BAB II NILAI MORAL DALAM MASYARAKAT JEPANG Jepang

advertisement
 BAB II
NILAI MORAL DALAM MASYARAKAT JEPANG
Jepang merupakan negara yang mengedepankan tentang nilai moral dalam kehidupan seharihari dan kehidupan bernegara, meski tidak dapat dikatakan semuanya mempunyai nilai moral
seperti orang Jepang yang sering dijumpai di Indonesia. Nilai moral bangsa Jepang dipercaya oleh
masyarakat Jepang dan dunia merupakan modal menjadikan Jepang sebagai negara maju.
Masyarakat Jepang dikenal mempunyai budaya disiplin, kerja keras, menghargai orang lain dan
lain-lain.
Secara umum, pengertian masyarakat adalah sekumpulan individu-individu yang hidup
bersama. Istilah masyarakat berasal dari bahasa Arab dengan kata “syaraka”. Syaraka yang artinya
ikut serta (berpartisipasi), sedangkan balam bahasa Inggris, masyarakat disebut dengan “society”
yang pengertiannya adalah interaksi sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan
(http://www.artikelsiana.com/2015/06/para-ahli-pengertian-masyarakat-definisi.html?m=1).
Masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama,
sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Indan Ecang, 1982:14). Masyarakat menurut Selo
Soemardjan adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka
mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan
persatuan yang diikat oleh kesamaan (Soerjono Soekanto, 2006:22).
Nilai moral masyarakat Jepang terangkum dalam budaya Jepang yang dikenal dengan nama
Bushido. Menurut Benedict, Bushido adalah tata cara Samurai yang merupakan sebuah perilaku
tradisional yang ideal. Inazo Nitobe dalam Benedict mengatakan Bushido adalah perpaduan antara
kehormatan,
kesopanan,
kesetiaan
dan
pengendalian
diri
(https://www.google.co.id/#q=etika+moral+masyarakat+jepang).
A. Pengertian Bushido
Bushido berasal dari kata “bu” yang memiliki arti beladiri, sedangkan “shi” memiliki arti
Samurai (manusia) dan “do” yang berarti jalan. Secara garis besar Bushido berarti jalan terhormat
yang harus ditempuh seorang Samurai (Benedict,1982 : 335). Bushido tidak sekedar aturan dan
tatacara berperang dan mengalahkan musuh, tetapi Bushido memiliki makna yang dalam tentang
prilaku yang ditanamkan untuk kesempurnaan dan kesempurnaan seorang prajurit atau Samurai.
Dalam etika Bushido terkandung berbagai macam ajaran tentang moral yang tinggi yang erat
hubungan dengan tanggung jawab, kesetiaan, sopan santun, tata krama, disiplin, rela berkorban,
pengabdian, kerja keras, kebersihan, hemat, kesabaran, ketajaman berpikir, kesederhanaan,
kesehatan jasmani dan rohani, kejujuran, pengendalian diri (Tsunenari dan Nakamura, 2007 : 5356).
Sementara itu, Matsuura (1994:92) mengatakan bahwa Bushido berasal dari kata 武士(bushi)
artinya prajurit, dan 道(dou) diartikan sebagai jalan. Dou (道) dalam kata Bushido (武士道)
merupakan jalan ksatria atau Samurai. Samurai (侍atau士) adalah istilah yang biasa digunakan
bagi perwira zaman sebelum industri Jepang. Samurai dalam Bushi to Bushido (2007) dijelaskan
sebagai berikut : “Arti kata Bushi sendiri sudah digunakan pada zaman Nara yang berarti “opsir
militer” atau “ksatria”. Namun demikian, setelah abad ke-10 pada pertengahan zaman Heian di
dalam (Bushido: Nitobe inazo) menyebutkan bahwa menegakkan kepala Samurai merupakan inti
Bushido.” Dapat dikatakan, Bushido (武士道) adalah jalan ksatria yang merupakan pedoman
bagi
kaum
Samurai
dan
kode
etik
bangsa
Jepang
(https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2008-1-00146-JP-Bab%202.pdf).
B. Sejarah Bushido
Bushido merupakan etika yang dipengaruhi oleh ajaran Budha Zen. Zen merupakan moral dan
filosofis Samurai. Zen sebagai dasar moral karena Zen merupakan agama dan kepercayaan yang
mengajarkan tidak ada tenggang waktu atau jeda dari perbuatan yang telah dimulai dan harus
diselesaikan. Sebagai filosofi Zen menekankan bahwa tidak ada batas antara hidup dan mati. Zen
tidak mentoleransi pemikiran dan sangat menghargai intuisi, maka filosofi Zen ini sangat digemari
para kaum Samurai. Secara keseluruhan Zen memiliki arti “langsung percaya pada diri sendiri dan
memenuhi kebutuhan diri sendiri”. Meditasi yang menjadi tradisi Zen sangat cocok bagi para
Samurai yang kehidupannya sebagian besar dihabiskan dalam perenungan dan kesunyian
(Mattulada, 1979 : 84).
