TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan protein ikan lele (Clarias sp) Kebutuhan protein ikan lele berkisar antara 25-40%, lemak 9,5-10%, karbohidrat 15-30%, vitamin 0,25-0,40% dan mineral 1,0%,masing-masing untuk semua ukuran (Sahwan, 1999), dengan energi 2000 kal/g sampai 3000 kal/g. Suhenda (1988) menyatakan bahwa protein 40% dan energi 3000 kal/g dapat digunakan untuk budidaya intensif ikan lele dengan bobot 1,5 gram.. Setiap spesies ikan membutuhkan kadar protein yang berbeda untuk pertumbuhannya dan dipengaruhi oleh umur/ukuran ikan, namun pada umumnya ikan membutuhkan protein sekitar 35 – 50% dalam pakannya (Hepher, 1990). Secara umum kadar protein yang paling baik untuk ikan lele (Clarias batrachus Linn) dengan bobot 1 gram sekitar 40% dengan menggunakan kasein dan gelatin sebagai sumber protein dengan kandungan protein pakan sekitar 3000 kkal/kg pakan (Nursyam, 1991). Menurut Hasan (2000) bahwa kebutuhan protein kasar Clarias batrachus sekitar 30% sedangkan Clarias gariepinus sekitar 40% dengan energi total 18,6 kJ/g dan rasio energi protein 21,5 mg/Kj. Bahan baku pakan Sumber protein dalam pakan berasal dari bahan murni, semi murni dan sumber alami. Budidaya pembesaran pada umumnya menggunakan sumber alami baik hewani maupun nabati sebagai sumber proteinnya, sedangkan pakan larva sering digunakan kombinasi bahan murni, semi murni dan alami sebagai pakan praktis. Beberapa sumber protein pakan yang dapat digunakan dari setiap sumber protein mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing (Tabel 1). 1. Tepung ikan (fish meal/FM) Tepung ikan merupakan bahan pakan yang memiliki kualitas protein tinggi. Komposisi kimia terutama kandungan proteinnya sangat bervariasi dan tergantung pada spesies ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan, musim dan kondisi dimana ikan tersebut ditangkap. Selain itu, tepung ikan merupakan sumber asam amino essensial terbaik (Hertrampf dan Felicitas, 2000). Selanjutnya Lovell (1989) mengungkapkan bahwa tepung ikan mengandung 60-80% protein yang hampir 80-95% dapat dicerna oleh ikan serta memiliki nilai lisin dan methionin yang tinggi yaitu dua asam amino yang jumlahnya sedikit pada bahan-bahan pakan yang berasal dari tumbuhan. Kandungan enegi tepung ikan tergantung pada kandungan protein dan lemaknya. Kecernaan energi tepung ikan pada hewan akuatik dan hewan darat tidak terlalu berbeda. Pada ikan channel catfish, kecernaan energi tepung ikan sekitar 3,906 kcal/kg (Hertrampf dan Felicitas, 2000). Tabel 1. Daya cerna dan faktor-faktor pembatas berbagai jenis bahan nabati (Hertrampf dan Felicitas, 2000) Bahan penyusun Tepung ikan Tepung biji kapuk dan tepung biji kapas Tepung bungkil kedelai Tepung daging dan tulang Kelebihan Kekurangan Kontinuitas dan • Dapat dicerna 80 – 95% ketersediannya semakin • Lisin dan methionin yang menurun tinggi • Dapat dicerna oleh ikan lele 71,2 – 90,6% • Sumber fosfor (P) • Anti nutrisi : Gossypol, Cycloproprenoid acid, phytic acid, antivitamin. • Lisin & methionin rendah • Penggunaan dalam pakan 5 – 15% • Profil AA terbaik dibanding • Metionin dan sistein semua tepung tumbuhan kurang • Arginin dan phenilalanin • Anti nutrisi: Protease jumlahnya banyak inhibitor, phytic acid, saponin, antivitamin • Sumber vitamin B Kandungan mineral tinggi • AA pembatas isoleusin, methionin dan sistein • Kandungan vitamin rendah • Kandungan abu tinggi • Penggunaan dalam pakan 10% - 15% 2. Tepung biji kapuk (kapook seed meal/KSM) Kapuk atau randu merupakan tanaman dari famili Bombacaceae. Biji kapuk saat ini banyak diolah menjadi sejenis minyak goreng nonkolesterol dan minyak campuran sebagai bahan baku pembuatan sabun sedangkan bungkil kapuk digunakan sebagai bahan pembuat pupuk. Selain itu, biji dan bungkil biji kapuk dapat digunakan sebagai bahan campuran pakan ternak. Tepung biji kapuk dan tepung biji kapas memiliki kandungan anti nutrisi yaitu gossypol, cycloproprenoid acid (malvalic dan sterculic acids), phytic acid, phytoestrogen dan antivitamin (Hertrampf dan Felicitas (2000); Francis et al. (2001)). Kandungan protein kasar dari tepung biji kapuk dan kapas termasuk tinggi sedangkan serat kasarnya merupakan faktor pembatas penggunaannya dalam pakan. Untuk tingkat kecernaan energinya lebih rendah karena tingginya kandungan serat dalam bahan. Kandungan lemak yang terkandung dalam bahan tersebut sangat baik dicerna dibandingkan kecernaan karbohidratnya. Pada hewan ruminansia kecernaan tepung biji kapuk dan kapas sekitas 61%, untuk ikan lele kecernaan nyata berkisar antara 71,2 – 90,6% sedangkan kecernaan semu pada ikan common carp antara 46,5 – 87,3%. Tepung ini memiliki kandungan asam amino lisin yang rendah, hal ini disebabkan proses pelarutan ekstraksi minyak dan adanya gossypol yang mengikat lisin. 3. Tepung bungkil kedelai (soybean meal/SBM) Kedelai merupakan bahan baku yang sangat baik mutu proteinnya bila dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya. Tepung bungkil kedelai merupakan hasil sampingan (by-product) dari kacang kedelai setelah minyak kedelainya diambil. Tepung bungkil kedelai banyak digunakan sebagai salah satu sumber protein yang dapat menggantikan seluruh atau sebagian tepung ikan dalam pembuatan pakan. Selain kandungan proteinnya yang tinggi, juga ketersediaannya yang masih melimpah (Hertrampf dan Felicitas, 2000). Kualitas protein tepung bungkil kedelai mempunyai profil asam amino yang terbaik dibanding semua tepung tumbuhan. Menurut Andayani (1981), kualitas protein kedelai hampir mendekati kualitas protein hewani. Hertrampf dan Felicita (2000) mengungkapkan bahwa asam amino pembatas pada tepung bungkil kedelai adalah metionin dan sistein, sedangkan arginin dan phenilalanin mempunyai jumlah yang cukup. Selain itu tepung bungkil kedelai merupakan sumber vitamin B. Francis et al. (2001) menyatakan bahwa tepung bungkil kedelai memiliki kandungan anti nutrisi yaitu protease inhibitors, lektin, phytic acid, saponin, phytoestrogen, antivitamin dan allergens. Anti nutrisi ini dapat mempengaruhi penggunaan dan pencernaan protein, penggunaan mineral, antivitamin dan bersifat racun. Selanjutnya Lovell (1989) menyatakan bahwa tepung kedelai mengandung beberapa faktor anti nutrien yaitu zat yang dapat menghambat bekerjanya enzim tripsin, tetapi dengan pemanasan pada suhu 105 oC selama 10-20 menit, zat tersebut dapat rusak dan dihilangkan. Menurut Shimeno et al. (1992) bahwa pemakaian tepung kedelai yang telah dipanaskan akan memperbaiki tingkat pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan rainbow trout. Tingkat kecernaan energi tepung bungkil kedelai pada ikan umumnya berkisar antara 2,572 – 3,340 kkal/kg. Tingkat kecernaan semua protein kasar tepung bungkil kedelai lebih baik pada udang yaitu 91,1% dibanding dengan tingkat kecernaan semua ikan (84,9%), namun demikian residu lemak dari tepung bungkil kedelai dapat dicerna lebih baik oleh ikan (88,6%) dibanding udang (78,6%) (Hertrampf dan Felicitas, 2000). 