Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh : Selly Putri Utami 208083000008 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M i PERNYATAAN BEBAS PLAG1ARISME Skripsi yang berjudul : Upaya Perserilcatan Bangsa-l3angsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012 1. Skripsi ini merupakan hasil karya ash saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan merdperoleh gelar Strata 1 di • Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif 1iidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 0 Jakarta,, 06,. ,Juli 2015 ncl _• ..T.:-T_E_±Red 41) .: '11Ti----L EL.' r ;1 • 1 '7711 * Sell y PüfUtarni ' 4 PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI Dengan Jai, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa : Nama : Selly Putri Utami MM : 208083000008 Program Studi : Ihnu flubungan Intemasional Telah selesai penulisan skripsi dengan judul : Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Bemgarna dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012 Telah memenuhi syarat untuk diuji. Jakarta, 06 Juli 2015 Mengetahui, Menyetujui, Ketua Program Studi Pembimbing Debby Affianty, MA M. Adian Firnas, M.Si PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SICRIPSI Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012 Oleh Selly Putri Utami 208083000008 Telah dipertahankan da1am sidang ujian sluipsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Neeeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Studi Hubungan Intemasional. Ketua, Badrus Sholeh, MA Penguji I / y.Z/6"fiLt Penguji II / - Aivub Mochsin, MA Debbie Affiantv, 1N1A Diterima dan dinyatakan syarat kelulusan pada tanggal 6 Juli 2015 Ketua Program Studi FIS1P ULN Jakarta Debbie Afflantv, MA iv ABSTRAKSI Skripsi ini menganalisa bagaimana Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia karena kondisi kebebasan beragam/berkeyakinan di Indonesia masih memperihatinkan. Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tindak diskriminasi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan menimpa kelompok Ahmadiyah, seperti peristiwa Cikeusik Banten; komunitas Syiah, seperti peristiwa penyerangan warga Syiah Sampang yang mengkriminalisasi Tajul Muluk; umat Kristiani, seperti Penyegelan GKI Yasmin Bogor, HKBP Filadelfia Bekasi, dan 17 Gereja di Singkil Aceh; penyerangan diskusi Irshad Manji di LkiS; penggagalan konser Lady Gaga; Penganut Baha’i; Jemaah Salafi di NTB; umat islam di Bali; dan juga umat Budha di Medan. Indonesia merupakan negara anggota PBB yang juga meratifikasi norma-norma HAM PBB. Akan tetapi masih muncul pelanggaran HAM, khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada tahun 2012, merujuk data Setara Institute, sekitar tahun 2012, tercatat 371 tindakan dalam 264 peristiwa pelanggaran atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Di sisi lain PBB mempunyai kepentingan untuk melindungi dan mempromosikan HAM di Indonesia. Keyword : PBB, Indonesia, Berkeyakinan, Hak Asasi Manusia, ii Kebebasan Beragama dan KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2012”. Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sosial Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini juga dikerjakan dengan tekun dan penuh keseriusan, dan dibantu pula oleh dosen pembimbing untuk mengkoreksi skripsi ini. Untuk itu penulis berterima kasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada : 1. Yang tercinta orang tua penulis, Ibunda Kanah dan Bpk Marsan, beserta kakak penulis, Santi dan Sanaz, dan adik penulis Andika yang selalu mendoakan dan mendukung kerjakeras penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan doa kalian sehinga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Bpk. Fuad Fanani, MA sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis, yang telah memberikan arahan, saran, dan ilmunya yang sangat membantu hingga penulisan skripsi ini selesai dengan baik. 3. Ketua Jurusan Program Studi ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Debbie Affanty, M.Si dan Dosen Pembimbing Akademik Penulis, Bpk Agus Nilmada. iii 4. Muhammad Rizki Hasanuddin sebagai teman seperjuangan penulis, terima kasih atas semangat dan motivasi yang diberikan kepada penulis. 5. Teman-teman sekelas penulis, Al-Furqan Aditya, Fachri Tri Utama, Ari Suprianto, Vicky Fabiansyah, Ananda Afnan Raihan, Imam Noviar, Aditya Pradipta, Rizki Mauliadi, Bintang Agassi, Roy Arisman, Wahyu Tri Nugroho Ningsih, Nur dan teman-teman sekelas yang lain. Terima kasih atas persahabatan ini dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Terimakasih banyak, semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan yang ada. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia akademis sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang studi Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta, 06 Juli 2015 Selly Putri Utami iv C. Prosedur Khusus PBB dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ................................................................................ 46 BAB IV. Upaya PBB dalam Menangani Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012................................ 49 A. Peran PBB dalam menangani Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan..........................................................................50 B. Alasan PBB Mengeluarkan Rekomendasi terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.................................................................................54 C. Respon indoensia terhadap Rekomendasi Mekanisme PBB.......................................................................................56 BAB V. PENUTUP..........................................................................................58 A. Kesimpulan......................................................................................58 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................62 DAFTAR SINGKATAN................................................................................72 LAMPIRAN ...................................................................................................73 vi DAFTAR ISI PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME..........................................................ii PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI......................................................iii ABSTRAKSI..........................................................................................................iv KATA PENGANTAR........................................................................................... v DAFTAR ISI..........................................................................................................vi BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................... 1 A. Pernyataan Masalah...............................................................................1 B. Pertanyaan Penelitian............................................................................ 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................... . 6 D. Tinjauan Pustaka....................................................................................7 E. Kerangka Teori................................................................................... . 8 F. Metode Penelitian............................................................................... .13 G. Sistematika Penulisan.......................................................................... 13 BAB II. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.......15 A. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia............................................15 B. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.............................................. 24 C. Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan....................... 27 D. Perhatian Internasional .......................................................................28 BAB III. Mekanisme HAM PBB...................................................................... 31 A. Sekilas tentang PBB......................................................................... . 31 B. Mekanisme HAM PBB ..................................................................... 35 B.1 Mekanisme Berdasarkan Piagam (The Charter Based Mechanism)........................................................................................35 B.1.1 Dewan HAM PBB.............................................................37 B.2 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (The Treaty Based Mechanism) .....................................................................................42 v BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis, suku, ras, dan agama. Adapun agama yang diakui oleh negara adalah Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Islam merupakan agama mayoritas. Ada sekitar 90 persen Muslim dari seluruh penduduk di berbagai suku. Di dalam Pancasila dan Konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, warga negara indonesia (WNI) berhak untuk beragama dan berkeyakinan sesuai dengan pilihannya masing-masing. Sehingga kerukunan umat beragama menjadi sebuah komitmen dari negara untuk selalu dijaga. Hal ini terbukti dengan Pemerintah membuat sebuah lembaga Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di setiap daerah. Pasca kemerdekaan 1945, Indonesia mengintegrasikan diri ke dalam komunitas internasional menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tindakan menjadi anggota PBB ini memperlihatkan Indonesia bermaksud merefleksikan pengakuan atas nilai-nilai universal yang telah dirumuskan. Ini dibuktikan oleh Pemerintah Indonesia dengan melakukan ratifikasi berbagai ketentuan internasioanl.1 1 HRWG dan KOMNAS HAM, Laporan Pemantauan Pelaksanaan Rekomendasi Komite oleh Pemerintah RI: CAT, CEDAW, CERD, CRC (Jakarta: HRWG, 2011), vii. 1 Sesuai dengan komitmen Indonesia atas kerukunan umat beragama, Indonesia meratifikasi sebagian besar kovenan maupun konvensi internasional Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, salah satunya yaitu: International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Convention on the Elimination of All Forms of Rascial Discrimination (CERD) dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT). Dengan telah meratifikasi instrumen HAM tersebut, maka Indonesia, sebagai negara pihak, mengemban tanggungjawab melaksanakan dan melaporkan terkait pelaksanaan kovenan/konvensi yang terdiri dari laporan pertama dan berkala.2 Pasca era perang dingin, tahun 1990an, konsep keamanan tidak hanya bicara keamanan negara akan tetapi lebih pada konsep keamanan yang lebih luas yakni keamanan manusia (Human Security), mencakup keamanan pangan, kesehatan, komunitas, politik, personal, dst. Sementara itu, di Indonesia baru sejak tahun 1999, pasca runtuhnya pemerintahan Orde Baru, konsep Human security mulai dikenal dan diimplementasikan lewat komitmen pemerintah dalam menjamin demokrasi dan HAM setiap warga negara. Terbukti dengan adanya upaya pemerintah meratifikasi norma-norma HAM PBB dan amandemen kedua memasukkan nilai HAM dalam konsitusi. Dengan adanya tindakan tersebut, Indonesia secara legal telah menjamin hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan 2 Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 85 2 politik warga negara, termasuk didalamnya perlindungan pemerintah terhadap kebebasan berkeyakinan dan beragama.3 Namun, kondisi dilapangan terkait dinamika kebebasan beragam/berkeyakinan di Indonesia masih tergolong memperihatinkan. Pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tindak diskriminasi dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan menimpa kelompok Ahmadiyah, seperti peristiwa Cikeusik Banten; komunitas Syiah, seperti peristiwa penyerangan warga Syiah Sampang yang mengkriminalisasi Tajul Muluk; umat Kristiani, seperti Penyegelan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin Bogor, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi, dan 17 Gereja di Singkil Aceh; penyerangan diskusi Irshad Manji di LkiS; penggagalan konser Lady Gaga; Penganut Baha’i; Jemaah Salafi di Nusa Tenggara Barat (NTB); umat islam di Bali; dan juga umat Budha di Medan.4 Setara Institute mencatat di tahun 2007-2012, tahun 2007 terdapat 185 jenis tindakan dalam 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakninan; tahun 2008 terdapat 367 tindakan dalam 265 peristiwa; tahun 2009 terdapat 291 tindakan dalam 200 peristiwa5; tahun 2010 tercatat 286 3 Amdy Hamdani. 2009. “Wacana HAM dan Sektor Keamanan Kontemporer” h. 9-13 di Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia, diedit Mufti Makarim, dkk. Jakarta: IDSPSHRWG-DCAF-Komnas HAM 4 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Politik Diskriminasi Rezim Susilo Bambang Yudhoyono: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011 (Jakarta: Setara Institute, 2011), 33 5 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabdetabek dan Jawa Barat: Wajah Para Pembela Islam (Jakarta: Setara Institute, 2010), 1 3 tindakan dalam 216 peristiwa6; tahun 2011 tercatat 299 tindakan dalam 244 peristiwa7; tahun 2012 tercatat 371 tindakan dalam 264 peristiwa8. Di bidang regulasi, masih banyak aturan-aturan yang berseberangan dengan prinsip kebebasan beragama. Aturan berupa undang-undang, peraturan pemerintah, perda, keputusan daerah, surat kepala daerah, atau peraturan di bawahnya. Misal UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencengahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 tentang Ahmadiyah.9 Sementara itu, PBB mempunyai kepentingan melindungi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara-negara Association Southeast of Asia Nation (ASEAN). Karena, mayoritas negara-negara ASEAN telah meratifikasi ICCPR dan kovenan lainnya secara otomatis tunduk pada aturan dan mengikat secara hukum. Berikut ini tabel negara-negara anggota ASEAN yang meratifikasi isntrumen HAM PBB; States ICCPR ICESCR CERD CAT CEDAW CRC CRMW CRPD Brunei D. Cambodia V V V V 6 V V V V V Ismail Hasani (ed), Dokumen Kebijakan: Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan (Jakarta: Setara Institute, 2011), 1 7 Ismail, SBY, 21 8 Halili, dkk., Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa (Jakarta: Setara Institute, 2012), 31 9 Alamsyah, Asia Tenggara, 34-35 4 Indonesia V V V V V V V Laos V V V V V V V Malaysia V V V Myanmar V V V V V V V V V V V Philipines V V V Singapore Thailand V V V Vietnam V V V V V V V Diagram Instrumen HAM Internasional yang diratifikasi negara anggota ASEAN.10 Selain itu PBB juga mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi dan hasil kesimpulan pemantauan komite PBB terhadap negara-negara ASEAN, salah satunya adalah rekomendasi khusus untuk Indonesia. Hasil rekomendasi sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB yang dirilis pada 25 Mei 2012 diikuti 74 negara (27 negara anggota Dewan HAM PBB dan 47 negara peninjau) meluncurkan rekomendasi penting yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dalam empat tahun terakhir atas keprihatinan terhadap kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Yakni, khusus menyinggung kebebasan beragama dan berkeyakinan tentang jaminan pelaksanaan kebebasan beragama 10 David Cohen, Rule of Law for Human Rights in the Asean Region: A Base-Line Study, (Depok: Human Rights Resource Centre, 2011), h. 26-27 5 dan berkeyakinan termasuk mengkhususkan pada kelompok seperti Ahmadiyah, Bahai, Syiah, dan Kristen. Dalam konteks ini Indonesia adalah salah satu dari beberapa negara yang demokratis dan menghormati HAM, dengan meratifikasi norma-norma HAM PBB. Akan tetapi banyak muncul pelanggaran HAM, khususnya hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Peristiwa ini mencapai puncaknya di Indonesia, merujuk data Setara Institute, sekitar tahun 2012, tercatat 371 tindakan dalam 264 peristiwa pelanggaran atas kebebasan berkeyakinan dan beragama. Di sisi lain PBB mempunyai kepentingan untuk memenuhi dan melindungi HAM di Indonesia. