pengembangan model inquiry di dalam pendidikan ilmu

advertisement
Multikulturalisme Masyarakat Kota Jember, Tinjauan
Kritis Dari Perspektif Sejarah Perkotaan
Rudolf Chrysoekamro
IKIP Jember
Abstrak
Sejarah perkotaan Jember mencatat bahwa istilah ‘Pendhalungan’ sebagai
wahana asimilatif dan akulturatif sangat mencitrakan kota Jember yang
multikulturalis. Multikulturalisme itu seakan tak bisa membendung
dinamika sejarah yang melingkupi kota Jember hingga mewujudkan citra
Jember seperti apa yang dilihat kini.
Kata Kunci : Multikulturalisme, Sejarah Perkotaan
PENDAHULUAN
Sejarah perkotaan di Indonesia sudah mulai banyak dikupas, secara ilmiah
salah satunya dipelopori oleh Werthem dengan bukunya yang terkenal ‘The
Indonesia Town, Study Urban Sociology’. Dalam karyanya ini ia
menganalisis berbagai macam persoalan perkotaan yang sudah semakin
melebar, dari yang bersifat sejarah hingga administrasi kota.
Di Indonesia suatu lokasi dapat dikategorikan sebagai sebuah kota secara
empiris telah melalui perjalanan sejarah tersendiri. Apabila ditilik
berdasarkan periodisasi kebudayaan, maka istilah kota dapat ditemui dari
jaman prasejarah, kerajaan tradisional jaman Hindu/Budha, kerajaan Islam,
jaman moder dengan masuknya kolonialisme di Indonesia. Dari periodekeperiode kota mengalami tranformasi, baik ditinjau secara fungsionalnya,
struktur hingga perubahan fisiknya. Tidak salah apabila kajian masalah
perkotaan di Indonesia menjadi menarik untuk selalu dikaji, sebab masalah
perkotaan akan selalu dinamis (Heddy S A P, Humaniora).
Tidak terkecuali bila mengkaji tentang kota Jember, maka yang langsung
dapat kita bayangkan salah satunya adalah perkebunan tembakaunya. Bila
bertolak dari sini maka dapat dirunut tentang keadaan geografisnya, tenaga
kerjanya, perekonomiannya dan bahkan tentang budaya yang berkembang
pada masyarakat yang bermata pencaharian seperti itu yang didasarkan atas
ketersediaan sumber alamnya atau ekologinya.
Keberadaan Jember sebagai kota, lahirnya tepat pada jaman kolonial,
tepatnya dengan dibukanya perkebunan-perkebunan oleh pihak swasta.
Dikarena pada saat itu penduduknya sangat sedikit maka kebutuhan tenaga
kerja diupayakan didatangkan baik dari Jawa maupun Madura. Untuk itulah
dengan segala sepak terjangnya dalam upaya mendatangkan penduduk yang
digunakan sebagai tenaga kerja akhirnya Jember dijadikan sebagai daerah
tujuan migran pada masa itu. Seiring dengan perkembangan Jember sebagai
178
Rudolf Chrysoekamro
sebuah kota maka masyarakat yang menghuni juga bertambah beragam,
seperti: Osing, Arab, Cina dan tentu saja masyarakat komunitas kolonial.
Keunikan Jember juga dapat ditelusuri dari pemetaan kebudayaankebudayaan dominan yang ada di Jawa Timur. Ayu Sutarto (2002),
memetakan 7 kebudayaan dominan di Jawa Timur, yaitu, Jawa, Madura,
Tengger, Osing, Pendhalungan, Arek, Ponorogoan. Kabupaten Jember
termasuk dalam kebudayaan Pendhalungan. Disebut dan dikategorikan
sebagai kebudayaan Pendhalungan adalah didasarkan atas tinjauan historis
yang merupakan kebudayaan perpaduan antara budaya Jawa dan Madura.
Hal ini juga didukung oleh pendapat Hatley (1984), yang membedakan apa
yang disebut dengan budaya Madura di kepulauan Madura yang berbeda
nantinya dengan budaya Madura di tempat barunya.
Perpaduan dari bermacam-macam budaya di tempat yang sama-sama baru
karena sama-sama sebagai migran inilah yang menarik untuk dikaji.
