sosiologi agama redefinisi politik multikulturalisme dan realita

advertisement
SOSIOLOGI AGAMA
REDEFINISI POLITIK MULTIKULTURALISME DAN
REALITA MULTIKULTURALISME DI INDONESIA
Disusun Oleh:
KELOMPOK 6
ANITA SULISTYANI
| 1006692543
FITRIANI
| 1006692700
LIZA ERICA PANJAITAN
| 1006664382
NUR RINA MASKAYANTI | 1006762985
RIFQI RIANPUTRA
| 1006692902
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2012
1
PENGANTAR
Kompleksitas dari realitas kehidupan Indonesia adalah kemajemukan masyarakatnya
yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnis yang mendiami wilayah seluas 1.919.440 km2.1
Persoalan yang ada dari kemajemukan tersebut terdapat adanya perbedaan ideologi, kultur,
dan praktik sosial dalam kelompok masyarakatnya yang akibatnya di satu sisi adanya
keinginan untuk bersatu dan terintegrasi dalam keanekaragaman baik secara politis maupun
kultur, serta di lain sisi adanya kelompok yang berkeinginan untuk terlepas dari ikatan kultur
dan sosial tersebut. Oleh karena itu, muncullah tema tentang penerimaan, pengakuan
toleransin,
dan
penghormatan
terhadap
perbedaan
atau
yang
dikenal
dengan
multikulturalisme. Multikulturalisme berupaya untuk menciptakan masyarakat yang dapat
menjalankan praktek-praktesk sosial atas keyakinan kolektif maupun individunya dengan
saling mengakui, menghormati dan satu sama lain, tanpa memperlihatkan adanya fragmentasi
antara mayoritas dan minoritas. Namun, pada masa saat ini tema multikulturalisme ini
menjadi perdebatan dan perlu refinement atas maknanya karena seringkali mengalami
kekeliruan. Kekeliruan yang ada seharusnya dipahami betul bahwasannya multikulturalisme
bukanlah upaya untuk memberikan pengakuan atas kelompok minoritas, bukanlah upaya
untuk melakukan kesetaraan dalam kemajemukan, bukanlah upaya untuk memberikan
identitas kebudayaan tunggal. Akibat dari pemahaman tersebut istilah multikulturalisme
menggambarkan kesan fragmentatif, makanya cenderung terjadinya konflik atau kekerasan
yang berbau SARA. Padahal, idealnya politik multikultural adalah mengakui komunitas dari
berbagai subkultur secara legal maupun moral dengan tetap memperhatikan hak
individu/subjek untuk berbeda dalam mengartikulasikan identitas kultur mereka. Jadi, paper
ini bertujuan untuk menjelaskan tema multiculturalisme secara lebih komprehensif dari
realitas sosial yang ada.
A. MULTIKULTURALISME
Secara konsep, multikulturalisme menjelaskan dimana sebuah komunitas dalam
konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, kemajemukan budaya, baik
ras, suku, etnis dan agama. Adapun Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah
sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal
dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada.2 Jika multikulturalisme
dipahami seperti itu berarti multikulturalisme selalu membahas perbedaan dan identitas
1
2
Paulus Wirutomo, Integrasi Masyarakat Indonesia: Menyongsong Masa Depan,hlm.2.
Abdullah,Multikulturalisme,Kompas,16 Maret 2006.
2
kebudayaan dan itu hanya dipahami secara permukaan semata, tetapi hidden meaning dari
multikultural ini tertutup.
Pada akhir abad ke-19, merebaknya kemunculan gerakan-gerakan politik dan
intelektual yang dimotori oleh beraneka macam kelompok seperti kelompok masyarakat adat,
kelompok minoritas suku bangsa, kelompok etnis-kultural, kelompok imigran baik yang lama
maupun yang baru, kaum feminis, kelompok gay dan lesbian, dan kelompok pecinta
lingkungan (the greens). Kelompok tersebut muncul bertujuan agar masyarakat mengakui
keabsahan perbedaan mereka. Oleh karena itu, istilah multikulturalisme perlu dipahami dan
dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Selama ini, multikulturalisme dipraktekkan
dengan pemahaman masyarakat untuk memberikan perlakuan sama kepada kelompokkelompok
minoritas.
