BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, penulis akan menyebutkan dan menjelaskan tentang teori-teori dan metode yang akan digunakan sebagai alat penyajian dalam penelitian Gangnam Style ini. Dalam teorinya, terdapat 2 teori yang akan digunakan dalam membantu dalam penelitian ini, yang pertama adalah teori komunikasi lintas budaya, dan yang kedua adalah teori budaya populer, karena merupakan budaya yang melintas antar negara dan mempopuler. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode semiotika dengan tokohnya adalah Roland Barthes dan Umberto Eco, karena berhubungan dengan media massa dan budaya. 2.1. Komunikasi Lintas Budaya Menurut Samovar (2010), komunikasi lintas budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan yang harus dimengerti, dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain. Definisi lain diberikan oleh Liliweri (2003), bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi apabila terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi. Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa komunikasi lintas budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu budaya yang satu kepada budaya yang lain dan sebaliknya, hal ini bisa antar dua kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi satu sama lain, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk menghancurkan suatu kebudayaan, atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang menghasilkan kebudayaan yang baru). 12 Menurut Deddy Mulyana (1993), hubungan antara budaya dan komunikasi penting dipahami untuk mahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Komunikasi antar budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan beda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan (Mulyana, 1993). Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, bahwa „komunikasi adalah budaya‟ dan „budaya adalah komunikasi‟. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsepkonsep tentang “kebudayaan” dan “komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta saling ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti apabila disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah dalam suatu kelompok kebudayaan tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith, seperti yang dikutip oleh Lusiana (2002), menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut: 13 “Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus dipelajari dan dimiliki bersama.” Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif, perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat. Di satu pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilainilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubunganhubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung. Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsurunsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari individu-individu sebagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa, mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Liliweri (2003), kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia dan perilaku itu merupakan hasil persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola 14 karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek komunikasi yang berbeda pula. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa karakteristik atau ciri-ciri dari komunikasi lintas budaya, adalah antara lain : a) Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi, b) Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi itu, c) Komunikasi lintas budaya menghasilkan kuntungan dan kerugian di antara dua budaya atau lebih yang terlibat, d) Komunikasi lintas budaya yang dijalin dewasa ini, baik secara individu maupun secara berkelompok, dapat dilakukan melalui media, e) Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan feedback. Hal ini tergantung kepada penafsiran dan penerimaan masyarakat dari sebuah kebudayaan yang terlibat, mau dipengaruhi atau tidak, f) Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin maka akan menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut akulturasi. Karena Gangnam Style tidak memiliki hambatan dalam melintasnya budaya baru ke seluruh dunia dengan pembuktian popularitasnya yang sangat pesat dan dapat diterima baik oleh masyarakat, maka teori komunikasi lintas budaya ini sesuai dengan pokok penelitian tentang Gangnam Style ini. Gangnam Style dianggap sukses dalam mengkomunikasian budaya kreatif Korea ke negaranegara di luar negara Korea, dengan pembuktian Gangnam Style sampai menembus Amerika dan Eropa. 2.2 Budaya Populer Budaya populer terdiri dari kata “budaya” dan “pop”. Menurut Williams (1983), mengenai “budaya” sebagai berikut: Pertama, budaya dapat diartikan suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua, 15 budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Ketiga, budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktifitas artistik. Kata “pop” diambil dari kata populer dan karakteristik budaya populer sebagai berikut: 1. Banyak disukai orang 2. Jenis kerja rendahan 3. Karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang 4. Budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. Ada satu titik awal yang menyatakan bahwa budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya tertinggal (rendah), budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain, budaya pop didefinisikkan sebagai budaya ”substandar”, yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya. Storey (2007), menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi "budaya massa", beliau juga menyamakan budaya pop dengan budaya massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika, atau "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat". Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop 16 arus utama begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat. Pierre Bourdieau (1984), pernah mengatakan bahwa perbedaan budaya seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan kelas. ”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah ”kelas” dalam hal ini diposisikan dalam arti ganda, yaitu kategori sosial ekonomi dan tingkat kualitas tertentu). Beliau menyebut satu contoh, ”konsumsi budaya”, baginya konsumsi budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial. Pembatasan ini didukung oleh pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh karena itu budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan estetis yang lebih, sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikannya. Singkatnya, budaya populer adalah gaya, ide, perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama. Banyak dipengaruhi oleh media massa dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya bahasa setempat, kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Pada tingkat rendah, kapitalisme global ala neo liberal membentuk gaya hidup baru manusia yang diciptakan melalui tren. Kombinasi antara media massa, citra, dan belanja secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme merupakan kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya dengan produk atau jasa yang mereka konsumsi, khususnya mereka dengan nama-nama merek komersial dan daya tarik meningkatkan status (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), misalnya sebuah mobil mahal dan HP. Ini adalah istilah yang kebanyakan disangkal orang dengan memberi beberapa alasan yang lebih spesifik atau alasan untuk mengkonsumsi dibandingkan dengan mereka yang „dipaksa‟ untuk mengkonsumsi. Sifat produk-produk budaya popular sebagai berikut (Ibrahim, 2007): 17 1. Artificial, merujuk kepada sesuatu yang tidak alami, melainkan dibuat atau diproduksi oleh manusia. Artificial memiliki makna dan konotasi meluas, seperti: pemanis buatan; bunga buatan; dan lain-lain. 2. Sintetik, sering menyiratkan penggunaan proses kimia untuk menghasilkan suatu zat yang akan terlihat atau fungsi seperti yang asli, sering kali dengan keunggulan tertentu: karet sintetis, kain sintetis. 3. Semu (ersatz) adalah imitasi transparan yang inferior, contoh: kopi ersat, bulu ersat. 4. Simulasi, sering merujuk kepada pengganti palsu atau imitasi dari suatu zat lebih mahal, seperti: berlian simulasi. Perkembangan budaya populer pada masyarakat Indonesia, disini saya artikan sebagai globalisasi. Globalisasi merupakan suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan, misalnya: 1. Hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara, 2. Terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan patriotism, 3. Hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong, 4. Kehilangan kepercayaan diri, gaya hidup kebarat-baratan. Adanya globalisasi menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya, terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa. 18 Budaya populer diproduksi dengan maksud untuk dikomersilkan dan tujuannya hanya satu, yaitu untuk meraup keuntungan sebanyak banyaknya. Ini merupakan salah satu tujuan dari mempopulerkan budaya kreatif Gangnam Style yang akan diteliti dalam penelitian ini. Jelas terbukti sang rapper, PSY, meraup keuntungan yang berlimpah, ini dibuktikan pada pemberian hadiah kepada koreografernya, sang pencipta tarian Gangnam Style adalah sebuah mobil mewah dan juga membiayai seluruh kebutuhan pernikahan kepada menejernya yang telah berjasa padanya. Gangnam Style juga turut menurunkan nilai pada tarian berkudanya yang sebenarnya berkuda berasal dari Amerika dan sangat berkelas, namun dengan diproduksinya industri ini semua orang dapat menarikan gerakan Gangnam style dalam pandangan berkelas atau tidak. Disini, Korea Selatan mengadopsi budaya Amerika yaitu berkuda dan dibuat suatu fenomena tarian, kemudian Negara Amerika sendiri mengikuti gerakan Gangnam Style yang sebenarnya itu berasal dari Amerika diturunkan nilainya oleh negara lain kemudian diadopsi balik oleh Negara Amerika tersebut. Karena mungkin terlihat santai, lucu, dan menghibur sehingga gerakan Gangnam Style dapat diterima oleh seluruh dunia. 2.3 Semiotika Pada dasarnya, konsep utama semiotika mencakup tiga elemen dasar yang dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu: a. Tanda (sign), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam Style pada masyarakat. Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata, yaitu gerakan Gangnam Style itu sendiri. Tanda adalah arti yang statis, lugas, umum, dan obyektif. b. Lambang (symbol), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam Style pada masyarakat. Pemahaman masalah lambang akan mencakup penanda (gerakan), dan petanda (lagu). Penanda adalah yang menandai sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan dengan realitas kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut 19 Ferdinand de Saussure yang ditulis oleh Sudjiman dan Van Zoest (1996), tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu: Signifier (sound image), tanda atau penanda, merupakan bunyi dari tanda atau kata. Signified (concept), makna atau petanda, merupakan suatu konsep atau makna dari tanda tersebut. Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda “mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan bertujuan untuk menyatakan maksud (Sudjiman dan Zoest, 1996). c. Isyarat (signal), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam Style pada masyarakat. PSY memberikan isyarat terhadap gerakan Gangnam Style tersebut sesuai dengan isi cerita dari video musik yang dilakukan oleh PSY. Sehingga bila teliti antara isi cerita, kata–kata, dan gerakan Gangnam Style itu sendiri saling berhubungan sebagai sebuah struktur, namun tidak semua konsumennya dapat menerima sesuai isyarat yang disampaikan oleh PSY. d. Ikon (icon), di dalam ikonik Gangnam Style ini sendiri adalah PSY sendiri yaitu sang penyanyi dan tokoh yang menarikan gerakan Gangnam Style. PSY sudah menjadi ikon yang mendunia, dimana ada PSY, masyarakat akan mengintepretasikan sudut pandang mereka kalau PSY berarti Gangnam Style beserta lagunya yang sangat bersifat ikonik. e. Indeks (index), merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. f. Simbol (symbol), merupakan bentuk tanda yang terjadi karena hasil konsensus dari para pengagum Gangnam Style, bahwa gerakan tersebut menyimbolkan seperti gerakan berkuda. Namun apakah yang 20 dimaksudkan oleh PSY akan sama maknanya terhadap masyarakat yang menerima simbol tersebut. Tanda-tanda Tubuh: - Sinyal Ada dua jenis sinyal tubuh, sadar (dipancarkan dengan sengaja) atau tidak sadar (dipancarkan secara naluriah oleh tubuh). Penggunaan sinyal sadar untuk tujuan yang disengaja dalam lingkup yang sangat luas seperti mengangguk, mengedip, melirik, melihat, menyenggol, menendang, mengangkat kepala dan seterusnya. Sinyal demikian bertindak sebagai pengatur, menggubah atau melarang sebuah tindakan atau reaksi. - Ekspresi wajah Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tidak sadar. Wajah dipandang sebagai tanda diri, dimana kita mengevaluasi kepribadian orang berdasarkan penampilan wajah dan menilai kecantikan atau tiadanya kecantikan seseorang berdasarkan bagaimana orang itu terlihat. Wajah yang dikonstruksi secara seksual adalah ciri dari fenomena representasi diri. Persepsi atas wajah sebagai penyedia keberadaan diri atau personal. Persepsi bahwa wajah adalah tanda yang merepresentasikan orang di baliknya merupakan ekspresi konotatif yang banyak digunakan manusia. Persepsi ini mendasari praktik pembuatan potret diri. Potret diri merupakan representasi visual subjek yang menampilkan wajahnya, berdasarkan gambaran pelukis, secara tipikal ditafsirkan oleh mereka yang melihatnya sebagai penanda diri. Sebuah tanda yang dalam tafsiran kita mengungkapkan sifat, status sosial, profesi, dan seterusnya, dari subjek. Potret adalah alat untuk memeriksa sifat manusia. - Kontak mata Kontak mata yang bersifat tak sadar merupakan sebuah proses biologis seperti yang terjadi pada spesies lain selain manusia. Dalam kebudayaan 21 manusia pola kontak mata mencerminkan makna kultural dan sesuai dengan pola interaksi sosial. Pola “melihat” mengutarakan makna-makna spesifik dalam konteks spesifik. Misalnya, memandang ditafsirkan sebagai indikasi ketakjuban seksual, perasaan terpukau, terpana atau kagum. - Bahasa tubuh Bahasa tubuh adalah istilah umum yang digunakan untuk mengindikasikan komunikasi melalui isyarat, postur, dan sinyal serta tanda tubuh lainnya baik yang sadar maupun tidak. Bahasa tubuh mengkomunikasikan informasi tak terucapkan mengenai identitas, hubungan dan pikiran seseorang, juga suasana hati, motivasi dan sikap. - Sinyal Kinesi Sinyal kinesi dapat bersifat bawaan (tak sadar) contohnya mengejapkan mata dan wajah memerah, dipelajari (sadar) contohnya isyarat seperti kedipan mata dan acungan jempol, atau campuran keduanya yaitu ketika tertawa, menangis dan mengangkat bahu. Tanda kinesis juga mengatur cara orang berperilaku dalam situasi sosial tertentu sehingga tanda-tanda semacam itu akan berbeda di berbagai budaya. - Sentuhan Studi tentang sentuhan diberi nama haptik. Pemberian salam melalui jabatan tangan merupakan contoh tepat dari perilaku sosial yang diatur oleh kode taktil (sentuhan), yang artinya, kode yang mengatur pola sentuhan dalam situasi antarpribadi. Dimana kulit manusia merupakan zona privasi yang mendefinisikan ruang diri dalam budaya-budaya ini mencakup pakaian yang menutupi kulit. - Isyarat Isyarat dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penggunaan tangan, lengan dan kadang-kadang kepala untuk membuat tanda. Isyarat yang 22 dimiliki hewan bersifat terbatas tetapi isyarat manusia bersifat produktif dan bervariasi. Banyak pakar semiotik dan linguistik menganggap isyarat sebagai sebentuk komunikasi yang lebih mendasar daripada bahasa vokal.Telah berkembang “bahasa gerakan” untuk individu yang memiliki gangguan pendengaran atau gangguan bicara. Bahasa ini biasa dikenal denga bahasa isyarat (sign language), sedangkan istilah tanda (sign) disini digunakan sebagai sinonim untuk isyarat (gesture). 