neraca pembayaran dan perdagangan

advertisement
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN
LUAR NEGERI
BAB V
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
A. PENDAHULUAN
Dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia
telah dilanjutkan langkah-langkah deregulasi yang ditujukan
pada peningkatan efisienai dalam penggunaan sumber-sumber
produksi. Berkat rangkaian kebijaksanaan penyesuaian dan
usaha deregulasi selama tiga tahun terakhir ini serta ditunjang oleh kecenderungan membaiknya kembali harga minyak bumi
dan komoditi primer lainnya di pasaran internasional, selama
tahun 1987/88 neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Meskipun
demikian situasi perekonomian dunia yang belum menunjukkan
kestabilan dan kepastian, serta dampaknya terhadap masalahmasalah perdagangan, moneter dan keuangan internasional,
masih tetap merupakan tantangan yang harus dihadapi.
Dalam tahun 1987 laju pertumbuhan produksi dunia terus
menurun dari 3,2% pada tahun 1986 menjadi 3,0% dalam tahun
1987. Kelompok negara-negara industri mengalami peningkatan
produksi sebesar 2,9%•dibandiagkan dengan 2,7% tahun sebelumnya. Pertumbuhan produksi riil di negara-negara berkembang
secara keseluruhan menurun dari 4,1% dalam tahun 1986 menjadi
3,1% dalam tahun 1987. Produksi riil negara-negara pengekspor
V/3
minyak bumi malah merosot sebesar 0,2%, sedangkan laju pertumbuhan produksi di negara-negara bukan pengekspor minyak
bumi menurun dari 5,9% dalam tahun 1986 menjadi 4,5% dalam
tahun 1987.
Meskipun pertumbuhan ekonomi dunia lebih lamban, volume
perdagangan dunia dalam tahun 1987 meningkat sebesar 4,9% dibandingkan dengan laju pertumbuhan sebesar 4,6% untuk tahun
1986. Volume ekspor negara-negara industri dan negara-negara
berkembang bukan pengekspor minyak bumi masing-masing meningkat dari laju pertumbuhan sebesar 2,6% dan 8,7% dalam tahun
1986 menjadi 4,3% dan 10,0%. Sebaliknya laju pertumbuhan volume ekspor negara-negara pengekspor minyak bumi hanya mencapai 0,1%
dalam
tahun 1987
dibandingkan
dengan 12,4% tahun sebelumnya. Volume impor negara-negara industri mengalami kenaikan sebesar 6,1% dalam tahun 1987 yang berarti penurunan
dari laju pertumbuhan 9,0% tahun sebelumnya. Bagi negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi laju pertumbuhan
impor naik dari 1,4% pada tahun 1986 menjadi 7,3% tahun berikutnya, sedangkan dalam periode yang sama volume impor negara-negara pengekspor minyak bumi turun berturut-turut sebesar
20,5% dan 12,0%.
Dalam tahun 1987 nilai tukar perdagangan, dinyatakan
dalam SDR, naik dengan 0,9% untuk negara-negara industri,
0,6% untuk negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak
bumi dan 11,6% bagi negara-negara pengekspor minyak bumi.
Perkembangan ini disebabkan karena harga barang-barang industri
mengalami
kenaikan
sebesar 12,0%,
harga minyak bumi sebesar 28,6% sedang harga komoditi primer lainnya hanya naik sebesar 3,4%. Pasaran komoditi primer yang mengalami kemerosotan yang amat besar
selama periode 1985-1986 pulih kembali selama tahun 1987, terutama bagi komoditi pertanian dan logam
yang
masing-masing
mengalami
kenaikan
harga di pasaran internasional sebesar 29,4% dan 19,9%. Sebaliknya harga komoditi
seperti kopi, teh dan tembakau menurun dengan tajam sebesar
28,7%.
Perimbangan transaksi berjalan ditentukan oleh volume
ekspor,
volume impor,
nilai tukar perdagangan
serta lalu lintas jasa-jasa. Kelompok negara-negara industri di luar Amerika Serikat dalam tahun 1987 mencapai surplus dalam transaksi
berjalan (tidak termasuk transfer sektor Pemerintah) sebesar
US$ 140,9 milyar. Sebaliknya defisit transaksi berjalan Amerika Serikat mencapai US$ 150,7 milyar. Defisit transaksi
berjalan negara-negara berkembang secara keseluruhan mengecil
V/4
dari US$ 54,1 milyar dalam tahun 1986 menjadi US$ 11,9 milyar
dalam tahun 1987. Bagi negara-negara bukan pengekspor minyak
bumi defisit tersebut menurun dari US$ 25,2 milyar menjadi
US$ 12,1 milyar, sedangkan defisit transaksi berjalan negaranegara pengekspor minyak bumi berbalik dari US$ 25,2 milyar
menjadi surplus sebesar US$ 0,2 milyar. Perbaikan dalam posisi
transaksi berjalan negara-negara berkembang disebabkan oleh
peningkatan yang lebih pesat dari volume ekspor dibandingkan
dengan volume impor disertai dengan membaiknya nilai tukar
perdagangan dalam tahun 1987.
Perkembangan ekonomi dunia dalam tahun 1987 kembali menunjukkan betapa eratnya kaitan antara masalah-masalah moneter, perdagangan dan keuangan internasional, arus dana-dana
pembangunan, hutang negara-negara berkembang, pembangunan negara-negara
berkembang
dan
pertumbuhan
negara-negara
industri.
Oleh karena itu kerjasama ekonomi selalu mendapat prioritas
yang cukup tinggi.
Di bidang moneter, Dana Moneter Internasional (IMF), melalui perluasan Fasilitas Penyesuaian Struktural (Structural
Adjustment Facility),
telah
memberikan bantuan bersyarat lunak
kepada negara-negara berkembang yang menghadapi masalah neraca pembayaran yang berat. Sementara itu, dalam tahun 1987
International Development Association (IDA) dari Bank Dunia
telah meningkatkan dana ke-8 nya sehingga mencapai US$ 12,4
milyar. Sebagian dari dana tersebut dipergunakan untuk mendukung program penyesuaian negara-negara penerima bantuan IDA
dan dijalankan dalam kerangka pinjaman IMF.
Dalam rangka Putaran Uruguay, sepanjang tahun 1987/88
berlangsung negosiasi perdagangan multilateral yang mencakup baik produk-produk tropis dan pertanian, hasil-hasil
olahan sumber alam serta produk-produk tekstil sebagai bidang
prioritas maupun bidang baru yang meliputi jasa-jasa. Pembahasan bidang-bidang tersebut berjalan dengan sangat lamban
akibat perbedaan dalam kepentingan dan persepsi negara-negara
peserta Persetujuan Umum tentang Bea Masuk dan Perdagangan
(GATT).
Selama bulan Juli 1987 Konperensi tentang Perdagangan dan
Pembangunan PBB (UNCTAD) telah menyelenggarakan Sidangnya
yang ke VII. Salah satu kemajuan yang tercapai menyangkut
Dana Bersama (Common Fund) yang akan membiayai Perjanjian
Komoditi baik berupa pengelolaan dana penyangga maupun untuk
kegiatan riset, pengolahan dan pemasaran. Sampai dengan bulan
V/5
Mei 1988 sudah ada 10 0 negara yang meratifikasi persetujuan
dengan jumlah kontribusi modal sebesar 66,24% dari seluruh
kebutuhan modal. Hal ini berarti bahwa persyaratan 90 negara
dan 66,67% agar Dana Bersama dapat beroperasi hampir tercapai.
Kerjasama ekonomi antar.negara anggota ASEAN dalam tahun
1987 semakin meningkat seperti tercermin dalam kesepakatan di
berbagai bidang yang dicapai selama diselenggarakannya Konperensi Tingkat Tinggi ke III tanggal 14-15 Desember 1987 di
Manila, Filipina. Di bidang perdagangan disepakati pengaturan-pengaturan penyempurnaan Perjanjian Perdagangan Preferensial (PTA), diantaranya penciutan daftar barang-barang yang
dikecualikan dari konsesi perdagangan menjadi paling banyak
10% dari jenis barang yang diperdagangkan; pengurangan bea
masuk sebesar minimal 25% untuk jenis barang-barang baru yang
masuk daftar PTA; memperbesar konsesi dengan 50% untuk barangbarang yang sudah tercakup oleh PTA; mengurangi persyaratan
"ASEAN Content" dalam Ketentuan Asal Barang dari 60% menjadi
42% untuk Indonesia
dan
dari 50%
menjadi 25% untuk negara-negara anggota lainnya serta implementasi ketentuan tidak menaikkan ("standstill") dan atau mengurangi ("rollback") hambatan-hambatan perdagangan non-tarif. Kerjasama di bidang
komoditi meliputi tindakan bersama dalam menghadapi masalah
surplus struktural, mengusahakan peranan dalam pasaran yang
lebih besar, pengembangan industri yang mengolah sumber alam
serta mendorong pembentukan asosiasi produsen, asosiasi perdagangan regional serta bursa komoditi.
B.
PERKEMBANGAN
NEGERI
NERACA
PEMBAYARAN
DAN
PERDAGANGAN
LUAR
1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri
Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri
yang ditempuh selama
tahun 1987/88
pada
dasarnya
merupakan
kelanjutan
dan
penyempurnaan
rangkaian
kebijaksanaan
yang
diambil sejak tahun 1983. Langkah-langkah tersebut ditujukan
untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, daya saing barangbarang ekspor di luar negeri, daya saing barang-barang pengganti impor di pasaran dalam negeri dan guna menunjang peningkatan dan diversifikasi ekspor di luar minyak dan gas bu
mi, terutama produk-produk industri.
