BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di berbagai belahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di berbagai belahan dunia, masalah infeksi masih menjadi masalah yang
belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Di Indonesia sendiri, kejadian penyakit
infeksi merupakan yang tertinggi. Infeksi pada luka operasi, walaupun belum ada
angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi.
Di samping itu, infeksi pada luka operasi juga memperberat angka kesakitan,
memperpanjang masa rawat inap, menambah beban penderita dengan biaya
tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.
Sebuah penelitian di Eropa menyebutkan bahwa infeksi luka operasi dapat
meningkatkan perpanjangan rata-rata rawat inap hingga 9,8 hari dengan biaya
mencapai 325 euro per harinya dan total biaya mencapai 1,47 – 19,1 juta Euro
setiap tahunnya (DiPiro, 1998; Leaper, 2004). Penelitian lain di Amerika Serikat
mencatat penambahan masa rawat inap mencapai satu juta orang-hari dan biaya
tambahan hingga 1,6 juta dolar (Lissovoy, 2009).
Dibandingkan dengan fraktur tertutup, fraktur terbuka mempunyai risiko
yang lebih tinggi dalam hal infeksi, nonunion dan komplikasi lainnya. Tentunya
hal ini akan mengakibatkan perpanjangan masa rawat inap dan peningkatan biaya
perawatan. Dengan perkembangan teknologi dan ditemukannya penemuanpenemuan baru di bidang kedokteran, mortalitas dan morbiditas pada fraktur
terbuka telah menurun secara drastis. Penanganan pada fraktur terbuka bertujuan
1
2
untuk mencegah infeksi, membantu penyembuhan fraktur, dan pemulihan fungsi.
Pada saat ini, prosedur penanganan pasien dengan fraktur terbuka meliputi
stabilisasi awal, profilaksis tetanus, terapi antibiotik sistemik, debridement dan
irigasi luka, stabilisasi fraktur, penutupan luka, rehabilitasi, dan monitoring yang
adekuat (Okike, 2006).
Pada sebuah penelitian prospektif mengenai infeksi pada fraktur terbuka
didapatkan 78,7 % dari seluruh kasus fraktur terbuka terkontaminasi oleh bakteri.
Tingkat infeksi ini berkorelasi langsung dengan jenis fraktur menurut Gustillo,
24,5 % pada fraktur terbuka tipe I dan 86,8 % pada fraktur terbuka tipe III C
(Seekamp, 2000). Infeksi biasanya disebabkan oleh berbagai bakteri yang
didominasi oleh Staphylococcus aureus (52,8 %), Escherichia coli dan
Enterobacter (32,5 %), Streptococcus (26,0 %), Pseudomonas (17,1%) dan
Proteus (1,6%) (Seekamp, 2000). Dalam penelitian lain dengan 60 sampel kasus
fraktur terbuka didapatkan kultur hapusan luka awal positif pada 41 kasus.
Mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah Staphylococcus aureus
(Ojo, 2010).
Antibiotika telah digunakan secara luas untuk mencegah infeksi pada
berbagai macam kasus, termasuk fraktur terbuka. Antibiotika profilaksis
digunakan dengan berbagai cara. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa
antibiotik sistemik, secara signifikan menurunkan angka infeksi pada kasus
fraktur terbuka dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat antibiotik
(Patzakis,1974). Penggunaan antibiotika profilaksis sistemik dimulai sesegera
3
mungkin setelah terjadinya cedera dan dilanjutkan hingga tiga hari pada patah
tulang terbuka tipe 1 dan 2 atau hingga lima hari pada tipe 3 (Holtom, 2006).
Antibiotik topikal untuk profilaksis telah banyak dipergunakan dalam
bidang orthopaedi, namun masih belum didukung data yang akurat mengenai
efikasi dan efektifitasnya dalam mencegah infeksi luka pasca operasi. Pada
dasarnya, penggunaan antibiotik secara topikal ditujukan untuk meningkatkan
bioavailabilitas antibiotik tersebut pada daerah yang dituju, menurunkan dosis
antibiotik sistemik yang pada akhirnya dapat mengurangi toksisitas sistemik.
Berbagai macam cara aplikasi antibiotika lokal telah diteliti. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa pemakaian antiobiotik lokal dengan konsentrasi tinggi pada
luka, secara efektif membunuh kuman yang terdapat pada luka. Antibiotik
sistemik mempunyai kemampuan penetrasi yang rendah pada tahap awal, namun
antibiotik sistemik tetap dipergunakan untuk mempertahankan konsentrasi
antibiotik di daerah luka (Yarboro, 2007).
Selain
penggunaan
antibiotik
topikal,
beberapa
peneliti
berusaha
mempelajari penggunaan larutan antiseptik untuk irigasi luka. Dalam hal ini,
tujuan penggunaan larutan antiseptik adalah untuk membunuh kuman pada luka
sehingga dapat menurunkan jumlah kuman patogen yang harus dihadapi oleh
sistem pertahanan tubuh. Beberapa jenis larutan antiseptik yang telah digunakan
secara klinis maupun dalam tahap eksperimental antara lain hidrogen peroksida,
larutan povidon-iodin (Betadine), chlorhexidine gluconate, hexachlorophene,
sodium hipochlorite, benzalkonium chloride, dan berbagai jenis larutan yang
mengandung alkohol. Namun demikian larutan antiseptik juga bersifat toksik
4
terhadap jaringan sehingga membatasi penggunaannya (Anglen, 2001; Crowley,
2007).
