BAB II KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY DALAM MASYARAKAT PLURAL A. Konsep Negara Hukum Pancasila Konsep negara hukum, pada awalnya sangat dekat dengan tradisi politik negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Hamdan Zoelva yang mengutip Tamanaha, menjelaskan bahwa liberalisme yang lahir antara akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep negara hukum dan negara hukum pada masa kini.1 Secara embrionik, gagasan negara hukum telah disinggung oleh Plato ketika ia memperkenalkan konsep Nomoi. Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada hukum yang baik. Gagasan ini kemudian dipertegas oleh muridnya Aristoteles yang ditulis dalam bukunya Politica. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Meski ide negara hukum telah ada sejak abad ke- 17, namun konsep negara hukum baru berkembang secara eksplisit pada abad ke-19 dengan munculnya istilah rechtsstaat yang bertumpu pada tradisi eropa kontinental, dan the rule of law yang bertumpu pada tradisi anglo saxon.2 1 Hamdan Zoelva. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila, (https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-Pancasila/, diunduh pada 10 Desember 2014. 2 Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 2-3. 17 Menurut Jimly Asshiddiqie konsep negara hukum dengan istilah rechtstaat telah dikembangkan oleh Imanuel Kant, F.J Stahl, Fichte dan lain-lain. Sedangkan negara hukum dengan istilah the rule of law dikembangkan atas kepeloporan A. V Dicey. Dengan mengutip Stahl, Jimly mengungkapkan empat ciri ataupun elemen penting yang harus ada dalam negara hukum (rechtsstaat) yaitu: 1. perlindungan hak asasi manusia; 2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia; 3. peradilan tata usaha negara (administrasi); 4. pemerintahan berdasarkan perundang-undangan.3 Sementara itu, Dicey menguraikan unsur-unsur negara hukum (the rule of law) yang lahir dari tradisi anglo-amerika, sebagai berikut: 1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); 2. kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law); 3. terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (due process of law).4 Meski berasal dari tradisi dan latar belakang berbeda, baik rechtsstaat maupun the rule of law lahir atas dasar yang sama, yakni perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan individu serta pembatasan kekuasaan negara. Perumusan ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan the rule of law sebagaimana diungkapkan oleh Stahl dan Dicey di atas, kemudian dikembangkan dan diintegrasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern masa kini. The International Commisison of Jurist 3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2004), 122. 4 Ibid. 18 pada konverensinya di Bangkok tahun 1965 mencirikan konsep negara hukum yang dinamis yakni: 1. perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. adanya pemilihan umum yang bebas; 4. adanya kebebasan menyatakan pendapat; 5. adanya kebebasan berserikat, berorganisasi dan beroposisi; 6. adanya pendidikan kewarganegaraan.5 Sudargo Gautama mengemukakan, bahwa teori negara hukum pada hakikatnya menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu suatu negara yang berdasarkan hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu, termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Karena pada dasarnya, negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan diri dari tindakan sewenang-wenang penguasa.6 Mahfud MD menambahkan, selain perlindungan terhadap hak-hak individu untuk menggunakan hak asasinya, konsep negara hukum juga didasari atas suatu pemahaman bahwa hukum ditentukan oleh rakyat dan untuk mengatur hubungan diantara sesama rakyat. Begitu dekatnya hubungan antara paham negara 5 Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menegakkan Negara Hukum dan Demokrasi dalam “Negara Hukum yang Berkeadilan” (Bandung: FH. Universitas Padjajaran, 2011), 623. 6 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), 3. 19 hukum dan kerakyatan, muncul sebutan negara hukum yang demokratis (democratische rechstaat) yang mensyaratkan demokrasi sebagai salah satu asas negara hukum. Ide tentang perlindungan hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat akan menuntut suatu sistem negara hukum yang demokratis.7 Landasan pemikiran inilah yang kemudian melahirkan konsep negara hukum Barat sebagaimana dirumuskan oleh beberapa ahli, yakni pandangan negara hukum yang didasari oleh semangat liberalisme dan demokrasi dengan pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu. Di samping itu, rumusan-rumusan yang telah dipaparkan dengan jelas memperlihatkan bahwa konsep negara hukum sesungguhnya bermuara pada satu hal pokok, yakni pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dimana dalam sebuah negara hukum, negara (pemerintah) harus tunduk dan mengikuti hukum serta undang-undang yang ada, semua orang tanpa kecuali harus tunduk pada hukum secara sama, yakni tunduk pada hukum yang adil. Dengan demikian, perlindungan hak-hak fundamental warga negara dengan ketundukan para pemegang kekuasaan negara pada hukum adalah merupakan esensi dari suatu negara hukum. Selain terdapat persamaan esensial dari rumusan-rumusan di atas, terlihat pula perbedaan beberapa unsur dari konsep negara hukum dimasing-masing era dan tempat dimana konsep itu lahir. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep negara hukum pada dasarnya tidak bermakna seragam, tetapi dimaknai berbeda dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, konsepsi negara hukum sangat 7 Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta:Gama Media, 1999), 126- 127. 20 tergantung pada pengaruh kesejarahan, idiologi, falsafah bangsa serta setting sosial budaya di suatu negara. Maka, untuk mengetahui secara tepat konsep negara hukum Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran yang mendorong lahirnya konsep negara hukum Indonesia. Secara historis, sejak berdirinya negara Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pendirinya telah menetapkan bangsa ini sebagai negara hukum. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut UUD 1945 pra amandemen, yakni penjelasan umum mengenai sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan (machtsstaat)”. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pasca amandemen menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Rumusan tersebut oleh Soepomo diartikan bahwa negara harus tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum dan berlaku bagi seluruh badan serta alat-alat perlengkapan negara.8 Dengan ungkapan lain, rumusan tersebut mencerminkan bahwa konstitusi Indonesia (UUD 1945) juga menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh hukum, sebagaimana konsep negara hukum Barat. Ini sekaligus membuktikan bahwa munculnya ide negara hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsep negara hukum barat (rechtsstaat), sebagai konsekuensi dari kolonialisasi Belanda yang telah menjajah Indonesia lebih kurang 350 Tahun. 8 Teguh Prasetyo dan Arie Purnomisidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila (Bandung: Nusa Media, 2014), 1. 