Usaha-usaha peningkatan peranan ekspor di luar minyak dan
gas bumi sebagai tumpuan sumber penghasil devisa menggantikan
V/6
peranan sektor minyak dan gas bumi ditujukan untuk menggerakkan laju pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja.
Kebijaksanaan pengembangan ekspor di luar minyak dan gas bumi
menjadi lebih penting lagi akibat lesunya pasaran minyak bumi
dunia selama tahun 1986 dan kelanjutan ketidakstabilan hingga
sekarang ini. Kuota produksi minyak bumi OPEC yang diterapkan
sejak bulan Maret 1982 telah menyebabkan penurunan kuota Indonesia dalam bulan Oktober 1984 menjadi 1,189 juta barrel
per hari dan sejak bulan Pebruari 1987 sampai dengan Mei 1988
menjadi 1,133 juta barrel per hari. Begitu pula harga patokan
minyak bumi mentah jenis Arabian Light Crude (ALC) diturunkan
dari US$ 34,0 menjadi US$ 29,0 per barrel dalam bulan Maret
1983,
US$ 28,0
per barrel
dalam
bulan Januari 1985, dan setelah itu peranannya sebagai dasar harga patokan dihapus. Harga
patokan ekspor minyak bumi mentah Indonesia juga turun dari
US$ 34,53 dalam bulan Nopember 1982 menjadi US$ 28,53 per
barrel dalam bulan Pebruari 1985. Kemudian merosot lebih cepat lagi menjadi US$ 14,45
dalam bulan Maret 1986 dan US$ 9,83
per barrel dalam bulan Agustus 1986. Setelah keputusan OPEC
untuk kembali ke sistem harga yang terikat pada akhir bulan
Desember 1986 dengan penetapan harga referensi US$ 18,0 per
barrel, Pemerintah menetapkan harga minyak patokan Indonesia
(SLC) sebesar US$ 17,56 per barrel berlak u mulai Pebruari
1987. Meskipun terdapat kecenderungan menaiknya harga minyak
bumi sejak akhir tahun 1986, pasaran minyak bumi internasional
masih tetap ditandai oleh berbagai gejolak dan ketidakpastian.
Kebijaksanaan yang tertuang dalam Instruksi Presiden No.4
Tahun 1985 menyangkut langkah-langkah tentang tatalaksana
ekspor dan impor, pelayaran antar pulau, biaya angkutan laut,
pengurusan barang dan dokumen, keagenan umum perusahaan pelayaran dan tatalaksana operasional pelabuhan dan ditujukan
pada peningkatan efisiensi dalam produksi maupun dalam lalulintas barang, khususnya barang-barang ekspor dan impor di
luar minyak dan gas bumi.
Melalui Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 ditempuh langkahlangkah penunjang ekspor di luar minyak dan gas bumi berupa
fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk atas barang
dan bahan baku impor yang digunakan untuk produksi barang barang ekspor. Selain itu juga diusahakan perbaikan iklim
investasi bagi penanam modal asing melalui perluasan Daftar
Skala Prioritas dan pelonggaran ketentuan tentang pemilikan
saham peserta nasional, jumlah investasi minimum dan jangka
waktu izin penanaman modal asing.
V/7
Devaluasi
Rupiah
sebesar
31,0%
yang
dilakukan
dalam
bulan
September 1986 bertujuan untuk mempertahankan cadangan devisa
sekaligus memperkuat neraca pembayaran melalui peningkatan
daya saing di pasaran baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kebijaksanaan yang bersifat struktural ditempuh melalui Paket
Kebijaksanaan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987 yang men cakup langkah-langkah penurunan bea masuk, pergeseran cara
pemberian perlindungan pada barang-barang produksi dalam negeri dari pembatasan kuantitatif atau pengaturan tataniaga
impor ke bea masuk, serta pelonggaran ketentuan-ketentuan
permodalan, tataniaga ekspor dan perkreditan di bidang penanaman modal. Melalui kebijaksanaan deregulasi tersebut terhadap 268 jenis barang atas dasar klasifikasi CCCN telah diberlakukan pembebasan dari restriksi tataniaga atau pembatasan kuantitatif; terhadap 258 jenis barang diadakan pelonggaran dari pengaturan tataniaga impor; 208 jenis barang dikenakan pembebasan atau keringanan bea masuk sehingga rentang
tingkat bea masuk berkisar antara 0% - 40%; sedang 186 jenis
barang dikenakan kenaikan bea masuk atau bea masuk tambahan.
Peningkatan langkah-langkah debirokratisasi dan deregulasi tertuang dalam Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 yang
meliputi bidang perdagangan luar negeri, industri, perhubungan, penanaman modal serta pariwisata dan menyangkut struktur
bea masuk, tataniaga, perizinan, permodalan, perpajakan dan
perkreditan. Berdasar Paket Kebijaksanaan tersebut 106 jenis
barang dengan klasifikasi CCCN dibebaskan dari pengaturan tataniaga impor, terdiri dari 28 jenis bahan makanan, minuman
dan buah-buahan; 7 jenis produk industri listrik dan elektronika; 10 jenis alat-alat besar dan suku cadang; 4 jenis produk kimia; 1 jenis produk mesin, mesin perlengkapan dan suku
cadang
serta
56 jenis
produk industri logam.
Pelonggaran dari
ketentuan tataniaga
impor
diterapkan
terhadap 48 jenis produk
industri alat-alat besar dan 22 jenis produk industri kendaraan bermotor. Di samping itu juga dilakukan penciutan pola
keagenan
tunggal
khususnya
di bidang industri
alat-alat elektronika dan alat-alat listrik untuk rumah tangga, kendaraan
bermotor dan alat-alat besar. Sebagai kompensasi penghapusan
hambatan impor non tarif, bea masuk untuk 87 jenis barang,
terutama di kelompok bahan makanan, minuman dan buah-buahan
dan kelompok produk industri logam, dinaikkan dan bea masuk
tambahan dikenakan untuk 50 jenis barang. Sebaliknya bea
masuk diturunkan untuk 65 jenis barang klasifikasi CCCN.
Dalam rangka peningkatan penerimaan devisa melalui peningkatan nilai tambah dan guna menunjang perluasan kesempatan
V/8
kerja, dalam tahun 1986/87 telah ditetapkan larangan ekspor
rotan dalam bentuk mentah;
kayu gergajian jenis ramin,
meranti putih dan agathie yang tidak berbentuk papan lebar serta
jangat dan kulit dalam bentuk mentah. Rotan dalam bentuk setengah jadi mulai 1 Januari 1989 dilarang untuk diekspor, sedangkan dalam bulan April 1987 ditetapkan bahwa mulai 15 Nopember 1986 semua ekspor rotan dalam bentuk setengah jadi
dikenakan tarif Pajak Ekspor/Pajak Ekspor Tambahan sebesar
30%. Di bidang tataniaga ekspor kayu gergajian dan kayu olahan
dalam bulan Mei 1987 ditentukan bahwa mulai 15 Mei 1987 ekspor
semua jenis kayu dan hasil ikutannya di samping jenis kayu
ramin,
meranti putih
dan
agathis wajib diperiksa oleh surveyor
sebelum pengapalan. Selanjutnya juga diambil kebijaksanaan
bahwa mulai 1 Oktober 1987 ekspor kayu gergajian dan kayu
olahan hanya dapat dilaksanakan oleh Eksportir Terdaftar,
yaitu perusahaan yang memproduksi sendiri kayu gergajian dan
kayu olahan yang bahan bakunya berasal dari Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) atau perusahaan yang mengekspor produk-produk
tersebut dan mendapat pengakuan dari instansi yang berwenang.
Di bidang tata niaga umum, eksportir produsen yang telah
ditunjuk untuk menerbitkan sertifikat mutu mata dagangan hasil produksinya sendiri dibebaskan dari kewajiban melampirkan
Surat Pernyataan Mutu (SPM) pada Pemberitahuan Ekspor Barang
(PEB) dan yang bersangkutan cukup membubuhkan cap bebas SPM.
Dalam usaha memperlancar ekspor, pada bulan Desember 1987
telah dilakukan penyederhanaan izin ekspor dengan menghapus
kewajiban memiliki Angka Pengenal Ekspor (APE), APE
Sementara
dan APE Terbatas. Dengan demikian eksportir dapat melakukan
kegiatannya cukup dengan memiliki izin usaha baik berupa surat
izin
usaha
perdagangan
(SIUP)
dari
Departemen
Perdagangan
ataupun izin usaha
dari departemen teknis lain,
kecuali untuk
13 jenis
barang-barang
ekspor
tertentu
yang
antara lain meliputi kayu lapis, timah, kopi, pala, lada, ema s dan tekstil
dengan tujuan negara kuota. Ekspor produk-produk tersebut
hanya dapat dilakukan oleh eksportir terdaftar. Eksportir
terdaftar adalah perusahaan yang telah mendapat pengakuan
Menteri Perdagangan untuk mengekspor barang tertentu sesuai
dengan ketentuan yang berlaku sedang pengakuan sebagai eksportir terdaftar tidak lagi terbatas masa berlakunya, melainkan berlaku tanpa batas waktu. Di samping itu, barang-barang
yang ekspornya diawasi meliputi 16 jenis barang antara lain
beras, ternak hidup, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, benih
ikan bandeng dan kertas koran. Ekspor barang-barang tersebut
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Perdagangan.
