kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama

advertisement
HAK UNTUK BEBAS BERKEYAKINAN
Oleh Antonio Pradjasto
Pengantar
Kebebasan berkeyakinan merupakan sebuah persoalan akut di dunia, termasuk di
Indonesia. Diskriminasi atau persekusi (tindakan kekerasan) pada seseorang atau
kelompok orang hanya karena ia/mereka memegang keyakinan tertentu masih juga belum
berakhir. Tampaknya hak untuk bebas berkeyakinan belum memenangi pikiran
masyarakat di berbagai belahan dunia. Yang terjadi adalah semakin melenturnya sikap
toleransi terhadap orang lain yang memiliki keyakinan dasar tertentu.
Lebih lanjut, sikap intoleransi atas keyakinan tidak lagi hanya menjadi monopoli negara
(seperti yang pernah terjadi di berbagai negara Eropa Timur, Amerika Selatan maupun
Asia). Banyak [para pemuka] agama yang tergoda untuk melawan apapun yang mereka
sebut sebagai tidak normal (deviant) – baik yang ada di kalangan agamanya sendiri
maupun di luar agamanya. Tidak sedikit pula agama digunakan sebagai alasan oleh
politisi dan panglima perang untuk mengobarkan konflik atau penghancuran pada agama
tertentu.
Kurang lebih itulah observasi umum dari sebuah studi panjang “Freedom of religion and
Belief: A world report” yang dilakukan terhadap 50 negara, pada tahun 1997.1 Laporan
itu terjadi 10 tahun lalu akan tetapi kesimpulan-kesimpulan utamanya masih mewakili
keadaan kontemporer. Kesimpulan itu bisa kita bandingkan dengan Indonesia. Serangan
terhadap kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL), penutupan gereja-gereja secara paksa,
serangan dan perampokan atas pengikut Ahmadyah, penolakan pengakuan terhadap
kelompok-kelompok Kaharingan atau Sedulur Sikep, konflik berdarah berbasis agama di
1
Boyle, K., and Sheen J. (ed.), “Freedom of Religion and Belief: A World Report”, Routledge, 1997.
Kevin Boyle sendiri saat itu adalah Profesor dan Direktur Human Rights Centre, University of Essex
dengan pengalaman panjang dalam litigasi hukum hak asas internasional. Sedangkan Juliet Sheen, fellow di
centre yang sama yang telah lama memberikan konsultasi hak asasi terutama dalam hal kebebasan
berkeyakinan dan beragama.
Maluku
dan
Poso
adalah
sebagian
dari
belum
menangnya
kebebasan
beragama/berkeyakinan dalam pikiran masyarakat termasuk tokoh-tokoh agama.
Tulisan ini akan terdiri atas beberapa bagian. Bagian pertama hendak menjelaskan
semangat dasar dari standar internasional mengenai kebebasan berkeyakinan dengan
melihat kembali sejarahnya. Bagian kedua hendak menjelaskan cakupan dari hak tersebut
dan kontekstualisasinya di Indonesia. Bagian ketiga mencoba melihat tantangan yang
dihadapi untuk menerapkan standar itu.
Kilas Balik: Penghormatan Keanekargaman dan Sikap Toleransi
Sejak awal perlu dijelaskan bahwa hukum hak asasi internasional lahir dari kesadaran
historis bahwa setiap manusia harus diperlakukan sama sebagai manusia tanpa perbedaan
ras, seks dan agama. Tanpanya yang terjadi adalah pemusnahan peradaban manusia itu
sendiri. Termasuk pula ketentuan hukum hak asasi internasional mengenai kebebasan
berkeyakinan yang dirumuskan tak terpisahkan dengan kebebasan berpikir dan beragama.
Hak untuk berkeyakinan sering pula disebut hak yang kontroversi. Hal ini karena
kenyataannya spektrum keyakinan masyarakat dunia begitu luas – dari negara-negara
ateis, negara yang memisahkan secara ketat urusan agama dan negara, hingga agama
negara – atau negara yang menjadikan hukum agama lebih tinggi dari hukum negara.
Sejak awal memang prinsip yang mendasari perumusan hak asasi untuk berkeyakinan
dalam hukum internasional adalah pengakuan dan toleransi akan keanekaragaman agama
dan keyakinan.
Gagasan mengenai toleransi dan penghormatan akan agama/keyakinan tidak dengan
sendirinya muncul dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-bangsa. Di Eropa gagasan
ini lahir dari sejarah yang panjang. Pada abad 18 konsep ini merupakan perjuangan
masyarakat setempat atas kebebasan individu akan pikiran, agama terhadap kekuasaan
gereja dan negara.2 Pada saat itu tuntutan akan kebebasan beragama merupakan sala satu
2
ibid
elemen penting yang mempengaruhi pandangan-pandangan abad menengah yang
kemudian juga mempengaruhi perkembangan persepsi modern mengenai hak asasi dan
kebebasan dasar. Kebebasan ini bahkan telah dirumuskan sejak awal abad modern dalam
Code of Fhode Island 1647.
Hal ini tidak berarti bahwa nilai yang terkandung di dalamnya sudah terdapat dalam
berbagai budaya dan peradaban. Sikap toleran atas perbedaan keyakinan sesungguhnya
merupakan ajaran-ajaran dasar dari setiap agama. Sifat universalitas hak ini juga dapat
dilihat pada banyaknya negara PBB yang telah meratifikias kovenan ini atau menerima
norma-norma di dalamnya sebagai norma yang mengikat. peran negara-negara. Peran
negara-negara Asia termasuk Timur Tengah dalam perumusan standar hak ini dalam
ICCPR (1945-1946) sangat tinggi.