21 Meskipun awal kelahirannya diinspirasi dari konsep negara hukum Barat, akan tetapi dalam tataran implementasi, negara hukum Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda, sesuai dengan dinamika sejarah yang melingkupinya. Berbeda dengan latar belakang lahirnya pemikiran negara hukum Barat yang lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja,9 pemikiran atau ide negara hukum Indonesia didasari oleh semangat kebersamaan dari seluruh elemen bangsa untuk membebaskan diri dari kolonialisme dengan cita-cita terbentuknya bangsa baru bernama Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur. Hal tersebut terlihat dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, sebagai pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia dan dasar filosofis tujuan negara.10 Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi dengan berdasarkan kajian dan pemahaman terhadap unsur-unsur negara hukum Indonesia, menyimpulkan bahwa konsep negara hukum yang diimplementasikan di Indonesia baik pada saat berlakunya UUD 1945 pra amandemen maupun dalam UUD 1945 amandemen, memiliki ciri khas Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Dengan argumentasi tersebut, Negara Hukum Indonesia disebut dengan negara hukum Pancasila, yakni suatu negara hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai, identitas dan karakteristik yang terdapat dalam Pancasila. Landasan nilai-nilai Pancasila dapat ditemukan pada lima sila dalam Pancasila, sedangkan identitas dan 9 Menurut Paul Scholten, gagasan negara hukum muncul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Rights 1689, yang berisi hak dan kebebasan dari warga negara serta peraturan pengganti Raja di Inggris. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: CV Mandar Maju, cet. III, 2014), 3. 10 Ibid. 22 karakteristik yang ada dalam falsafah Pancasila adalah Ketuhanan, kekeluargaan, gotong-royong dan kerukunan.11 Disisi lain, konsep negara hukum Pancasila mempunyai keistimewaan tersendiri terkait dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yang pluralis. Oleh karena itu, konsep negara hukum Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia serta harus bisa mengikuti perkembangan zaman dengan berlandaskan pada cita-cita negara Indonesia modern.12 Ini penting dilakukan agar negara hukum Indonesia dapat mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi warga negaranya. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, agar Indonesia sebagai negara hukum dapat benar-benar menjadi rumah yang membahagiakan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.13 Lebih lanjut, Teguh dan Arie mengidentifikasi unsur-unsur dalam negara hukum Pancasila yang telah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, dengan mengacu pada pendapat beberapa ahli terutama dari Jimly Asshidiqie. Menurutnya terdapat dua belas unsur penting yang harus ada dalam negara hukum Pancasila masa kini, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) supremasi Hukum (supremacy of law); 3) pemerintahan berdasarkan hukum; 4) demokrasi; 5) pembatasan kekuasaan negara; 6) pengakuan dan perlindungan HAM; 7) asas persamaan di depan hukum; 8) impeachment (pemakzulan); 9) kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka; 10) peradilan tata negara (mahkamah konstitusi); 11) peradilan tata usaha negara; 12) negara kesejahteraan (welfare 11 Teguh, Membangun Hukum...46-48. Ibid, 39. 13 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Press, 2008), 14. 12 23 state).14 Unsur-unsur ataupun prinsip-prinsip dari negara hukum Pancasila sebagai sebuah konsep sebagaimana disebutkan di atas, merupakan nilai yang diambil dan “diramu” dari keseluruhan proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta cita hukum negara Indonesia.15 Melalui penelusuran sejarah perkembangan pemikiran konsep negara hukum akan didapatkan bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila secara tegas menempatkan agama (Ketuhanan) sebagai elemen yang sangat penting, yang berbeda dari konsep negara hukum Barat yang memisahkan antara agama dan negara (sekuler). Namun ini juga tidak berarti bahwa negara Indonesia adalah negara agama (teokrasi), yang hanya mendasarkan pada satu agama tertentu, melainkan negara yang mengakui dan menjadikan nilai luhur semua agama di Indonesia sebagai pijakannya, sesuai dengan realitas Indonesia yang majemuk. Penyebutan kata „Allah‟ dalam pembukaan UUD 1945 menunjukkan bahwa prinsip Ketuhanan menjadi elemen utama dari elemen negara hukum Indonesia, yang khas, yang membedakan dengan negara hukum yang dikenal secara umum. Selain itu, adanya pluralitas budaya, suku, etnis dan agama yang dimiliki oleh bangsa ini, menjadi keunikan dan kekayaan tersendiri jika dikelola dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi oleh founding people.16 14 Ibid, 60-134. Dalam konstitusi negara Indonesia, cita negara hukum menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Maka, istilah cita hukum (Rechtsidee) berarti konsep-konsep hukum menurut bangsa Indonesia (Pancasila). Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: Media Perkasa, 2013), 66-68. 16 Pancasila yang terumus dalam Pembukaan UUD 1945 adalah modus vivendi atau kesepakatan luhur bangsa Indonesia. Pancasila sangat relevan dengan realitas bangsa Indonesia yang plural. Pancasila akan menjadi ruang bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang semula saling bertentangan secara diametral. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2007), 35. 15 24 Berkaitan dengan model relasi agama dan negara, John Titaley meyakinkan bahwa konsep negara Pancasila merupakan model terbaik diantara bangsa-bangsa di dunia, yang khas Indonesia, unik dan memiliki signifikansi universal. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah presentasi MM Thomas yang menggambarkan empat model yang dibentuk oleh negara Asia dalam menghadapi sekularisasi.17 Pertama, Negara sekularistik; bentuk negara yang melarang agama dan tidak mendukung eksistensi agama. Contoh: RRC selama revolusi. Kedua, Negara sekuler; bentuk negara yang mengizinkan agama eksis dan diakui negara, tetapi agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Contoh: india. Ketiga, Negara agama; negara ketika sebuah agama tertentu diakui sebagai agama resmi dan mendiskriminasi agama lain. Contoh: Pakistan. Dan keempat, Negara Pancasila; negara ketika agama dan aliran kepercayaan serta pandangan hidup diijinkan untuk mempunyai hubungan dengan kehidupan politik. Contoh: Indonesia. Dalam negara Pancasila, agama tertentu tidak dijadikan menjadi dasar negara, tetapi negara mengambil nilai-nilai agama dalam konstitusi.18 Senada dengan Titaley, dalam buku “Negara Paripurna” Yudi Latif mengungkapkan bahwa Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia yang paling realistis karena berpijak pada sejarah pembentukan nusantara itu sendiri. Soekarno pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah tamansari peradaban dunia. Di tamansari peradaban dunia inilah telah hidup berbagai macam suku bangsa dengan warna kulit, bahasa serta keyakinan yang berbeda. 17 John A. Titaley, Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Naionalisme dan Transformasi Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 155-156. 