila dengan bantuan suami dan dukungan dari orang-orang terdekat si ibu. Suami dapat mensugestikan kata-kata positif untuk meyakinkan ibu, contohnya yaitu, “Ibu, Ayah percaya bahwa ASI ibu akan cukup untuk kebutuhan nutrisi anak kita. Ayah akan selalu mendampingi ibu disini”. Selain itu, sang ayah juga dapat memberikan sentuhan guna merangsang hormon endorfin pada ibu, sehingga ibu lebih merasa nyaman, rileks dan percaya diri. Musik relaksasi dapat membantu proses pengeluaran hormon endorfin yang akan memberikan rasa nyaman dan rileks pada ibu. Dalam keadaan ini gelombang alfa akan bekerja karena ibu berada dalam zona sangat nyaman sehingga akan mulai berpindah dari alam sadar ke alam bawah sadar.Saat ini ibu maupun suami dapat mengucapkan afirmasi positif untuk membangun kepercayaan diri ibu dan mengurangi rasa stresnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Rosalia, R. 2012. Pengaruh senam yoga terhadap peningkatan produksi asi pada ibu yang menyusui di wilayah kerja puskesmas nanggalo padang tahun 2012. Padang: Universitas Andalas. 2. Budiarti, V & Nurhidayati, A. 2012. Pemanfaatan zat laktagogum pada daun tapak liman (elephantopus scaber l.) Sebagai alternati memperlancar hormon oksitosin dalam pengeluaran asi eksklusif. Bimabi vol 1 no.3. 3. “Ibu Stress, Asi Terhenti”. 2012. 25 Oktober 2015. < Http://anakku.net>. 4. Potter, p.a., & Perry, a.g. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (pp.1507, 1529-1532). Jakarta: EGC. 5. Universitas Diponegoro. 2014. 26 Oktober 2015. <Http:// eprints.undip.ac.id/43162/1/14._bab_1 .pdf>. 6. Lawrenc e ra, lawrence rm . Breasfeeding. A guide for the medical profession. Edisi ke-6. Philadelphia; mosby,2011 7. “ Mengakses Alpha Theta dalam Satu Menit”. Quantum Mind Technology Center. 2012. 25 Oktober 2015. <http://www.naqsdna.com/2012/05/ mengakses-alpha-theta-dalam -1menit.html>. 8. “ Gelombang Alpha dapat Meningkatkan Kreatifitas”. Quantum Mind Technology Center. 2012. 25 Oktober 2 0 1 5 . < h t t p : / / www.naqsdna.com/2012/05/ gelombang-alpha-dapatmeningkatkan-kreativitas.html>. 27 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Penyegar SMS BUNDA : SELAMATKAN GENERASI BANGSA SEJAK AWAL KEHIDUPAN Yuni Irawati1, Lulu Latifah1 1 Program Diploma DIV Kebidanan, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Sumedang Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional, dimana setiap penduduk dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan pembangunan nasional yang akan terwujud ketika penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia dapat berjalan secara optimal. Salah satu yang menjadi indikator penting sebuah negara dinyatakan negara maju adalah dengan mengukur derajat kesehatan suatu negara yakni, menurunnya angka kematian ibu dan anak. RPJMN 2014-2019, menjadikan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi menjadi salah satu indikator sasaran pembangunan kesehatan dimana angka yang ditargetkan untuk AKI pada tahun 2019 mencapai angka 306/100.000 kelahiran hidup. Dan AKB ditargetkan mencapai angka 24/1.000 kelahiran hidup. Setelah RPJMN, masih ada target yang harus dicapai oleh Indonesia yakni SDG’S yang merupakan kelanjutan dari program MDG’s yang akan selesai pada akhir tahun 2015.[1] Antenatal care atau pemeriksaan kehamilan memegang peranan yang sangat penting untuk dapat mendeteksi sedini mungkin masalah-masalah yang dialami oleh ibu hamil, sehingga kematian atau penyakit yang tidak perlu terjadi pada ibu dan bayi dapat dihindari. Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa kehamilan merupakan suatu hal biasa sehingga merasa tidak perlu untuk memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Selain anggapan yang salah, faktor ibu yang bekerja di luar rumah, letak Negara Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dan geografis yang sangat bervariasi menjadi suatu kendala di Indonesia. Untuk menciptakan Negara yang maju, kendala-kendala di atas haruslah dapat segera dipecahkan dan dicarikan solusinya[2]. Dimana saat ini sudah ada satu program untuk bisa memecahkan kondisi tersebut dan program tersebut disebut sms bunda. Perawatan prenatal adalah perawatan yang diberikan kepada ibu hamil untuk mencegah komplikasi dan menurunkan kejadian morbiditas atau kematian perinatal dan maternal.[3] Periode antepartum meliputi saat kehamilan dari hari pertama periode menstruasi normal terakhir ke awal persalinan yang sebenarnya, yang menandai awal periode intrapartum. Sejumlah penelitian telah melihat ke dalam hambatan yang dihadapi perempuan ketika mereka membutuhkan perawatan kesehatan. Secara umum, tiga tingkat hambatan dapat diidentifikasi: 1. Tingkat Pertama terjadi ketika seorang wanita atau keluarganya juga tidak mengakui ada kebutuhan untuk perawatan kesehatan atau gagal untuk mencari perawatan kesehatan ketika kebutuhan diakui. Contoh hambatan tersebut meliputi : a. Kurangnya pengetahuan atau pemahaman tentang kehamilan normal, dan tanda-tanda dan gejala komplikasi kehamilan, dan b. Membuat keputusan untuk tidak mencari perawatan karena kurangnya kenyamanan dengan sistem perawatan kesehatan dianggap sebagai budaya asing. 28 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 2. Tingkat kedua dari penghalang terjadi ketika seorang wanita memiliki kesulitan mencapai kesehatan setelah dia dan k eluarganya telah m em utuskan untuk mencari perawatan. Contoh situasi seperti adalah : a. masalah keterjangkauan, b. masalah dengan transportasi, dan c. ketersediaan janji di fasilitas lokal.