Hingga kini PBB belum berhasil melahirkan sebuah konvensi khusus yang mengikat
negara-negara
untuk
komit
pada
penghapusan
segala
bentuk
intoleransi
keyakinan/agama. Perumusan paling sederhana dari standar hak untuk bebas
berkeyakinan/beragama dituangkan dalam pasal 18 Deklarasi Umum HAM yang
menyatakan:
”setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini termasuk kebebasan untuk merubah agama dan
kepercayannya, bisa dimiliki secara sendiri atau bersama oran glain dalam
komunitas, dimanifestasikan secara publik atau privat dalam pengajaran,
ibadah, kepatuhan dan pengamalan”.
Standar hak itu dielaborasi lebih lanjut dalam pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik (KIHSP) sebagai berikut:
1. everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and
religion. This right include freedom to have or to adopt a religion or belief
of his choice, and freedom, either individually or in community with
others and in public or private, to manifest his religion or belief in
worship, observance, practice and teaching.
2. no one shall be subject to coercion which would impair his freedom to
have or to adopt a religion or belief of his choice
3. Fredom to manifest one’s religion or beliefs may be subjected only to such
limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public
safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of
others.
4. the state parties to the present covenant undertake to have respect for the
liberty and moral education of their children in conformity with their own
convictions.
Hak yang sama juga dijamin dalam berbagai instrumen hak asasi regional seperti
Konvensi HAM Eropa (ECHR)3 dan Konvensi Hak Asasi Amerika (ACHR)4.
Meski belum melahirkan sebuah konvensi, berbagai upaya tetap dilakukan untuk
membentuk standar HAM internasional sebagai prinsip netral. Salah satunya yang adalah
dengan mengadopsi Deklarasi PBB No. 1981 mengenai “Penghapusan Segala Bentuk
Intoleransi dan Diskriminas Berdasarkan Agama dan Keyakinan”
Deklarasi yang dibangun dari berbagai peraturan yang tertuang dalam Konstitusi HAM
Internasional5 memberi aturan yg lebih detil mengenai hak individu maupun kelompok
untuk menganut dan memanifestasikan/menerapkan keyakinannya. Deklarasi ini juga
memberi arahan bagi negara dalam mendorong toleransi dan menghapus diskriminasi.
Tiga belas tahun kemudian Komite HAM, sebuah organ penting PBB yang mendorong
pemajuan dan perlindungan hak asasi mengeluarkan General Comment mengenai pasal
18 ICCPR.6
3
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (Rome, 2 Nov. 1950),
article 10
4
American Convention on Human Rights ‘Pact of San Jose’ (Costa Rica, 22 Nov. 1969), article 13.
5
Konstitusi hak asasi manusia internasional biasa merujuk pada Deklarasi umum HAM, ICCPR dan
ICESCR.
6
Resolusi No.
Penting pula dikemukakan bahwa hak berkeyakinan/beragama merupakan kebebasan
yang paling lama diakui dalam hukum internasional, bahkan jauh sebelum adanya
pemikiran untuk memberi perlindungan sistematis bagi hak sipil politik. Hak ini,
terutama di Eropa, mendorong lahirnya gerakan menuntut kebebasan berekspresi. Fakta
sejarah itu kira-kira dapa dijelaskan seperti ini. Kebebasan beragama/berkeyakinan hanya
berarti jika terdapat jaminan untuk memanifestasikan gagasan dan keyakinannya. Tanpa
hak untuk secara bebas memilih, menyatakan, dan menjalankan keyakinannya ia hanya
tinggal dalam benak orang yang bersangkutan – tidak dapat dinilai atau diakui oleh pihak
lain. Dengan sendirinya hak ini berkorelasi erat bukan saja dengan kebebasan berpikir
dan beragama akan tetapi juga kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisai.
Perumusannyapun dalam pasal 18 yang merupakan pasal pertama dari rangkaian hak
asasi yang biasa digolongkan sebagai kebebasan-kebebasan politik [lihat pasal 18—22].
Bahkan hak ini dianggap sebagai bagian dari kebebasan politik sekalipun tidak sekuat
kebebasan berespresi dan berkumpul/berorganisasi.
Kebebasan yang dirumuskan dari rationalisme abad pencerahan yang mengakui
eksistensi individu perlu mendapat perlindungan dari negara. Eksistensi itu mencakup
keyakinan akan ide-ide tertentu, penyampaian ide itu pada pihak lain, dan kebebasan
untuk mempertahankan ide yang bersangkutan secara publik baik disampaikan oleh
individu itu sendiri maupun dalam komunitas besama orang lain serta bertndak menurut
keyakinan itu.
Gambaran ini sekaligus menegaskan secara positif ciri hak asasi yang menekankan sifat
‘universal, tak terbagikan dan berkaitan satu dengan yang lain’ dari hak asasi.7
Sebaliknya, secara negatif, kepercayaan yang terlalu fanatik mengenai kebenaran mutlak
dalam realitanya bukan saja mengancam kebebasan beragama akan tetapi juga hak-hak
lain. Lihat saja bagaimana konflik berdarah yang bernuansa agama telah melanggar hak
untuk bebas dari siksaan, hak untuk berekspresi, hak atas pendidikan dan kesehatan.
7
Vienna Declaration and Programme of Action 1997 (U.N.Doc.CONF.157/23) para.5
Cakupan Hak
Dalam hukum internasional hampir tidak bisa dipisahkan antara kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama. Satu dengan yang lain sangat berkaitan. Merujuk pada
pengertian di Konvensi Hak Asasi Eropa, serta travaux preparatoir KIHSP pengertian
keyakinan itu tidak saja meliputi keyakinan agama tertentu akan tetapi juga juga
keyakinan non-theistic (adanya satu Tuhan), atheistik (adanya Tuhan), agnosticism,
rationalism dan tidak memeluk keyakinan apapun.8
Pengertian yang luas ini diperkuat dalam Deklarasi PBB 1981 mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Intoleransi Agama, dan Diskriminas berdasarkan Agama dan Keyakinan;
General Comment No. 22/48 tahun 1993 dan kasus Kang v. Republic Korea yang diputus
oleh Komite HAM No.878/1999. Dalam General Comment itu ditegaskan bahwa pasal
18 melindungi kepercayaan theistic, non-theistic, a-theistic, dan hak untuk tidak
mengikuti agama atau kepercayaan apapun. Demikian pula dengan kepercayaan/agama
tradisional maupun kepercayaan/agama baru.