Sebelum penggunaan antibiotik, larutan sabun digunakan untuk mencuci
luka terbuka. Larutan sabun akan menurunkan tegangan permukaan pada bakteri
sehingga dapat mencegah perlekatan bakteri pada luka. Dengan demikian larutan
sabun hanya berfungsi untuk menghilangkan bakteri dari luka tanpa
membunuhnya. Pada sebuah penelitian pada binatang dikatakan bahwa larutan
sabun paling tidak efektif dalam mencegah infeksi dibandingkan dengan larutan
antibiotik dan antiseptik (Conroy, 1999; Owens, 2009).
Pada sebuah penelitian eksperimental yang dilakukan pada binatang,
menunjukkan bahwa irigasi dengan larutan bacitracin dapat mengurangi tanda
klinis infeksi pada luka dan menurunkan kultur yang positif serta tanda patologis
infeksi secara signifikan dibandingkan dengan tidak diberikan perlakuan maupun
irigasi dengan larutan salin (Rosenstein, 1989). Namun hasil dari penelitian lain
masih menunjukkan bahwa larutan antibiotik tidak menurunkan angka infeksi
secara signifikan bila dibandingkan dengan larutan sabun non sterile (Anglen
2005).
Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, pasien dengan fraktur terbuka juga
mendapatkan penanganan sesuai dengan prinsip penanganan fraktur terbuka.
Salah satu usaha pencegahan infeksi pada fraktur terbuka di Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah adalah dengan pemberian pencucian tambahan dengan Povidon
iodin. Povidon iodin ini diketahui bersifat toksik terhadap jaringan sehingga dapat
menghambat penyembuhan luka itu sendiri.
5
Dari hasil beberapa penelitian sebelumnya, masih didapatkan hasil yang
heterogen mengenai penggunaan larutan antibiotik dan larutan antiseptik untuk
irigasi luka pada fraktur terbuka. Larutan antibiotik dikatakan masih memiliki
beberapa kelemahan dalam penggunaannya seperti risiko reaksi alergi,
kemungkinan memicu resistensi kuman, dan biaya yang cukup tinggi. Namun
larutan antibiotik dapat bersifat bakterisidal maupun bakteriostatik bila diberikan
pada konsentrasi dan durasi yang sesuai, sehingga dapat menurunkan kejadian
infeksi pada luka (Anglen, 2001). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui efektifitas dan efikasi penggunaan larutan antibiotik Neomisin
Basitrasin larutan antiseptik (Povidon Iodin) dan larutan salin sebagai pencucian
tambahan pada fraktur terbuka setelah debridement dan fiksasi internal.
1.2
Rumusan masalah
Dengan demikian masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
•
Apakah pencucian tambahan setelah debridement dan fiksasi internal pada
fraktur terbuka dengan larutan antibiotik Neomisin Basitrasin lebih banyak
menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan dengan
pencucian tambahan larutan antiseptik Povidon iodin?
•
Apakah pencucian tambahan setelah debridement dan fiksasi internal pada
fraktur terbuka dengan larutan antibiotik Neomisin Basitrasin lebih banyak
menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan dengan
pencucian tambahan larutan Salin?
6
•
Apakah pencucian tambahan setelah debridement dan fiksasi internal pada
fraktur terbuka dengan larutan antiseptik Povidon iodin lebih banyak
menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan dengan
pencucian tambahan larutan Salin?
1.3
Tujuan penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan antara lain:
•
Untuk membuktikan pencucian tambahan dengan larutan Antibiotik Neomisin
Basitrasin dapat menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus lebih
banyak dibandingkan pencucian tambahan dengan larutan antiseptik Povidon
Iodin, pada luka fraktur terbuka setelah debridement dan fiksasi internal.
•
Untuk membuktikan pencucian tambahan dengan larutan Antibiotik Neomisin
Basitrasin dapat menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus lebih
banyak dibandingkan pencucian tambahan dengan larutan salin, pada luka
fraktur terbuka setelah debridement dan fiksasi internal.
•
Untuk membuktikan pencucian tambahan dengan larutan antiseptik Povidon
Iodin dapat menurunkan jumlah koloni Staphylococcus aureus lebih banyak
dibandingkan pencucian tambahan dengan larutan salin, pada luka fraktur
terbuka setelah debridement dan fiksasi internal.
1.4
Manfaat penelitian
Dengan diketahuinya perbandingan kultur kuman pada luka fraktur terbuka
yang dicuci dengan larutan antibiotik Neomisin Basitrasin, larutan antiseptik
7
Povidon Iodin dan larutan salin, maka dapat dianalisa efektifitas dari penggunaan
larutan antibiotik maupun larutan antiseptik tersebut. Dengan demikian, dapat
dipilih larutan untuk pencucian tambahan setelah debridemen dan fiksasi internal,
serta menjadi salah satu modalitas dalam usaha menurunkan risiko infeksi pada
fraktur terbuka. Pada gilirannya, akan dapat menurunkan angka infeksi pada
fraktur terbuka pada khususnya dan angka infeksi secara keseluruhan pada
umumnya.
Download