BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara langsung dengan lisan ataupun tidak langsung yakni melalui media (Effendy, 2008:5). Secara sederhana proses komunikasi yaitu pihak komunikator membentuk pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu melalui media komunikasi baik yang bersifat modern maupun tradisional. Komunikasi terus menerus berkembang hingga saat ini dan telah mencapai taraf yang lebih maju. Hal ini ditandai dengan kemunculan berbagai macam media massa modern. Komunikasi sangat terkait dengan media massa, karena media massa tersebut terbentuk dari proses komunikasi yang terjadi di masyarakat. Pada saat sekarang ini media merupakan salah satu konsumsi masyarakat setiap hari. Masyarakat dapat secara bebas memilih jenis media apa yang dibutuhkan dan diinginkannya. Everertt M Rogers menyatakan, selain media modern juga terdapat media tradisional diantaranya adalah teater rakyat, juru dongeng keliling, dan juru pantun (Onong Uchjana Effendy, 2001: 20). Menurut Coseteng dan Nemenzo sendiri defenisi media tradisional adalah bentuk-bentuk verbal lisan dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh mereka, serta diperdengarkan atau dipertunjukkan oleh dan atau untuk mereka dengan maksud menghibur, memaklumkan menjelaskan, 1 mengajar, dan mendidik.1 Bukan hanya media penyalur mitos kedaerahan, media tradisional juga dapat difungsikan sebagai media penyalur isu-isu kontemporer (Fernandes, 1982). Sejalan dengan definisi ini, maka media rakyat tampil dalam bentuk nyayian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat, drama rakyat, pidato rakyat. Semua kesenian rakyat ini baik berupa produk sastra, visual ataupun pertunjukkan selalu diteruskan dari generasi ke generasi (Clavel dalam Jahi,1988). Membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yakni suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita-cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor (Nurudin, 2004). Folkor sendiri memiliki beberapa bentuk yaitu, cerita prosa rakyat yang dapat digolongkan seperti mite, legenda maupun dongeng, ungkapan rakyat seperti peribahasa, pameo, pepatah, kemudian puisi rakyat, nyanyian rakyat, teater rakyat, gerak isyarat, alat pengingat, dan alat bunyi-bunyian seperti kentongan, bedug atau gong. Dimasa kini setelah perkembangan komunikasi mencapai taraf yang lebih maju dengan ditemukannya tulisan, seni cetak dan berbagai teknologi yang menunjang komunikasi, maka peranan media tradisional mulai mengalami masa surut dan berkurang. Persaingan yang terjadi anatara media tradisional dan modern pun semakin terlihat tidak berimbang. Banyak faktor yang menyebabkan media tradisional yang sering kali menggunakan bahasa daerah ini mulai kehilangan eksistensinya, terlihat dari jumlah para seniman pada saat ini yang menciptakan dan melakoni pertunjukan-pertunjukan tradisional semakin mengalami penurunan, generasi baru pun terlihat kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukan tradisional, kebanyakan mereka lebih memilih hal-hal yang berbau kebarat-baratan. 1 Anonim. Pengertian Seni Ritual. Tersalip dalam elib .unikom.ac.id/download.php?id=163401. Diakses 22 Februari, pada pukul 13.42. 2 Namun hal itu tidak serta merta membuat media tradisional menjadi dianggap tidak penting lagi dan benar-benar ditinggalkan, masih dapat kita jumpai beberapa daerah di Indonesia yang masih menggunakan media tradisional hingga saat ini, contohnya adalah pertunjukan tutur lisan bakaba barito di Sumartera Barat tanah Minangkabau yang biasa disebut Randai yang masih dilestarikan oleh kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo. Palito Nyalo merupakan salah satu kelompok seni pertunjukan tradisional Minangkabau yang menitik beratkan aktivitasnya pada kesenian randai. Kelompok ini sudah berjalan kurang lebih 20 tahun terakhir, sudah banyak prestasi yang yang telah mereka torehkan bahkan hingga dilevel internasional. Kelompok ini telah melakukan pagelaran di Honolulu, Hawaii Amerika Serikat secara rutin sejak beberapa waktu lalu, selain di Hawaii, Palito Nyalo juga melakukan pertunjukan randai di sejumlah Negara lainnya seperti Australia, Kanada dan Belanda. Khususnya di Hawaii, Palito Nyalo juga mendirikan sebuah sanggar randai yang dibina oleh salah seorang instruktur randai Palito Nyalo. Randai merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau Sumatera Barat. Teater tradisional adalah teater yang berkembang di kalangan rakyat, yaitu suatu bentuk seni yang berakar dan bersumber dari tradisi masyarakat lingkungannya. Teater tradisional di wilayah nusantara dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, salah satunya adalah teater rakyat. Teater rakyat berkembang di daerah wilayah nusantara. Masing-masing daerah memiliki teater daerah yang berbeda-beda. Teater rakyat memiliki ciri bahwa pemainnya menyatu dengan penonton. Jadi teater tradisional tidak menggunakan panggung khusus. Teater tradisional memiliki tujuan yang terangkum dalam fungsi pertunjukkan teater tradisional tersebut. Fungsi-fungsi teater tradisional digunakan antara lain untuk keperluan upacara, media ekspresi, sarana hiburan, dan media pendidikan. Sampai