Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan

advertisement
Memutus Rantai
Pelanggaran Kebebasan Beragama
Oleh Zainal Abidin
Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin
maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya perangkat hukum tentang hak asasi manusia
(HAM), termasuk hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Namun, di sisi lain, masih
banyak regulasi masa lalu dan munculnya regulasi baru (yang lebih rendah) justru menghambat
implementasi jaminan bahkan terjadi pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau
berkeyakinan. Adanya kebijakan yang membatasi dan diskriminatif, kekerasan berdasarkan
latar belakang agama atau keyakinan yang terus berlangsung, dan kriminalisasi terhadap
kelompok minoritas yang dianggap “sesat” atau “menodai”, adalah sejumlah persoalan yang
terus muncul.
Negara dan aparatnya selama ini tampak tidak netral dan berpihak dalam menjamin kebebasan
warga negaranya untuk menjalakan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara masih
membedakan perlakuan terhadap penganut kepercayaan, sekte dan agama. Misalnya saja sejak
tahun 2008, terdapat situasi yang nyata-nyata mengancam kehidupan bangsa, munculnya sikap
intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, adanya pemaksaan kehendak satu
kelompok masyarakat lainnya, dan maraknya kekerasan. Situasi ini diperparah dengan
minimnya ketegasan sikap negara dalam melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap
hak-hak kelompok minoritas, khususnya dalam isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pada tahun 2010, situasi hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan semakin memburuk,
yang terlihat dari jumlah pelanggaran yang kian meningkat, dan parahnya adalah peran negara
dalam “mendukung” pelanggaran yang terjadi. Kasus-kasus yang muncul juga tidak mampu
diselesaikan secara memadai oleh pengadilan, termasuk kasus-kasus baru yang mulai
mengarah ke penyerangan fisik1. Hingga kini, persoalan-persoalan yang muncul juga tidak jauh
berbeda, diantaranya permasalahan perundang-undangan, permasalah penegakan hukum, dan
permasalah peran warga negara dan pemahaman tentang negara bangsa (nation-state). Eksisnya
regulasi-regulasi masa lalu dan munculnya regulasi baru yang diskriminatif memunculkan
pelanggaran serius terhadap kelompok- kelompok tertentu, pun ketika terjadi kekerasan
terhadap kelompok minoritas, negara seolah tidak ada dan seolah ada politik pembiaran oleh
negara.
Problem regulasi menjadi salah satu sorotan yang mengemuka dalam problem-problem tesebut,
selain munculnya regulasi yang mendiskriminasi, penegakan hukum yang diskriminatif,
ternyata masih banyak regulasi yang tidak sejalan dengan jaminan kebebasan beragama atau
berkeyakinan berdasarkan norma-norma HAM internasional. Padahal, pada 2005, Indonesia
telah meratifikasi The International Covenant on Civil and Political Rights, yang seharusnya
Indonesia berkewajiban untuk menyelaraskan segala bentuk regulasi agar sejalan dengan
Kovenan tersebut.
Jaminan Berdasarkan Norma Internasional
Kebebasan beragama merupakan salah satu bagian penting dari hak asasi manusia. Berbagai
instrumen hak asasi manusia internasional telah menegaskan tentang jaminan kebebasan
beragama atau berkeyakinan. Pasal 18 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) memberikan landasan hak bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. Lebih rinci, Pasal 18 Konvenan Internasional
Hak Sipil dan Politik.
Pasal tersebut terdiri dari 4 pokok; pertama, setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan beragama yang mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Kedua, tidak
seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan
agama atau keper- cayaannya sesuai dengan pilihannya. Ketiga, kebebasan menjalankan dan
menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan
berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan,
atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Keempat, negara
pihak berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang
sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai
dengan keyakinan mereka sendiri.
Dalam ICCPR, juga memberikan landasan prinsip-prinsip non diskriminasi dalam
pelaksanaan hak- hak yang diatur dalam Kovenan, yakni setiap negara menghormati dan
menjamin hak-hak bagi semua orang tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal- usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya4. Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak
atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun, hukum harus melarang
diskriminasi apapun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang
terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status
lain5. Terhadap kelompok minoritas, di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas
berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok
minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat, bersama-sama anggota
kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan
mengamalkan agamanya sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri”.
Berdasarkan Pasal 18 ICCPR, negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap agamaagama yang “tidak resmi” atau “agama baru” atau kepercayaan kelompok masyarakat. Negara
harus melindungi semua agama dari diskriminasi dan menghormati hak-hak minoritas
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ICCPR7. Perlindungan berdasarkan Pasal 27
ICCPR, menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dan upaya positif
agar individu sebagai anggota kelompok minoritas dapat menikmati hak- haknya, termasuk
memberikan perhatian untuk pelibatan kelompok dalam penyusunan peraturan perundangundangan yang mempunyai efek atau dampak langsung maupun tidak langsung terhadap
komunitas.
Ketentuan lainnya y ang memberikan penjelasan tentang hak atas kebebasan beragama atau
berkeyakinan terdapat dalam Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi berdasarkan Agama atau Keyakinan (Declaration on the Elimination of All Forms
of Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief)9. Deklarasi ini menjelaskan
prinsip- prinsip tentang nondiskriminasi, persamaan di muka hukum dan hak atas kebebasan
kebasan berfikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan. Termasuk dalam deklarasi ini
adalah semua negara wajib mencegah dan menghapus diskriminasi berdasarkan alasan-alasan
agama atau kepercayaan, melakukan semua tindakan untuk membuat atau mencabut
perundang-undangan untuk melarang diskriminasi apapun dan mengambil semua tindakan yang
tepat untuk memerangi intoleransi berdasarkan alasan-alasan agama atau kepercayaan.