18 Ibid. 25 Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah keniscayaan dalam proses pembentuk bangsa Indonesia. Untuk itu toleransi, pluralisme dan Ketuhanan yang berakar pada sejarah pembentukan bangsa harus terus menerus dibina dan dijaga eksistensinya. Karena tanpa itu kita hanya tinggal menunggu kehancuran Indonesia.19 Titaley menambahkan, pada alenia ketiga pembukaan UUD 1945, pernyataan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...” yang awalnya berbunyi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa...” mengindikasikan bahwa negara baru bernama Indonesia saat itu mengakui dan menggunakan kata “Tuhan” sebagai perwujudan “Yang Mutlak”, yang merupakan representasi semua agama di Nusantara--bahkan yang tidak diakui sebagai agama- dan menjadikan seluruh masyarakat Indonesia setara, sederajat dan manusiawi dihadapan hukum dan dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun sayang, konsep keberagamaan Pancasila yang disebutnya sebagai model keberagamaan inklusif transformatif ini telah dicedirai dan sering diingkari oleh para pemimpin bangsa.20 Atas dasar pengakuan akan keberadaan dan kemahakuasaan tersebut, negara hukum Pancasila wajib menjamin kebebasan beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan. 1. negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal tersebut jelas menyatakan tentang hak beragama di Indonesia yang dijamin oleh Undang-undang sebagai hak semua warga negara yang sah dan 19 Yudi Latif, Negara Paripurna:Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 3. 20 Titaley, Religiositas di Alenia...153-154. 26 setara yang merupakan landasan yuridis formal untuk keyakinan umat beriman. Tugas dan fungsi negara juga sangat jelas dinyatakan yakni untuk melindungi, menjamin, memfasilitasi serta memberi pelayanan kepada setiap warga negara untuk menjalankan setiap bentuk praktik keagamaan secara netral dan fair. Dalam konteks kebebasan beragama di negara hukum Pancasila, Teguh dan Arie berpandangan bahwa negara hanya boleh melakukan intervensi dalam masalah-masalah administratif seperti penyediaan sarana dan prasarana (tempat ibadah) serta penyelesaian konflik antarumat beragama secara adil. Jadi urusan tatacara dan ajaran dari agama-agama sama sekali bukan urusan negara.21 Dengan demikian, dalam konteks negara hukum Indonesia--yang merujuk pada prinsip negara hukum Pancasila mutakhir-, kebebasan beragama hanya bisa diwujudkan jika negara (Pemerintah) benar-benar menyadari keragaman (pluralitas) masyarakat sebagai kenyataan normatif yang mendasari pendirian Indonesia. Sehingga semua pihak dapat diperlakukan secara sama dan setara dihadapan hukum yang adil. Dengan asumsi tersebut, Pemerintah ditingkat nasional hingga lokal harus secara konsisten menghindari praktik sewenang-wenang, diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Disamping itu, secara konsekuen dan tegas dapat menindak segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mengancam kebebasan beragama di negara bhineka tungggal ika. Tanda tanya besar yang perlu diajukan kemudian, jika negara hukum Pancasila telah dengan jelas menjamin kebebasan beragama warga negaranya, 21 Prasetyo, Membangun Hukum...67-68. 27 mengapa pelanggaran terhadap kebebasan beragama tetap menjadi masalah serius di bumi Pancasila? Menurut Satjipto Rahardjo, dalam suatu konsep negara hukum disyaratkan untuk selalu menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.22 Maka, diperlukan suatu sistem hukum yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warga negara termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Jika sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari elemen yang saling berinteraksi, maka hukum sebagai sebuah sistem merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari unsur-unsur yang berkaitan erat satu dengan yang lain. Teguh Prasetyo mencatat, sistem hukum merupakan suatu sistem yang terbuka. Dalam sistem hukum yang terbuka kesatuan unsur-unsur dari sistem hukum dipengaruhi faktor dari luar sistem, begitupun sebaliknya unsur-unsur dalam sistem juga mempengaruhi unsur diluar sistem hukum tersebut. Oleh karena itu, hukum selalu mengalami perkembangan mengikuti perkembangan yang terjadi diluar sistem hukum itu sendiri.23 Terdapat tiga aspek dari sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman, sebagaimana dikutip Teguh Prasetyo dan A. Halim Barkatullah, yaitu structure, substance dan culture, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut. 1. Struktur hukum, (legal structure), yakni terkait lembaga-lembaga yang berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang. Seperti lembaga pengadilan, lembaga legislatif dan penegak hukum. 22 Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), 11. Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum...40. 23 28 2. Substansi hukum, (legal substance) yakni menyangkut isi, materi atau bentuk dari peraturan hukum atau perundang-undangan. 3. Budaya hukum (legal culture), yakni menyangkut kepercayaan akan nilai, pikiran dan harapan masyarakat.24 Hukum akan berperan dengan baik manakala ketiga aspek subsistem yaitu struktur, substansi dan budaya hukum saling berinteraksi dan memainkan peranan sesuai fungsinya, sehingga hukum akan berjalan secara serasi dan seimbang sebagaimana mestinya. Namun apabila ketiga subsistem hukum tidak berfungsi dengan baik, maka akan muncul problem dalam upaya memfungsikan hukum.25 Dalam suatu negara hukum, ketiga elemen sistem hukum tersebut harus menjadikan hukum sebagai panglima agar sistem hukum dapat bersinergi dan selaras mewujudkan keadilan bagi semua. Dalam konteks negara hukum Pancasila, ketiga subsistem baik kelembagaan, isi peraturan maupun budayanya harus menginternalisasikan nilai-nilai dan falsafah yang ada dalam Pancasila. Apabila hukum atau peraturan justru menimbulkan konflik di masyarakat, kemungkinan terjadi ketidak cocokan antara salah satu atau ketiga sub sistem hukum diatas. Jika budaya hukum dalam masyarakat secara umum menghargai pluralisme sebagaimana tercermin dalam Pancasila, namun lembaga hukum ataupun pemerintah serta substansi hukum bertentangan dengan nilai-nilai dan falsafah Pancasila maka bisa dipastikan akan menimbulkan chaos di masyarakat. Sebaliknya, jika materi hukum telah sesuai dengan Pancasila namun otoritas 24 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2012), 312. 25 Ibid. 29 lembaga dan budaya masyarakat tidak berkiblat pada kenyataan pluralisme bangsa sebagaimana dijunjung dalam Pancasila, maka hukum tidak akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Begitu seterusnya, sehingga ketiga subsistem harus sejalan agar hukum berfungsi dengan baik. Di negara yang beraneka tradisi, suku, ras, bahasa dan agama seperti Indonesia, dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan. Di antara kepentingan itu ada yang berselaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan lain. 26 Dalam konteks ini pula hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuannya. Roscoe Pound berpandangan bahwa dalam fungsi hukum tercakup dua hal. Pertama, hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (law as tool a social engineering). Fungsi hukum sebagai sarana untuk mengadakan pembaruan (rekayasa sosial) mengehendaki agar perilaku masyarakat diarahkan sesuai dengan hukum. Kedua, hukum sebagai kontrol sosial (law as tool as social control). Fungsi hukum sebagai sarana untuk pengendalian sosial (kontrol sosial) adalah hukum berfungsi sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri dan harta bendanya.27 Dalam konteks sosiologi hukum, fungsi hukum adalah untuk menertibkan dan mengatur pergaulan serta menyelesaikan konflik yang terjadi dalam 26 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), 130. 27 Soerdjono Soekamto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Dalam Masyarakat (Bandung: Alumni, 1983), 270. 