Selain dilandasi etika Zen, Bushido juga memiliki landasan Confusius dari Cina yang masuk
ke Jepang pada masa pemerintahan Kaisar Shotoku pada 593 dalam periode Yamato. Ajaran
Confusius mengajarkan keharmonisan harmonisasi hubungan antara sesama manusia, manusia
dengan makhluk lain yang ada di dunia, dan hubungan manusia dengan alam. Ajaran Confusius
juga mengajarkan hubungan yang harmonis antara sisi fisik dan batin manusia.
Prinsip keseimbangan ini berlaku dari zaman dulu sampai sekarang, karena orang Jepang
menyadari bahwa kehidupan fisik dan spiritual memiliki peran yang sama penting. Perlakuan yang
bertujuan untuk memisakhkan keduanya atau hal yang mengabaikan ketidakharmonisan keduanya
berpotensi menimbulkan bencana dan kerusakan (Boy de Mente, 2009 : 27). Selain didasari oleh
ajaran Zen dan Confusius, Bushido juga dipengaruhi oleh ajaran Shinto yang mengajarkan
kesetiaan kepada kaisar (Tenno) dan negara (Suryohadiprojo,t.t. : 49).
Dari uraian di atas dapat diperjelas bahwa Bushido adalah suatu kode etik kaum Samurai yang
tumbuh sejak terbentuknya Samurai. Sumbernya adalah pelajaran agama Buddha dan Shinto.
Dalam agama Buddha khususnya ajaran Zen. Dalam ajaran Buddha dan Shinto menimbulkan
harmoni dengan apa yang dikatakan orang Jepang sebagai “kekuasaan absolut”. Melalui meditasi,
kaum Samurai berusaha mencapai tingkat berpikir yang lebih tinggi dari ucapan verbal. Di
samping itu, kepercayaan Shinto mengajarkan kesetiaan, kepada yang berkuasa, sehingga
menetralisi (kemungkinan) sifat sombong seorang pejuang militer.
Kepercayaan Shinto menekankan kesetiaan dan kecintaan kepada negara dan Tenno. Ia tidak
mengenal dosa (sin), tetapi lebih menekankan soal kehormatan dan harga diri. Bushido
mengandung keharusan seorang Samurai untuk senantiasa memperhatikan : (1) kejujuran, (2)
keberanian, (3) kemurahan hati, (4) kesopanan, (5) kesungguhan, (6) kehormatan atau harga diri,
dan (7) kesetiaan. Untuk itu semua diperlukan pengendalian diri (Suryuhadiprojo : 1981, 49).
C. Nilai – Nilai Bushido
Dari uraian di atas, maka dapat diketahui nilai-nilai Bushido yang diberlakukan di Jepang, di
mana nilai-nilai tersebut dibudayakan, diajarkan dan ditanamkan kepada semua masyarakat Jepang
sejak dini. Awalnya nilai moral tersebut yang diberlakukan kepada para Samurai terdiri dari 4
nilai – nilai yaitu; On, Gimu, Giri dan, Ninjo.
On yang berarti hutang budi, Gimu yang berarti kewajiban, Giri yang berarti kebaikan dan
Ninjo yang berarti kasih sayang. Namun selain 4 nilai – nilai tersebut, Etika Bushido dirumuskan
menjadi nilai – nilai hidup sebagai berikut.
1. Gi (義 – Integritas)
Menjaga kejujuran, seorang Samurai senantiasa mempertahankan etika, moralitas, dan
kebenaran. Integritas merupakan nilai Bushido yang paling utama. Kata integritas
mengandung arti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan seluruh aspek
kehidupan, terutama antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung
tinggi dalam falsafah Bushido.
2. Yuu (勇 – Keberanian)
Berani dalam menghadapi kesulitan, keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap
untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan
dan kesulitan. Keberanian juga merupakan ciri para Samurai, mereka siap dengan resiko
apapun termasuk mempertaruhkan nyawa demi memperjuangkan keyakinan. Keberanian
mereka tercermin dalam prinsipnya yang menganggap hidupnya tidak lebih berharga dari
sebuah bulu. Namun, keberanian Samurai tidak membabibuta, tapi keberanian Samurai
dilandasi dengan latihan yang keras dan penuh disiplin.