V/9
Selanjutnya, telah ditetapkan larangan ekspor untuk 1 6 jenis
barang diantaranya karet bongkah, jenis-jenis hasil perikanan
tertentu dalam keadaan hidup, besi tua, rotan bahan mentah,
kayu bulat, kayu gergajian tertentu, barang-barang dari kayu
mewah dan barang-barang kuno.
Di bidang perpajakan, sejalan dengan menurunnya harga di
pasaran dunia, pada bulan Juni 1987 tarif pajak ekspor tambahan kopi yang semula 1,67% untuk jenis Arabica dan 3,85%
untuk
jenis
Robusta
telah
diturunkan
menjadi
0%.
Dalam
rangka
mendorong ekspor, telah dipermudah cara pengembalian pajak
pertambahan
nilai
(PPN)
dan
pajak
penjualan
atas
barang
mewah
(PPnBM) atas pembelian barang dan bahan yang dipergunakan
untuk menghasilkan barang ekspor, yskni tidak perlu terlebih
dahulu menunggu hasil penelitian kebenaran pajak yang harus
dibayar oleh produsen eksportir. Dalam usaha pengembangan
sarana perdagangan berupa pengemasan khusus, guna menunjang
peningkatan
kelancaran
arus angkutan barang
untuk
tujuan ekspor dan impor, telah didirikan terminal peti kemas di station
Kereta Api Gedebage, Jawa Barat. Dengan demikian, pengurusan
administrasi dan prosedur kepelabuhanan atas barang-barang
ekspor dan barang-barang impor dapat diselesaikan secara
langsung di terminal tersebut.
Guna
memperkuat
kedudukan
Indonesia
sebagai
negara
produsen
dan
eksportir
hasil-hasil
pertanian
dan
pertambangan, berbagai usaha telah
dilanjutkan
dalam
kerangka kerjasama multileteral, regional dan bilateral. Dalam rangka Perjanjian Kopi
Internasional,
dengan
pulihnya
produksi
kopi
Brazil
sistem
kuota ekspor kembali diberlakukan. Usaha untuk memperbaharui
perumusan
sistem
kuota
dilakukan
melalui
Sidang
Dewan
Eksekutif ICO di Denpasar dalam bulan Juni 1987 dan Sidang ICO di
London dalam bulan September 1987. Indonesia memperoleh kenaikan dalam kuota menjadi 165.300 ton mulai Oktober 1987
dibandingkan dengan kuota sebesar 150.000 ton yang diperoleh
untuk tahun kopi Oktober-September 1985/86.
Di
bidang
tata
niaga
impor,
sejak
1 Januari 1988
produsen
eksportir yang mengekspor sekurang-kurangnya 65% dari hasil
produksinya dapat mengimpor barang dan bahan baku/penolong
tanpa dikenakan ketentuan tataniaga atau dapat pula menggunakan barang dan bahan baku/penolong
dalam negeri dengan harga tidak melebihi harga impor. Dalam hal pakaian jadi masih
berlaku ketentuan lama yaitu sebesar 85%. Selanjutnya, perusahaan
bukan
PMA/PMDN
yang
memproduksi
barang
untuk diekspor
diizinkan untuk mengimpor mesin dan mesin peralatan pabrik
V/10
dengan memperoleh kemudahan tataniaga impor termasuk pengecualian dari daftar negatif yang dikeluarkan oleh instansi
yang berwenang.
Dalam bulan Nopember 1987 telah ditetapkan penundaan dari
pengaturan pengkaitan impor dan pembelian kapas dalam negeri
seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Perdagangan bulan
Januari 1987. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk meningkatkan
efisiensi industri tekstil pada umumnya dan industri pemintalan pada khususnya.
Dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian, untuk
impor peti kemas tidak dipungut PPN impor serta PPh yang
terhutang, sedangkan peti kemas bekas dibebaskan dari
prosedur pabean.
Guna lebih meningkatkan daga saing barang ekspor di luar
minyak dan gas bumi telah diperluas pembebasan dan pengembalian bea masuk dan bea masuk tambahan, serta penangguhan PPN
dan PPnBM atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari
kawasan berikat, impor mesin dan mesin peralatan pabrik, serta
pemasukan barang contoh (sample). Di samping itu, kemudahan
serupa
diberikan
juga
kepada
produsen kontraktor atau kontraktor yang melaksanakan proyek Pemerintah yang dibiayai dengan
bantuan atau pinjaman luar negeri.
Begitu pula telah diberikan
pembebasan bea masuk barang impor untuk tujuan penelitian dan
pengembangan bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan
program peningkatan ekspor. Dalam hal peningkatan pelayanan
oleh Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk
(P4BM), telah disederhanakan tata cara pengembalian bea masuk,
bea masuk tambahan, PPN dan PPnBM melalui Surat Sanggup Bayar
(SSB). Kemudahan pengembalian PPN dan PPnBM juga berlaku bagi
barang yang direncanakan untuk di ekspor.
Dalam rangka mendorong dan melindungi pertumbuhan industri
di dalam negeri,
dalam
tahun 1987/88 telah diadakan perubahan tarif bea masuk dan penetapan bea masuk tambahan terhadap beberapa barang tertentu. Sementara itu, barang-barang
impor yang PPnnya ditanggung oleh Pemerintah semakin diperluas,
antara lain
untuk makanan ternak
dan unggas, kertas koran dan bahan baku tranfusi darah.
Rangkaian kebijaksanaan di bidang jasa-jasa selama tahun
1987/88 ditujukan untuk meningkatkan arus kedatangan wisatawan asing serta pendapatan dari sektor pariwisata dengan cara
meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan-wisatawan asing.
V/11
Sehubungan dengan itu ditetapkan bahwa barang-barang yang
dibawa sendiri oleh wisatawan asing dan dalam jumlah yang
wajar, dapat masuk dengan bebas tanpa perlu dicatat lagi dalam paspor yang bersangkutan. Dengan meningkatnya minat wisatawan asing
dari Singapura
untuk
mengunjungi
pulau Batam,
dalam tahun 1987/88 Pemerintah telah mengeluarkan pas khusus
untuk penduduk Singapura yang bepergian ke Pulau Batam. Selanjutnya Tanjung Pinang dan Bandar Udara Sepinggan ditunjuk
sebagai pelabuhan dan bandar udara tempat memperoleh visa pada saat kedatangan wisatawan. Untuk mendorong pengembangan
sektor pariwisata, telah diadakan penyederhanaan proses perizinan
yang diperlukan
untuk
membangun
hotel
dan
sarana-sarana pariwisata.
Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan yang semakin meningkat, dana dari luar negeri, yang meliputi pinjaman luar
negeri Pemerintah
dan
Badan
Usaha
Milik
Negara serta penanaman modal, masih terus dimanfaatkan. Kebijaksanaan terhadap
pinjaman luar tetap berpedoman pada prinsip bahwa pinjaman
tersebut terlepas dari ikatan politik, tidak mengakibatkan
ketergantungan pada luar negeri, dan tidak menimbulkan beban
yang berat bagi neraca pembayaran di masa mendatang serta
penggunaannya sesuai dengan rencana pembangunan.
Selanjutnya, dalam rangka menunjang pengembangan industri dalam negeri dan perluasan kesempatan kerja, Pemerintah
terus
melanjutkan
usaha
untuk
melepaskan
kaitan
pinjaman
luar
negeri dengan keharusan pembelian barang dari negara pemberi
pinjaman. Selain itu, di samping tetap berusaha agar penarikan pinjaman luar negeri dapat dipercepat, Pemerintah dalam
tahun 1987/88
telah berusaha
untuk kembali memperoleh pinjaman dalam bentuk bantuan program dan bantuan pembiayaan lokal
yang dapat dirupiahkan dan segera dapat ditarik dan digunakan. Bantuan program digunakan untuk menunjang program dan
kebijaksanaan penyesuaian struktural, khususnya dalam rangka
meningkatkan ekspor di luar minyak dan gas bumi.
Untuk lebih mendorong investasi di dalam negeri, melalui
paket Desember 1987 telah diadakan penyempurnaan peraturan peraturan di bidang penanaman modal asing. Dalam hal pemilikan saham
dari
Perusahaan PMA
baru
dan yang
melakukan perluasan, jangka waktu pengalihan mayoritas pemilikan saham asing
kepada peserta nasional diperpanjang dari 10 tahun menjadi 15
tahun. Selain itu, perusahaan PMA yang berlokasi di kawasan
berikat dan yang mengekspor seluruh produksinya dapat didirikan dengan penyertaan modal nasional minimal 5% dari nilai
V/12
saham tanpa keharusan peningkatan saham untuk tahun-tahun selanjutnya. Perusahaan PMA yang nilai investasinya minimal
US$ 10 juta, atau berlokasi di daerah tertentu, atau minimal
65% dari produksinya di ekspor, dapat didirikan dengan penyertaan nasional sebesar 5% dari nilai saham untuk selanjutnya
menjadi minimal 20% dalam waktu 10 tahun. Menurut ketentuan
sebelumnya jumlah bagian produksi yang diekspor adalah minimal
85% dan jangka waktu peningkatan saham adalah 5 tahun. Selanjutnya, perusahaan PMA dapat diberi perlakuan sama seperti
PMDN berupa kemungkinan memperoleh kredit modal kerja dari
Bank Umum Pemerintah dan Bapindo bila minimal 51% sahamnya
dimiliki oleh peserta nasional atau 45% sahamnya dimiliki
oleh peserta nasional dengan syarat 20% dari jumlah seluruh
saham dijual melalui pasar modal.