30 masyarakat.28 Sedangkan tujuan hukum seringkali diungkapkan dengan tiga hal yang menentukan satu sama lain yakni kepastian, ketertiban (keteraturan) dan keadilan.29 Maka, sebagaimana tujuan dan fungsi hukum, keberadaan hukum menjadikan konflik tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan peraturan yang berorientasi pada keadilan, yakni berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah. Ketika hukum telah dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pola kehidupan dan sikap masyarakat maupun aparat negara yang cenderung menyimpang dari norma hukum Pancasila akan dapat dikendalikan dan mengalami perubahan. Dengan demikian, pendekatan sosiologis juga diperlukan untuk menciptakan pola-pola baru agar masalah-masalah sosial dapat dipecahkan dan mencapai tujuan dan fungsi sosial yang diharapkan, sebagaimana termaktub dalam nilai-nilai dasar Pancasila. B. Konsep Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama Terdapat tiga konsep dasar penyelenggaraan negara telah lahir dari paham yang menolak kekuasaan absolut menyusul renaissance yang bergelora di dunia barat, yakni perlindungan hak asasi manusia, demokrasi dan negara hukum. Dalam paham ini dikatakan, pemerintah berkuasa karena rakyat bukan lagi sebagai wakil Tuhan. Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kuasa 28 Soerdjono Soekamto, Suatu Tinjaun Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1989), 274. 29 Lili Rasjidi dan I.B Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Sebuah Sistem (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), 127. 31 menyelenggarakan pemerintahan negara agar dapat memberi perlindungan atas hak asasi manusia. Untuk melindungi hak asasi manusia negara harus dibangun di atas prinsip negara hukum agar ada instrumen yang mengawasi dan mengadili jika terjadi pelanggaran hak asasi manusia.30 Dengan kata lain, konsekuensi dari negara hukum dan demokrasi adalah negara berkewajiban untuk melindungi hakhak asasi warganya, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat (human dignity). Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun, serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.31 Deklarasi Universal hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) PBB pada 10 Desember 1948 atau dikenal dengan DUHAM merupakan pernyataan definitif pertama tentang hak asasi manusia dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak yang bersifat universal. Meski secara gagasan, paradigma dan kerangka konseptual telah ada sebelumnya dalam sejumlah dokumen historis 30 Nasution. Negara Hukum...9 Paul S. Baut dan Beny Harman, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Jakarta:YLBHI 1988), vi. 31 32 seperti Magna Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of Man France (1789), Bill of Rights USA (1791), Rights of Russian People (1917).32 Jan Materson dari komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menyatakan “Human Rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being”. Sementara John Locke mengungkapkan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan dan keadaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.33 Di Indonesia, definisi HAM secara terperinci diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 dimana jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi bagian fundamental hak asasi manusia. Pada Pasal 1 disebutkan “hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”, Dengan kata lain, hak beragama yang merupakan hak asasi manusia, adalah hak setiap manusia yang dibawa sejak lahir dan bersifat kodrati (fundamental) sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa -bukan pemberian 32 Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001) 33 Dede Rosyada, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2003), 200-201. 33 manusia ataupun lembaga kekuasaan- yang harus dihormati dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan negara. Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen hak asasi manusia internasional (DUHAM) secara jelas disebutkan pada Pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.”34 Selain dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isi dari kovenan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.35 34 Baut, Kompilasi Hukum...81. Ismail Hasani dan Nipospos Bonar Tigor (ed.), Mengatur Kehidupan Beragama; Menjamin Kebebasan Beragama? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 24. 35 34 Maka dalam perspektif HAM, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, tercakup dalam delapan komponen utama sebagai berikut: 1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya. 2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadahannya. 3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya. 4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk: asli atau pendatang, serta asal usulnya. 5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan keyakinannya sendiri. 35 6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi komunitas keagamaan adalah berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian dalam pengaturan organisasinya. 7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain. 8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.36 Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk dalam hak individu yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights), maka kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang fundamental yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Prinsip non derogable rights menegaskan tentang hak-hak mendasar yang bersifat absolut dan oleh karena itu tak dapat ditangguhkan dalam situasi dan kondisi apapun. Hak-hak yang tercantum dalam prinsip non drogable rigths ini mencakup hak hidup, hak atas keutuhan diri, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama didepan 36 Nur Kholis Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Jakarta: LBH, 2011), 20-21. 36 hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan hilangnya hak seseorang ataupun kelompok untuk bebas bergama, dapat dikategorikan sebagai pelanggran HAM.37 Musdah Mulia dengan mengutip Nowak, menjelaskan bahwa kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan mewujudkan, mengimplementasikan, atau memanifestasikan agama dan keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, penundaan pelaksanaan, pembatasan atau pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.38 Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan, pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal, yaitu public safety; public order; public health; public morals;protection of rights and freedom of others, sebagaimana penjelasan dibawah ini. 1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi Keselamatan Masyarakat). Pembatasan disini mencakup tentang larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan 37 Ibid. Musdah Mulia, HAM dan Kebebasan Beragama (Disampaikan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, tgl 4 Juli 2007 di Jakarta) 38 37 pemeluknya. Sebagai contoh, ajaran agama yang ekstrim, yang menghalalkan bom bunuh diri, baik secara individu maupun secara masal. 