saat ini Randai masih hidup dan bahkan berkembang serta masih digemari oleh beberapa masyarakat. Namun juga tidak dapat dipungkiri penggemar media tradisional dirasa juga semakin menyempit pada umumnya mereka terdiri dari 3 masayarakat pedesaan atau orang-orang lanjut usia yang memiliki pengalaman atau cerita nostalgia dimasa kecil dengan media tersebut, sedangkan generasi saat ini yang sudah memiliki pilihan sendiri sesuai dengan perkembangannya dan otomatis mulai banyak yang meninggalkan media tradisional. Seperti halnya seni pertunjukan di kebanyakan daerah, Randai yang lahir di daerah Sumatra Barat yang kini lebih dikenal sebagai bentuk teater rakyat, ternyata juga telah melewati perjalanan sejarah yang cukup panjang. Randai dahulu merupakan pertunjukan komunal yang diajarkan oleh pria desa yang lebih senior kepada pemuda yang lebih junior, yang mana biasanya diselenggarakan di halaman surau atau mesjid pada malam hari menjelang tidur. Randai yang memiliki warna budaya islam bukan merupakan pertunjukan ritual. Bahkan masyarakat dahulu hanya menyebutnya sebagai permainan. Namun demikian masyarakat minangkabau selalu memeprtunjukkan randai untuk menyemarakkan peristiwa-peristiwa penting. Pada awalnya Randai adalah media untuk menyampaikan kaba atau cerita rakyat melalui gurindam atau syair yang di dendangkan dan tarian yang mengadopsi gerakan-gerakan silat Minangkabau. Cerita Randai biasanya diambil dari kenyataan hidup yang ada ditengah masyarakat. Fungsi Randai sendiri adalah sebagai seni pertunjukan hiburan yang didalamnya juga disampaikan pesan dan nasehat. Randai berasal dari kata andai yang berarti berbicara menggunakan kias, ibarat, pantun serta pepatah petitih. Randai adalah sebuah keseniaan yang merupakan permainan anak nagari2 minangkabau. Suatu permainan dengan gerakan membentuk lingkaran, kemudian melangkah kecil-kecil secara perlahan, sambil menyampaikan cerita lewat nyanyiaan secara bergantian.3 2 Nagari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti wilayah atau sekumpulan kampung yg dipimpin (dikepalai) oleh seorang penghulu. 3 Azrial, Yulfian. 1994. Budaya Alam Minang Kabau. Angkasa Raya. Hal 71. 4 Sebagai seni tradisional, kesenian Randai hidup tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Selain digunakan untuk upacara adat, kesenian Randai juga merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat oleh sebab itu pada gilirannya kesenian Randai masa lalu menjadi fokus kebudayaan bagi masyarakat. Sebagai fokus kebudayaan kesenian Randai diwariskan dan dilestarikan oleh masyarakat, sehingga kesenian Randai menjadi budaya tradisi yang berkesinambungan sampai saat ini dalam kehidupan masyarakat walaupun terjadi degradasi atau penurunan jumlah peminat dan pengelola serta pelaku dari kesenian Randai tersebut. Seiring dengan itu, keberadaan kesenian Randai dalam kehidupan masyarakat telah menjadi suatu identitas budaya bagi daerah Minangkabau. Kesenian Randai merupakan refleksi dari karakteristik dan perilaku masyarakat. Melalui pertunjukan kesenian Randai, masyarakat luar di luar komunitas kesenian Randai akan menerjemahkan perilaku dan karakteristik komunitasnya melalui simbol-simbol yang terangkai dalam sebuah kesatuan struktur dari pertunjukan kesenian Randai. Sehingga kesenian Randai merupakan sebuah deskripsi dari kehidupan masyarakat dari berbagai aspek sosial dan budaya. Seperti dialek atau logat bahasa yang digunakan, aliran silat yang digunakan dalam Randai, mampu mendeskripsikan karakteristik dan budaya masyarakat. Randai merupakan suatu bentuk kesenian tradisional yang hidup bersama tradisi yang belaku dalam masyarakat minangkabau.4 Ia hadir bersama upacara-upacara dan acara-acara yang ada dalam masyarakat tradisional Minangkabau. Saat ini kesenian Randai masih dibudayakan oleh masyarakat Minangkabau dalam kehidupan sosialnya, walaupun dewasa ini tingkat pendidikan dan pengetahuan serta pengaruh budaya modren serta tingkat perekonomian masyarakat telah jauh meningkat dari 4 Ensten, Mursal dalam Edy Sedyawati. 1986. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 111. 5 pada masa silam. Selain itu, tingkat akulturasi budaya telah terjadi dalam berbagai adat kebiasaan pada masyarakat dewasa ini. Namun hal itu tidak sepenuhnya memunahkan keberadan kesenian Randai saat ini. Secara realitas kesenian Randai masih tetap beraktifitas. Penyampaian pesan yang mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat yang menyaksikan menjadi landasan yang kuat untuk mempertahankan media tradisional randai ini, meskipun terjadi penurunan frekuensi pertunjukan dan proses latihan serta proses pewarisan dalam masyarakat. Konteks pertunjukan teater rakyat sebagai salah satu bentuk media tradisional di tengah-tengah terpaan teknologi komunikasi yang cukup massif merupakan masalah yang menarik perhatian, khususnya adalah bagaimana kelompok seni minang palito nyalo menyikapi tantangan tersebut. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana kelompok minang palito nyalo melestarikan tradisi tutur lisan bakaba barito Minangkabau sebagai media komunikasi tradisional. Terpaan arus media modern tidak menyurutkan semangat para seniman Randai di kelompok Kesenian Tradisi Minang Palito Nyalo yang hingga kini masih menyelenggarakan pertunjukan dari satu tempat lainnya demi menjaga eksistensi dan melestarikan tradisi tutur lisan bakaba barito daerahnya. B. Rumusan Masalah Sebagaimana latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito Randai Minangkabau sebagai media komunikasi tradisional? 6 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo dalam menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito Randai Minangkabau sebagai media komunikasi tradisional. b. Mengetahui sejarah Kelompok Tradisi Minang Palito Nyalo D. Manfaat Penelitian 1. Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan untuk menambah perbendaharaan kepustakaan bagi jurusan ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian ini juga diharapkan daoat digunakan sebagai bahan refrensi dan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mendalami penelitian yang sejenis. 2. Praktis Penelitian ini bermanfaat sebagai panduan atau rekomendasi bagi praktisi kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo dalam menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito randai sebagai media tradisional, sehingga randai dapat terus dilestarikan. 3. Sosial Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan serta wawasan masyarakat luas tentang kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo dalam menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito randai sebagai media komunikasi tradisional. 7 E. Kerangka Pemikiran 1. Seni Sebagai Media Komunikasi Seni tradisional dimasyarakat telah menjadi suatu pola dalam proses komunikasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Seni tradisional telah membantu perkembangan masyarakat baik yang menyangkut kepercayaan, perkembangan sosial dan budaya atau secara ekonomi. Bahkan, lewat seni tradisional itulah jati diri suatu kelompok masyarakat bias terlihat. Seni tradisional bisa termasuk sebagai alat komunikasi karena didalamnya juga ada pesan-pesan yang disampaikan pada orang lain. Perbedaan pakaian, style seni yang dikembangkan dan atribut yang melekat bisa dibedakan satu sama lain. Media komunikasi pada dasarnya merupakan sarana yang dipergunakan untuk memproduksi, mereproduksi, mendistribusikan atau menyebarkan dan menyampaikan informasi.5 Sementara seni tradisi jauh lebih luas dari media komunikasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa sebagian seni tradisional bisa digunakan dan seringkali dikembangkan menjadi media komunikasi. Kesenian tradisional pada dasarnya memiliki pola yang membuat kesenian itu menjadi khas atau memiliki ciri tersendiri, berbeda dari kesenian jenis lainnya. Akan tetapi, ciri khas tersebut bukanlah suatu aturan yang tidak dapat berubah, melainkan potensi yang dapat berkembang, berubah, dan bercampur satu sama lain. Seni tradisi secara alami mampu mengakomodasi perubahan isi sesuai dengan kepentingan situasi. Oleh karena pemanfaatan seni tradisi sebagai sebuah media komunikasi akan sangat berkaitan dengan aspek bentuk, pola, atau pakem, kemudian daya atau potensi untuk berubah, dan muatan-muatan atau pesan-pesan yang berisikan pendidikan kultural, spiritual, dan komentar sosial. Dalam tiga aspek itulah sesungguhnya terletak kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi keindahan, yang 5 Suranto AW. “Komunikasi Sosial Budaya”, Penerbit PT Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010. 8 pada gilirannya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi tradisional. Seni tradisional sebagai media komunikasi memiliki potensi yang terbuka luas sepanjang problem dan masalah yang selama ini dihadapi seni tradisional dapat dipetakan dan dipelajari entitasnya secara jelas. Selain harus didukung dari entitas internal seni tradisionalnya sendiri, agar efektif sebagai media tradisional juga harus menyentuh pada konstelasi proses mediasi dan apresiasi seni tradisonal yang digunakan di masyarakat. Seni pertunjukan teater memiliki pola komunikasi yang kompleks sebagaimana kompleksitas unsur-unsur pertunjukan teater yang didukung oleh unsure rupa, musik, sastra dan lain-lain. Pola komunikasi intrapersonal bisa didapatkan ketika proses perwujudan seni teater berlangsung dan seiring dengan terwujudnya pertunjukan teater, terdapat pola-pola komunikasi berikutnya seperti interpersonal, publik, budaya, dan bisa jadi massa bahkan komunikasi transenden (Jaeni, 2012). Catatan Lustig dan Koster menyatakan bahwa kehidupan budaya (dunia seni pertunjukan) merupakan juga ruang proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional dan kontekstual yang dilakukan sejumlah orang yang memberikan interpretasi dan harapan berbeda terhadap apa yang disampaikan (Lustig dan Koester dalam Liliweri, 2003:13). 