Untuk lebih meningkatkan minat dan kegiatan usaha industri, ditetapkan penyederhanaan prosedur pemberian izin usaha
menjadi izin tetap dan izin perluasan. Izin tetap diberikan
kepada industri yang telah berproduksi secara komersial dan
izin tersebut berlaku untuk seterusnya selama perusahaan yang
bersangkutan berproduksi. Izin perluasan diperlukan bagi
industri yang melakukan kegiatan penambahan produksi melebihi
30% di atas kapasitas dalam izin yang dimiliki, sedangkan
dalam peraturan sebelumnya izin tersebut dibutuhkan untuk
setiap perluasan. Bagi perusahaan industri baru yang produksinya dimaksudkan untuk pasaran ekspor, diberikan izin tetap
serta kebebasan untuk mengadakan perluasan dan atau diver sifikasi produk yang tercakup dalam lingkup jenia industrinya, meskipun kegiatan jenis industri dalam DSP dinyatakan
tertutup.
Dalam rangka meningkatkan ekspor hasil industri pengolahan, perusahaan PMA selain dapat mengekspor produksi sendiri juga dapat mengekspor hasil produksi atau barang industri
pengolahan perusahaan lain di dalam negeri. Selanjutnya, dimungkinkan pula untuk mendirikan perusahaan PMA yang khusus
melakukan perdagangan ekspor hasil industri pengolahan. Se mentara itu, kepada perusahaan PMA yang sebagian besar hasil
produksinya untuk ekspor diberikan keleluasaan untuk menggunakan tenaga kerja ahli asing.
Guna meningkatkan kesempatan berusaha yang lebih luas
kepada perusahaan PMA, Pemerintah menyempurnakan Daftar Skala
Prioritas (DSP) tahun 1987. Dalam rangka usaha menarik investor asing, juga diberikan kemudahan kepada perusahaan PMA
untuk membeli kertas berharga di bursa.
V/13
2. Perkembangan Neraca Pembayaran
Dibandingkan
dengan
tiga tahun pertama
Repelita
IV,
neraca pembayaran menunjukkan perkembangan yang amat menggembirakan pada tahun 1987/88. Perkembangan tersebut terjadi sebagai
akibat rangkaian kebijaksanaan penyesuaian dan kebijaksanaan
deregulasi
yang
ditempuh
sejak
awal Repelita IV
khususnya sejak.tahun 1986. Faktor-faktor penunjang lainnya adalah pulihnya pasaran dunia untuk sejumlah komoditi primer tertent u
serta membaiknya pasaran minyak bumi internasional meskipun
struktur pasaran tersebut masih sangat labil.
Nilai ekspor secara keseluruhan meningkat sebesar 33,9%
dari US$ 13.697 juta dalam tahun 1989/87 menjadi US$ 18.343
juta dalam tahun 1987/88. Nilai ekspor di luar minyak dan gas
bumi menunjukkan peningkatan yang paling besar, yaitu 41,2%,
sedang nilai ekspor minyak bumi dan gas alam cair termasuk gas
minyak cair (LPG) masing-masing naik sebesar 28,4% dan 23,7%.
Selama 4 tahun pertama Repelita IV nilai ekspor di luar minyak
dan gas bumi rata-rata meningkat dengan 15,4% setiap tahun.
Perkembangan ini menyebabkan bahwa peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi untuk pertama kalinya sejak dimulainya Repelita II atau tahun 1974/75 melebihi peranan ekspor minyak dan
gas bumi dan menjadi 51,8% dari.nilai seluruh ekspor dibandingkan dengan 27,1% dalam tahun 1983/84 (lihat Tabel V-1).
Meningkatnya nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi
tahun
1987/88
disebabkan
karena
nilai ekspor hasil-hasil pertanian naik sebesar 14,7%, nilai ekspor hasil-hasil tambang
sebesar 55,2% dan nilai ekspor hasil-hasil industri sebesar
60,1%. Dengan demikian juga terjadi perubahan dalam struktur
ekspor
di luar minyak
dan
gas bumi.
Dibandingkan dengan tahun
1986/87 peranan ekspor hasil-hasil pertanian menurun dari
42,0% menjadi 34,1%; peranan ekspor hasil-hasil tambang naik
dari 7,8% menjadi 8,6%, sedangkan peranan ekspor hasil-hasil
industri meningkat dari 50,2% menjadi 57,3%.
Nilai ekspor minyak bumi naik karena harga ekspor ratarata meningkat dengan 40,5% dari US$ 12,50 menjadi US$ 17,56
per barrel sedangkan volume ekspor menurun dari 383,6 juta
barrel menjadi 354,9 juta barrel atau sebesar 7,5%. Nilai
ekspor gas alam, cair meningkat sebesar 21,2% akibat kenaikan
volume sebesar 12,8% dan kenaikan harga ekspor. sebesar 7,7%.
Untuk tahun 1987/88 dalam nilai ekspor minyak dan gas.bumi
termasuk ekspor LPG sebesar US$ 54 juta (lihat Tabel V-1,
V-2, V-3 serta Grafik V-1).
V/14
TABEL V – 1
RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN,
1983/84 – 1987/88
(dalam juta US dollar)
1)
2)
3)
4)
5)
Angka diperbaiki
Angka sementara
Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM
Senilai US $ 983 juta
Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
Pokok pinjaman
V/15
TABEL V – 2
NILAI EKSPOR (F.O.B.),
1983/84 – 1987/88
(dalam juta US dollar)
1)
2)
3)
Angka sementara
Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan BBM
Sebagai hasil pengolahan (cross purchase) senilai US $ 983 juta
Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
V/16
GRAFIK V – 1
NILAI EKSPOR (F.O.B.)
1983/84 – 1987/88
V/17
TABEL V - 3
NILAI EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM CAIR (F.O.B.),
1983/84 - 1987/88
(dalam juta US dollar)
1) Angka sementara
V/18
Dalam tahun 1987/88 nilai impor (f.o.b.) secara keseluruhan mengalami kenaikan sebesar 13,1% menjadi US$ 12.952
juta dibandingkan dengan US$ 11.451 juta tahun sebelumnya.
Nilai impor di luar minyak dan gas bumi serta impor sektor
minyak bumi masing-masing mengalami kenaikan sebesar 13,3%
dan 14,8% dari US$ 9.356 juta dan US$ 1.908 juta dalam tahun
1986/87 menjadi US$ 10.597 juta dan US$ 2.190 juta dalam
tahun 1987/88. Dalam periode yang sama nilai impor sektor gas
alam cair menurun sebesar 11,8% dari US$ 187 juta menjadi
US$ 165 juta. Nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi
mencapai puncaknya sebesar US$ 14.131 juta dalam tahun
1982/83 untuk kemudian terus menurun hingga US$ 9.356 juta
dalam tahun 1986/87. Peningkatan pada tahun berikutnya disebabkan karena meningkatnya kegiatan investasi baik di sektor
Pemerintah maupun sektor swasta. Dari segi pembiayaan, impor
dalam rangka penanaman modal asing dan pinjaman swasta serta
BUMN mengalami kenaikan sebesar 42,9% menjadi US$ 823 juta
(c.& f.); impor dengan devisa tunai meningkat deng an 15,5%
menjadi US$ 8.442 juta (c.& f.); dan impor dalam rangka pinjaman luar negeri Pemerintah tidak mengalami perubahan dan
mencapai nilai US$ 2.498 juta (c.& f.). Kenaikan nilai impor
sektor minyak bumi terutama disebabkan karena meningkatnya
impor minyak bumi mentah (ALC) yang digunakan sebagai bahan
baku dalam proses produksi BBM di dalam negeri sebesar 32,5%
menjadi US$ 510 juta (lihat Tabel V-4, Grafik V-2 dan Tabel
V-5).
Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa adalah sebesar
US$ 6.297 juta dalam tahun 1986/87 dan meningkat dengan 12,7%
menjadi US$ 7.098 juta pada tahun 1987/88. Untuk jasa-jasa di
luar sektor minyak dan gas bumi, sektor minyak bumi dan sektor
gas alam cair; pengeluaran devisa netto mengalami kenaikan
sebesar masing-masing 9,0%, 11,7% dan 32,6%. Penerimaan devisa
dari jasa-jasa di luar minyak bumi dalam tahun 1987/88 naik
dari US$ 1.448 juta dalam tahun sebelumnya menjadi US$ 1.643
juta, di antaranya penerimaan devisa dari sektor pariwisata
meningkat sebesar 45,0% dari US$ 691 juta menjadi US$ 1.002
juta. Kenaikan yang terbesar untuk pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi adalah
untuk pembayaran bunga hutang-hutang Pemerintah dan BUMN dari
US$ 2.252 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 2.627 juta
pada tahun 1987/88 atau kenaikan sebesar 16,7%. Meningkatnya
pengeluaran devisa untuk sektor minyak dan gas bumi disebabkan karena kenaikan nilai ekspor dan khususnya untuk sektor
gas alam cair karena peningkatan biaya produksi.