3. Jin (仁 – Kemurahan hati)
Memiliki sifat kasih sayang, Bushido memiliki aspek keseimbangan antara maskulin
(Yin) dan feminin (Yang). Jin mewakili sifat feminin yaitu mencintai. Meski berlatih ilmu
pedang dan strategi berperang, para Samurai harus memiliki sifat mencintai sesama, kasih
sayang dan, perduli. Kasih sayang yang perduli tidak hanya ditujukan kepada atasan
maupun pimpinan, namun pada kemanusiaan adalah hal yang juga harus diterapkan. Sikap
ini harus ditunjukkan dalam keadaan apapun dan dalam waktu kapanpun. Kemurahan hati
juga ditunjukkan dalam hal memaafkan.
4. Rei (礼 – Menghormati)
Hormat kepada orang lain, seorang Samurai tidak pernah bersikap kasar dan ceroboh,
namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna setiap waktu dan sepanjang
perjalanan hidup. Sikap santun dan hormat tidak hanya ditunjukkan kepada pimpinan dan
orang tua, namun kepada tamu atau siapapun yang ditemui bahkan kepada musuh. Sikap
santun juga meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalan memperlakukan benda atau
senjata.
5. Makoto atau Shin (信 – Kejujuran dan tulus ikhlas)
Makoto atau Shin merupakan etika Samurai yang sangat menjunjung tinggi kejujuran
dan kebenaran. Samurai selalu mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, dan
melakukan apa yang mereka katakan. Samurai sangat menjaga ucapannya tidak berkata
buruk pada keburukan orang meski dalam keadaan sulit atau situasi yang tidak
menguntungkan. Janji yang diucapkan seorang Samurai harus ditepati sekalipun itu janji
yang sulit, karena bagi para Samurai janji adalah hutang yang harus dibayar.
Selain kejujuran, konsep Makoto atau Shin juga mengajarkan ketulusan dalam
melaksanakan suatu perbuatan. Ketulusan, yang memiliki arti sikap yang menjunjung
tinggi kemurnian dalam batin. Ketulusan tidak mengenal cara berpikir paling benar. Dalam
sikap tulus yang paling penting bukan sasaran, tapi cara bertindak demi mendapatkan
sasaran tersebut.
6. Meiyo (名誉 – Kehormatan)
Menjaga kehormatan diri, bagi para kaum Samurai cara untuk mejaga kehormatan
adalah menjalankan etika Bushido secara konsisten sepanjang waktu dan tanpa
menggunakan jalan pintas apapun yang dapat melanggar moralitas. Seorang Samurai
memiliki harga diri yang tinggi, yang mereka jaga dengan melakukan perilaku terhormat.
Salah satu cara mereka menjaga kehormatan adalah dengan tidak menyia – nyiakan waktu
dan menghindari perilaku tidak berguna.
7. Chuugi (忠義 – Loyal)
Menjaga kesetiaan kepada satu pimpinan dan guru, kesetiaan kepada pimpinan
dilakukan secara total dan penuh kesungguhan dalam menjalankan tugas. Kesetiaan
seorang ksatria tidak hanya pada masa kejayaan tuannya. Bahkan saat tuannya mengalami
kondisi yang tidak diinginkan atau mengalamai banyak beban permasalahan, seorang
ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. puncak kehormatan
seorang Samurai adalah mati dalam menjalankan tugasnya.
8. Tei (悌 – Menghormati orang tua)
Menghormati orang tua dan rendah hati, Samurai sangat menghormati dan perduli pada
orang yang lebih tua. Baik kepada orang tua sendiri, pimpinan, maupun kepada para
leluhur. Mereka harus memahami silsilah keluarga dan asal – usulnya. Mereka fokus
melayani dan tidak memikirkan kepentingan jiwa dan raganya pribadi
(https://anieristyan.wordpress.com/2012/11/14/karakter-dan-prinsip-orang-jepang/).
D. Nilai Moral Masyarakat Jepang
Nilai-nilai Bushido di Jepang terus dipertahankan dan melekat pada nilai moral masyarakat
Jepang seperti sekarang. Nilai-nilai tersebut berasal dari nilai Bushido, Makoto yang berarti
kejujuran dan ketulusan, Jin yang berarti kebajikan dan kemurahan hati, Gi yang berarti kebenaran
dan keadilan, Rei yang berarti kesopanan, Meiyo yang berarti kehormatan, Chuugi yang berarti
kesetiaan, Yuu yang berarti keberanian dan Tei yang berarti peduli.