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pernyataan masalah tersebut maka dapat ditarik sebuah pertanyaan penelitian yaitu: Bagaimana Upaya PBB dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari dibuatnya Penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana peran PBB dalam mengatasi Perlindungan Kebebasan Beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2012. b. Untuk memenuhi tugas akhir kuliah S1 jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 Manfaat dari dibuatnya Penelitian ini adalah: a. Sebagai sebuah penelitian baru, yang memang sebelumnya sangat jarang sekali oleh para akademisi membuat judul penelitian ini, bahkan belum ada. b. Sebagai warisan karya akademis bagi studi Hubungan Internasional di FISIP UIN Syarif Hidayatullah. D. Tinjauan Pustaka Dalam inisiasi pembahasan penelitian soal “Upaya PBB dalam Menangani Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia” ini, oleh penulis sendiri bersumber dari beberapa sumber pustaka serupa, meskipun dengan variabel yang berbeda. Seperti: 1. Alamsyah Djafar, Herlambang, dan Muhammad Hafiz., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: kerangka Hukum, Praktik dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), menelaah mengenai kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Asia Tenggara. Dimana, kondisi tersebut mendapat perhatian oleh Organisasi Internasional PBB. Para peneliti memakai sumber hasil rekomendasi dan hasil kesimpulan pemantuan oleh PBB dalam menganalisa kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Asia Tenggara. 2. Halili, dkk., Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa (Jakarta: Setara Institute, 2012). Hasil penelitian ini mencatat sejauhmana kondisi kebebasan beragama dan 7 berkeyakinan di Indonesia tahun 2012 yang semakin memprihatinkan. Setara Institute mengeluarkan data dan menelaah pelangaran atas kebebasan beragama yang terjadi di indonesia. Dibandingkan kedua tinjauan daftar pustaka tersebut, penelitian penulis lebih memilih mengambil sudut pandang yang lain upaya PBB dalam mendorong perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Tentunya berbeda dari dua penelitian sebelumnya ini. Dari semua referensi diatas yang dijadikan tinjauan pustaka dalam kajian ini, tentunya digunakan untuk menunjang argumentasi tema skripsi ini. E. Kerangka Teoritis 1. Human Security Konsep Human security mengemuka ditandai dengan berakhirnya Cold War. Isu yang tadinya pada masa Cold War berkutat pada keamanan tradisional – bersifat state-sentris dan military power – berubah menjadi isu keamanan nontradisional. Para akademisi yang mengusung konsep ini dan mewarnai isu keamanan non-tradisional, dikenal dengan sebutan “The Copenhagen School” seperti Barry Buzan, Ole Waever, dan Jaap de wilde. Para akademisi tersebut mencoba memasukkan aspek-aspek di luar hirauan tradisional kajian keamanan – seperti misalnya masalah kerawanan pangan, terorisme, bencana alam, dan sebagainya – sebagai bagian dari studi keamanan. Dengan memasukkan hal-hal tersebut ke dalam lingkup kajian keamanan, maka 8 the Copenhagen School mencoba memperluas objek rujukan (referent object) isu keamanan dengan tidak lagi berbicara melulu “negara”, tetapi juga menyangkut keamanan “manusia”.11 Pada tahun 1994 UNDP menjelaskan konsep human security yang mencakup: economic security, food security, health security, enviromental security, personal security, community security, dan political security. Secara ringkas UNDP mendefinisikan human security sebagai : “first, safety from such chronic threats such as hunger, disease, and repression. And, second, ...protection from sudden and hurtful disruptions in the patterns of daily life --- whether in homes, in jobs or in communities”. Jadi, secara umum, definisi human security menurut UNDP mencakup “freedom from fear and freedom from want”.12 Pemerintah Kanada secara eksplisit mengritik bahwa konsep human security UNDP terlalu luas dan hanya mengaitkan dengan dampak negatif pembangunan dan keterbelakangan. UNDP mengabaikan “human insecurity resulting from violent conflict”. Kritik senada juga dikemukakan oleh Norwegia. Menurut Kanada, human security adalah keamanan manusia yang doktrinnya didasarkan pada Piagam PBB, Deklarasi Universal tentang Hak Azasi Manusia, dan Konvensi Jenewa. Langkah-langkah operasional untuk melindungi human security dirumuskan dalam beberapa agenda tentang: pelarangan penyebaran ranjau, pembentukan International Criminal Court, HAM, hukum humaniter 11 Bob Sugeng Hadiwinata, Transformasi Isu dan Aktor di dalam Studi Hubungan Internasional: Dari Realisme hingga Konstruktivisme, h. 13 di Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional, P. Hermawan, Yulius [Ed], (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) 12 Edy Prasetyono: 2 9 internasional, proliferasi senjata ringan dan kecil, tentara anak-anak, dan tenaga kerja anak-anak.13 Pada studi ini, konsep human security berperan penting dalam membedah persoalan terkait upaya PBB dalam mendorong perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Karena dalam kasus ini, konsep ini menjadi pisau analisa utama melihat perspektif keamanan manusia dalam hal ini warga negara Indonesia memperoleh hak atas menjalani keberagamaannya dan keyakinannya di suatu negara. Kemudian, PBB sebagai sebuah organisasi internasioanl yang membawa misi keamanan manusia lewat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, berupaya melaksanakan kewajibannya untuk mengimplementasi norma-norma HAM di dalam melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. 2. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Berdasarkan kedua instrumen HAM pada Kovenan Internasional tentang Hak Hak Sipil dan politik pasal 18 dan deklarasi penghapusan segala bentuk Intoleransi dan diskrimansi berdasarkan agama dan berkeyakinan pasal 6 serta Konstiusi Indonesia pasal 28 ayat E, definisi operasional kebebasan beragama dan berkeyakinan meliputi untuk memeluk suatu agama atau keyakinan pilihannya sendiri, kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain menjalankan ibadah agama atau keyakinan sesuai yang dipervayainya, serta mematuhi, mengamalkan dan pengajaran secara terbuka atau tertutup, termasuk 13 Edy Prasetyono: 2-3 10 kebebasan berganti agama atau keyakinan, bahkan untuk tidak memeluk agama atau keyakinan sekaligus.14 Pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (violation of rights to freedom of religion or belief) adalah bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama atau keyakinan. Dengan demikian, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah tindakan penghilangan, pencabutan, pembatasan atau pengurangan hak dan kebebasan dasar seseorang ntuk beragama/berkeyakinan yang dilakukan oleh institusi negara, baik berupa tindakan aktif (by commision) maupun tindakan pembiaran (by omission).15 Dalam studi kasus ini kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan sebuah isu HAM spesifik yang diangkat. 3. Organisasi Internasional Organisasi internasional merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional. Pada awalnya organisasi internasional didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan peraturan-peraturan agar dapat berjalan tertib dalam rangka mencapai tujuan bersama dan sebagai suatu wadah hubungan antar bangsa dan Negara agar kepentingan masing-masing Negara dapat terjamin dalam konteks hubungan internasional.16 14 Ismail, SBY, 9-10 Ismail, SBY, 13 16 Le Roy A. Bennet dikutip Anak Agung, Hubungan Internasional, 91 15 11 Terdapat dua kategori utama organisasi internasional, yaitu:17 1. Organisasi antar pemerintah (inter-Governmental Organizations/IGO), anggotanyan terdiri dari delegasi resmi pemerintah Negara-negara. Contoh, perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), World Trade Organization (WTO). 2. Organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organization/NGO), terdiri dari keagamaan, kelompok-kelompok kebudayaan, bantuan swasta di teknik bidang atau keilmuan, ekonomi, dan sebagainya. Contoh, Palang Merah Internasional (PMI). Kemudian peranan organisasi internasional dalam hubungan internasional saat ini telah diakui karena keberhasilannya dala memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi suatu Negara. Bahkan saat ini organisasi internasional dinilai dapat mempengaruhi tingkah laku Negara secara tidak langsung. Kehadiran organisasi internasional mencerminkan kebutuhan manusia untuk kerjasama, sekaligus sebagai sarana untuk menangani masalah-masalah yang timbul melalui kerjasama tersebut.18 Kemudian eksplorasi dan analisi aktivitas organisasi internasional akan menampilkan sejumlah peranannya, yaitu: inisiator, fasilitator, mediator, rekonsiliator, dan determinator.19 PBB sebagai aktor hubungan internasional, organisasi antar pemerintahan (Inter-governmental Organization/IGO), memiliki anggota yang terdiri dari 17 Le Roy A. Bennet dikutip Anak Agung, Hubungan Internasional, 93-94 Anak Agung, Hubungan Internasional, 95 19 Andre pareira dikutip Anak Agung, Hubungan Internasional, 95 18 12 delegasi resmi pemerintahan negara-negara. Indonesia merupakan salah satu anggota resmi PBB, yang juga meratifikasi norma-norma HAM PBB, sesuai aturan harus menjalankan norma HAM terkait dan melaporkan kepada PBB. Sedangkan PBB diharapkan untuk memainkan perannya dalam upaya mendorong perlindungan HAM di Indonesia. F. Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam proposal penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik pustaka berupa kajian literatur (library research) dengan memilih data yang relevan untuk mendukung penelitian yang diambil dari referensi, artikel, jurnal, buku-buku ilmiah, internet, media massa dan majalah. Menurut Prof. Sugiyono metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, dimana seorang peneliti dianggap sebagai instrument kunci.20 Selanjutnya, teknik pengumpulan data sekunder atau library research. Dalam hal ini, data yang diperlukan akan dihimpun dari berbagai buku bacaan/literature dari Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Perpustakan HRWG (Human Working Group), KontraS, dan Kementerian agama, beserta hasil wawancara beberapa tokoh akademisi maupun parktisi yang terlibat langsung, seperti Chairul Anam (Wakil Ketua HRWG), dst. 20 Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabet, 2009), 9 13 Kemudian, data tersebut dianalisis dengan sifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.21 Dalam menganalisi data, penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, menghimpun literature dan dokumen-dokumen yang relevan sebagai sumber data dan informasi. Kedua, memilah atau mengklasifikasi data atau informasi secara sistematis. Ketiga, mengadakan analisis dengan metode dan teknik pengumpulan data yang tepat untuk dikaji berdasarkan kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian. G. Sistematika Penulisan Pada Skripsi ini terdapat beberapa BAB dan Sub BAB. BAB pertama, Pendahuluan, membahas latar belakang masalah penelitian, pertanyaan, tujuan dan manfaat , tinjauan pustaka, kerangka teori, dan metode penelitian. BAB kedua, membahas tentang kondisi hak asasi manusia di Indonesia, dimana kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi salah satu isu yang penting diperhatikan di Indonesia. BAB ketiga, membahas mekanisme hak asasi manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. BAB keempat, upaya Perserikatan Bangsa Bangsa dalam mendorong perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2012. 21 Sugiyono, metode penelitian, 9 14 BAB II Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia A. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Indonesia dikenal citra dalam kancah internasional sebagai negara yang demokratis dan menghormati HAM. Dalam aspek normatif Indonesia telah pula memiliki instrumen hukum yang menunjang untuk penegakkan HAM. Namun kenapa sampai sekarang di tataran domestik masih saja muncul pelanggaran HAM. Berikut Menurut Aminuddin Syarif, Peneliti HAM: 22 “Kondisi HAM di Indonesia dari semenjak kemerdekaan hingga sekarang era reformasi secara normatif sudah cukup baik dari aspek formal perundang-undangan kita. Semisal, UU HAM, pembentukan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan komisi yang lain, hingga ratifikasi instrumen HAM internasional. Dalam aspek tersebut, dari rezim satu ke rerim yang lain menunjukkan grafik linier kemajuan kondisi HAM di Indonesia. Begitu pun dengan Perkembangan demokrasi kita Sudah cukup baik dibandingkan negara yang lain. Akan tetapi, dalam implementasi penegakkan hukum HAM sesuai UU yang sudah di ratifikasi, Pemerintah Indonesia belum maksimal dan belum sesuai yang diharapkan. Ternyata masih banyak peristiwa pelanggaran HAM dari setiap rezim kekuasaan. Hal tersebut dikarenakan kondisi politik domestik yang tidak memiliki political will untuk menegakkan HAM.” 22 Wawancara Aminuddin Syarif, Peneliti Hak Asasi Manusia, di Kediaman beliau, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 12.35-13.15 WIB. 15 Wacana HAM di Indonesia, sendiri, telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa periode: 1. Periode 1945-195023 Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta ha kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM dicirikan pada: Pertama, Bidang Sipil dan politik, melalui: UUD 1945, maklumat Pemerintah 1 November 1945, 3 November 1945, 14 November 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) BAB V pasal 7-33, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 99. Kedua, Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui: UUD 1945, KRIS Pasal 36-40. 2. Periode 1950-195924 Periode ini dikenal dengan masa demorasi parlementer. Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional. 23 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Cetakan ketiga, 2008, 125 24 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 126 16 Menurut catatan Bagir manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM: Pertama, Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi. Kedua, Adanya kebebasan pers. Ketiga, Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis. Keempat, Kontrol parlemen atas eksekutif. Kelima, Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis. Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan di usulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD. 3. Periode 1959-196625 Periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh sistem Demokrasi Terpimpin yang terspusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi Terpimpin tida lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai prodeuk Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan karakter bangsa indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuasan terpusat pada satu tangan presiden. Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI semumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak hak asasi 25 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 126-127 17 warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintahan yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarni menjadikan lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai satu satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, leabaga selain LEKRA dianggap anti pemerintah atau kontra revolusi. 4. Periode 1966-1998 Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakkan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah Hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat awal 1970-an dan 1980-an. Setelah mendapatkan mandat kosntitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak asilnya sebagai kekuasaan yang militeristik fasis dan anti HAM. Sikap anti HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan argumen yang dikemukakan Soekarno ketika menolak prinsip dan praktik demokrasi parlementer, yakni sikap apologis dengan mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi sebagai produk barat yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di antara butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:26 26 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 128 18 a. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam pancasila. b. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir dahulu dibandungkan dengan deklarasi Universal HAM. c. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya keliru, tetapi juga tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde Baru dapat dilihat dari kebijkan politik Orde Baru yang bersifat sentralistik dan anti segala gerakan politik yang berbeda dengan pemerintah. Sepanjang pemerintahan Presiden Soeharto tidak dikenal partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security approach) dengan cara-cara kekerasan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan dengan Orde Baru.27 Menurut KontraS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) terjadi banyak kejahatan HAM di masa Orde Baru yakni; Peristiwa pemenjaraan, penyiksaan, pembunuhan massal orang-orang yang dituduh komunis (!965-1968), orang-orang yang melawan pemerintah (Tanjung Priok 1984), orang-orang yang dituduh 27 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 128 19 Gerombolan Pengacau Keamanan (Talangsari 1989), Tragedi Kedung Ombo, peristuwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS), kerusuhan Mei 1998, Penculikan sejumlah aktivis 97/98, Kasus Timor Leste, Kasus Aceh, dan lain lain.28 Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh kalangan organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non pemerintah membuahkan hasil yang menggembirakan di awal tahun 90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM dari kalangan masyarakat mengubah pendirian pemeritah Orde Baru untuk bersikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu di antara siap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui keputusan presiden. Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelaksanaan HAM yang sesuai Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai lembaga bentukan Orde Baru penegaan HAM tidak berdaya dalam mengungkap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.29 5. Periode Pasca Orde Baru Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga 28 29 Lihat: http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1710 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 128 20 puluh tahun lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden. Menyusul berakhirnya pemerintah Orde Baru, pengkajian terhadap ebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan.30 Pada masa pemerintahan Habibie, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan signifikan. Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintah menegakkan HAM.31 Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi HAM PBB untuk kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam; konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.32 Kesungguhan pemerintahan B.J Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM ditunjukan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Komitmen pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukan dengan pengesahan UU tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung 30 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 32 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 31 21 dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM. Penambahan pasal khusus tentang HAM dalam amandemen UUD 1945, penerbitan Inpres tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional , pengesahan UU tentang pengadilan HAM.33 Di masa K.H. Abdurrahman Wahid, penegakan HAM bisa terbilang radikal dengan mencopot Jenderal Wiranto dari jabatan Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan untuk mengurangi pengaruh militer dalam bidang politik dan hukum. selanjutnya, Penghormatan hak-hak sipil politik mengalami perkembangan. Kemudian, Pengakuan agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, penghapusan istilah Pribumi dan Non-Pribumi karena dianggap diskriminatif terhadap warga Tionghoa, pemisahan TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000, serta pembentukan pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Keppres No. 53 Tahun 2001).34 Di masa Megawati, Di lain itu kasus HAM yang tak kalah penting yakni mandeknya proses pengadilan HAM Timor Timur dan pengadilan HAM Peristiwa Tanjung Priok. Penerapan darurat militer di Aceh pada wakti itu juga telah menyebabkan pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan. Selama enam bulan pertama penerapan darurat militer di Aceh terjadi 166 tindak kekerasan, 43 orang diculik, 54 orang hilang, dan 145 orang tewas terbunuh. Selama periode itu juga 33 Ubaedillah dan Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, 129 Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-pelanggaran-ham-575723.html 34 22 terjadi 22 kasus kekerasan terhadap jurnalis. 35 Kemudian, sebuah pelanggaran HAM yang menonjol ketika di akhir kepemimpinan beliau adalah peristiwa pembunuhan Munir (2004). Kasus pembunuhan Munir menjadi sorotan publik yang banyak menguras perhatian dunia internasional maupun nasional dan mencoreng upaya reformasi di indonesia.36 Dalam masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode, Penegakan HAM tidak menampakkan perkembangan apapun bahkan di nilai gagal. SBY tidak menindak lanjuti secara serius laporan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. hal ini dapat dilihat dari bolak baliknya berkas perkara pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM ke Kejagung begitupun sebaliknya dengan alasan penyelidikan tidak lengkap atau pengadilan HAM ad Hoc yang belum terbentuk. Sikap diam SBY ini menyiratkan kuatnya praktek impunitas (Impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM berat (gros violation of human rights) dimasa lampau karena tidak ada yang bertanggungjawab. Semisal janji SBY menuntaskan kasus pembunuhan Munir, ternyata sampai saat ini hanya isapan jempol belaka.37 Di masa SBY, pula terhitung banyak terjadi peristiwa konflik sosialhorizontal sesama warga negara, baik berprespektif etnik (kerusuhan dayak vs madura), kelompok rentan (perempuan dan anak), dan agama (kasus Ahmadiyah, 35 Baca: http://www.tempo.co/read/news/2004/03/15/05540684/Selama-PemerintahanMegawati-Penegakan-HAM-Mandek diakses Senin 12 Mei 2015. 36 Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 37 Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-pelanggaran-ham-575723.html 23 kasus Syiah, dan GKI Yasmin).38 Menurut Hasil Riset SETARA institute dari peristiwa konflik agama terjadi banyak pelanggaran HAM atas kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menunjuk grafik linier menuju peningkatan dari tahun 2007-2012. Pada tahun 2007 terjadi 135 peristiwa dan 185 tindakan sedangkan pada tahun 2012 menanjak naik menjadi 264 peristiwa dan 371 tindakan.39 B. Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Di dalam dimensi HAM ada banyak pilihan fokus dalam meletakkan hak dasar manusia. Salah satunya adalah Hak Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama. Dalam konsepsi HAM ada hak yang tidak dapat dikurangi (Non Derogable Rights) dan hak yang dapat dikurangi (Derogable Rights). Hak untuk hidup dan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah masuk dalam kriteria Non Derogble Rights. Maka kewajiban negara untuk memenuhi hak kebebasan dan berkeyakinan akan sangat penting.40 Menurut Hilal Safary, seorang peneliti, pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat penting oleh negara untuk dipenuhi. Pertama, Karena harkat dan martabat manusia ditentukan atas seberapa besar seseorang bisa menunaikan apa yang dia yakini dan percayai. Kedua, dalam relasi sosial dan 38 Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasib-pelanggaran-ham-575723.html 39 Halili dkk, Kondisi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia 2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 31-33 40 Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 24 politik agama seringkali dijadikan sebagai pemicu konflik dan komoditas politik, ini yang sangat rentan dalam realita bernegara dan berbangsa kita yang multikultur, multietnis, dan multi agama. Maka negara penting untuk bersikap memenuhi hak kebebasan berkeyakinan dan beragama pada porsi meletakkan di wilayah privasi indvidu dan bukan dicampur adukkan di wilayah publik.41 Ketiga, isu agama sangat sulit dijangkau melalui treatment sosial, politik, apalagi perundang-undangan. Maksudnya terkadang ketika bicara agama melalui aturan, bisa salah, tidak diatur salah, melalui pendekatan persuasif pun belum tentu benar. Karena ketika muncul rasa curiga antar agama dan keyakinan, semua jalan seakan salah, apalagi menggunakan cara represif bahkan dengan jalan damai. Oleh karena itu menjadi penting kepada seluruh masyarakat sipil tak hanya Non goverment Organization (NGO), yang memeluk agama dan berkeyakinan untuk sama-sama memandang bahwa toleransi beragama dan berkeyakinan penting untuk dijaga.42 Di masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2012), praktek pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan cukup massif. Ada banyak kasus agama yang muncul dari kasus pelarangan pendirian Rumah ibadah HKBP Philadelpia, GKI Taman Yasmin, kasus pengusiran Syiah Sampang, kekerasan berulang terhadap warga Ahmadiyah, kasus nasib umat kristiani Aceh Singkil, dan seterusnya.43 41 Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 42 Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 43 Halili, Setara, 55 25 Kepemimpinan SBY tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi daripada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan memberikan jaminan kebebasan terhadap warga negaranya. Tanpa jaminan kebebasan, toleransi hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang presiden yang tidak berkontribusi pada pemajuan HAM. Sepanjang 2012, tidak kurang dari 15 kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan. Lebih sedikit dari tahun 2011, dimana SBY menyampaikan pesan toleransi sebanyak 19 kali. Menurut Tim peneliti SETARA institute dalam buku Kepemimpinan Tanpa Prakarsa, SBY adalah presiden tanpa prakarsa serta pemimpin tanpa kepemimpinan dalam hal pemenuhan dan pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan.44 Menurut data yang dikeluarkan oleh SETARA Institute dari tahun 20072012, terjadi kenaikan grafik secara linier atas pelanggaran hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia. Di tahun 2007, terjadi 135 peristiwa dan 185 tindakan. Tahun 2008, 265 peristiwa dan 367 tindakan. Tahun 2009, 200 peristiwa dan 291 tindakan. Tahun 2010, 216 peristiwa dan 286 tindakan, Tahun 2011, 244 peristiwa dan 299 tindakan dan Tahun 2012, 264 peristiwa dan 371 tindakan Sikap Presiden SBY yang seperti itu, menurut Aminuddin Syarif, disebabkan karena beliau memiliki watak kepemimpinan diplomatis dan hati-hati. Hal ini menimbulkan dampak positif dan negatif. Positif ketika konflik yang menyinggung negara beliau respon dan atasi dengan tidak terburu-buru misalnya 44 Halili, Setara, 54 26 ketika ada masalah perbatasan teritoral indonesia-malaysia, identitas kebudayaan, dan lain-lain. Tapi disisi yang lain ketika membutuhkan reaksi cepat atas masalah, jadi tidak maksimal hasil penyelesaian dan terkesan terombang ambing, contoh kasus soal pembunuhan munir45. C. Faktor-Faktor Terjadinya Pelanggaran Hak Atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Secara umum, banyaknya peristiwa dan tindakan pelanggaran hak atas Kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor:46 Pertama, Faktor Kepemimpinan Formal. Dalam hal ini aktor pemerintah negara memiliki pengaruh untuk mempengaruhi warganya dalam bertindak. bupati, walikota, dan gubernur yang tidak toleran mengeluarkan aturan diskriminatif bisa menjadi legitimasi warganya untuk melakukan tindakan anarkis, akhirnya menimbulkan banyak korban berbasis identitas agama dan keyakinan. Contohnya kebijakan eksekutif mengeluarkan keputusan SKB 3 Menteri yang melarang aktivitas ibadah dan penyebaran ajaran warga Islam Ahmadiyah. Kedua, Faktor Kepemimpinan Tradisional. Kepemimpinan tradisional dalam hal ini aktor seperti ulama, pendeta, tokoh masyarakat dan kiai bisa memberikan legitimasi kepada masyarakat untuk berbuat intoleran. Seperti fatwa 45 Wawancara Aminuddin Syarif, Peneliti Hak Asasi Manusia, di Kediaman beliau, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 12.35-13.15 WIB. 46 Wawancara Hilal Safary, Peneliti HAM kebebasan beragama dan berkeyakinan, di Kantor SETARA Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Selatan, Senin 11 Mei 2015, pukul 16.20-17.00 WIB. 27 MUI dan tokoh masyarakat yang menjadi agen mendorong kepemimpinan formal menjadi tunduk. Pada konteks ini meskipun di realitanya kita temukan pemimpin formal yang pluralis namun ketika berhadapan dengan kepemimpinan tradisional yang antiplural seringkali tidak bisa berbuat banyak karena alasan politis. Ketiga, Faktor Status Wilayah. dimana status secara geografis suatu daerah yang sedang mengalami masa transisi dari tradisionalis menuju industrialis. Dimana muncul pergeseran nilai dari tradisional ke modern dalam cara memandang agama sehingga muncul resistensi antar kelompok beragama. Semisal di wilayah pelosok tertentu kelompok agama sudah muncul penolakan terhadap demokrasi dan HAM yang dianggap produk barat dan dianggap yahudi dan kafir. Sehingga tidak heran muncul pengkotak-kotakan kelompok. D. Perhatian Internasional Pasca Perang Dingin, Masyarakat Internasional sudah mulai memiliki perhatian pada perkembangan HAM di dunia. Di Indonesia, perhatian terhadap perkembanagan HAM pula dimulai ketika pasca pemerintahan Orde Baru, sejak 1998 hingga sekarang. Aktor internasional yang mempunyai perhatian pada isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di indonesia baik