[4] Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa kehamilan merupakan suatu hal biasa, alamiah yang tidak memerlukan perhatian ekstra. Anggapan inilah yang membuat banyak ibu-ibu yang merasa tidak perlu untuk memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Selain anggapan yang salah, faktor ibu yang bekerja di luar rumah, letak Negara Indonesia yang merupakan Negara kepulauan dan geografis yang sangat bervariasi menjadi suatu kendala di Indonesia. Untuk menciptakan Negara yang maju, kendala-kendala di atas haruslah dapat segera dipecahkan dan dicarikan solusinya. Ketika masalah di atas dapat di temukan solusinya maka, selain dapat mencegah terjadinya kematian ibu dan bayi, Indonesia pun dapat memperoleh generasi-generasi cemerlang di masa depan. Karena, seribu hari pertama kehidupan di dalam kandungan itulah masa-masa pertumbuhan otak pada janin yang akan menentukan kehidupannya setelah lahir nanti. Generasi emas ini haruslah didukung dengan ibu yang patuh untuk memeriksakan kehamilannya minimal 4 kali, gizi makro dan mikro yang terpenuhi, serta mengenali tanda bahaya yang mungkin terjadi di setiap trimester kehamilan. Kendati keempat kendala yang sudah disebutkan di atas, maka timbulah inovasi-inovasi dan gagasan yang berasal dari berbagai tenaga kesehatan khususnya bidan untuk membuat suatu layanan yang mudah diakses, tidak mengeluarkan banyak biaya, menarik bagi ibu hamil. Dan diharapkan dengan adanya program ini selain dapat membuat ibu hamil lebih sehat, menarik ibu untuk pergi memeriksakan kehamilan di tenaga kesehatan dan mendeteksi secara dini masalah-masalah apa saja yang ibu alami saat masa kehamilan. Dan program tersebut disebut SMS Bunda. SMS Bunda yang digunakan untuk Menyelamatkan Ibu dan Bayi di Indonesia hasil kolaborasi JHPIEGO dengan GE Foundation. Wanita hamil dan ibu setelah melahirkan sekarang memiliki cara baru untuk belajar bagaimana memastikan mereka dan bayi mereka tetap sehat melalui ponsel mereka. JHPIEGO, dengan dukungan dari GE Foundation, telah mengembangkan SMS Bunda - layanan pesan teks untuk wanita hamil dan ibu setelah melahirkan. SMS Bunda menyediakan informasi yang menyelamatkan hidup wanita selama kehamilan dan pada hari-hari awal setelah melahirkan, seperti membantu wanita mengidentifikasi tanda-tanda bahwa mereka atau bayi mereka mungkin perlu mengunjungi fasilitas kesehatan. "SMS Bunda membantu bidan untuk mendorong ibu untuk mengunjungi fasilitas kesehatan. Tujuan kami adalah untuk melihat semua wanita hamil melahirkan bayi mereka di fasilitas tersebut. "Koordinator bidan Safida Irianti mengatakan selama acara promosi di kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara, awal bulan ini. Sekitar 200 wanita hamil dari daerah, bersama-sama dengan petugas kesehatan dan pejabat pemerintah, hadir dalam acara tersebut. Menurut WHO dan UNICEF, tingkat kematian ibu dan bayi di Indonesia sangat tinggi. Bahkan, Indonesia memiliki tingkat tertinggi kematian ibu di kawasan AsiaPasifik. Diperkirakan 9.600 perempuan meninggal setiap tahun akibat komplikasi selama kehamilan dan persalinan, angka kematian di kalangan bayi yang baru lahir tidak menurun sejak tahun 2002. Mayoritas kedua kematian ibu dan bayi baru lahir dapat dicegah. Namun, banyak wanita dan keluarga mereka tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang diharapkan selama kehamilan dan periode postnatal, termasuk praktikpraktik kesehatan dan tanda-tanda bahaya bagi ibu dan bayi. Dalam sebuah acara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat di Karawang, Jawa Barat, awal tahun ini, JHPIEGO Presiden dan CEO Dr Leslie Mancuso menjelaskan manfaat dari layanan SMS Bunda. "SMS Bunda tepatnya adalah tipe inovasi yang dapat membuat perbedaan di negara seperti Indonesia. Dengan menyediakan 29 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 penting langsung melalui ponsel mereka, kami memiliki kesempatan nyata untuk menyelamatkan nyawa." SMS Bunda memberikan solusi murah dan inovatif yang menjangkau ibu hamil dan ibu setelah melahirkan dimana pun mereka berada. Setelah mengirimkan pesan pendaftaran sederhana, perempuan menerima pesan yang ditargetkan gratis tentang perawatan antenatal dan postnatal disesuaikan dengan panggung mereka dari kehamilan dari trimester pertama sampai 42 hari setelah melahirkan. SMS tersebut akan dikirimkan seminggu 3 kali. Konten yang telah dikembangkan oleh dokter sesuai dengan pedoman Departemen Kesehatan serta Mobile Alliance for Maternal Action (MAMA). JHPIEGO bekerja bekerjasama dengan Health Promotion Center Kementerian Kesehatan (Pusat Promosi Kesehatan), serta dinas kesehatan kabupaten, untuk melaksanakan layanan di kabupaten percontohan yaitu, Karawang dan Cirebon di Jawa Barat dan Pakpak Bharat di Sumatera Utara. SMS Bunda diharapkan dapat bermanfaat bagi ibu hamil dan ibu setelah melahirkan di daerah lain dengan membantu untuk memerangi tingginya angka kematian ibu dan bayi. Saat ini, SMS Bunda telah mencapai sekitar 2.000 perempuan di tiga kabupaten percontohan, sementara lebih dari 30.000 pesan teks telah dikirimkan ke wanita yang terdaftar sejak layanan ini diperkenalkan pada bulan April tahun ini (2011).[5,6] Periode antepartum meliputi saat kehamilan dari hari pertama periode menstruasi normal terakhir ke awal persalinan yang sebenarnya. Kehadiran untuk perawatan prenatal jauh di bawah tingkat yang diinginkan di sebagian besar negara-negara berkembang, dikarenakan masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa kehamilan merupakan suatu hal biasa, alamiah yang tidak memerlukan perhatian ekstra, sehingga merasa tidak perlu untuk memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan. Selain anggapan yang salah, faktor ibu yang bekerja di luar rumah, letak Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan geografis yang sangat bervariasi menjadi suatu kendala di Indonesia. Saat ini sudah ada satu program untuk bisa memecahkan kondisi tersebut dan program tersebut disebut SMS Bunda. SMS Bunda diharapkan dapat menyelamatkan hidup wanita selama kehamilan dan pada hari-hari awal setelah melahirkan, serta dapat mengurangi angka kematian kematian ibu dan bayi. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 29 Oktober 2015 < www.bpkp.go.id/RPJMN>. 2. Kementrian PPN/ dan Bappenas. 2015. 29 Oktober 2015 <www.sekretariatmdgs.or.id>. 3. Berghella, Vincenzo. 2007. Obstetric evidence based guidelines. USA : Informa Healthcare. 4. Oxford university press. 29 Oktober 2015 <http://www.oxfordjournals.org/ >. 5. “SMS Bunda”.Emas Saving lives of Mothers and Newborns. 2014. 29 Oktober 2015<http://emasindonesia.org/ >. 6. Apec Digital Opportunity Center. 29 Oktober 2015 <http:// www.apecdoc.org/> . 