Kebebasan berkeyakinan/beragama oleh karenanya tidak dapat diinterpertasikan secara
sempit oleh negara untuk hanya berarti agama-agama tradisional atau agama Ibrahim
dengan ciri: (a) mempercarayi adanya Tuhan Yang Maha Esa, (b) Kitab Suci, (c) Figur
Nabi dan (d) umat seperti Islam/Kristen/Budha/Hindu. Agama baru, agama atau
kepercayaan minoritas seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Sedulur Sikep juga memiliki
hak untuk dilindungi. Kebebasan beragama harus diartikan sebagai bagian dari kebebasan
berkeyakinan. Prinsip ini sangat penting khususnya berkaitan dengan semakin banyaknya
gerakan agama/kepercayaan tertentu yang menjadi sasaran diskriminasi maupun represi.
Implikasinya hak sipil seperti pernikahan dan buah pernikahan mereka tidak diakui
secara hukum. Implikasi turunannya adalah kekerasan terhadap perempuan karena anak
hanya diakui oleh ibu.
8
General Comment, Komite HAM
Secara sederhana hak berkeyakinan/beragama memiliki dua dimensi. Pertama, kebebasan
memiliki/memeluk keyakinan tertentu dan kedua kebebasan memanifestasikannya. Yang
pertama mengandung dimensi privat dan kedua dimensi publik. Dalam pasal 18 ICCPR
memang tidak ada perbedaan yang jelas antara kedua ranah tersebut. Hanya ditunjukan di
dalamnya dimensi yang satu bersifat non derogable sedangkan yang lain tidak – sehingga
dapat dikenakan klausul pembatasan. Setidaknya terdapat lima hal yang penting
diperhatikan dalam melihat perlindungan hak atas kebebasan ini, yaitu:
-
non diskriminasi
-
antara memiliki/menganut agama/keyakinan
tertentu dengan kebebasan untuk
memanifestasikannya.
-
ruang publik maupun privat
-
individu maupun bersama dalam sebuah komunitas
-
non derogable – pembatasan.
Prinsip non diskriminasi
Kewajiban untuk tidak bersikap diskrimintasi terhadap agama atau keyakinan apapun
merupakan syarat internasional yang paling jelas. Deklarasi 1981 mengenai Intoleransi
Agama juga menunjukan bahwa diskriminasi tidak saja dilarang pada tingkat Negara
akan tetapi juga pada semua tingkat masyarakat. Hal ini berarti masyarakt itu sendiri juga
harus menghormati dan memperlakukan mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda
termasuk kepercayaan yang tidak populer dengan sikap adil dan toleran.
Bagaimanapun tetap negara sebagai pemangku tanggung jawab atas penghormatan dan
perlindungan hak asasi berkewajiban mengambil langkah konkrit untuk menjamin
persamaan perlakuan dalam hal agama atau keyakinan. Negara juga memiliki kewajiban
untuk memberi remedies (solusi) atau redress (pemulihan hak) pada mereka yang
menjadi korban atas segala bentuk diskriminasi dan intoleransi yang didasarkan pada
perbedaan keyakinan termasuk kepercayaan sekular. Negara tidak saja dilarang
melakukan tindakan yang mempengaruhi kepercayaan secara langsung (misalnya
menolak pemberian izin membangun tempat ibadah) akan tetapi juga terhadap perlakuan
umat misalnya dalam pekerjaan, promosi jabatan, perumahan, pendidikan dan keyakinan
sosial. Dengan kata lain larangan itu ditujukan pada by commission (tindakan) dan by
ommission (pembiaran).
Undang-undang No.1/PNPS/1965 yang mengatur tentang pokok-pokok ajaran agama dan
memberi wewenang Departemen Agama untuk menyelidiki status keyakinan tertentu
sebagai agama atau bukan dan SKB – PBM Mentri Dalam Negeri dan Mentri Agama
yang mengatur pembatasan/pengaturan rumah ibadah harus pula dilihat secara kritis.
Hak individual – kolektif
Secara individual hak ini memungkinkan individu bebas dari campur tangan yang tidak
dapat dibenarkan dari negara maupun pihak-pihak lain. Hak atas keyakinan ini juga
merupakan hak kolektif, disebut juga hak komunitas. Sebab, untuk dapat merealisasikan
hak ini secara efeketif, individu yang bersangkutan memerlukan komunitas yang
memiiliki pemikiran yang sama. Hal itu sangat nampak dalam pasal 18 (1) yang
mengatakan “… secara individual atau dalam komunitas dengan yang lain”. Dengan
demikian masyarakat agama merupakan subyek hukum hukum yang memiliki hak asasi
dalam melaksanakan keyakinannya dan untuk melakukan tindakan hukum jika hak itu
dilanggar.
Kebebasan privat dan publik
Privat
Kebebasan berkeyakinan tidak hanya melindungi eksistensi spiritual yang bersifat
individual akan tetapi juga keyakinan dalam ranah publik. Pasal 18 tidak membuat
perbedaan secara distingtif antara ranah publik dan privat dari kebebasan ini.9 Pemilahan
antara pribadi dan publik ini penting, karena persis dalam ranah publik kebebasan itu
bersentuhan dengan hukum atau dapat dibatasi.
