SOSIOLOGI AGAMA REDEFINISI POLITIK MULTIKULTURALISME DAN REALITA MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Disusun Oleh: KELOMPOK 6 ANITA SULISTYANI | 1006692543 FITRIANI | 1006692700 LIZA ERICA PANJAITAN | 1006664382 NUR RINA MASKAYANTI | 1006762985 RIFQI RIANPUTRA | 1006692902 DEPARTEMEN SOSIOLOGI FAKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2012 1 PENGANTAR Kompleksitas dari realitas kehidupan Indonesia adalah kemajemukan masyarakatnya yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnis yang mendiami wilayah seluas 1.919.440 km2.1 Persoalan yang ada dari kemajemukan tersebut terdapat adanya perbedaan ideologi, kultur, dan praktik sosial dalam kelompok masyarakatnya yang akibatnya di satu sisi adanya keinginan untuk bersatu dan terintegrasi dalam keanekaragaman baik secara politis maupun kultur, serta di lain sisi adanya kelompok yang berkeinginan untuk terlepas dari ikatan kultur dan sosial tersebut. Oleh karena itu, muncullah tema tentang penerimaan, pengakuan toleransin, dan penghormatan terhadap perbedaan atau yang dikenal dengan multikulturalisme. Multikulturalisme berupaya untuk menciptakan masyarakat yang dapat menjalankan praktek-praktesk sosial atas keyakinan kolektif maupun individunya dengan saling mengakui, menghormati dan satu sama lain, tanpa memperlihatkan adanya fragmentasi antara mayoritas dan minoritas. Namun, pada masa saat ini tema multikulturalisme ini menjadi perdebatan dan perlu refinement atas maknanya karena seringkali mengalami kekeliruan. Kekeliruan yang ada seharusnya dipahami betul bahwasannya multikulturalisme bukanlah upaya untuk memberikan pengakuan atas kelompok minoritas, bukanlah upaya untuk melakukan kesetaraan dalam kemajemukan, bukanlah upaya untuk memberikan identitas kebudayaan tunggal. Akibat dari pemahaman tersebut istilah multikulturalisme menggambarkan kesan fragmentatif, makanya cenderung terjadinya konflik atau kekerasan yang berbau SARA. Padahal, idealnya politik multikultural adalah mengakui komunitas dari berbagai subkultur secara legal maupun moral dengan tetap memperhatikan hak individu/subjek untuk berbeda dalam mengartikulasikan identitas kultur mereka. Jadi, paper ini bertujuan untuk menjelaskan tema multiculturalisme secara lebih komprehensif dari realitas sosial yang ada. A. MULTIKULTURALISME Secara konsep, multikulturalisme menjelaskan dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis dan agama. Adapun Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada.2 Jika multikulturalisme dipahami seperti itu berarti multikulturalisme selalu membahas perbedaan dan identitas 1 2 Paulus Wirutomo, Integrasi Masyarakat Indonesia: Menyongsong Masa Depan,hlm.2. Abdullah,Multikulturalisme,Kompas,16 Maret 2006. 2 kebudayaan dan itu hanya dipahami secara permukaan semata, tetapi hidden meaning dari multikultural ini tertutup. Pada akhir abad ke-19, merebaknya kemunculan gerakan-gerakan politik dan intelektual yang dimotori oleh beraneka macam kelompok seperti kelompok masyarakat adat, kelompok minoritas suku bangsa, kelompok etnis-kultural, kelompok imigran baik yang lama maupun yang baru, kaum feminis, kelompok gay dan lesbian, dan kelompok pecinta lingkungan (the greens). Kelompok tersebut muncul bertujuan agar masyarakat mengakui keabsahan perbedaan mereka. Oleh karena itu, istilah multikulturalisme perlu dipahami dan dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat. Selama ini, multikulturalisme dipraktekkan dengan pemahaman masyarakat untuk memberikan perlakuan sama kepada kelompokkelompok minoritas. Adapun kritik terhadap multikulturalisme tersebut 3: (1) multikulturalisme