Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Peta Politik Demokratisasi Indonesia* AE Priyono Peneliti Senior Demos Tulisan ini akan mengulas isu kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam konteks problematik demokratisasi Indonesia. Secara spesifik, isu kebebasan beragama dan berkeyakinan akan ditinjau dalam hubungannya dengan empat aspek. Pertama dalam kaitannya dengan situasi kebebasan sipil pada umumnya, yang menurut riset Demos sedang mengalami kemerosotan selama tiga tahun terakhir ini. Kedua, dalam kaitannya dengan kerangka umum hubungan negara dan agama sebagaimana berlaku selama ini, serta realisasi kongkretnya menyangkut isu Ahmadiyah belakangan ini. Ketiga, bagaimana isu kebebasan beragama dan berkeyakinan diperlakukan oleh institusi-­‐institusi sosial, seperti pers. Dan keempat, bagaimana perjuangan kebebasan beragama dan berkeyakinan berkorelasi dengan pemajuan demokrasi. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Konteks Merosotnya Kebebasan Sipil Ada beberapa topik yang relevan untuk melihat hubungan antara kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam konteks merosotnya kebebasan sipil di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini. Apakah kebebasan beragama dan berkeyakinan dewasa ini sungguh-­‐sungguh berada di bawah ancaman? Jika memang terancam, segenting apakah situasinya? Siapakah para pengancam potensial kebebasan beragama dan berkeyakinan? Negara? Modal? Atau gerakan Radikalisme? ___________________ * Dipresentasikan untuk Diskusi tentang “Kebebasan Beragama dalam Bingkai Media,” PSIK, Universitas Paramadina, Kamis, 15 Mei 2008 Indeks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, serta Instrumen Pencegahan Penyalahgunaan Agama 1 Indeks 2004 Indeks 2007 74 66 60 38 44 0 Kebebasan beragama dan berkeyakinan Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol dan doktrin agama Secara umum situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan – serta hak menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan – sesungguhnya masih berada di atas batas standar situasi kebebasan sipil. Meskipun riset Demos memperlihatkan terjadinya penurunan indeks dari 74 (2004) menjadi 66 (2007), namun indeksnya untuk 2007 masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks instrumen-­‐instrumen hak dasar lainnya – seperti kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi (60), kebebasan mendirikan serikat buruh (51), atau hak memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan pokok (45), bahkan kebebasan mendirikan partai (40). Persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tampaknya jauh lebih problematik dalam aspeknya yang lain, yakni menyangkut instrumen pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol, dan doktrin agama. Meskipun indeksnya mengalami kenaikan dari 38 (2004) menjadi 44 (2007), kenaikan ini tidak cukup signifikan, dan masih tetap berada di bawah standar. 2 Situasi Umum (2007) menyangkut Regulasi Negara dan Konvensi Sosial mengenai Kebebasan Beragama dan Instrumen Pencegahan Penyalahgunaan Agama Kebebasan beragama dan berkeyakinan Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol dan doktrin agama 87% 79% 77% 76% 69% 60 67% 61% 52% 61% 60% 54% 50% 49% 42% 0 Eksistensi Kinerja Cakupan Substansi Kinerja Regulasi Formal Cakupan Substansi Konvensi Informal Indeks Kesetaraan, Civic Education Indeks 2004 Indeks 2007 59 60 37 18 44 42 32 0 Kesetaraan w arganegara Kesetaraan di hadapan hukum Pendidikan dasar, termasuk civic education Data riset kami (2007) memperlihatkan bahwa, baik menyangkut regulasi kenegaraan maupun konvensi kemasyarakatan, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan sesungguhnya dinilai cukup positif. 3 Namun tidak demikian halnya berkenaan dengan penilaian mengenai instrumen-­‐instrumen pencegahan penyalahgunaan agama. Aspek lain yang juga penting diperhatikan adalah masih belum memadainya pendidikan kewarganegaraan, sesuatu yang mungkin berkorelasi dengan masih buruknya pelaksanaan prinsip kesetaraan dalam kehidupan sosial sehari-­‐hari. Indeks Kebebasan Sipil dan Partisipasi Sipil Indeks 2004 Indeks 2007 74 62 60 54 60 47 46 38 28 0 Kebebasan dari kekerasan fisik Kebebasan berbicara, Akses dan partisipasi y ang Partisipasi w arganegara dalam dan rasa takut terhadapny a berkumpul dan berorganisasi luas dari semua kelompok organisasi-organisasi sosial terhadap kegiatan publik independen Benar bahwa meski situasinya memburuk dibandingkan 2004, instrumen kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi masih cukup lumayan, dengan indeks standar (60), pada 2007. Tetapi dalam situasi ketika