Analisa Kelayakan Usaha, Kelembagaan

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kinerja pembangunan Indonesia sebelum krisis telah menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi mencapai 6.0 sainpai 7.5 persen per tahun,
sehingga Indonesia dikategorikan setaraf dengan pertumbuhan ekonomi di
ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Thailand serta negara-negara di
kawasan Asia Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Cina dan Taiwan. Namun
keajaiban pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan keajaiban semu yang
disebabkan oleh peningkatan input-input dan bukan karena peningkatan efisiensi
dalain ~nenggunakan input-input tersebut. Sehingga ketika krisis ekonomi
berkepanjangan melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, yang diawali
dengan krisis moneter dimana nilai tukar rupiah mengalami penurunan yang amat
drastis terhadap US Dollar, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun
hingga -13,l % per tahun pada tahun 1998. Bahkan hingga tahun 2001 realisasi
pertumbuhan ekonomi baru mencapai 3.37 %'. Dampaknya
telah merebak
kepada timbulnya keresahan sosial dan politik di mana-mana, terjadinya tindak
kekerasan yang tidak dapat dihindarkan karena sebagian besar masyarakat
Indonesia mengalami keresahan akibat kesenjangan tingkat kehidupan yang
didorong oleh terjadinya perubahan struktur politik yang sangat besar.
Pola pembangunan yang selama ini dijalankan pemerintah menurut Garcia
(2000) lebih bersifat Jawa sentris, bias perkotaan, bias usaha berskala besar dan
mengandalkan penggunaan sumberdaya alam. Pola pembangunan yang sangat
Jawa sentris dan bias perkotaan telah menyebabkan prioritas pembangunan lebih
didasarkan pada potensi keunggulan alami baik dari segi demografi, limpahan
sumberdaya maupun lokasi pemusatan alokasi sumberdaya pada sektor-sektor
atau wilayah-wilayah yang berpotensi menyumbang pertumbuhan ekonomi
menyebabkan terjadinya net transfer sumberdaya alam, pemusatan surnberdaya
man - made capital, dan sumberdaya manusia daerah ke pusat kekuasaan atau
kota- kota pusat pertumbuhan seperti mega urban Jabotabek, Gerbang Kartosusilo.
Pembangunan yang bias usaha berskala besar menurut Lipton (1993) meskipun
secara sosial investasi kapital (human capital, social capital, natural capital dan
physical capital) lebih menguntungkan di wilayah perdesaan dibandingkan di
kawasan perkotaan., sehingga muncul perbedaan yang mencolok pada tingkat
pertumbuhan ekonomi, dan politik antara wilayah perdesaan dan kawasan
perkotaan (Anwar, 1991).
Ciri-ciri ketidakseimbangan pertumbuhan perekonomian merupakan
salah satu faktor yang menimbulkan dan menyebabkan goncangan ekonomi, yang
dialami Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 sampai saat ini. Krisis ekonoini
berkepanjangan sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi dan kondisi
masyarakat sehingga dalam menghadapi permasalahan ini, kepentingan peranan
setiap wilayah hendaknya disesuaikan dengan tujuan pembangunan wilayah yang
diarahkan untuk mencapai pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan
keberlanjutan (sustainable).
1
Media Indonesia, 10 September 2001. Indikator Ekonomi Makro Diharapkan Membaik
Sejak tahap awal pembangunan sampai sekarang, sektor pertanian
menjadi pusat perhatian pemerintah sebagai turnpuan kehdupan ekonomi seluruh
rakyat dan mampu mengakomodasi keberadaan sumberdaya manusia yang ada.
Namun selama ini pembangunan sektor pertanian lebih terfokus kepada
pengembangan sektor produksinya saja (on-farm) dan pengembangan sektor off-
farm hanya terfokus pada industri pengolahan hasil pertanian berskala besar yang
diharapkan dapat memberikan devisa serta penyerapan tenaga kerja yang besar,
sehingga perhatian kepada industri pengolahan hasil pertanian berskala kecil
terabaikan. Padahal sejak krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 sektor ini
masih mampu bertahan dan merupakan salah satu entry point menuju
pengembangan ekonomi Indonesia di abad mendatang, yang berbasis pada aspek
keadilan dan pemerataan bagi masyarakat.