2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan dalam kebebasan memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat atau keharusan mendirikan tempat ibadah pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum 3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan dengan kesehatan publik ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau penyakit lainnya. Pemerintah mewajibkan melakukan vaksinasi atau mengambil sikap ketika ada ajaran agama tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya. 4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual. 5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan orang lain). (1) Proselytism (Penyebaran Agama): Pemerintah dapat membatasi kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas misionaris. Ini dilakukan dalam rangka 38 melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau dikonversikan. (2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain, seperti hak hidup, hak untuk bebas dari kekerasan, perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak pada kaum minoritas.39 Dengan demikian, tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan atau pembatasan kebebasan beragama di atas adalah dalam kerangka untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik warga negara. Dalam hal kebebasan beragama di Indonesia, secara legalistik-formal, republik ini telah menjaminnya sebagai hak sipil warga negara yang dijamin oleh undang-undang, ini dapat ditemukan dalam pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945 yang secara jelas telah mengatur hal tersebut. Pasal 28 (e) ayat 1, 2 dan 3 undangundang hasil amandemen, menyebutkan: 1. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya 2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya 3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat 39 Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkayakinan di Era Reformasi. Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, Penegakan HAM dalam 10 Tahun Reformasi (Jakarta: Hotel Borobudur, 2008) 39 Pasal di atas dipertegas dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 dimana negara harus menjamin keberlangsungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. 1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa 2. Negara menjamin kebebasan individu untuk menjalankan kewajiban menurut agama dan kepercayaannya. Pasal-pasal ini kemudian dikuatkan dengan UU nomor 39 tahun 1999 ayat 1 dan 2 dengan redaksi sebagai berikut: 1. Setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu 2. Negara menjamin kemerdekaan kemerdekaan tiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal-pasal di atas telah secara gamblang dinyatakan tentang hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak semua warga negara yang sah dan setara yang merupakan landasan yuridis formal untuk keyakinan umat beriman di Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga telah meratifikasi beberapa kovenan internasional yang memberikan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Maka, amanat konstitusi tersebut sudah seharusnya menjadi panduan dalam memproduksi kebijakan dibawahnya. Nurkholis Hidayat mencatat, ketentuan jaminan nasional dan internasional terdapat dalam beberapa instrumen antara lain: DUHAM Pasal 18, UUD 1945 Pasal 28e dan 29, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan 22, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR atau kovenan tentang hak sipil 40 dan politik, UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan CERD atau kovenan Penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ecosob atau Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya.40 Maka, prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu pada instrumen hukum internasional mengenai HAM (DUHAM), juga mengacu pada konstitusi dan sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Namun, dalam implementasi DUHAM yang merupakan tonggak bersejarah peradaban manusia tersebut mengalami hambatan pelaksanaan dikarenakan asumsi deklarasi ini adalah karya manusia yang tidak bisa melebihi wahyu Tuhan sebagaimana klaim yang difatwakan oleh para pemuka agama di beberapa belahan dunia. Akibatnya, negara yang seharusnya mendapat wewenang penuh untuk melindungi perwujudan HAM tidak sanggup melaksanakan kewajibannya ketika berhadapan dengan klaim tersebut. Oleh karenanya, menurut Titaley, mengatasi eksklusivisme menjadi penting dalam relasi agama, negara dan HAM. Selama eksklusivisme ini masih kental dalam kehidupan beragama masyarakat, maka masalah masih akan terus terjadi di negeri Pancasila ini.41 Dalam masyarakat yang multi-SARA seperti Indonesia, agama memang lebih dimaknai sebagai organisasi sosial dari pada seperangkat nilai dan spiritualitas. Agama tidak hanya menjadi urusan pribadi antara hamba dengan Tuhannya, tetapi juga sebagai landasan dan rujukan dalam setiap tindakan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Konsekuensi logis yang harus ditanggung, adalah terjadinya tarik menarik antara agama dan kekuasaan, serta kompetisi dalam satu 40 Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus...19. Titaley, Religiositas di Alenia...1-2. 41 41 organisasi agama ataupun dengan agama lain. Kompetisi tersebut sesungguhnya wajar terjadi dalam masyarakat, akan tetapi ketika kompetisi melebar ke arena politik kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik dan pengaruh politik. Disinilah sebuah regulasi yang adil dan dapat mempertahankan kemajemukan menjadi sebuah kebutuhan. C. Dari SKB ke PBM: Upaya Negara dalam Mengelola Kehidupan Beragama Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum mengandung konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warganya, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama. Sebagai negara yang bertanggungjawab atas terciptanya kerukunan antarumat beragama, Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya dalam menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Salah satunya dengan membenahi peraturan tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” dalam Surat Keputusan Bersama (selanjutnya disebut SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dengan Nomor 01/BER/MDN-MAG/1969, yang telah dikeluarkan pada 13 Desember 1969.42 Regulasi ini lahir untuk menjawab tantangan baru hubungan antaragama pada masa Orde Baru. SKB ini tidak secara khusus mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Peraturan tersebut secara umum mengatur tentang pengembangan 42 Dokumen SKB Nomor 1 tahun 1969. 42 dan penyiaran agama yang di dalamnya terkait dengan keberadaan rumah ibadah. Pada Pasal pendirian rumah ibadah, SKB Dua Menteri ini menyatakan bahwa pendirian rumah ibadah harus mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Ijin pendirian rumah ibadah akan dikeluarkan jika. pemohon telah mendapatkan rekomendasi dari kepala perwakilan Departemen Agama, peneliti planologi, dan persetujuan dari masyarakat setempat.43 Namun, maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005 semakin memicu ketegangan sosial diantara kelompok agama. SKB tersebut dinilai banyak kalangan multitafsir dan diskriminatif. Maka Pemerintah-pun terdesak memperbarui regulasi rumah ibadah yang terdapat dalam SKB no 01 tahun 1969, sehingga regulasi yang khusus mengatur tentang rumah ibadah segera direalisasikan. Satu tahun kemudian, pada 2006 Pemerintah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri (selanjutnya disebut PBM) tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah” no 8 dan 9 tahun 2006.44 PBM ini sangat detail mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan umat beragama, mekanisme perijinan rumah ibadah, dan penyelesaian jika terjadi konflik. PBM terdiri dari 30 Pasal yang dibagi dalam 10 bab, yakni: (1) Ketentuan Umum; (2) Tugas Kepala Daerah; (3) Tugas dan Peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); (4) Pendirian Rumah Ibadah (5) Rumah Ibadah Sementara; (6) Ijin Sementara Pemanfaatan Gedung; (7) Penyelesaian Perselisihan; (8) 43 44 Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), 34. Suara Merdeka, 23 Maret 2006, Menag: Sudah Tidak Multitafsir. 