aktor bukan negara maupun negara meliputi lembaga donor internasional, NGO yang konsen di isu tersebut, Intergovermental Organization (INGO) bahkan aktor negara. Sebut saja seperti The Asia Fondation, Ford Foundation, USAID, Amnesty International, 28 HRW (Human Rights Wacth), United Nations (PBB), ASEAN, kanada, Norwegia, Belanda, dan lain lain.47 Aktor-aktor tersebut memperhatikan, memantau, dan mempelajari betul kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di indonesia karena beberapa alasan, seperti mayoritas muslim, multi kultur, jumlah warga negaranya salah satu terbesar di dunia, mayoritas islam dengan kondisi politik yang demokratis.48 Pesan peradaban indonesia yang demokratis dan menghormati HAM yang ditawarkan ke dunia internasional telah sampai, sehingga menraik perhatian mereka. Sebetulnya aktor internasional tidak melihat kondisi riil HAM di indonesia secara agregatif dan partikular, massifnya ekspose pemberitaan di media soal banyaknya kasus pelanggaran atas hak tersebut. Namun, mereka justru lebih melihat kondisi dan sikap pemerintah Indonesia atas pelanggaran yang terjadi dengan masih menghormati prinsip demokrasi.49 Meskipun begitu, dengan kondisi domestik yang masih tinggi angka pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan keyakinan di indonesia, tetap saja mendapat teguran oleh masyarakat internasional. Contohnya teguran Dewan HAM PBB terkait kondisi pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan di indonesia. Pada 2008, pelapor khusus kebebasan beragama Dewan HAM PBB menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui keputusan bersama menteri di Indonesia semakin meningkatkan resiko penyeranagan terhadap mereka dari 47 ibid ibid 49 ibid 48 29 kelompok vigilante. Pada 2011, empat pelapor khusus mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia juga terkait dengan meningkatknya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Termasuk dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi HAM PBB, Navy Pillay.50 Dalam mekanisme UPR (Universal Periodec Review), Indonesia mendapatkan perhatian serius di bidang kebebasan beragama oleh negara-negara PBB. Tidak kurang ada 27 negara menyampaikan perhatiannya kepada indonesia.51 50 Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik dan Perhatian Internasional, Jakarta, HRWG, 80-81 51 Ada sekitar 27 negara yang menyampaikan perhatian kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Antara lain, yakni: Austria, Qatar, Bangladesh, Brazil, Perancis, Italia, Libanon, Norwegia, Argentina, Jepang, Australia, Canada, Spanyol, Republik Korea, China, Afrika Selatan, Swedia, Switzerland, Timor Leste, Ukraina, Inggris, Denmark, Belanda, Amerika Serikat, dan Slovakia. Selanjutnya baca Alamsyah, HRWG, 81 30 BAB III Mekanisme Hak Asasi Manusia Perserikatan BangsaBangsa A. Sekilas tentang Perserikatan Bangsa Bangsa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1945. Saat ini terdiri dari 193 negara anggota. Misi PBB dipandu oleh tujuan dan prinsip yang terkandung dalam Piagam pendiriannya.52 Karena kekuasaan berada di tangan aturan bersama dan karakter internasional yang unik, PBB dapat mengambil tindakan pada isu-isu yang dihadapi umat manusia di abad ke-21, seperti perdamaian dan keamanan, perubahan iklim, pembangunan berkelanjutan, hak asasi manusia, perlucutan senjata, terorisme, kemanusiaan dan keadaan darurat kesehatan, kesetaraan gender, tata kelola, produksi pangan, dan banyak lagi.53 PBB juga menyediakan forum bagi para anggotanya untuk mengekspresikan pandangan mereka di Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, dan badan-badan lainnya dan komite. Dengan mengaktifkan dialog antara anggotanya, dan dengan hosting negosiasi, Organisasi telah menjadi mekanisme bagi pemerintah untuk menemukan bidang perjanjian 52 53 Lihat: http://www.un.org/en/sections/about-un/overview/index.html Ibid 31 dan memecahkan masalah bersama-sama. Kepala Administrasi Petugas PBB adalah Sekretaris-Jenderal.54 Adapun organisasi utama PBB sebagai berikut:55 1. Majelis Umum Majelis Umum adalah musyawarah utama, kebijakan dan organisasi perwakilan dari PBB. Semua negara anggota 193 dari PBB yang diwakili dalam Majelis Umum, sehingga satu-satunya badan PBB dengan perwakilan universal. Setiap tahun, pada bulan September, keanggotaan penuh PBB bertemu di General Assembly Hall di New York untuk sesi tahunan Majelis Umum, dan debat umum, yang banyak kepala negara hadir dan alamat. Keputusan mengenai pertanyaanpertanyaan penting, seperti pada perdamaian dan keamanan, penerimaan anggota baru dan hal-hal anggaran, memerlukan dua pertiga mayoritas Majelis Umum. Keputusan mengenai pertanyaan lain oleh mayoritas sederhana. Majelis Umum, setiap tahun, memilih seorang Presiden General Assambly untuk menjalani hukuman satu tahun dari kantor. 2. Dewan Keamanan Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab utama, di bawah Piagam PBB, untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Memiliki 15 Anggota (5 tetap dan 10 anggota tidak tetap). Setiap Anggota memiliki satu suara. Berdasarkan Piagam, semua Negara Anggota wajib mematuhi keputusan Dewan. Dewan Keamanan mengambil memimpin dalam menentukan keberadaan ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi. Ini panggilan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara damai dan merekomendasikan 54 55 ibid ibid 32 metode penyesuaian atau hal penyelesaian. Dalam beberapa kasus, Dewan Keamanan dapat resor untuk menerapkan sanksi atau bahkan mengizinkan penggunaan kekuatan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan memiliki Kepemimpinan yang bergantian, dan perubahan, setiap bulan. 3. Dewan Ekonomi dan Sosial Dewan Ekonomi dan Sosial adalah badan utama untuk koordinasi, review kebijakan, dialog kebijakan dan rekomendasi tentang isu-isu ekonomi, sosial dan lingkungan, serta pelaksanaan tujuan pembangunan yang disepakati secara internasional. Ini berfungsi sebagai mekanisme sentral untuk kegiatan dari sistem PBB dan badan-badan khususnya di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan, mengawasi anak dan ahli tubuh. Ini memiliki 54 anggota, yang dipilih oleh Majelis Umum untuk tumpang tindih istilah tiga tahun. Ini adalah platform pusat PBB untuk refleksi, debat, dan pemikiran inovatif pada pembangunan berkelanjutan. 4. Dewan Perwalian Dewan Perwalian didirikan pada tahun 1945 oleh Piagam PBB, di bawah Bab XIII, untuk memberikan pengawasan internasional untuk 11 Wilayah Perwalian yang telah ditempatkan di bawah administrasi 7 Negara Anggota, dan memastikan bahwa langkah-langkah yang memadai diambil untuk mempersiapkan Territories untuk diri pemerintah dan kemerdekaan. Pada tahun 1994, semua Wilayah Perwalian telah mencapai pemerintahan sendiri atau kemerdekaan. Dewan Perwalian dihentikan operasi pada 1 November 1994. 33 Dengan resolusi yang diadopsi pada tanggal 25 Mei 1994, Dewan telah diubah aturan prosedur untuk menjatuhkan kewajiban untuk memenuhi setiap tahun dan setuju untuk bertemu dengan kesempatan yang dibutuhkan - dengan keputusan atau keputusan yang Presiden, atau atas permintaan mayoritas anggota atau Majelis Umum atau Dewan Keamanan. 5. Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional adalah organisasi peradilan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. berkantor di Istana Perdamaian di Den Haag (Belanda). Ini adalah satu-satunya dari enam organisasi utama Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak terletak di New York (Amerika Serikat). Peran Mahkamah adalah untuk menetap, sesuai dengan hukum internasional, sengketa hukum yang disampaikan kepadanya oleh Negara dan memberikan pendapat penasehat tentang pertanyaan hukum disebut dengan resmi organ PBB dan badan-badan khusus. 6. Sekretariat Sekretariat terdiri dari puluhan ribu anggota staf PBB internasional yang melaksanakan hari-hari kerja PBB sebagaimana diamanatkan oleh Majelis Umum dan organ lainnya Organisasi pokok Sekretaris Jenderal dan. Sekretaris Jenderal adalah petugas administrasi kepala Organisasi, yang ditunjuk oleh Majelis Umum atas rekomendasi Dewan Keamanan untuk lima tahun, jangka terbarukan. Anggota staf PBB direkrut secara internasional dan lokal, dan bekerja di stasiun tugas dan misi penjaga perdamaian di seluruh dunia. Tetapi melayani penyebab perdamaian di dunia yang keras adalah pekerjaan yang berbahaya. Sejak 34 berdirinya PBB, ratusan pria dan wanita pemberani telah memberikan hidup mereka dalam pelayanan. B. Mekanisme HAM PBB Hak asasi manusia internasional di tetapkan dan dikembangkan melalui kerjasama multilateral di PBB, Dewan Eropa dan organisasi internasional lainnya. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk melalui berbagai konvensi hak asasi manusia, bersama mekanisme pemantauan internasional yang penting dan merupakan tambahan kegiatan pelaksanaan yang dilakukan di tingkat nasional.56 Sistem PBB telah memainkan peran yang sangat penting dalam memajukan dan melindungi HAM sejak PBB didirikan pada 1945. Menurut piagam PBB, HAM adalah salah satu tugas yang diprioritaskan, ini sesuai dengan pasal 1 paragraf 2 dan 3 Piagam PBB, bahwa pemajuan HAM adalah salah satu tujuan utamanya.57 Sistem pemantauan HAM terbagi ke dalam dua mekanisme yaitu: mekanisme berdasarkan piagam (the charter based mechanism) dan mekanisme berdasarkan perjanjian (the treaty based mechanism).58 B.1. Mekanisme Berdasarkan Piagam (The Charter Based Mechanism) Mekanisme berdasarkan piagam adalah badan-badan yang dibentuk melalui piagam PBB. Mekanisme ini yang bersifat khas adalah Dewan Ekonomi 56 Rhona K.M. Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII, 2008, 169 Rhona, HAM, 169-170 58 Rhona, HAM, 170 57 35 dan Sosial, Dewan HAM, Majelis Umum, dan Dewan Keamanan. Selain itu terdapat banyak subkomite dan submekanisme di bawah badan-badan utama ini, seperti Komisioner Tinggi HAM, Pelapor khusus, Kelompok Kerja, dan Diskusi Negara (country debate).59 Dalam Piagam PBB, terdapat mekanisme pemantauan yang bersifat lebih umum, yaitumekanisme yang dibentuk untuk bekerja di dalam bidang yang luas dari hukum internasionalpublik dan tidak hanya hukum hak asasi manusia internasional. Kebanyakan dari mekanisme PBB ini terkait dengan organ-organ yang disebut dalam Pasal 7 piagam PBB, yaitu:60 Majelis Umum, Dewan Keamanan,Dewan Ekonomi dan sosial (termasuk Komisi tentang Status Pere mpuan dan Komisi tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana), Dewan Perwalian,Mahkamah Internasional,Sekretariat (termasuk Sekretaris Jende ral dan Komisionaris Tinggi Hak Asasi Manusia). Semua mekanisme ini dibentuk sebagai organisasi utama, dan Pasal 7 ayat (2) dari Piagam membolehkan pembentukan suborganisasi. Dalam bidang hak asasi manusia, suborganisasi diantaranya:61 Sub-Komisi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (1947/1999), Komisi tentang Status Perempuan (1946), dan Komisi tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (1992), yang ada sangkut pautnya dengan bekas Komisi Hak Asasi Manusia (yang dibentuk pada 1946) dan telah diberikan status sebagai badan utama ( pada 19 59 Rhona, HAM, 170 Rhona, HAM, 172 61 Rhona, HAM, 172 60 36 Juni 2006) dengan nama Dewan HakAsasi Manusia dengan perubahan mandat dan keanggotannya. Mekanisme-Mekanisme PBB jika terjadi pelanggaran HAM, yaitu:62 Dewan Hak Asasi Manusia ( dulu adalah Komisi Hak Asasi Manusia ), Subdivisisubdivisi di bawah Dewan, Prosedur 1503 yaitu prosedur menurut Dewan Ekonomi dan Sosial, dan Mekanisme Tematis dan Negara. B.1.1. Dewan HAM PBB Badan ini dibentuk dengan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat kegitan hak asasi manusia PBB. Dewan ini membuka sidang pertamanya pada 15 Juni 2006. Pada saat yang sama Komisi Hak Asasi Manusia badan yang dibentuk pada tahun 1946 oleh Dewan Ekonomi dan Sosial sesuai dengan Pasal 8 Piagam PBB dibubarkan. Karena dewan tersebut dalam banyak hal dibentuk menurut model Komisi Hak Asasi Manusia.63 Tujuan dari Dewan HAM PBB adalah memperkokoh pemajuan dan perlindungan HAM dengan cara memberikan rekomendasi ketika terjadi pelanggaran HAM dalam suatu negara.64 Adapun fungsinya adalah membangun standar hak asasi (standard setting), melakukan monitoring atas penegakan standar HAM internasional dan melakukan kerjasama internasional untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Termasuk di dalamnya penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi, penanganan 62 Dara Hapsari Nastiti, Mekanisme HAM PBB, Lihat: https://www.academia.edu/7075173/Mekanisme_HAM_pada_PBB, 4 63 Rhona, HAM, 174 64 Dara, HAM PBB, 4 37 pengaduan (komunikasi) yang berhubungan dengan pelanggaran tersebut, dan mengkoordinasi kegiatan yang berhubngan dengan HAM dalam sistem PBB.65 Dewan Hak Asasi Manusia mempunyai 53 anggota. Komisi ini yang menegosiasikan Deklarasi Univesal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1948. Komisi tersebut bekerja untuk mengubah DUHAM menjadi ketentuan yang tercantumdalam perjanjian-perjanjian hak asasi manusia yang mengikat secara hukum, yang kemudianditerima oleh Majelis Umum dan dibuka untuk penandatangan dan ratifikasi, seperti KIHSP (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik) dan KIHESB (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sejumlah besar perjanjian dan dokumen lain HAM telah dibuat kemudahan dengan bantuan Komisi tersebut.66 Aktivitas Dewan yang paling penting dan yang paling nampak adalah kerjanya dalam menangani pelanggaran HAM. Selama lima puluh tahun berfungsinya komisi tersebut telah membuat berbagai alat dan mekanisme untuk semua pelanggaran hak asasi manusia yang paling umum. Inti pekerjaan pemantauan dijalankan oleh jaringan berbagai pelapor khusus dan kelompok kerja. Subkomisi tentang pemajuan dan perlindungan HAM, dan prosedur 1235 dan 1503 adalah tiga elemen lain yang penting.67 Prosedur 1503 lebih kurang disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Prosedurini memberikan kepada Komisi --dan sekarang Dewan-mandat untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual yang 65 Dara, HAM PBB, 4 Rhona, HAM, 174 67 Rhona, HAM, 175 66 38 didasarkan pada perjanjian internasional. Selanjutnya Dewan mungkin mempelajari situasi tersebut dan melaporkannya kepada Dewan Ekonomi danSosial dan memutuskan untuk mengangkat seorang pelapor khusus dan memindahkan situasi tersebut ke prosedur 1235 yang bersifat publik.68 Mekanisme Dewan Hak Asasi Manusia dapat dibagi ke dalam empat prosedur khusus yaitu:69 Pertama, Kelompok Kerja (Universal Periodec Review / UPR). Kedua, Subkomisi tentang Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (Human RightsCouncil Advisory Committee / KOMITE). Ketiga, Prosedur Pengaduan (complaint procedure). Keempat, Prosedur Khusus /Special Procedures (SP). UPR adalah bagian penting dari kegiatan Dewan yang mereview secara periodik tentang pemenuhan kewajiban HAM semua negara dan menjamin semua negara termasuk anggotanya diperlakukan sama. Adapun tugasnya:70 pertama, Direview 4 tahun dimana setiap 48 negara direview setiap tahun. Kedua, Negara anggota Dewan HAM direview selama jangka waktu keanggotannya. Ketiga, negara pertama yang direview dipilih berdasarkan kelompok regional denganmemperhatikan distribusi secara geografis. Kemudian pemilihan dilakukan berdasarkan Alphabetical order kecuali ada negara yang sukarela