Popularitas Gangnam Style (Studi Pesan Terhadap Kepopuleran

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini, penulis akan menyebutkan dan menjelaskan tentang teori-teori
dan metode yang akan digunakan sebagai alat penyajian dalam penelitian
Gangnam Style ini. Dalam teorinya, terdapat 2 teori yang akan digunakan dalam
membantu dalam penelitian ini, yang pertama adalah teori komunikasi lintas
budaya, dan yang kedua adalah teori budaya populer, karena merupakan budaya
yang melintas antar negara dan mempopuler. Sedangkan metode yang digunakan
adalah metode semiotika dengan tokohnya adalah Roland Barthes dan Umberto
Eco, karena berhubungan dengan media massa dan budaya.
2.1. Komunikasi Lintas Budaya
Menurut
Samovar
(2010),
komunikasi
lintas
budaya
(intercultural
communication) terjadi apabila sebuah pesan yang harus dimengerti, dihasilkan
oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain.
Definisi lain diberikan oleh Liliweri (2003), bahwa proses komunikasi antar
budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang
dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antarbudaya
(intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi
apabila terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang
melaksanakan proses komunikasi.
Dari pernyataan-pernyataan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
komunikasi lintas budaya adalah proses dimana dialihkan ide atau gagasan suatu
budaya yang satu kepada budaya yang lain dan sebaliknya, hal ini bisa antar dua
kebudayaan yang terkait ataupun lebih, tujuannya untuk saling mempengaruhi
satu sama lain, baik itu untuk kebaikan sebuah kebudayaan maupun untuk
menghancurkan suatu kebudayaan, atau bisa jadi sebagai tahap awal dari proses
akulturasi (penggabungan dua kebudayaan atau lebih yang menghasilkan
kebudayaan yang baru).
12
Menurut Deddy Mulyana (1993), hubungan antara budaya dan komunikasi
penting dipahami untuk mahami komunikasi antar budaya, oleh karena melalui
pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Komunikasi antar
budaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima
pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita
segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi dimana
suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya
lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi.
Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang
berbeda budaya akan beda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan
(Mulyana, 1993).
Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua
sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada
gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau
mewariskan budaya, bahwa „komunikasi adalah budaya‟ dan „budaya adalah
komunikasi‟. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk
mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari
suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu
generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma-norma
(komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.
Unsur pokok yang mendasari proses komunikasi antar budaya ialah konsepkonsep tentang “kebudayaan” dan “komunikasi”. Hal ini pun digarisbawahi
bahwa pengertian tentang komunikasi antar budaya memerlukan suatu
pemahaman tentang konsep-konsep komunikasi dan kebudayaan serta saling
ketergantungan antara keduanya. Saling ketergantungan ini terbukti apabila
disadari bahwa pola-pola komunikasi yang khas dapat berkembang atau berubah
dalam suatu kelompok kebudayaan tertentu. Kesamaan tingkah laku antara satu
generasi dengan generasi berikutnya hanya dimungkinkan berkat digunakannya
sarana-sarana komunikasi. Sementara Smith, seperti yang dikutip oleh Lusiana
(2002), menerangkan hubungan yang tidak terpisahkan antara komunikasi dan
kebudayaan yang kurang lebih sebagai berikut:
13
“Kebudayaan merupakan suatu kode atau kumpulan peraturan
yang dipelajari dan dimiliki bersama; untuk mempelajari dan
memiliki bersama diperlukan komunikasi, sedangkan komunikasi
memerlukan kode-kode dan lambang-lambang yang harus
dipelajari dan dimiliki bersama.”
Hubungan antara individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling
menentukan. Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas
komunikasi para individu anggotanya. Secara kolektif, perilaku mereka secara
bersama-sama menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus
dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari unit. Maka jelas bahwa
antara komunikasi dan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat. Di satu
pihak, jika bukan karena kemampuan manusia untuk menciptakan bahasa
simbolik, tidak dapat dikembangkan pengetahuan, makna, simbol-simbol, nilainilai, aturan-aturan dan tata, yang memberi batasan dan bentuk pada hubunganhubungan, organisasi-organisasi dan masyarakat yang terus berlangsung.