43 Pengawasan dan Pelaporan; (9) Sumber Dana FKUB; dan (10) Mekanisme Peralihan dan Penutup. PBM ini antara lain mengatur bahwa pendirian rumah ibadah wajib memenuhi syarat, yaitu (1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 90 orang pengusul rumah ibadah yang disahkan oleh pejabat sesuai dengan batas wilayah setempat, (2) KTP 60 orang warga setempat yang disahkan oleh kepala desa atau lurah, (3) Rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Agama kabupaten atau kota setempat, (4) Rekomendasi dari FKUB kabupaten setempat Rekomendasi tersebut harus didasarkan pada musyawarah mufakat dan tidak dapat dilakukan dengan voting.45 Oleh Pemerintah PBM ini dianggap lebih baik karena disusun berdasarkan berbagai pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga kekurangan yang ada bisa diperbaiki. Namun, setelah hampir sembilan tahun PBM ini diimplementasikan, celah diskriminasi justru semakin lebar terjadi pada warga minoritas. Seperti di Bali, warga muslim yang merupakan minoritas tetap sulit untuk mendirikan rumah ibadah, dan warga Kristen kesulitan mendirikan bangunan di wilayah yang mayoritas Islam, begitu pula sebaliknya. Kesulitan ini lebih disebabkan karena PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 terlalu rigid mengatur hal-hal yang bersifat administratif.46 45 Dokumen PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006. Dari penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Paramadina dan CRCS, menyimpulkan bahwa peluang diskriminasi dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu: pertama, politisasi kewenangan pemerintah daerah dalam megeluarkan IMB. Kedua, keanggotaan FKUB berdasarkan presentasi jumlah pemeluk agama, mengakibatkan minoritas selalu kalah dalam voting meski tertera bahwa keputusan FKUB harus dengan musyawarah mufakat. Ketiga, persyaratan dukungan 60 KTP seringkali melahirkan diskriminasi pada masyarakat yang kurang toleran. Fauzi, Kontroversi Gereja...37-38 . 46 44 Berdasarkan konstitusi, regulasi negara, dan sejumlah instrumen hukum internasional sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tidak ada alasan bagi siapapun, termasuk negara untuk melarang umat beragama mendirikan rumah ibadah. Jadi, pendirian rumah ibadah merupakan hak setiap individu atau kelompok masyarakat. Mengutip Dawam Rahardjo, pendirian rumah ibadah seharusnya tidak lebih sulit dari pada pendirian bangunan lainnnya seperti pendirian panti pijat ataupun klub malam. Karena pada hakikatnya pendirian rumah ibadah tak memiliki bahaya apapun, sebaliknya hal itu akan menjadi berkah bagi semua orang, dikarenakan kehadiran rumah ibadah meniscayakan hadirnya manusia-manusia beriman yang berakhlak mulia.47 Menurut Nella Sumika Putri, pada dasarnya pembatasan kebebasan beragama yang dilakukan oleh Pemerintah diperkenankan dan tidak melanggar HAM sepanjang berkaitan dengan forum externum (kebebasan memanifestasikan ajaran yang dipeluknya) dan dilaksanakan tanpa ada diskriminasi. Hal ini pun dengan catatan bahwa pembatasan hanya boleh didasarkan pada undang-undang. Akan tetapi, karena PBM no 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah bukan merupakan produk undang-undang dan dalam pengimplementasiannya melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan, maka dapat dikatakan PBM tersebut merupakan produk yang inkonstitusional.48 Maka dalam konteks tersebut, keberadaan regulasi yang secara komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama dan berkeyakinan semakin 47 Dawam Rahardjo, Kebebasan Beragama Bukan Karunia Pemerintah (Jakarta: Veritas Dei vol 6 Juni 2012 Tahun III), 5. 48 Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia (External Freedom) dihubungkan Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (Bandung: Jurnal Dinamika hukum Unpad, vol. 11 no. 2 Mei2011), 237. 45 mendesak diejawantahkan. Regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum bagi setiap warga negara Indonesia dalam melaksanakan haknya atas kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan di negara multi-SARA ini. Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan non-diskriminatif maka akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh kelompok-kelompok diluar institusi negara. Karena pada realitasnya, regulasi sosial lebih membatasi kebebasan beragama dibanding regulasi yang dibuat negara, disebabkan negara seringkali tunduk pada tekanan sosial dari kelompokkelompok yang mengatasnamakan mayoritas. D. Konsep Civil Society dalam Masyarakat Plural Secara analitis, konsep civil society bukanlah merupakan suatu konsep yang final dan „siap pakai‟, melainkan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah proses yang terus berkembang dan berdialog dengan zamannya. Oleh karena itu diperlukan sebuah analisa historik dalam rangka memahami dan menemukan ciri atau konsep civil society yang relevan dengan setting sosialkultural, politik dan ekonomi suatu bangsa. Dalam kajian ini, konsep civil society dipakai untuk menjelaskan sejauh mana suatu kelompok gerakan masyarakat dapat disebut sebagai bagian dari civil society. Di Indonesia, sebagai sebuah terminologi, civil society memiliki penerjemahan yang berbeda-beda. Diantara terjemahan tersebut adalah masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat kewargaan, masyarakat warga dan civil society (tanpa diterjemahkan). Dalam studi ini, penulis menggunakan 46 istilah masyarakat sipil sebagai terjemahan dari civil society untuk menggambarkan sebuah konsep atau tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai pluralisme sebagai sebuah keharusan dalam konteks keindonesiaan. Secara historis, wacana mengenai civil society (masyarakat sipil) bermula dan berkembang dalam tradisi pemikiran politik Barat dan telah melalui perjalanan sejarah sejak zaman Yunani kuno. Wacana masyarakat sipil merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis.49 Gagasan masyarakat sipil telah ada dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 di Eropa.50 Bahkan menurut beberapa sarjana, wacana masyarakat sipil telah mengemuka sejak abad ke-4 SM dalam pemikiran Aristoteles (384-322 SM), yang dipahami dengan istilah koinonia politike (masyarakat politik). Istilah ini dikemukakan Aristoteles untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya bekedudukan sama didepan hukum (ethos).51 Dalam konsep Aristoteles gagasan masyarakat sipil adalah sebuah ide tentang keadilan bagi semua warga negara untuk diperlakukan setara tanpa membedakan apapun. 49 M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 133. 50 Ibid. 51 Ethos dalam masa itu dipahami sebagai seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi diantarawarga negara. Jean L.Cohen dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge: MIT Press, 1992), 84-85. 