1. Bertanggung Jawab dan Introspeksi
Bertanggung jawab dalam setiap keputusan atau perilaku. Hal ini terkait dengan
sikap yang sigap dan tegas dalam mengambil sebuah keputusan. Bagi masyarakat
Jepang, kesalahan yang terjadi setelah mengambil keputusan adalah hikmah untuk
dirinya agar mengintropeksi secara mendalam. Orang Jepang tidak akan mencari
kambing hitam atau menyalahkan orang lain, karena itu adalah perbuatan yang tidak
terpuji.
2. Keberanian untuk Mempertahankan Kebenaran
Keberanian tercermin dari sikap orang Jepang dalam mempertahankan
kelompoknya seperti dalam pekerjaan atau dalam organisasi lain. Bagi orang Jepang,
kelompok adalah yang harus dibela bahkan sampai rela mati demi untuk membela dan
mempertahankan kelompoknya. Ketika kelompok namanya jelek, maka orang Jepang
yang termasuk dalam kelompok tersebut juga ikut terpukul dan terpanggil untuk
memperbaikinya.
3. Murah Hati, Mencintai Sesama, Kasih Sayang dan Simpati
Nilai murah hati, mencintai sesama, kasih sayang dan simpati, sampai sekarang di
Jepang terpelihara, dilestarikan dan dibudayakan sehingga sumber daya manusia di
Jepang cukup melonjak tinggi dan taraf kemiskinan masyarakatnya mengalami banyak
penurunan.
4. Hormat dan Santun Kepada Orang Lain
Sikap hormat dan santun kepada orang lain telah ditanamkan sejak usia dini di
rumah dan sekolah, sehingga dalam semua aspek kehidupan masyarakat Jepang
tercermin sikap hormat dan santun kepada orang lain. Selain itu, orang Jepang juga
mempunyai sifat lemah lembut, meski secara sekilas, orang Jepang seakan sangat
individualis ketika bertemu di jalan.
Hal yang menarik ketika melihat orang Jepang sibuk dengan membaca buku, baik
di kereta maupun di bus, ternyata mereka melakukan itu karena mereka ingin
menghormati orang lain yang ada di dalam kendaraan tersebut dan tidak ingin waktunya
habis dengan sia-sia. Mereka malu jika tidak menghargai waktu. Santun terhadap waktu
telah menjiwai masyarakat Jepang dari kalangan anak-anak sampai orang tua hingga
saat ini.
5. Kejujuran dan Ketulusan
Kejujuran dan ketulusan pada masayarakat Jepang terlihat pada seluruh aspek
kehidupan masyarakat Jepang. Ketidakjujuran dan ketidakbenaran dianggap sebagai hal
yang memalukan, sehingga ajaran tentang kejujuran dan ketulusan diberikan sejak usia
dini di dalam rumah tangga dan sekolah. Sanksi moral yang diberikan masyarakat
terhadap pelanggaran kejujuran dan ketulusan merupakan sanksi yang dihindari karena
akan merusak nama baik pribadi, keluarga, lembaga atau masyarakat dan bangsa.
Apabila terdapat kasus ketidakjujuran, penyalahgunaan wewenang, atau
penghianatan terhadap kewajiban, orang Jepang memilih untuk bunuh diri. Inilah
keunikan Jepang. Masyarakatnya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan
ketulusan. Bagi mereka, jika tidak jujur dan tulus, rasa malulah yang akan
ditanggungnya.
6. Menjaga Nama Baik dan Kehormatan
Salah satu sikap menjaga nama baik dan kehormatan adalah menjaga kualitas diri
dengan cara tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting dan
menghindari perilaku yang tidak berguna.
Dengan menjaga nama baik dan meningkatkan kualitas diri, maka tingkat perilakuperilaku yang bisa mengancam nama baik keluarga tidak akan pernah dilakukan.
Dengan menjaga nama baik dan meningkatkan kualitas diri, tingkat kecurangan, baik
dari skala kecil sampai besar akan bisa dikurangi.
7. Kesetiaan dan Loyalitas
Ekspresi kesetiaan dalam masyarakat Jepang adalah kesetiaan kepada pimpinan,
atasan dan guru. Demi menjaga nama baik dan kehormatan pimpinan, atasan maupun
guru, masyarakat Jepang mau bekerja keras semaksimal mungkin. Upayanya dalam
bekerja keras adalah selain untuk kesetiaan dan penghormatan kepada atasan, pimpinan
dan guru, juga untuk kehormatan dirinya sendiri. Ajaran kesetiaan secara menyeluruh
ditanamkan di dalam rumah-tangga dan sekolah sejak usia dini.
8. Peduli
Sikap peduli ditandai dengan kepedulian masyarakat Jepang terhadap peraturan.