4. Tepung daging dan tulang (meat and bone meal/MBM) Tepung daging dan tulang merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki komposisi kimia yang sangat bervariasi, tergantung pada kualitas bahan bakunya. Kandungan protein pada tepung daging dan tulang berkisar 41,5% – 71,4%. Isoleusin dan metionin + sistein merupakan asam amino pembatas pada tepung daging dan tulang jika dibandingkan dengan komposisi asam amino pada protein telur (Hertrampf dan Felicitas, 2000). Kecernaan energi tepung daging dan tulang secara umum pada ikan sebesar 3000 kkal/kg. Dibandingkan dengan tepung daging (meat meal), kecernaan tepung daging dan tulang lebih rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Wohlbier dan Tran (1977) dalam Hertrampf dan Felicitas (2000) bahwa kemampuan pepsin untuk mencerna tepung daging dan tulang sebesar 89%. Pada ikan salmon tingkat kecernaan protein kasar tepung daging dan tulang sebesar 71,2%, sedangkan pada channel catfish 75% (Hepher, 1990). Tacon et al., (1984) dalam Hertrampf dan Felicitas (2000) menyatakan bahwa tepung daging dan tulang dapat menggantikan 25% tepung ikan pada pakan benih ikan nila tilapia (Oreochromis niloticus) tanpa menimbulkan efek negatif terhadap pertumbuhannya. Sedangkan pada benih tilapia (Oreochromis mossambicus) penggantian sebagian tepung ikan dengan tepung daging dan tulang memperlihatkan pertumbuhan yang sama dengan ikan yang diberi pakan dengan menggunakan 100% tepung ikan (kontrol), tetapi jika dilakukan penggantian total tepung ikan dengan menggunakan tepung daging dan tulang memberikan pertumbuhan yang buruk (Davies et al., 1989 dalam Hertrampf dan Felicitas, 2000). Penggunaan tepung daging dan tulang dalam pakan berkisar antara 10%-15%. Zat anti nutrien 1. Asam fitat Asam fitat adalah nama umum mio-inositol heksakisfosfat (C6H18O24P6) (Gambar 1) yang merupakan bentuk penyimpanan fosfor dalam tanaman dan akan dilepaskan oleh enzim fitase tanaman pada saat germinasi atau perkecambahan (Francis et al., 2001; Baruah et al., 2004). OPO3-2 OPO3-2 OPO 3 -2 H3 H3 OPO3 -2 H3 OPO3 -2 H3 H3 H3 OPO3-2 Gambar 1. Mio-inositol heksakisfosfat (asam fitat) (Linder, 1992) Fitat pada umumnya terdapat dalam biji tanaman tetapi ditemukan pula pada buah dan sayur-sayuran dan jarang pada daun dengan kandungan fosfor total mencapai 60 – 90 % (ESC, 2001; Baruah et al., 2004). Kandungan fosfor dan fosfat-fitat pada beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 2 (Oderkirk, 2001; ESC, 2001). Tabel 2. Kandungan fosfor dan fosfor-fitat (P-fitat) pada beberapa bahan pangan Bahan pangan Total fosfat (%) Fitat fosfat (% dari total) Tepung kedelai 0,61 (0,65) 67 (50) Jagung 0,26 (0,33) 66 (72) Gandum 0,30 (0,35) 67 (77) Barley 0,35 (0,42) 56 (64) Beberapa sifat yang terdapat pada asam fitat sehingga dikelompokkan kedalam golongan anti nutrisi yaitu 1) bergabung dengan mineral kation (potasium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), seng (Zn), besi (Fe), tembaga (Cu)) yang membentuk kompleks mineral-asam fitat sehingga menjadikan bahanbahan tersebut tidak tersedia bagi