iii. kerangka pemikiran

advertisement
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Tataniaga
Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan
sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan bergeraknya barangbarang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen. Tataniaga produk agribisnis
atau tataniaga produk pertanian (marketing of agricultural), pengertiannya lebih
luas dari pengertian pasar. Tataniaga dapat dianalisis dari aspek (ilmu) ekonomi
dan manajemen. Dari aspek ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang
terdiri dari sub-sub sistem (fungsi-fungsi tataniaga) yang merupakan aktivitas
bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa pertanian dari
petani produsen hingga konsumen akhir. Dari aspek manajemen, tataniaga adalah
suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu atau kelompok
mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain
(Asmarantaka, 2008).
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tataniaga adalah segala kegiatan
dan usaha atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan
fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan
produsen ke konsumen. Dalam proses distribusi dapat terjadi kegiatan-kegiatan
tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk lebih
memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada
konsumennya. Ditinjau dari segi ekonomi, kegiatan tataniaga merupakan kegiatan
produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat dan hak milik.
3.1.2. Saluran Tataniaga
Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung
satu sama lain yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang
atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga
melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Limbong
dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa saluran tataniaga dapat dicirikan
dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjang pendeknya saluran
tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh
suatu barang dan jasa mulai dari produsen sendiri, lembaga-lembaga perantara
sampai ke konsumen akhir. Pola umum saluran tataniaga produk-produk pertanian
di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Petani atau
Produsen
Tengkulak
Pedagang Besar
Perantara
Koperasi/KUD
Pengecer
Pabrik/Eksportir
Konsumen Akhir
Domestik
Gambar 1. Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian di Indonesia
Sumber: Limbong dan Sitorus (1987)
Pihak produsen menggunakan perantara ketika mereka kekurangan
sumberdaya finansial untuk melakukan tataniaga langsung atau bila mereka dapat
memperoleh penghasilan lebih banyak dengan menggunakan perantara. Fungsi
paling penting yang dilakukan perantara adalah informasi, promosi, negosiasi,
pemesanan, pembiayaan, pengambilan risiko, pemilikan fisik dan pembayaran.
3.1.3. Fungsi dan Lembaga Tataniaga
Fungsi tataniaga adalah berbagai kegiatan atau tindakan-tindakan yang
dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen
ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi-fungsi tataniaga
tersebut dapat dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu:
1.
Fungsi pertukaran, yaitu kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik
dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini meliputi dua
fungsi, yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
2.
Fungsi fisik, yaitu semua tindakan yang langsung berhubungan dengan
barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk
20
dan kegunaan waktu. Fungsi fisik ini meliputi kegiatan penyimpanan,
pengolahan dan pengangkutan.
3.
Fungsi fasilitas, yaitu semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar
kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi
fasilitas ini terdiri dari empat fungsi, yaitu :
a. Fungsi standardisasi dan grading. Standardisasi merupakan suatu ukuran
atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran
seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan,
kadar air, tingkat kematangan, rasa dan lain-lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan grading adalah mengelompokkan hasil pertanian sesuai
dengan standardisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang
terkumpul sudah sesuai dengan satu ukuran standar tertentu. Dengan
adanya standardisasi dan grading ini akan memudahkan konsumen
maupun produsen memberikan nilai terhadap barang yang bersangkutan.
b. Fungsi penanggungan risiko. Dalam proses tataniaga yaitu penyaluran
barang dari produsen hingga konsumen terdapat banyak risiko yang
dihadapi oleh produsen maupun lembaga-lembaga tataniaga. Risiko yang
mungkin dihadapi oleh produsen maupun lembaga tataniaga antara lain
kerusakan, kehilangan, kebakaran, penurunan harga dan lain-lain yang
timbul selama proses penyaluran barang sejak dari tingkat produsen
hingga konsumen. Penanggungan risiko ini dapat ditanggung oleh
produsen maupun lembaga tataniaga itu sendiri ataupun dialihkan kepada
lembaga lain yaitu lembaga asuransi.