30 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Laporan Kasus ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU BERSALIN DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT, KETUBAN PECAH PRETERM, ANEMIA, DAN HAEMORRHAGE POST PARTUM ET CAUSA ATONIA UTERI Farida Fitriana1, Ivon Diah Wittiarika1 , Lilik Hidayati2 1 2 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga Surabaya Instalasi Rawat Darurat Lt. 2 Obstetri Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya ABSTRAK Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, khususnya di Jawa Timur mengalami peningkatan dari 71,07 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) (tahun 2010) menjadi 103,90 per 100.000 KH (tahun 2011). Pada tahun 2011, penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan 32%, dan Pre-Eklampsia 25%. Kasus ini merupakan kejadian preEklampsia berat dan Haemorrhage Post Partum (HPP) yang terjadi di Ruang VK IRD RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 06-02-2014. Diagnosa pasien saat MRS GIIIP1011 38-39 minggu, inpartu kala I fase laten dengan PEB + KPP + Anemia. Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan tahapan empat kala persalinan. Pada kala I, dilakukan observasi kondisi ibu dan janin, pemberian MgSO4, antibiotik, dan pemeriksaan lab darah dan urin. Pada kala II, dilakukan pertolongan persalinan dengan vakum ekstraksi. Pada kala III, dilakukan manajemen aktif kala tiga. Pada kala IV, dilakukan eksplorasi dan repair jalan lahir. Dalam dua jam post partum, terjadi perdarahan lebih dari 500cc, kontraksi uterus lembek, dan terdapat tanda syok hipovolemik. Tatalaksana yang diberikan berfokus pada tindakan penanganan HPP, meliputi resusitasi, identifikasi penyebab HPP, dan tes laboratorium. Hasil pemeriksaan didapatkan kontraksi uterus lembek, plasenta lahir lengkap, dan robekan jalan lahir sudah di repair, sehingga diketahui penyebab HPP adalah atonia uteri. Setelah itu, dilanjutkan dengan terapi penyebab berupa masase fundus uteri, pemberian obat uterotonika, dan dilakukan kontrol lokal dengan tampon kondom kateter. Sebab tampon kondom kateter gagal, maka dilakukan tindakan operatif. Dalam kasus ini, bidan dapat melakukan tugas pokok dan fungsi secara mandiri, kolaborasi, maupun rujukan untuk menyelamatkan kondisi pasien. Kata kunci: Pre-eklampsia, Haemorrhage Post Partum (HPP). ABSTRACT The Maternal Mortality Rate (MMR) in Indonesia, especially in East Java increased from 71.07 per 100,000 live births (in 2010) to 103.90 per 100,000 live births (2011). In 2011, the highest cause of maternal mortality is bleeding 32%, and Pre-Eclampsia 25% . This case report is the incidence of severe pre-eclampsia and Haemorrhage Post Partum (HPP) that occurs at emergency unit Dr. Soetomo Hospital on 06-02-2014. Patient's diagnose is GIIIP1011 38-39 weeks, latent phase with PEB + KPP + Anemia. Delivery management was done based on the four stage of delivery, including observation of maternal and fetal condition, giving MgSO4, antibiotics, and blood and urine laboratory tests in the first stage. In the second stage, made aid delivery by vacuum extraction. In the third stage, carried out active management of the third stage. In the fourth stage, did exploration and repair the birth canal. In two hours post partum, there are hemorrhage more than 500 cc, uterine contraction was weak, and there are signs of hypovolemic shock, so the diagnose of HPP was decided. Procedures of treatment are given 31 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 focusing on HPP treatment, including resuscitation, identifying the cause of HPP, and laboratory tests. Examination result was obtained flaccid uterine contractions, the placenta was complete, and already laceration repair in the birth canal, so the cause of HPP was atonic uterus. After that, proceed with the massage therapy on fundus of uterus, giving uterotonic drug, and local control was done with tampon condom catheter. Because the tampon condom catheter failed, then did the operative therapy. In this case, the midwife can perform basic tasks and functions independently, collaboration, and referral to save the patient's condition. Keywords: Pre-eclampsia, Haemorrhage Post Partum (HPP). 1. LATAR BELAKANG Salah satu indikator pencapaian derajat kesehatan suatu negara adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Di Indonesia, AKI menurun dari 307 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 KH pada tahun 2007. Target yang akan dicapai sesuai kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015, AKI turun menjadi 102 per 100.000 KH[1], meskipun demikian angka tersebut masih tertinggi di Asia[2]. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur menyebutkan bahwa AKI tahun 2011 mencapai 104,3 per 100.000 KH[3]. Data Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2013 menyebutkan bahwa AKI pada tahun 2009 mencapai 81,60 per 100.000 KH, tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 71,07 per 100.000 KH, namun pada tahun 2011 mengalami peningkatan tajam menjadi 103,90 per 100.000 KH[4,5]. Dengan demikian, upaya penurunan AKI di Indonesia, khususnya di Jawa Timur membutuhkan usaha keras yang terus menerus dari semua pihak. Menurut laporan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Provinsi tahun 2011, jumlah kematian ibu yang dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih didominasi oleh perdarahan 32%, hipertensi dalam kehamilan 25%, infeksi 5%, partus lama 5%, dan abortus 1%[6]. Menurut WHO[7], komplikasi utama yang menyebabkan 80% kematian maternal meliputi perdarahan pasca persalinan, infeksi (biasanya setelah melahirkan), tekanan darah tinggi selama kehamilan (pre-eklampsia dan eklampsia), dan aborsi yang tidak aman. Pre-Eklampsia Berat (PEB) adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya hipertensi ≥160/110 mmHg disertai protein urine dan atau edema pada wajah dan telapak tangan saat kehamilan 20 minggu atau lebih[8]. Gejala Klinis PEB meliputi: tekanan darah sistolik ≥160 mmHg, diastolik ≥110 mmHg, protein urin ≥5gr/24 jam atau kualitatif (+4), oliguri jumlah produksi urine ≤500cc/24 jam atau disertai kenaikan kadar kreatinin darah, adanya gejala impending eklampsia: gangguan visus, gangguan serebral, nyeri epigastrium, hiperrefleksia, dan adanya Sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, Low Platelets) [8]. Pada PEB terjadi peningkatan curah jantung dan resistensi perifer, hal ini akan berakibat fatal jika ibu melakukan aktivitas yang meningkatkan payah jantung, termasuk mengejan[9]. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan aktif PEB, dilakukan percepatan kala II, salah satunya dapat dilakukan dengan bantuan ekstraksi vakum [9]. Ketuban Pecah Pretem (KPP) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, atau pecahnya ketuban sebelum pembukaan 3 cm pada primigravida, dan sebelum pembukaan 5 cm pada multigravida[10]. Anemia adalah defisiensi sel darah merah atau kekurangan hemoglobin. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dalam batas normal tetapi jumlah hemoglobinnya subnormal. Karena kemampuan darah untuk membawa oksigen berkurang, maka individu akan terlihat pucat atau kurang tenaga[11]. Berdasarkan gambaran klinis, anemia dapat dibagi menjadi tiga, yakni anemia ringan (Hb : 8 – 10gr%), anemia sedang (Hb: 6 – 8 gr%), anemia berat (Hb: kurang dari 6 gr%)[11]. Perdarahan pasca persalinan atau Haemorrhage Post Partum (HPP) ialah perdarahan lebih dari 500 ml yang terjadi setelah lahirnya bayi[9,12]. 32 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Klasifikasi HPP meliputi Perdarahan post partum primer yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama, dan perdarahan post partum sekunder yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama sampai 6 minggu setelah bayi lahir[9]. Terdapat empat faktor penyebab utama HPP, yaitu kegagalan kontraksi dan retraksi serabut otot miometrium atau atonia uteri (Tone), adanya jaringan yang tertinggal atau retensi plasenta sehingga mengganggu kontraksi uterus (Tissue), kerusakan pada saluran genitalia dapat terjadi secara spontan atau melalui manipulasi yang digunakan untuk melahirkan bayi (Trauma), dan gangguan pembekuan darah (Thrombosis) [9,12]. 2. KASUS Kasus ini terjadi di Ruang VK Instalasi Rawat Darurat RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tanggal 06-022014 pukul 16.45 WIB. Pasien berusia 33 tahun rujukan dari RS. Bunda Surabaya dengan GIIIP1011 + ATH + PEB + KPP + Anemis, sebelumnya pasien merupakan rujukan dari BPM “M” (dirujuk ke RS “B” tgl 06-02-2014 jam 12.00 WIB dengan diagnosa GIIP1001 UK 38-39 minggu/T/H/ Inpartu kala I fase laten dengan KPP). Pasien mengeluh kenceng-kenceng yang semakin lama dan semakin sering sejak jam 19.00 WIB (tgl 05-02-2014), ketuban pecah byor di rumah jam 23.00 WIB (tgl 05-02-2014), dan air ketuban terus merembes keluar hingga sekarang. Diketahui bahwa Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) tanggal 13-05-2013, dan Taksiran Persalinan (TP): 20-02-2014. Berdasarkan riwayat obstetri didapatkan bahwa anak pertama berusia tujuh tahun, melahirkan normal, dan selama kehamilan hingga persalinan tidak ada penyulit, tahun 2010 ibu mengalami abortus komplit Usia Kehamilan (UK) 3 bulan. Riwayat kehamilan sekarang didapatkan bahwa kehamilan ini merupakan kehamilan ke-3. Ante Natal Care (ANC) rutin di Bidan “M” ±6 kali dikatakan normal, pasien juga periksa di Poli Hamil RS. Bunda ±2 kali, dan saat kontrol tanggal 02-02-2014 Tekanan Darah (TD) 160/90 mmHg, belum mendapat intervensi apapun. Gerak janin pertama kali usia 5 bulan, dan gerak janin masih aktif sampai sekarang. Imunisasi TT (Tetanus Toksoid) lengkap, dan tidak ada obat - obatan khusus yang dikonsumsi selama kehamilan. Pasien maupun keluarga tidak pernah atau sedang menderita penyakit jantung, hipertensi, asma, diabetes mellitus, ginjal, hepatitis, dan TBC. Hasil pem eriksaan umum menunjukkan kesadaran pasien Compos Mentis, Tanda-Tanda Vital meliputi TD: 160/90 mmHg; Suhu: 36,80C; Nadi: 86 kali per menit; RR: 18 kali per menit. Pemeriksaan fisik didapatkan data sebagai berikut: a. Muka: Terdapat oedema dan pucat pada wajah, konjungtiva anemis, sklera putih, bibir agak pucat. b. Abdomen: Tidak ada luka bekas SC. Leopold I : TFU pertengahan pusat (31 cm), bagian fundus teraba lunak, kurang bundar, dan tidak melenting Leopold II : Teraba tahanan besar di sebelah kanan dan bagian kecil di sebelah kiri. Leopold III : Teraba keras, bulat dan sulit digoyangkan Leopold IV : Divergen Palpasi WHO: 4/5; His: 3x45”, DJJ: 156 kali per menit, teratur c. Ekstremitas Atas/ Bawah Terdapat oedema pada kaki, tidak terdapat varises pada kaki. Tidak terdapat oedema pada tangan. Pada tangan kiri terpasang infus RD5% sisa ±450 ml menetes c. Genetalia: Tidak ada oedema, kondiloma lata/akuminata, terdapat keluaran lendir darah. Terpasang dower kateter dengan jumlah urin ±100cc sejak dipasang (pukul 13.30 WIB). d. VT (jam 16.50 WIB, oleh PPDS Obgyn): Ø 3 cm, eff 50%, ket (-), presentasi kepala, denominator SS mell, H1, UPD ∞ normal, PS: 5. e. Anus: Tidak terdapat hemorrhoid Pemeriksaan penunjang dilakukan pukul 16.55 WIB, didapatkan hasil protein rebus +3. Bidan melakukan kolaborasi dengan dr.Obgyn pukul 17.00 WIB, didapatkan advis: a. O2 masker 6-8 lpm b. NST, USG, cek HDT, SI/ TIBC c. Observasi T rektal/ 3 jam d. Cek DL, UL, FH 33 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 e. Injeksi MgSO4 20% 4 gram IV adalah Nifedipin 10 mg per oral dan dilanjutkan MgSO4 40% 5 gram SP Amoxcillin 500 mg per oral jam 10.00 WIB dengan kecepatan 1 gram/ jam (2,5 cc/ (di BPM). jam) Berdasarkan data subjektif dan f. Balance cairan: CM= CK + 500 cc objektif diatas, ditegakkan diagnosa g. Minum maximal 1000 cc/ 24 jam berupa G IIIP1011 38-39 minggu, inpartu h. Nifedipin 3x10 mg bila TD ≥ 160/110 kala I fase laten dengan PEB + KPP + mmHg Anemia. i. Injeksi Cefotaxim 3x1 gram IV Janin tunggal, Hidup, Intrauterin, j. Observasi CHPB presentasi kepala. Penatalaksanaan k. Pro OD mulai 8 tpm l. Bila inpartu pro percepat kala II dilakukan dengan berkolaborasi antara Dokter Spesialis Obstetri Ginekologi dan dengan VE Bidan. Penatalaksanaan dilakukan m. Waspada HPP n. Observasi keluhan/ VS/ DJJ/ His/ berdasarkan empat kala tahapan persalinan. tanda-tanda impending eklampsia Dari data rekam medik didapatkan bahwa terapi yang sudah didapat pasien Kala I Tabel 1. Penatalaksanaan dan Evaluasi Kala 1 Tanggal / jam 06-022014 17.00 WIB 17.05 WIB 17.10 WIB 17.15 WIB 17.25 WIB 17.30 WIB 17.40 WIB 18.00 WIB 18.10 WIB 18.20 WIB 18.40 WIB Penatalaksanaan dan Evaluasi Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan pada ibu; ibu faham. Memfasilitasi information to consent dan informed consent pada ibu dan keluarga untuk pertolongan persalinan dengan vakum; lembar Informed consent ditanda tangani suami. Memfasilitasi dokter untuk pemeriksaan USG dan NST; Hasil: NST: 130/ 6-8/ Reaktif, USG: hasil tidak terdokumentasikan dalam RM Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan lab lengkap + FH, dan sampel urin untuk pemeriksaan UL; Sampel darah dan urin telah diambil dan diberikan ke keluarga untuk dibawa ke laboratorium. Memasang masker O2; masker O2 terpasang dengan keceepatan 7lpm. Mengobservasi CHPB; hasil terdokumentasikan di lembar observasi kala I. Menginjeksi MgSO4 20% 4 gram (20 cc) IV selama 15 menit; MgSO4 20% 4 gram telah diinjeksikan dan terdapat reaksi panas pada tubuh ibu. Membantu meminumkan Nifedipin 10 mg per oral.; obat telah diminum dan tidak ada reaksi alergi Menginjeksi MgSO4 40% 5 gram (25 cc) melalui Syringe Pump dengan kecepatan 2,5 cc/jam; MgSO4 40% 5 gram telah terpasang pada syringe pump dan di cabangkan dengan infus ibu melalui three way Menyiapkan ruangan, partus set, vakum set, dan obat-obatan yang dibutuhkan dalam persalinan. Menerima hasil pemeriksaan laboratorium darah; 34 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 Hasil Lab Tanggal 06-02-2014 KIMIA KLINIK Hasil Remar ks 20,2 Satua n mg/dl BUN Nilai Rujukan Albumin 2,41 g/dl Rendah 3,40-5,00 Glukosa darah 182 mg/dl Tinggi 40-121 Kreatinin Serum 1,98 mg/dl SGOT 47 U/L Tinggi <38 SGPT 78 U/L Tinggi <41 WBC 6,8 4,50-10,50 LY 22,8 x103/ Ul % MO 8,7 % 1,70-9,30 GR 28,0 % 10-20 0,50-1,20 HEMATOLOGI 20,50-51,10 1,40-6,50 3 LY# 2,8 MO# 0,8 GR# 6,8 RBC 1,69 HGB 4,2 x10 / Ul x103/ Ul x103/ Ul x103/ Ul g/dl 1,20-3,40 HCT 30,2 % 35,00-60,00 MCV 84,4 Fl 80,00-90,99 MCH 28,9 pg 27,00-31,00 MCHC 34,2 g/dl 33,00-37,00 RDW 14,0 % 0,10-0,60 42,20-75,20 4,00-6,00 Rendah 11,00-18,00 11,60-13,70 3 PLT 175 MPV 8,0 X10 / Ul Fl 150.00-450.00 APTT 28,2 Detik Control APTT 25,3 Detik PPT 11,6 Detik Natrium 145 mmol/l 136-144 Kalium 4,1 mmol/l 3,8-5,0 7,80-11,00 Control PPT INR_PPT ELEKTROLIT 35 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 19.30 WIB 19.40 WIB Klorida URINE LENGKAP 112 mmol/l GLU Negatif Negatif BIL Negatif Negatif KET Negatif Negatif SG 1,025 1010-1015 BLD 1+ - Ph 6,0 6-8 PRO Negatif Negatif URO 3,2 NIT Negatif Negatif LEU 1+ Negatif Colour Yellow - Clarity Clear - Erytrosit (mikroskopik) Leukosit (mikroskopik) Epitel (mikroskopik) 2-5 /Lp 0-2 2-5 /Lp 0-5 Byk /Lp Sedikit Kristal (mikroskopik) - /Lp Negatif Silinder (mikroskopik) Lain-lain (mikroskopik) Lain-lain - /Lp Negatif Bakteri positif /Lp Negatif HbSAg Negatif umol/ L 97-103 Negatif Negatif Menginjeksi Cefotaxim 1 gram IV dalam Ecosol NaCl 0,9% 100 cc; infus telah diganti dengan Cefotaxim, dialirkan dengan kecepatan 40 ttm. Mengganti Cefotaxim yang telah habis dengan cairan RL (ke-2); RL telah diberikan dengan kecepatan 20 ttm. Kala II Tanggal: 06-02-2014 Jam: 19.50 WIB S : ingin mengejan O: VT (oleh dr. PPDS Obgyn): Ø 10 cm,eff 100%, pres.kep, UUK kidep, Ket (-), H III (+). TD:160/100 mmHg, DJJ: 144 kali per menit, His: 4 x 45” Terlihat Doran, Teknus, Perjol A : GIIIP1011, 38-39 minggu kala II dengan PEB + KPP + Anemia Janin tunggal, Hidup, Intrauterin, presentasi kepala P: Membantu pasien mengatur posisi nyaman mengajarkan teknik mengedan yang benar kolaborasi dengan dr. PPDS Obgyn untuk melakukan pertolongan persalinan, pukul 20.00 WIB bayi lahir spontan Belakang Kepala VE, ♀, AS: 7-8 Kala III Tanggal: 06-02-2014 Jam: 20.01 WIB S: O: KU lemah, terlihat tanda pelepasan plasenta, tidak teraba janin kedua A: P2012 kala III Post VE a.i. PEB dengan KPP + Anemia 36 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 P: Menyuntikkan oksitosin 10 IU Memotong tali pusat Melakukan PTT, plasenta lahir spontan pukul 20.15 WIB, kesan lengkap, kotiledon dan selaput ketuban utuh. Kala IV Tanggal: 06-02-2014 Jam: 20.16 WIB S: merasa lemas O: KU lemah; kesadaran apatis; wajah, konjungtiva dan bibir pucat TD: 100/90 mmHg, N: 100 kali per menit, S: 36,70C, RR: 22 kali per menit TFU 3 jari atas pusat, kontraksi uterus lembek, jumlah perdarahan ±600 cc, kandung kemih kosong. A: P2012 kala IV Post VE a.i. PEB dengan KPP + Anemia + HPP e.c. atonia uteri P: Tabel 2. Penatalaksanaan dan evaluasi kala IV Tanggal/ jam 20.18 WIB 20.20 WIB 20.30 WIB 20.31 WIB 20.31 WIB 20.35 WIB 20.45 WIB 20.50 WIB 20.55 WIB 21.00 WIB Penatalaksanaan dan Evaluasi Melakukan eksplorasi jalan lahir; hasil: kontraksi uterus lembek, SARSBR intak, laserasi portio (+) jam 1, luka episiotomy (+) mediolateral (s) Melakukan heacting laserasi portio dan perineum Kolaborasi dengan dr. PPDS Obgyn; advis: Pasang infus RL double line (cairan RL ke-3) Cek DL ulang cito, siap darah Masase fundus uteri Drip oksitosin 2 ampul dalam 500 cc RL Misoprostol 4 tablet (800 mcg) perrektal Penjahitan laserasi portio + perineoraphy Masase fundus uteri ibu; kontraksi uterus lembek Memasang infus RL 500 cc + 20 IU oksitosin sekaligus mengambil sampel darah untuk cek DL; infus terpasang di tangan kanan, menetes 40 ttm, dan darah telah diambil ±10 cc dan sudah dibawa ke lab. Memasukkan Misoprostol 800 mcg perrektal Mengobservasi kondisi ibu; T: 100/60 mmHg, N: 116 kali per menit, RR: 22 kali per menit Melakukan pemeriksaan Hb Sahli pada ibu; hasil: Hb 3,3 gr% Memasang tampon kondom kateter; pemasangan tampon kondom kateter gagal Menghubungi dr. PPDS Anestesi untuk fasilitasi rencana laparotomi; dr. PPDS Anestesi pro back up Catatan Perkembangan kandung kemih kosong, jumlah Tanggal : 06-02-2014 perdarahan ±1500 cc. pukul: 21.05 WIB TD: 90/60 mmHg; N: 120 kali per menit S : lemas, mengantuk, darah terus keluar cepat, lemah; S: 36,50C; RR: 20 kali dari kemaluan. per menit. Hb: 3,3 gr% O : KU lemah, kesadaran somnolen, A : P2012 Post VE 1 jam a.i. PEB dengan konjungtiva anemis, muka dan bibir KPP + Anemia + HPP e.c. atonia uteri pucat, akral dingin. + tampon kondom kateter gagal + TFU 3 jari atas pusat, kontraksi uterus syok hipovolemik lembek, fluksus aktif vulva/vagina (+), P : Tabel 3. Penatalaksanaan dan evaluasi Tanggal/ jam Penatalaksanaan dan Evaluasi 2 1 . 