2. Media Tradisional Sebagai Bentuk Komunikasi Sosial Media tradisional yaitu bentuk-bentuk komunikasi verbal, gerakan, lisan, dan visual yang dikenal rakyat, diterima oleh mereka dan diperdengarkan atau dipertunjukkan adegan dengan maksud menghibur, memberi tahu, menjelaskan, mengajar ataupun mendidik. Media tradisional sudah lama digunakan disuatu tempat sebelum kebudayaannya disentuh oleh tekhnologi modern dan sampai sekarang 9 masih digunakan. Ranganath (1976) mengatakan bahwa media tradisional itu akrab dengan massa khalayak, kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan biayanya rendah. Ia disenangi baik pria ataupun wanita dari berbagai kelompok umur. Disamping itu, ia memiliki potensi yang besar bagi komunikasi persuasif, komunikasi tatap muka, dan umpan balik yang segera. Ranganath juga mempercayai bahwa media tradisional juga mampu membawa pesan-pesan modern. Membicarakan media tradisional tidak bisa dipisahkan dari seni tradisional, yaitu suatu bentuk kesenian yang digali dari cerita rakyat dengan memakai media tradisional. Sifat kerakyatan bentuk kesenian ini menunjukkan bahwa ia berakar pada kebudayaan rakyat yang hidup di lingkungannya. Dalam penyajiannya pertunjukan ini biasanya diiringi musik daerah setempat (Direktorat penerangan Rakyat, dalam Jahi, 1988). Pertunjukan-pertunjukan semacam ini biasanya sangat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh masyarakat daerah. Komunikasi membutuhkan beberapa syarat agar menjadi efektif, sebagaimana dikatakan oleh Josep A Devito (Ninik Sri Rejeki dan Anita Herawati, 1999:8): a. Opennes Keterbukaan menunjukkan adanya sikap untuk saling terbuka diantara pelaku komunikasi dalam melangsungkan komunikasinya. b. Emphaty Kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal c. Positiveness 10 Sikap positif terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif. d. Equality Ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain. Media tradisional sering disebut sebagai bentuk folklor. William Boscon mengemukakan fungsi-fungsi folklor sebagai media tradisional antara lain yaitu: a. Sebagai sistem proyeksi. Folklor menjadi proyeksi angan-angan atau impian rakyat jelata, atau sebagai alat pemuasan impian (wish fulfilment) masyarakat yang termanifestasikan dalam bentuk stereotipe dongeng b. Sebagai penguat adat c. Sebagai alat pendidik d. Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi. Sifat-sifat umum media tradisional antara lain mudah ditermia, relevan dengan budaya yang ada, menghibur, menggunakan bahasa lokal, memiliki unsur legitimasi, fleksibel, memiliki kemampuan untuk mengulangi pesan yang dibawanya, komunikasi dua arah, dan lain-lain. Dissanayake (Jahi, 1988) menambahkan bahwa media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dipahami oleh rakyat, dan mencapai sebagian dari populasi yang berada diluar jangkauan pengaruh media massa, dan yang menuntut partisipasi aktif dalam proses komunikasi. 11 Dahulu komunikasi merupakan bagian dari tradisi, peraturan, upacara keagamaan, hal-hal tabu, dan lain sebagainya, yang berlaku pada masyarakat tertentu. Komunikasi sebagai bagian dari tradisi memiliki perbedaan antara kebudayaan yang satu dengan yang lain. Komunikasi tradisional sangat penting dalam suatu masyarakat karena dapat mempererat persahabatan dan kerja sama untuk mengimbangi tekanan yang datang dari luar. Komunikasi tradisional mempunyai dimensi sosial, mendorong manusia untuk bekerja, menjaga keharmonisan hidup, memberikan rasa keterikatan, bersama-sama menantang kekuatan alam dan dipakai dalam mengambil keputusan bersama. Dengan demikian, komunikasi tradisional merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sangat penting bagi kehidupan manusia. 3. Keberadaan Media Tradisional dalam Masyarakat Pada masa silam media tradisional pernah menjadi perangkat komunikasi sosial yang penting, kini keberadaannya dalam masyarakat telah surut. Di filipina Coseteng dan Nemenzo (Amri Jahi,1988) melaporkan bahwa penampilan media ini antara lain karena: a. Diperkenalkannya media massa dan media hiburan modren seperti media cetak, bioskop, radio, dan televisi b. Penggunaan bahasa inggris di sekolah-sekolah yang mengakibatkan berkurangnya penggunaan dan penguasaan bahasa pribumi c. Semakin berkurangnya jumlah orang-orang dari generasi terdahulu yang menaruh minat pada pengembangan media tradisional ini dan d. Berubahnya selera generasi muda 12 Hal demikian ini kurang lebih sama terjadi pula di Indonesia. Setelah media modern masuk ke pedesaan media rakyat atau media tradisional mulai kurang mendapatkan perhatian, dapat dilihat bahwa persaingan antara media tradisional dan media modern menjadi semakin tidak berimbang, terlebih lagi setelah masyarakat desa mulai mengenal hiburan modern seperti televisi, VCD/DVD, radio bahkan internet. Pertunjukkan rakyat yang kebanyakan menggunakan bahasa daerah mulai ditinggalkan orang, terutama setelah banyak warga masyarakat menguasai bahasa Indonesia dan memperlajari bahasa asing yang dianggap lebih berkelas. Di sisi lain, jumlah para seniman yang menciptakan dan memerankan pertunjukkan-pertunjukkan tradisional pun semakin berkurang, serta generasi muda juga terlihat kurang berminat untuk melibatkan diri dalam pengembangan pertunjukkan tradisional yang semakin kurang mendapat sambutan khalayak ini. Namun demikian pertunjukan rakyat tentu tetap harus kita lestarikan dengan sedemikan cara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Talcott Parsons dalam teori fungsionalisme struktural. Parsons yang mengatakan agar tetap bertahan (survive), suatu sistem harus memiliki empat fungsi berikut: 1. Adaptation (Adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. 