selalu dihubungakan dengan masalah pengakuan dan pengenalan identitas kultural yang justru memunculkan ekslusi sosial; (2)multikulturalisme berkaitan dengan pemberian dan penjaminan hak. Ketika ruang begitu besar diberikan kepada kelompok, maka menguatnya tuntutan atas kemerdekaan teritorial bagi kelompok-kelompok yang merasa tidak sejalan dengan status quo dan menguatnya identitas-identitas kelompok tanpa arah yang dengan cepat dapat menghasilkan ketegangan antar kelompok bahkan konflik-konflik sosial berdarah.; (3)4multikulturalisme tidak semata menunjukkan mengenai kemajemukan namun setiap personal memiliki keterlibatan aktif dalam kemajemukkan tersebut; (4)5multikulturalisme bukanlah hal yang bersifat kosmopolitanisme, yaitu menunjukkan kepada suatu realitas dimana ragam ras, kelompok, agama, dan bangsa hidup disuatu lokasi. Oleh karena itu, multikulturalisme harus dimengerti sebagai sebuah kebijakan publik yang terintegrasi dalam insitusi-institusi, hukum, dan tindakan pemerintahan yang memberikan pengakuan di ruang publik kepada perbedaan-perbedaan kultural.6 Dengan kata lain, multikulturalisme bukan sekedar deskripsi kemajemukan sosial melainkan respon normatif terhadap masyarakat yang multikultural dengan memuat ketiga jenis keragaman yang seperti di kemukakan oleh Parekh yaitu keberagaman subkultur, perspektif, dan komunal. Makna lain yang juga dapat ditawarkan bahwa multikulturalisme merupakan penerimaan dan pengakuan dalam tata aturan legal dan secara kolektif pengakuan melalui tindakan cara berpikir. Setelah konsep multikulturalisme jelas maka dapat membangun Lucia Ratih Kusumadewi,2009.“Kembalinya Subyek:Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme”dalam Jurnal Masyarakat, Vol.15, No. 2,Juli 2009.hal.77 4 Ngainun Naim & Achmad Sauqi.2008.Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.hal. 78 5 Ibid, hal.78 6 Opcit,hal.76. 3 3 masyarakat multikulturalismse. Masyarakat multikulturalisme adalah suatu tatanan masyarakat yang memiliki ciri berupa interaksi yang aktif di antara unsur-unsurnya melalui proses belajar.7 B. BENTUK KEANERAGAMAN BUDAYA Multikulturalisme tidak hanya membahas mengenai perbedaan dan identitas, tetapi juga mengenai keanekaragaman atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural. Lebih lanjut, multikulturalisme ini berkaitan dengan politik pengakuan. Multikulturalisme dianggap sebagai sebuah gerakan yang bertujuan untuk mempertahankan hubungannya dengan politik pengakuan. Adapun tiga macam keaneragaman kultural dalam masyarakat modern menurut Parekh,8 yaitu: 1. Keanekaragaman Subkultural Keanekaragaman yang menunjukkan para anggotanya memiliki satu budaya umum yang luas. Akan tetapi, beberapa di antara anggotanya menjalankan keyakinan dan praktek yang berbeda serta menempuh cara hidup yang relatif sangat berbeda sesuai dengan keadaan di suatu wilayah kehidupan tertentu. Keanekaragaman subkultur terkait dengan sebuah budaya bersama sehingga mampu terbuka lebar dan beraneka ragam serta tidak saling menggeser satu dengan lainnya. Dengan kata lain, kenekaragaman ini mencoba membuka ruang-ruang untuk gaya hidup yang berbeda. Hal ini bukan merupakan sebuah kebudayaan alternatif, tetapi berusaha menciptakan kebudayaan yang sudah ada menjadi plural. Adapun tantangan yang dihadapi oleh keanekaragaman subkultur ini adalah terbatasnya jangkauan dan artikulasi akan bermacam-macam nilai oleh kebudayaan dominan. Contohnya, antara lain kaum gay dan lesbian. 