1 0 WIB Kolaborasi dengan dr. PPDS Obgyn; advis: pro cito laparotomi, bila gagal pro histerektomi, melapor Spv dr. BON Sp.OG dan disetujui. 37 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 2 1 . 1 5 WIB 2 1 . 2 0 WIB 2 3 . 3 0 WIB Komunikasi Informasi Edukasi dan informed consent pada keluarga untuk tindakan laparotomi dan jika gagal akan dilakukan histerktomi, menjelaskan pada keluarga ibu tujuan dan prosedur tindakan; keluarga setuju dan lembar informed consent telah ditandatangani suami. Menyiapkan ibu ke OK lantai 5 dan mengantar ibu ke OK dengan posisi syok; ibu telah diterima oleh dokter di OK lantai 5. Follow up kegiatan operasi: Mulai jam: 21.30 WIB Berhenti jam: 23.30 WIB Jenis Operasi : B. Lynch proc. Modifikasi Surabaya + Tubektomi Pameroy Bilateral Operator : dr. F Jenis Anastesi : General Anastesi Post operasi pasien pindah ke ROI 3. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil anamnesa pada pasien dengan GIIIP1011 38-39 minggu diketahui bahwa ibu didiagnosa PEB pada kehamilan ke-3, hal ini tidak sesuai dengan teori Fraser[13] yang menyatakan bahwa salah satu faktor risiko PEB adalah primigravida yaitu wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7-10%) jika dibandigkan multipara. Selain itu didapatkan bahwa pasien berusia 33 tahun, hal ini tidak sesuai dengan teori Cunningham [14] yang menyatakan bahwa faktor risiko PEB adalah umur yang ekstrim (<20 dan >35 tahun). Pada riwayat obstetri lalu didapatkan bahwa ibu tidak memiliki riwayat HPP sebelumnya, hal ini tidak sesuai dengan teori Saifuddin, dkk[9] yang menyatakan bahwa riwayat HPP pada persalinan sebelumnya merupakan faktor risiko terbesar terjadinya HPP. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD: 160/90 mmHg, terdapat oedema pada muka, dan hasil protein rebus +3, hal ini merupakan gejala klinis Pre-Eklampsia sebagaimana teori Abadi[8]. Pada pemeriksaan konjungtiva didapatkan konjungtiva anemis, bibir agak pucat, dan pada pemeriksaan Hb didapatkan nilai Hb 4,2 g/dl, hal ini sesuai dengan teori Boediwarsono, dkk[11] dan termasuk dalam kategori anemia berat (Hb: kurang dari 6 gr%). Pada palpasi abdomen didapatkan besar uterus sesuai dengan usia kehamilan (TFU 31 cm pada UK 38-39 minggu), oedema yang terdapat pada kaki merupakan hal yang fisiologis dalam kehamilan akibat dari kombinasi efek progesteron yang melemaskan tonus vaskular, terhambatnya aliran balik vena oleh uterus yang membesar, dan gaya gravitasi[15]. Berdasarakan data subjektif dan objektif, ditegakkan diagnosa GIIIP1011 3839 minggu, inpartu kala I fase laten dengan PEB + KPP + Anemia. Janin tunggal, Hidup, Intrauterin, presentasi kepala. Diagnosa PEB dietagakkan berdasarkan teori Abadi, dkk[8], yakni TD: 160/90 mmHg yang menunjukkan peningkatan curah jantung (tekanan darah sistolik) lebih dari normal (>120 mmHg atau kenaikan 30 mmHg dari biasanya)[9], terdapat oedema pada muka merupakan oedema yang patologik akibat hipoalbuminemia atau kerusakan sel endotel kapilar yang meningkatkan tekanan onkotik sehingga meningkatkan jumlah cairan tubuh pada interstisial[9], dan hasil protein rebus +3 yang merupakan tanda kerusakan sel glomerulus ginjal sehingga meningkatkan permeablitias membran basalis, akibatnya terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria[9]. Diagnosa KPP ditegakkan berdasarakan teori Mochtar[10] bahwa berdasarkan hasil anamnesa, ibu merasa ketuban pecah byor dan merasa air ketuban terus merembes keluar hingga dirujuk ke RSDS, pemerksaan lakmus (+) yang mengubah lakmus merah menjadi biru (cairan ketuban bersifat basa), dan pada VT tidak didapatkan selaput ketuban, dan saat dilakukan evaluasi kemajuan persalinan di RSDS, ibu masih dalam fase laten (pembukaan serviks ≤3 cm) sebagaimana teori Mochtar [10], diagnosa KPP ditegakkan bila pecahnya ketuban sebelum pembukaan 3 cm pada primigravida, dan sebelum pembukaan 5 cm pada multigravida. Diagnosa anemia ditegakkan dari pemeriksaan fisik berupa konjungtiva dan muka pucat yang 38 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 diakibatkan dari berkurangnya kemampuan hemoglobin darah membawa oksigen[11], dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb: 4,2 g/dl sehingga termasuk dalam kategori anemia berat (Hb: <6 gr%)[11]. Diagnosa janin berupa tunggal (berdasarkan hasil USG), hidup (berdasarkan DJJ melalui Doppler dan USG), intrauterin (berdasarkan hasil USG), presentasi kepala (berdasarkan palpasi Leopold III). Penatalaksanaan dilakukan dengan berkolaborasi dengan Dokter Obgyn, didapatkan advis tatalaksana PEB berupa pemberian oksigen 6-8 lpm untuk resusitasi, cek DL, UL, untuk mengetahui faal ginjal (kreatinin serum, BUN), faal hepar (SGOT, SGPT) dimana organ ginjal dan hepar adalah organ sasaran komplikasi PEB[9], selain itu pemeriksaan DL bertujuan untuk mengetahui adanya sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, Low Platelets Counts), pemeriksaan UL bertujuan untuk mengetahui adanya protein dan albumin dalam urin[9,10]. Pasien mendapat injeksi MgSO4 karena memenuhi syarat pemberian injeksi tersebut, yaitu: Refleks Patella (+), RR >16 kali per menit, produksi urin minimal 150 cc/6 jam atau minimal 30 ml/jam dalam 4 jam terakhir, dan tersedia Calsium Glukonas 1 gr 10% sebagai antidotum MgSO4[8]. Injeksi MgSO4 sebagai anti-konvulsan diberikan dengan dosis MgSO4 20% 4 gram IV dilanjutkan MgSO4 40% 5 gram SP dengan kecepatan 1 gram/ jam (2,5 cc/jam) sesuai dengan teori Baihaqi, dkk[16], penetapan balance cairan dan pembatasan jumlah cairan yang masuk agar tidak terjadi penumpukan cairan intersel dalam tubuh. Pemberian Nifedipin sebagai anti hipertensi diberikan jika TD ≥ 160/110 mmHg[16], memasang infus RD5% sebagai restorasi cairan, dan memasang kateter urin untuk memantau output cairan yang mencerminkan fungsi ginjal. Advis tatalaksana KPP meliputi observasi suhu rectal setiap 3 jam untuk mengobservasi adanya reaksi infeksi, injeksi Cefotaxim sebagai antibiotik spektrum luas sebagai profilaksis terhadap reaksi infeksi, dan merupakan golongan Sefalosporin generasi ke-3 yang aman diberikan pada ibu hamil[17]. Pemantauan k ondisi j anin dilak uk an m elalui pemeriksaan NST, USG, dan observasi DJJ setiap 1 jam[16]. Evaluasi kemajuan persalinan dan kondisi ibu dengan