Adapun
kritik
terhadap
multikulturalisme
tersebut 3:
(1)
multikulturalisme selalu dihubungakan dengan masalah pengakuan dan pengenalan identitas
kultural yang justru memunculkan ekslusi sosial; (2)multikulturalisme berkaitan dengan
pemberian dan penjaminan hak. Ketika ruang begitu besar diberikan kepada kelompok, maka
menguatnya tuntutan atas kemerdekaan teritorial bagi kelompok-kelompok yang merasa tidak
sejalan dengan status quo dan menguatnya identitas-identitas kelompok tanpa arah yang
dengan cepat dapat menghasilkan ketegangan antar kelompok bahkan konflik-konflik sosial
berdarah.; (3)4multikulturalisme tidak semata menunjukkan mengenai kemajemukan namun
setiap
personal
memiliki
keterlibatan
aktif
dalam
kemajemukkan
tersebut;
(4)5multikulturalisme bukanlah hal yang bersifat kosmopolitanisme, yaitu menunjukkan
kepada suatu realitas dimana ragam ras, kelompok, agama, dan bangsa hidup disuatu lokasi.
Oleh karena itu, multikulturalisme harus dimengerti sebagai sebuah kebijakan publik
yang terintegrasi dalam insitusi-institusi, hukum, dan tindakan pemerintahan yang
memberikan pengakuan di ruang publik kepada perbedaan-perbedaan kultural.6 Dengan kata
lain, multikulturalisme bukan sekedar deskripsi kemajemukan sosial melainkan respon
normatif terhadap masyarakat yang multikultural dengan memuat ketiga jenis keragaman
yang seperti di kemukakan oleh Parekh yaitu keberagaman subkultur, perspektif, dan
komunal. Makna lain yang juga dapat ditawarkan bahwa multikulturalisme merupakan
penerimaan dan pengakuan dalam tata aturan legal dan secara kolektif pengakuan melalui
tindakan cara berpikir. Setelah konsep multikulturalisme jelas maka dapat membangun
Lucia Ratih Kusumadewi,2009.“Kembalinya Subyek:Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme”dalam
Jurnal Masyarakat, Vol.15, No. 2,Juli 2009.hal.77
4
Ngainun Naim & Achmad Sauqi.2008.Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi.Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.hal. 78
5
Ibid, hal.78
6
Opcit,hal.76.
3
3
masyarakat multikulturalismse. Masyarakat
multikulturalisme adalah suatu tatanan
masyarakat yang memiliki ciri berupa interaksi yang aktif di antara unsur-unsurnya melalui
proses belajar.7
B. BENTUK KEANERAGAMAN BUDAYA
Multikulturalisme tidak hanya membahas mengenai perbedaan dan identitas, tetapi
juga mengenai keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Lebih lanjut,
multikulturalisme ini berkaitan dengan politik pengakuan. Multikulturalisme dianggap
sebagai sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempertahankan hubungannya dengan politik
pengakuan. Adapun tiga macam keaneragaman kultural dalam masyarakat modern menurut
Parekh,8 yaitu:
1. Keanekaragaman Subkultural
Keanekaragaman yang menunjukkan para anggotanya memiliki satu budaya umum
yang luas. Akan tetapi, beberapa di antara anggotanya menjalankan keyakinan dan
praktek yang berbeda serta menempuh cara hidup yang relatif sangat berbeda sesuai
dengan keadaan di suatu wilayah kehidupan tertentu. Keanekaragaman subkultur
terkait dengan sebuah budaya bersama sehingga mampu terbuka lebar dan beraneka
ragam serta tidak saling menggeser satu dengan lainnya. Dengan kata lain,
kenekaragaman ini mencoba membuka ruang-ruang untuk gaya hidup yang berbeda.
Hal ini bukan merupakan sebuah kebudayaan alternatif, tetapi berusaha menciptakan
kebudayaan yang sudah ada menjadi plural. Adapun tantangan yang dihadapi oleh
keanekaragaman subkultur ini adalah terbatasnya jangkauan dan artikulasi akan
bermacam-macam nilai oleh kebudayaan dominan. Contohnya, antara lain kaum gay
dan lesbian.