Konteks Indonesia : Perlindungan dan Pembatasan
Dalam hukum nasional, sebagaimana disebutkan di atas, hak atas kebebasan beragama telah
pula diatur dalam berbagai instrumen hukum di Indonesia. Dalam Konstitusi, UUD 1945,
menjamin hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan11, hak atas perlindungan dari
tindakan diskriminatif12 dan persamaan di depan hukum13. Pasal 28I UUD 1945 menyatakan
bahwa hak beragama, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun.
Dalam UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 menyebut bahwa hak beragama,
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu, dan Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Jaminan hak asasi manusia di Indonesia, mendapatkan landasan yang lebih kuat ketika tahun
2005, muncul UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil Politik. Dalam konteks perlindungan hak atas kebebasan beragama atau
berkeyakinan, Ratifikasi Kovenan ini berimplikasi bahwa negara harus melindungi kebebasan
beragama atau berkeyakinan, tanpa diskriminasi, termasuk kepada hak-hak minoritas, dan
mewajibkan kepada negara untuk melakukan segala upaya perlindungan baik jaminan hukum
atau kebijakan yang sesuai dengan Kovenan, setiap negara pihak dalam Kovenan ini berjanji
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusinya dan
dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini, untuk menetapkan ketentuan perundangundangan atau kebijakan lain yang diperlukan untuk
memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan.
Kewajiban untuk menyesuaikan pengaturan hak-hak berdasarkan Kovenan ini “terkendala”
dengan sejumlah “pembatasan” yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan pembatasan
sebagaimana yang diperbolehkan berdasarkan Kovenan. Pembatasan ini misalnya terlihat dalam
Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, yang diantaranya memasukkan “nilai-nilai agama” sebagai
bagian dari pembatasan tersebut. Padahal rumusan tentang pembatasan ini sebelumnya telah
dinyatakan dengan lebih baik dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, karena lebih
sesuai dengan Kovenan .
Soal pembatasan inilah yang kemudian memunculkan soal HAM bersifat "non derogable”
yang ada di UUD 1945, misalnya adanya argumen apakah pasal 28 I bisa dibatasi oleh Pasal 28
J ayat (2). MK sendiri tidak berhasil meluruskan polemik tentang pembatasan hak yang bersifat
non derogable ini. Dalam sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sikap para hakim
MK terlihat tidak konsisten mengenai pembatasan HAM.
Ketidakjelasan dan kekeliruan memaknai pembatasan inilah yang sering “dimanfaatkan”
untuk mempertahankan dan memproduksi regulasi yang melanggar hak atas kebebasan
beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Lihat misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB)
tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus JAI dan Warga
Masyarakat18.
Pemerintah menyebutkan dalam penerbitan SKB tersebut tidak melanggar HAM karena telah
merujuk berbagai peraturan perundang- undangan19. Preseden ini kemudian diikuti oleh
sejumlah wilayah yang menerbitkan perda-perda dengan karakter yang sama. Bahkan UU No.
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang melanggar
hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, justru tetap dipertahankan oleh MK.
Sementara itu, saat ini juga masih banyak bertebaran sejumlah regulasi sektoral yang melanggar
hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan20.
Memutus Pelanggaran
Merujuk pada sejumlah masalah dalam perundang- undangan dan praktek pelanggaran hak atas
kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, memutus rantai pelanggaran dapat
dimulai dengan melakukan reformasi perundang-undangan baik berupa pencabutan, perubahan
maupun pembentukan regulasi baru yang lebih menjamin hak atas kebebasan beragama atau
berkeyakinan. Upaya ini haruslah diletakkan dalam konteks kewajiban negara untuk
menghormati, menjamin, melindungi hak-hak asasi warga negara.
Otoritas
negara
diwajibkan
memenuhi kewajibannya di bawah berbagai kovenan
internasional yang diratifikasi dan diwajibkan memajukan dan melindungi HAM sebagaimana
tertuang dalam UU HAM . Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengaturan
berdasarkan standar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip yang dibenarkan dalam standar hak
asasi manusia. Setidaknya prinsip-prinsip tersebut diantaranya mencakup kesetaraan dan non
diskriminasi, perlindungan kepada kelompok minoritas,
langkah-langkah affirmatif action demi kesetaraan dalam pemenuhan hak asasi manusia, dan
pemulihan kepada korban pelanggaran.Merujuk pada Declaration on the Elimination of All
Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion or Belief, regulasi yang
dibentuk
harus dilakukan untuk maksud menghapuskan segala bentuk intoleransi dan
diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan. Dalam hal ini, negara harus melakukan semua
tindakan untuk membuat atau mencabut perundang-undangan untuk melarang diskriminasi
apapun dan mengambil semua tindakan yang tepat untuk memerangi intoleransi berdasarkan
alasan- alasan agama atau kepercayaan.
Upaya-upaya dalam konteks perbaikan regulasi ini, harus kemudian ditindaklanjuti dengan
penegakan hukum yang adil dan konsisten, dengan menghukum para pelaku pelanggaran
dengan hukuman yang sesuai, termasuk aparat negara yang terlibat dalam pelanggaran baik
langsung maupun tidak langsung. Tindakan lainnya berupa peningkatan pemahaman hak asasi
manusia terhadap seluruh aparat negara, termasuk aparat kemananan dan aparat penegak
hukum. Langkah ini dapat dilakukan dengan pendidikan hak asasi manusia secara terus
menerus dan berkelanjutan dan akan berdampak pada perlindungan hak-hak warga negara
khususnya dalam menjamin hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Download