2. Goal attainment (Pencapaian tujuan): sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integration (Integrasi): sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagianbagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya. 13 4. Latency (latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi. Surutnya media tradisional ini dicerminkan pula oleh surutnya perhatian para peneliti komunikasi pada media tersebut. Schramm dan Robert (Ragnarath, 1976) melaporkan bahwa antara tahun 1954 dan 1970 lebih banyak hasil penelitian komunikasi yang diterbitkan dari masa sebelumnya. Akan tetapi dalam laporanlaporan penelitian itu tidak terdapat media tradisional. Berkurangnya minat masyarakat pada media tradisional ini ada hubungannya dengan pola pembangunan yang dianut oleh negara dunia ketiga pada waktu itu. Ideologi modernisasi yang populer saat itu, mendorong negara-negara tersebut untuk mengikuti juga pola komunikasi yang dianjurkan. Dalam periode itu kita menyaksikan bahwa tradisi lisan mulai digantikan oleh media yang berdasarkan teknologi. Sebagai akibatnya, komunikasi menjadi linear dan satu arah. Untuk mempercepat laju pembangunan, banyak negara yang sedang berkembang di dunia ketiga menginvestasikan dana secara besar-besaran pada pembangunan jaringan televisi, dan akhir-akhirnya pada komunikasi satelit (Wang dan Dissanayake, dalam Jahi, 1988). Mereka lupa bahwa investasi besar pada teknologi komunikasi itu, jika tidak diiringi oleh investasi yang cukup pada perangkat lunaknya, akan menimbulkan masalah serius di kemudian hari. Kekuarangan ini menjadi kenyataan tidak lama setelah mereka mulai mengoperasikan perangkat keras media besar itu. Mereka segera mengalami kekuarangan program yang sesuai dengan dengan situasi dan kebutuhan domestik, dan juga mengalami kesulitan besar dalam pembuatan program-program lokal. Kesulitan ini timbul karena terbatasnya sumber daya manusiawi yang terlatih untuk membuat program-program lokal yang kualitasnya dapat diterima masyarakat dan besarnya biaya produksi. 14 Situasi ini mengakibatkan negara-negara dunia ketiga itu mengambil jalan pintas dengan mengimpor banyak program berita maupun hiburan dari negara-negara maju. Keluhan yang timbul kemudian ialah bahwa isi program-program tersebut tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan domestik. Kecenderungan ini tentunya sangat berbahaya, karena dapat mengikis kebudayaan asli dan merangsang tumbuhnya konsumerisme yang kurang sesuai dengan perkembang di negara itu. Perhatian para peneliti komunikasi pada media tradisional, bangkit kembali setelah menyaksikan kegagalan media massa, dan kegagalan pembangunan di banyak negara dunia ketiga dalam dasawarsa 1960. Media tradisonal secara pasti dan mantap mulai dikaji kembali pada dasawarsa 1960 di negara-negara sedang berkembang di Asia dan Afrika. Kemungkinan untuk memanfaatkan media ini secara resmi mulai ditelusuri. UNESCO pada tahun 1972 menyarankan penggunaan media tradisional secara terorganisasikan dan sistematik dapat menumbuhkan motivasi untuk kerja bersama masyarakat yang tujuan utamanya tidak hanya bersifat pengembangan sosial dan ekonomi, tetapi juga kultural (Ranganath, 1976). Kemudian Ranganath (1976) menunjukkan peristiwa-peristiwa internasional yang menaruh perhatian pada pengembangan dan pendayagunaan media tradisional bagi pembangunan. Salah satu di antaranya ialah seminar yang dilaksanakan oleh East West Communication Institute di Hawai, yang menegaskan kembali bahwa strategi komunikasi modern di negara-negara yang sedang berkembang akan mengalami kerugian besar, jika tidak didukung oleh media tradisional. 4. Teater Rakyat Sebagai Media Tradisional Seorang pakar media tradisional, M. Fermana Yuliansyah (2008) mengatakan bahwa media tradisional mempunyai peranan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, mempunyai sentuhan yang berdimensi personal dan budaya sehingga 15 dapat mendukung proses komunikasi yang efktif, dimana dalam unsur-unsur media tradisional sebagai media pertunjukan rakyat biasanya mengandung nilai-nilai yang berakar pada budaya masyarakat dan bahkan ada yang terkait langsung pada kegiatan ritual masyarakat, sehingga akan menjadi kekuatan dalam mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa khususnya nilai-nilai budaya bangsa yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.6 Teater rakyat merupakan seni pertunjukan yang biasanya mengekspresikan dan menggambarkan kehidupan suatu masyarakat. Bentuk teater tradisi rakyat ini ada yang berasal dari tradisi religi asli dan ada pula yang berasal dari sistem religi HinduBudha dan Islam. Bentuk teater dari sistem religi Hindu-Budha serta sistem religi Islam dapat diduga berasal dari pengaruh budaya keraton yang menyebar di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa sistem religi Hindu-Budha berkembang dan bersumber dari kehidupan keraton. Meskipun bentuk-bentuk teater tradisi rakyat ini berasal dari sistem religi tertentu, fungsi pokok dari teater ini telah berubah ke bentuk