Secara umum masyarakat Jepang mulai dari usia dini sampai dewasa taat kepada aturanaturan yang dibuat untuk keamanan, keselamatan dan ketertiban. Mayarakat Jepang
secara tertib mentaati aturan lalu lintas, tata tertib di tempat pelayanan umum, tata tertib
di ruang publik dan sebagainya (Imam Subarkah, 2013:63).
9. Rasa Malu
Rasa malu artinya adalah mengutamakan penilaian masyarakat pada umumnya.
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang dikendalikan oleh budaya malu. Yang
artinya, mereka mendasarkan tindakan pada suatu ukuran, apakah tindakan mereka akan
menimbulkan malu atau tidak. Jika akan menimbulkan malu maka mereka akan
berusaha menghindari tindakan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa orang Jepang
standar untuk menilai baik atau buruknya suatu tindakan adalah malu.
Orang Jepang akan merasa malu jika melanggar norma moral yang ada, malu jika
tidak disiplin, malu jika melanggar peraturan, malu jika korupsi atau mengambil barang
yang bukan miliknya, malu jika tidak bekerja keras dan lain-lain. Malu yang dimiliki
masyarakat Jepang bukan malu yang muncul karena keberadaan Tuhan atau takut akan
dosa. Akan tetapi, lebih kepada malu yang muncul dengan adanya keberadaan pihak
lain, seperti keberadaan masyarakat sekitarnya. Mereka lebih memilih jalan dengan
mengorbankan jiwa mereka daripada hidup dengan rasa malu, atau dapat juga dikatakan
lebih baik mati dengan cara terhormat (Ruth Benedict, 1989:338).
10. Mandiri
Kemandirian sudah ditanamkan sejak dini dalam pendidikan Jepang. Mulai dari
mandi, sikat gigi, berpakaian, makan, dan lain-lain. Seorang anak TK di Jepang sudah
harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento, sepatu ganti, buku-buku, handuk
dan sebotol besar minuman yang tergantung di lehernya. Setiap anak dilatih untuk
mandiri dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Kemandirian ini
tampak hasilnya setelah anak tersebut sudah dewasa, yaitu mereka akan menyadari
bahwa keberhasilan yang mereka inginkan bergantung pada kemauan dan bakatnya
sendiri.
Ketika lulus SMA dan melanjutkan ke bangku kuliah, hampir sebagian besar
remaja Jepang tidak meminta biaya kuliah kepada orang tua mereka. Banyak diantara
mereka mengadalkan part time job untuk biaya kuliah dan kehidupan mereka seharihari. Kalaupun kehabisan uang, mereka meminjam uang ke orang tua dan akan
dikembalikan di bulan berikutnya (Agus Susanto, 2013:151).
11. Hidup Hemat
Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian mereka. Sikap anti
konsumerisme berlebihan ini tampak dalam berbagai bidang kehidupan. Orang Jepang
pun banyak yang tidak memiliki mobil. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena
lebih hemat menggunakan bus atau kereta untuk berpergian.
12. Kerja Keras
Kerja keras orang Jepang dapat diketahui dengan tidak memperdulikan jam
bekerja. Mereka akan lembur untuk menuntaskan pekerjaan tanpa mengharapkan uang
lembur. Selain itu, pandangan pekerja yang pulang kerja lebih awal dianggap sebagai
aib, karena mereka dianggap kurang berperan di tempat kerjanya. Sifat kerja keras ini
didorong oleh rasa tanggung jawab, semangat kelompok (Agus Susanto, 2013: 19).
13. Pantang Menyerah
Masyarakat Jepang dikenal dengan sikap pantang menyerahnya berkaitan dengan
sikap malu bila tidak berhasil, tidak bertanggung jawab dalam menghadapi masalah
dan keinginannya untuk maju sekaligus mencintai tanah air.
14. Disiplin dan Tepat Waktu
Displin bagi masyarakat Jepang berkaitan dengan rasa malu dan harga diri. Mereka
merasa malu karena telah mengecewakan orang lain jika tidak disiplin atau tidak tepat
waktu. Disiplin juga berkaitan dengan kerja keras dan komitmen pada pekerjaan yang
dilakukannya.
15. Menjaga Kebersihan
Kebersihan di Jepang tidak melulu disebabkan oleh kesigapan para petugas
kebersihan dalam membersihakan tempat-tempat umum maupun lingkungan sekitar,
tetapi juga didukung oleh masyarakat Jepang yang dididik sejak kecil untuk berbudaya
bersih dan memikirkan kenyamanan orang lain. Orang tua di Jepang mendidik anakanak mereka sejak kecil untuk selalu mejaga kebersihan dimanapun mereka berada,
seperti membuang sampah pada tempatnya, mengelompokkan sampah sesuai jenisnya,
mengelap ‘dudukan’ wc dengan tisu sesudah memakainya,dan sebagainya. Hal ini
lambat laun menjadi kepribadian yang mengakar kuat dan cermin masyarakat Jepang
di mata dunia sebagai negara dengan tingkat kebersihan paling baik.