Berdasar keberagaman yang dimiliki masyarakat Jember tentu saja
menimbulkan berbagai macam persoalan. Mulai dari persoalan pemukiman,
ekonomi, sosial dan tentu saja budaya. Namun demikian dikatakan oleh
Evers (1982), bahwa sejarah perkembangan kota sejak hilangnya dominasi
kolonial sampai dewasa ini pasti sudah ada kesadaran tentang masalahmasalah bersama, yaitu rasa ‘perkotaan’.
Realitas di atas jelas menunjukkan adanya multikulturalisme.
Multikulturalisme memang lazim terjadi di perkotaan. Bila itu terjadi, maka
fenomena lanjutan yang bisa ditangkap adalah mengemukanya realitas
masyarakat sipil. Masyarakat sipil akan muncul dengan indikator adanya
situasi spesifik di mana masyarakat yang terbangun merupakan formulasi
sebagai reduksi dari masyarakat barat yang menggambarkan keadaan
transisi dari masyarakat alamiah (natural society) menuju masyarakat politik
(political society). Masyarakat alamiah adalah masyarakat yang belum
mengenal hukum, norma, dan tatanan kehidupan bersama yang tidak jarang
melahirkan anarkisme dan kesewenang-wenangan. Masyarakat politik
adalah arena di mana aktor politik dan lembaganya bersaing untuk menjadi
pemimpin. Sedang civil society adalah masyarakat yang telah mengenal,
menghormati, dan melindungi hak-hak politik masyarakat maupun hak azasi
yang melekat pada setiap anggota masyarakat, yaitu masyarakat yang
demokratis. Itulah sebabnya, masyarakat beradab merupakan arti lain dari
civil society.
Interseksi antara realitas masyarakat sipil dalam wadah multikulturalisme di
kota Jember cukupmenarik untuk dikaji lebih dalam. Untuk itulah,
penelitian ini akan memusatkan kajian pada ‘Fenomena Masyarakat Sipil
dalam Bingkai Multikulturalisme, Studi masyarakat Kota Jember dari Sudut
Pandang Interaksionisme Simbolik’.
Bertolak dari penjelasan di atas penggunaan kata kebudayaan ‘dominan’
adalah merupakan identitas dari suatu kelompok masyarakat yang
didasarkan atas dasar etnisitas. Identitas yang dimiliki oleh masing-masing
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
Multikulturalisme Masyarakat
179
elemen masyarakat yang berada dalam satu komunitas baru dalam
berinteraksinya pasti mengalami pasang-surut. Dalam pasang-surutnya itu
apakah mampu membentuk budaya baru yang disebut dengan budaya
pendhalungan, ataukah hanya salah satu budaya yang menonjol, artinya ada
yang tergeser. Kalau ada yang tergeser maka bagian mana saja dari unsurunsur budaya yang mengalami pergeseran. Berdasar asumsi ini
maka
permasalahan yang muncul adalah sejauh mana konsep masyarakat sipil dan
konsep multikulturalisme dapat menjelaskan perjalanan masyarakat Jember
dalam dimensi sejarah perkotaan.
KAJIAN TEORI
Multikulturalisme
Tema tentang Multikulturalisme, menariknya tema ini disebabkan oleh
berbagai alasan berikut ini. Pertama, bangsa Indonesia dihadapkan pada
persoalan multidimensional yang sangat krusial dan berimbas pada situasi
krisis. Kekerasan kemudian menjadi realitas sehari-hari, baik kekerasan
struktural, kekerasan fungsional, maupun bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar kekerasan tersebut datang
sebagai akibat dari kesalahan sistem pendidikan nasional di negara ini.
Kedua, momentum penting di tahun 1998 secara ideal hendak merubah
seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Reformasi merupakan kata kunci
tematis dan membutuhkan kerangka implementatif yang harus
ditindaklanjuti, tidak terkecuali dari kaca mata pembangunan karakter
bangsa Indonesia. Pembangunan karakter bangsa Indonesia harus
ditempatkan kembali sebagai basis kekuatan kultural (cultural force).
Sehingga, reformasi harus ditempatkan secara proporsional dalam
pembangunan karakter bangsa Indonesia ini.
Ketiga, pembangunan nasional (national building) linier dengan momentum
reformasi memerlukan revisinya untuk menjawab tantangan bangsa ke
depan. Situasi kacau dan tidak menentu itu harus dicari penyebabnya dan
sedapat mungkin ditemukan penanganan solutif yang efektif. Oleh
karenanya, perlu ditelusuri pendekatan apa yang sarat dengan solusi
alternatif terhadap permasalahan tersebut.