mengajukan diri. Keempat, Review dilakukan oleh kelompok kerja yang terdiri dari negara anggota Dewan yangbertemu 3 kali setiap tahun selama 2 minggu dan 68 Rhona, HAM, 175 Rhona, HAM, 175 70 Dara, HAM PBB,6 69 39 akan difasilitasi oleh kelompok tiganegara anggota Dewan yang akan berperan “Rapporteurs”. Kelima, Rekomendasi dari Special Procedures dan Human Rights treaty bodies, serta informasi dari berbagai sumber seperti NGOs dan KOMNAS HAM suatu negara akan diperhitungkan sebagai sumber tambahan. Keenam, Final outcome adalah rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh negara yang bersangkutan. Special Procedure (SP) Dikenal sebagai mekanisme yang paling efektif, fleksibel, dan responsive. Dengan tujuan untuk menunjukan situasi specifik suatu negara atau masalah tematis di dunia. Saat ini terdapat 31 tematis71 dan 8 mandat negara untuk memperkokoh system review dan menjamin sinergi dengan mekanisme HAM yang lain dalam sistem PBB.72 - Dewan menyetujui mengenai kriteria dan process bagi review, rasionalisasi dan perbaikan dari semua mandat dalam special procedure yang telah dibentuk oleh Dewan. Keputusan untuk menyatukan atau menghentikan mandat akan dipandu oleh kebutuhan memperbaiki pemenuhan perlindungan HAM. - Dewan terdiri dari 38 negara dan “thematic special procedures” akan direview berdasarkan jadwal yang harus disetujui oleh Dewan. - Proses dan kriteria umum mengenai pemilihan pemegang mandat dari Special Procedure yang disetujui Dewan harus menjamin bahwa orang 71 Adapun 31 mandat tematik bagi pelaksana prosedur khusus Dewan HAM PBB yaitu mandat tematik dan mandat spesifik negara, mandat tematik tersebut antara lain seperti: pelapor khusus tentang hak atas pendidikan (1998), kelompok kerja tentang penahanan sewenang-wenang (1991), pelapor khusus tentang kebebasan beragama dan kepercayaan (1986), dan seterusnya. Rhona, HAM, 176-179 72 Dara, HAM PBB, 6-7 40 tersebut memiliki keahlian yang diakui, pengalaman, kemerdekaan dan imparsial. - ”Code of Conduct”dari pemegang mandat ditujuakn untuk memperkokoh kefektifitasan dari sistem dan kemampuan pemegang mandat tersebut untuk menjalankan fungsinya. kode tersebut diadopsi oleh Dewan. Complaint Procedure berdasarkan “1503 procedure”, Mekanisme ini memungkinkan individu dan organisasi untuk melaporkan mengenaipelanggaran berat HAM yang membutuhkan perhatian Dewan:73 Pertama, Prosedur ini lebih kepada victims-oriented dan bekerja dengan waktu yang lebih fleksibel. Kedua, Memungkinkan orang yang mengajukan keluhan dan negara yang bersangkutan diberitahu ketika mereka direview. Ketiga, Dua kelompok kerja mengenai Komunikasi dan Situasi,akan dibentuk untuk memeriksa laporan yang dikirmkan dan meminta perhatian Dewan mengenai pelanggaran berat HAM dan kebebasan fundamental yang terjadi. Keempat, Kedua Kelompok kerja tersebut akan bertemu setidaknya dua kali setahun selama lima hari setiap periode. Kelima, Prosedur menyediakan banyak pilihan mengenai langkah-langkah yang mungkin diambil Dewan sebagai kesimpulan dari proses tersebut. B.2 Mekanisme Berdasarkan Perjanjian (The Treaty Based Mechanism) Mekanisme berdasarkan perjanjian adalah mekanisme yang dibentuk melalui perjanjian-perjanjian hak asasi manusia yang berada di bawah sistem PBB, terutama komite-komite dengan kewenangan untuk memeriksa dan 73 Dara, HAM PBB, 7-8 41 mengevaluasi praktik-praktik hak asasi manusia negara-negara anggota menurut tugas yang berasal dari konvensi-konvensi. Metode kerja mereka terkait erat dengan dokumen-dokumen pembentukannya yang membuat badan-badan ini bersifat legalistik sejak awal.74 Perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional ini tidak hanya membentuk hak-hak spesifik untuk orang dan kewajiban-kewajiban bagi negara, melainkan juga membawakan mekanisme bagi pelaksanaannya di tingkat internasional. Bahasan ini akan membicarakan instrumen-instrumen pelaksanaan internasional yang disebut badan-badan perjanjian internasional menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan KovenanInternasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB).75 Pada umumnya terdapat empat (4) mekanisme utama pengaduan dan monitoring terhadap penerapan hak asasi manusia, meskipun tidak setiap mekanisme itu terdapat dalam ketujuh perjanjian HAM internasional ini. Adapun keempat mekanisme tersebut adalah:76 a. Mekanisme Laporan Semua negara yang mengesahkan satu atau lebih perjanjian internasional tersebut berkewajiban untuk menyampaikan laporan berkala mengenai tindakantindakan yang diambil negara tersebut untuk mengimplementasikan standar hak asasi manusia yang tercantum dalam konvensi-konvensi yang bersangkutan 74 Rhona, HAM, 170 Rhona, HAM, 187 76 Dara, HAM PBB, 9 75 42 menurut komite hak untuk ekonomi, sosial, dan budaya dalam komentar umum no. 1 tahun 1989.77 Mekanisme ini dibangun oleh badan/komite bersangkutan untuk memantau kemajuan penerapan kewajiban Negara sebagaimana tertera dalam perjanjian. Hal ini dilakukan melalui berbagai laporan yangwajib disampaikan oleh Negara dalam periode tertentu pada Komite bersangkutan. Komite mengadakan pertemuan secara periodik diantara mereka sendiri dan pertemuan delegasi Negara Pihak. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut Komite melakukan penilaian atas laporan yang dibuat oleh negara dan mengajukan sejumlah pertanyaan klarifikasi. Setelah itu Komite membuat kesimpulan dan rekomendasi. Biasanya Komite mengidentifikasi hal-hal positif yang telah dicapai, persoalan yang masih krusial dan rekomendasi tertentu.78 b. Pengaduan Individu Beberapa diantara konvensi ini yaitu ICCPR (Protokol Pilihan 1), CAT (pasal 22), CERD (pasal 14) dan MWC memberi wewenang pada Komite untuk menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan secara individual. Mekanisme ini berhubungan dengan pengaduan dari individu atau kelompok yang percaya bahwa hak-hak asasinya telah terlanggar.79 Individu-individu dapat mengajukan petisi kepada Komite Hak Asai Manusia yang memantau KIHSP, Komite Tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, Komite tentang Penghapusan 77 Rhona, HAM, 187 Dara, HAM PBB, 9-10 79 Rhona, HAM, 189 78 43 Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Komite Menentang Penyiksaan.80 c. Pengaduan Antar-Negara Pengaduan dilakukan oleh Negara pihak terhadap Negara pihak lainnya yang dianggap melanggar kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Negara yang menerima komunikasi wajibh memberi tanggapan, jika tidak Negara pengadu dapat membawa masalah ini kepada badan perjanjan yang berwenang. Badan itu kemudian mencari pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak.81 Pengaduan antarnegara dapat disampaikan kepada Komite Hak Asasi Manusia yang memantau KIHSP, Komite TentangPenghapusan Diskriminasi Rasial, dan Komite Menentang Penyiksaan. Mekanisme pengaduan antarnegara menurut Komite tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dibentuk berdasarkan konvensi tetapi belum berlaku. Tidak seperti sistem pengaduan individual, mekanisme pemantauan ini tidak pernah digunakan dalam sistem PBB.82 d. Mekanisme Investigasi Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi HAM yaitu CEDAW dan CAT memberi wewenang pada komite untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran hak asasi dengan syarat pelanggaran tersebut bersifat berat atau sistematis. mekanisme ini tidak mensyaratkan exhaustive remedies. Hasil dari penyelidikan bersifat rahasia sampai proses penyelidikan berakhir. Komite 80 Dara, HAM PBB, 10 Dara, HAM PBB, 10 82 Rhona, HAM, 190 81 44 kemudian menyerahkan laporan itu kepada negara yang bersangkutan melalui Sekretaris Jendral PBB. Enam bulan setelah itu, komite dapat melakukan langkahlangkah untuk menindaklanjuti hasil laporang itu bersama negara yang bersangkutan. Mekanisme-mekanisme ini sekaligus merupakan fungsi dari lembaga-lembaga hak asasi yang dibentuk oleh perjanjian tersebut. Disamping keempat fungsi tersebut beberapa lembaga ini memiliki kewenangan untuk membuat general comments yang menginterpertasikan aturan-aturan yang ada dalam perjanjian tersebut, seperti kewenangan dari Komite Hak EkonomiSosial Budaya.83 General comment ini berguna untuk mengelaborasi standar dari hak yang bersangkutan. Standar ini kelak dapat digunakan sebagai dasar untuk mengukur pemenuhan hak asai manusia di sebuah Negara. Ketidak seragaman dalam fungsi masing-masing komite HAM juga terjadi pada jumlah anggota yaitu antara 10 23 anggota pakar. Dan mereka umumnya bersidang 2-3 kali di Geneva atau New York.84 Mekanisme dan Tugas Badan-badan perjanjian internasional menurut KovenanInternasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) seperti dalam diagram diatas. C. Prosedur Khusus PBB dan Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 83 84 Dara, HAM PBB, 10-11 Dara, HAM PBB, 10-11 45 Pelapor khusus merupakan para ahli independen yang diberikan mandat untuk isu HAM tertentu atau negara tertentu. Pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan (PK-PBB) merupakan salah satu prosedur khusus yang dibentuk dan melaporkan kepada Dewan HAM PBB sesuai dengan Resolusi Dewan HAM No. 4/10 tanggal 30 Maret 2007. Pelapor ini bekerja sesuai dengan standar HAM, secara khusus yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Standar-standar ini dapat dijumpai dalam konvensi, perjanjian, komentar umum, deklarasi ataupun resolusi yang diadopsi oleh negara-negara ataupun badan PBB lainnya.85 Pada tahun 1986, Komisi HAM PBB (sekarang Dewan HAM PBB) telah memandatkan Pelapor Khusus (Special Rapporteur on Religious Intolerance, kini dikenal sebagai Special Reporteur on Freedom of Religion or Belief). Pelapor Khusus ini bekerja dengan mandat untuk menjalankan ketentuan hukum internasional, diantaranya adalah pasal 18 DUHAM tahun 1948, Pasal 18 konvensi ICCPR tahun 1966 dan juga Declaration on Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief tahun 1981 (selanjutnya disebut Declaration on Religion/DR 1981, 25 November 1981).86 Pada bulan Juni 2010, Dewan HAM PBB memperluas mandat dalam kurun tiga tahun sebagai bentuk kontribusi penting dalam proses kerja yang sedang dilaksanakan oleh Pelapor Khusus untuk perlindungan, pemajuan dan 85 Laporan PK-PBB, Asma Jahangir: promotion and Protection of All Human Rights, Civil, Political, Economic, Sosial, Cultural Rights, including The Right to Development, (A/HR/6/5, 20 July 2007), h.5. 86 Alamsyah Djafar, dkk, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional, Jakarta, HRWG, 2012, 8 46 implementasi secara menyeluruh hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.87 Ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh pelapor khusus dalam konteks pemajuan dan perlindungan hak atas kebebasan beragama/berkeyakinan, di antaranya adalah mengirimkan komunikasi kepada negara-negara terkait dengan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi, melakukan kunjungan ke negara secara resmi (official visit), terlibat dalam pertemuan-pertemuan dengan perwakilan negara, kelompok agama, atau organisasi masyarakat sipil, serta mengirimkan pernyataan, pidato dan pernyataan publik.88 Pelapor Khusus, menyampaikan sejumlah laporan dan/atau klarifikasi terkait aspek khusus ha atas kebebasan beragama. Sebagaimana contoh Human Rights Council memperjelaskan bahwa: “....kebebasan berfikri, berkeyakinan dan beragama (atau dikenal sebagai forum internum), sebagai contoh, hak untuk memilih agama, adalah hak absolut dan sama sekali tidak bisa diintervensi atau dicampurtangani dalam bentuk apapun” Pelapor khusus kebebasan beragama dan berkeyakinan telah mencatat: “special attention must be given to the forum internum component of freedom of religion or belief, which enjoys the states of an absolute guarantee underinternational human rights law. With regard to the freedom to manifest one‟s religion or belief, both the positive and negative 87 Alamsyah, Kebebasan beragama, 8 Bentuk-bentuk aktivitas ini yang selalu dilaporkan oleh pelapor secara berkala kepada Dewan HAM PBB setiap tahunnya. 88 47 aspects of that freedom must be equally ensured, i.e. the freedom to express one‟s conviction as well as the freedom not to be exposed to any pressure, especially from the State authirities or in State institutions, to practice religious or belief activities against one‟s will.” Berdasarkan catatan Pelapor Khusus, pemaksaan agama tertentu merupakan bentu yang dilarang dalam hukum HAM, sebagaimana dijelaskan berikut: “.....any form of coercion by state and non-state actors aimed at religious conversion is prohibited under international human rights law, and any such acts have to be dealt with within the remit of criminal and civil law.” Disamping keterangan tersebut, salah satu tema penting dalam konteks Kebebasan Beragama dan HAM adalah terkait dengan dokumen yang dilangsir oleh Dewan HAM PBB tahun 2011.89 Dokumen ini kemudian diadopsi oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. A/RES/66/167 dengan judul “Combating Intolerance, Negative Stereotyping, Stigmatization, Discrimination, Incitement to Violence and Violence Against Persons, Based on Religion or Belief, pada 27 Maret 2012. Di akhir dokumen, Resolusi ini menggarisbawahi bahwa hendaknya setiap negara mengambil peranannya di ranah domestik dalam pembangunan lingkungan toleransi beragama, menghormati.90 89 90 Human Rights Council Resolution 16/18 of March 2011. Alamsyah, Kebebasan beragama, 9 48 kedamaian dan saling BAB IV Upaya PBB dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012 Isu kebebasan beragama tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Hak kebebasan beragama dinyatakan secara terinci dalam kovenan internasional internasional tentang sipil politik pasal 18 yang isinya sebagai berikut:91 “(1) setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamatan dan pengajaran. (2) tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga menganggu kebebasannya sesuai dengan pilihannya.” Dari redaksi konsttitusional diatas PBB memiliki legitimasi dalam perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), menurut Muhammad Hafiz, peneliti HAM Internasional, Upaya PBB dalam Perlindungan KBB dapat dilihat dalam tanggungjawab PBB sebagai lembaga internasional. Dari segi sejarah memang isu kebebasan beragama sudah ada sejak DUHAM dibentuk 91 Musdah mulia, dalam “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama” disampaikan pada acara konsultasi Publik untuk Advokasi terahdap RUU KUHP yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP tanggal 4 Juli 2007 Jakarta 49 dan itu semakin besar untuk bagaimana melindungi hak kebebasan beragama. Bahkan pada tahun 1970-1980an sempat akan diadakan konvensi khusus terkait KBB. Walaupun masih ada penolakan oleh beberapa Negara sehingga muncul deklarasi perlindungan minoritas dan intoleransi, jadi cikal bakal perhatian PBB terhadap isu KBB ada dalam momen tersebut. Dari perhatian itulah, PBB pada tahun 1950-an membentuk satu pelapor khusus atau satu prosedur khusus di bawah komisi HAM PBB yang diberi nama „pelapor khusus untuk intoleransi dan diskriminasi‟ yang kemudian menjadi „pelapor khusus untuk kebebasan beragama‟. Perhatiannya terhadap KBB sudah cukup tinggi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain.92 A. Peran PBB dalam menangani Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Indonesia