Demikian pula, tanpa komunikasi tidak mungkin untuk mewariskan unsurunsur kebudayaan dari satu generasi kegenerasi berikutnya, serta dari satu tempat
ke tempat lainnya. Komunikasi juga merupakan sarana yang dapat menjadikan
individu sadar dan menyesuaikan diri dengan subbudaya-subbudaya dan
kebudayaan-kebudayaan asing yang dihadapinya. Tepat kiranya jika dikatakan
bahwa kebudayaan dirumuskan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui
komunikasi. Sebaliknya, pola-pola berpikir, berperilaku, kerangka acuan dari
individu-individu sebagian terbesar merupakan hasil penyesuaian diri dengan
cara-cara khusus yang diatur dan dituntut oleh sistem sosial dimana mereka
berada. Kebudayaan tidak saja menentukan siapa dapat berbicara dengan siapa,
mengenai apa dan bagaimana komunikasi sebagainya berlangsung, tetapi juga
menentukan cara mengkode atau menyandi pesan atau makna yang dilekatkan
pada pesan dan dalam kondisi bagaimana macam-macam pesan dapat dikirimkan
dan ditafsirkan. Singkatnya, keseluruhan prilaku komunikasi individu terutama
tergantung pada kebudayaanya. Karena itulah, menurut Liliweri (2003),
kebudayaan dibentuk oleh perilaku manusia dan perilaku itu merupakan hasil
persepsi manusia terhadap dunia. Perilaku tersebut merupakan perilaku terpola
14
karena tampilannya berulang-ulang sehingga diterima sebagai pola-pola budaya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan pondasi atau landasan bagi
komunikasi. Kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan praktek-praktek
komunikasi yang berbeda pula.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa karakteristik atau ciri-ciri dari
komunikasi lintas budaya, adalah antara lain :
a) Ada dua atau lebih kebudayaan yang terlibat dalam komunikasi,
b) Ada jalan atau tujuan yang sama yang akhirnya menciptakan komunikasi
itu,
c) Komunikasi lintas budaya menghasilkan kuntungan dan kerugian di antara
dua budaya atau lebih yang terlibat,
d) Komunikasi lintas budaya yang dijalin dewasa ini, baik secara individu
maupun secara berkelompok, dapat dilakukan melalui media,
e) Tidak semua komunikasi lintas budaya menghasilkan feedback. Hal ini
tergantung kepada penafsiran dan penerimaan masyarakat dari sebuah
kebudayaan yang terlibat, mau dipengaruhi atau tidak,
f) Bila dua kebudayaan melebur karena pengaruh komunikasi yang dijalin
maka akan menghasilkan kebudayaan baru, dan inilah yang disebut
akulturasi.
Karena Gangnam Style tidak memiliki hambatan dalam melintasnya budaya
baru ke seluruh dunia dengan pembuktian popularitasnya yang sangat pesat dan
dapat diterima baik oleh masyarakat, maka teori komunikasi lintas budaya ini
sesuai dengan pokok penelitian tentang Gangnam Style ini. Gangnam Style
dianggap sukses dalam mengkomunikasian budaya kreatif Korea ke negaranegara di luar negara Korea, dengan pembuktian Gangnam Style sampai
menembus Amerika dan Eropa.
2.2 Budaya Populer
Budaya populer terdiri dari kata “budaya” dan “pop”. Menurut Williams
(1983), mengenai “budaya” sebagai berikut: Pertama, budaya dapat diartikan
suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua,
15
budaya berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok
tertentu. Ketiga, budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual,
terutama aktifitas artistik. Kata “pop” diambil dari kata populer dan karakteristik
budaya populer sebagai berikut:
1. Banyak disukai orang
2. Jenis kerja rendahan
3. Karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang
4. Budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri
Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop kita perlu mengkombinasikan dua
istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. Ada satu titik awal yang menyatakan bahwa
budaya pop itu memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang.