Keempat, masyarakat madani merupakan realitas yang menjadi harapan
bersama. Hiper-realitas ini memerlukan banyak prasyarat, di antaranya
kesiapan dunia pendidikan untuk memproses pendidikan kewargaan (civic
education) menuju tercapainya budaya kewargaan (civic culture) dengan
harapan terbangunnya masyarakat madani (civil society). Oleh karenanya,
pembangunan karakter bangsa Indonesia dalam struktur dan fungsinya
sangat penting dan merupakan agenda mendesak yang harus segera
diselenggarakan, dan salah satu solusinya adalah mengedepankan konsep
penumbuhan kesadaran hidup bersama di atas perbedaan.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
180
Rudolf Chrysoekamro
Sebagai sebuah ide, Multikulturalisme baru dibahas dan diwacanakan
untuk pertama kalinya di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada
Tahun 1960 oleh sebuah gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak
sipil (civil right movement). Tujuan utama gerakan ini adalah untuk
mengurangi praktik diskriminasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas baik itu di tempat-tempat publik, di
rumah, dan di tempat-tempat kerja, maupun di lembaga-lembaga
pendidikan. Selama itu, di Amerika dan di negara-negara Eropa Barat hanya
dikenal adanya satu kebudayaan, yakni kebudayaan kulit putih yang kristen.
Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat
tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan terhadap
hak-hak mereka (Suparlan, 2002:2-3). Gerakan hak-hak sipil ini, menurut
James A. Bank (1989:4-5) berimplikasi pada dunia pendidikan dengan
munculnya sejumlah tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum
pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an
muncullah beberapa kursus dan program pendidikan yang menekankan pada
aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya
(cultural diversity).
Perubahan Identitas
Proses urbanisasi (pengkotaan) di negara berkembang telah terjadi
perubahan sosial yang luar biasa. Dijelaskan oleh Evers (1982) bahwa kotakota di Asia Tenggara pada masa kolonial ditata berdasar sistem pemisahan
etnik, yang sekarang ini berkembang didasarkan atas kelas sosial. Akibatnya
kelompok-kelompok etnik di kota mengalami perubahan identitas yang
batas-batas etniknya semakin kabur. Diterangkan oleh Parsudi Suparlan
(1989), bahwa identitas etnik adalah sebuah nilai kemasyarakatan yang
dipaksakan begitu saja untuk diterimakan kepada para pendukung
kebudayaan pada masa-masa formatif dari usia mereka. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh F Barth (1969: 13), yang menyatakan
bahwa identitas etnik itu bersifat askriptif, sebab dengan identitas etnik
maka seseorang diklasifikasikan atas identitasnya-yang paling umum dan
mendasar- yaitu berdasar atas tempat atau asalnya.
Ditunjukkan oleh Barth bahwa batas-batas etnik itu tetap ada walaupun
terjadi proses saling penetrasi kebudayaan diantara kelompok etnik yang
berbeda. Ditambahkan oleh Lehman (1967: 106), tentang pentingnya
masalah peranan yang dimainkan oleh pelaku dalam hubungan antar etnik.
Bahwa dalam interaksi antar etnik sebenarnya pada pelaku itu “mengambil
posisi-posisi dalam sistem-sistem yang secara kebudayaan telah
didefinisikan yang mengatur hubungan-hubungan antar kelompok yang
bersangkutan”. Berdasarkan hal ini, interaksi sosial dapat dilihat sebagai
interaksi diantara identitas-identitas sosial yang berbeda serta
perwujudannya sesuai dengan kondisi dimana interaksi sosial itu terwujud.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
Multikulturalisme Masyarakat
181
E.M Bruner yang mencetuskan relasi antara kebudayaan dominan dengan
perwujudan etnisitas dikota menyatakan bahwa kondisi yang dimaksudkan
adalah mengacu pada sebuah hipotesis dominan, yang bunyinya kondisi
setempat yang terwujud sebagai kekuatan sosial, yaitu apakah ada kekuatan
dominan atau tidak, mempengaruhi wujud dari corak hubungan diantara
suku-suku bangsa yang berbeda yang tinggal ditempat tersebut.