2. Keanekaragaman Perspektif Keanekaragaman yang menunjukkan adanya anggota masyarakat sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai. Keanekaragaman ini sering menentang hal yang sangat mendasar dari budaya yang sudah ada serta tidak mewakili komunitas budaya tertentu, sehingga tidak menunjukkan adanya keaneragaman subkultur. Keanekaragaman ini menunjukkan perspektif intelektual yang berusaha mendefinisikan kembali budaya dominan yang 7 Opcit,hal.127 Bikhu Parekh.2008.Pendahuluan dalam Rethinkhing Multiculturalism Keberagaman Budaya DanTeori Politik.Yogyakarta:Impulse,Kanisius.hal.16-17. 8 4 ada di masyarakat. Selain itu, keanekaragaman ini juga mewakili nilai yang ditolak oleh kebudayaan dominan atau diterima secara teori tetapi dalam praktiknya diabaikan.Keanekaragaman perspektif lebih radikal dan konprehensif dibandingkan keaneragaman subkultur. Contoh: kaum feminis yang berjuang melawan patriarki, masyarakat religius yang menyerang orientasi sekuler, dan pecinta lingkungan yang melawan antroposentris dan teknokratis yang tidak ramah lingkungan. 3. Keanekaragaman Komunal Keanekaragaman ini merujuk pada komunitas keagamaan dan kelompok-kelompok kultural yang berkumpul secara teritorial dan menjalankan hidup dengan sistem keyakninan dan praktik yang berbeda. Keanekaragaman komunal diharapkan dapat terpelihara dan diwariskan ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, keanekaragaman komunal sangat kuat dan bisa bertahan hidup, memiliki pertahanan sosial yang terorganisasi dengan baik, dan bisa diakomodasikan lebih mudah dan sekaligus lebih sulit tergantung pada kedalaman dan tuntutan-tuntutannya. Contohnya: komunitas Yahudi, Gipsi, Amish, kaum Basque, Katalan, Quebec, dan sebagainya. Agama merupakan salah satu bentuk dasar pengelompokkan dalam masyarakat. Pada dasarnya, pengelompokkan ini bersifat horizontal. Artinya, setiap kelompok yang berdasarkan agama mempunyai posisi yang sama dalam masyarakat. Setiap penganut agama masing-masing akan meyakini agamanya, menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama, dan hidup sesuai dengan pola hidup berdasarkan ajaran agamanya. Masing-masing anggota masyarakat mempunyai kebebasan untuk bisa menjadi pengikut agama mana saja dan setiap orang juga berhak untuk memilih tidak beragama (kelompok Atheis). Berdasarkan ketiga keaneragaman yang telah dijelaskan sebelumnya, agama termasuk dalam keanekaragaman komunal yang lebih kurang terorganisasi dengan baik dalam masyarakat. Hal ini terlihat dari sistem keyakinan dan prakteknya, meskipun setiap agama mempunyai landasan yang berbeda. Keanekaragaman komunal berdasarkan agama ini dapat dilihat dari kelompok Yahudi, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan agama juga termasuk dalam keaneragaman subkultur. C. POLITIK TOLERANSI DAN POLITIK PENGAKUAN Untuk menghadapi tantangan dan budaya global, masyarakat perlu mengkaji ulang mengenai politik integrasi. Politik integrasi tersebut dapat dikembangkan melalui politik toleransi dan politik pengakuan. Dalam membahas politik toleransi dan politik pengakuan, 5 seorang Régis Debray pada tahun 1980-an mengangkat diskusi mengenai perbedaan antara “Republikan” dan “Demokrat” dimana Republikan memiliki kesamaan pandangan dengan liberal. Pandangan liberal melihat bahwa dalam ruang publik tidak ada tempat selain untuk individu yang bebas dan setara di depan hukum. Model ini memiliki dasar sikap “toleran” terhadap keragaman kultur dan sering disebut “politik toleransi”. Politik Toleransi9 adalah sikap dimana negara berposisi pada mentolerir keragaman budaya dan identitas kultural tanpa harus ikut campur dalam urusan-urusannya. Dengan kata lain, negara lepas dari semua campur tangan jika berbicara masalah budaya dan agama. Perancis