16. Menjaga Perasaan/ Menghargai Orang Lain
Orang Jepang sangat hati-hati dalam berbicara dan bertindak karena mereka sangat
memikirkan perasaan orang lain, mereka takut lawan bicara merasa tersinggung atau
tersakiti. Pada saat pertama kali bertemu orang baru, orang Jepang memakai bahasa
dan kata-kata yang sopan, karena mereka memikirkan perasaan orang lain dan
mecegah hal-hal yang akan membuat malu dirinya sendiri, jika ternyata orang yang
baru mereka ketemui tersebut ternyata umurnya lebih tua dan seharusnya dihormati.
Selain itu, orang Jepang tidak suka menjadi satu individu yang menonjol sendiri,
mereka selalu ingin terlihat sama dan seragam karena itu bisa membuat mereka
nyaman dan tidak merasa aneh sendiri di tengah masyarakat. Kalaupun terjadi
masalah, orang Jepang selalu memikirkan dengan dalam, bagaimana agar
penyampaian atau tindakannya tidak menyakiti perasaan orang.
17. Ramah dan Sopan
Orang Jepang cenderung untuk selalu menyapa dan mengucapkan salam kepada
orang yang ditemuinya, sekalipun itu orang asing yang belum mereka kenal. Budaya
Jepang memperhatikan penghormatan dan sikap sopan kepada orang yang memiliki
status sosial lebih tinggi atau lebih tua. Bahasa Jepang juga memiliki kosakata khusus
yang digunakan untuk menunjukkan penghormatan atau yang lebih sopan.
18. Ekspresif
Sifat ekspresif menunjukkan bahwa orang Jepang mempunyai empati. Tidak
peduli seberapa sederhananya topik pembicaraannya, hal itu bisa terasa sangat menarik
karena respon ekspresif yang diberikan oleh orang Jepang.
19. Menghargai Usaha / Proses
Orang Jepang sangat menghargai usaha dan kesungguhan seseorang. Sekalipun
hasil yang dicapai oleh seseorang tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi jika
orang tersebut sudah berusaha dengan sangat keras, maka mereka akan mengapresiasi
dengan baik orang tersebut. Sikap menghargai usaha ini juga tampak dari ekspresi
mereka yang selalu bersemangat menyongsong setiap pekerjaan dan tantangan, karena
mereka yakin dengan semangat dan kerja keras akan memberikan hasil yang baik.
20. Prosedural, Well Organized, Tekun, dan Teliti
Di dalam bekerja, orang Jepang sangat memperhatikan urutan langkah-langkahnya.
Jika mereka diberikan petunjuk untuk menyelesaikan pekerjaan atau menggunakan
suatu alat, maka mereka akan dengan teliti membaca petunjuknya dari awal hingga
akhir tanpa ada yang terlewat, lalu benar-benar mengerjakan sesuai dengan petunjuk
yang diberikan. Ketika menjalankan tugasnya memastikan bahwa mereka tidak salah
dalam melakukan tugasnya. Meski mereka telah sering menjalani rutinitas itu,
ketekunan dan ketelitiannya tidak berkurang.
E. Pembentukan Nilai Moral
Pengertian nilai moral adalah perilaku yang dikontrol oleh diri sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat. Bagaimana memilih tindakan yang baik atau buruk, benar atau salah sesuai dengan
aturan dan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan contoh, berterima kasih setelah
mendapatkan pertolongan dari orang lain adalah tindakan yang benar dalam menerapkan etika
moral karena berterima kasih setelah mendap
33at pertolongan merupakan perilaku yang
menunjukkan penghargaan terhadap orang yang telah membantu.
Nilai moral pertama kali diajarkan di rumah karena lingkungan rumah merupakan mempunyai
mempengaruhi moral dasar pada anak-anak Jepang. Seorang anak akan melihat dan mencontoh
perilaku dan kebiasaan yang terjadi dalam rumah. Jika di dalam rumah, keluarga mereka
mempunyai kebiasaan buruk dan tidak menerapkan etika moral, secara otomatis anak-anak akan
mencontoh kelakuan buruk tersebut. Sebaliknya, jika di dalam rumah, keluarga mereka
berkepribadian baik dan menerapkan etika moral, maka anak-anak akan secara otomatis
berkelakuan baik dan beretika. Contoh: jika keluarga terbiasa bersih, seperti membuang sampah
pada tempatnya, anak-anak akan mengikuti lingkungannya dengan membuang sampah pada
tempatnya juga.