Perubahan identitas di daerah sebagai kelompok minoritas suku bangsa
yang ada di kota harus berinterksi kedalam suasana kebersamaan. Mereka
memilih satu identifikasi etnik yang utama (dominan) dan mengakui yang
lainnya. Fenomena ini (perubahan identitas) dapat terjadi melalui
perkawinan antar suku (amalgamasi). Setiap kelompok, bagaimanapun juga
menunjukkan kulturnya. Dalam penelitian Bruner diketahui bahwa adanya
kebudayaan dominan pada suatu kota, perubahan identitas dari anggota
kelompok mayoritas ke identitas sosial kelompok minoritas bisa saja terjadi.
Aplikasi konsep kebudayaan dominan untuk melacak minoritas bisa saja
terjadi. Aplikasi konsep kebudayaan dominan untuk melacak proses
perubahan identitas etnik di kota adalah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari studi sejarah masyarakat kota. Bersamaan dengan proses
percampuran etnik ada kecenderungan bahwa masing-masing etnik
berusaha menjaga identitas etniknya untuk kepentingan-kepentingan
kompetisi dengan etnik lain (Daldjuni, 1982: 46) karena kota adalah sebagai
“melting pot”.
Hal ini dapat dimaklumi sebab semakin besar jumlah kelompok-kelompok
etnik di perkotaan, maka semakin besar pula heterogenitas masyarakatnya.
Oleh sebab itu studi sejarah masyarakat kota dengan mengaitkan pada
konteks proses urbanisasi akan lebih bernuansa. Sebagaimana yang disebut
dengan kota adalah akan ditandai oleh deferensiasi vertikal (jarak sosial
kelas atas dengan kelas bawah), adalah juga ditandai oleh deferensiasi
horizontal (perbedaan antar kelompok etnik).
Pada heterogenitas yang ditandai oleh deferensiasi horizontal, konsep
kebudayaan dominan dari Edward M. Bruner relevan untuk dijadikan model
penelitian dalam perspektif historis. Hipotesisnya meliputi tiga variabel,
yaitu mayoritas penduduk, kekuatan budaya lokal, kekuatan politik.
Kajian sejarah masyarakat kota tidak saja hanya dilihat dari aspek
kependudukannya saja, melainkan dapat dilihat dari dinamika integrasinya.
Sebab masyarakat kota adalah masyarakat yang dinamis untuk itu
deferensiasi adalah merupakan faktor penunjang dari proses perubahan
sosial. Sebab dengan deferensiasi inilah akan muncul proses integrasi pada
tingkat kehidupan sosial yang lebih maju. Berdasarkan hal ini maka konsep
kebudayaan Bruner dapat dipakai sebagai pisau analisis yang tajam untuk
mengupas persoalan sosial kota sebagao suatu sistem. Apabila digunakan
pada masa kolonial dimana sistem pemisahan etnik menjadi acuan penataan
kota, dan pada masa sesudah kemerdekaan yang ditandai oleh kepentingan
untuk melakukan integrasi secara mendesak.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
182
Rudolf Chrysoekamro
METODE PENELITIAN
Kajian ini dikembangkan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif,
karena penelitian yang dikembangkan diupayakan demi mendapatkan detail
informasi terkait multikulturalisme masyarakat Jember. Setiap detail
informasi yang digali selanjutnya dikumpulkan secara cermat dan dianalisis
dengan menggunakan analisis isi. Analisis isi (content analysis) merupakan
teknik analisis yang memadukan dua pendekatan kualitatif sekaligus dengan
pendekatan kuantitatif, di mana teknik ini merujuk pada ketepatan maknawi
atas pernyataan, isi pidato, ungkapan masyarakat local, serta semua proses
komunikasi antara komunikator dengan komunikan. Analisis isi (content
analysis) sebenarnya menjawab pertanyaan ‘siapa mengatakan apa, kepada
siapa, mengapa, bagaimana dan dengan efek apa? Oleh karenanya analisis
isi (content analysis) berupaya menemukan unit-unit hermeneutical melalui
kata-kata atau pernyataan atau ungkapan yang dimaknakan. Seberapa
seringkah ungkapan itu dikemukakan dan di mana saja ungkapan itu
dikemukakan.
