III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006) tataniaga dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan bergeraknya barangbarang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen. Tataniaga produk agribisnis atau tataniaga produk pertanian (marketing of agricultural), pengertiannya lebih luas dari pengertian pasar. Tataniaga dapat dianalisis dari aspek (ilmu) ekonomi dan manajemen. Dari aspek ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem (fungsi-fungsi tataniaga) yang merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa pertanian dari petani produsen hingga konsumen akhir. Dari aspek manajemen, tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain (Asmarantaka, 2008). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), tataniaga adalah segala kegiatan dan usaha atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Dalam proses distribusi dapat terjadi kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk lebih memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Ditinjau dari segi ekonomi, kegiatan tataniaga merupakan kegiatan produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat dan hak milik. 3.1.2. Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung satu sama lain yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran tataniaga melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa saluran tataniaga dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjang pendeknya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa mulai dari produsen sendiri, lembaga-lembaga perantara sampai ke konsumen akhir. Pola umum saluran tataniaga produk-produk pertanian di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. Petani atau Produsen Tengkulak Pedagang Besar Perantara Koperasi/KUD Pengecer Pabrik/Eksportir Konsumen Akhir Domestik Gambar 1. Pola Umum Saluran Tataniaga Produk-produk Pertanian di Indonesia Sumber: Limbong dan Sitorus (1987) Pihak produsen menggunakan perantara ketika mereka kekurangan sumberdaya finansial untuk melakukan tataniaga langsung atau bila mereka dapat memperoleh penghasilan lebih banyak dengan menggunakan perantara. Fungsi paling penting yang dilakukan perantara adalah informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan, pengambilan risiko, pemilikan fisik dan pembayaran. 3.1.3. Fungsi dan Lembaga Tataniaga Fungsi tataniaga adalah berbagai kegiatan atau tindakan-tindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa dari tingkat produsen ke tingkat konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Fungsi-fungsi tataniaga tersebut dapat dikelompokkan atas tiga fungsi, yaitu: 1. Fungsi pertukaran, yaitu kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik dari barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini meliputi dua fungsi, yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. 2. Fungsi fisik, yaitu semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk 20 dan kegunaan waktu. Fungsi fisik ini meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan dan pengangkutan. 3. Fungsi fasilitas, yaitu semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas ini terdiri dari empat fungsi, yaitu : a. Fungsi standardisasi dan grading. Standardisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan grading adalah mengelompokkan hasil pertanian sesuai dengan standardisasi yang diinginkan sehingga kelompok barang yang terkumpul sudah sesuai dengan satu ukuran standar tertentu. Dengan adanya standardisasi dan grading ini akan memudahkan konsumen maupun produsen memberikan nilai terhadap barang yang bersangkutan. b. Fungsi penanggungan risiko. Dalam proses tataniaga yaitu penyaluran barang dari produsen hingga konsumen terdapat banyak risiko yang dihadapi oleh produsen maupun lembaga-lembaga tataniaga. Risiko yang mungkin dihadapi oleh produsen maupun lembaga tataniaga antara lain kerusakan, kehilangan, kebakaran, penurunan harga dan lain-lain yang timbul selama proses penyaluran barang sejak dari tingkat produsen hingga konsumen. Penanggungan risiko ini dapat ditanggung oleh produsen maupun lembaga tataniaga itu sendiri ataupun dialihkan kepada lembaga lain yaitu lembaga asuransi. c. Fungsi pembiayaan. Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses tataniaga dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Dalam tataniaga modern seperti saat ini kebutuhan akan modal yang sangat besar telah berkembang pesat. Untuk keperluan ini dibutuhkan kemampuan untuk mengelola maupun mencari sumber permodalan. d. Fungsi informasi pasar. Fungsi informasi pasar meliputi kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut. Data pasar yang dikumpulkan tidak saja tentang perkembangan harga di setiap tingkatan pasar tetapi juga menyangkut banyak informasi 21 pasar seperti jenis dan kualitas barang yang diinginkan konsumen, sumber suplai, waktu dan jumlah barang yang diinginkan konsumen dan lain-lain. Agar arus barang mengalir dengan lancar dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen, adanya informasi pasar yang cukup dan dapat ditafsirkan dengan benar sangat dibutuhkan dalam tataniaga suatu komoditas. Dalam tataniaga suatu barang atau jasa, terdapat keterlibatan berbagai pihak, baik dalam bentuk perorangan maupun dalam bentuk kelembagaan seperti pihak produsen, pihak konsumen dan lembaga perantara atau disebut sebagai lembaga tataniaga. Menurut Hanafiah dan Saefudin (2006), lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga sehingga barang-barang dapat bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Dengan kata lain, lembaga tataniaga adalah semua pihak baik perorangan maupun kelompok yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Lembagalembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Pengolahan hasil-hasil pertanian selain dilakukan oleh produsen, juga dilakukan lembaga-lembaga tataniaga, baik itu pengolahan tingkat pertama, maupun pengolahan tingkat lebih lanjut. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat di dalam proses penyaluran barang mulai dari titik produksi sampai titik konsumen dapat dikelompokkan atas empat cara pengelompokkan (Limbong dan Sitorus, 1987), yaitu: 1. Berdasarkan fungsi yang dilakukan, lembaga tataniaga dapat dikelompokkan atas: Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pedagang pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya. Lembaga yang melakukan kegiatan fisik tataniaga, seperti lembaga pengolahan, lembaga pengangkutan dan pergudangan. Lembaga yang menyediakan fasilitas tataniaga, seperti Bank Unit Desa, KUD, kredit desa dan lembaga yang menyediakan informasi pasar. 22 2. Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, lembaga tataniaga dapat dikelompokkan atas: Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pengecer, grosir, pedagang pengumpul, tengkulak dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang menguasai tapi tidak memiliki barang yang dipasarkan, seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan dan perkreditan. 3. Berdasarkan kedudukan dalam struktur pasar, dapat digolongkan atas: Lembaga tataniaga yang bersaing sempurna, seperti pedagang pengecer rokok, pengecer beras dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolistik, seperti pedagang asinan, pedagang benih, pedagang bibit dan lain-lain. Lembaga tataniaga oligopolis, seperti perusahaan semen, importir cengkeh dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan pos dan giro dan lain-lain. 4. Berdasarkan bentuk usahanya, dapat digolongkan atas: Lembaga tataniaga berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma, koperasi dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan lain-lain. 3.1.4. Struktur Pasar Menurut Limbong dan Sitorus (1987), struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran (pangsa pasar yang terkonsentrasi atau menyebar), deskripsi produk dan syarat-syarat keluar masuk pasar. Kohls dan Uhl (2002) mengemukakan empat jenis struktur pasar dengan berbagai karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel 7. 23 Tabel 7. Karakteristik Struktur Pasar Persaingan Persaingan Karakteristik Murni Monopolistik Jumlah Perusahaan/ Sangat banyak Banyak Penjual Diferensiasi/ Sifat Homogen bervariasi Produk Kemudahan Mudah, tidak Relatif mudah Memasuki ada hambatan Pasar Sedikit Pengaruh Tidak berpengaruh, Perusahaan berpengaruh dibatasi oleh Terhadap substitusi Harga Oligopoli Sedikit Serupa hingga diferensiasi Sulit dengan beberapa hambatan Berpengaruh, dibatasi oleh pesaing Monopoli Satu Unik Tertutup Berpengaruh Sumber : Kohls dan Uhl, 2002 Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan. 3.1.5 Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah pola tingkah laku peserta pasar, yaitu produsen, konsumen dan lembaga tataniaga dalam memberikan respon terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Menurut Sudiyono (2002), dalam menganalisis tingkah laku pasar ini, terdapat tiga pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Produsen menghendaki harga yang tinggi, pasar output secara lokal menghendaki pilihan beberapa pembeli, tersedia waktu dan informasi pasar yang cukup dan adanya kekuatan tawar menawar yang lebih kuat. Lembaga tataniaga menghendaki keuntungan yang maksimal, yaitu selisih marjin tataniaga dengan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga relatif besar. Sedangkan konsumen menghendaki tersedianya produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen dengan harga yang wajar. Kriteria yang digunakan untuk menilai tingkah laku pasar meliputi: (1) apakah tingkah laku pasar tidak wajar, eksklusif, saling mematikan ataukah 24 peserta pasar menetapkan taktik paksaan, (2) apakah tidak terjadi promosi penjualan yang menyesatkan, (3) persekongkolan penetapan harga apakah dapat dinyatakan secara terang-terangan atau sembunyi, (4) apakah ada perlindungan terhadap praktek tataniaga yang tidak efisien, (5) apakah praktek penetapan harga yang sama untuk kualitas produk yang lebih baik merugikan produsen. 