Kedua, untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan
budaya tertinggal (rendah), budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori
residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi persyaratan
budaya tinggi. Dengan kata lain, budaya pop didefinisikkan sebagai budaya
”substandar”, yang diuji oleh budaya pop meliputi seperangkat pertimbangan nilai
teks atau praktik budayanya.
Storey (2007), menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi
akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi
"budaya massa", beliau juga menyamakan budaya pop dengan budaya massa. Hal
ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa.
Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika,
atau "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "autentik" masyarakat.
Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan
"masyarakat". Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai
tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan mewakili suatu perspektif
interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi
masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa
arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu
subkultur yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop
16
arus utama begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop
sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.
Pierre Bourdieau (1984), pernah mengatakan bahwa perbedaan budaya
seringkali dimanfaatkan untuk memperlebar dan memelihara perbedaan kelas.
”Selera” misalnya, bisa disebut sebagai sebuah kategori ideologis yang
difungsikan sebagai ciri ”kelas” (pemakaian istilah ”kelas” dalam hal ini
diposisikan dalam arti ganda, yaitu kategori sosial ekonomi dan tingkat kualitas
tertentu). Beliau menyebut satu contoh, ”konsumsi budaya”, baginya konsumsi
budaya sudah ditentukan, sadar dan disengaja, atau tidak untuk tujuan memenuhi
fungsi sosial pengabsahan perbedaan sosial. Pembatasan ini didukung oleh
pernyataan bahwa budaya pop adalah budaya komersial dampak dari produksi
massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu. Oleh
karena itu budaya tinggi adalah budaya yang mendapatkan penerimaan moral dan
estetis yang lebih, sementara budaya pop malah mendapatkan pengawasan secara
sosiologis untuk mengendalikan sedikit yang bisa diberikannya.
Singkatnya, budaya populer adalah gaya, ide, perspektif, dan sikap yang
benar-benar berbeda dengan budaya arus utama. Banyak dipengaruhi oleh media
massa dan dihidupkan terus-menerus oleh berbagai budaya bahasa setempat,
kumpulan ide tersebut menembus dalam keseharian masyarakat. Pada tingkat
rendah, kapitalisme global ala neo liberal membentuk gaya hidup baru manusia
yang diciptakan melalui tren. Kombinasi antara media massa, citra, dan belanja
secara bersamaan membentuk gaya hidup konsumerisme. Konsumerisme
merupakan kecenderungan orang untuk mengidentifikasi dirinya dengan produk
atau jasa yang mereka konsumsi, khususnya mereka dengan nama-nama merek
komersial dan daya tarik meningkatkan status (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
2008), misalnya sebuah mobil mahal dan HP. Ini adalah istilah yang kebanyakan
disangkal orang dengan memberi beberapa alasan yang lebih spesifik atau alasan
untuk mengkonsumsi dibandingkan dengan mereka yang „dipaksa‟ untuk
mengkonsumsi.
Sifat produk-produk budaya popular sebagai berikut (Ibrahim, 2007):
17
1. Artificial, merujuk kepada sesuatu yang tidak alami, melainkan dibuat
atau diproduksi oleh manusia. Artificial memiliki makna dan konotasi
meluas, seperti: pemanis buatan; bunga buatan; dan lain-lain.
2. Sintetik, sering menyiratkan penggunaan proses kimia untuk
menghasilkan suatu zat yang akan terlihat atau fungsi seperti yang
asli, sering kali dengan keunggulan tertentu: karet sintetis, kain
sintetis.
3. Semu (ersatz) adalah imitasi transparan yang inferior, contoh: kopi
ersat, bulu ersat.
4. Simulasi, sering merujuk kepada pengganti palsu atau imitasi dari
suatu zat lebih mahal, seperti: berlian simulasi.