2. Keanekaragaman Perspektif
Keanekaragaman yang menunjukkan adanya anggota masyarakat sangat kritis
terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan
berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai.
Keanekaragaman ini sering menentang hal yang sangat mendasar dari budaya yang
sudah ada serta tidak mewakili komunitas budaya tertentu, sehingga tidak
menunjukkan adanya keaneragaman subkultur. Keanekaragaman ini menunjukkan
perspektif intelektual yang berusaha mendefinisikan kembali budaya dominan yang
7
Opcit,hal.127
Bikhu Parekh.2008.Pendahuluan dalam Rethinkhing Multiculturalism Keberagaman Budaya DanTeori
Politik.Yogyakarta:Impulse,Kanisius.hal.16-17.
8
4
ada di masyarakat. Selain itu, keanekaragaman ini juga mewakili nilai yang ditolak
oleh kebudayaan dominan atau diterima secara teori tetapi dalam praktiknya
diabaikan.Keanekaragaman perspektif lebih radikal dan konprehensif dibandingkan
keaneragaman subkultur.
Contoh: kaum feminis yang berjuang melawan patriarki, masyarakat religius yang
menyerang orientasi sekuler, dan pecinta lingkungan yang melawan antroposentris
dan teknokratis yang tidak ramah lingkungan.
3. Keanekaragaman Komunal
Keanekaragaman ini merujuk pada komunitas keagamaan dan kelompok-kelompok
kultural yang berkumpul secara teritorial dan menjalankan hidup dengan sistem
keyakninan dan praktik yang berbeda. Keanekaragaman komunal diharapkan dapat
terpelihara dan diwariskan ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, keanekaragaman
komunal sangat kuat dan bisa bertahan hidup, memiliki pertahanan sosial yang
terorganisasi dengan baik, dan bisa diakomodasikan lebih mudah dan sekaligus lebih
sulit tergantung pada kedalaman dan tuntutan-tuntutannya.
Contohnya: komunitas Yahudi, Gipsi, Amish, kaum Basque, Katalan, Quebec, dan
sebagainya.
Agama merupakan salah satu bentuk dasar pengelompokkan dalam masyarakat. Pada
dasarnya, pengelompokkan ini bersifat horizontal. Artinya, setiap kelompok yang
berdasarkan agama mempunyai posisi yang sama dalam masyarakat. Setiap penganut agama
masing-masing akan meyakini agamanya, menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama,
dan hidup sesuai dengan pola hidup berdasarkan ajaran agamanya. Masing-masing anggota
masyarakat mempunyai kebebasan untuk bisa menjadi pengikut agama mana saja dan setiap
orang juga berhak untuk memilih tidak beragama (kelompok Atheis).
Berdasarkan ketiga keaneragaman yang telah dijelaskan sebelumnya, agama termasuk
dalam keanekaragaman komunal yang lebih kurang terorganisasi dengan baik dalam
masyarakat. Hal ini terlihat dari sistem keyakinan dan prakteknya, meskipun setiap agama
mempunyai landasan yang berbeda. Keanekaragaman komunal berdasarkan agama ini dapat
dilihat dari kelompok Yahudi, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan sebagainya. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan agama juga termasuk dalam keaneragaman subkultur.
C. POLITIK TOLERANSI DAN POLITIK PENGAKUAN
Untuk menghadapi tantangan dan budaya global, masyarakat perlu mengkaji ulang
mengenai politik integrasi. Politik integrasi tersebut dapat dikembangkan melalui politik
toleransi dan politik pengakuan. Dalam membahas politik toleransi dan politik pengakuan,
5
seorang Régis Debray pada tahun 1980-an mengangkat diskusi mengenai perbedaan antara
“Republikan” dan “Demokrat” dimana Republikan memiliki kesamaan pandangan dengan
liberal. Pandangan liberal melihat bahwa dalam ruang publik tidak ada tempat selain untuk
individu yang bebas dan setara di depan hukum. Model ini memiliki dasar sikap “toleran”
terhadap keragaman kultur dan sering disebut “politik toleransi”.
Politik Toleransi9 adalah sikap dimana negara berposisi pada mentolerir keragaman
budaya dan identitas kultural tanpa harus ikut campur dalam urusan-urusannya. Dengan kata
lain, negara lepas dari semua campur tangan jika berbicara masalah budaya dan agama.