2.4 Teori Semiotika Roland Barthes dan Umberto Eco a) Teori Semiotika Roland Barthes Beliau adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika strukturalisme komunikasi memberikan strukturalisme, perhatian untuk pendekatan menyusun karya makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003). Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology (2009) menjelaskan bahwa sistem signifikan tanda terdiri atas relasi (R=Relation) antara tanda (E=Expression) dan maknanya (C=Content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem metabahasa tehadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif. 23 Barthes melontarkan konsep tentang dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi sebagai kunci dari analisisnya. 1. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. 2. Pada sistem konotasi atas sistem penandaan tingkat kedua rantai penanda atau petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign). Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua - hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Sobur, 2003). Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat. Mitos mungkin hidup dalam „gosip‟ kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos (Van Zoest, 1991) - Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos. Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan 24 sebuah cara pemaknaan. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada di sekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya, sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain. Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Beliau menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan”, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan - apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. b) Teori Semiotika Umberto Eco Menurut pandangan Umberto Eco, secara etimologis kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat diangggap mewakili sesuatu yang lain. Secara terminologis, semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang mempunyai sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2003). Beliau mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong, meski terkesan bermain-main dan tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apapun yang kita inginkan melalui tanda-tanda dan dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan 25 (Danesi, 2010). Eco mengatakan bahwa, pada prinsipnya semiotika adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta. Definisi ini meskipun agak aneh secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika. Menurut Eco, tanda dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus juga untuk menyatakan suatu kebohongan. Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah suatu disiplin yang mempelajari apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran (Hoed, 2011). Umberto Eco melihat semiotika penting untuk memahami berbagai gejala dalam kebudayaan. Beliau mengemukakan bahwa kebudayaan adalah “supra-individual principle” yang mengatur manusia dalam suatu masyarakat dan terkadang berbenturan dengan “individual autonomy” yang ada pada manusia. Di samping itu, beliau juga mengemukakan bahwa kebudayaan harus dilihat sebagai suatu sistem tanda dan tanda adalah gejala budaya. Dalam menerapkan teori semiotik untuk memahami kebudayaan, ia membagi semiotik menjadi dua jenis, yakni semiotik signifikasi (mengakaji pemaknaan tanda dari segi pemahamannya) dan semiotik komunikasi (mengkaji pemaknaan tanda dari segi interaksi antara pengirim dan penerima) (Hoed, 2010:48). Eco mengatakan bahwa proses pemaknaan tanda (semiosis), yang oleh Pierce dinyatakan sebagai tak terbatas (unlimited semiosis), sangat tergantung dengan sejauh mana “otonomi individual” yakni nilai-nilai dan norma dalam kebudayaan yang 26 menguasai tingkah laku manusia. Pada saat otonomi individual dikalahkan dan tunduk pada prinsip-prinsip supra-individual, berakhirlah proses semiosis (khususnya proses interpretan). Dari sini dapat dipahami bahwa bagaimana manusia sebagai pemberi makna dan penafsir tanda berinteraksi dengan lingkungan sosial budayanya (Hoed, 2010:91). Eco mengemukakan bahwa makna adalah sebuah satuan budaya (cultural unit) dan bahwa setiap pola makna merupakan hasil konvensi dalam kebudayaan manusia. Eco yang mengutip Pierce “A sign is something by knowing which we know something more”, berpendapat bahwa suatu tanda (yang disebutnya teks) adalah sebuah opera aperta (karya yang terbuka). Ini berarti bahwa setiap tanda, yang merupakan bagian kebudayaan suatu masyarakat, selalu terbuka untuk mengalami proses semiosis tidak terbatas. Suatu tanda dapat dipahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap orang pada tempat dan waktu yang berbeda, atau bahkan oleh orang yang sama pada tempat dan waktu yang berbeda (Hoed, 2010: 244). 27