c. Fungsi pembiayaan. Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk
keperluan selama proses tataniaga dan juga kegiatan pengelolaan biaya
tersebut. Dalam tataniaga modern seperti saat ini kebutuhan akan modal
yang sangat besar telah berkembang pesat. Untuk keperluan ini dibutuhkan
kemampuan untuk mengelola maupun mencari sumber permodalan.
d. Fungsi informasi pasar. Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan
pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar
tersebut. Data pasar yang dikumpulkan tidak saja tentang perkembangan
harga di setiap tingkatan pasar tetapi juga menyangkut banyak informasi
21
pasar seperti jenis dan kualitas barang yang diinginkan konsumen, sumber
suplai, waktu dan jumlah barang yang diinginkan konsumen dan lain-lain.
Agar arus barang mengalir dengan lancar dari tingkat produsen hingga
tingkat konsumen, adanya informasi pasar yang cukup dan dapat
ditafsirkan dengan benar sangat dibutuhkan dalam tataniaga suatu
komoditas.
Dalam tataniaga suatu barang atau jasa, terdapat keterlibatan berbagai
pihak, baik dalam bentuk perorangan maupun dalam bentuk kelembagaan seperti
pihak produsen, pihak konsumen dan lembaga perantara atau disebut sebagai
lembaga tataniaga. Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), lembaga tataniaga
adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga
sehingga barang-barang dapat bergerak dari pihak produsen sampai pihak
konsumen. Dengan kata lain, lembaga tataniaga adalah semua pihak baik
perorangan maupun kelompok yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Lembagalembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat
konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan
jasa. Pengolahan hasil-hasil pertanian selain dilakukan oleh produsen, juga
dilakukan lembaga-lembaga tataniaga, baik itu pengolahan tingkat pertama,
maupun pengolahan tingkat lebih lanjut.
Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat di dalam proses penyaluran
barang mulai dari titik produksi sampai titik konsumen dapat dikelompokkan atas
empat cara pengelompokkan (Limbong dan Sitorus, 1987), yaitu:
1.
Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dikelompokkan
atas:
 Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti
pedagang pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya.
 Lembaga yang melakukan kegiatan fisik tataniaga, seperti lembaga
pengolahan, lembaga pengangkutan dan pergudangan.
 Lembaga yang menyediakan fasilitas tataniaga, seperti Bank Unit Desa,
KUD, kredit desa dan lembaga yang menyediakan informasi pasar.
22
2.
Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, lembaga tataniaga dapat
dikelompokkan atas:
 Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang
dipasarkan, seperti pengecer, grosir, pedagang pengumpul, tengkulak dan
lain-lain.
 Lembaga tataniaga yang menguasai tapi tidak memiliki barang yang
dipasarkan, seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain.
 Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang
dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan.
3.
Berdasarkan kedudukan dalam struktur pasar, dapat digolongkan atas:
 Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti pedagang pengecer
rokok, pengecer beras dan lain-lain.
 Lembaga tataniaga monopolistik, seperti pedagang asinan, pedagang
benih, pedagang bibit dan lain-lain.
 Lembaga tataniaga oligopolis, seperti perusahaan semen, importir
cengkeh dan lain-lain.
 Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan
pos dan giro dan lain-lain.
4.
Berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas:
 Lembaga tataniaga berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma,
koperasi dan lain-lain.
 Lembaga tataniaga yang tidak berbadan hukum, seperti perusahaan
perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan lain-lain.
3.1.4. Struktur Pasar
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), struktur pasar adalah suatu dimensi
yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri,
jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai
ukuran (pangsa pasar yang terkonsentrasi atau menyebar), deskripsi produk dan
syarat-syarat keluar masuk pasar. Kohls dan Uhl (2002) mengemukakan empat
jenis struktur pasar dengan berbagai karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel 7.