9
keduanya dijamin dalam pasal 18 (1)
Ruang privat mencakup (a) kebebasan memiliki dan mengikuti agama/ keyakinan tertentu
menurut pilihannya sendiri (pasal 18 (1)) dan (b) kebebasan melaksanakan agama dan
kepercayaan itu secara privat. Ayat 2 kemudian menentukan larangan kebebasan dalam
ranah ini dikenai tindakan koersi atau dibatasi. Larangan ini sejalan dengan larangan atas
tindakan koersif negara atau campur tangan negara tanpa kecuali terhadap hak privasi
sebagaimana dijamin dalam pasal 17 KIHSP. Sifat absolut dari hak ini didukung oleh
berbagai ahli, general comment 22/48, ayat 3 pasal 18. [penjelasan mengenai non
derogable rights diuraikan lebih lanjut dalam bagian lain]
Kebebasan untuk memilih ‘dalam rumusan negatif’ meliputi hak untuk tidak menjadi
anggota dari kelompok agama/keyakinan itu dan untuk hidup tanpa keyakinan apapun.
Negara harus mengizinkan agama atau keyakinan lain tetap hidup bersamaan dengan
agama resmi dan tidak melakukan koersi secara langsung maupun tidak langsung agar
kelak yang bersangkutan bergabung dengan agama resmi.10 Negara dilarang mendiktekan
seseorang atau melarang seseorang mengikuti atau menjadi anggota agama atau
kepercayaan tertentu.
Larangan koersi sebagaimana diatur dalam ayat 2 merupakan usulan negara Mesir agar
agar tak seorangpun boleh dikenakan koersi yang dapat menghambat kebebasannya
mempertahankan atau merubah agama dan keyakinannya. Pada saat perumusan
ditegaskan bahwa tindakan koersif ini mencakup baik tindakan fisik yang langsung
maupun tindakan tidak langsung. Cara-cara tidak langsung misalnya adalah ketika negara
melalui hukum (privat atau publik) memberi privilege pada pemeluk agama/keyakinan
tertentu.
Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada anak-anak. Kebebasan untk menentukan pilihan ini
dibatasi oleh hak orang tua sebagaimana dijamin pada pasal 18 (4). [hal ini juga akan
diuraikan secara khusus di bawah]
10
Lihat TP Bossuyt 360, Frowein dan Peukert
Sebagaimana dikemukakan di muka hak ini juga mempunyai dimensi individual maupun
kolektif. Bagaimana jika seseorang berdoa sendiri atau bersama dalam rumahnya dengan
orang lain yang memiliki keyakinan yang sama apakah dapat dibatasi? Sejumlah ahli
(Novak dan Humprey), tindakan menjalankan agama atau keyakinan secara privat –
dalam arti sejauh tidak melampau privasinya dan orang lain – tidak bisa dibatasi. Ini
merupakan interpertasi dari pasal 18 (1), pasal 17 dan pasal 18 (3). Bagi Novak, tindakan
itu tidak sama dengan manifestasi. Karena manifestasi merupakan tindakan untuk
’membuat menjadi publik’ atau ’menyatakan kepada publik’. Sementara berdoa dalam
rumah, entah sendiri atau bersama orang lain, yang merupakan manifestasi secara privat
merupakan tindakan profess.
Publik
Yang menyangkut dimensi publik dari kebebasan berkeyakinan – manifestasi atas
keyakinan/agama tertentu – diatur dalam pasal 18 (1) dan (3). Berdasarkan ayat 3
kebebasan berdimenasi publik ini dapat dibatasi – tidak absolut. Jika kita kaitkan hak ini
dengan
kebebasan
berekspresi
(pasal
19
DUHAM/KIHSP)
kebebasan
berkeyakinan/beragama menggambarkan sebagian dari kebebasan berekspresi. Dalam
memanifestasikan agama/keyakinan – segala bentuk berkomunikasi dilindungi oleh
ketentuan mengenai kebebasan berekspresi (pasal 19 ICCPR). Demikian pula dengan
penyampaian ide-ide agama/keyakinan masuk bagian dari klausul ’informasi dan segala
jenis ide’ sebagaimana diatur dalam pasal 19 (2) mengenai kebebasan berekspresi. Jika
demikian apa yang paling dilindungi pasal 18 KIHSP dalam memanifestasikan
keyakinan. Ciri khasnya terletak pada pengungkapan pandangan keyakinan/agama dan
perlindungan pemeluk keyakinan/agama dari tekanan negara yang seringkali ditujukan
pada agama/keyakinan minoritas. Perlindungan ini semakin penting jika dalam konflik
bernuansa agama, pemerintah justru mengambil sikap berpihak pada kelompok
keyakinan tertentu.
Bentuk-bentuk manifestasi keyakinan yang dilindungi oleh ICCPR mencakup empat
aspek, yaitu :
1. kegiatan ibadah (worship)
2. sikap ketaatan (observance)
3. pengamalan (practice)
4. pengajaran (teaching)
Keempat jenis manifestasi ini sesungguhnya telah diterima secara uiversal sebagaimana
kita temukan dalam DUHAM (ps 18), Konvensi HAM Eropa (pasal 9 ay 1) dan Deklarasi
PBB megnenai intoleransi Agama (pasal 1 ay 1). Bentuk-bentuk spesifik dari keempat itu
bisa saja berbeda-beda satu agama dengan agama lain. Dari berbagai kasus yang
ditangani oleh Komite HAM, Deklarasi Intoleransi Agama maupun General Comment
pasal 18 – cakupan manifestasi agama sangat luas, seperti:
Ritualitas atau seremonial tertentu termasuk penggunaan dan mempertunjukan simbol
tertentu, hari-hari libur, bentuk bangunan, penggunaan jenggot, cara berpakaian, penutup
kepala, sunat, aturan berpuasa, isi maupun jenis doa-doa, penyebaran substansi
agama/keyakian di sekolah-sekolah agama, sekolah negeri, kerja misionais dan
pendidikan non formal. Praktik agama/keyakinan itu juga dapat dalam bentuk organisasi
karitas dan kemanusiaan, menulis, publikasi, pengumpulan dan penmbagian sumbangan
uang, melatih pemimpin-pemimpin agama maupun pendirian rumah sakit. Membentuk
dan mempertahankan komunikasi seara nasional maupun internasional antar umat
Non Derogable – Pembatasan
Berdasarkan pasal 4 (2) KIHSP kebebasan untuk memegang keyakinan termasuk
memeluk agama tertentu merupakan hak yang non derogable.11 Patut diketahui bahwa
terhadap klausul ini hampir tidak ada negara yang mengajukan keberatan (reservasi).