Perancis merupakan salah satu negara yang menganut paham bahwa keragaman budaya
dimana kekuasaan negara tidak mengatur agama.
Model kedua dari politik integrasi adalah Politik Pengakuan10. Politik pengakuan
merupakan perkembangan dari pemikir-pemikir demokrat yang dekat dengan pemikiran
komunitaris anglo-saxon. Politik pengakuan ini dimana negara mengakui keberagaman
budaya dengan menjamin dan memberikan hak-hak untuk hidup bagi setiap kolektivitas
kultural. Nama lain dari politik pengakuan adalah politik multikulturalisme. Negara yang
menganut politik multikulturalisme memasukkan kebijakan-kebijakan publik secara legal
yang mengatur keragaman budaya yang ada. Pada dasarnya, politik integrasi tidak cukup
didefinisikan sebagai Politik untuk Subyek ysng memberikan kesempatan pada setiap
individu untuk mendapatkan subyektivitasnya.
D. POLITIK INDONESIA MENYIKAPI KEBERAGAMAN
Di saat masa euphoria reformasi menyambut demokrasi, di permukaan masyarakat
muncul berbagai masalah seperti penjaminan hak asasi baik individu maupun kolektif,
adanya kebebasan beragama, dan yang paling urgen adalah muncul masalah hak pengakuan
dari kelompok minoritas atas diri mereka di ranah publik dan legal. Indonesia yang terdiri
dari masyarakat yang beranekaragam dari segi prinsip, ideologi, agama, ras acapkali
melupakan kelompok-kelompok kecil sebagai subkultur yang membentuk kelompok
dominan. Secara politis (nation-state), tentunya perbedaan/keanekaragaman tersebut
disatukan dalam ruang NKRI. Namun, ironisnya tidak semua kelompok masyarakat atau
kelompok agama/etnis tercantum secara sah di institusi negara. Di Indonesia, jika dilihat
secara kasat mata, negara lebih cenderung pro atau mengakui hak-hak dari kelompok yang
cenderung mayoritas dari segi jumlah maupun kekuasaan. Akibatnya, prinsip atau ideologi
kelompok mayoritas sering dijadikan nilai kehidupan komunal bagi seluruh masyarakat
9
Ibid, hal.75
Ibid, hal.76
10
6
Indonesia. Dari ilustrasi singkat di atas, kita dapat membayangkan politik multikulturalisme
seperti apa yang diterapkan negara dalam menyikapi keberagaman.
Indonesia yang berada pada masa gelombang demokratisasi, bahwasannya dalam
menyikapi keberagaman khususnya agama mengacu pada politik pengakuan. Dalam politik
pengakuan ini, dimana Indonesia mengakui keberadaan berbagai budaya, menjamin, serta,
memberikan hak-hak untuk hidup bagi setiap kolektivitas kultural. Contohnya adalah negara
mengakui Kong Hu Chu sebagai sebuah agama resmi di Indonesia. Hal ini menunjukkan
sikap multikuturalisme negara yang berupaya memberikan pengakuan di ruang publik
terhadap agama Kong Hu Chu. Selain itu, politik rekognisi juga dapat dilihat dari pengakuan
kelompok agama seperti Muhammdiyah, NU oleh pemerintah. Pengakuan kelompok tersebut
di ruang publik dapat dilihat dari adanya menghormati pendapat dan perbedaan di kala
pelaksanaan Idul Fitri. Namun, persoalan yang muncul setelah adanya pengakuan tersebut
apakah negara menjamin hak-hak kolektivitas kultural mereka? Tentunya, masih dilematis,
meskipun Indonesia menjalankan politik rekognisi namun, terkadang negara melakukan
intervensi terhadap kelompok tersebut sehingga terkadang dapat mematikan kultural dan
ideologi dari kelompok tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk kebijakan pemerintah
yang masih bias kelompok dominan misalkan seperti penetapan Hari Raya Keagamaan yang
mana difokuskan pada perayaan agama yang “umum” tidak ada peruntukkan bagi perayaanperayaan agama yang “sederhana”. Terkadang, kebijakan-kebijakan publik yang terpisahpisah antar kelompok agama malah dapat menimbulkan eksklusifitas. Sebagai contoh,
adanaya kebijakan di sekolah (khususnya sekolah umum) yang pada hari Jumat selalu
menggunakan busana muslim. Jadi, di Indonesia dapat dikatakan bahwa politik pengakuan
yang dijalankan dengan memberikan pengakuan di ruang publik atas keragaman identitas
kultural untuk integrasi nasional malah mematikan bentuk representasi kultural dari
kelompok tersebut.