Perkembangan budaya populer pada masyarakat Indonesia, disini saya artikan
sebagai globalisasi. Globalisasi merupakan suatu fenomena khusus dalam
peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan
bagian dari proses manusia global itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008).
Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi
proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan.
Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus
dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan
kehidupan.
Dalam perkembangannya globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam
bidang kebudayaan, misalnya:
1. Hilangnya budaya asli suatu daerah atau suatu negara,
2. Terjadinya erosi nilai-nilai budaya, menurunnya rasa nasionalisme dan
patriotism,
3. Hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong,
4. Kehilangan kepercayaan diri, gaya hidup kebarat-baratan.
Adanya globalisasi menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi
kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap
kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya,
terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa.
18
Budaya populer diproduksi dengan maksud untuk dikomersilkan dan
tujuannya hanya satu, yaitu untuk meraup keuntungan sebanyak banyaknya. Ini
merupakan salah satu tujuan dari mempopulerkan budaya kreatif Gangnam Style
yang akan diteliti dalam penelitian ini. Jelas terbukti sang rapper, PSY, meraup
keuntungan yang berlimpah, ini dibuktikan pada pemberian hadiah kepada
koreografernya, sang pencipta tarian Gangnam Style adalah sebuah mobil mewah
dan juga membiayai seluruh kebutuhan pernikahan kepada menejernya yang telah
berjasa padanya. Gangnam Style juga turut menurunkan nilai pada tarian
berkudanya yang sebenarnya berkuda berasal dari Amerika dan sangat berkelas,
namun dengan diproduksinya industri ini semua orang dapat menarikan gerakan
Gangnam style dalam pandangan berkelas atau tidak. Disini, Korea Selatan
mengadopsi budaya Amerika yaitu berkuda dan dibuat suatu fenomena tarian,
kemudian Negara Amerika sendiri mengikuti gerakan Gangnam Style yang
sebenarnya itu berasal dari Amerika diturunkan nilainya oleh negara lain
kemudian diadopsi balik oleh Negara Amerika tersebut. Karena mungkin terlihat
santai, lucu, dan menghibur sehingga gerakan Gangnam Style dapat diterima oleh
seluruh dunia.
2.3 Semiotika
Pada dasarnya, konsep utama semiotika mencakup tiga elemen dasar yang
dapat digunakan untuk melakukan intepretasi tanda, yaitu:
a. Tanda (sign), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam Style
pada masyarakat. Tanda selalu menunjukkan kepada suatu hal yang nyata,
yaitu gerakan Gangnam Style itu sendiri. Tanda adalah arti yang statis,
lugas, umum, dan obyektif.
b. Lambang (symbol), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam
Style pada masyarakat. Pemahaman masalah lambang akan mencakup
penanda (gerakan), dan petanda (lagu). Penanda adalah yang menandai
sesuatu yang tidak seorang pun manusia yang sanggup berhubungan
dengan realitas kecuali dengan perantara bernacam tanda. Menurut
19
Ferdinand de Saussure yang ditulis oleh Sudjiman dan Van Zoest (1996),
tanda atau lambang mempunyai entitas, yaitu:

Signifier (sound image), tanda atau penanda, merupakan bunyi dari
tanda atau kata.

Signified (concept), makna atau petanda, merupakan suatu konsep
atau makna dari tanda tersebut.