Penetapan tersebut bukan kecelakaan. Sebab, hak untuk memiliki keyakinan berada
dalam pemahaman – bukan dalam ranah publik. Seorang ahli .... bahkan menyebutkan ...
11
Hak yang non derogable
Penjelasannya kira-kira seperti ini. Memeluk keyakinan tertentu berbeda dengan
mengekspresikan atau melaksanakannya. Pemerintahan otoriter yang memotong lidah
atau jari-jari mereka yang memiliki perbedaan keyakinan politik tidak serta merta
memiliki kapasitas untuk merubah keyakinan orang bersangkutan. Tindakan itu tentu
membuat orang itu tak sanggup berbicara atau mungkin berekspresi (dalam arti harafiah)
akan tetapi tidak pasti menghilangkan keyakinan yang bersangkutan, baik itu ateis,
agnostik, agama tertentu, atau keyakinan lainnya.
Rumusan dalam ayat 1 pasal 18 ICCPR memberi kebebasan absolut atas pemikiran,
keyakinan dan beragama. Kebebasan absolut itu termasuk kebebasan untuk menganut,
mengikuti sebuah agama atau keyakinan menurut pilihannya sendiri. Kata-kata ’menurut
pilihannya sendiri’ dengan sendirinya berarti pula hak untuk memiliki keyakinan yang
berbeda dengan orang tua, komunitas terdekatnya maupun masyarakat secara luas. Oleh
karena itu pula dalam ayat 2 ditentukan bahwa ”tidak seorangpun dapat dikenai
pemaksaan yang menggangu kebebasannya untuk menganut atau mengikuti keyakinan
atau agama tertentu menurut pilihannya sendiri”. Dengan kata lain kebebasan untuk
berpikir, berkeyakinan menurut pilihannya sendiri dan kebebasan untuk mempraktikan
agamanya secara privat sama sekali melarang adanya campur tangan negara. Proses
mengikuti kepercayaan itu mendapat perlindungan terhadap segala bentuk pemaksaan
kepercayaan baik langsung maupun tidak langsung.
Pembatasan
Akan tetapi manifestasinya baik secara individual maupun dalam lingkup sosial dapat
dikenai beberapa macam batasan (ayat 3). Jika dilihat pada esensinya kebebasan
memanifestasikan keyakinan/agama menyangkut kebebasan-kebebasan lain dari umat
yang dilindungi pula oleh KIHSP seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan
berasosiasi. Persis pada wilayah inilah aktivitas kolektif keyakinan/agama harus
bersentuhan dengan hukum dan aturan pemerintahan.
Demikian pula secara empirik, pada titik memanifestasikan keyakinan/agama
perlindungan hak ini menjadi krusial. Persoalan itu semakin krusial ketika ”konstestasi
yang sedang berlangsung menyentuh bagian paling hakiki yaitu pemahaman dan
penghayatan iman – yang merupakan hak paling asasi dan tidak dapat diganggu gugat”,
[Trisno, Koordinator Jaringan Hubungan Antar Iman]. Hal ini tampaknya bukan hanya
trend nasional. Penindasan atas kebebasan agama atau hak-hak lain atas nama agama
sudah tercatat dalam sejarah perang agama. Dari berbagai peristiwa yang menunjukan
bahwa kebebasan beragama mengarah pada penyalahgunaan oleh agama-agama besar
terhadap keyakinan/agama yang lebih kecil, terletak pada kontradiksi yang inheren ada
dalam agama dan keyakinan itu sendiri. Kontradiksi itu adalah ketika berbagai agama
secara fanatik membayangkan dirinya sebagai pemegang ’kebenaran mutlak’ sehingga
cenderung untuk tidak menghormati kebebasan dari keyakinan lain.12
Apa pembatasan dari manifestasi keyakinan/agama? Tentu saja pertama-tama harus
menghormati hak fundamental dan kebebasan berkeyakinan/religi orang lain. Sedangkan
batasan lain yang mungkin diterapkan adalah untuk kepentingan keamanan, ketertiban,
kesehatan atau moral umum. Pembatasan-pembatasan ini adalah sebuah cara untuk
melindungi publik dari general harms. Hal ini dimungkinkan karena hak asasi dapat
diderogasi (pada saat darurat) dan dibatasi untuk kepentingan umum.13 Asumsi dasarnya
adalah bahwa untuk dan hanya untuk kepentingan umum yang sangat jelas limitasi dari
pelaksaan hak dapat dibenarkan. Salah satu usaha untuk yang telah diterima secara luas –
mendapat pengakuan dari lembaga-lembaga PBB14 dan konsensus dari berbagai ahli15 --
12
13
Boyle, Kevin
Sekedar membandingkan secara singkat, baik klausul mengenai derogasi maupun pembatasan
merupakan pengecualian yang harus dirumuskan dan diperlakukan secara ketat sedemikian rupa
sehingga tidak menghancurkan hak itu sendiri. Derogasi adalah untuk menunda hak asasi sementara
aturan pembatasan adalah untuk membatasi pelaksanaan hak atas dasar tertentu.