hiburan yang ditonton secara gratis oleh masyarakat. Pementasan teater tradisi rakyat ini dilakukan pada acaraacara tertentu seperti pernikahan, kelahiran, khitanan, ruwatan, dan kegiatan lainnya yang dianggap memiliki hubungan dengan sistem religi. Para pemain serta pendukung teater tradisi rakyat ini pada umumnya adalah masyarakat biasa dan tidak berprofesi sebagai pemain sandiwara. Para pemain ini bermain berdasarkan tradisi pementasan yang telah dikenal secara luas di masyarakatnya. Unsur teater rakyat yang paling utama adalah cerita, pelaku, dan penonton. Cerita yang disajikan dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai dengan respons dan suasana penonton yang terjadi pada saat pementasan. Cerita dibawakan dengan akting memainkan peran atau dengan menari dan nyanyian. Kostum para pelaku disesuaikan 6 https://globaljournals.org/GJHSS_Volume13/6-Heritage-Media-and-Local.pdf. Diakses 1 Agustus 2014, pada pukul 11.00. 16 dengan kondisi budaya masing-masing daerah serta zaman yang berkembang pada saat itu. Pertunjukan rakyat diselenggarakan pada tempat dan waktu tertentu untuk menyalurkan hasrat rasa hiburan, emosi atau keresahan yang dilakukan tidak secara gamblang. Seni pertunjukan rakyat ini biasanya bersifat sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah pertunjukan Randai, terjadi hubungan yang erat antara pemain dan penonton. Bahkan penonton dapat menyela pembicaraan para pemain. Dengan eratnya relasi emosional antara pemain dan penonton, maka pesan yang terdapat dalam pertunjukan menjadi semakin mudah dipahami oleh para penonton. Ide-ide cerita yang disampaikan juga biasanya diangkat dari kisah-kisah teladan, kemudian dikemas sedemikian rupa. 5. Media Tradisional Melestarikan Budaya Media Tradisional merupakan hal penting dalam pencapain informasi dalam konteks komunikasi tradisional. Oleh sebab itu media tradisional harus dipertahankan bahkan dilestarikan agar tidak tersisih atau terkikis oleh perkembangan zaman yang semakin meminimalisir keberadaan media tradisional sebagai penyampai informasi. Media tradisional yang ditampilkan melalui kesenian-kesenian di daerah sesungguhnya merupakan cerminan bahwa di setiap daerah di tanah air ini ternyata masih ditemui berbagai sarana komunikasi yang bersifat hiburan namun memiliki nilai pendidikan, terutama dalam keikutsertaan mewariskan kebudayaan setempat. Sebagaimana yang dinyatakanHarold Laswell dan Charles Wright (1959) yang membagi empat fungis media. Keempat fungsi tersebut adalah pengawasan (surveillance), korelasi (correlation), penyampaian warisan sosial (transmission of the social heritage), hiburan (entertainment). 17 Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan kebudayaan, antara satu daerah dengan daerah yang lain pasti memiliki budaya yang berbeda. Jelaslah, bahwa kebudayaan manusia bukanlah suatu hal yang hanya timbul sekali atau yang bersifat sederhana. Tiap masyarakat mempunyai suatu kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan masyarakat lain dan kebudayaan itu merupakan suatu kumpulan yang berintegrasi dari cara-cara berlaku yang dimiliki bersama dan kebudayaan yang bersangkutan secara unik mencapai penyesuaian kepada lingkungan tertentu.7 Pentingnya pelestarian kebudayaan lokal yang direalisasikan dalam media tradisonal pada setiap daerah juga menunjukkan bahwa setiap suku bangsa di negeri tercinta ini memiliki karakter yang khas sebagai dasar bertindak dan beraktivitas untuk pengembangan diri ke depan. Oleh karenanya, pihak-pihak yang berkompeten secara terpadu perlu memerhatikan keberadaan dan keberlangsungnya supaya tidak menjadi punah. Media tradisional berfungsi sebagai alat pendidik, yang mencoba meneruskan atau mewariskan suatu ilmu pengetahuan, nilai, norma dan etika dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Fungsi pewarisan sosial yang dilakukan media tradisional ini hendaknya terus di berlangsungkan dengan demikian budaya pun akan tetap terus tejaga. Keberadaan media tradisional disetiap daerah di Indonesia sebagai bentuk modal sosial lokal, dapat dimanfaatkan sebagai media untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan suatu permasalahan. Masing-masing jenis media tradisional menggunakan bahasa daerah setempat, sehingga mudah dipahami oleh penontonnya. Selain itu, media tradisional menggunakan ungkapan-ungkapan dan simbol-simbol yang mudah dimengerti masyarakat, sehingga membuatnya menjadi penyampai pesan yang efektif. 7 Ihromi, T,O. 1996. Antropologi budaya. Jakarta: Yayasan obor Indonesia. Hal 32. 