V/19
TABEL V – 4
NILAI IMPOR ( F .O . B . ) ,
1983/84 - 1987/88
(dalam j u t a U S d o l l a r )
1) Angka sementara
2) Termasuk BBM sebagai hasil pertukaran ekspor
minyak bumi mentah senilai US $ 983 juta
V/20
GPAFIK V - 2
NILAI IMPOR (F.O.B.),
1983/84 - 1987/88
V/21
TABEL V - 5
NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAH CAIR (F.O.B.),
1983/84 - 1987/88
(dalam juta US dollar)
1) Angka sementara
V/22
Dengan
laju pertumbuhan nilai ekspor yang jauh lebih pesat dari laju kenaikan nilai impor dan pengeluaran devisa
netto untuk jasa-jasa, maka transaksi berjalan dalam tahun
1987/88 menunjukkan defisit yang paling kecil sejak tahun
1981/82, yaitu sebesar US$ 1.707 juta. Dibandingkan dengan
tahun 1986/87 defisit transaksi berjalan menurun dengan 57,9%.
Pinjaman Pemerintah yang digunakan dalam tahun 1987/88
berjumlah US$ 4.575 juta dibandingkan dengan US$ 5.472 juta
dalam tahun 1986/87 atau menurun dengan 16,4%. Bantuan program meningkat dari US$ 48 juta menjadi US$ 858 juta karena
dalam tahun 1987/88 mulai direalisasikan pinjaman bersyarat
lunak untuk menunjang program tertentu atau yang dikaitkan
dengan program dan kebijaksanaan peningkatan ekspor di luar
minyak dan gas bumi. Pinjaman proyek menurun sebesar 12,2%
dari US$ 4.005 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 3.517
juta pada tahun berikutnya. Dari jumlah pinjaman tersebut
56,5% bersyarat lunak dibandingkan dengan 62,7% pada tahun
1986/87. Pinjaman tunai yang terutama digunakan untuk memperkuat neraca pembayaran, dalam tahun 1987/88 merosot dari
US$ 1.419 juta tahun sebelumnya menjadi US$ 200 juta sebagai
akibat membaiknya perkembangan transaksi berjalan. Pelunasan
pokok hutang luar negeri Pemerintah naik sebesar 43,2% dari
US$ 2.129 juta menjadi US$ 3.049 juta dalam tahun 1.987/88. Di
antara faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut,
laju apresiasi mata uang Yen terhadap dollar AS yang masih
terus berlangsung dalam tahun 1987/88 merupakan faktor yang
terpenting karena besarnya jumlah hutang yang dinyatakan dalam Yen. Di samping itu, semakin besarnya jumlah hutang yang
tenggang waktu pembayaran angsurannya mulai habis juga menyebabkan kenaikan dalam jumlah pelunasan pinjaman Pemerintah.
Pemasukan modal lain atas dasar netto naik dengan 38,7%
dari US$ 1.232 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 1.709 juta pada tahun 1987/88. Realisasi penanaman modal asing naik
dengan pesat sebesar 58,4% mencapai jumlah US$ 814 juta dibandingkan dengan US$ 514 juta pada tahun 1986/87. Sementara
itu, pembayaran angsuran atas komponen pinjaman dalam rangka
penanaman modal asing berjumlah US$ 270 juta dibandingkan dengan US$ 262 juta dalam tahun sebelumnya. Pinjaman lainnya
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara meningkat
dengan 69,2% dari US$ 321 juta menjadi US$ 543 juta dalam
tahun 1987/88, sedangkan pelunasan atas pinjaman tersebut
mengalami kenaikan dari US$ 478 juta menjadi US$ 488 juta
atau sebesar 2,1%. Transaksi modal lainnya mencapai jumlah
US$ 1.110 pada tahun 1987/88 dan meliputi kred it ekspor
V/23
minyak bumi dan gas alam cair sebesar US$ 1.087 juta serta
pemasukan modal swasta lainnya sebesar netto US$ 23 juta.
Pos selisih yang tidak diperhitungkan dalam tahun 1987/88
berbalik menunjukkan jumlah positif sebesar US$ 57 juta dibandingkan. dengan jumlah negatif tahun sebelumnya sebesar
US$ 1.262 juta. Pos tersebut terutama mencerminkan transaksi
modal jangka pendek yang tidak tercatat dalam transaksi-transaksi neraca pembayaran lainnya.
Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan dengan
memperhitungkan pemasukan modal netto di sektor Pemerintah dan
sektor di luar Pemerintah, cadangan devisa dalam tahun 1987/88
meningkat dengan US$ 1.585 juta dibandingkan dengan penurunan
sebesar US$ 738 juta dalam tahun 1986/87. Hal ini berarti
bahwa jumlah cadangan devisa telah mengalami peningkatan dari,
US$ 5.103 juta pada akhir Maret 1987 menjadi US$ 6.688 juta
pada akhir Maret 1988. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup
untuk membiayai impor (c.& f.) di luar sektor minyak dan gas
bumi, yang pada tahun 1987/88 sebesar US$ 11.763 juta, untuk
rata-rata 6,8 bulan. Meskipun impor pada tahun berikutnya diperkirakan
akan
terus
meningkat,
jumlah cadangan yang tersedia
adalah pada tingkat yang cukup aman untuk mendukung ekspansi
investasi dan impor di masa mendatang.
C. EKSPOR
Selama tiga tahun pertama Repelita IV nilai ekspor secara
keseluruhan mengalami kemunduran sebesar rata-rata 11,6% dari
US$ 19.816 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 13.697 juta
dalam tahun 1986/87. Dalam periode tersebut nilai ekspor di
luar minyak dan gas bumi rata-rata meningkat dengan 7,8% setiap tahun sehingga selama kurum waktu tersebut meningkat dari
US$ 5.367 juta menjadi US$ 6.731 juta, sedangkan nilai ekspor
minyak dan gas bumi mengalami kemerosotan sebesar rata-rata
21,6% setiap tahunnya sehingga menurun dari US$ 14.449 juta
menjadi
US$ 6.966 juta.
Pada tahun 1987/88
nilai ekspor seluruhnya naik sebesar 33,9% sehingga mencapai US$ 18.343 juta.
Ekspor di luar minyak dan gas bumi naik sebesar 41,2% dan
ekspor minyak dan gas bumi naik sebesar 26,9% sehingga masingmasing menjadi US$ 9.502 juta dan US$ 8.841 juta (lihat Tabel
V-1, V-2, dan V-3).
Melonjaknya nilai ekspor di luar minyak dan gas
susnya barang-barang industri, pada tahun 1987/88 mencerminkan
V/24
bumi, khu-
peningkatan dalam daya saing barang-barang ekspor di pasaran
luar negeri. Peningkatan daya saing tersebut merupakan hasil
dari
kebijaksanaan
devaluasi
bulan
September 1986
serta kebijaksanaan deregulasi yang menunjang ekspor berupa pembebasan
atau pelonggaran pengaturan tataniaga impor atas bahan baku
dan penolong yang digunakan dalam proses produksi, kemudahan
pembebasan atau pengembalian bea masuk atas barang-barang
impor serta penurunan tingkat bea masuk untuk beberapa bahan
baku dan penolong serta barang modal. Kebijaksanaan tersebut
mendapat tanggapan yang sangat positif dari masyarakat luas.
Ekspor komoditi primer dalam tahun 1987/88 juga berkembang
dengan baik dengan kenaikan nilai ekspor yang pesat untuk
hasil-hasil tambang di luar timah dan aluminium, minyak dan
biji kelapa sawit, rotan, karet serta tapioka dan bahan ma kanan lainnya (lihat Tabel V-6 serta Grafik V-3). Perkembangan ini antara lain disebabkan karena pulihnya pasaran dunia
terutama untuk hasil-hasil pertanian dan hasil-hasil logam.
Kedua jenia komoditi ini telah mengalami kemerosotan harga
selama periode 1984-1986 dan baru
dalam
tahun 1987
harga ratarata hasil pertanian meningkat dengan 29,4% sedang harga
hasil-hasil logam naik sebesar 19,9% (lihat Tabel V-7 serta
Grafik V-4).
Ekspor kayu sebagian besar terdiri dari kayu lapis dan
kayu gergajian. Nilai ekspor.kayu dalam tahun 1987/88 menca
pai US$ 2.459,7 juta dan meningkat sebesar 54,5% dibandingkan
dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.592,1 juta pada 1986/87.
Ini disebabkan oleh kenaikan ekspor kayu lapis sebesar 60,9%
menjadi US$ 1.860,6 juta. Nilai ekspor kayu lapis tetap menduduki peringkat pertama dari seluruh nilai ekspor di luar
minyak dan gas bumi. Kenaikan ekspor kayu lapis tersebut berkaitan dengan meningkatnya volume dan harga satuan ekspor
yaitu masing-masing sebesar 30,9% dan 23,0%. Sementara itu
nilai ekspor kayu gergajian/olahan tahun 1987/88 juga mengalami kenaikan sebesar 37,4% menjadi US$ 599,1 juta dan menduduki peringkat kelima. Ditinjau dari negara tujuan ekspor,
Jepang dan Amerika Serikat masih tetap merupakan negara-negara pembeli utama ekspor kayu Indonesia dengan pangan masingmasing
sebesar
28,3%
dan
16,3%.