Dengan politik pengakuan, seperti kelompok agama minoritas diupayakan dan
diharapkan dapat merepresentasikan kultur dan identitas mereka. Tujuannnya, agar dapat
menghilangkan sikap diskriminasi, streotipe dari kelompok mayoritas. Namun, di Indonesia
hal ini belum terlihat sebut saja misalnya Etnis Cina/Tionghoa (baik beragama Kristen/Kong
Hu Chu) sangat sulit eksistensi mereka diakui baik secara legal maupun moral sosial.
Pada
hakekatnya,
politik
pengakuan
merupakan
wujud
dari
politik
multikulturalisme.11 Tentunya, politik multikulturalisme idealnya dapat mengintegrasikan
11
Ibid, hal.76.
7
kelompok yang berbeda dengan tetap memberikan ruang berekspresi bagi anggota
kelompoknya (multikultural berkarakter). Seharusnya, di dalam politik rekognisi
juga
tertanam sikap toleransi pemerintah, misalkan dengan tidak semua urusan keagamaan diatur
oleh pemerintah. Meskipun ada politik toleransi yang diterapkan di Indonesia dalam
menyikapi keragaman, namun hanya sebatas bentuk menghormati atau seperti yang
dikemukakan oleh Mills sebatas prinsip jangan menyakiti (no harm principles).12 Oleh karena
itu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa politik pengakuan yang diterapkan Indonesia
hanya sebagai bentuk pengakuan identitas budaya semata belum diiringi dengan model
multikulturalisme yang mengintegrasikan.
E. ARGUMENTASI TERKAIT POLITIK INDONESIA
Pada kenyataannya, Indonesia merupakan negara dengan kondisi sosio-kultural yang
kompleks. Kompleksitas tersebut ditunjukkan dengan adanya keberagaman kelompok dalam
masyarakat, baik itu kelompok agama, suku, ras, kelas sosial, dan sebagainya. Menurut
kelompok kami, politik Indonesia masih belum tegas dalam menyikapi keberagaman
kelompok yang ada, khususnya kelompok agama. Jika dikaitkan dengan model politik
toleransi dan politik pengakuan, politik Indonesia lebih condong pada model politik
pengakuan. Hal ini bisa dilihat dari adanya upaya negara untuk mengakui Kong Hu Chu
sebagai sebuah agama resmi di Indonesia.
Pada kenyataannya, pengakuan terhadap kelompok Kong Hu Chu ini tidak terlepas
dari usaha yang dilakukan oleh kelompok dari agama yang telah mapan. Akan tetapi, politik
pengakuan tersebut tidak dibarengi dengan upaya untuk mengakui kelompok agama atau
aliran kepercayaan lainnya. Ironisnya, banyak aliran kepercayaan di Indonesia yang belum
mendapat pengakuan secara politik oleh negara, sehingga banyak kepentingan yang
terabaikan. Intinya, Indonesia tengah menerapkan politik pengakuan pada kelompok agama
yang ada, tetapi masih dilakukan secara setengah-setangah dan belum ada kelanjutan untuk
mengakui kelompok aliran kepercayaan yang ada.
Penerapan politik pengakuan di Indonesia yang dapat dikatakan belum maksimal ini
bisa disebabkan karena anggaran yang terbatas. Artinya, anggaran yang ada di Departemen
Agama tidak bertambah, sehingga harus terbagi jika terjadi penambahan jumlah kelompok
agama di Indonesia, sebagai konsekuensi penerapan politik pengakuan atas kelompok agama.
Misalnya, anggaran yang dikhususkan untuk agama mayoritas akan mengalami pemotongan.