Analisis isi (content analysis) mencoba mencari jejak sebuah pernyataan,
ungkapan, serta percakapan dari sudut leksikal (kata apa yang sering
digunakan), sudut sintaksis (bagaimana ungkapan, pernyataan itu
diformulasikan), serta sudut semantic (apa yang dimaksudkan). Dalam
analisis isi (content analysis) ada istilah KWIK (Key Word In Context),
yakni menelusuri ungkapan atau istilah pada konteks semantic asli/original.
Analisis isi (content analysis) sesungguhnya muncul sebagai alternative
sebagai variasi aplikasi riset pada lingkup kajian komunikasi dan informasi
serta kepustakaan (Allen & Resser, 1990). Meski awalnya muncul pada
jenis penelitian kuantitatif, namun demi menutup kelemahan tradisi
kuantitatif, maka penelitian kualitatif berupaya meminjam dan
melengkapinya sebagai teknik analisis yang akurat khususnya pada dunia
ilmu sosial, yakni sebagai sebuah metode riset untuk intepretasi subjektif
atas isi teks dan pernyataan serta ungkapan melalui proses klasifikasi
semantic dan identifikasi tema atau pola (Hsieh & Shanon, 2005). Analisis
isi (content analysis) juga menjadi sebuah pendekatan empiris dan analisis
terkontrol secara metodologis atas teks/pernyataan dalam sebuah
komunikasi dengan mengikuti aturan analisis isi yang mendalam (Marying,
2000). Analisis isi (content analysis) pun merupakan reduksi data dan
informasi kualitatif serta sebagai upaya pembuatan ‘rasa’ guna mendapat isi
material kualitatif serta demi identifikasi keajegan fokus dan makna (Patton,
2002). Oleh karenanya, analisis isi (content analysis) kemudian banyak
dikembangkan pada kajian anthropologi, sosiologi kualitatif serta psikologi
dalam
rangka
menggali
makna
dari
sebuah
teks/ungkapan/istilah/percakapan. Analisis isi (content analysis) dalam
kaitan ini, memungkinkan untuk perolehan deskripsi atas tipologi melalui
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
Multikulturalisme Masyarakat
183
ekspresi dari subjek/informan yang mencerminkan bagaimana dunia sosial
memandang. Ini mengingatkan kita bagaimana konstruksi sosial dipandang
oleh individu dan sekelompok individu. Analisis isi (content analysis)
berupaya keras menggali makna di balik perilaku dan pikiran seseorang
(Schilling, 2006).
PEMBAHASAN
Secara geografis, sejarah perkotaan Jember memang khas dan berbeda
dengan wilayah lain. Kekhasan ini nampak pada spesialisasi daerah ini yang
beriklim unik. Wilayah kota ini secara merata akan mengalami dua musim
sepanjang tahun, artinya hujan masih akan turun meski di musim kemarau
sekalipun, dan sebaliknya panas akan acap datang walau di musim
penghujan. Model iklim seperti inilah yang secara geografis menjadikan
kota Jember layak mendapat julukan daerah ‘perpaduan musim’. Daerah
perpaduan ini barangkali yang menjadikan tumbuh suburnya tanaman
tembakau, dengan citra dan cita rasanya khas ‘Jember’ hingga mampu
menembus pasaran Eropa sejak dulu kalanya.
Sementara itu, aspek demografis kota ini pun tak jauh dari kekahasan
berupa dominasi pekerja buruh di masa lalu, dan makin bervariasinya
struktur kependudukannya sejalan makin marak dan berkembangnya
struktur dan kultur kota dewasa ini. Perkembangan aspek demografi kota ini
selanjutnya menjadikan citra kota ini khas sebagai arena bagi banyak
pendatang untuk mengadu dan memperbaiki nasib hidup mereka. Maka,
dalam konteks demografi, kota Jember juga layak dicitrakan sebagai arena
bertemu dan berkumpulnya banyak pencari kerja di masa lalu, walau
sesungguhnya kota ini tidak sepenuhnya menjanjikan di masa kini. Oleh
karenanya, citra yang nampak pada aspek demografi sesungguhnya lebih
dekat pada tema integratif, yakni sebagai arena bagi bertemunya para
pencari kerja.