Sedangkan
pasaran
ekspor kayu
lainnya adalah RRC: 11,0%; Hongkong: 8,5%; Singapura: 7,8%
dan Taiwan: 7,2%.
Nilai ekspor karet pada tahun 1987/88 mengalami peningkatan sebesar 35,5% menjadi US$ 1.019,6 juta dengan volume
sebesar 1.163,0 ribu ton, dan kedudukannya meningkat menjadi
peringkat kedua sesudah ekspor kayu lapis. Kenaikan tersebut
V/25
TABEL V - 6
VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, l)
1983/84 - 1987/88
(Volume dalam ribu ton dan Nilai dalam juta US dollar)
a)
b)
c)
Nomor dalam kurung adalah urutan besarnya nilai ekspor pada tahun bersangkutan
Angka-angka diperbaiki
Angka-angka sementara
V/26
GRAFIK V - 3
VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK BIMI DAN 6AS ALAM CAIR,
1983/84 - 1987/88
V/27
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/28
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/29
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/30
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/31
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/32
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/33
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/34
(Lanjutan Grafik V – 3)
V/35
TABEL V - 7
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1)
1983/84 - 1987/88
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
V/36
Harga rata-rata, kecuali harga kayu dan teh (akhir bulan)
Karet RSS III, Ne w York dalam US $ sen/lb
Kopi Robusta ex Palembang, New York dalam US $
sen/lb
Minyak sawit, ex Sumatera, London dalam US $/long ton
Lada hitam ex Lampung New York dalam US $ sen/lb
Timah putih r London £/long ton
Kayu, U S L u m b e r, Tokyo dalam 1.000 Y/meter ku bik
Plywood, Tokyo dalam Y/lbr
Tea Plain, London dalam £/kg
GRAFIK V - 4
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,
1983/84 - 1987/68
V/37
(Lanjutan Grafik V – 4)
V/38
(Lanjutan Grafik V – 4)
V/39
(Lanjutan Grafik V – 4)
V/40
disebabkan oleh kenaikan harga satuan ekspor karet Indonesia
sebesar 24,0%, yang berkaitan pula dengan meningkatnya permintaan karet alam di pasaran luar negeri. Ekspor karet tahun
1987/88 baik dalam volume maupun dari segi nilainya mencapai
jumlah tertinggi selama empat tahun Repelita IV (lihat tabel
V-6) dan Amerika Serikat masih merupakan negara tujuan ekspor
utama dengan pangsa sebesar 45,0%. Negara-negara tujuan ekspor
lainnya yang penting adalah Singapura: 19,7%; RRC: 5,2%; Uni
Soviet: 3,4%; Kanada: 3,3% dan Jepang: 3,2%.
Nilai ekspor tekstil tahun 1987/88 mengalami kenaikan
yang cukup besar, yaitu sebesar 51,3% menjadi US$ 956,1 juta. Kenaikan nilai ekspor tersebut disebabkan oleh makin meningkatnya harga per satuan. Ekspor tekstil menempati urutan
ketiga sesudah kayu lapis dan karet. Ditinjau dari negara tujuan,
Amerika Serikat merupakan pembeli utama dengan pangsa
sebesar 45,6%; disusul oleh Belanda: 6,4%; Jerman Barat:
5,9%, Singapura: 5,6%; Inggeris: 4,7% dan Jepang: 3,6%.
Nilai ekspor kopi tahun 1987/88 mengalami penurunan sebesar 36,6% menjadi US$ 477,2 juta yang disebabkan oleh melimpahnya penawaran kopi di pasaran dunia karena pulihnya
produksi kopi Brazilia. Sementara itu, pada bulan Oktober
1987 dalam rangka mengatasi merosotnya harga kopi, ICO telah
kembali memberlakukan kuota ekspor terhadap negara-negara
anggotanya, diantaranya Indonesia untuk tahun kopi 1987/88
mendapat jatah 4,75% dari kuota global atau sama dengan 165,3
ribu ton. Ditinjau dari negara tujuan ekspor kppi Indonesia
yang terpenting, Jepang telah menggantikan Amerika Serikat
dengan pangsa sebesar 22,8%. Negara tujuan ekspor kopi lainnya adalah Amerika Serikat: 18,7%; Jerman Barat: 8,7% dan
Belanda: 7,8%.
Nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan alumunium
tahun 1987/88 dibandingkan dengan tahun sebelumnya menunjukkan kenaikan yang menggembirakan pula, yaitu sebesar 81,7%
menjadi US$ 670,1 juta dan menduduki tempat keempat dari seluruh ekspor di luar minyak dan gas bumi. Hal ini disebabkan
oleh kenaikan nilai ekspor emas yang sangat berarti sebesar
369,3% menjadi US$ 285,8 juta. Selain itu, ekspor nikel juga
mengalami kenaikan sebesar 30,3% menjadi US$ 1 4 5 ,7 juta.
Nilai ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya tahun
1987/88 menunjukkan kenaikan sebesar 16,3% menjadi US$ 441,4
juta. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh kenaikan volume sebesar 37,5%. Nilai ekspor udang tahun 1987/88
V/41
naik 9,9% menjadi US$ 348,1 juta dan volumenya naik sebesar
50,9%. Kenaikan volume terjadi karena semakin meningkatnya
usaha budidaya udang tambak oleh perusahaan-perusahaan yang
berskala besar. Pemasaran udang terutama ditujukan ke Jepang:
77,8%, sedang pasaran lainnya yang cukup penting adalah
Singapura: 5,4%; Hongkong: 3,6% dan Perancis: 2,6%.
Nilai ekspor kerajinan tangan menunjukkan kenaikan dari
tahun ke tahun. Nilai ekspor tahun 1987/88 naik sebesar 80,4%
menjadi US$ 256,5 juta dibandingkan dengan US$ 142,2 juta
tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan harga
dan volume dengan berhasilnya penerobosan pasar serta semakin
dikenal dan digemarinya hasil kerajinan Indonesia
di luar negeri.
Nilai ekspor aluminium tahun 1987/88 mengalami kenaikan
sebesar 20,5% menjadi US$ 242,0 juta, kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan harga sekitar 41,4% sedangkan volumenya mengalami penurunan sebesar 14,7%. Penurunan i ni disebabkan
oleh saingan yang semakin meningkat di pasaran dunia.
Nilai ekspor minyak sawit dan kelapa sawit tahun 1987/88
dibandingkan tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar
61,6% menjadi US$ 183,6 juta yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga sebesar 47,2%. Sedangkan volumenya hanya menunjukkan sedikit kenaikan yaitu sebesar 9,8%. Hal ini disebabkan karena konsumsi dalam negeri meningkat. Negara tujuan
ekspor minyak sawit adalah Belanda: 43,O%; selanjutnya berturut-turut India: 11,3 %; Inggeris: 9,4%; Italia: 8,8% dan
Kenya: 8,7%.
Ekspor rotan dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang baik. Indonesia saat ini menjadi pemasok utama di pasaran dunia. Sekitar 80% kebutuhan bahan baku rotan di dunia
diproduksi atau berasal dari Indonesia. Nilai ekspor rotan
tahun 1987/88 dibandingkan tahun 1986/87 naik sebesar 53,1%
menjadi US$ 150,8 juta. Lonjakan ini menunjukkan permintaan
rotan di pasaran internasional yang semakin meningkat yang
disebabkan oleh karena adanya larangan ekspor rotan mentah
sejak bulan Oktober 1986 dalam rangka meningkatkan nilai tambah rotan dalam negeri.
Barang-barang ekspor lainnya yang berperan cukup penting
adalah tapioka dan bahan makanan lainnya yang menunjukkan kenaikan dalam nilai sebesar 31,3% menjadi US$ 184,8 juta. Ni
lai ekspor lada naik dengan 0,1% menjadi US$ 151,8 juta, teh
V/42
naik sebesar 2,5% menjadi US$ 108,4 juta, pupuk urea naik
3,0% menjadi US$ 99,5 juta, kulit naik 21,6% menjadi US$ 54,7
juta, bungkil kopra naik 6,5 menjadi US$ 36,1 juta dan alat
listrik naik 46,7 menjadi US$ 6,6 juta. Sebaliknya nilai
ekspor semen, timah dan tembakau selama tahun 1987/88 menjalami penurunan sebesar masing-masing 1,1% menjadi US$ 46,9
juta, 8,0% menjadi US$ 143,0 juta dan 23,2% menjadi US$ 59,7
juta.
Sejalan dengan hasil-hasil kesepakatan sidang OPEC bulan
Juni 1987 di Wina, kuota produksi Indonesia sejak Pebruari
1987 mengalami penurunan 5,0% menjadi 1,133 juta barrel per
hari. Di samping itu, sejak Februari 1987 harga minyak mentah
Indonesia jenis Minas/SLC ditetapkan sebesar US$ 17,56 per
barrel sehingga dalam tahun 1987/88 harga rata -rata ekspor
minyak bumi Indonesia mengalami kenaikan dari US$ 12,50 per
barrel menjadi US$ 17,56 per barel. Walaupun volume ekspor
minyak bumi mengalami penurunan dari 383,6 juta barrel menjadi 354,9 juta barrel sebagai akibat penurunan tingkat produksi namun nilai ekspor minyak bumi meningkat sebesar 28,4%
menjadi US$ 6.159 juta yang terdiri dari minyak mentah sebesar US$ 5.029 juta dan hasil-hasil minyak sebesar US$ 1.130
juta.