manusia dan hewan, 2) berikatan dengan protein (asam amino), vitamin, polisakarida dan menghambat aktivitas enzim-enzim pencernaan sehingga nutrien tidak tersedia bagi ikan (Han dan Wilfred, 1988; Nwanna et al., 2005; ESC, 2001). Asam fitat yang tidak tercerna dan terbuang ke dalam perairan melalui feses ikan atau ternak lainnya dapat menjadi sumber nutrien bagi mikroba sehingga menyebabkan penumpukan fosfor yang berakibat pencemaran lingkungan. Penumpukan fosfor di perairan dapat mempercepat pertumbuhan tanaman alga dan tumbuhan lainnya sehingga menyebabkan perairan tercemar (Rodecap, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajjadi dan Carter (2004) dan Denstadli et al. (2006) dengan melihat pengaruh negatif fitat dalam pakan ikan Atlantic salmon (Salmo salar L.) dimana fitat mampu mereduksi kecernaan protein serta dapat menurunkan pertumbuhan ikan tersebut. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Andrews et al. (1973) dan Lovell (1978) dalam Hughes dan Soares (1998) pada ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) menyatakan bahwa terjadi penurunan pertumbuhan ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) yang pakannya mengandung 4 g fitat per kg pakan dan pakan yang mengandung 600 g bungkil kedelai, jagung dan gandum giling per kilogram pakan, fosfor yang diserap sebesar 54%, 25% dan 28%. Fitase merupakan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan pada beberapa bahan tanaman dan secara kimia dikenal dengan Myo-inositol- hexaphosphate phosphohydrolase. Enzim ini tidak dapat dihasilkan oleh hewanhewan monogastrik. Satu unit fitase (FTU) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang membebaskan satu mikromol (μm) fosfor anorganik per menit dari 0,0015 mol/L sodium fitat pada pH 5,5 dan suhu 37oC (Baruah et al., 2004). Reddy et al. (2000) mengemukakan bahwa terdapat 2 jenis enzim fitase yaitu 1) E.C.3.1.3.8 (3-fitase) yang mengkatalisis reaksi mio-inositol 1,2,3,4,5,6 heksakisfosfat + H2O menjadi mio-inositol 1,2,3,4,5 pentakisfosfat + orthofosfat, dimana enzim ini banyak dihasilkan oleh mikroba dan 2) E.C.3.1.3.26 (6-fitase) yang mengkatalisis reaksi mio-inositol 1,2,3,4,5,6 heksakisfosfat + H2O menjadi mio-inositol 1,2,3,4,5 pentakisfosfat + orthofosfat dan enzim ini terutama dihasilkan dalam biji tumbuhan tingkat tinggi. Perbedaan dari kedua jenis ini yaitu tempat hidrolisis pertama molekul fitat. Pada mikroba 3-fitase pertama memotong asam fitat pada posisi 3 dan pada tumbuhan tingkat tinggi 6-fitase pertama memotong asam fitat pada posisi 6. Menurut Simon et al., (1990) aktivitas mikrobial fitase (fitase yang dihasilkan oleh mikroba) terjadi pada pH 5,0 – 5,5 dan pH 2,5 dan dikomersilkan dalam bentuk tepung kering atau cair. Fitase lain dihasilkan dari kapang/jamur (Aspergillus niger) dan dikomersilkan dengan nama Natupos. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Cain dan Garling (1995); Rodehutscord dan Pfeffer (1995); Li dan Robinson (1997); Sajjadi dan Carter (2004); Nwanna et al. (2005) dengan spesies ikan yang berbeda yang mengaplikasikan fitase ke dalam pakan dan berkesimpulan bahwa fitase mampu membebaskan P fitat sehingga P tersedia dan berguna untuk pertumbuhan ikan, selain itu fitase mempunyai kemampuan untuk meningkatkan penggunaan P fitat oleh ikan serta mampu melepaskan mineral-mineral lain yang terikat pada bahan nabati sehingga mengurangi polusi fosfor lingkungan. 