Hubungan antara signifier dan signified menurut Saussure bersifat
arbitrary, yang berarti tidak ada hubungan yang logis. Menurutnya, tanda
“mengekspresikan” gagasan sebagai kejadian mental yang berhubungan
dengan pemikiran manusia. Jadi secara implisit, tanda berfungsi sebagai
alat komunikasi antara dua orang manusia yang secara disengaja dan
bertujuan untuk menyatakan maksud (Sudjiman dan Zoest, 1996).
c. Isyarat (signal), adalah yang memimpin pemahaman gerakan Gangnam
Style pada masyarakat. PSY memberikan isyarat terhadap gerakan
Gangnam Style tersebut sesuai dengan isi cerita dari video musik yang
dilakukan oleh PSY. Sehingga bila teliti antara isi cerita, kata–kata, dan
gerakan Gangnam Style itu sendiri saling berhubungan sebagai sebuah
struktur, namun tidak semua konsumennya dapat menerima sesuai isyarat
yang disampaikan oleh PSY.
d. Ikon (icon), di dalam ikonik Gangnam Style ini sendiri adalah PSY sendiri
yaitu sang penyanyi dan tokoh yang menarikan gerakan Gangnam Style.
PSY sudah menjadi ikon yang mendunia, dimana ada PSY, masyarakat
akan mengintepretasikan sudut pandang mereka kalau PSY berarti
Gangnam Style beserta lagunya yang sangat bersifat ikonik.
e. Indeks (index), merupakan tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
f. Simbol (symbol), merupakan bentuk tanda yang terjadi karena hasil
konsensus dari para pengagum Gangnam Style, bahwa gerakan tersebut
menyimbolkan
seperti
gerakan
berkuda.
Namun
apakah
yang
20
dimaksudkan oleh PSY akan sama maknanya terhadap masyarakat yang
menerima simbol tersebut.
Tanda-tanda Tubuh:
- Sinyal
Ada dua jenis sinyal tubuh, sadar (dipancarkan dengan sengaja) atau tidak
sadar (dipancarkan secara naluriah oleh tubuh). Penggunaan sinyal sadar
untuk tujuan yang disengaja dalam lingkup yang sangat luas seperti
mengangguk, mengedip, melirik, melihat, menyenggol, menendang,
mengangkat kepala dan seterusnya. Sinyal demikian bertindak sebagai
pengatur, menggubah atau melarang sebuah tindakan atau reaksi.
- Ekspresi wajah
Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tidak sadar. Wajah
dipandang sebagai tanda diri, dimana kita mengevaluasi kepribadian orang
berdasarkan penampilan wajah dan menilai kecantikan atau tiadanya
kecantikan seseorang berdasarkan bagaimana orang itu terlihat. Wajah
yang dikonstruksi secara seksual adalah ciri dari fenomena representasi
diri. Persepsi atas wajah sebagai penyedia keberadaan diri atau personal.
Persepsi bahwa wajah adalah tanda yang merepresentasikan orang di
baliknya merupakan ekspresi konotatif yang banyak digunakan manusia.
Persepsi ini mendasari praktik pembuatan potret diri. Potret diri
merupakan representasi visual subjek yang menampilkan wajahnya,
berdasarkan gambaran pelukis, secara tipikal ditafsirkan oleh mereka yang
melihatnya sebagai penanda diri. Sebuah tanda yang dalam tafsiran kita
mengungkapkan sifat, status sosial, profesi, dan seterusnya, dari subjek.
Potret adalah alat untuk memeriksa sifat manusia.
- Kontak mata
Kontak mata yang bersifat tak sadar merupakan sebuah proses biologis
seperti yang terjadi pada spesies lain selain manusia. Dalam kebudayaan
21
manusia pola kontak mata mencerminkan makna kultural dan sesuai
dengan pola interaksi sosial. Pola “melihat” mengutarakan makna-makna
spesifik dalam konteks spesifik. Misalnya, memandang ditafsirkan sebagai
indikasi ketakjuban seksual, perasaan terpukau, terpana atau kagum.
- Bahasa tubuh
Bahasa tubuh adalah istilah umum yang digunakan untuk mengindikasikan
komunikasi melalui isyarat, postur, dan sinyal serta tanda tubuh lainnya
baik yang sadar maupun tidak. Bahasa tubuh mengkomunikasikan
informasi tak terucapkan mengenai identitas, hubungan dan pikiran
seseorang, juga suasana hati, motivasi dan sikap.