Secara social budaya, kota Jember sangat berbeda dengan kebanyakan
kondisi social budaya kota lain. Meski agak serupa dengan beberapa kota di
area tapal kuda seperti Bondowoso, Situbondo dan Probolinggo, yang
membedakan kota Jember dengan kota lain di area tapal kuda adalah
kompleksitas warganya baik secara sosial ataupun budaya. Memang benar
apa yang pernah disebutkan oleh beberapa budayawan setempat yang
menengarai kota ini sebagai pusat berinteraksinya dua budaya besar yakni
Jawa dan Madura. Kekhasannya selanjutnya mewujud dalam istilah
’pendhalungan’, yang kurang lebih sarat dengan nuansa makna perpaduan
yang integratif meski budaya Jawa terkesan dominan di daerah pusat kota.
Namun oleh karena pertumbuhan budaya ’pendhalungan yang ’integralis’
marak hanya di pusat kota atau pada orang-orang yang bangga dengan
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
184
Rudolf Chrysoekamro
status ’kota’, maka ’pendhalungan’ memang layak disandang masyarakat
sosial budaya di area perkotaan Jember.
Meminjam definisi budaya Julian Hoxley, dimensi mental dan pemahaman
budaya Madura pada aspek seni bela diri dan tarian Islami lebih dominan di
pusat perkotaan, sementara itu di daerah pinggiran ada beberapa bbudaya
tarian dan seni gamelan Jawa sedikit mendominasi khususnya hanya di
daerah pemukiman Jawa. Seni bela diri pencak silat serta tarian javen dan
musikalitas gambus atau sejenisnya yang menyeruak dari pemukiman
pesantren lebih mencolok di pusat perkotaan dan beberapa di daerah
konsentrasi warga Madura. Namun kekhasannya boleh jadi mencitrakan
kota Jember sebagai representasi budaya Islami atau dalam beberapa hal
dicitrakan sebagai kota ’santri’, termasuk di dalamnya bagaimana budaya
santri ini berhasil mengikis atau minimal mengimbangi perilaku buruk
kalangan penjahat khususnya dari wilayah budaya Madura daerah
pinggiran yang berdekatan areal hutan. Budaya santri ini pada
perjalanannya mampu menjadi katalisator penyadaran kalangan penjahat,
bahkan ada tradisi bahwa ’penjahat takut kepada santri atau kyai’.
Citra sosial budaya yang mengemuka dari warga budaya Jawa di
pemukimannya mewujud pada ritual ruwatan. Citra ini sebenarnya nyaris
sama dengan tradisi Jawa di daerah lain. Oleh karenanya, ’ruwatan’ adalah
pemahaman bawah sadar budaya Jawa sebagai sesuatu yang lazim dan
wajib bagi warga Jawa. Di perkotaan, kini citra ini kian merosot sejalan
dengan pemahaman religius yang kian mantap khususnya di kalangan umat
Islam baik dari ormas Nu ataupun Muhammadiyah. Alhasil, citra budaya
kota Jember mungkin lebih dekat pada sebutan ’kota santri’.
Citra sosial budaya yang menyeruak selanjutnya adalah munculnya realitas
daerah perkebunan yang memberikan konsekuensi perlunya hiburan bagi
pekerja dan pegawai yang ingin melemaskan kepenatan. Pencarian hiburan
menjadi keniscayaan. Bentuk dan model hiburan makin mendapatkan
tempatnya, mulai dari pusat pertemuan dansa dansi di canteen, tempat
pemandian, atau bahkan penginapan yang menyediakan wanita hiburan.
Inilah yang menjadi paradoks bagi pencitraan kota santri.
Dimensi sosial ekonomi kota Jember tempo dulu sangat mencitrakan
betapa tembakau adalah penghasil utama dan berhasil mengdongkrak
popularitas di mata bangsa-bangsa di Eropa. Untuk konteks ini, Jember
layak disebut sebagai ‘kota tembakau’.
Dimensi keagamaan menjadi faktor determinan warga kota ini, karena Islam
berkembang sangat sporadis dan bahkan berakhir secara simultan seiring
kedatangan warga Madura khususnya yang datang dari Pamekasan dan Sumenep
yang di dalamnya menyertakan kelompok keluarga kyai Abdul hamid bin Itsbat
Banyuanyar dan keluarga kyai Ibrahim Batuampar, serta yang datang dari
komunitas Jawa dari Kediri semisal keluarga kyai Shidiq atau kyai Faruq.