telah melalui dua putaran UPR Dewan HAM PBB. Pertama pada tahun 2008 dan kedua pada tahun 2012. Untuk sesi pertama, peninjauan oleh Working Group dilakukan pada 9 April 2008. Delegasi dari Pemerintah Indonesia adalah duta besar Rezlan Ishar Jenie. Pada 11 April 2008, Working Group mengadopsi laporan untuk Indonesia dan disahkan dalam paripurna Dewan HAM PBB pada 14 Mei 2008 melalui resolusi A/HRC/8/23.93 Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei 2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150 92 Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015 93 Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 79 50 rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang ditunda atau tanpa penjelasan.94 Kondisi kebebasan beragama di Indonesia menjadi perhatian Pelapor Khusus Dewan HAM PBB. Pada 2008, Pelapor khusus kebebasan beragama menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui Keputusan Bersama Menteri di Indonesia semakin meningkatkan resiko penyerangan terhadap mereka dari kelompok vigilante. Pada 2011, empat Pelapor khusus Pemerintah Indonesia juga terkait dengan meningkatnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Termasuk pula dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi HAM PBB, Navy Pillay.95 Adapun pernyataan Navy Pillay sebagai berikut: “Dalam konstitusi Indonesia dikatakan bahwa setiap orang bebas memilih dan melaksanakan ibadah agama pilihan mereka. Indonesia adalah negara yang kaya budaya dan sejarah terkait keberagaman dan toleransi. Indonesia beresiko kehilangan ini semua jika tidak segera dilakukan tindakan tegas. Untuk itu, pemerintah Indonesia segera mengamandemenkan atau menghapuskan undang-undang Penodaan Agama tahun 1965, keputusan menteri tahun 1969 dan 2006 soal pendirian rumah ibadah, dan Surat Keputusan Bersama Menteri tahun 2008 soal Ahmadiyah.” Dalam mekanisme Universal Periodec Review (UPR), Indonesia mendapatkan perhatian serius di bidang kebebasan beragama oleh Negara-negara 94 95 Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama 51 PBB. Tidak kurang dari 27 Negara menyampaikan perhatiannya, yaitu Austria, Qatar, Bangladesh, Brazil, dan seterusnya.96 Dari sejumlah rekomendasi yang muncul, ada beberapa isu kebebasan beragama yang dapat dapat disebutkan disini, diantaranya adalah: dorongan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan perlindungan bagi kelompok minoritas dari ancaman kekerasan (rekomendasi paragraph 108.111, 108.112, 108.113, 108.115), mendorong upaya menghapuskan diskriminasi dan menghormati hak hak minoritas agama (paragraph 108.102, 108.107, 108.110), mendorong toleransi beragama dan kerukunan melalui FKUB (paragraph 108.97, 108.100., 108.109, 108.`139), melakukan review peraturan, kebijakan dan mengambil langkah legislasi agar sesuai dengan hak kebebasan beragama di dalam konstitusi dan instrument internasional, termasuk pula menegakkan hukum para pelaku pelanggaran (paragraph 108.98, 108.99, 108.103, 108.104, 108.105, 108.108, 108.109, 108.112), melakukan training dan kampanye untuk meningkatkan kesadaran petugas negara dalam isu kelompok agama (paragraph 108.101) dan pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial kelompok minoritas (108.144). 97 Terkait Upaya PBB dalam menangani perlindungan KBB di Indonesia, HRWG (Human Rights Working Group) berpendapat bahwa ada perhatian khusus yang diberikan karena ada fenomena meningkatnya kasus-kasus intoleransi dan meningkatnya kekerasan berbasis agama terutama pasca reformasi. Sehingga 96 97 Report of working group on the Universal Periodec Review: Indonesia (A/HRC/21/7) Alamsyah djafar, Kebebasan Beragama 52 respon dari masyarakat sipil di Indonesia juga mendorong perhatian PBB untuk lebih serius memperhatikan Indonesia. Dalam konteks itu, sebenarnya perhatian PBB tidak bisa dilepaskan dari dorongan aktor di tingkat nasional yang selalu memberikan update dan informasi bahkan beberapa kali pertemuan dengan pelapor khusus, baik secara langsung ataupun tidak, agar Indonesia diperhatikan.98 Adapun tantangan bagi PBB dalam perlindungan KBB di Indonesia bahwa PBB merupakan lembaga internasional yang sangat terkait dengan dua hal. Pertama, bagaimana soal etika hubungan antar Negara itu dibangun Negara dengan warga negaranya. Kedua, soal peranan politisnya untuk mendesak Negaranegara, walaupun secara tidak langsung. 99 Dari segi politis, tentu, pelapor khusus atau PBB sendiri memiliki peran penting untuk menekan pemerintah Indonesia secara tidak langsung, baik secara vulgar melalui mekanisme-mekanisme yang ada di PBB. Misalnya, lewat sidang dewan HAM dimana didalamnya ada proses UPR atau melalui sarana-sarana diplomatik dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia, entah itu dari OHCHR atau dari pelapor khususnya sendiri atau dari Komisi HAM nya sendiri. Jadi ada layer-layer yang digunakan PBB untuk memperhatikan kasus-kasus di Indonesia dan memunculkan peranan tersendiri bagaimana menekan pemerintah Indonesia.100 98 Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015 99 Ibid. 100 Ibid. 53 B. Alasan PBB mengeluarkan Rekomendasi terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia Ada beberapa forum yang diangkat untuk mengangkat isu kebebasan beragama. Dalam catatan Human Rights Working Group (HRWG), setidaknya, ada dua momen yang begitu kuat ditingkat internasional dimana kasus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama menjadi perhatian bagi Negara-negara anggota PBB atau bahkan pelapor khusus.101 Pertama, ketika UPR dilakukan pada tahun 2012. UPR adalah mekanisme review Negara terhadap situasi hak asasi manusia secara umum. Ditambah lagi masyarakat sipil ketika itu merasa penting mengangkat isu KBB yang memang sangat kritis. Intolerasi meningkat dibarengi dengan tindak kekerasan. ada kasus Cikesik dan Sampang yang terjadi beberapa kali, kemudian Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Philadelpia yang tidak kunjung selesai belum lagi kasus-kasus lain yang secara rutin dimonitor oleh masyarakat sipil. Sehingga merasa penting untuk mengangkat isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di forum UPR.102 Ada satu laporan khusus terkait Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dibuat HRWG dan dijadikan modal untuk melobi, berdiplomasi dengan Negara-negara dewan HAM di forum UPR. Akibat dari itu, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menjadi sangat panas waktu itu bahkan menurut analisa HRWG, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang seharusnya tidak 101 102 Ibid. Ibid. 54 dijadwalkan pergi, karena besarnya perhatian Negara-negara terhadap isu HAM, khususnya Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Menteri Luar Negeri sendiri yang kemudian hadir di Forum UPR itu. Jika dilihat dari kasus per kasus, isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan memang paling tinggi perhatiannya dibandingkan dengan isu-isu lain. Dari 130 rekomendasi ada sekitar 30-35 rekomendasi yang spesifik membahas KBB103. Kedua, ketika ada review di bawah mekanisme kovenan hak sipil politik di depan komite HAM PBB. Dimana mekanisme HAM PBB yang seharusnya hanya ada yang tertutup tetapi juga disediakan akses masyarakat sipil yang tidak terlalu politis sebagaimana di dewan HAM. Forum tersebut juga dapat digunakan sebagai laporan alternatif. Forum itu pula yang biasa digunakan oleh masyarakat sipil ketika itu untuk membuat laporan alternatif tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Hampir seluruh perhatian Komite HAM PBB pada tahun 2012 diberikan untuk isu-isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Sehingga ada banyak rekomendasi spesifik yang berbicara tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Salah satu rekomendasinya adalah Indonesia harus meningkatkan dialog antar umat beragama, harus mencabut PNPS, mencabut Undang Undang penodaan agama, menjamin pendirian rumah ibadah, dan seterusnya.104 103 104 Ibid. Ibid. 55 Dua momen itu yang cukup memberikan efek baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap pemerintahan untuk melakukan perlindungan di dalam negeri.105 C. Respon Indonesia terhadap Rekomendasi Mekanisme PBB Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei 2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150 rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang ditunda atau tanpa penjelasan.106 Adapun rekomendasi-rekomendasi yang tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya adalah mengundang Pelapor Khusus Kebebasan Beragama (Paragraf 109.17, 109.18 dan 109.19) dan dorongan untuk merevisi atau menghapuskan peraturan atau keputusan yang membatasi kebebasan beragama, termasuk pula UU no 1/PNPS/1965 dan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.107 Adapun respon Indonesia terhadap mekanisme HAM PBB, menurut HRWG, ada yang sisi positif ada juga yang sisi negatif. Positif maksudnya menjadikan rekomendasi itu sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat kecil yang merespon secara positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara negatif tetapi ada semacam penolakan atau bersikap defensif terhadap seranganserangan itu dengan mengatakan bahwa “yaa itu kan Cuma segelintir kasus, dari 105 Ibid. Alamsyah Djafar, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012), 79 107 Alamsyah Djafar, Kebebasan Beragama, 81 106 56 sebanyak itu kan cuma GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang bermasalah, Ahmadiyah cuma di Cikesik saja, Sampang juga cuma ada satu”. Seakan menolak rekomendasi-rekomendasi tersebut dan menolak fakta yang ada. 108 Walaupun begitu ada keyakinan bahwa pemerintah pasti merasa harus memperbaiki diri dan mencoba jangan sampai kasus ini terulang kembali dan kembali memperburuk citra Indonesia di mata dunia hanya karena permasalahanpermasalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan.109 Menurut Wahid Institute Peran PBB dalam melindungi KBB di Indonesia dianggap efektif, karena isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan isu-isu yang lain menjadi bagian dari pergaulan internasional. Kalau ada permasalahan dengan isu-isu ini maka dunia akan menyoroti Indonesia sebagai negara yang tidak menghormati HAM. Itu juga akan menjadi masalah dalam konteks hubungan internasional. 110 Hal tersebut secara tidak langsung menekan pemerintah untuk melakukan antisipasi dan dari kacamata aktivis NonGovermental Organization upaya tersebut cukup efektif. Misalnya, jika indonesia dianggap negara intoleran maka dimata internasional ada noda sehingga pemerintah mulai berfikir bagaimana merespon ini untuk mengembalikan citra indonesia dengan melakukan langkah-langkah yang telah ditetapkan. Meskipun langkah-langkahnya belum sesuai dengan apa 108 Wawancara Muhammad Hafiz, Program Manager UN –OIC Advocacy Human Rights Working Group (HRWG), di Kantor HRWG Cikini Jakarta Pusat, pada Tanggal 1 Juni 2015 109 Ibid. 110 Wawancara Alamsyah Djafar, Peneliti Wahid Institute, di Hotel House of Arsonia, Bendungan Hilir Jakarta Pusat, pada Tanggal 20 Mei 2015 57 yang diharapkan. Efektifitas peran PBB itu mempengaruhi pergaulan internasional mau tidak mau pemerintah haru mengkuti mekanisme yang ada.111 111 ibid 58 BAB V PENUTUP Kesimpulan Dalam bab penutup ini peneliti akan menjawab pertanyaan penelitian Skripsi ini “Bagaimana Upaya PBB dalam Mendorong Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia tahun 2012? Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Hak kebebasan beragama dinyatakan secara terinci dalam kovenan internasional internasional tentang sipil politik atau International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) pasal 18. Dalam konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Indonesia telah melalui 2 putaran UPR Dewan HAM PBB. Pertama pada tahun 2008 dan kedua pada tahun 2012. Untuksesi pertama, peninjauan oleh Working Group dilakukan pada 9 April 2008. Delegasi dari Pemerintah Indonesia adalah duta besar Rezlan Ishar Jenie. Pada 11 April 2008, Working Group mengadopsi laporan untuk Indonesia dan disahkan dalam paripurna Dewan HAM PBB pada 14 Mei 2008 melalui resolusi A/HRC/8/23. Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei 2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150 rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang ditunda atau tanpa penjelasan. 59 Kondisi tersebut membuktikan Indonesia menjadi perhatian Pelapor Khusus Dewan HAM PBB. Pada 2008, Pelapor khusus kebebasan beragama menyatakan bahwa pelarangan Ahmadiyah melalui Keputusan Bersama Menteri di Indonesia semakin meningkatkan resiko penyerangan terhadap mereka dari kelompok vigilante. Pada 2011, empat Pelapor khusus Pemerintah Indonesia juga terkait dengan meningkatnya penyerangan terhadap kelompok Ahmadiyah. Termasuk pula dalam hal ini komunikasi dari Komisi Tinggi HAM PBB, Navy Pillay. Perhatian khusus yang diberikan PBB karena ada fenomena meningkatnya kasus-kasus intoleransi dan meningkatnya kekerasan berbasis agama terutama pasca reformasi. Perhatian PBB juga tidak bisa dilepaskan dari dorongan aktor masyarakat sipil di tingkat nasional yang selalu memberikan update dan informasi bahkan beberapa kali pertemuan dengan pelapor khusus, baik secara langsung ataupun tidak, agar Indonesia diperhatikan. Peninjauan kedua UPR Indonesia dilakukan Working Group pada 23 Mei 2012 dan diadopsi pada 19 september 2012. Indonesia menerima 150 rekomendasi, menolak 30 rekomendasi dan tidak satupun rekomendasi yang ditunda atau tanpa penjelasan. Adapun rekomendasi-rekomendasi yang tidak diterima oleh Pemerintah Indonesia, di antaranya adalah mengundang Pelapor Khusus Kebebasan Beragama (Paragraf 109.17, 109.18 dan 109.19) dan dorongan untuk merevisi atau menghapuskan peraturan atau keputusan yang membatasi kebebasan 60 beragama, termasuk pula UU no 1/PNPS/1965 dan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Adapun respon Indonesia terhadap mekanisme HAM PBB, ada yang sisi positif ada juga yang sisi negatif. Positif maksudnya menjadikan rekomendasi itu sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat kecil yang merespon secara positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara negatif tetapi ada semacam penolakan atau bersikap defensif terhadap serangan-serangan tersebut. Walaupun begitu tetap ada keyakinan bahwa pemerintah pasti merasa harus memperbaiki diri dan mencoba jangan sampai kasus ini terulang kembali dan kembali memperburuk citra Indonesia di mata dunia hanya karena permasalahan-permasalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan. 61 DAFTAR PUSTAKA Bibliografi Buku: ASEAN Selayang pandang, Edisi ke-19, (Jakarta: ASEAN, 2010) Bambang Yudhoyono: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011 (Jakarta: Setara Institute, 2011) Burchill, Scott & Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional (terj), (Bandung: Nusamedia, 2009) Carlsnaes, Walter, dkk., Handbook Hubungan Internasional, (Bandung: Nusamedia, 2013) Cipto, Bambang, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010). Cohen, David, Rule of Law for Human Rights in the Asean Region: A Base-Line Study, (Depok: Human Rights Resource Centre, 2011) Djafar, Alamsyah, dkk., Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Asia Tenggara: Kerangka Hukum, Praktik, dan Perhatian Internasional (Jakarta: HRWG, 2012) Griffiths, Martin, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001) Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos [ed]. Dari Radikalisme menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah & D.I Yogyakarta, (Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara 2012). 