- Sinyal Kinesi
Sinyal kinesi dapat bersifat bawaan (tak sadar) contohnya mengejapkan
mata dan wajah memerah, dipelajari (sadar) contohnya isyarat seperti
kedipan mata dan acungan jempol, atau campuran keduanya yaitu ketika
tertawa, menangis dan mengangkat bahu. Tanda kinesis juga mengatur
cara orang berperilaku dalam situasi sosial tertentu sehingga tanda-tanda
semacam itu akan berbeda di berbagai budaya.
- Sentuhan
Studi tentang sentuhan diberi nama haptik. Pemberian salam melalui
jabatan tangan merupakan contoh tepat dari perilaku sosial yang diatur
oleh kode taktil (sentuhan), yang artinya, kode yang mengatur pola
sentuhan dalam situasi antarpribadi. Dimana kulit manusia merupakan
zona privasi yang mendefinisikan ruang diri dalam budaya-budaya ini
mencakup pakaian yang menutupi kulit.
- Isyarat
Isyarat dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penggunaan tangan,
lengan dan kadang-kadang kepala untuk membuat tanda. Isyarat yang
22
dimiliki hewan bersifat terbatas tetapi isyarat manusia bersifat produktif
dan bervariasi. Banyak pakar semiotik dan linguistik menganggap isyarat
sebagai sebentuk komunikasi yang lebih mendasar daripada bahasa
vokal.Telah berkembang “bahasa gerakan” untuk individu yang memiliki
gangguan pendengaran atau gangguan bicara. Bahasa ini biasa dikenal
denga bahasa isyarat (sign language), sedangkan istilah tanda (sign) disini
digunakan sebagai sinonim untuk isyarat (gesture).
2.4 Teori Semiotika Roland Barthes dan Umberto Eco
a) Teori Semiotika Roland Barthes
Beliau adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut
aliran
semiotika
strukturalisme
komunikasi
memberikan
strukturalisme,
perhatian
untuk
pendekatan
menyusun
karya
makna.
Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus
memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan
estetika sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003).
Secara terperinci,
Barthes dalam bukunya
Mythology (2009)
menjelaskan bahwa sistem signifikan tanda terdiri atas relasi (R=Relation)
antara tanda (E=Expression) dan maknanya (C=Content). Sistem
signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang
disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi
menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam
sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam
sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem
denotatif. Sementara itu di dalam sistem metabahasa tehadap perluasan
atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan
perluasan dari sistem denotatif.
23
Barthes melontarkan konsep tentang dua sistem penandaan bertingkat,
yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi sebagai kunci dari
analisisnya.
1. Sistem denotasi adalah sistem pertandaan tingkat pertama yang terdiri
dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau
konsep abstrak di baliknya.
2. Pada sistem konotasi atas sistem penandaan tingkat kedua rantai
penanda atau petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan
seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan
lebih tinggi inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika
Roland Barthes. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan
signified (konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, itu
yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda
(sign).
Konotasi
adalah
istilah
yang
digunakan
Barthes
untuk
menunjukkan signifikasi tahap kedua - hal ini menggambarkan interaksi
yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya (Sobur, 2003).
Mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos
dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam
kesatuan-kesatuan budaya. Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan,
tetapi
melalui
anggapan
berdasarkan
observasi
kasar
yang
digeneralisasikan oleh karenanya lebih banyak hidup dalam masyarakat.
Mitos mungkin hidup dalam „gosip‟ kemudian ia mungkin dibuktikan
dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos
yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai
prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos (Van
Zoest, 1991) - Barthes menyebut fenomena ini membawa tanda dan
konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos.
Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam
pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional melainkan
24
sebuah cara pemaknaan. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos;
satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang
lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan
atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda
pada tingkatan yang lain. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca
untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang
ada di sekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi
tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya, sistem makna menjadi
masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak
untuk masa yang lain. Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem
komunikasi, karena mitos ini toh merupakan sebuah pesan juga. Beliau
menyatakan mitos sebagai “modus pertandaan”, sebuah bentuk, sebuah
“tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat
digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan
tersebut disampaikan - apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari
caranya ditekstualisasikan.
b) Teori Semiotika Umberto Eco
Menurut pandangan Umberto Eco, secara etimologis kata semiotika
berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri
didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat diangggap mewakili sesuatu yang lain.
Secara
terminologis,
semiotika
didefinisikan
sebagai
ilmu
yang
mempunyai sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh
kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2003).
Beliau mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang
mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong, meski
terkesan bermain-main dan tidak serius, ini merupakan definisi yang
cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk
merepresentasikan dunia dengan cara apapun yang kita inginkan melalui
tanda-tanda dan dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan
25
(Danesi, 2010). Eco mengatakan bahwa, pada prinsipnya semiotika adalah
sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk berdusta. Definisi ini meskipun agak aneh secara eksplisit
menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika,
sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika. Menurut Eco,
tanda dapat digunakan untuk menyatakan kebenaran sekaligus juga untuk
menyatakan suatu kebohongan. Semiotika menaruh perhatian pada apapun
yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang
dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk
menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu
harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu
tertentu. Dengan demikian semiotika pada prinsipnya adalah suatu disiplin
yang mempelajari apapun yang dapat digunakan untuk menyatakan suatu
kebohongan. Jika sesuatu itu tersebut tidak dapat digunakan untuk
mengatakan kebohongan, sebaliknya tidak bisa digunakan untuk
mengatakan kebenaran (Hoed, 2011).
Umberto Eco melihat semiotika penting untuk memahami berbagai
gejala dalam kebudayaan. Beliau mengemukakan bahwa kebudayaan
adalah “supra-individual principle” yang mengatur manusia dalam suatu
masyarakat dan terkadang berbenturan dengan “individual autonomy”
yang ada pada manusia. Di samping itu, beliau juga mengemukakan
bahwa kebudayaan harus dilihat sebagai suatu sistem tanda dan tanda
adalah gejala budaya.
Dalam menerapkan teori semiotik untuk memahami kebudayaan, ia
membagi semiotik menjadi dua jenis, yakni semiotik signifikasi
(mengakaji pemaknaan tanda dari segi pemahamannya) dan semiotik
komunikasi (mengkaji pemaknaan tanda dari segi interaksi antara
pengirim dan penerima) (Hoed, 2010:48). Eco mengatakan bahwa proses
pemaknaan tanda (semiosis), yang oleh Pierce dinyatakan sebagai tak
terbatas (unlimited semiosis), sangat tergantung dengan sejauh mana
“otonomi individual” yakni nilai-nilai dan norma dalam kebudayaan yang
26
menguasai tingkah laku manusia. Pada saat otonomi individual dikalahkan
dan tunduk pada prinsip-prinsip supra-individual, berakhirlah proses
semiosis (khususnya proses interpretan).
Dari sini dapat dipahami bahwa bagaimana manusia sebagai pemberi
makna dan penafsir tanda berinteraksi dengan lingkungan sosial
budayanya (Hoed, 2010:91). Eco mengemukakan bahwa makna adalah
sebuah satuan budaya (cultural unit) dan bahwa setiap pola makna
merupakan hasil konvensi dalam kebudayaan manusia. Eco yang mengutip
Pierce “A sign is something by knowing which we know something more”,
berpendapat bahwa suatu tanda (yang disebutnya teks) adalah sebuah
opera aperta (karya yang terbuka).
Ini berarti bahwa setiap tanda, yang merupakan bagian kebudayaan
suatu masyarakat, selalu terbuka untuk mengalami proses semiosis tidak
terbatas. Suatu tanda dapat dipahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda
oleh setiap orang pada tempat dan waktu yang berbeda, atau bahkan oleh
orang yang sama pada tempat dan waktu yang berbeda (Hoed, 2010: 244).
27
Download