BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan pengungsi dan pencari suaka hingga saat ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia internasional. Ketimpangan pembangunan dan peristiwa perang yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menjadi penyebab tingginya angka pengungsi di dunia. Badan Pengungsi PBB mengatakan lebih dari 51 juta orang terpaksa mengungsi tahun lalu, jumlah tertinggi sejak Perang Dunia II. 1 Salah satu Negara yang yang banyak dipilih untuk menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka ini adalah Australia. Sejak abad ke-19 Australia sudah menjadi Negara tujuan bagi para imigran dari seluruh penjuru dunia. Imigran-imigran itulah yang kemudian menjadi penduduk Australia sampai saat ini. Sampai sekarangpun Australia masih menjadi tujuan para pencari suaka. Australia sendiri sudah memiliki catatan tentang kedatangan manusia perahu sejak tahun 1970an. Manusia perahu pertama yang tiba di pantai utara Australia berasal dari Vietnam. Hingga lima tahun selanjutnya, jumlah kedatangan manusia perahu dari Vietnam terus meningkat.2 Ketika gelombang kedua (1989-1998) pencari suaka tiba di Australia, topik ini menjadi isu hangat yang diperbincangkan publik dikarenakan manusia perahu ini secara rutin dipertahankan di rumah detensi dalam waktu yang cukup lama. Tapi, lama kelamaan isu ini dilupakan. Tahun 1999, isu ini kembali 1 “PBB:Jumlah Pengungsi Capai Rekor 51 Juta di Seluruh Dunia”, http://www.voaindonesia.com/content/pbb-jumlah-pengungsi-capai-rekor-51-juta-di-seluruhdunia-/1941247.html, diakses pada 5 September 2014. 2 “Pelanggaran Australia Terhadap Perairan Indonesia: Apakah Indonesia Sudah Cukup Peduli?”, http://www.fkpmaritim.org/pelanggaran-australia-terhadap-perairan-indonesia-apakahindonesia-sudah-cukup-peduli/, diakses pada 5 September 2014. 1 menjadi berita dengan meningkatnya jumlah kedatangan pencari suaka secara drastis.3 Kebijakan penanganan pencari suaka mendapat perhatian ketika naiknya Perdana Menteri dipegang oleh John Howard. Demi mencegah masuknya kapal-kapal tidak sah ke wilayah perairan Australia dan mencegah pencari suaka (serta penyelundup) yang berupaya masuk ke Australia, pada tahun 2001, Howard membuat kebijakan yang disebut Operasi Relex. Operasi Relex ini sendiri ialah strategi perlindungan perbatasan Australia di laut lepas dengan melakukan pencegatan, penahanan, dan pencegahan kapal yang membawa orang-orang yang hendak masuk ke Australia tanpa visa.4 Selanjutnya, pada periode kepeimpinan Kevin Rudd, kebijakan penanganan pencari suaka beralih pada tindak pengamanan perbatasan yang dirancang untuk mengganggu kerja penyelundup manusia.5 Pada periode ini, angka kedatangan pencari suaka terus naik. Akibat menangani pencari suaka ini, Australia menghabiskan dana yang cukup besar. Antara tahun 2007-2008 dan 2013-2014, anggaran untuk mengelola kedatangan perahu ilegal meledak hingga $10,3 miliar. Besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk kebijakan penanganan pencari suaka telah menyita perhatian para pemimpin dan calon pemimpin Australia. Di masa Perdana Menteri Kevin Rudd, pemerintah Australia telah mengeluarkan kebijakan kontroversial dalam menangani pencari suaka. Australia mengeluarkan kebijakan mengirim pencari suaka yang datang ke Australia melalui laut ke Negara terdekat, dalam hal ini adalah Papua New Guinea dan Kepulauan Nauru di Pasifik. Kebijakan ini ditujukan untuk mengatasi jumlah rekor pencari suaka di Australia. Untuk perannya dalam rencana suaka tersebut Papua New Guinea akan menerima bantuan dana 3 Ibid. Ibid. 5 J Phillips and H Spinks, Boat arrivals in Australia since 1976, Background note, Parliamentary Library, Canberra, 2013 4 2 dalam jumlah besar.6 Kesepakatan antara kedua Negara tersebut pada intinya mengatakan bahwa semua pencari suaka yang tiba dengan perahu kini akan dikirim ke Papua New Guinea dan tidak akan dimukimkan kembali di Australia jika permohonan suaka mereka tidak berhasil. Menyikapi besarnya dana yang dikeluarkan untuk menangani pencari suaka pada masa Kevin Rudd ini, Partai koalisi (Tony Abbott dan koalisi) melihat hal ini sebagai sesuatu yang serius. Karena dana tersebut akan lebih bermanfaat jika dialokasikan untuk pendidikan atau infrastruktur dibandingkan dengan mengurusi pencari suaka. Pada pemilihan Perdana Menteri baru Australia yang berlangsung tahun lalu, isu pencari suaka menjadi topik hangat dan menjadi perdebatan diantara kedua kandidat; Kevin Rudd dan Tony Abbott. Setelah naiknya Tony Abbott sebagai perdana menteri Australia, Australia mengubah kebijakan pencari suaka. Australia mengubah kebijakan pencari suaka sehingga pencari suaka yang tiba di daratan utama negara itu dengan perahu dapat dikirim ke Pulau Nauru di Pasifik atau Papua New Guinea untuk pemrosesan imigrasi. Dimana, pemerintah Australia mempunyai kewenangan mengirim pengungsi ke pusat detensi di Nauru dan apabila mereka mendarat di wilayah-wilayah kepulauan terpencil seperti Christmas Island. Kebijakan ini berlaku sejak pertengahan 2013.7 Di dalam negeri, kebijakan ini telah mendapat kecaman luas, karena menganggap Australia melanggar hak asasi manusia. Kelompok pejuang hak asasi manusia mengecam dam menuduh Australia gagal memenuhi persyaratan konvensi pengungsi. Dengan perubahan ini maka para pencari suaka yang mendarat di wilayah utama tidak lagi mempunyai keuntungan untuk tetap berada di Australia selama urusan keimigrasian mereka diproses 6 “Rencana Australia soal Penari Suaka Dikecam”, http://www.voaindonesia.com/content/rencana-australia-soal-pencari-suakadikecam/1707191.html, diakses pada 10 September 2014 7 “Australia Ubah Kebijakan Pencari Suaka”, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/05/130516_australia_suaka_kebijakan.shtml, diakses pada 5 September 2014 3 oleh pihak berwenang. Menyikapi kebijakan ini, tidak semua stakeholder di Australia menyetujui. Tak kurang, Komisi Hak Asasi Manusia Australia mengecam perubahan kebijakan ini dengan alasan merongrong kewajiban negara itu berdasarkan konvensi pengungsi. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan menyatakan usulan partai oposisi Australia atas kebijakan untuk mengusir para pencari suaka perahu ke Papua New Guinea itu adalah kebijakan yang kontraproduktif dengan komitmen Australia terhadap aturan internasional tentang kepengungsian. Demikian juga, Sekretaris Jenderal PBB, Ban Kimoon telah mengemukakan keperihatinannya atas kebijakan yang diambil Australia dalam menangani masalah pengungsi. 8 Sebagai salah satu penandatangan konvensi pengungsi atau pencari suaka, Australia dikenakan kewajiban untuk menampung pengungsi. Menurut Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1967 tentang Asilum Teritorial (UN. Declaration on Territorial Asylum 1967), negara anggota dikenakan kewajiban internasional untuk mengembangkan instrumen hukum internasional untuk para pengungsi dan juga untuk memastikan bahwa mereka diperlakukan khusus yang berkaitan dengan hak untuk bekerja, jaminan sosial, serta akses terhadap dokumen perjalanan (UNHCR, 2005: 58). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik meneliti tentang kebijakan pemerintah Australia pada era Tony Abbott terhadap pencari suaka atau pengungsi manusia perahu dengan judul penelitian “Kebijakan Pemerintah Australia Di Bawah Kepemimpinan Tony Abbott Terhadap Pencari Suaka”. 8 “Kebijakan Pengungsi Australia jadi masalah Bagi Negara Tetangga”, http://www.kawasanperbatasan.com/kebijakan-pengungsi-australia-jadi-masalah-bagi-negaratetangganya, diakses pada 5 September 2014 4 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut: - Bagaimana kebijakan pemerintah Australia di bawah Perdana Menteri Tony Abbott terhadap pencari suaka dan apa yang membedakan dengan Kevin Rudd? C. Landasan Konseptual Dalam penelitian ini, rencananya penulis akan menggunakan beberapa konsep/teori untuk menjawab pertanyaan penelitian. Konsep/teori tersebut diantaranya : 1. Konsep Hak Asasi Manusia Sebagai sebuah konsep yang belaku secara universal, hak asasi manusia melekat dalam diri manusia karena kodratnya sebagai manusia. Universalitas hak asasi manusia melintasi batas agama, suku, etnis, warna kulit, jenis kelamin, latar belakang kultural dan politiknya. Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia, kodrati dan alami sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa. Hak Asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya didalam kehidupan masyarakat.9 Oleh karena itu, wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang. Nilai-nilai 9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 120. 5 persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam HAM dapat mendorong terciptanya masyarakat yang menjadi ciri civil society.10 Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hak-hak asasi manusia adalah ideologi universal pertama di dunia. Cita-cita agama, politik, filsafat,dan ekonomi memiliki penganutnya di berbagai bagian dunia, akan tetapi hak-hak asasi manusia merupakan sebuah gagasan yang sekarang ini telah diterima di seluruh dunia.11 Di samping sebagai pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk perhambaan, penindasan, perampasan penganiayaan atau perlakuan buruk lainnya, sesungguhnya hakikat perlindungan hak asasi manusia adalah mewujudkan dan memelihara keseimbangan. Keseimbangan antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.12 Di sepanjang sejarah perkembangan hak asasi manusia, ada tiga aspek dalam keberadaan manusia yang harus dijaga atau diselamatkan: yaitu integritas, kebebasan dan keseteraan. Hukum dasar bagi tercapainya tiga aspek ini adalah penghormatan terhadap martabat setiap manusia.13 Integritas, kebebasaan, dan kesetaraan menjadi suatu yang seringkali tidak dapat diwujudkan oleh suatu negara, banyaknya etnis dalam suatu negara menjadi salah satu faktor yang menjadikan beberapa etnis yang tergolong minoritas menjadi komunitas yang terdiskriminasi dalam negara tersebut. Hal yang juga seringkali dijumpai adalah adanya komunitas dalam suatu negara tidak diakui sebagai warga negara dimana dia berada. Selanjutnya dalam hukum internasional mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan disebut stateless persons. Stateless persons merupakan individu yang tidak diakui sebagai warga negara oleh satu negara berdasarkan aturan hukum negara tersebut, di mana individu tersebut tinggal. 10 El Muhtaj Madja, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, hal.1. David Weissbodrt, Hak-hak Asasi Manusia Sebuah Bunga Rampai, hal.1 12 Baharuddin Lopa, Hakikat HAM: Keseimbangan, dalam Kumpulan artikel Baharuddin Lopa di Harian Kompas Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Cet. II, hal. 156 13 Elsam (e.d) Ifdhal kasim dan Johanes da Masenus Arus, 2001, Hak Ekonomi Sosial dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, hal. 10 11 6 Dalam perkembangan hukum hak asasi manusia kontemporer telah mempengaruhi kedaulatan negara dalam masalah kewarganegaraan dan perlindungan terhadap mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan.14 Perkembangan tersebut semakin meluas ketika stateless persons tersebut terlibat konflik dengan komunitas lokal yang diakui sebagai warga negara suatu negara, dan mendesak mereka untuk meninggalkan suatu negara menuju negara lain. Dalam hukum internasional memperoleh status kewarganegaraan merupakan suatu yang mutlak adanya, beberapa konvensi yang mengatur persoalan tersebut, seperti Universal Declaration of Human Rights 1948, yang menjadi ruh kebijakan-kebijakan internsional termasuk terkait kebijakan terhadap pengungsi dan lain-lain. Kebijakan pemerintah Australia di bawah pemerintahan Tony Abbott menghalau pengungsi bertentangan dengan ketentuan deklarasi hak asasi manusia 1948. Selain itu, Australia sebagai penandatangan Konvensi Jenewa tahun 1951 yang mengharuskan Australia memberikan perlindungan dan menangani pengungsi atau pencari suaka. 