instrumen kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut atasnya masih sangat rendah indeksnya (47), maka kebebasan berbicara, berkumpul dan berserikat, justru bisa mendatangkan bahaya. Bahaya itu berasal dari dua jurusan. Pertama dalam bentuk ancaman kekerasan dari kelompok-­‐kelompok radikal intra-­‐Islam; dan kedua dari situasi tanpa perlindungan dari aparat kepolisian. Bahaya pertama berkorelasi dengan keputusan MUI yang menetapkan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat. Bahaya kedua berkorelasi dengan sikap pengecut pemerintah terhadap ancaman kelompok-­‐kelompok radikal. Dengan dalih yang subjektif, partikularistik, dan eksklusioner oleh kelompok-­‐kelompok Islam garis keras yang didukung MUI, kita menyaksikan bahwa hak-­‐hak sipil Ahmadiyah sebagai warganegara telah dipasung. 4 Situasi ini jelas akan membuat instrumen-­‐instrumen partisipasi sipil yang indeksnya sudah merosot sejak 2004 akan semakin merosot lagi. Ketegangan antara Negara dan Agama Bagaimana hubungan antara agama dan negara? Bagaimanakah situasi hubungan antar-­‐ agama dan intra-­‐agama? Bagaimana sikap Negara terhadap Radikalisme Islam? Indeks Independensi dan Kapasitas Pemerintah (untuk Menolak Kelompok-­‐kelompok Kepentingan Agama) Indeks 2004 Indeks 2007 60 43 39 20 18 0 Independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat Kapasitas pemerintah untuk memberantas kelompok-kelompok preman, paramiliter, dan organised crime Dibandingkan dengan situasi 2004, selama beberapa tahun terakhir ini instrumen-­‐instrumen pemerintahan demokratik di Indonesia sebenarnya telah memperlihatkan kemajuan kinerja. Beberapa jenis instrumen memperlihatkan kenaikan indeks, antara lain dalam hal dukungan terhadap hukum internasional mengenai HAM (27 ke 46), transparansi dan akuntabilitas pemerintahan (23 ke 43), kepatuhan pejabat publik terhadap rule of law (16 ke 45), dan program pemberantasan korupsi (18 ke 43). Benar pula bahwa sejauh ini indeks independensi dan kapasitas pemerintah untuk melawan tekanan kelompok-­‐kelompok kepentingan yang kuat, termasuk kelompok-­‐kelompok preman dan organised crime, makin menguat. Tetapi kasus Ahmadiyah menjadi ujian yang serius dalam hal independensi pemerintah (juga parlemen) terhadap desakan kelompok-­‐kelompok radikal agama, yang terus berusaha menyeret negara untuk terlibat dalam urusan keyakinan warga negaranya. 5 Kasus Ahmadiyah juga memperlihatkan bahwa salah satu masalah krusial demokrasi di Indonesia adalah belum tuntasnya definisi menyangkut hubungan antara negara dan agama. Khususnya lebih krusial lagi menyangkut penataan kelembagaan mengenai peranan agama di dalam negara, serta peranan negara dalam mengatur urusan-­‐urusan agama. Jika prinsip penataan hubungan antara negara dan agama belum juga bisa menjadi clear secara konstitusional, maka akan tetap muncul komplikasi menyangkut politik negara terhadap agama, begitu pula politik agama terhadap negara. Ada dua implikasi serius dari situasi tersebut: (1) agama akan mengalami ketegangan permanen dengan negara; (2) “Islam-­‐negara” akan mendominasi “Islam-­‐sipil” Dua situasi itu juga potensial akan merusak hubungan antara agama-­‐agama Negara Retak? Dalam kapasitas sebagai staf penasihat Presiden, Adnan Buyung Nasution mengusir “preman-­‐ preman berjubah” yang berusaha menerobos masuk ke istana negara. Ketua FPI, Habib Rizieq, marah besar terhadap sikap dan tindakan yang dilakukan Buyung. Dalam sms yang tersebar luas secara publik Rizieq mengatakan: “cukup FPI yang akan menghadapi Buyung dan gerombolannya.” Tetapi sebelumnya ada pernyataan SBY yang mengindikasikan bahwa pemerintah akan seiring sejalan dengan keputusan MUI. Belakangan muncul pula pernyataan Anas Urbaningrum – salah satu staf ketua Partai Demokrat, partainya SBY – bahwa lebih baik Ahmadiyah memang harus keluar dari Islam dan menjadi agama tersendiri. Di pihak lain, tiba-­‐tiba Ketua DPR, Agung Laksono, mengatakan bahwa SKB Tiga Menteri akan menjadi solusi final terbaik, dan menjamin situasinya akan aman-­‐aman saja. Peristiwa-­‐peristiwa ini menandakan bahwa negara sama sekali tidak punya visi yang jelas mengenai kasus Ahmadiyah. Yang terlihat secara publik adalah bahwa aktor-­‐aktor negara justru saling bersengketa mengenai isu Islam radikal. Kebebasan Pers mengenai Ketidakbebasan Beragama Bagaimanakah sikap pers terhadap situasi yang menimpa Ahmadiyah? Apakah media memiliki cukup kapasitas untuk menampilkan keragaman ekspresi keagamaan? Bagaimana prinsip pluralisme dipraktekkan oleh pers? Apakah publik memiliki cukup akses terhadap keragaman pandangan mengenai Islam? 