23
Tabel 7. Karakteristik Struktur Pasar
Persaingan
Persaingan
Karakteristik
Murni
Monopolistik
Jumlah
Perusahaan/ Sangat banyak Banyak
Penjual
Diferensiasi/
Sifat
Homogen
bervariasi
Produk
Kemudahan
Mudah, tidak
Relatif mudah
Memasuki
ada hambatan
Pasar
Sedikit
Pengaruh
Tidak
berpengaruh,
Perusahaan
berpengaruh
dibatasi oleh
Terhadap
substitusi
Harga
Oligopoli
Sedikit
Serupa hingga
diferensiasi
Sulit dengan
beberapa
hambatan
Berpengaruh,
dibatasi oleh
pesaing
Monopoli
Satu
Unik
Tertutup
Berpengaruh
Sumber : Kohls dan Uhl, 2002
Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik
dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur
pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2)
kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi
pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya
biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan.
3.1.5 Perilaku Pasar
Perilaku pasar adalah pola tingkah laku peserta pasar, yaitu produsen,
konsumen dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi
penjualan dan pembelian yang terjadi. Menurut Sudiyono (2002), dalam
menganalisis tingkah laku pasar ini, terdapat tiga pihak yang memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Produsen menghendaki harga yang tinggi, pasar
output secara lokal menghendaki pilihan beberapa pembeli, tersedia waktu dan
informasi pasar yang cukup dan adanya kekuatan tawar menawar yang lebih kuat.
Lembaga tataniaga menghendaki keuntungan yang maksimal, yaitu selisih marjin
tataniaga dengan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga relatif besar.
Sedangkan konsumen menghendaki tersedianya produk pertanian sesuai
kebutuhan konsumen dengan harga yang wajar.
Kriteria yang digunakan untuk menilai tingkah laku pasar meliputi: (1)
apakah tingkah laku pasar tidak wajar, eksklusif, saling mematikan ataukah
24
peserta pasar menetapkan taktik paksaan, (2) apakah tidak terjadi promosi
penjualan yang menyesatkan, (3) persekongkolan penetapan harga apakah dapat
dinyatakan secara terang-terangan atau sembunyi, (4) apakah ada perlindungan
terhadap praktek tataniaga yang tidak efisien, (5) apakah praktek penetapan harga
yang sama untuk kualitas produk yang lebih baik merugikan produsen.
3.1.6. Efisiensi Tataniaga
Tataniaga yang efisien adalah pasar bersaing. Namun, struktur pasar ini
realitanya tidak dapat ditemukan (Asmarantaka, 2009). Ukuran efisiensi adalah
kepuasan yang dirasakan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem
tataniaga komoditas tertentu. Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut
adalah sulit dan sangat relatif (Kohls dan Uhl, 2002). Oleh karena itu, efisiensi
tataniaga umumnya dapat diukur dengan dua kategori yaitu efisiensi operasional
dan efisiensi harga.
Efisiensi operasional meliputi efisiensi dalam pengolahan, pengemasan,
pengangkutan dan fungsi lain dari sistem tataniaga. Dengan adanya efisiensi
operasional ini maka biaya tataniaga dapat menjadi lebih rendah dengan kondisi
produk yang tetap atau lebih baik. Menurut Sudiyono (2002) suatu tataniaga
dikatakan efisien apabila:
1.
Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit.
2.
Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan.
3.
Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output
lebih cepat daripada laju input.
4.
Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan
output lebih lambat daripada laju penurunan input.
Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar,
sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui analisis marjin tataniaga,
farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya.
3.1.6.1 Marjin Tataniaga
Kegiatan
tataniaga
mencakup
segala
kegiatan
dan
usaha
yang
berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil
pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke
25
tangan konsumen. Umumnya suatu komoditas pertanian diproduksi pada daerah
sentra yang letaknya jauh dari konsumen akhir. Komoditas tersebut dapat
menempuh jarak antar kota, antar provinsi, antar negara bahkan antar benua.
Dengan demikian digunakan konsep marjin tataniaga dalam menganalisis harga
yang terjadi antar lembaga tataniaga yang terlibat.