14
It was endorsed inter alia by the UN Sub Commission Special Rapporteurs, Danilo Turk and Louis
Joinet, in The Right to Freedom of Opinion and Expression: Final Report UN ESCOR, Comm. On
Hum.Rts., 44th sess., 77, UN Doc.E/CN.4/Sub.2/1992/9, 14 July 1992., para 7,18, 25(b)
15
McCarthy, pp.296-297; Hamid Hussein, Submitted pursuant to Commission on Human Rights
Resolution 1993/45, UN ESCOR, Comm on Hum. Rts. 51st Sess., p.48, UN Doc.E/CN.4.1995/32
(1994); Bert B. Lockwood B., Janet Finn & Grace Jubinsky, ‘Working Paper for the Committee of
Experts on Limitation Provision’ 7 Human Rights Quarterly 35 (1985), Alexander Charles Kiss
‘Commentary by the Rapporteur on the Limitation Provisions’, 7 Human Rights Quarterly 15, (1985)
adalah Prinsip-prinsip Siracusa.16 Hal ini adalah seperangkat prinsip mengenai
pembatasan dan derogasi ketentuan-ketentuan KIHSP.17
Keempat alasan pembatasan ini hanya bolehkan diterapkan jika memenuhi syarat-syarat
tertentu:18
1. Diperlukan (necessity). Pembatasan hanya bisa diterapkan jika memang diperlukan –
untuk melindungi alasan yang sah yaitu ”keamanan publik, tata tertib, kesehatan atau
moral, atau hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya”. Tidak boleh kebebasan
memanifestasikan keyakinan/agama jika tidak diperlukan untuk melindungi keempat
hal tersebut.
Dengan syarat ini keterbatasan ini harus diterjemahkan oleh negara secara sempit
agar kebebasan yang maksimum dimungkinkan dan hanya untuk tujuan-tujuan
spesifik. Oleh karena itu negara tidak dapat mencampuri praktik agama sementara
mengklaim keamanan nasional sebagai justifikasinya. Apapun batasannya tidak boleh
didasarkan pada prinsip-prinsip yang berasal dari 1 tradisi tertentu. Pembatasan itu
juga tidak bleh bersifat diskriminasi.
Cakupan dari ‘necessity’ dalam instrumen hukum HAM internasional berbeda-beda.
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia melihat kebutuhan itu adalah untuk maksud
mengamankan pengakuan dan penghormatan kepentingan-kepentingan spesifik dalam
masyarakat demokratis. Konvensi HAM Eropa secara eksplisit menunjukan prinsip
kebutuhan sebagai ’dibutuhkan bagi masyarakat demokrasi’. 19 jika merujuk pada
keputusan yang ada dalam Pengadilan HAM Eropa yang dimaksud dengan nilai-nilai
16
The Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant
on Civil and Political Rights, UN Doc. E/CN.4/1985/4, Annex no.30 (1985) reprinted in 7 Human
Rights Quarterly 3 (1985) [hereafter Siracusa]
17
See also Paris Minimum Standard of the Human Rights Norms in a State of Emergency, adopted in
April 1984.
18
Jika dibandingkan dengan DUHAM, ketentuan ayat 3 tentang ‘pembatasan’ lebih terbatas daripada
klausul umum mengenai pembatasan sebagaimana tertuang dalam pasal 29 Deklarasi.
19
European Convention, supra Article 10 (2)
demokrasi adalah ”pluralism, toleransi dan pikiran yang terbuka/broadmindedness’.20
Disamping itu adalah ’kontrol atas penggunaan kekuasaan oleh pemerintah.
Ukuran lain dari ‘kebutuhan’ untuk menentukan apakah pembatasan atas kebebasan
itu sesuai dengan alasan yang sah adalah bahwa pembatasn itu harus merupakan cara
yang paling sedikit membatasi. Dengan kata lain pembatasan itu harus sesedikit
mungkin mengurangi hak asasi ini.
2. Prinsip legitimasi. Prinsip ini mensyaratkan bahwa pembatasan itu ditujukan hanya
untuk maksud/alasan-alasan sah. dengan demikian pula jika penggunaan alasanalasan itu mengakibatkan atau membenarkan diskriminasi ras, agama, seks, politik,
atau status lainnya maka penggunaan alasan itu tidak sah. Tidak sah misalnya
menggunakan alasan keamanan nasional untuk memaksa budaya tertentu atau
keyakinan tertentu pada kelompok minoritas.
Dengan kata lain harus terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat) antara kebebasan
yang hendak dibatasi dengan kerusakan yang ditimbulkan karena tidak ada
pembatasan. Untuk ini tingkat kerusakan harus serius, kemudian kerusakan itu
berasal langsung dari aktivitas yang dilakukan dan ketiga harus terdapat kehendak
dari orang-orang yang terlibat. Maksud dari unsur ketiga ini aktivitas itu dilakukan
dengan niat untuk mengakibatkan kerugian/kerusakan. Lebih dari itu semua,
pemerintahlah yang berkewajiban membuktikan – menjelaskan bahwa pernyataannya
sesuai dengan kondisi yang diperlukan.
Sebagai contoh alasan keamanan nasional hanya bisa digunakan sebagai dasar untuk
membatasi hak jika:21
a. untuk melindungi eksistensi bangsa atau integritas wilaya atau independensi
politik terhadap kekuatan atau ancaman kekuatan luar. [prinsip 29, Siracusa]
20
21
See e.g., Handyside case
Siracusa, p.6
b. Keamanan nasional tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk membatasi hak
jika hanya untuk mencegah ancaman yang bersifat lokal atau relatif terisolir
terhadap hukum dan ketertiban. [prinsip 30, Siracusa]
c. Keamanan nasional tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menggunakan
pembatasan yang kabur atau semena-mena dan hanya bisa digunakan ketika
terdapat jaminan remedi yang efektif dan cukup terhadap kemungkinan adanya
penyalahgunaan. [prinsip 31, Siracusa]
d. negara tidak dapat menggunakan alasan keamanan nasional sebagai
pembenaran atas tindakan-tindakan mereka untuk menekan oposisi atau
melakukan tindakan-tindakan represif terhadap penduduknya. [prinsip 32,
Siracusa]
.