2. Gossypol Gossypol merupakan salah satu anti nutrien yang terkandung dalam pigmen jaringan tanaman yang bergenus Gossypium, famili Malvaceae yaitu pada bagian akar, batang, daun dan biji. Gossypol merupakan subtansi senyawa phenol berwarna kuning, mempunyai struktur kimia siklik yang berikatan dengan OH, mempunyai rumus molekul C30H30O8 dengan bobot molekul 518,54 (1,1’6,6’7hexahidroxy -5’ 5’ – diidoprophyl -3’ 3’ dimethyl [2, 2’ -binapthalene] -8, 8’dicarboxyaldehyde) (Gambar 2). Gambar 2. Struktur gossypol (polyphenol) (Cai et al., 2004) Gossypol dapat larut dalam pelarut organik, seperti metanol, aceton, ether, chloroform. Gossypol mempunyai tiga bentuk tautomer yaitu aldehyde (struktur dasar), hemiacetal dan enolic quinoid. Selain itu, gossypol memiliki 15 pigmen dan turunannya yang diekstrak dari biji kapuk, minyak biji kapuk dan bungkil biji kapuk, tetapi hanya 8 pigmen yang dapat diisolasi, yaitu gossypol (kuning), diaminogossypol (kuning), 6-methoxygossypol (kuning), 6,6’- dimethoxygossypol (kuning), gossypurpurin (ungu), gossyfulvin (orange), gossycaerullin (biru), dan gossyverdurin (hijau) (Cheeke, 1989). Gossypol terdapat dalam bentuk terikat maupun bebas. Gossypol bebas dapat bereaksi dengan asam amino lisin, sistin, dan arginin dalam bentuk rantai yang tidak larut, menghambat kerja enzim proteolitik seperti tripsin dan pepsin dan membentuk mineral komplek yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ikan. Gossypol bebas sangat toksik dan dapat terakumulasi dalam hati, jantung, alat reproduksi, abomasum dan ginjal (Morgan, 1989). Konsentrasi gossypol bebas dalam tepung biji kapas berkisar antara 0,04% - 0,40%. Pakan yang mengandung gossypol menyebabkan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan dan terjadinya abnormalitas intestinal dan organ-organ internal (Francis et al., 2001). Konsentrasi gossypol yang dapat ditoleransi oleh hewan akuatik belum dapat ditentukan, sedangkan pada hewan darat seperti ayam petelur sekitar 50 ppm, broiler sekitar 200 ppm dan babi sekitar 100 ppm (Hertrampf dan Felicitas, 2000). Penggunaan tepung biji kapas dalam pakan ikan setiap spesies berbeda. Pada catfish, salmon dan tilapia dengan menambahkan tepung biji kapas (cottonseed meal) sebanyak 10% dan 30% dalam pakan (mengandung 40% protein) memperlihatkan tidak terjadi penurunan pertumbuhan. Robinson dan Li (1994) pada ikan Channel catfish yang dipelihara dalam kolam dengan menambahkan tepung biji kapas (cottonseed meal) sebanyak 51,25% dan lysin 0,65% dalam pakan memperlihatkan bahwa pertumbuhan dan komposisi kimia dalam dagingnya tidak berbeda dengan ikan yang diberi pakan tepung bungkil kedelai sebanyak 42%. Gossypol menjadi tidak toksik apabila dicampur dengan ferro sulfate (FeSO4.7H2), dimana ferro sulfate akan menghambat efek toksik (Hertrampf dan Felicitas, 2000). Gossypol akan mengalami biotransformasi yaitu proses yang mengubah senyawa asal menjadi senyawa metabolit, kemudian membentuk konjugat agar lebih mudah diserap. Gossypol tidak berikatan lagi dengan OHmelainkan berikatan dengan SO4 yang dinamakan konjugat sulfat. Jadi gossypol dapat larut dengan mudah dalam lemak. Dan OH- tidak dalam bentuk radikal bebas (racun) karena telah diikat oleh Fe menjadi suatu senyawa tidak beracun (Cheeke, 1989).