3.1.6. Efisiensi Tataniaga Tataniaga yang efisien adalah pasar bersaing. Namun, struktur pasar ini realitanya tidak dapat ditemukan (Asmarantaka, 2009). Ukuran efisiensi adalah kepuasan yang dirasakan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga komoditas tertentu. Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut adalah sulit dan sangat relatif (Kohls dan Uhl, 2002). Oleh karena itu, efisiensi tataniaga umumnya dapat diukur dengan dua kategori yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional meliputi efisiensi dalam pengolahan, pengemasan, pengangkutan dan fungsi lain dari sistem tataniaga. Dengan adanya efisiensi operasional ini maka biaya tataniaga dapat menjadi lebih rendah dengan kondisi produk yang tetap atau lebih baik. Menurut Sudiyono (2002) suatu tataniaga dikatakan efisien apabila: 1. Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit. 2. Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan. 3. Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input. 4. Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. 3.1.6.1 Marjin Tataniaga Kegiatan tataniaga mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke 25 tangan konsumen. Umumnya suatu komoditas pertanian diproduksi pada daerah sentra yang letaknya jauh dari konsumen akhir. Komoditas tersebut dapat menempuh jarak antar kota, antar provinsi, antar negara bahkan antar benua. Dengan demikian digunakan konsep marjin tataniaga dalam menganalisis harga yang terjadi antar lembaga tataniaga yang terlibat. Menurut Tomek dan Robinson (1990) dalam Asmarantaka (2009) marjin tataniaga dapat didefinisikan dalam dua alternatif, yaitu: 1. Sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen. 2. Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa tataniaga sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem tataniaga tersebut. Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf) dengan demikian marjin tataniaga adalah M = Pr - Pf. Sedangkan pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih tepat, karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari adanya kegiatan tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep “derived supply” dan “derived demand”. Pengertian dari derived demand adalah permintaan turunan dari “primary demand” yang dalam hal ini adalah permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demandnya adalah permintaan dari pedagang perantara (grosir atau eceran) ataupun dari perusahaan pengolah kepada petani. Derived supply dalam hal ini adalah penawaran di tingkat pedagang eceran yang merupakan penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply). Dari kedua konsep marjin tersebut, dapat dikatakan bahwa marjin tataniaga terdiri dari biaya-biaya dan keuntungan perusahaan yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut (Asmarantaka, 2009). Adanya perbedaan kegiatan dari setiap lembaga tataniaga akan menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga yang lain sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat dalam penyaluran suatu komoditas dari titik produsen sampai titik konsumen akhir, maka semakin besar perbedaan harga komoditas tersebut di 26 tingkat produsen dibandingkan dengan harga yang akan dibayar oleh konsumen akhir. Agar lebih jelas, gambaran mengenai marjin tataniaga (biaya + keuntungan tataniaga) dan nilai marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat besarnya nilai marjin tataniaga yang merupakan hasil perkalian dari perbedaan harga pada dua tingkat lembaga tataniaga (dalam hal ini selisih harga eceran dengan harga petani) dengan jumlah produk yang dipasarkan. Besar nilai marjin tataniaga ini dapat dituliskan sebagai value marketing margin (VMM) = (Pr-Pf) x Qr,f. Besaran (Pr-Pf) menunjukkan besarnya nilai marjin tataniaga suatu komoditas per unit. Marjin tataniaga berbeda-beda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya. Hal ini disebabkan adanya perlakuan yang berbeda antar komoditas-komoditas tersebut. P Marjin Sr = Derived Supply Sf = Primary Supply Pr Pf Dr = Primary Demand Df = Derived Demand Q 0 Qr, f Gambar 2. Marjin Tataniaga Sumber: Dahl dan Hammond (1977) Keterangan gambar : Pr = Harga tingkat pengecer Pf = Harga tingkat petani Sr = Penawaran tingkat pengecer Sf = Penawaran tingkat petani Dr = Permintaan tingkat pengecer Df = Permintaan tingkat petani Qr, f = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer 27 3.1.6.2 Farmer’s Share Selain marjin tataniaga, kriteria lain yang dapat menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah farmer’s share, dengan catatan bahwa komoditas tersebut tidak mengalami perubahan bentuk hingga sampai di tangan konsumen akhir. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Semakin tinggi marjin tataniaga, maka bagian yang diterima oleh petani semakin rendah. Farmer’s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya transportasi (Kohls dan Uhls, 2002). Nilai farmer’s share ditentukan berdasarkan rasio harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang diterima oleh konsumen akhir (Pr) dan dinyatakan dalam persentase. 3.1.6.3 Rasio Keuntungan dan Biaya Kriteria lain dalam menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas selain marjin tataniaga dan farmer’s share adalah rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga (Asmarantaka, 2009). Hal ini dikarenakan pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan. Sistem tataniaga secara teknis dikatakan efisien apabila rasio keuntungan terhadap biaya semakin besar dan nilainya harus positif ( 0). 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Komoditas sayuran merupakan salah satu komoditas yang penting karena dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia dalam hal pemenuhan vitamin dan mineral. Salah satu sayuran yang potensial untuk dikembangkan adalah bawang daun. Bawang daun merupakan jenis sayuran dari kelompok bawang yang banyak digunakan sebagai penyedap dalam masakan serta mengandung unsur-unsur aktif yang memiliki daya bunuh bakteri (sebagai antibiotik) serta dapat merangsang pertumbuhan sel tubuh. Kandungan yang dimiliki bawang daun ini menyebabkan bawang daun dapat dijadikan salah satu bentuk pengobatan alternatif. Bawang daun juga merupakan salah satu sayuran bawang dengan 28 potensi ekspor yang cukup baik dilihat dari jumlah peningkatan ekspor bawang daun yang cukup besar pada tahun 2008. Sentra produksi bawang daun di Kabupaten Cianjur terdapat di daerah Agropolitan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya yang berada di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Jumlah produksi bawang daun di kawasan Agropolitan tahun 2008 sebesar 277.474 kuintal atau sebesar 23 persen dari total produksi sayuran unggulan di kawasan Agropolitan. Produksi bawang daun yang cukup besar ini diikuti dengan semakin meningkatnya jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2008 jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar Kabupaten Cianjur meningkat 54 persen dari tahun 2007. Namun, peningkatan jumlah bawang daun yang dipasarkan keluar kabupaten Cianjur ini dihadapkan pada masalah berfluktuasinya harga yang berlaku. Hal ini menjadi permasalahan bagi petani bawang daun di kawasan Agropolitan Cianjur karena dapat menimbulkan kerugian bagi petani. Disamping itu, petani di kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur sangat bergantung pada pedagang pengumpul dalam hal penjualan bawang daun sehingga bargaining position petani menjadi rendah. Adanya sub terminal agribisnis (STA) di kawasan Agropolitan Cianjur pada kenyataannya belum dimanfaatkan dengan baik oleh para petani dalam memasarkan hasil panen bawang daunnya. Dengan kenyataan seperti itu, maka dibutuhkan suatu analisis mengenai sistem tataniaga yang dapat memberikan alternatif bagi petani agar dapat memilih saluran tataniaga yang paling efisien sehingga dapat meminimalisir kerugian yang mungkin diterima oleh petani. Analisis efisiensi tataniaga ini dilakukan dengan analisis deskriptif mengenai saluran tataniaga, lembaga tataniaga yang terlibat, fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga, dan struktur serta perilaku pasar. Selanjutnya analisis untuk mengetahui efisiensi tataniaga juga dilakukan dengan analisis kuantitatif yaitu dengan menggunakan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Dari hasil analisis deskriptif dan kuantitatif tersebut maka dapat diketahui alternatif saluran tataniaga yang paling efisien. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3. 29 - - - Potensi Bawang Daun Bawang daun memiliki kandungan gizi yang cukup baik bagi kesehatan. Bawang daun memiliki khasiat yang dapat dijadikan salah satu pengobatan alternatif. Potensi pasar bawang daun cukup besar. Nilai ekspor bawang daun semakin meningkat. Permasalahan - Harga bawang daun sangat berfluktuatif. - Posisi tawar petani bawang daun rendah karena adanya ketergantungan penjualan pada pedagang pengumpul. - Adanya STA belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan posisi tawar petani. Sistem Tataniaga Bawang Daun Analisis Kualitatif Analisis saluran tataniaga Analisis lembaga dan fungsi tataniaga Analisis struktur dan perilaku pasar Analisis Kuantitatif Analisis marjin tataniaga Analisis farmer’s share Analisis rasio keuntungan dan biaya Alternatif Saluran Tataniaga Bawang Daun yang paling efisien Gambar 3. Alur Kerangka Pemikiran Operasional 30