Nilai ekspor gas alam cair juga menunjukkan kenaikan,
yaitu sebesar 23,7% dari US$ 2.168,0 juta dalam tahun 1986/87
menjadi US$ 2.682,0 juta pada tahun 1987/88.
Hal ini disebabkan antara lain karena kenaikan volume ekspor gas alam cair
sebesar 12,8% menjadi 894,0 juta MMBTU terutama sebagai
akibat pengiriman ekspor gas alam cair ke Korea Selatan yang
mulai berjalan secara teratur. Di samping itu harga ekspor
rata-rata meningkat dengan 7,7% dari US$ 2,73 menjadi US$ 2,94
per MMBTU akibat perbaikan harga ekspor minyak bumi. Dapat
pula ditambahkan bahwa LPG (Liquefied Petroleum Gas) merupakan komoditi baru yang memiliki prospek baik sebagai komoditi
ekspor yang potensial. LPG juga merupakan sumber energi yang
baru dalam negeri sebagai pengganti minyak tanah sehingga
akan menambah kemampuan Indonesia untuk mengekspor minyak
bumi. Selama ini nilai ekspor LPG masih relatif rendah, namun
setelah ditandatanganinya kontrak penjualan jangka panjang ke
Jepang sebesar 1,95 juta ton per tahun, maka LPG akan memberikan sumbangan yang berarti dalam usaha peningkatan ekspor.
V/43
D. IMPOR
Nilai impor (f.o.b.) secara keseluruhan selama tiga tahun
pertama Repelita IV terus mengalami penurunan dari US$ 16.304
juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 11.451 juta dalam tahun
1986/87 atau penurunan sebesar rata-rata 11,1% setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai kebijaksanaan penye suaian di dalam negeri. Dalam tahun 1987/88 terjadi kenaikan
dalam nilai impor sebesar 13,1% menjadi US$ 12.952 juta
(lihat Tabel V-4 dan Grafik V-2).
Kenaikan dalam nilai impor sektor minyak bumi sebesar
14,8% menjadi US$ 2.190 juta pada tahun 1987/88 terutama
disebabkan oleh meningkatnya nilai impor minyak mentah ringan
ALC dari US$ 350 juta menjadi US$ 464 juta. Impor sektor gas
alam cair menunjukkan penurunan sebesar 11,8% dari US$ 187
juta menjadi US$ 165 juta dalam tahun 1987/88.
Nilai impor di luar minyak dan gas bumi dalam periode
1984/85 - 1986/87
mengalami
kemunduran
sebesar
rata-rata
10,0%
setiap tahun dari US$ 12.815 juta dalam tahun 1983/84 menjadi
US$ 9.356 juta, untuk kemudian meningkat dengan 13,3% pada
tahun 1987/88 menjadi US$ 10.597 juta dibandingkan dengan
tahun sebelumnya.
Kenaikan dalam nilai impor tersebut mencerminkan dampak dari kebijaksanaan deregulasi berupa kemungkinan memperoleh bahan baku dan barang-barang modal impor dengan
harga
yang
berlaku
di luar negeri;
pembebasan
atau
kelonggaran
dari pengaturan tataniaga impor serta penurunan dari tingkat
bea
masuk.
Di
samping itu
harga satuan
dari hasil-hasil industri di pasaran luar negeri selama tahun 1987 masih terus mengalami kenaikan, yaitu sebesar 12,0%.
Atas dasar harga c.& f. nilai impor di luar minyak dan
gas bumi naik dari US$ 10.385 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 11.763 juta pada tahun 1987/88. Dari segi sumber pembiayaannya, impor dalam rangka bantuan luar negeri berada
pada tingkat yang sama yaitu sebesar US$ 2.498 juta; impor
dalam rangka penanaman modal serta pinjaman swasta dan Per usahaan Negara meningkat dengan 42,9% dari US$ 576 juta menjadi US$ 823 juta; sedangkan impor dengan devisa tunai naik
sebesar 15,5% dari US$ 7.311 juta menjadi US$ 8.442 ju ta.
Dari jumlah pembiayaan impor melalui bantuan luar negeri,
bantuan bersyarat lunak (ODA) meningkat sebesar 43,0% dari
US$ 987 juta menjadi US$ 1.411 juta sehingga peranannya dalam
nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi pun naik dari
9,5% menjadi 12,0%. Kenaikan impor dalam rangka penanaman
V/44
modal serta pinjaman swasta terutama terjadi karena meningkatnya impor oleh perusahaan Pertamina yang berkaitan dengan
pembangunan kilang gas alam cair di Badak.
Menurut golongan ekonomi dan berdasarkan pembukaan L/C
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, nilai impor (c.& f.) bahan-bahan baku dan penolong dalam tahun 1987/88 masih menduduki urutan pertama yaitu sebesar 44,2% dari keseluruhan
impor. Peranan impor barang modal meningkat dari 33,5% pada
tahun 1986/87 menjadi 34,0% dalam tahun 1987/88, sedangkan
peranan impor barang konsumsi mengalami penurunan dari 22,5%
dalam tahun 1986/87 menjadi 21,8% dalam tahun 1987/88 (lihat
Tabel V-9 serta Grafik V-5).
Nilai impor barang-barang konsumsi dalam tahun 1987/88
mengalami penurunan sebesar 3,1% dari US$ 1.738,8 juta pada
tahun 1986/87 menjadi US$ 1.684,2 juta. Impor pangan naik
sebesar
18,6%
terutama
akibat
meningkatnya impor
bahan makanan
seperti biji gandum, kedelai dan jagung sesuai dengan meningkatnya
kebutuhan
di dalam negeri.
Impor
gula pasir
yang
dalam
tahun 1986/87 berjumlah US$ 2,4 juta juga mengalami kenaikan
menjadi US$ 40,9 juta dalam tahun 1987/88 sebagai akibat
naiknya kebutuhan akan gula yang lebih pesat daripada l aju
pertumbuhan produksi dalam negeri. Selain untuk konsumsi
langsung, gula juga diperlukan bagi industri yang mengolah
bahan makanan dan minuman serta industri farmasi. Di luar
pangan, impor barang-barang konsumsi menurun sebesar 16,4%
dari US$ 1.081,0 juta menjadi US$ 903,8 juta (lihat Tabel
V-8).
Dalam tahun 1987/88 nilai impor bahan baku/penolong menurun dari US$ 3.449,3 j u ta p a da t a h un 1986/87 menjadi
US$ 3.412,0 juta atau sebesar 1,1%. Peningkatan impor yang
cukup besar terjadi untuk bahan kimia, yaitu dari US$ 541,6
juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 706,2 juta dalam tahun
1987/88, dan kapas kasar dari US$ 320,5 juta menjadi US$ 427,4
juta. Sebagai akibat dari semakin berkembangnya produksi dalam negeri bahan-bahan baku/penolong yang dapat menggantikan
impor, nilai impor besi beton dan hasil-hasil besi dan baja
lainnya menurun sebesar 25,7% dari US$ 485,4 juta dalam tahun
1986/87 menjadi US$ 360,6 juta dalam tahun 1987/88. Begitu
pula terjadi penurunan impor preparat kimia dan farmasi dari
US$ 218,2 juta menjadi US$ 211,4 juta, atau sebesar 3,1%.
Sejak tahun 1984/85 nilai impor barang modal terus me ningkat dari US$ 1.955,1 juta dalam tahun 1984/85 menjadi
V/45
TABEL V – 8
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.&F.), 1)
1983/84 – 1987/88
(dalam juta US dollar)
1)
2)
3)
V/46
Berdasarkan pembukaan L/C
Angka diperbaiki
Angka sementara
TABEL V – 9
PERKEMBANGAN IMPOR DILUAR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI, 1)
1983/84 – 1987/88
(dalam persentase)
1) Berdasarkan pembukaan L/C
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
US$ 2.620,5 juta pada tahun 1987/88 atau sebesar rata-rata
10,3% setiap tahun. Peningkatan nilai impor yang cukup besar
terjadi untuk mesin-mesin tenaga serta bis, truk dan traktor,
yaitu sebesar masing-masing US$ 59,2 juta dan US$ 10,4 juta.
Di lain pihak, nilai impor motor listrik dan transformator
telah mengalami penurunan sebesar 29,5% dari US$ 257,0 juta
menjadi US$ 181,3 juta sedang aparat penerima dan pemancar
mengalami penurunan sebesar 26,1% yaitu dari US$ 264,5 juta
menjadi US$ 195,4 juta. Peningkatan impor barang modal dalam
perkembangan impor di luar sektor minyak dan gas bumi ini mencerminkan kebutuhan untuk meningkatkan investasi dan mendorong
industri dalam negeri.
V/47
GRAFIK V – 5
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT G0LONGAN EKONOMI,
1983/84 - 1987/88
V/48
E. PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH
Pengusahaan pinjaman luar negeri pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan
kemampuan
ekonomi nasional dalam melaksanakan dan membiayai pembangunan dengan sumber-sumber yang dihasilkan di dalam negeri. Dengan demikian tetap berlaku pedoman
bahwa penggunaan pinjaman luar negeri harus menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan seperti ditentukan dalam
Repelita IV dan bahwa persyaratan pinjaman berada dalam batasbatas kemampuan neraca pembayaran.