62 Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos [ed]. Wajah Para „Pembela‟ Islam: Radikalisme Agama dan Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Jabodetabek dan Jawa Barat, (Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara, 2010). Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos (ed), Politik Diskriminasi Rezim Susilo Hasani, Ismail, (ed), Dokumen Kebijakan: Penghapusan Diskriminasi Agama/Keyakinan (Jakarta: Setara Institute, 2011) Halili, dkk., Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2012: Kepemimpinan Tanpa Prakarsa (Jakarta: Setara Institute, 2012) HRWG dan KOMNAS HAM, Laporan Pemantauan Pelaksanaan Rekomendasi Komite oleh Pemerintah RI: CAT, CEDAW, CERD, CRC (Jakarta: HRWG, 2011) Holsti, K.J. diterjemahkan oleh Juanda, Wawan. Politik Internasional: Kerangka Analisis, (Bandung: PT Binacipta, 1992) Jackson, Robert & Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) Luhulima, C.P.F., Dinamika Asia Tenggara menuju 2015, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar-P2P-LIPI, 2011) Makarim, Mufti, dkk. Ed., Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor keamanan Indonesia (Jakarta: IDSPS-HRWG-DCAF-KOMNASHAM, 2009) 63 Mas’oed, Mochar, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1990) Muryandari, Ganewati [Ed], Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Arus Perubahan Politik Internasional, (Yogyakarta, P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2011) Muryandari, Ganewati [Ed], Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Pusaran Politik Domestik , (Yogyakarta, P2P-LIPI-Pustaka Pelajar, 2011) Nazir, Moh., Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009) Perwita, Anak Agung Banyu, Pengantar Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) P. Hermawan, Yulius [Ed], Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007) Rezasyah, Teuku, Politik Luar Negeri Indonesia: Antara Idealisme dan Praktik, (Yogyakarta: Humaniora, 2008) Rachmawati, Iva, Memahami Perkembangan Studi Hubungan Internasional, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012) Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabet, 2009) Tim Penyusun, Panduan Penyusunan Proposal & Penulisan Skripsi, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012 Ubaedillah dan Abdul Rozak, ed., Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana-ICCE UIN Jakarta, 2008) 64 Winarno, Budi, Isu-Isu Global Kontemporer, (Jakarta: CAPS, 2011) Rhona K.M. Smith dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, PUSHAM UII Bibliografi Jurnal Report of working group on the Universal Periodec Review: Indonesia (A/HRC/21/7) Term of Reference of ASEAN Intergovermental Commision on Human Rights Human Rights Council Resolution 16/18 of March 2011 Laporan PK-PBB, Asma Jahangir: promotion and Protection of All Human Rights, Civil, Political, Economic, Sosial, Cultural Rights, including The Right to Development, (A/HR/6/5, 20 July 2007) Bibliografi Jurnal Online Musdah mulia, dalam “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama” disampaikan pada acara konsultasi Publik untuk Advokasi terahdap RUU KUHP yang diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP tanggal 4 Juli 2007 Jakarta 65 Bibliografi Website American Bar Association Rule of Law Initiative, “Expert‟Note on the ASEAN Human Rights Declaration” Washington, May 2012, http://www.americanbar.org international Covenant on Civil and Political Rights dalam halaman http://trearies.un.org “Menlu RI sambut penyerahan Deklarasi HAM ASEAN”, Rabu, 10 Juli 2012, http://www.deplu.go.id (diakses pada 10 September 2012) Dara Hapsari Nastiti, Mekanisme HAM PBB, Lihat: https://www.academia.edu/7075173/Mekanisme_HAM_pada_PBB (diakses pada 22 Mei 2015 http://www.un.org/en/sections/about-un/overview/index.html Ollenk D’Jeantackque dalam tulisan “Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM” di http://hukum.kompasiana.com/2013/07/10/reformasi-dan-nasibpelanggaran-ham-575723.html http://www.tempo.co/read/news/2004/03/15/05540684/SelamaPemerintahan-Megawati-Penegakan-HAM-Mandek diakses Senin 12 Mei 2015. 66 DAFTAR SINGKATAN ASEAN Association Southeast of Asia Nation CAT Convention againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment CED International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women CERD Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women CPD/CRPD Convention on the Rights of Person with Dissabilitites CRC Convention on the Rights of the Child DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama GKI Gereja Kristen Indonesia HRWG Human Rights Working Group HAM Hak Asasi Manusia HKBP Huria Kristen Batak Protestan ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights ICESCR International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights JAI Jemaah Ahmadiyah Indonesia KBB Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan KontraS Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan NGO Non Govermental Organization 67 NTB Nusa Tenggara Barat MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat ONCHR Office of High Commisioner of Human Rights PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa PK-PBB Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa SKB Surat Keputusan Bersama SBY Susilo Bambang Yudhoyono UPR Universal Periodec Review 68 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 4 Transkip wawancara Nama: Hilal Safary Instansi: SETARA Institute Jabatan: Peneliti HAM Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Waktu: Senin 11 Mei 2015 Tempat: Kantor SETARA Institute, Jl. Danau Gelinggang, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat Dalam konteks HAM, seberapa penting sebenarnya isu Kebebasan Berkeyakinan Dan Beragama (KBB) diperjuangkan? Dalam HAM ada hak-hak yang dapat dikurangi dan tidak dapat dikurangi. Nah, hak untuk berkeyakinan dan beragama adalah hak yang tidak dapat dikurangi. Itu menjadi penting, karena harkat dan martabat seseorang adalh ketika orang itu dapat menunaikan apa yang diyakini dan apa yang dipercaya. Berbeda ketika hak-hak kita untuk berpendapat itu dibatasi atau hak kita untuk berkumpul itu dibatasi. Warga Negara akan kehilangan harkat dan martabatnya ketika ia dibatasi keyakinannya, dibatasi kepercayaannya pada sesuatu konsep atau pada apa yang diyakininya sebagai Tuhan. Dia 69 akan kehilangan spirit hidup. Karena yang diyakini adalah bahwa hidup itu untuk menjalankan agama atau apa yang ia yakini. Selanjutnya, dalam konteks relasi sosial dan politik, agama seringkali dijadikan motif untu pemicu konflik yang sebetulnya jika tidak dibumbui agama konflik itu menjadi tidak massif dan tidak besar. Singkatnya, agama sering dijadikan komoditas politik. Oleh karena itu, setiap warganegara harus sadar bahwa ini (berkeyakinan dan beragama) adalah sebua kebebasan yang harus dihargai dan dihormati karena tidak ada kebenaran yang mutlak dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun, dalam konteks berkeyakinan dan beragama bahwa kita menganggap agama kita paling benar dan agama kita merupakan jalan satu-satunya menuju surga itu bukan persoalan. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Klaim kebenaran (mutlak) semacam itu seharusnya ditinggalkan dan dimasukan dalam rumah masing-masing dan tidak dibawa ke ruangruang publik. Selain dapat dipolitisir, KBB juga merupakan isu yang paling sulit dijangkau melalui treatment sosial, politik, apalagi perundang-undangan. Kadang-kadang, kalau kita berbicara KBB dengan aturan salah, tetapi tidak diatur salah. Melalui pendekatan persuasif belum tentu benar. Karena kalau sudah terbangun rasa curiga, semua jalan menjadi tidak benar, apalagi dengan menggunakan cara represif dan menggunakan kekerasan. nah itu menjadi penting, bukan hanya untuk NGO dan kelompok masyarakat sipil yang memang kordnya di isu KBB, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya pada agama, sebetulnya Bagaimana dengan kondisi KBB di Indonesia sejak SETARA Institute berdiri sampai di tahun 2012? 70 Menurut data, konflik KBB sebenarnya secara massif meningkat di antara tahun 2007 sampai 2012. Peningkatannya linear dan tidak naik turun. Ditahun 2012 itu terlihat terjadi titik akumulasi konflik dan Pada tahun 2013 itu baru menurun. Apa Kecenderungan yang terjadi? Setiap tahun, pada masa pemantauan, konflik KBB itu dipengaruhi oleh tiga hal: 1) kemimpinan formal dalam pemerintah, misalnya Kepala Daerah mengeluarkan Perda yang Intoleran sehingga dapat dijadikan legitimasi bagi warganya untuk melakukan tidakkan represif terhadap kelompok agama tertentu, diperkuat oleh Countdowning (persetujuan suatu tindakan oleh seorang figure berpengaruh); 2) kepemimpinan tradisional (Ulama, gereja, kyai), seringkali kepemimpinan tradisional yang menjadi agen-agen yang mendorong pemerintah untuk menjadi tunduk; 3) kondisi geografis, dimana wilayah tersebut masuk ke dalam kawasan transisi (misalnya dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern), ada pergeseran nilai yang membuat kelompok agamis menjadi resisten terhadap konsep-konsep yang dilekatkan pada modernitas, seperti sekularisme, HAM, dan Demokrasi. Semakin resisten maka semakin ada pengotakkotakan antara kelompok yang pro status quo dengan kelompok yang prograsif. Misalnya dalam kasus penolakan pendirian gereja, itu tidak datang dari kelompok yang pro demokrasi, tetapi dari kelompok agamis tradisional yang resisten karena eksistensinya mulai terancam. Itu kemudian yang dimanfaakan oleh pemimpin masyarakat sekitar untuk melakukan desakan, tuntutan, dan bahkan ancaman ke pemerintah. Bahwa secara kuantitas mereka tidak banyak, karena mengklaim kelompok yang lebih besar, seperti islam, itu menjadi sulit ditolak karena sifatnya jadi politis. Dan bisa dibilang saat ini terjadi proses duplikasi, misalnya dulu terjadi hanya di daerah Tangerang, Bogor, dan Bekasi saat ini menular ke daerah Tasikmalaya, Cianjur, dan sekitarnya. Atau bisa saja juga akan menjangkiti daerah-daerah yang cenderung toleran. Seolah-olah ada nilai baru 71 yang tidak siap mereka tampung. Itu dapat menjadi ancaman, yang sesungguhnya perbedaan-perbedaan itu bisa didamaikan dengan toleransi. Walaupun nilai-nilai toleransi itu juga ditolak oleh kelompok tradisional. Bagaimana perhatian Internasional terhadap isu-isu KBB? OKI, PBB, dan ASEAN sangat memantau dan mempelajari konflik-konflik berbasis agama di Indonesia, bahkan perhatian yang ditujukan kepada Indonesia melebihi kepada Negara-negara lain, Karena Indonesia mayoritasnya adalah muslim, multikultur, jumlah warganegaranya banyak, Negara demokratis dengan mayoritas muslim terbesar di dunia. Itu sebetulnya adalah value yang ingin disampaikan dan seharusnya pesannya sudah sampai. Apa yang kita sebut KBB di Indonesia tidak terjamin, rasa-rasanya dalam konteks hubungan diplomatis tidak melihat itu. Mereka hanya melihat interaksi hubungan antar kebudayaan yang sifatnya non agregatif. Mereka tidak mengurusi hal-hal yang sifatnya particular. Bahwa mereka faham betul di Indonesia masih ada yang sulit mendirikan rumah ibadah, tetapi secara umum mereka melihatnya kondusif. Itu juga yang menjadi alasan mengapa SBY mendapatkan award untuk toleransi berkeyakinan dan beragama pada tahun 2013 dari NGO internasional. Di Indonesia, kasus yang sering mendapatkan teguran internasional adalah kasus hukuman mati. Selebihnya tidak signifikan. Bahkan mereka menganggap, bahwa konflik KBB di Indonesia masih dalam kategori normal. Sebenarnya juga kita tidak berkepentingan terhadap penetapan status normal atau tiak normalnya eskalasi konflik KBB di Indonesia. Toh, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tahun 2012 PBB pernah membuat rekomendasi untuk kasus KBB di Indonesia, strateginya bagaimana agara rekomendasi dapat dilaksanakan? 72 Seharusnya ada mekanisme untuk menakar apakah rekomendasi itu sudah dijalankan atau belum. Kalau tidak terpenuhi lalu mau apa?. Donor Internasional sendiri perhatian terhadap isu KBB bagaimana? Umumnya ingin memastikan demokrasi di Indonesia tidak hanya menampilkan demokrasi formalistik yang sifatnya hanya procedural tetapi juga substansial. Di Indonesia ini seharusnya pilot project karena tingkat pluralistiknya yang tinggi. Jadi sangat representatif untuk memperlihatkan bahwa dunia itu bisa diatur dengan baik kalau demokrasi bisa mengatur Indonesia dulu. Demokrasi selalu head to head dengan islamis dan marxis tapi di Indonesia demokrasi bisa kompatibel dengan keduanya. Donor yang concern terhadap itu ada Asia foundation, kedutaan-kedutaan asing (Canada, Belanda, Amerika, Swedia, Swiss, Jerman) Adakah analisa soal kecenderungan donor? Mereka cenderung support terhadap project pendampingan, pemenuhan hak-hak dasar korban, untuk penguatan kesadaran, wawasan, dll, kampanye. Apakah semua donor membiayai semua fokus dari kampanye sampai keupaya penyadaran? Tidak bisa dibuat cluster. Tetapi ada irisan antara satu proyek dangan proyek yang lain. 73 Nama: Amin Syarifuddin Instansi: SETARA Institute Jabatan: Peneliti HAM Waktu: Senin 11 Mei 2015 Tempat: Kediamanan Beliau di Serpong, Tangerang Selatan, Banten Bagaimana kondisi HAM pasca kemerdekaan? secara normatif, undang-undang dan ratifikasi instrument HAM internasional sudah cukup baik. Dibandingkan dengan Negara-negara lain, Indonesia, jauh lebih baik. Namun pada prakteknya berbeda. Masih ada pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap hak-hak yang sifatnya tidak dibatasi. Misalnya saja hukuman mati masih diberlakukan. Bagaimana dengan (kondisi HAM) pasca reformasi? Selama reformasi sebenarnya tidak ada tonggak yang menandakan kemajuan. Namun pada hal yang sifatnya formal sudah cukup baik. Misalnya dengan hadirnya Komnas HAM. Namun lagi-lagi kalau kita tinjau dari segi kewenangan, Komnas HAM diberikan mandat sebatas memberikan rekomendasi saja namun setelah itu mau apa? Komnas HAM sulit bergerak. Namun menurut saya, saat ini bukan lagi soal instrument yang harus dibenahi tetapi soal political will pemerintah dan jajarannya. Kalau menurut abang, bagaimana (kondisi HAM) jika dibandingkan antara masanya Gus Dur dengan polanya yang khas, masa Megawati, sampai ke masa SBY? 74 Pembunuhan Munir adalah sebuah pukulan terbesar bagi pergerakan demokrasi dan itu dapat dijadikan indikator kemunduran yang paling nyata. Indikator kemunduran selanjutnya dapat kita lihat dari proses peradilan kasus Munir, yang hingga saat ini dapat dikatakan belum mendapatkan porsi yang layak. Karena dalang pembunuhannya belum tertangkap. Selebihnya, di setiap rejim itu selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Gus dur misalnya, kita lihat secara personal bisa dibilang progresif, tetapi situasi politik tidak memungkinkan progresifitas Gus Dur termanifestasikan dalam bentuk kebijakan dsb. Sifatnya semacam transisi, yang dalam perkembangan masyarakat Indonesia sebenarnya hanya satu sisipan yang nyempil nama Gus Dur setelah itu selesai. Karena tidak memiliki waktu yang panjang maka perubahan