merupakan salah satu negara yang menganut paham bahwa keragaman budaya dimana kekuasaan negara tidak mengatur agama. Model kedua dari politik integrasi adalah Politik Pengakuan10. Politik pengakuan merupakan perkembangan dari pemikir-pemikir demokrat yang dekat dengan pemikiran komunitaris anglo-saxon. Politik pengakuan ini dimana negara mengakui keberagaman budaya dengan menjamin dan memberikan hak-hak untuk hidup bagi setiap kolektivitas kultural. Nama lain dari politik pengakuan adalah politik multikulturalisme. Negara yang menganut politik multikulturalisme memasukkan kebijakan-kebijakan publik secara legal yang mengatur keragaman budaya yang ada. Pada dasarnya, politik integrasi tidak cukup didefinisikan sebagai Politik untuk Subyek ysng memberikan kesempatan pada setiap individu untuk mendapatkan subyektivitasnya. D. POLITIK INDONESIA MENYIKAPI KEBERAGAMAN Di saat masa euphoria reformasi menyambut demokrasi, di permukaan masyarakat muncul berbagai masalah seperti penjaminan hak asasi baik individu maupun kolektif, adanya kebebasan beragama, dan yang paling urgen adalah muncul masalah hak pengakuan dari kelompok minoritas atas diri mereka di ranah publik dan legal. Indonesia yang terdiri dari masyarakat yang beranekaragam dari segi prinsip, ideologi, agama, ras acapkali melupakan kelompok-kelompok kecil sebagai subkultur yang membentuk kelompok dominan. Secara politis (nation-state), tentunya perbedaan/keanekaragaman tersebut disatukan dalam ruang NKRI. Namun, ironisnya tidak semua kelompok masyarakat atau kelompok agama/etnis tercantum secara sah di institusi negara. Di Indonesia, jika dilihat secara kasat mata, negara lebih cenderung pro atau mengakui hak-hak dari kelompok yang cenderung mayoritas dari segi jumlah maupun kekuasaan. Akibatnya, prinsip atau ideologi kelompok mayoritas sering dijadikan nilai kehidupan komunal bagi seluruh masyarakat 9 Ibid, hal.75 Ibid, hal.76 10 6 Indonesia. Dari ilustrasi singkat di atas, kita dapat membayangkan politik multikulturalisme seperti apa yang diterapkan negara dalam menyikapi keberagaman. Indonesia yang berada pada masa gelombang demokratisasi, bahwasannya dalam menyikapi keberagaman khususnya agama mengacu pada politik pengakuan. Dalam politik pengakuan ini, dimana Indonesia mengakui keberadaan berbagai budaya, menjamin, serta, memberikan hak-hak untuk hidup bagi setiap kolektivitas kultural. Contohnya adalah negara mengakui Kong Hu Chu sebagai sebuah agama resmi di Indonesia. Hal ini menunjukkan sikap multikuturalisme negara yang berupaya memberikan pengakuan di ruang publik terhadap agama Kong Hu Chu. Selain itu, politik rekognisi juga dapat dilihat dari pengakuan kelompok agama seperti Muhammdiyah, NU oleh pemerintah. Pengakuan kelompok tersebut di ruang publik dapat dilihat dari adanya menghormati pendapat dan perbedaan di kala pelaksanaan Idul Fitri. Namun, persoalan yang muncul setelah adanya pengakuan tersebut apakah negara menjamin hak-hak kolektivitas kultural mereka? Tentunya, masih dilematis, meskipun Indonesia menjalankan politik rekognisi namun, terkadang negara melakukan intervensi terhadap kelompok tersebut sehingga terkadang dapat mematikan kultural dan ideologi dari kelompok tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk kebijakan pemerintah yang masih bias kelompok dominan misalkan seperti penetapan Hari Raya Keagamaan yang mana difokuskan pada perayaan agama yang “umum” tidak ada peruntukkan bagi perayaanperayaan agama yang “sederhana”. Terkadang, kebijakan-kebijakan publik yang terpisahpisah antar kelompok agama malah dapat menimbulkan eksklusifitas. Sebagai contoh, adanaya