observasi CHPB (Cortonen, His, Penurunan, Bundle), observasi vital sign dan keluhan ibu, serta tanda impending eklampsia (nyeri kepala hebat, gangguan visus, hiperrefleksia, dan nyeri epigastrium)[9]. Penatalaksanaan PEB dan KPP dilakukan secara aktif (bertujuan terminasi kehamilan), hal ini sesuai dengan teori Abadi,dkk[8] dan Baihaqi,dkk [16] yang menyatakan bahwa syarat dilakukan penatalaksanaan aktif PEB adalah UK ≥34 minggu, TBJ>2000 gram, dan berdasarkan hasil VT diperoleh Pelvic Score bernilai lima, maka persalinan dapat dilakukan pervaginam dengan induksi persalinan menggunakan OD (Oksitosin Drip) untuk mempercepat kala I persalinan sesuai indikasi janin (KPP) dan indikasi ibu (kehamilan dengan hipertensi) berdasarkan teori Saifuddin [9], dan mempercepat kala II persalinan dengan bantuan vakum ekstraksi, hal ini dilakukan karena pada pasien PEB tidak boleh mengejan terlalu lama karena terjadi peningkatan curah jantung dan resistensi perifer pada penderita hipertensi [9]. Penatalaksanaan anemia dilakukan dengan pemeriksaan SI (Serum Iron) dan TIBC (Total Iron Binding Capacity) yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas transport zat besi dalam tubuh sebagai upaya mengetahui penyebab anemia[11]. Adanya anemia, pemberian MgSO4, nifedipin, dilakukannya oksitosin drip, dan VE pada persalinan meningkatkan risiko terjadinya HPP. Hal ini sesuai teori Mochtar[10] yang menyatakan bahwa anemia mengakibatkan berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen ke jaringan, termasuk ke otot, sehingga berpotensi terjadi HPP karena iskemia miometrium uterus, nifedipin merupakan calcium channel blockers, padahal kalsium dibutuhkan untuk kontraksi otot, oksitosin drip menyebabkan otot uterus mengalami kelelahan setelah dirangsang kontraksi terus-menerus, dan tindakan persalinan dengan VE dapat meningkatkan laserasi jalan lahir (trauma) yang dapat menyebabkan HPP[9,10]. P e n a t a l ak s a n a a n d il ak uk a n berdasar hasil kolaborasi dengan dokter Obgyn, meliputi menjelaskan hasil pemeriksaan pada pasien dan keluarga, memfasilitasi informed consent atas tindakan yang dilakukan (pertolongan 39 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 vakum, dan induksi persalinan), lalu berkolaborasi dengan dokter untuk pertolongan persalinan dengan vakum, bayi lahir pukul 20.00 WIB (Tgl 06-022014), ♀, AS: 7-8. Manajemen aktif kala III dilakukan segera setelah bayi lahir, menyuntikkan oksitosin 10 IU IM, memotong tali pusat bayi, dan melakukan Penegangan Tali Pusat Terkendali (PTT) [18] . Plasenta lahir spontan lengkap pukul 20.15 WIB. Saat kala IV persalinan, ibu mengeluh lemas, konjungtiva dan bibir pucat, TD: 100/90 mmHg, Nadi: 100 kali per menit, TFU 3 jari atas pusat, kontraksi uterus lembek, jumlah perdarahan ±600 cc, kandung kemih kosong. Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan tersebut, diagnosa HPP et causa atonia uteri ditegakkan. Hal ini sesuai dengan teori Saifuddin[12] yang menjelaskan bahwa tanda gejala HPP karena atonia uteri adalah uterus tidak berkontraksi (lembek), perdarahan segera setelah anak lahir, dengan disertai gejala syok yang masih dalam garis waspada (ditandai dengan perkiraan kehilangan darah 500-1000 ml, TD normal, respon asimptomatik, takikardi, pusing, lemas)[16]. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan teori Saifuddin[9,12] yang menyatakan bahwa tatalaksana HPP adalah resusutasi (memasang infus kristaloid double line, monitoring tanda vital), mencari penyebab HPP (eksplorasi jalan lahir untuk mencari adanya trauma dan melakukan heacting pada daerah yang mengalami laserasi), dan pemeriksaan laboratorium DL, serta persiapan transfusi darah. Langkah selanjutnya yaitu terapi penyebab, sebagaimana teori Saifuddin [9,12] diketahui bahwa HPP ini terjadi karena atonia uteri, sehingga dilakukan masase fundus uteri secara kontinyu, dan pemberian obat uterotonika (Misoprostol 4 tablet per rectal, dan drip oksitosin 2 ampul dalam 500cc RL). Pada kasus ini, HPP tidak berhenti meski sudah dilakukan masase fundus uteri dan pemberian obat uterotonika, kemudian dilakukan kontrol lokal dengan pemasangan tampon kondom kateter[9,12,18]. Evaluasi dari pemasangan tampon kondom kateter gagal dan HPP terus berlanjut, lalu dilakukan tindakan pembedahan, dengan mempertimbangkan fluksus aktif karena kontraksi uterus lembek, usia, paritas, dan kondisi ibu dilakukan operasi Histerektomi, hal ini sesuai dengan teori Saifuddin[9] yang menyatakan bahwa penanganan terakhir HPP adalah pembedahan, salah satunya adalah Histerektomi. Satu jam setelah bayi lahir, ibu merasa semakin lemas, mengantuk, dan darah terus keluar dari kemaluan, hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa KU lemah, kesadaran somnolen, konjungtiva anemis, muka dan bibir pucat, akral dingin, TD: 90/60 mmHg, N: 120 kali per menit cepat lemah, S: 36,50C, RR: 20 kali per menit yang merupakan tanda gejala syok hipovolemik sebagaimana teori Baihaqi, dkk[16] dimana pada teori tersebut diperkirakan ibu kehilangan darah 15002000 ml, dan hal ini sesuai dengan kasus yakni jumlah darah yang keluar ±1500 ml. Hasil pemeriksaan penunjang diketahui Hb ibu 3,3 gr%, hal ini termasuk dalam anemia berat[11], anemia meningkatkan risiko terjadinya HPP, dan adanya HPP mengakibatkan terjadinya anemia sebagai akibat kehilangan darah akut (anemia hemorargi)[11]. Penatalaksanaan yang dilakukan meliputi memposisikan ibu dengan posisi syok, dan segera mempersiapkan pasien untuk tindakan operatif. Operasi dilakukan selama ±2 jam dengan jenis operasi B. Lynch proc. Modifikasi Surabaya + Tubektomi Pameroy Bilateral. Setelah operasi selesai, pasien dipindahkan ke ROI (Ruang Observasi Intensif) untuk mendapatkan perawatan. Sebagai bidan, dalam hal ini melakukan tugas pokok dan fungsi berupa kolaborasi dengan dokter Obgyn untuk melakukan tatalaksana terhadap kondisi pasien, mengobservasi secara rutin kondisi ibu dan janin, memberi KIE ibu dan keluarga, memfasilitasi ibu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, asistensi pertolongan persalinan dengan ekstraksi vakum, dan memfasilitasi serta asistensi dalam tindakan dan follow up operasi. 