Kedatangan elemen Islam ini mempengaruhi pencitraan kota santri. Citra kota
santri diperkuat oleh keberadaan pesantren yang kian banyak, berkembangnya
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
Multikulturalisme Masyarakat
185
tradisi Islam secara simultan, serta permasalahan yang melanda jamaah hajji di
seluruh koloni Hindia Belanda termasuk di Jember.
Masuknya pengaruh agama Kristen dan Katholik dan beberapa aliran keprcayaan
dari orang-orang Jawa memang tidak boleh dikesampingkan. Namun oleh
karena dominasi agama Islam terlalu kuat di kota ini, maka pencitraan kota santri
layak disematkan di pundak kota ini.
Pencitraan kota santri sedikit banyak turut mempengaruhi aspek politis kota
ini. Di awal tahun 1900-an, seiring dengan masuknya keluarga kyai yang
berpartisipasi dalam membangun dimensi kemasyarakatan kota Jember,
pesantren menjadi salah satu pendobrak gerakan kemerdekaan. Layak bagi
pesantren kemudian untuk disandingkan sebagai agen munculnya pahlawan
kota Jember. Di awal kedatangan Jepang, pesantren di Jember menjadi
kompetitor kekerasan dan disiplin yang disosialisasikan oleh penjajah
Jepang. Penyebaran tradisi ilmu kanuragan oleh pesantren menjadi
penyeimbang kekerasan Jepang. Citra kota santri menjadi sangat berguna di
masa penjajahan Jepang. Di awal kemerdekaan, secara politis di Jember
berkembang aspirasi apolitis. Tepatnya setelah Kyai Baqir bin Abdul hamid
mendapatkan petunjuk atas istikharohnya terkait keberadan empat partai
besar PNI, NU, Masyumi dan PKI. Keempatnya dihukumi harom. Realitas
ini memberikan keteguhan sikap kebanyakan kalangan pesantren di Jember
untuk menjauhi dimensi politik. Realitas berkata lain setelah masuknya
zaman orde baru, di mana pemerintahan Soeharto dipandang sebagai
diktator dan wajib ditandingi melalui keikutsertaan kepada Partai Persatuan
Pembangunan. Namun beberapa penerus tradisi apolitik masih ada yang
bertahan untuk tidak terpengaruh melibatkan diri ke dalam dunia politik.
Beberapa pesantren di bawah keluarga kyai Baqir bin Abdul Hamid menjadi
basis sikap apolitik ini. Hingga zaman reformasipun, sikap apolitik ini
masih dipertahankan beberapanya oleh sekelompok keluarga kyai pencetus
apolitik, termasuk santri pengikut setia mereka.
Bertolak dari realitas perkembangan pendidikan di kota ini, tidak banyak
prestasi pendidikan yang cukup membanggakan warga kota. Kondisi sosial
budaya, sosial ekonomi, sosial politik dan bahkan kondisi relijius
masyarakat kota ini cukup menjadikan Jember kurang memiliki pencitraan
positif dari sisi pendidikan. Warga masyarakat Jember tempo dulu yang
sebagian besar terpola sebagai pekerja perkebunan seolah-olah
mengabaikan aspek pendidikan. Kalaupun kemudian belakangan muncul
geliat yang cukup signifikan, itu belum mampu menerobos dominasi kota
besar lainnya dalam sektor pendidikan. Bila kualitas perguruan tinggi
dipakai sebagai acuan, maka Univeritas Jember dalam perkembangannya
masih berada di bawah bayang-bayang Universitas besar seperti UGM,
Unair, Unbra, UI, Unpad serta beberapa perguruan tinggi besar lainnya.
Kalaupun sekedar untuk disejajarkan, Universitas Jenderal Sudirman
Purwokerto atau perguruan tinggi selain tersebut di atas barangkali berada
satu level dengan Universitas Jember. Letak di pinggiran dan mengesankan
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
186
Rudolf Chrysoekamro
jauh dari akses informasi bukanlah alasan mengapa pendidikan tinggi di
Jember kurang berkembang. Salah satu alasan kuat barangkali adalah
lemahnya jaringan alumni yang di perguruan tinggi besar menjadi salah satu
faktor determinan pertumbuhan almamater.