Menurut Tomek dan Robinson (1990) dalam Asmarantaka (2009) marjin
tataniaga dapat didefinisikan dalam dua alternatif, yaitu:
1.
Sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima
produsen.
2.
Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa tataniaga sebagai akibat adanya
aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem tataniaga tersebut.
Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa marjin tataniaga
adalah perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima
petani (Pf) dengan demikian marjin tataniaga adalah M = Pr - Pf. Sedangkan
pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih tepat, karena
memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan
tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep “derived supply” dan
“derived demand”.
Pengertian dari derived demand adalah permintaan turunan dari “primary
demand” yang dalam hal ini adalah permintaan dari konsumen akhir, sedangkan
derived demandnya adalah permintaan dari pedagang perantara (grosir atau
eceran) ataupun dari perusahaan pengolah kepada petani. Derived supply dalam
hal ini adalah penawaran di tingkat pedagang eceran yang merupakan penawaran
turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply). Dari kedua konsep
marjin tersebut, dapat dikatakan bahwa marjin tataniaga terdiri dari biaya-biaya
dan keuntungan perusahaan yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut
(Asmarantaka, 2009).
Adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga tataniaga akan
menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga yang lain
sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang
terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai titik
konsumen akhir, maka semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di
26
tingkat produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayar oleh konsumen
akhir. Agar lebih jelas, gambaran mengenai marjin tataniaga (biaya + keuntungan
tataniaga) dan nilai marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 2.
Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat besarnya nilai marjin tataniaga yang
merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga
tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah
produk yang dipasarkan. Besar nilai marjin tataniaga ini dapat dituliskan sebagai
value marketing margin (VMM) = (Pr-Pf) x Qr,f. Besaran (Pr-Pf) menunjukkan
besarnya nilai marjin tataniaga suatu komoditas per unit. Marjin tataniaga
berbeda-beda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya. Hal ini
disebabkan adanya perlakuan yang berbeda antar komoditas-komoditas tersebut.
P
Marjin
Sr = Derived Supply
Sf = Primary Supply
Pr
Pf
Dr = Primary Demand
Df = Derived Demand
Q
0
Qr, f
Gambar 2. Marjin Tataniaga
Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
Keterangan gambar :
Pr
= Harga tingkat pengecer
Pf
= Harga tingkat petani
Sr
= Penawaran tingkat pengecer
Sf
= Penawaran tingkat petani
Dr
= Permintaan tingkat pengecer
Df
= Permintaan tingkat petani
Qr, f
= Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer
27
3.1.6.2 Farmer’s Share
Selain marjin tataniaga, kriteria lain yang dapat menentukan efisiensi
tataniaga suatu komoditas adalah farmer’s share, dengan catatan bahwa
komoditas tersebut tidak mengalami perubahan bentuk hingga sampai di tangan
konsumen akhir. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan farmer’s share sebagai
persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan
usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Farmer’s
share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Semakin tinggi marjin
tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Farmer’s share
dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk,
jumlah produk, dan biaya transportasi (Kohls dan Uhls, 2002). Nilai farmer’s
share ditentukan berdasarkan rasio harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan
harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr) dan dinyatakan dalam persentase.