2. Konsep Kedaulatan dan Keutuhan Negara Kedaulatan merupakan terjemahan atas bahasa Inggris yaitu sovereignty berasal dari kata Latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Bila dikatakan bahwa Negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya. Jadi pembatasan yang penting ini yang melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa 14 Tang Lay Lee, 2005, Stateless, Human Rights and Gender Irregular Migrant Workers from Burma in Thailand, volume 9, hal. 15 7 kekuasaan yang dimiliki oleh suatu Negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas. Dalam kedaulatan Negara terbatas dan bahwa batas ini terdapat dalam kedaulatan Negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri. Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak perlu bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari Negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau dengan istilah lain merdeka (independent) yang satu dari yang lainnya. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence) juga paham persamaan derajat (equality). Artinya, bahwa negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya. Dalam hukum internasional dijelaskan bahwa imunitas negara berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hukum yang menentukan kondisi-kondisi dimana suatu negara asing dapat meminta pembebasan yurisdiksi (wewenang legislatif, yudikatif dan administratif) dari negara lainnya (seringkali disebut dengan istilah “forum stat)”.15 Dari sudut istilah, imunitas negara memiliki arti bahwa terhadap setiap negara berdaulat, yurisdiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau dengan kata lain secara khusus pengadilan suatu negara tertentu tidak dapat mengadili negara lain. Hal tersebut dikarenakan menurut hukum internasional setiap negara mempunyai kedaulatan dan persamaan kedudukan. Oleh karena itu adalah tidak sepantasnya atau tidak benar hakimhakim satu negara mengadili negara lain sebagai tergugat. 16 Kedudukan hakim lebih tinggi dari tergugat dan hal tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan tersebut diatas. Selanjutnya dalam hukum internasional dikenal suatu prinsip yang mengatakan “par in parem non habet jurisdictionem”, yang artinya bahwa setiap negara mempunyai kedudukan 15 Peter Malanczuk, Akehurst's, Modern Introduction to International Law (Seventh. Revised Edition), hal. 118. 16 Ibid. 8 yang sama dan sejajar, tidak ada satu negara yang melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara lain tanpa dengan persetujuan Negara lain tersebut. Dengan demikian, adanya kekebalan negara dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kedaulatan negara (state sovereignty) dan persamaan kedudukan antar negara (equality of the states). Berdasarkan ajaran kedaulatan ini maka dalam setiap wilayah atau Negara hanya berlaku satu macam hukum, yaitu hukum dari negara yang memiliki kedaulatan di wilayahnya tersebut. Hukum itu berlaku baik terhadap orang-orang, benda-benda maupun perbuatanperbuatan hukum yang dilakukan disana.17 Bagaimana suatu Negara akan mengatur wilayahnya tidak dapat dicampuri oleh negara lain tanpa persetujuannya. Ini adalah prinsip teritorial, yang memberikan kepada setiap bangsa (negara) hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Adapun dasar hukum dari persamaan kedaulatan dan kedudukan Negara dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai tujuan organisasi ini yaitu, untuk memajukan hubungan persahabatan antar bangsabangsa berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak dan hak bangsabangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasal 2 ayat (1) lebih lanjut menyatakan bahwa organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini berlandaskan pada asas-asas persamaan kedaulatan dari semua anggota-anggotanya. Imunitas negara dari intervensi badan-badan peradilan negara lain pada hakekatnya meliputi imunitas dari yurisdiksi (immunity from jurisdiction) dan imunitas dari eksekusi (immunity from execution). Imunitas dari yurisdiksi asing berarti suatu negara yang berdaulat tidak tunduk ke dalam yurisdiksi negara lain atau kebal terhadap yurisdiksi negara asing. Sementara, yang dimaksud dengan kekebalan dari eksekusi pengadilan negara asing terutama berkenaan dengan hak milik dari negara yang berdaulat yang terletak di luar batas-batas wilayah negaranya. Artinya, hak milik dari suatu 17 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, hal. 141. 