Setelah tahap pembentukan kepribadian di dalam rumah, tahap selanjutnya adalah di
lingkungan masyarakat luar rumah. Lingkungan masyarakat diartikan sebagai suatu bentuk tata
kehidupan sosial dengan tata nilai dan tata budaya sendiri. Lingkungan masyarakat luar rumah
merupakan tahapan penerapan kepribadian yang sudah dilakukan didalam rumah. Lingkungan
masyarakat selain merupakan penerapan kepribadian yang sudah dilakukan didalam rumah, juga
merupakan tahapan penerapan kepribadian yang sudah dilakukan di sekolah.
Begitupun sebaliknya, lingkungan masyarakat akan sangat mempengaruhi pembentukan etika
moral seseorang karena lingkungan masyarakat merupakan lingkungan yang lebih luas
dibandingkan lingkungan didalam rumah ataupun di sekolah, dan menentukan etika moral yang
telah diajarkan dirumah dan di sekolah akan terus berkembang ataukah justru akan memudar. Jika
mereka berada di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi etika moral, mereka juga akan
mengikuti lingkungan sekitar mereka tersebut. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila
mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
F. Pembentukan Nilai Moral di Jepang melalui Pendidikan
Perilaku etis atau nilai moral memiliki kaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan adalah hal
yang paling penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikan dapat dimulai sejak bayi masih
berada dalam kandungan, dengan contoh yang banyak dilakukan, yaitu memperdengarkan musik,
membaca untuk sang bayi yang masih berada dalam kandungan dan mengajaknya berbicara. Hal
ini merupakan harapan dapat memberi masukan ilmu kepada sang bayi sebelum proses kelahiran.
Melalui pendidikan, seseorang dapat dipandang terhormat, memiliki karir yang baik serta
diharapkan dapat bertingkah sesuai norma – norma yang berlaku. Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana secara etis. Sistematis, intensional dan kreatif di mana peserta didik
mengembangkan potensi diri, kecerdasan, pengendalian diri dan keterampilan untuk membuat
dirinya berguna dalam kehidupan bermasyarakat.
Perkembangan di dunia pendidikan ikut berubah seiring dengan perkembangan zaman dengan
pola pikir pendidik berubah dari konservatif menjadi modern. Dengan tujuan pendidikan untuk
menciptakan pribadi berkualitas dan memiliki karakter sehingga mempunyai visi yang luas
kedepan untuk menggapai cita – cita yang diharapkan serta dengan mudah beradaptasi dengan
berbagai macam lingkungan. Salah satu motivasi konsep pendidikan adalah memotivasi diri agar
menjadi pribadi yang lebih baik.
Pendidikan di Jepang dapat dikatakan berhasil. Keberhasilan pendidikan di Jepang merupakan
pemahaman atas pentingnya pendidikan dalam masyarakat. Semua pihak mengerti efek dan
manfaat pendidikan akan menghasilkan hasil yang baik dalam jangka panjang, sehingga tujuan
pendidikan dibuat sebagai berikut :
1) Mengembangkan kepribadian setiap individu secara utuh.
2) Berusaha keras mengembangkan sumber daya manusia yang baik dalam pikiran maupun
jasmani.
3) Mengajarkan kepada setiap siswa agar senantiasa memelihara keadilan dan kebenaran.
4) Setiap siswa dididik untuk selalu menjaga keharmonisan dan menghargai lingkungan
sosial.
5) Setiap siswa dituntut agar dapat disiplin, menghargai waktu dan memiliki etos kerja yang
baik.
6) Pengembangan sikap bertanggung jawab terhadap setiap pelajaran dan tugas yang
diberikan sesuai tingkat pendidikan masing – masing.
7) Meningkatkan semangat independen setiap siswa untuk membangun negara dan menjaga
perdamaian dunia.
Jika dilihat dari tujuan pendidikan yang telah disebutkan di atas, pendidikan sangat memiliki
kaitan yang erat dengan nilai moral dan saling mempengaruhi.