6 Indeks Kebebasan Pers, dan Kemampuan Media untuk Menyajikan Keragaman Indeks 2004 Indeks 2007 60 59 57 60 47 0 Kebebasan pers, ekspresi seni, dan kebebasan Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam akademis media, dan kemampuan media merefleksikan keragaman pandangan publik Benar bahwa situasi umum kebebasan pers sudah cukup baik, dalam kisaran indeks yang standar, baik pada 2004 maupun pada 2007. Tetapi menyangkut akses publik terhadap pandangan yang berbeda-­‐beda sebagaimana yang lazimnya disalurkan media, begitu juga kemampuan media untuk mewakili keragaman pandangan publik mengenai berbagai isu, masih berada di bawah standar, dengan indeks yang merosot dari 57 (2004) menjadi 47 (2007). Berita mengenai kekerasan yang menimpa warga Ahmadiyah cukup luas diliput oleh media. Tetapi tampak sekali beberapa perusahaan media membatasi diri dalam ulasan mereka mengenai kontroversi teologis di belakangnya. Secara umum sikap media memang cenderung konservatif mengenai isu-­‐isu agama. Kita masih ingat bagaimana SCTV begitu ketakutan terhadap protes kelompok Islam garis keras yang menentang iklan mengenai “Islam warna-­‐warni” oleh JIL beberapa tahun lalu. Perjuangan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Apakah kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan struggle in itself atau struggle for itself? Bagaimana relasi antara kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan agenda pemajuan demokrasi? Kebebasan beragama dan berkeyakinan masih sering ditafsirkan secara minimal sebagai kebebasan menjalankan ibadah dan memeluk suatu keyakinan keagamaan. Pembelaan atasnya juga cenderung terbatas pada perlindungan politico-­‐legal terhadap hak sipil beragama dan berkeyakinan itu. Gagasan bahwa di belakang religious freedom pada dasarnya juga adalah liberty of soul masih belum banyak dikembangkan. Dengan liberty of soul, keyakinan yang bersifat meta-­‐agama sebenarnya juga mendapat tempat untuk dilindungi dan dikembangkan. 7 Tetapi dalam situasi ketika agama-­‐agama mengalami konservatisasi, kehilangan kekuatan transformatifnya, serta kehilangan pula elan-­‐profetiknya, maka belum tentu kebebasan beragama dan berkeyakinan bersifat produktif bagi demokratisasi. Dalam situasi seperti itu agama justru bisa menjadi elemen anti demokratik, kekuatan mudah bersekutu dengan kekuatan-­‐kekuatan konservatif lainnya. Agama selalu memerlukan interpretasi ulang menyangkut peranannya dalam kehidupan publik, untuk membongkar struktur-­‐struktur ketidakadilan, dan mendorong perubahan ke arah keadaban, liberasi, solidaritas, humanisme, dan transendesi. Perlindungan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan semestinya juga menyentuh wilayah ini, agar agama bisa berperan kembali secara otentik sebagai kekuatan transformatif. Refleksi Dibandingkan dengan instrumen-­‐instrumen kebebasan dasar lainnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan relatif telah berfungsi dengan lumayan bagus. Tetapi ada situasi di mana indeks kebebasan beragama dan berkayakinan sesungguhnya mengalami kemerosotan sejak 2004, dari 74, menjadi 66 pada 2007. Dengan menyeruaknya kasus penyesatan dan tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah pada tahun 2008 ini, situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan tampaknya akan segera memasuki tahap baru, karena gejala tersebut menandakan naiknya kampanye radikal oleh beberapa kelompok Islam, dengan dukungan MUI dan Bakor Pakem bentukan Kejaksaan Agung, agar negara terlibat dalam urusan keyakinan warganegaranya. Penataan kelembagaan mengenai hubungan Negara dan Agama masih merupakan masalah serius dalam demokrasi Indonesia. Aktor-­‐aktor negara, termasuk di kalangan pemerintahan dan parlemen, tidak memiliki visi yang jelas mengenai politik negara terhadap agama. Situasi ini juga akan menyebabkan munculnya arus baru yang berbahaya dalam politik agama terhadap negara, khususnya dari kalangan kelompok-­‐kelompok Islam garis keras. Jika tuntutan mereka diberi angin, kemungkinan besar wacana Islam politik di Indonesia akan sangat didominasi oleh “Islam-­‐negara” yang akan menyebabkan peranan “Islam-­‐sipil” menjadi terancam. Secara umum, agama memang sedang mengalami konservatisasi. Dalam situasi seperti itu, kebebasan beragama dan berkaykinan yang cenderung ditafsirkan secara terbatas sebagai kebebasan ritual dan memiliki keyakinan dogmatis yang eksklusioner, tidak cukup bermanafaat untuk demokratisasi. Agama memerlukan pembaruan tafsir yang terus menerus untuk menjalankan kembali misi profetiknya dalam situasi yang terus berubah. Kebebasan beragama dan berkeyakinan harus juga mencakup wilayah kebebasan jenis ini. 8