tidak terlihat signifikan, perubahannya hanya sebatas nomenklatur seperti berdirinya kementerian kelautan. Meskipun dalam rejim berikutnya itu dipertahankan karena dianggap sebagai sebuah terobosan, orientasi pemerintahan dan program eksekutif diarahkan pada pendayagunaan dan eksplorasi potensi kelautan yang dari orde baru tidak mendapatkan perhatian. Megawati, kemunduran terlihat sekali karena kematian Munir. Selebihnya saya tidak terlalu memperhatikan yang lain karena momentum-momentum yang lain tertutupi oleh kasus Munir. Susilo Bambang, adalah pemimpin yang memiliki tipologi diplomatis akhirnya banyak yang menilai SBY sebagai orang yang plin-plan, lambat, dan tidak tegas. Disatu sisi bisa saja benar, tapi di sisi yang lain kita lupa bahwa ia juga orang yang berhati-hati. Itu, tentu saja, punya implikasi positif dan negatif. Misalnya, di era SBY ini persinggungan dengan Malaysia terjadi lebih banyak disbanding sebelumnya, tetapi secara khas ia mengambil kebijakan yang tidak buru-buru, jadi tidak memperumit masalah. Begitu juga dengan persoalan-persoalan yang membutuhkan reaksi cepat juga tidak direspon dengan terburu75 buru sehingga seperti tidak maksimal. Seperti warisan kasus pembunuhan Munir yang sampai saat ini masih dipersoalkan. Sesungguhnya, persoalan itu bisa diselesaikan pada kepemimpinan SBY. Karena secara politis, SBY sangat kuat mendapat dukungan ketika di Pilpres, jadi sesungguhnya itu adalah modal sosial dan modal politik yang cukup untuk bisa menyelesaikan kasus-kasus semacam ini. Jokowi, saya kira agak susah mencerna apakah ada kemajuan atau kemunduran. Tetapi paling tidak, dari aspek kebijakan hukuman mati yang dijalankan pada masanya, itu juga merupakan kemunduran. Rekor juga karena sepanjang pemerintahan baru kali ini melakukan eksekusi mati dua gelombang (Tidak seperti pemerintahan selanjutnya yang telah memoratorium hukuman mati). Ini juga berdampak pada konstelasi hubungan internasional. Turut merubah juga proyek kejahatan narkoba transnasional, karena seolaholah kita ingin menyelesaikan sendiri. Sedangkan kejahatan transnasional harus harus juga ditangani secara multinasional juga. Nah, Jokowi dan kebijakan hukuman matinya telah berhasil mengubah pola itu. 76 Nama: Muhammad Hafiz, SHI Instansi: Human Rights Working Group (HRWG) Jabatan: Manager Program for Advocacy Organization Islam Conference (OIC) Waktu: Senin 26 Mei 2015 Tempat: Kantor HRWG, Menteng, Jakarta Pusat Sejauhmana upaya PBB dalam mendorong perlindungan KBB di Indonesia? Pertama, tanggung jawab PBB sebagai lembaga internasional. Dari segi sejarah memang isu kebebasan beragama sudah ada bahkan sejah DUHAM dibentuk dan itu semakin besar untuk bagaimana melindungi hak kebebasan beragama. Pada tahun 1970-1980an itu sempat akan diadakan konvensi khusus terkait KBB. Walaupun masih ada penolakan oleh beberapa Negara sehingga muncul deklarasi perlindungan minoritas dan intoleransi, jadi cikal bakalnya di disitu. Dari perhatian itulah, PBB pada tahun 1950-an membentuk satu pelapor khusus atau satu prosedur khusu di bawah komisi HAM PBB yang diberi nama ‘pelapor khusus untuk intoleransi dan diskriminasi’ yang kemudian menjadi ‘pelapor khusus untuk kebebasan beragama’. Perhatiannya terhadap KBB sudah cukup tinggi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain. Terkait di Indonesia sendiri, ada perhatian khusus yang diberikan karena meningkatnya kasus-kasus intoleransi, meningkatnya kekerasan berbasis agama terutama pasca reformasi sehingga respon dari masyarakat sipil di Indonesia juga 77 mendorong perhatian PBB untuk lebih serius memperhatikan Indonesia. Dalam konteks itu, sebenarnya perhatian PBB tidak bisa dilepaskan dari dorongan actor di tingkat nasional yang selalu memberikan update dan informasi bahkan beberapa kali pertemuan dengan pelapor khusus, baik secara langsung ataupun tidak, agar Indonesia diperhatikan. Tantangannya, PBB merupakan lembaga internasional yang sangat terkait dengan dua hal. Pertama, bagaimana soal etika hubungan antar Negara itu dibangun Negara dan warga negaranya. Kedua, soal peranan politisnya untuk mendesak Negara-negara, walaupun secara tidak langsung. Dari segi politis, tentu, pelapor khusus atau PBB sendiri memiliki peran penting untuk menekan pemerintah Indonesia secara tidak langsung, baik secara vulgar melalui mekanismemekanisme yang ada di PBB, misalnya, siding dewan HAM disitu, ada proses UPR disitu atau melalui sarana-sarana yang diplomatik dengan mengirimkan surat kepada pemerintah Indonesia, entah itu dari OHCHR atau dari pelapor khususnya sendiri atau dari Komisi HAMnya sendiri. Jadi ada layer-layer yang digunakan PBB untuk memperhatikan kasus-kasus di Indonesia dan memunculkan peranan tersendiri bagaimana menekan pemerintah Indonesia. Bagaimana dengan PBB, pada tahun 2012 sempat menegur Indonesia di forum Internasional tentang Baha’I, Syi’ah, dan Ahmadiyah? ada beberapa forum yang diangkat untuk mengangkat isu kebebasan beragama. Dalam catatan HRWG, setidaknya, ada dua momen yang begitu kuat ditingkat internasional dimana kasus KBB menjadi perhatian bagi Negara-negara anggota 78 PBB atau bahkan pelapor khusus. Pertama, ketika UPR dilakukan pada tahun 2012. UPR itu mekanisme review Negara terhadap situasi hak asasi manusia secara umum. Ditambah lagi masyarakat sipil ketika itu merasa penting mengangkat isu KBB yang memang sangat kritis. Intolerasi meningkat dibarengi dengan tindak kekerasan. ada kasus Cikesik dan Sampang yang terjadi beberapa kali, kemudian GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang tidak kunjung selesai belum lagi kasus-kasus lain yang secara rutin dimonitor oleh masyarakat sipil. Sehingga merasa penting untuk mengangkat isu KBB di forum UPR. Ada satu laporan khusus terkait KBB yang kita buat dan kita jadikan modal untuk melobi, berdiplomasi dengan Negara-negara dewan HAM di forum UPR. Akibatnya, isu KBB menjadi sangat panas waktu itu bahkan menurut analisa kita, Menlu Martinatalegawa yang seharusnya tidak dijadwalkan pergi, karena besarnya perhatian Negara-negara terhadap isu HAM, khususnya KBB di Indonesia, Menlu sendiri yang kemudian hadir di Forum UPR itu. Jika dilihat dari kasus per kasus, isu KBB memang paling tinggi perhatiannya dibandingkan dengan isu-isu lain. Dari 130 rekomendasi ada sekitar 30-35 rekomendasi yang spesifik membahas KBB. Selanjutnya, ketika ada review di bawah mekanisme covenan hak sipol di depan komite HAM PBB. Mekanisme ini kan seharusnya tertutup tetapi ada akses masyarakat sipil dan dia tidak terlalu politis sebagaimana di dewan HAM. Tetapi forum itu juga dapat digunakan sebagai laporan alternatif. Itu juga yang digunakan oleh masyarakat sipil ketika itu untuk membuat laoran alternatif tentang KBB. Dan hampir seluruh perhatian Komite HAM PBB waktu itu juga 79 diberikan untuk isu-isu KBB. Sehingga ada banyak rekomendasi spesifik yang berbicara tentang KBB. Salah satu rekomendasinya adalah Indonesia harus meningkatkan dialog antar umat beragama, harus mencabut PNPS, mencabut UU penodaan agama, menjamin pendirian rumah ibadah, dsb. Dua momen itu yang cukup memberikan efek baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap pemerintahan untuk melakukan perlindungan di dalam negeri. Bagaimana respon Indonesia setelah medapat rekomendasin dari PBB? ada yang merespon pisitif ada juga yang tidak. Positif maksudnya menjadikan rekomendasi itu sebagai bahan evaluasi walaupun sebetulnya sangat kecil yang merespon secara positif. Selebihnya, sebetulnya tidak merespon secara negative tetapi ada semacam penolakan atau bersikap defensive terhadpa seranganserangan itu dengan mengatakan bahwa “yaa itu kan Cuma segelintir kasus, dari sebanyak itu kan cuma GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia yang bermasalah, Ahmadiyah Cuma di cikesik saja, Sampang juga Cuma ada satu, dsb” dan seakan menolak rekomendasi-rekomendasi tsb dan menolak fakta yang ada. Walaupun kami yakin bahwa pemerintah merasa harus memperbaiki diri dan mencoba jangan sampai kasus ini terulang kembali dan kembali memperburuk citra Indonesia di mata dunia hanya karena permasalahan-permasalahan kecil yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan. 80 Seberapa efektif peran PBB? Efektif atau tidak efektif itu mengukurnya sulit. Secara kuantitatif atau kualitatif. Tapi yang kami lihat sampai sejauh ini PBB masih cukup penting dijadikan partner pemerintah yang baik untuk menjamin KBB. Indonesia, baik di era SBY maupun di era Jokowi, selalu ingin dilihat dengan citra yang baik di mata dunia. Nah, hal-hal yang dapat memperburuk citra akan diminimalisasi sedemikian rupa termasuk dalam isu KBB. 81 Nama: Alamsyah Djafar Instansi: Wahid Institute Jabatan: Peneliti Waktu: 20 Mei 2015 Tempat: Hotel House of Arsonia, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat Bagaimana kondisi HAM dan KBB di ASEAN? Tantangan pemenuhan KBB di Asia Tenggara kondisinya beragam dari yang sangat pelik hingga yang sudah cukup kuat. Di Indonesia kondisinya cukup baik meski disatu sisi masih ada persoalan. Namun jika dibandingkan dengan negaranegara lainnya seperti Myanmar, vietnam, kondisi Indonesia jauh lebih baik meskipun masih ada beberapa persoalan. Philipina juga termasuk cukup baik, ya walaupun masing-masing negara punya problemnya sendiri-sendiri. Di Philipina misalnya punya tantangan sendiri terkait Bangsa Moro, begitupun dengan Thailand. Mengenai karakteristiknya ASEAN dalam KBB sendiri bagaimana? ASEAN dibanding kawasan lain cukup stabil kondisi KBBnya, tapi kalau kita masuk lebih detail. Itu pasti bisa kita temukan masalah-masalah. Di Malaysia misalnya, menghadapi tantangan diskriminasi antara suku melayu dengan yang non melayu, begitupun dengan kelompok-kelompok nonmuslim yang ada di 82 malaysia. Juga masih ditemukan hal-hal yang bersifat konservatifisme, misalnya, pelarangan orang-orang non muslim menggunakan istilah Allah untuk menyebut Tuhan. Karena hampir 30 nomenklatur yang dianggap khas Islam dan tidak diperkenankan bagi non Islam untuk menggunakan nomenklatur tsb. Misalnya, Allah, Rosul, dsb. Kemudian isu-isu terkait pendirian rumah ibadah masih juga diperdebatkan. Sebagai sebuah negara yang makin kuat proses penyelesaian hukum juga makin cepat dan lebih baik. Tapi konservatisme juga sangat kuat di Malaysia . Buku-buku yang dianggap liberal akan disortir oleh negara. Tetapi dari segi persoalan bagaimana melihat masing-masing konstitusi juga memiliki persoalnanya sendiri-sendiri. Dari hasil penelitian yang saya baca. Tantangan di Asean adalah apa yang kita sebut sebagai hukum besi. Seperti malaysia itu punya Internal security act, yakni aturan yang atas nama keamanan diperbolehan untuk menangkap seseorang. Begitupun di Singapura, jika anda coba untuk mengakses situs-situs radikal antara 10-15 menit anda harus siap diinterogasi petugas. Kebebasan berekspresi itu ditekan. Karena prinsipnya yang masih menggunakan hukum besi itu. Perhatian internasional terhadap isu KBB di Asean, misalnya PBB itu bagaimana? PBB itu memiliki sejumlah instrumen, instrumen itu dapat berjalan jika negara pihak meratifikasi. Disitulah sebenarnya peran PBB. Misalnya, Indonesia kan sudah meratifikasi kovenan HAM PBB, Indonesia kemudian diikat untuk melakukan tahapan-tahapan legalnya. Misalnya secara rutin melaporkan 83 perkembangannya ke dalam forum UPR. Di luar itu, PBB sebenarnya cukup baik dalam menanggapi Rohingya. Tinggal kita tunggu saja tindakan konkret dari PBB terkait Rohingya. Secara singkat kontribusi PBB itu terletak pada instrumeninstrumen yang dia miliki. Intrumen itu dapat diberlakukan ketika negara-negara di Asean itu meratifikasi. Untuk kebebasan beragama itu, yang sudah meratifikasi kovenannya adalah Indonesia, Malaysia, Philipina, Vietnam. Yang tidak meratifikasi adalah Brunei. Brunei itu menjadi masalah di Asean karena tidak memiliki Separation Of Power karena Brunei dipimpin oleh seorang kepala negara sekaligus sebagai pemuka agama dan mereka mejadikan madzhab syafi’i sebagai offisial (madzhab resmi). Untuk malaysia, yang paling disorot adalah karena malaysia dianggap salah satu negara yang memiliki kebijakan agama resmi. Agama resmi itu dianggap sebagai cikal bakal lahirnya kebijakan yang diskriminatif. Meskipun dunia internasional itu tidak mempermasalahkan kebijakan agama resmi sejauh dia tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negara yang bukan menjadi bagian dari agama resmi tersebut. Tetapi prakteknya itu mendiskriminasi. Misalnya, Malaysia itu agama resminya itu adalah Islam, nah itu perlakuannya menjadi berbeda bagi warga negara di luar agama resmi. Siapa saja yang dimaksud masyarakat internasional dalam hal ini? Dewan HAM PBB termasuk negara-negara yang terlibat di dalamnya. Terutama yang paling kritis soal isu-isu religious freedom yakni Amerika, Inggris, Perancis terutama di dalam forum UPR. Bagaimana soal KBB dalam konteks Indonesia khususnya perhatian PBB? 84 Ada mekanisme yang diberi nama Special Reporter (Pelapor Khusus) yang menjadi bagian dari HAM Inernasional yang akan mencari data ke negara-negara pihak kemudian melaporkan dan memberi rekomendasi pada negara piha yang dianggap penting. Kalau di Indonesia, pelapor khusus itu meyoroti tentang UU PNPS termasuk juga dalam kasus UU Ormas (2014), dan yang lain-lain itu ada kasus Ahmadiyah dan Syiah (2012dan juga peraturan perundang-undangan yang tidak inline dengan instrumen HAM internasional. Untu itulah mereka meminta agar hukum domestik kita selaras dengan instrumen HAM internasional. Pada UPR tahun 2012, seperti apa respon pemerintah? Bagi teman-teman di masyarakat sipil, jawaban pemerintah cenderung diplomatis. Misalnya saja ketika pemerintah menanggapi tentang UU PNPS yang dianggap sebagai hukum domestik yang harus dihormati bahkan Uji materi terhadap UU tersebut sebagai bukti telah melalui proses yang demokratis. UU PNPS itu sudah diuji materi dan secara umum ditolak oleh MK. Oleh karena proses itu sudah dilalui, Negara kemudian mengklaim telah memberi ruang bagi proses hukum. Pun dengan soal ahmadiyah, pemerintah mengklaim sudah mengambil upaya hukum dan kebijakan dengan cara mengeluarkan SKB 3 menteri. SKB 3 menteri itu dianggap mampu mengontrol konflik antara ahmadiyah dan masyarakat yang kontra ahmadiyah. Kalau bagi masyarakat sipil kan tidak begitu, justru dengan lahirnya SKB 3 menteri itu banyak melahirkan diskriminasi-diskriminasi bagi ahmadiyah. 85 Seberapa efektif peran PBB dalam perlindungan KBB? Menurut saya cukup efektif karena isu kebebasan beragama dan isu-isu yang lain semacam pergaulan internasional. Kalau ada permasalahan dengan isu-isu ini maka dunia akan menyoroti Indonesia sebagai negara yang tidak menghormati HAM. Itu juga akan menjadi masalah dalam konteks hubungan internasional. Itu yang secara tidak langsung mencovba menekan pemerintah untuk melakukan antisipasi dan dari kacamata teman-teman NGO itu cukup efektif. Misalnya, jika indonesia dianggap negara intoleran maka dimata internasional ada noda sehingga pemerintah mulai berfikir bagaimana merespon ini untuk mengembalikan citra indonesia dengan melakukan langkah-langkah yang telah ditetapkan. Meskipun langkah-langkahnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan. Efektifitas peran PBB itu mempengaruhi pergaulan internasional mau tidak mau pemerintah haru mengkuti mekanisme yang ada. 86