3. Legalitas. Dengan prinsip ini campur tangan negara atas kebebasan ini tidak sah jika
tidak diatur secara spesifik dalam hukum. Dalam beberapa kasus, hukum justru
menjadi persoalan – karena digunakan untuk membatasi hak berkeyakinan
sebagaimana dijamin dalam hukum internasional. Sehubungan dengan hal ini,
legalitas tidak hanya berarti bentuknya akan tetapi juga kualitas untuk disebut sebagai
hukum.
Untuk dapat disebut prescribed by law – dijamin oleh hukum – hukum itu harus
accessible and foreseeable.22 Disamping itu rumusan aturan itu harus dengan
kepastian yang cukup. Dengan demikian instruksi pemerintah atau arahan politik
tidak dapat dikatakan telah memenuhi syarat legalitas. Syarat ini juga mengharuskan
adanya jaminan legal dan remedi yang pantas jika terjadi campur tangan yang
semena-mena terhadap hak yang dilindungi. Hal ini juga mensyaratkan pemerintah
untuk menunjukan bahwa praturan tersebut berlaku untuk situasi-situasi khusus.
Semakin aturan itu bersifat general/umum semakin sulit memonitor apakah aturan itu
memang ditujukan untuk tujuan yang sah.
4. Proporsionalitas. Yang dimaksud di sini antara pembatasan yang dikenakan harus
proporsional dengan tujuan dari pembatasan itu.
The UDHR uses the phrase ‘determined by law’; the ICCPR uses ‘provided by law’’ the ACHR
uses ‘established by law’; and the ECHR uses ‘prescribed by law’.
22
5. Pembatasan dapat dilakukan untuk melarang individu atau kelompok masyarakat
mempropagandakan perang dan kebencian atas agama/keyakinan lain [pasal 20
KIHSP].
6. Seperti diuraikan sebelumnya pembatasan hanya berlaku untuk membatasi hak
menjalankan perintah agama atau kepercayaan di ranah publik dan bukan untuk
membatasi kebebasan menentukan sendiri agama atau kepercayannya [ayat 1]
Memilih dan Merubah Keyakinan
Aspek yang paling sering diperdebatkan mengenai kebebasan beragama/berkeyakinan
menyangkut sejauh mana dimungkinkan adanya pembatasan pada individu yang hendak
melepaskan agama yang selama ini ia anut dan menganut agama atau kepercayaan,
keyakinan lain. Persoalan meninggalkan keyakinan (murtad/apostasy) adalah persoalan
sensitif dan yang munkin sangat sulit diukur obyektifitasnya.
Klausul kebebasan untuk berpindah agama atau kepercayaan, mendapat tantangan ketika
DUHAM sedang dirancang. Dalam perancangan kovenan juga ada usaha untuk
menghapus klausul ini. Ketentuan yang ada di dalamnya merupakan sintesa dari pendapat
yang berbeda mengenai ’hak merubah keyakinan’. Di satu pihak beranggapan bahwa hak
untuk merubah adalah bagian intrinsik dari hak memilih keyakinan.23 Di pihak lain
dianggap sebagai usaha mendorong proselytising (pembujukan untuk berpindah agama).
Sebagai sintesanya klausul itu secara eksplisit mengakui hak untuk memeluk satu agama
atau kepercayaan sesuai pilihannya sendiri. Hak ini dijamin lebih lanjut dalam ayat 2
23
Ada tiga pandangan besar untuk mencabutnya: a. Menyangkut perubahan status pribadi yang tidak cukup
memutuskan berdasarkan kesadaran. b. Sebagai dorongan kegiatan misionaris dan pembujukan untuk
berpindah agama. c. Kebebesan berpindah agama sudah secara implisit terdapat dalam konsep kebebasan
beragama – pernyataan secara terbuka justru bisa menyebabkan beberapa negara menolak ratifikasi.
dimana ”tak seorangpun boleh mendapat paksaan untuk memilih keyakinan/agama sesuai
dengan pilihannya sendiri”.24
Berdasarkan ketentuan ini maka tidak boleh ada larangan dari Negara pada individu yang
hendak meninggalkan keyakinannya, karena individu memiliki hak untuk melaksanakan
kebebasan keyakinan menyangkut iman. Tidak dimungkinkan pula untuk menghukum
seseorang yang merubah keyakinan agamanya. Standar internasional jela-jelas mengatur
larangan untuk melakukan koersif terhadap hal tersebut. Dalam perkembangannya
Komite HAM PBB telah menafsirkan klausus ini dengan mengatakan secara terang
(boldly) bahwa individu memiliki hak untuk ‘mengganti keyakinannya' maupun
mempertahankannya. Baik itu merubah atau mengadop keyakinan/agama lain, pandangan
ateistik, sekularistik.
Agama dan Negara
Hukum internasional mensyaratkan adanya pemisahan yang jelas antara agama dan
negara. Satu-satunya persyaratan hukum internasional dalam hal ini adalah bahwa apapun
bentuk hubungan antara agama dan negara tidak boleh mengakibatkan adanya
diskriminasi terhadap mereka yang tidak memeluk agama resmi atau diskriminasi terhdap
pengakuan atas keyakinan [Komite HAM ]. Hal ini juga berlaku jika negara menganut
ideologi tertentu. Soalnya kemudian apakah mungkin membentuk sebuah sistem yang
berdasarkan pada persamaan sementara memberi privilege khusus pada agama tertentu?