18 F. Kerangka Konsep Komunikasi tradisional layak dilestarikan sebagai salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam sejarah pekembangan komunikasi manusia. Komunikasi tradisional dilakukan melalui media tradisional. Media tradisional yakni media komunikasi yang sudah ada sebelum munculnya media modern, seperti mesin cetak (surat kabar, majalah, dan buku) radio, televisi. Atau dapat dikatakan bahwa media tradisional adalah media komunikasi yang menggunakan seluruh potensi komunikatif yang ada dalam diri atau tubuh manusia dalam menyampaikan pesan secara langsung tanpa adanya bantuan mesin atau alat teknis.8 Pada masa kini, media komunikasi telah banyak mengalami perubahan. Perubahan tersebut juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebudayaan dan nilai kemanusiaan yang ada dimasyarakat. Sehingga media tradisional mulai banyak ditinggalkan, sebab media tradisional dianggap kurang menarik. Keberadaan media tradisional dalam berbagai seni tradisional dan seni pertunjukan hendaknya dihormati dan dilestarikan, diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga tidak hilang begitu saja di tengah arus modernisasi. Salah satu media tradisional yang masih eksis hingga kini yaitu Randai Minangkabau. Kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo adalah salah satu wadah dalam media tradisional randai ini. Penyampaian pesan yang mudah ditangkap dan dicerna oleh masyarakat yang menyaksikan atau mengalaminya menjadi dasar yang sangat kuat untuk mempertahankan bentuk dan media komunikasi tradisional. Kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo selalu berusaha untuk tetap eksis dalam menghidupkan komunikasi media tradisional walaupun bukan menjadi perkara yang 8 I Gusti Ngurah Putra. 2007. Media Tradisional sebagai Saluran Komunikasi dan Diseminasi Informasi dalam Tinjauan Komunikasi Massa. Disampaikan saat Sarahsehan dan Diskusi Panel Forum Komunikasi Media Tradisional yang diselenggarakan Badan Informasi Daerah Pemerintahan DIY, 30 April 2007. Hal 3. 19 mudah. Oleh sebab itu fokus pada penelitian ini terletak pada cara kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito Randai melalui: 1. Adaptasi: Kelompok tradisi minang Palito Nyalo harus mampu beradaptasi dengan dunia yang beubah dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban yang telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia, yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul. Palito Nyalo dituntut harus mampu mengatasi kebutuhan yang datang dari luar. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak kandas di tengah jalan. Kebudayaan Minangkabau adalah kebudayaan yang dinamis, terbuka terhadap inovasi, maka perkembangan Randai dewasa ini cukup beragam. Ada unsur-unsur gerak dan musik baru yang diadaptasi ke dalam Randai, yang umumnya berasal dari lagu-lagu melayu bahkan juga dari musik dangdut. Idiom baru ini antara lain diadaptasi untuk membuat pertunjukan Randai tetap relevan dengan perkembangan masyarakat dan zamannya 2. Pencapaiapan Tujuan: Kelompok tradisi minang Palito Nyalo harus mendefinisikan dan memiliki tujuan yang jelas, tanpa adanya goal yang jelas tidak dapat muncul sinergi antara kelompok Palito Nyalo dan masyarakat penikmat randai minangkabau. Tujuan bersama yang dimiliki kelompok tradisi minang Palito Nyalo dari masa ke masa juga dapat bertransformasi karena terus diperbaiki mengikuti dinamika pada masanya. 3. Integrasi: Kelompok tradisi minang Palito Nyalo harus mengatur hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Bisa dikatakan, integrasi yang dilakukan Palito Nyalo juga bertugas mengatur hubungan antara fungsi Adapatation, Goal, dan Latency. Selain itu, Palito Nyalo disini diminta untuk melakukan penyesuaian antara unsur kebudayaan yang saling berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan saat ini. 20 4. Latensi: Kelompok tradisi minang Palito Nyalo harus memelihara dan juga terus memperbaiki diri, baik dari segi motivasi pada kelompok ini maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi itu sendiri yang kemudian akan tertanam dalam diri kelompok Palito Nyalo. Nilai budaya adalah endapan perilaku manusia. Budaya yang ada itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari pada masa terdahulu ke masa sekarang, tetapi Palito Nyalo tetap memelihara nilai-nilai yang dianggap luhur. Kesenian ini merupakan wujud identitas, jati diri yang dimiliki masyarakat Minangkabau yang tidak dimilik oleh daerah lain. Oleh karena itu, seharusnya masyarakat menyadari apa yang dimiliki dan mampu untuk melestarikan serta mengembangkan kesenian ini terutama sekali dalam masyarakat Minangkabau dan kemudian bisa mempromosikannya ke daerah-daerah lain bahkan keluar negeri sekalipun. G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Metode Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mendasarkan diri pada data yang dihimpun dan disusun secara sistematik, faktual dan cermat. Metode deskriptif tidak menjelaskan hubungan antara variable, tidak menguji hipotesis atau melakukan prediksi.9 Dengan demikian pelaksaan metode deskriptif tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data itu.10 Metode penelitian deskriptif juga dapat diuraikan sebagai prosedur pemecah masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau menuliskan keadaan subyek atau obyek penelitian suatu lembaga masyarakat dan lain-lain. 9 Rakhmat, Jalaluddin. 1984. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Karya. Hal 37. Surakhmad, Winarno. 1982. Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi Ilmiah. Bandung: Tarsito. Hal 139. 