3.1.6.3 Rasio Keuntungan dan Biaya
Kriteria lain dalam menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas selain
marjin tataniaga dan farmer’s share adalah rasio keuntungan terhadap biaya
tataniaga (Asmarantaka, 2009). Hal ini dikarenakan pembanding opportunity cost
dari biaya adalah keuntungan. Sistem tataniaga secara teknis dikatakan efisien
apabila rasio keuntungan terhadap biaya semakin besar dan nilainya harus positif
(  0).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Komoditas sayuran merupakan salah satu komoditas yang penting karena
dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia dalam hal pemenuhan vitamin dan
mineral. Salah satu sayuran yang potensial untuk dikembangkan adalah bawang
daun. Bawang daun merupakan jenis sayuran dari kelompok bawang yang banyak
digunakan sebagai penyedap dalam masakan serta mengandung unsur-unsur aktif
yang memiliki daya bunuh bakteri (sebagai antibiotik) serta dapat merangsang
pertumbuhan sel tubuh. Kandungan
yang
dimiliki
bawang
daun
ini
menyebabkan bawang daun dapat dijadikan salah satu bentuk pengobatan
alternatif. Bawang daun juga merupakan salah satu sayuran bawang dengan
28
potensi ekspor yang cukup baik dilihat dari jumlah peningkatan ekspor bawang
daun yang cukup besar pada tahun 2008. Sentra produksi bawang daun di
Kabupaten Cianjur terdapat di daerah Agropolitan yaitu Desa Sukatani dan Desa
Sindangjaya yang berada di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Jumlah produksi
bawang daun di kawasan Agropolitan tahun 2008 sebesar 277.474 kuintal atau
sebesar 23 persen dari total produksi sayuran unggulan di kawasan Agropolitan.
Produksi bawang daun yang cukup besar ini diikuti dengan semakin
meningkatnya jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur.
Pada tahun 2008 jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur
meningkat 54 persen dari tahun 2007. Namun, peningkatan jumlah bawang daun
yang dipasarkan keluar kabupaten Cianjur ini dihadapkan pada masalah
berfluktuasinya harga yang berlaku. Hal ini menjadi permasalahan bagi petani
bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur karena dapat menimbulkan
kerugian bagi petani. Disamping itu, petani di kawasan Agropolitan Kabupaten
Cianjur sangat bergantung pada pedagang pengumpul dalam hal penjualan
bawang daun sehingga bargaining position petani menjadi rendah. Adanya sub
terminal agribisnis (STA) di kawasan Agropolitan Cianjur pada kenyataannya
belum dimanfaatkan dengan baik oleh para petani dalam memasarkan hasil panen
bawang daunnya. Dengan kenyataan seperti itu, maka dibutuhkan suatu analisis
mengenai sistem tataniaga yang dapat memberikan alternatif bagi petani agar
dapat memilih saluran tataniaga yang paling efisien sehingga dapat meminimalisir
kerugian yang mungkin diterima oleh petani.
Analisis efisiensi tataniaga ini dilakukan dengan analisis deskriptif
mengenai saluran tataniaga, lembaga tataniaga yang terlibat, fungsi tataniaga yang
dilakukan oleh lembaga tataniaga, dan struktur serta perilaku pasar. Selanjutnya
analisis untuk mengetahui efisiensi tataniaga juga dilakukan dengan analisis
kuantitatif yaitu dengan menggunakan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s
share, dan rasio keuntungan dan biaya. Dari hasil analisis deskriptif dan
kuantitatif tersebut maka dapat diketahui alternatif saluran tataniaga yang paling
efisien. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.
29
-
-
-
Potensi Bawang Daun
Bawang daun memiliki
kandungan gizi yang
cukup baik bagi kesehatan.
Bawang daun memiliki
khasiat yang dapat
dijadikan salah satu
pengobatan alternatif.
Potensi pasar bawang daun
cukup besar.
Nilai ekspor bawang daun
semakin meningkat.
Permasalahan
- Harga bawang daun sangat
berfluktuatif.
- Posisi tawar petani bawang
daun rendah karena adanya
ketergantungan penjualan
pada pedagang pengumpul.
- Adanya STA belum
dimanfaatkan secara
maksimal untuk
meningkatkan posisi tawar
petani.
Sistem Tataniaga Bawang Daun
Analisis Kualitatif
 Analisis saluran
tataniaga
 Analisis lembaga
dan fungsi
tataniaga
 Analisis struktur
dan perilaku pasar
Analisis Kuantitatif
 Analisis marjin
tataniaga
 Analisis farmer’s
share
 Analisis rasio
keuntungan dan
biaya
Alternatif Saluran Tataniaga
Bawang Daun yang paling efisien
Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional
30
Download