4. KESIMPULAN Pasien berumur 33 tahun dengan GIIIP1011 38-39 minggu, inpartu kala I fase laten dengan PEB + KPP + Anemia. Janin tunggal, Hidup, Intrauterin, presentasi kepala. Diagnosa PEB ditegakkan dari pemeriksaan TD: 160/90 mmHg, terdapat oedema pada muka, dan hasil protein rebus +3. Diagnosa KPP ditegakkan dari 40 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 pemeriksaan bahwa pasien merasa air ketuban merembes keluar, pemerksaan lakmus (+), hasil VT tidak didapatkan selaput ketuban, dan saat dilakukan evaluasi kemajuan persalinan, ibu masih dalam fase laten (pembukaan serviks ≤3 cm). Diagnosa Anemia ditegakkan dari pemeriksaan konjungtiva anemis, bibir agak pucat, dan Hb: 4,2 g/dl (termasuk dalam kategori anemia berat). Diagnosa janin berupa tunggal (berdasarkan hasil USG), hidup (berdasarkan DJJ melalui Do p p l er d an U SG ) , i n tr a ut er i n (berdasarkan hasil USG), presentasi kepala (berdasarkan palpasi Leopold III). Penatalaksanaan yang dilakukan adalah penatalaksanaan aktif, meliputi pro Oksitosin Drip (OD), dan percepatan kala II dengan VE. Tatalaksana PEB meliputi: pemberian O2, Injeksi MgsO4 20% 4 gram IV dilanjutkan MgSO4 40% 5 gram, balance cairan, Nifedipin, observasi tanda impending eklampsia, dan percepatan kala II dengan VE. Tatalaksana KPP meliputi: Observasi T rektal/3 jam, Injeksi Cefotaxim 3x1 gram IV, dan pro OD. Pemantauan kesejahteraan janin dilakukan melalui pemeriksaan NST, USG, dan observasi DJJ. Pemantauan kemajuan persalinan dan kondisi ibu melalui pemeriksaan observasi CHPB, observasi keluhan, dan vital sign. Adanya anemia, pemberian MgSO4, nifedipin, dilakukannya oksitosin drip, dan VE pada persalinan meningkatkan risiko terjadinya HPP. Satu jam setelah bayi lahir terjadi HPP et causa atonia uteri yang ditegakkan dari hasil pemeriksaan TFU 3 jari atas pusat, kontraksi uterus lembek, jumlah perdarahan ±600 cc, kandung kemih kosong. Kondisi pasien semakin menurun dan terjadi syok hipovolemik, ditegakkan dari anamnesa pasien merasa semakin lemas, mengantuk, dan darah terus keluar dari kemaluan, hasil pemeriksaan fisik diperoleh KU lemah, kesadaran somnolen, konjungtiva anemis, muka dan bibir pucat, akral dingin, TD: 90/60 mmHg, N: 120 kali per menit cepat lemah, S: 36,50C, RR: 20 kali per menit, Hb: 3,3 gr%, dan jumlah darah yang keluar ±1500 ml. Tatalaksana yang dilakukan adalah resusutasi (memasang infus kristaloid double line, monitoring tanda vital), mencari penyebab HPP (eksplorasi jalan lahir untuk mencari adanya trauma dan melakukan heacting pada daerah yang mengalami laserasi), dan pemeriksaan laboratorium DL, serta persiapan transfusi darah. Langkah selanjutnya yaitu terapi penyebab, dilakukan masase fundus uteri secara kontinyu, dan pemberian obat uterotonika (Misoprostol 4 tablet per rectal, dan drip oksitosin 2 ampul dalam 500cc RL). Pada kasus ini, HPP tidak berhenti meski sudah dilakukan masase fundus uteri dan pemberian obat uterotonika, kemudian dilakukan kontrol lokal dengan pemasangan tampon k ondom k ateter. Evaluas i dari pemasangan tampon kondom kateter gagal dan HPP terus berlanjut, lalu dilakukan tindakan pembedahan, dengan mempertimbangkan fluksus aktif karena kontraksi uterus lembek, usia, paritas, dan kondisi ibu, maka dilakukan tindakan operatif berupa operasi B. Lynch proc. Modifikasi Surabaya + Tubektomi Pameroy Bilateral. Sebagai bidan, dalam hal ini melakukan tugas pokok dan fungsi berupa kolaborasi dengan dokter Obgyn untuk melakukan tatalaksana terhadap kondisi pasien, mengobservasi secara rutin kondisi ibu dan janin, memberi Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) ibu dan keluarga, memfasilitasi ibu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, asistensi pertolonganpersalinan dengan ekstraksi vakum, dan memfasilitasi serta asistensi dalam tindakan dan follow up operasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. Buku Panduan HKN 48 Tahun 2012. 2012. 12 Maret 2013. <www.depkes.go.id/.../ BUKU_PANDUAN_HKN_48_TAHUN _2012_....> 2. K e m e n t e r i a n Pem ber dayaan Perempuan. Angka Kematian Ibu Melahirkan. 2011. 13 Maret 2013. <menegpp.go.id/V2/index.../ kesehatan?...23%3Aangka-kematianibu..>. 3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Tabel Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2011.2013. 4. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Angka Kematian Ibu Tahun 2009, 2010, 2011. 2013. 41 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016 5. Dinas Kesehatan Kota Surabaya. Cakupan Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan Kota Surabaya Tahun 2009, 2010, 2011. 2013. 6. Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kementerian Kesehatan RI. Upaya Percepatan Penuruan Angka Kematian Ibu. 2010. 21 Januari 2015. <http:// www.kesehatanibu.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2013/01/ Factsheet_Upaya-PP-AKI.pdf>. 7. WHO. Maternal Mortality. 2012. 13 Maret 2013. <http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs348/en/>. 8. Abadi, A., Abdullah, M.N., Gumilar, E.D., dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya:-, 2008. 9. Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Wiknjosastro, G.H. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: YBPSP, 2009. 10. Mochtar, R. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC, 2012. 11. Boediwarsono, Soebandri, Sugianto, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. FK UNAIR/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: AUP, 2007. Saifuddin, A.,B. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2006 Fraser, Diane M and Cooper,Margaret A. Myles Buku Ajar Bidan Myles Buku Ajar Bidan ed.14 alih bahasa Sri Rahayu, Jakarta: EGC, 2009. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. Williams Obstetri 21nd. Jakarta: EGC, 2005. Coad, J., Dunstall, M. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Bidan, Penerjemah Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC, 2006. Baihaqi, I., Aulia, R., Karmila, N.H., dkk. Melody of Phantom. Surabaya:-, 2010. Kasim, F., Trisna, Y. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia vol.48. Jakarta: PT. ISFI, 2013. Depkes RI. Buku Panduan Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Depkes RI, 2005. 42 BIMABI Volume 4 No.1 | Januari-Juni 2016