47 Konsepsi Aristoteles ini kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) yang mula-mula menggunakan istilah dari bahasa latin societies civilies, yang secara harfiah diterjemahkan dengan civil society. Lahirnya istilah tersebut berkaitan dengan warga romawi yang hidup di kota yang telah memiliki hukum sipil (civil law) sebagai ciri masyarakat beradab berhadapan dengan warga diluar romawi yang dianggap belum beradab (barbarian). Dalam jangka waktu cukup lama, istilah tersebut menghilang dan baru muncul kembali pada pertengahan 1950-an hingga 1960-an.52 Thomas Hobes, John Locke dan JJ. Rousseau adalah orang yang menghidupkan kembali istilah civil society (masyarakat sipil) di alam modern. Hobbes, Locke dan Rousseau memahami masyarakat sipil sebagai tahapan lebih lanjut dari natural society (masyarakat alami) dengan mentautkan asal-usul negara atau masyarakat politik sebagai hasil dari kontrak sosial. Terlepas dari perbedaan gagasan diantara mereka, ketiga tokoh ini hendak menggambarkan satu bentuk masyarakat beradab sebagaimana dicita-citakan Aristoteles dan Cicero. Baik dalam pandangan Hobes, Locke maupun Rousseau belum dikenal perbedaan antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan negara.53 Dengan kata lain, mereka meyakini masyarakat sipil sebagai kebalikan dari masyarakat alami dan ketiganya masih mengidentikkan negara, masyarakat politik dan masyarakat sipil sebagai entitas yang sama, yang membedakan dengan masyarakat alami. Arief Budiman memiliki pandangan senada terkait sejarah lahirnya gagasan masyarakat sipil. Menurutnya, kehadiran konsep masyarakat sipil di 52 Rahardjo, Masyarakat Madani...137. Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, Wahana dan Aksi Ornop di Indonesia (Jakarta:LP3ES, 2006), 44. 53 48 Eropa tidak dapat dilepaskan dari munculnya konsep natural society (masyarakat alami). Ini adalah sebuah konsep tentang masyarakat dimana mereka hidup secara alamiah dan belum mengenal hukum kecuali hukum alam (hukum rimba). Untuk mengatasi hal yang memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok atau antar individu, rakyat kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada suatu badan yang disebut sebagai negara. Badan ini kemudian berkembang dan mempunyai kekuasaan yang sangat besar yang mampu mengontrol semua kehidupan masyarakat. Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan dan hukum politik yang dikenal sebagai political society (masyarakat politik).54 Perbedaan antara masyarakat sipil dan negara baru muncul pada pandangan G. W. F Hegel yang kemudian diikuti Karl Marx dan Antonio Gramsci yang me-vis-a-vis-kan masyarakat sipil dengan negara, dan tidak lagi menyamakan masyarakat sipil dengan pemerintahan sipil (negara). Ketiga tokoh ini menekankan konsep masyarakat sipil sebagai elemen ideologi kelas dominan (borjuis) yang melawan tindakan sewenang-wenang negara.55 Dengan demikian, Hegel dan pengikutnya telah mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan menambahkan domain masyarakat ekonomi yang menyatu dengan masyarakat sipil dan memisahkan domain masyarakat politik yang identik dengan negara. Pada periode berikutnya, konsep tentang masyarakat sipil dikembangkan oleh Alexis de‟ Tocqueville, sebagai reaksi atas pemikiran Hegel. Meski ia sendiri merupakan orang berkebangsaan Perancis, namun ia telah memberikan gambaran cukup komperhensif mengenai konsep masyarakat sipil dalam konteks demokrasi 54 Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia (Clayton: Center of Southheast Asian Studies Monash University, 1990), 3-4. 55 Ibid, 48-50. 49 Amerika Serikat. Pada awal pembentukannya, demokrasi di sana dijalankan melalui masyarakat sipil berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat yang concern membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi negara. Dalam konteks ini, teori masyarakat sipil dikembangkan sebagai komunitas penyeimbang kekuatan bagi negara agar tidak bertindak sewenangwenang. Tocqueville berpandangan bahwa kekuatan politik dan masyarakat sipil telah menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Masyarakat sipil dalam konteks ini digambarkannya sebagai masyarakat yang menjunjung pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik. Dengan prasyarat tersebut Tocqueville mengasumsikan warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.56 Disini, Tocqueville masih mengidentikkan domain masyarakat politik dengan negara, meski di sisi lain ia juga telah mengembangkan gagasan Gramsci dengan memisahkan atau mendikotomikan hubungan masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi.57 Berbeda dengan para pendahulunya yang memposisikan masyarakat sipil sebagai kelompok subordinatif negara. Paradigma yang diusung Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat sipil yang tidak apriori subordinatif terhadap negara. Konsep masyarakat sipil dalam pengertian ini merupakan suatu entitas yang keberadaanya mampu melampaui batas-batas kelas dan dapat menjadi kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap kecenderungan intervensionis negara. Pada saat yang sama, masyarakat sipil mampu melahirkan kekuatan kritis 56 Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Alferd A Knopf, 1994). Culla, Rekonstruksi Civil... 48 57 50 reflektif (reflective force) yang dapat mencegah atau mengurangi derajat konflik dalam masyarakat. Timbulnya konflik dalam masyarakat oleh Tocqueville disebut sebagai akibat dari proses formasi sosial modern yang mendorong terjadinya formalisme dan kekuatan birokratis.58 Bagi Tocqueville, masyarakat sipil bertanggung jawab mengontrol negara yang cenderung despotik. Karena itu, masyarakat sipil harus mencari dan menemukan perangkat yang dapat digunakan untuk membatasi kekuasaan negara, misalnya dengan pembagian kekuasaan atau pemilihan umum secara periodik. Kontrol kekuasaan tetap dipegang oleh masyarakat sipil. Interaksi asosiasiasosiasi bebas dan mandiri yang mampu mengimbangi kekuasaan negara, oleh Tocqueville disebut sebagai independent eye of civil society.59 Penjelasan tentang teori masyarakat sipil dalam paradigma Tocquevellian di atas menuju pada satu definisi bahwa masyarakat sipil merupakan suatu komunitas atau kelompok masyarakat yang memposisikan diri sebagai penyeimbang kekuatan (balancing force) agar kekuatan besar yang dimiliki oleh negara tidak menghegemoni dan memasung kebebasan masyarakat yang sejatinya adalah pemilik negara. Karakteristik yang dapat disarikan dari konsep Tocqueville dalam konteks Amerika Serikat adalah, 1) menjunjung pluralitas; 2) bersifat otonom (mandiri); 3) egaliter; 4) memiliki kapasitas politik; 5) bersikap kritis dan reflektif terhadap segala kebijakan negara. Konsep tentang masyarakat sipil kontemporer dengan kerangka pemahaman lebih luas, dikemukakan oleh Jean Louis Cohen dan Andrew Arato. 58 M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1997), 84-85.. Neera Chandoke, The State and Civil Society: Exploration in Political Theory (New Delhi: Sage Publications, 1995), 161. 59 51 Kedua ilmuwan ini mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan menyebutkan: ...a sphere of social interaction between economy and state, compose above all of the intimate sphere (especially the family), the sphere of associations (especially voluntary associations), social movements, and forms of public communications60 Dalam pengertian ini masyarakat sipil merupakan suatu ruang interaksi sosial antara ekonomi dan negara. Pemahaman terhadap ruang disini adalah suatu ruang asosiasi bersifat sukarela yang terwujud dalam gerakan-gerakan sosial dan bentuk-bentuk komunikasi publik. Selanjutnya ia menciptakan bentuk-bentuk konstitusi-diri dan memobilisasi diri serta diinstitusionalisasi dan digeneralisasi melalui hukum dan hak-hak subjektif. Menurut Cohen dan Arato masyarakat sipil adalah wilayah sosial di luar lembaga resmi yang tidak hanya mengontrol proses ekonomi, namun juga mengkritik dan mengontrol negara, sekaligus mengkritik dan memisahkan masyarakat politik sebagai domain yang tunggal. Dengan demikian masyarakat sipil mengacu pada kehidupan individu dalam organisasi yang bekerjasama membangun ikatan sosial, menggalang solidaritas kemanusiaan di atas