kebijakan di sekolah (khususnya sekolah umum) yang pada hari Jumat selalu menggunakan busana muslim. Jadi, di Indonesia dapat dikatakan bahwa politik pengakuan yang dijalankan dengan memberikan pengakuan di ruang publik atas keragaman identitas kultural untuk integrasi nasional malah mematikan bentuk representasi kultural dari kelompok tersebut. Dengan politik pengakuan, seperti kelompok agama minoritas diupayakan dan diharapkan dapat merepresentasikan kultur dan identitas mereka. Tujuannnya, agar dapat menghilangkan sikap diskriminasi, streotipe dari kelompok mayoritas. Namun, di Indonesia hal ini belum terlihat sebut saja misalnya Etnis Cina/Tionghoa (baik beragama Kristen/Kong Hu Chu) sangat sulit eksistensi mereka diakui baik secara legal maupun moral sosial. Pada hakekatnya, politik pengakuan merupakan wujud dari politik multikulturalisme.11 Tentunya, politik multikulturalisme idealnya dapat mengintegrasikan 11 Ibid, hal.76. 7 kelompok yang berbeda dengan tetap memberikan ruang berekspresi bagi anggota kelompoknya (multikultural berkarakter). Seharusnya, di dalam politik rekognisi juga tertanam sikap toleransi pemerintah, misalkan dengan tidak semua urusan keagamaan diatur oleh pemerintah. Meskipun ada politik toleransi yang diterapkan di Indonesia dalam menyikapi keragaman, namun hanya sebatas bentuk menghormati atau seperti yang dikemukakan oleh Mills sebatas prinsip jangan menyakiti (no harm principles).12 Oleh karena itu kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa politik pengakuan yang diterapkan Indonesia hanya sebagai bentuk pengakuan identitas budaya semata belum diiringi dengan model multikulturalisme yang mengintegrasikan. E. ARGUMENTASI TERKAIT POLITIK INDONESIA Pada kenyataannya, Indonesia merupakan negara dengan kondisi sosio-kultural yang kompleks. Kompleksitas tersebut ditunjukkan dengan adanya keberagaman kelompok dalam masyarakat, baik itu kelompok agama, suku, ras, kelas sosial, dan sebagainya. Menurut kelompok kami, politik Indonesia masih belum tegas dalam menyikapi keberagaman kelompok yang ada, khususnya kelompok agama. Jika dikaitkan dengan model politik toleransi dan politik pengakuan, politik Indonesia lebih condong pada model politik pengakuan. Hal ini bisa dilihat dari adanya upaya negara untuk mengakui Kong Hu Chu sebagai sebuah agama resmi di Indonesia. Pada kenyataannya, pengakuan terhadap kelompok Kong Hu Chu ini tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh kelompok dari agama yang telah mapan. Akan tetapi, politik pengakuan tersebut tidak dibarengi dengan upaya untuk mengakui kelompok agama atau aliran kepercayaan lainnya. Ironisnya, banyak aliran kepercayaan di Indonesia yang belum mendapat pengakuan secara politik oleh negara, sehingga banyak kepentingan yang terabaikan. Intinya, Indonesia tengah menerapkan politik pengakuan pada kelompok agama yang ada, tetapi masih dilakukan secara setengah-setangah dan belum ada kelanjutan untuk mengakui kelompok aliran kepercayaan yang ada. Penerapan politik pengakuan di Indonesia yang dapat dikatakan belum maksimal ini bisa disebabkan karena anggaran yang terbatas. Artinya, anggaran yang ada di Departemen Agama tidak bertambah, sehingga harus terbagi jika terjadi penambahan jumlah kelompok agama di Indonesia, sebagai konsekuensi penerapan politik pengakuan atas kelompok agama. Misalnya, anggaran yang dikhususkan untuk agama mayoritas akan mengalami pemotongan. 