G. Pendidikan Nilai Moral di Rumah, Sekolah dan Lingkungan Masyarakat
Pembentukan nilai moral dilakukan melalui pendidikan di rumah, di lingkungan
masyarakat dan di sekolah. Pendidikan moral akan sulit diajarkan jika hanya melalui teori saja,
pendidikan moral harus dipraktekkan. Berdasarkan hal itulah pendidikan moral di lingkungan
SD, dilakukan dengan cara anak-anak dilatih berbagai kebiasaan hidup (生活科 – seikatsuka)
dan langsung dihadapkan dengan pengalaman melalui metode Learning by Doing, seperti:
makan siang bersama, bekerjasama dengan teman, mengucap salam, aktivitas motorik
(olahraga), piket di kelas, lomba antar kelas dan berani tampil di depan kelas. Ia juga harus
membersihkan
dan
menyikat
WC,
menyapu
dan
mengepel
lantai
(http://www.kompasiana.com/).
Selain yang disebutkan di atas, metode Learning by Doing juga bertujuan untuk
menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain, lebih mandiri,
menghormati orang lain, disiplin dan teratur. Pelajaran yang diberikan dengan cara melatih
anak-anak pada saat makan siang. Pada saat itu, anak-anak diharuskan merapikan meja untuk
digunakan makan siang bersama di kelas. Makan siang, dilayani oleh mereka sendiri secara
bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan
dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan
dan menyajikan minuman. Ada pun peran guru dikelas harus memuji mereka, untuk menyuplai
semangat dan kebanggaan yang selalu terkenang.
Nilai-nilai moral di sekolah di Jepang, juga diberikan melalui diskusi interaktif. Diskusi
interaktif tersebut menggiring anak-anak untuk berpikir tentang pentingnya melaksanakan
nilai-nilai moral yang akan diajarkan. Tidak ada proses menghafal, juga tidak ada tes tertulis
untuk pelajaran moral ini. Untuk mengetahui pemahaman anak-anak tentang pelajaran moral
yang diajarkan, mereka diminta untuk membuat karangan, atau menuliskan apa yang mereka
pikirkan tentang tema moral tertentu. Kadang mereka juga diputarkan film yang memiliki
muatan moral dan diajak untuk berdiskusi isi dari film itu. Contohnya, dalam suatu kasus,
siswa diajak berdiskusi mengenai ijime (bullying/kekerasan) yang menjadi masalah besar di
sekolah-sekolah Jepang hingga saat ini.
Di awal diskusi tentang ijime, siswa diharuskan mengungkapkan perasaan tidak sukanya
menjadi korban ijime. Siswa kemudian diminta untuk menuangkan pikiran dan perasaannya
dalam tulisan mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan demi memperbaiki masalah ijime
ini, baik yang ditimbulkan orang lain maupun dirinya sendiri. Peran guru dalam hal ini adalah
hanya sebagai mediator.
Contoh lain, siswa diajak berdiskusi tentang berbohong dan giliran piket bersih-bersih di
kelas. Dalam dua sesi yang berbeda itu, pendekatan yang dilakukan oleh guru Jepang relatif
mirip. Tidak dengan mendoktrin tentang pentingnya untuk berlaku jujur atau menjalani tugas
piket, namun dengan mengajak anak-anak berdiskusi tentang akibat-akibat berbohong atau
ketika mereka tidak menjalani tugas piket. Melalui diskusi interaktif itu, siswa membangun
kerangka berpikir tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai moral yang telah disepakati di
sekolah.
Nilai moral, ada juga yang ditanamkan melalui pesta olah raga yang disebut Undoukai.
Undoukai berasal dari kata Undou yang artinya latihan dan Kai yang artinya pertemuan.
Undoukai juga disebut festival olah raga. Festival olah raga ini rutin dilaksanakan setiap tahun
di setiap sekolah, di Jepang tepatnya pada tiap Mei atau Oktober. Undoukai juga tercantum
dalam kurikulum sekolah dan bertujuan untuk membentuk pemuda pemudi Jepang yang
tangguh, kreatif, tetap memegang teguh budayanya, dan memelihara dengan kuat kehidupan
kelompok dengan nilai-nilai budaya masyarakatnya (Andini, 2015:10).
Mengacu pada tujuan undoukai, maka dalam setiap kegiatannya, baik persiapan, latihan
dan pertandingan, selain membiasakan anak-anak berolah raga untuk menjadi sehat, tercermin
upaya untuk membentuk moral anak-anak Jepang seperti bersikap sportif, semangat
kebersamaan, menghargai orang lain, pantang menyerah, disiplin, terampil, mampu
menjalankan peran sosial, cara bersosialisasi, memaafkan, tidak menyakiti orang lain,
semangat berkompetitif, bekerja keras, dinamis dan fokus. Pembentukan etika dan moral anak
melalui undoukai, ditanamkan oleh guru dalam berbagai kegiatan permainan individu dan
kelompok sejak kegiatan latihan persiapan dan pertandingan.
Download