9 negara berdaulat yang berada dalam wilayah negara asing akan kebal dari eksekusi pengadilan negara tersebut.18 Berdasarkan uraian di atas, kedaulatan suatu negara merupakan hak yang dimiliki oleh suatu negara berdaulat untuk mengatur dan melindungi Negara dari hal-hal yang dapat mengganggu kedaulatan Negara tersebut. Suatu Negara dalam teori kedaulatan bebas untuk menentukan nasib dari negaranya sendiri terbebas dari campur tangan Negara lain. Demikian juga dalam menentukan kebijakan pengungsi, dalam hal ini Australia bebas mengeluarkan kebijakan yang tidak melampaui hak-hak asasi manusia, serta konvensi yang berada di bawahnya. 3. Imigran/Asylum Seeker Berdasarkan Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967, seseorang disebut pengungsi ketika ia memiliki dasar dan ketakutan yang beralasan akan menjadi korban penyiksaan atas dasar ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, ataupun karena opini politiknya, dimana ia kemudian berada di luar negara asalnya dan tak dapat ataupun tak ingin kembali ke negeri asalnya karena alasan akan menjadi korban penyiksaan (persecution). Pengertian 'pengungsi' amat berbeda dengan migran. Migran adalah mereka yang berpindah ke luar negaranya karena pilihan sendiri dan lebih karena alasan ekonomi, ataupun karena ingin mencari penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, 'pengungsi' adalah mereka yang 'terpaksa" pindah dari negerinya karena alasan yang kuat akan menjadi korban penyiksaan dan ketidakamanan. Sementara itu, pencari suaka (asylum seekers) adalah orangorang yang terusir dari negerinya dan mencari suaka (asylum) ke negeri lain dan dimana ia belum mendapatkan keputusan tentang 'status pengungsi' (refugee status) –nya. Pencari suaka adalah mereka yang belum mengajukan 18 Peter Malanczuk, Op. Cit., hal. 118. 10 permohonan ataupun sedang menunggu hasil keputusan mengenai 'status pengungsi' –nya dari suatu negara. Stateless persons atau 'orang tanpa kewarganegaraan' adalah seseorang yang tak diakui sebagai warga negara oleh yurisdiksi hukum suatu negara. Stateless persons adalah juga memenuhi kualifikasi untuk disebut sebagai pengungsi. Melihat pengertian di atas, mereka adalah orang-orang tanpa kewarganegaraan (stateless persons) sekaligus pencari suaka (asylum seekers). Namun tidak jelas apakah kemudian suatu negara akan memberikan kepada mereka status sebagai 'pengungsi" (refugees) atau tidak. Berdasarkan pasal 14 (1) Deklarasi HAM Universal 1948, setiap orang memiliki hak untuk mencari dan menikmati suaka dari negara lain karena takut akan penyiksaan (well founded fear from persecution). Setiap pencari suaka-pun memiliki hak untuk tidak diusir atau dikembalikan secara paksa apabila mereka telah tiba di suatu negara dengan cara yang tidak lazim. Prinsip ini kemudian dikenal sebagai non refoulement. Pasal 33 (1) Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan utuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial ataupun opini politik tertentu. Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi 1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) pasal 3, Konvensi Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun 1949 pada pasal 45 paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) tahun 1966 pasal 13, dan instrumen-instrumen HAM lainnya. Lebih dari itu, prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties), atau belum meratifikasi 11 Konvensi Pengungsi 1951 –pun harus menghormati prinsip non refoulement ini. D. Argumen Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, serta teori di atas, maka argumen penelitian ini adalah: - Kebijakan perdana menteri Australia baik Kevin Rudd maupun Tony Abbott dalam menyikapi pencari suaka yaitu sama-sama menerapkan kebijakan yang keras terhadap kedatangan pencari suaka yang datang dari laut menuju daratan Australia. Perbedaaan kebijakan pada masa Kevin Rudd, kebijakan Australia dianggap lebih lunak dan mengedepankan sisi kemanusiaan dalam menangani pencari suaka dibandingkan dengan kebijakan pemerintah sebelumnya. Sedangkan pada masa Tony Abbott perjanjian yang telah ada, seperti pengiriman para pencari suaka yang menggunakan perahu ke Pulau Nauru di Pasifik atau Papua New Guinea untuk pemrosesan imigrasi semakin diperkuat untuk mengurangi intensitas kedatangan para pencari suaka. Pemerintahan Tony Abbott juga melakukan berbagai operasi, salah satunya adalah operasi sovereign borders untuk menghalau para pencari suaka yang datang dari laut untuk dikembalikan ke Negara terdekat atau Negara asal keberangkatan terakhir mereka. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Australia dalam menangani pencari suaka ini diduga melanggar hak asasi manusia karena para pencari suaka yang seharusnya mendapatkan perlindungan menjadi semakin tidak jelas nasibnya dengan kebijakan yang ada. - Pemerintah Australia di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Tony Abbott cenderung menerapkan kebijakan yang keras untuk mengatasi masalah pencari suaka. Hal ini disebabkan realitas yang dilihat oleh 12 pemerintah Australia bahwa sebagian besar dari para pencari suaka yang datang ke Australia bukan hanya karena adanya konflik di Negara mereka, tetapi lebih disebabkan oleh faktor ekonomi. Australia sebagai Negara maju memiliki stabilitas ekonomi dan politik yang baik. Hal inilah yang membuat para pencari suaka tertarik untuk datang ke Australia walaupun dengan resiko yang sangat besar. Selain itu Australia merasa kedatangan para pencari suaka tersebut dapat mengganggu kedaulatan negaranya, menyebabkan gangguan keamanan dalam negeri serta adanya ketakutan jika terlalu banyak pencari suaka yang masuk ke Australia maka akan merebut lapangan kerja yang seharusnya menjadi hak warga lokal. E. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu dengan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan dari sumber-sumber yang dapat diamati dan menganalisa permasalahan dengan data tersebut. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan atau library research dimana untuk mendapatkan data berasal dari literatur, jurnal, laporan penelitian, internet serta berbagai liputan yang ditampilkan dari majalah, dan atau koran. Teknik analisa data dilakukan dengan menggunakan model interaktif, melalui tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus selama penelitian berorientasi kualitatif. Bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, antisipasi akan adanya reduksi data sudah tampak waktu penelitiannya memutuskan 13 kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian dan pendekatan pengumpulan data yang mana yang dipilih. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo). Reduksi data/proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. F. Sistematika Penulisan Agar memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis akan membagi ke dalam beberapa bagian pembahasan yaitu: BAB I Pendauluan. Pendahuluan membahas tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Landasan Konseptual, Argumen, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Pencari Suaka di Australia. Pada bagian ini dibahas tentang profil Negara Australia, gambaran tentang kedatangan pencari suaka di Australia, faktor – faktor yang menarik pencari suaka untuk datang ke Australia, dan tanggapan dari masyarakat maupun PBB terhadap kebijakan pemerintah Australia dalam menangani masalah pencari suaka. BAB III Kebijakan Pemerintah Australia Terhadap Pencari Suaka. Pembahasan pada bab ini terkait dengan kebijakan pemerintah Australia di bidang pencari suaka pada masa PM Kevin Rudd dan Tony Abbott. Kemudian dilanjutkan dengan perspektif hukum internasional dan melihat kebijakan tersebut dari teori yang penulis canangkan diawal. 14 BAB IV Penutup. Penutup berisi tentang kesimpulan penulis atas permasalahan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Bagian ini menunjukkan daftar sitasi dan sumber – sumber informasi yang digunakan dalam penulisan penelitian ini. LAMPIRAN Pada bagian ini akan diberikan lampiran berupa data-data atau dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan penelitian untuk menampilkan relevansi dan mendukung keabsahan penelitian. 15