12 Donny Gahral Adian.2010.Kekeliruan Politik Multikultural Kita dalam Journal Maarif Institute for Culture and Humanity Vol.5 No.2 Desember 2010.hal.20 yang diakses di http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/52101225_1907-8161.pdf pada Senin, 10 Desember 2012 pkl 21.23 WIB. 8 Hal ini tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan permasalahan lebih lanjut. Jika tidak ada penambahan dana untuk kelompok-kelompok agama yang diakui, maka akan menyebabkan diskriminasi baru. Politik pengakuan yang telah diterapkan hanya sekadar pengakuan tanpa adanya upaya keberlanjutan, termasuk untuk mengakui kelompok aliran kepercayaan atau kelompok minoritas lainnya. Politik Pengakuan terkendala oleh masalah ekonomi. Lantas, politik integrasi bagaimanakah yang ideal untuk Indonesia? Jika ditinjau lebih lanjut, kedua model politik integrasi yang ada mempunyai kelebihan dan kekurangan masingmasing ketika diterapkan dalam konteks politik Indonesia. Penerapan Politik Toleransi menempatkan negara lepas dari semua campur tangan ketika berbicara budaya dan agama. Artinya, negara mentolerir keanekaragaman budaya dan identitas kultural tanpa harus ikut campur dalam urusan-urusannya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan akan muncul kendala dalam penerapan Politik Toleransi dalam konteks Indonesia. Karena dapat membatasi ruang gerak kelompok kultural dan agama yang beragam. Padahal, kelompokkelompok tersebut perlu berkembang dalam masyarakat. Terlebih, agama dan masyarakat Indonesia merupakan entitas yang sangat terkait satu dengan lainnya. Di sisi lain, penerapan Politik Pengakuan yang di dalamnya terdapat keikutsertaan negara dalam mengawasi dan mengawasi keberagaman kelompok, khususnya kelompok agama dimaksudkan untuk menjaga keteraturan dalam masyarakat di bawah kendali negara. Akan tetapi, penerapan Politik Pengakuan masih harus dipertanyakan kembali. Karena memang mungkin pada teorinya terdapat pengakuan terhadap keberagaman kelompok namun dalam pratiknya masih tidak terlepas dari diskriminasi pada kelompok minoritas. Seakanakan politik yang ada hanya bersifat normatif untuk pembenaran yang jauh dari praktik riilnya. Politik Indonesia masih terkait erat dengan agama, dimana masih ikut serta dalam urusan agama dan kultural lainnya. Pada dasarnya, kedua model tersebut juga tak luput dari kekurangan dan masih dilematis jika diterapkan di Indonesia. Selain itu, peran negara masih bertolak belakang dengan kondisi keberagaman yang ada di masyarakat. Dimana negara berupaya untuk mengintegrasikan masyarakatnya, baik secara politis maupun sosial, tetapi cara-cara yang dilakukan dan kondisi keberagaman yang ada sering memicu konflik yang membahayakan integrasi itu sendiri. 9 DAFTAR PUSTAKA Abdullah,Multikulturalisme,Kompas,16 Maret 2006 Adian, Donny Gahral.2010.Kekeliruan Politik Multikultural Kita dalam Journal Maarif Institute for Culture and Humanity Vol.5 No.2 Desember 2010 yang diakses di http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/52101225_1907-8161.pdf pada Senin, 10 Desember 2012 pkl 21.23 WIB. Kusumadewi, Lucia Ratih.2009.Kembalinya Subyek: Sosiologi Memaknai Kembali Multikulturalisme dalam Jurnal Masyarakat,Vol. 15, No.2, Juli 2009. Lubis, Nur A. Fadlil.2006.Multikulturalisme Dalam Politik: Sebuah Pengantar Diskusi dalam Journal Antropologi Sosial Budaya ETNOVISI Vol.II,No.1, April 2006 yang diakses di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15288/1/etv-apr2006- %20(3).pdf pada Senin, 10 Desember 2012 pkl. 21.30 WIB. Naim, Ngainun & Achmad Sauqi.2008.Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Parekh, Bikhu.2008.Pendahuluan dalam Rethinkhing Multiculturalism Keberagaman Budaya DanTeori Politik.Yogyakarta:Impulse,Kanisius. Wirutomo, Paulus.Integrasi Masyarakat Indonesia: Menyongsong Masa Depan. 10