Kemerosotan dalam penerimaan negara dan penghasilan devisa dari sektor minyak bumi serta melemahnya harga komoditi
primer
di
pasaran
internasional
selama tahun-tahun yang lampau
telah sangat mempengaruhi kemampuan baik untuk meningkatkan
dana bagi pembangunan maupun untuk mengimpor barang-barang modal serta bahan penolong yang diperlukan dan belum cukup diproduksi dalam negeri. Karena itu dana dari luar negeri masih
memegang peranan penting dalam pelaksanaan empat tahun pertama Repelita IV.
Sejak tahun pertama Repelita IV persetujuan pinjaman luar
negeri Pemerintah meningkat dari US$ 4.579,1 juta dalam tahun
1984/85 menjadi US$ 5.289,8 juta dalam tahun 1985/86 dan dalam tahun 1986/87 dan 1987/88 berturut-turut menurun menjadi
US$ 4.916,8 juta dan US$ 4.734,5 juta (lihat Tabel V-10, V-11
serta Grafik V-6). Pinjaman yang disetujui dalam tahun
1987/88 sebesar US$ 4.734,5 juta terdiri dari pinjaman lunak
sebesar US$ 3.294,3 juta atau 69,6% dari seluruh persetujuan pinjaman; pinjaman setengah lunak, dan komersial sebesar
US$ 609,9 juta atau 12,9% dan pinjaman tunai sebesar US$ 830,3
juta atau 17,5% dari seluruh persetujuan pinjaman. Persetujuan pinjaman lunak mengalami penurunan dari US$ 3.856,2 ju
ta menjadi US$ 3.294,3 juta atau sebesar 14,6%. Penurunan
tersebut terjadi karena berkurangnya bantuan proyek dari
US$ 3.808,2 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 2.304,5 juta
dalam tahun 1987/88, sedangkan untuk bantuan program terjadi
peningkatan dari US$ 48,0 juta menjadi US$ 990,0 juta.
Melonjaknya bantuan program disebabkan karena untuk pertama kalinya sejak tahun 1976/77 diusahakan jenis pinjaman yang tidak
berupa bantuan pangan ataupun terkait dengan proyek-proyek
tertentu, tetapi berupa bantuan untuk melaksanakan program
atau kebijaksanaan pembangunan di sektor tertentu. Persetu juan pinjaman bersyarat setengah lunak dan komersial yang digunakan untuk proyek naik sebesar 22,0% dari US$ 500,0 juta
pada tahun 1986/87 menjadi US$ 609,9 juta, sedang persetujuan
V/49
TABEL V - 10
PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1)
1983/84 - 1987/88
(dalam juta US dollar)
1) Angka berdasarkan komitmen
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Termasuk kredit ekspor
5) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank
V/50
TABEL V - 11
KOMPOSISI PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, l)
1983/84 - 1987/88
(nilai dalam juta uS dollar)
1) Angka berdasarkan komitmen
2) Angka diperbaiki
3) Angka sementara
4) Termasuk kredit ekspor
5) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank
V/51
GRAFIK V – 6
PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1983/84 - 1987/88
V/52
pinjaman
tunai
mengalami
peningkatan sebesar 48,1% dari
US$ 560,6 juta menjadi US$ 830,3 juta dalam tahun 1987/88.
Ditinjau dari segi sumber dana, persetujuan pinjaman lunak dalam tahun 1987/88 terdiri dari pinjaman yang diberikan
oleh Bank Dunia sebesar US$ 1.100,0 juta; Bank Pembangunan
Asia sebesar US$ 500,0 juta; Jepang sebesar US$ 606,8 juta;
Inggeris sebesar US$ 212,4 juta; Amerika Serikat dan Perancis sebesar masing-masing US$ 190,0 juta; Belanda sebesar
US$
112,9 juta;
Brunei
Darussalam
sebesar
US$ 100,0 juta; dan
negara-negara serta badan-badan lainnya sebesar US$ 282,2
juta.
Pinjaman proyek bersyarat setengah lunak dan komersial
dalam tahun 1987/88 diperoleh dari Jepang sebesar US$ 259,6
juta, Jerman Barat sebesar US$ 82,0 juta, Belanda sebesar
Us$ 59,1 juta, Finlandia sebesar US$ 50,0 juta, Inggeris sebesar US$ 49,2 juta, Amerika serikat sebesar US$ 39,7 juta;
dan negara-negara lainnya sebesar US$ 70,3 juta (lihat Tabel
V-12).
Dalam mengusahakan pinjaman luar negeri, Pemerintah tetap
berpegang pada kebijaksanaan pengendalian hutang-hutang luar
negeri dengan menjaga agar perbandingan pelunasan angsuran
dan pembayaran bunga pinjaman terhadap penghasilan devisa dari ekspor berkembang pada tingkat yang cukup aman di dalam
kondisi perekonomian secara keseluruhan.
Pelunasan hutang-hutang luar negeri Pemerintah dalam tahun 1983/84 berjumlah US$ 2.188 juta dan meningkat dengan
rata-rata 25,8% setiap tahunnya sehingga mencapai US$ 5.421
juta pada tahun 1987/88 (lihat Tabel V-13).
Pelunasan angsuran pokok hutang-hutang mengalami kenaikan sebesar rata-rata
31,8% dari US$ 1.010 juta menjadi US$ 3.049 juta. Pembayaran
bunga dalam tahun 1983/84 adalah sebesar US$ 1.178 juta dan
dalam tahun 1987/88 menjadi US$ 2.372 juta atau kenaikan sebesar rata-rata 19,1%.
Dalam pada itu, kemampuan untuk membayar kembali hutang,
yang dicerminkan oleh penerimaan ekspor menunjukkan arah perkembangan yang sebaliknya. Dalam tahun 1983/84 nilai ekspor
bruto berjumlah US$ 19.816 juta dan hingga tahun 1986/87
menurun dengan rata-rata 11,6% setiap tahun. Kemunduran tersebut disebabkan oleh kemerosotan dalam nilai ekspor minyak
dan gas bumi sebesar rata-rata 21,6% setiap tahunnya dalam
periode yang sama. Nilai ekspor kembali meningkat sebesar
V/53
TABEL V – 12
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1983/84 - 1987/88
(dalam juta U S d ol l ar )
1) Angka sementara
2) termasuk kredit ekspor
3) Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank
V/54
TABEL V - 13
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1983/84 - 1987/88
(dalam juta U S dollar)
Pelunasan 1)
Tahun
Nilai Ekspor 2)
Pinjaman
(% dari nilai
Ekspor)
1983/84
2.188
19.816
(11,0)
1984/85
2.684
19.901
(13,5)
1985/86
3.270
18.612
(17,6)
1986/87
4.149
13 .6 97
(30,3)
5.421
18.343
(29,6)
1987/88
1)
2)
3)
3)
Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah
Termasuk ekspor minyak bumi dan g a s
alam cair ( L N G ) at as dasar bruto
Angka sementara
33,9% dalam tahun 1987/88 dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
tetapi masih berada di bawah nilai ekspor tahun 1985/86.
Meningkatnya
beban
pelunasan
hutsng-hutang
yang
dibarengi
dengan
menurunnya
nilai
ekspor
telah
menyebabkan
kenaikan
perbandingan
antara
jumlah
pelunasan
pinjaman
luar
negeri
terhadap nilai ekspor dengan laju yang amat pesat,
yaitu sebesar berturut-turut 11,0%; 13,5%; 17,6% dan 30,3% dari tahun
V/55
1983/84 hingga tahun 1986/87. Perkembangan yang cukup meresahkan ini dapat dihentikan dalam tahun 1987/88 berkat kenaikan nilai ekspor sebesar 33,9% yang melebihi peningkatan
dalam jumlah pelunasan pinjaman sebesar 30,7%, terdiri dari
17,4% kenaikan dalam pembayaran bunga dan 43,2% kenaikan dalam
pelunasan pokok pinjaman. Adapun posisi hutang luar negeri
Pemerintah pada akhir bulan Maret 1988 berjumlah US$ 38.386
juta atau meningkat sebesar 15,7% dibandingkan dengan posisi
pada akhir bulan Maret 1987 sebesar US$ 33.168 juta.
Di tengah suasana kelesuan dan ketidakpastian perekonomian dunia yang juga masih dilanda oleh berbagai tindakan
proteksionisme yang mengancam keterbukaan pasaran bagi ekspor
negara-negara berkembang, rangkaian langkah yang ditempuh guna
menghadapi berkurangnya peranan sektor minyak dan gas bumi,
telah
menunjukkan
dampaknya
pada
perkembangan
neraca
pembayaran Indonesia selama tahun 1987/88. Defisit transaksi
berjalan yang dapat dikurangi dari US$ 4.051 juta menjadi
US$ 1.707 juta; kenaikan dalam cadangan devisa sebesar
US$ 1.585 juta serta perbandingan antara jumlah pelunasan
pinjaman luar negeri terhadap nilai ekspor yang berkurang
dari 30,3% menjadi 29,6% merupakan indikator perbaikan posisi
neraca pembayaran. Walaupun demikian, tetap diperlukan pengamatan yang cermat terhadap perkembangan ekonomi dunia agar
kebijaksanaan yang telah ditempuh dapat dilanjutkan dan disesuaikan pada waktu yang tepat.
V/56
Download