prinsipprinsip egaliterianisme dan inklusivisme universal. Bagi Cohen dan Arato masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan juga penghasil ruang publik politis. Ruang publik politis yang dihasilkan aktoraktor masyarakat sipil dicirikan oleh pluralitas (kelompok non formal dan kelompok sukarela), publisitas (media massa dan institusi budaya), privasi (moral 60 Cohen, Civil Society...ix. 52 dan pengembangan diri) serta legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar). Sedangkan karakter dari masyarakat sipil minimal harus memiliki empat prasyarat yang harus dipenuhi yaitu otonom (autonomy); wilayah publik yang bebas (free public sphere); wacana publik (public discource); dan interaksi berdasarkan prinsip-prinsip kewarganegaraan (citizenship).61 Melalui penelusuran historik di atas, terlihat bahwa konsep masyarakat sipil sangat beragam, tidak hanya dalam terminologi tapi tentunya dalam gagasan yang berkelindan disetiap terminologi yang muncul dan berkembang seiring perkembangan sejarahnya. Dari masa Aristoteles yang memaknai masyarakat sipil sebagai satu entitas dengan negara, hingga era Cohen dan Arato yang memandang masyarakat sipil sebagai entitas yang berbeda dengan domain negara, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. Penulis akan menghadapi masalah ketika harus mengadopsi dan menerapkan konsep teori-teori Barat tanpa memperhatikan konteks sejarah serta pengalaman negeri non-Barat yang berbeda. Dalam pengelompokan pandangan masyarakat sipil, tampak bahwa masyarakat sipil menjadi prasyarat utama yang diperlukan dalam sebuah proses demokratisasi, dimana prinsip egalitarianisme dan supremasi hukum dijunjung tinggi. Ini semakin diperjelas oleh Tocqueville yang mengambil pengalaman demokrasi Amerika, bahwa tujuan masyarakat sipil adalah sebagai wadah asosiasi untuk berpartisipasi dalam mengawal, menjaga, dan mengawasi pemerintah dengan segala kebijakannya agar tidak hegemonik dan otoriter. Dengan harapan, pemerintah akan menjalankan fungsinya untuk menjamin hak 61 Ibid, 46-61 53 milik, kehidupan, pluralitas dan kebebasan para anggotanya serta tidak mendominasi masyarakat. Dalam kajian ini penulis mengidentifikasi beberapa karakteristik masyarakat sipil yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Indonesia untuk menjadi pijakan dalam merumuskan sebuah konsep masyarakat sipil yang lebih spesifik, aktual dan kontekstual dengan keindonesiaan saat ini. Identifikasi ini bermanfaat untuk menganalisa sejauh mana sebuah asosiasi, organisasi, komunitas ataupun kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bagian dari masyarakat sipil yang dapat mendorong laju demokrasi di negeri berbhineka ini. AS Hikam dengan memegang konsep Tocqueville, mendiskripsikan konsep masyarakat sipil Indonesia sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain 1) kesukarelaan (voluntary); 2) keswasembadaan (self-generating); 3) keswadayaan (self-supporting); 4) kemandirian tinggi berhadapan dengan negara; dan 5) keterkaitan dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Apabila esensi dari masyarakat sipil adalah ketundukan pada norma hukum, maka dalam konteks negara hukum pancasila, masyarakat sipil adalah masyarakat yang mengacu pada identitas, nilai-nilai serta karakteristik dalam Pancasila. Ketiga norma tersebut terkandung dalam lima sila pancasila dan nilai-nilai komunal seperti gotongroyong, kekeluargaan, toleransi dan ketuhanan. Hikam menjelaskan bahwa pada konteks ruang politik, masyarakat sipil adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material maupun 54 terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalam masyarakat sipil tersirat pentingnya ruang publik yang bebas (free public sphere) tempat dimana komunikasi yang bebas dapat dilakukan oleh warga masyarakat.62 Menurut Bahtiar Effendy, sebagai sebuah konsep masyarakat sipil memang memiliki banyak pandangan. Namun ada satu kesamaan garis besar bagaimana konsep tersebut dipahami, yakni istilah “civilitas” yang merupakan inti dari konsep tersebut. Terdapat tiga ciri pokok dari masyarakat sipil menurutnya yakni toleran terhadap perbedaan cara pandang, pembatasan kekuasaan negara dan kebebasan berekspresi dalam menentukan pilihan jalan hidup.63 Dede Rosyada berpandangan bahwa dalam merealisir wacana masyarakat sipil diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat sipil. Dalam konteks ini Dede mengidentifikasi syarat masyarakat sipil Indonesia dalam lima hal: 1) ruang publik yang bebas, 2) demokratis, 3) toleran, 4) pluralisme, 5) keadilan sosial.64 Merujuk pada definisi serta ciri-ciri yang dikemukakan oleh beberapa sarjana di atas, penulis mengidentifikasi karakeristik masyarakat sipil di negara hukum pancasila sebagai berikut: 1. Sukarela, Swasembada dan Swadaya Adanya suatu komunitas bersifat sukarela (tanpa paksaan) yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung 62 Hikam, Demokrasi dan...3 Bahtiar Effendy, Masa Depan Civil Society di Indonesia dalam “Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan” (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 162 64 Dede Rosyada...247-250 63 55 oleh kondisi kehidupan material (swasembada) dan tidak menjadi subordinasi negara dengan terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi (swadaya). 2. Otonom Sebuah komunitas gerakan masyarakat sipil harus mampu mengambil sikap yang mandiri, independen serta bebas intrvensi negara, ataupun pihak lain seperti masyarakat ekonomi maupun masyarakat politik. 3. Ruang dan wacana publik yang bebas Individu-individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi wacana pada ruang publik yang bebas tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Masyarakat berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik. 4. Demokratis Sebuah asosiasi masyarakat sipil secara ekspisit harus mensyaratkan tumbuhnya demokrasi dan memberikan kesadaran bahwa warga negara adalah pemilik negara 5. Egaliter Dalam interaksinya masyarakat sipil dapat berlaku santun dengan sekitarnya tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan. 56 6. Toleran Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat sipil untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan orang lain. 7. Pluralisme Komunitas masyarakat sipil harus berlandaskan pada penghargaan terhadap kemajemukan bangsa. Pluralisme tidak hanya dipahami dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi disertai dengan menyadari dan bersikap tulus menerima kenyataan pluralisme bernilai positif dan merupakan rahmat Yang Kuasa. 8. Keadilan sosial Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. 9. Pembatasan kekuasaan negara Tugas masyarakat sipil adalah mengontrol Negara dengan membatasi kekuasaan negara. Masyarakat dapat melakukan partisipasi dan mengkritisi kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan berinteraksi, dengan semangat toleransi. 10. Terikat dengan norma hukum Hubungan baik antara masyarakat sipil dengan negara, tidak berarti bahwa masyarakat sipil dapat merebut kekuasaan atas negara atau mendapatkan posisi dalam negara. 57 Apabila gerakan kemasyarakatan adalah pertanda kehadiran masyarakat sipil, maka kararakeristik masyarakat sipil Indonesia dalam studi ini akan menjadi indikator dan alat analisa, apakah sebuah asosiasi, organisasi, komunitas atau suatu kelompok gerakan masyarakat dapat dikatakan sebagai bagian dari masyarakat sipil, atau justru sebaliknya akan berwujud kelompok gerakan yang menghegemoni negara dan kelompok yang lain (uncivil society). 58