10 21 Selanjutnya Surakhamad memberikan sifat-sifat metode deskriptif yang terdiri dari dua macam: a. Memutuskan pada masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalahmasalah aktual. b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa karena itu metode ini sering disebut metode analitik.11 Penelitian deskriptif biasanya mempunyai dua tujuan yaitu: a. Untuk mengetahui perkembangan sarana fisik tertentu atau frekuensi terjadinya suatu aspek fenomena sosial tertentu. b. Untuk mendeskripsikan fenomena sosial tertentu, umpamanya sistem sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain. Penelitian seperti ini biasanya dilakukan tanpa hipotesa yang telah dirumuskan secara kilat. Ada kalanya menggunakan hipotesa tetapi bukan diuji secara statistik.12 2. Obyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini adalah kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo, yang mana merupakan sebuah kelompok seni pertunjukan randai yang sudah berjalan kurang lebih 20 tahun terakhir. Kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo yang hingga saat ini masih hadir di tengah masyarakat dalam menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito minangkabau melaui Randai. Penulis menetapkan Kelompok Kesenian Tradisi minang Palito Nyalo sebagai obyek dengan alasan, dari kelompok kesenian yang ada di Minangkabau, Kelompok 11 12 Ibid. Hal 140. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Hal 4. 22 Kesenian Tradisi minang Palito Nyalo lah yang sampai saat ini masih mempertahankan keberadaan tradisi tutur lisan melalui randai dengan segala kreativitasnya dalam berkesenian. Selama 20 tahun ini Palito Nyalo sudah cukup dikenal masyarakat luas, para pecinta seni tradisi randai serta lembaga kesenian kota Padang. Penelitian ini dilaksanakan langsung di lokasi latihan dan kesekretariatan kelompok kesenian tradisi minang Palito Nyalo yakni di Jalan Koto Panjang, Kelurahan Limau Manis, Kecamatan Pauh, Sumatra Barat. Adapun peneliti memilih lokasi ini agar mendapatkan data yang akurat dengan cara mengunjungi objek secara langsung. 3. Teknik Pengumpulan Data Data Primer Observasi Peneliti akan mengikuti keseharian informan dan akan turut serta dalam kegiatan informan untuk mengetahui konteks sosial dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara mendalam Wawancara disini berarti peneliti melakukan Tanya jawab dengan informan berkaitan dengan suatu peristiwa atau masalah tertentu. Untuk mendapatkan alternative data yang mendalam dan terperinci maka peneliti akan melakukan indepth interview dengan menggunakan interview guide yakni peneliti akan terlebih dahulu menyiapkan pertanyaan yang akan diajukan yang berisi garis bersar topik atau sejumlah pertanyaan umum sebagai pedoman untuk memperoleh informasi. 23 Data Sekunder Studi pustaka. Tidak hanya melakukan observasi dan wawancara, studi pustaka juga dibutuhkan dalam memperoleh informasi. Studi pustaka disini terkait dengan buku-buku pendukung yang dapat menambah muatan dalam penelitian ini. Teknik studi pustaka dianggap mampu memberikan kelengkapan data untuk menjawab pertanyaan peneliti yang masih dilevel permukaan. Studi pustaka juga digunakan untuk memperdalam informasi secara lebih teoritis. Dokumentasi. Penggunaan dokumentasi dalam penelitian ini adalah sebagai data pendukung dan menambah bukti dari sumber-sumber lain. Dokumen dapat menambah rincian spesifik serta inferensi dapat dibuat dari dokumen-dokumen yang ada. 4. Teknik Analisis Data Pengertian teknik analisis data menurut (Bogdan dan Biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data dan kemudian memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari serta memutuskan apa yang akan diceritakan kepada orang lain.13 Seperti halnya yang diutarakan oleh Patton (1980:268), analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan diantara dimensi- 13 Lexy. J. Moleong. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hal 248 24 dimensi uraian.14 Data yang telah diproses kemudian disederhanakan kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami, setelah itu disajikan secara sistematis, menarik kesimpulan dan melakukan evaluasi. Penelitian ini adalah suatu penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis berdasarkan teori –teori tertentu. Oleh sebab itu analisa data penelitian akan dilakukan secara pemaparan dan kualitatif. Sesuai dengan sifatnya maka penelitian ini berusaha untuk melakukan analisis terhadapat kelompok tradisi minang palito nyalo dalam menjaga tradisi tutur lisan bakaba barito randai minang kabau. Untuk memudahkan proses analisis, peneliti membagi penyajian data menjadi tiga bagian yaitu: 1. Penyajian data deskriprif Peneliti akan menguraikan hasil pencarian data-data primer dan sekunder secara deskriptif untuk memahami fenomena-fenomena yang terjadi secara menyeluruh dan mendalam mengenai kelompok kesenian Randai. 2. Penyajian data evaluatif Peneliti kemudian akan mengevalusi cara dan upaya kelompok kesenian dalam menjaga serta melestarikan tradisi tutur lisan bakaba barito Randai sebagai media komunikasi tradisional di minangkabau. Evaluasi akan dikaitan dengan teori-teori yang ada agar bisa ditarik kesimpulan dari fenomena yang ada. 3. Penyajian data konklusif Terakhir peneliti akan memaparkan simpulan, kritik, serta saran untuk mempertegas penelitian ini. 14 Ibid. Hal 280 25