12
Donny Gahral Adian.2010.Kekeliruan Politik Multikultural Kita dalam Journal Maarif Institute for Culture
and
Humanity
Vol.5
No.2
Desember
2010.hal.20
yang
diakses
di
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/52101225_1907-8161.pdf pada Senin, 10 Desember 2012 pkl 21.23 WIB.
8
Hal ini tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan permasalahan lebih lanjut. Jika tidak
ada penambahan dana untuk kelompok-kelompok agama yang diakui, maka akan
menyebabkan diskriminasi baru. Politik pengakuan yang telah diterapkan hanya sekadar
pengakuan tanpa adanya upaya keberlanjutan, termasuk untuk mengakui kelompok aliran
kepercayaan atau kelompok minoritas lainnya. Politik Pengakuan terkendala oleh masalah
ekonomi.
Lantas, politik integrasi bagaimanakah yang ideal untuk Indonesia? Jika ditinjau lebih
lanjut, kedua model politik integrasi yang ada mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing ketika diterapkan dalam konteks politik Indonesia. Penerapan Politik Toleransi
menempatkan negara lepas dari semua campur tangan ketika berbicara budaya dan agama.
Artinya, negara mentolerir keanekaragaman budaya dan identitas kultural tanpa harus ikut
campur dalam urusan-urusannya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan akan muncul
kendala dalam penerapan Politik Toleransi dalam konteks Indonesia. Karena dapat
membatasi ruang gerak kelompok kultural dan agama yang beragam. Padahal, kelompokkelompok tersebut perlu berkembang dalam masyarakat. Terlebih, agama dan masyarakat
Indonesia merupakan entitas yang sangat terkait satu dengan lainnya.
Di sisi lain, penerapan Politik Pengakuan yang di dalamnya terdapat keikutsertaan
negara dalam mengawasi dan mengawasi keberagaman kelompok, khususnya kelompok
agama dimaksudkan untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat di bawah kendali negara.
Akan tetapi, penerapan Politik Pengakuan masih harus dipertanyakan kembali. Karena
memang mungkin pada teorinya terdapat pengakuan terhadap keberagaman kelompok namun
dalam pratiknya masih tidak terlepas dari diskriminasi pada kelompok minoritas. Seakanakan politik yang ada hanya bersifat normatif untuk pembenaran yang jauh dari praktik
riilnya. Politik Indonesia masih terkait erat dengan agama, dimana masih ikut serta dalam
urusan agama dan kultural lainnya.
Pada dasarnya, kedua model tersebut juga tak luput dari kekurangan dan masih
dilematis jika diterapkan di Indonesia. Selain itu, peran negara masih bertolak belakang
dengan kondisi keberagaman yang ada di masyarakat. Dimana negara berupaya untuk
mengintegrasikan masyarakatnya, baik secara politis maupun sosial, tetapi cara-cara yang
dilakukan dan kondisi keberagaman yang ada sering memicu konflik yang membahayakan
integrasi itu sendiri.
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Multikulturalisme,Kompas,16 Maret 2006
Adian, Donny Gahral.2010.Kekeliruan Politik Multikultural Kita dalam Journal Maarif
Institute for Culture and Humanity Vol.5 No.2 Desember 2010 yang diakses di
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/52101225_1907-8161.pdf
pada
Senin,
10
Desember 2012 pkl 21.23 WIB.
Kusumadewi, Lucia Ratih.2009.Kembalinya Subyek: Sosiologi Memaknai Kembali
Multikulturalisme dalam Jurnal Masyarakat,Vol. 15, No.2, Juli 2009.
Lubis, Nur A. Fadlil.2006.Multikulturalisme Dalam Politik: Sebuah Pengantar Diskusi
dalam Journal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol.II,No.1, April 2006 yang
diakses
di
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15288/1/etv-apr2006-
%20(3).pdf pada Senin, 10 Desember 2012 pkl. 21.30 WIB.
Naim,
Ngainun
&
Achmad
Sauqi.2008.Pendidikan
Multikultural:
Konsep
dan
Aplikasi.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Parekh, Bikhu.2008.Pendahuluan dalam Rethinkhing Multiculturalism Keberagaman Budaya
DanTeori Politik.Yogyakarta:Impulse,Kanisius.
Wirutomo, Paulus.Integrasi Masyarakat Indonesia: Menyongsong Masa Depan.
10
Download