Oleh karena kondisi ini, dengan latar belakang historis Jember sebagai
daerah perkebunan yang pertumbuhannya lebih dekat pada pemberdayaan
sektor sosial ekonomi, sosial budaya termasuk di dalamnya memendam
potensi pariwisata, maka perkembangan sektor pendidikan tidak
mendapatkan prioritas pertumbuhan yang menentukan. Sehingga, dengan
demikian kota pelajar belum layak disandang oleh kota Jember Dan bila
harus dipaksakan, kota santri justru lebih relevan. Bukankah santri adalah
juga pelajar yang banyak menghabiskan waktu belajarnya di pesantren.
KESIMPULAN
Dari sekian penjelasan pencitraan atas kota Jember dari berbagai aspek,
muncul satu benang merah ihwal bagaimana identitas dan pencitraannya.
Citra integratif sebagai kumpulan dan perpaduan elemen budaya yang
akulturatif dala sebuah wadah ’dhalung’, elemen demografis yang memusat
pada ethos kerja di sektor perkebunan, elemen iklim geografis yang khas
dan unik, elemen aspirasi politis dengan fenomena apolitisnya, elemen
agama dan kepercayaan yang sarat nilai toleransi, serta elemen sosial
ekonomi yang mengemukakan julukan kota emas hijau, maka pada akhirnya
tawaran untuk memberikan identitas kota ini sebagai ’kota santri’ mungkin
tidak terlalu berlebihan. Sebab, hampir seluruh sendi kehidupan yang
terpecah pada beberapa aspek, titik temunya tertuju pada kata ’santri’.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, B., & Reser, D. (1990). Content analysis in library and information
science research. Library & Information Science Research, 12(3),
251-260.
Bonie Setiawan, Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat Sipil, dalam
Prisma No.7, 1996.
Budi Winarno, Peran Elite Desa dalam Pembangunan, Suara Merdeka, 31
Juli 1990.
C Wright Mills, The Power Elites, New York: Oxford University Press,
1956.
De Wever, B., Schellens, T., Valcke, M., & Van Keer, H. (2006). Content
analysis schemes to analyze transcripts of online asynchronous
discussion groups: A review. Computer & Education, 46, 6-28.
Dwaine Marvick, Elites, University of California, dalam Ensiklopedia IlmuIlmu Sosial.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
Multikulturalisme Masyarakat
187
Bonie Setiawan, Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat Sipil, dalam
Prisma No.7 1996,
Larry Diamond ,”Rethinking Civil Society: Toward Democratic
Concolidation”’ dalam Journal of Demacracy, Vol V.No.3, Juli
1994
Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil Prasyarat menuju kebebasan,
Bandung, Mizan, 1994
Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga, Yayasan
Obor Indonesia, 2000
Ron Hatley, Mapping Cultural Regions of Java, Monash University, 1984
I Made Sujana, Negari Tawon Madu, Denpasar, Larasan Sejarah, 2001
Robert H Bates, Agrariaan Politics, Little Brown and Company, 1987
James c Scott, Moral Ekonomi Petani, LP3ES, 1981
Samuel L Popkin, The Rational Peasants: Political Economy of Rural
Society in Vietnam, Berkeley, University of California Press, 1979
Olle Tornquist, Notes on the Rural Change in Java and India, in Arief
Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton, Australia:
Monash Papers on Southeast Asia, No. 22
Cliffort Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta,
Pustaka Jaya, 1989
Kusnadi, Masyarakat Tapal Kuda, Konstruksi Kebudayaan & Kekerasan
Politik, dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora Vol. II No. 2.Juli 2001
Klaus Krippendorff, Content Analysis: Pengantar Teori dan Metodologi,
terjemahan Farid Wajdi, Jakarta, Rajawali Press, 1991.
Klaus Krippendorff, Content Analysis An Introduction to Its Methodology,
London, Sage Publication Inc
Hsieh, H.-F., & Shannon, S.E. (2005). Three approaches to qualitative
content analysis. Qualitative Health Research, 15(9), 1277-1288.
Mayring, P. (2000). Qualitative content analysis. Forum: Qualitative Social
Research,
1(2).
Retrieved
July
28,
2008,
from
http://217.160.35.246/fqs-texte/2-00/2-00mayring-e.pdf.
Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods.
Thousand Oaks, CA: Sage.
Schilling, J. (2006). On the pragmatics of qualitative assessment: Designing
the process for content analysis. European Journal of Psychological
Assessment, 22(1), 28-37.
Jurnal Progress Vol. 1 No. 2, 2012:177-187
Download