Kecenderungan norma internasional mengarah pada pandangan bahwa agama harus
berada dalam ranah masyarakat sipil. [ft 30] Agama tidak boleh menjadi bagian dari
negara atau sebaliknya negara bagian dari agama. Proposisi bahwa agama atau keyakinan
harus otonom dari negara dapat dikatakan merupakan sebagai persyaratan dari sebuah
negara demokratis yang menghormati hak asasi termasuk syarat bahwa semua orang
mempunyai kedudukan yang sama.
24
Bandingkan dengan pasal 9 (1) Konvensi HAM Eropa yang jauh lebih menjamin kebebasan
meninggalkan keyakinan dan memeluk keyakinan lain.
Akan tetapi apakah dimungkinkan untuk melarang partai-partai politik yang berbasis
agama? Hal ini tidak diatur secara jelas dalam hukum internasional.
Penolakan wajib militer karena alasan keyakinan
Mengenai persoalan ini dapat ditemukan pada GC pasal 18 ICCPR dari Komite HAM.
menurut komite ini hak itu diperoleh dari klausul yang mengatakan ”in as much as the
obligation to use lethal force may seriously conflict with the freedom of conscience and
the right to manifest one’s religion or belief. Hak ini juga cenderung diakui oleh negaranegara.
Akan tetapi di sejumlah negara lain, seperti Yunani – mereka yang menolak mengikui
wamil akan dikirim ke penjara. Jika hal itu terjadi mereka adalah tahanan karena
keyakinan (prisoners of conscience)
Demikian juga persoalan hak dokter untu menolak melakukan prosedur tertentu termasuk
aborsi karena keyakinannya tidak diakui oleh standar internasional.
Keluarga dan pendidikan agama
Orang tua memiliki hak untuk menentukan bagaimana membesarkan anak-anak mereka
di dalam rumah sesuai dengan prinsip keyakinan dan moral mereka.25 Hal ini berarti di
dalam rumah mereka, negara tidak dapat campur tangan atas tindakan orang tua
mengajari keyakinannya, mempraktikan agama dan menjalankan ibadah agama.
Sebaliknya anak memiliki hak untuk menerima pendidikan agama atau kepercayaan yang
sesuai dengan kehendak orang tuanya. Anak tidak dapat subjected to (diharuskan tunduk)
pada pendidikan agama yang ditolak oleh orang tua mereka. Bagaimanapun negara tidak
memiliki kewajiban untuk meberi pendidikan agama/keyakinan yang diminta oleh orang
tua di sekolah-sekolah. Justru negara harus menghormati kebebasan orang tua untuk
25
Paragraf 4 General Comment
membentuk sekolah yang memberi pendidikan yang sesuai dengan agama atau
kepercayaannya.
Paragraf terakhir memberikan kepada orang tua jaminan untuk menentukan dan
menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak merak. Hak ini berkaitan dengan hak
aas pendidikan dari kovenan hak ekososbud. Kalau diatur pula dalam kovensan ICCPR
karena ada dugaan bahwa kovenan ekosob tidak akan banyak diratifikasi.
-
menurut pasal ini negara harus membari kebebasan pada orang tua utnk meutuskan
pendidikan agama dan moral apa yang ingin mereka berikan kepada anak mereka.
-
Negara tidak berkewajiban untuk mengarahkan sekolah seklah umum untuk
mengikuti keyakinan religius atau filosofi dari orang-orang tua.
-
Tidak mengatur dimana dan bagaimana pendidikan religius atrau moral seharusnya
diadakan
-
Negara tidak dituntut untuk mendanai pendidikan religius akantetapi hanya sebatas
memberi tolransi apaila para orang tua ingin menyediakan atau mendanai sendiri
pendidikan religius dan moral tersebut.
Dibandingkan dengan konvensi internasional mengenai hak anak maka terdapat
kesesuaian karena di dalamnya penghormatan atas hak anak untuk bebas berpikir,
berkeyakinan dan agama, dijamin sesuai dengan evolving capacities.
Penutup
Tidak dapat disangkal bahwa Kebebasan beragama/kepercayaan adalah bagian dari HAM
universal. Hak ini merupakan hak non derogable ketika menyangkut pilihan keyakinan dari masingmasing individu dan berada di ranah privats. Dalam merealisasikannya sejauh menyangkut aspek
publik dapat dibatasi. Catatannya, pembatasan itu bukan saja tidak boleh sampai menghapuskan
hak kebebesan berkeyakinan/beragama melainkan juga tunduk pada syarat-syarat pembatasan
hak asasi manusia sebagaimana pasal 18 (ayat 3) juga yang telah dikembangkan dalam Prinsipprinsip Siracusa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Artikel
Bossuyt, M.J. (1987), Guide to the “Travaux Preparatories” of the International
Covenant on Civil and Political Rights, Martinus Nijhoff Publishers,
Dordrecht/Boston/Lancaster
Cassese, A. (2003), International Law, Oxford University Press
Dugard, J., (2000), “The Role of Human Rights Treaty Standards in Domestic Law: The
Southern African Experiences”, in Alston, P. and Crawford, J., (eds), The Future of UN
Human Rights Treaty Monitoring, Cambridge University Press
Kiss, A, “Commentary by the Rapporteur on the Limitations Principles”, dalam Human
Rights Quarterly, Volume 7
Higgins, R, (2000), Problems & Process, International Law and How We Use It, Oxford:
Clarendon Press
Nowak, M. (2005), U.N. Covenant on Civil and Political Rights, CCPR Commentary, 2nd
revised edition, N.P. Engel, Publishers
Van Boven, T.C. (1984), “Protection of Human Rights through the United Nations
System”, in Hannum, H. (ed), Guide to the International Human Rights Practice,
London: Macmillan Press
Dokumen Lain
UUD’45 Perubahan Kedua tahun 2000
UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
“Working Paper for the Committee of Experts on Limitation Principles”, dalam Human
Rights Quarterly, Volume 7
“The Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provision in the International
Covenant on Civil and Political Rights”, dalam Human Rights Quarterly , Volume 7
UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
*******
Download