Pentingnya industri pengolahan hasil pertanian skala kecil Indonesia
sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial di dalam negeri,
seperti tingkat kemiskinan yang tinggi, jumlah pengangguran yang besar, dan
kesempatan kerja, yang merupakan salah satu aspek yang penting dari
pembangunan ekonomi dan masalah kesempatan kerja ini menjadi pennasalahan
serius sejak munculnya krisis ekonomi.
Banyak perusahaan di dalam negeri berskala besar dengan kepemilikan
modal yang tidak terlalu kuat dan menggantungkan pada bahan baku impor
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga pengagguran terbuka
maupun terselubung semakin meningkat. Industri pengolahan hasil pertanian skala
kecil,
dalam mengatasi ha1 tersebut mempunyai potensi untuk dapat
menimbulkan dampak pembangunan yang strategis dalam ekonomi terutama
dalam aspek peningkatan nilai tambah, aspek pemerataan kesempatan kej a dan
kesempatan berusaha, penyerapan tenaga kej a dalam mengatasi pengangguran,
kemiskinan dan urbanisasi, pelestarian budaya daerah dan bangsa serta aspek
penguasaan teknologi dan keterampilan serta diharapkan dapat mengisi dan
mewujudkan ke dalam struktur industri yang pada gilirannya memperkokoh
struktur ekonomi.
1.2. Perurnusan Masalah
Masalah ketenagakejaan masih merupakan fenomena nunit bagi
kabupaten Banyumas.
Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan tenaga kerja. Jumlah pencari kerja yang
tercatat di Dinas Tenaga Kej a Kabupaten Banyumas tahun 2000 menurut tingkat
pendidikan dari tingkat SD sampai dengan Universitas adalah sebanyak 11.312
orang sedangkan yang belum dapat ditempatkan sebanyak 10.004 orang'(0,67%
dari jumlah penduduk sebesar 1.485.754). Dampak krisis ekonomi yang dimulai
pada pertengahan tahun 1997 mendorong bertambahnya j umlah pengangguran
sehingga guna mengatasinya perlu dipikirkan dan disediakan jenis lapangan kerja
yang dapat mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja tersebut. Bila ha1 ini tidak
dapat diimbangi maka tingkat pengangguran akan terus meningkat dan berdampak
kepada meningkatnya kemiskinan dan berbagai kerawanan sosial.
Struktur perekonomian Kabupaten Banyumas didominasi
oleh sektor
industri pengolahan, termasuk didalamnya industri pengolahan hasil pertanian
yang pada tahun 2000 sumbangannya terhadap PDRB sebesar 20,45 %. Adapun
usaha industri di Kabupaten Banyumas terbagi dalam empat kelompok, yaitu :
industri hasil pertanian dan kehutanan, industri aneka, dan industri logam, mesin
dan kimia (ILMK). Selama terjadinya krisis ekonomi, industri kecil pengolahan
hasil pertanian merupakan kelompok usaha industri yang lebih banyak bertahan
dibanding kelompok industri lainnya dan bahkan bertambah dalam jumlah unit
usaha maupun jurnlah tenaga kerjanya.
Sehingga perlu diketahui apakah
eksistensi dan potensi pengembangan industri kecil dapat dijadikan salah satu
upaya dalam mengatasi perrnasalahan diatas dalam menunjang peinbangunan
ekonomi wilayah di Kabupaten Banyurnas.
Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah yang dimulai pada awal
tahun 2001, maka peranan pemerintah daerah sangat penting dalam menggali
potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu membiayai
pembangunan daerahnya secara mandiri.
Untuk itu Pemerintah Kabupaten
Banyumas dalam ha1 peningkatan sisi penerimaan perlu berupaya bagaimana
potensi lokal yang ada dapat meningkatkan pemasukan kas daerah atau dengan
kata lain sebagai kontribusi bagi pendapatan asli daerah (PAD) menyongsong era
perdagangan bebas. Untuk mampu bersaingherkompetisi, perlu adanya perhatian
dan pemanfaatan potensi lokal yang ada seperti produk unggulan daerah untuk sub
scktor ~ndustrikecil pengolahan gula kelapa, yang merupakan salah satu kegiatan
ekonomi yang dapat berperan atau diperbesar peranannya sehingga nantinya
output industri tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
peningkatan PAD serta kesejahteraan masyarakat.
Meskipun industri kecil tersebut merupakan sektor unggulan yang
memberikan kotribusi cukup signifikan terhadap perolehan PAD Kabupaten
Banyumas, namun amat disayangkan bahwa pelaku ekonomi industri kecil
terutama sektor pengolahan gula kelapa masih menghadapi berbagai kendala. Di
wilayah perdesaan seperti di Kecamatan Cilogok, dimana sistem transportasi dan
komunikasi masih sederhana, informasi pasar langka dan mahal untuk diperoleh,
dan barang-barang input dan output hasil produksi jumlahnya terbatas baik
menurut keadaan spatial dan waktu. Harga tidak berfungsi sebagai koordinator
informasi untuk pengalokasian sumberdaya secara efisien serta kelembagaan
pertukaran formal seperti Koperasi Unit Desa (KUD) yang tadinya dapat
memberikan bagian harga yang lebih tinggi ternyata kinerjanya semakin hari
semakin kurang menggembirakan. Kondisi ini menyebabkan
pelaku usaha
pengolahan gula kelapa baik penderes maupun pengusaha memilih sistem
yang
kelembagaan pertukaran diluar institusi pasar (extra market ~nstitut~on)
berupa
kelembagaan prmc~ple-agenl (Anwar,
1998), meskipun dengan
konsekuensi akan menerima bagian harga yang lebih kecil.
Opsi kelembagaan In1 sering dikaitkan dengan kuatnya ikatan antara
penderes dengan tengkulak yang terbentuk secara historis dengan menekankan
pada unsur kekerabatan. Persoalan dar~hubungan prrncrple-ugent adalah adanya
informasi asimetrik, dimana satu pihak memiliki lebih banyak informasi dari
pihak lain, sehingga menimbulkan persoalan buruknya pilihan (adverse selection)
yang bersifat ex-ante dan persoalan bencana moral (moral hazard) yang bersifat
ex-post. Artinya bentuk hubungan principle-agent berlangsung dengan suatu
korbanan yang dikenal sebagai biaya agensi (agency cost) atau biaya transaksi
yang sangat berpengaruh terhadap opsi kelembagaan yang dipilih oleh penderes.
Disamping biaya transaksi, menurut Hobbs (1997),
opsi kelembagaan juga
berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan,
besarnya anggota keluarga, pendapatan dan karakteristik usaha. Berdasarkan
rumusan masalah tersebut menarik untuk dikaji hal-ha1 sebagai berikut:
1. Dapatkah industri pengolahan gula kelapa merupakan sektor basis dalam
menunjang pembangunan wilayah di Kabupaten Banyumas ?
2. Bagaimana peran kelembagaan principle-agent &lam tataniaga gula
kelapa di Kabupaten Banyumas? Terkait dengan pertanyaan ini ialah
a. Bagaimana l n erja kelembagaan tataniaga alternatif penderes?
b. Bagaimana peran karakteristik penderes dan biaya transaksi
kelembagaan tataniaga gula kelapa?
c. Sejauh mana eksistensi masalah buruknya pilihan (adverse selection)
dan bencana moral (moral Izazard) pada sistem kontrak tradisional
dalam tataniaga gula kelapa?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menelaah kinerja finansial dan ekonomi industri pengolahan gula kelapa
di Kabupaten Banyumas
2. Mengkaji Keterkaitan antara pertumbuhan dan sebaran industri gula
kelapa terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Banyumas
3. Mengkaji apakah sektor industri pengolahan gula kelapa adalah sektor
basis di berbagai kecamatan di Kabupaten Banyumas.
4. Mengidentifkasi peran dari karakteristik penderes dan biaya transaksi
dalam tataniaga gula kelapa di Kabupaten Banyumas.
5. Menelaah berbagai masalah dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran
gula kelapa, termasuk kemungkinan terjadinya adverse selection dan
moral hazard dalam sistem kontrak (contractsystem) .
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan
dalam memberikan arah pembangunan industri kecil beserta kelembagaan
tataniaganya khususnya industri gula kelapa, sehingga dapat memberikan efek
pengganda yang sebesar-besarnya di Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa
Tengah.
Download