Siaran Pers Komnas HAM Jangan Kriminalisasi Pencari Suaka!

advertisement
Siaran Pers Komnas HAM
Jangan Kriminalisasi Pencari Suaka!
Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Indonesia dihadapkan pada
banyaknya kejadian terkait pengungsi dan pencari suaka dengan tujuan Australia
yang memasuki wilayah perairan Indonesia untuk memperoleh perlindungan
internasional. Sebagian dari mereka mengalami nasib buruk ketika perahu
mereka karam diterjang ombak atau tertangkap petugas keamanan Indonesia.
Seperti ramai diberitakan, pada 1 Nopember 2011 sekitar 70 orang
pengungsi dan pencari suaka tenggelam di Pantai Pangandaran, Ciamis. Insiden
itu menewaskan enam orang, termasuk dua anak-anak dari keluarga mereka.
Kemudian pada 17 Desember 2011 kapal berkapasitas 100 penumpang yang
mengangkut 251 orang pengungsi dan pencari suaka karam di Perairan Prigi,
Trenggalek, Jawa Timur. Insiden itu menewaskan sekitar 95 orang, sementara
49 orang selamat, dan 71 lainnya dinyatakan hilang. Terkini, pada 4 Februari
lalu, Polri mengamankan 96 orang pencari suaka asal negara Afganistan dan
Iran yang akan menuju perairan Australia melalui Kecamatan Cipatujah,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Masalah pengungsi dan pencari suaka bukanlah isu baru. Selain
terorisme dan perubahan iklim, isu tentang pengungsi dan pencari suaka
menjadi masalah global paling pelik dalam dua dekade terakhir ini. Menurut
UNHCR (Organisasi Internasional yang menangani masalah Pengungsi dan
Pencari Suaka) Global Trend Report 2010, terdapat hampir 34 juta pengungsi
dan pencari suaka di seluruh dunia pada 2010. Adapun 14 juta di antara berasal
dari negeri-negeri di Asia.
Jumlah pengungsi dan pencari suaka yang terus meningkat
menimbulkan persoalan tersendiri bagi Pemerintah Indonesia. Untuk membantu
pemerintah dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka, Komnas HAM
telah melakukan kajian atas tingginya arus masuk pengungsi dan pencari suaka
di Indonesia.
TEMUAN
Kajian yang dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan ini, terhitung sejak
Oktober s.d. Desember 2011, menghasilkan beberapa temuan, antara lain:
pertama, migrasi massal para pengungsi dan pencari suaka ke Indonesia
1
dengan tujuan Australia dipicu meningkatnya eskalasi konflik di di negara-negara
Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Barat, dan Asia Selatan. Kemakmuran
Australia dan jarak yang relatif dekat dengan negeri-negeri asal pengungsi dan
pencari suaka, menjadikan Australia sebagai tujuan akhir mereka. Di sisi lain,
secara geografis, Indonesia berada di persilangan antara negara-negara asal
pengungsi dan Australia. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi tempat
transisi pengungsi dan pencari suaka yang hendak ke Australia. Faktor inilah
yang menjadikan Indonesia pasti akan selalu “kebanjiran” pengungsi dan pencari
suaka. Berdasarkan data UNHCR, hingga Juni 2009 terdapat 1.928 orang
pengungsi dan pencari suaka yang masuk ke Indonesia. Sebanyak 441 orang di
antaranya adalah pengungsi dan 1.487 orang lainnya adalah pencari suaka.
Angka ini terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, menurut data Dirjen
Imigrasi, pada Januari—Juli 2010, imigran yang masuk ke Indonesia berjumlah
3.434 orang. Sebanyak 843 orang di antaranya merupakan pengungsi,
sementara sisanya adalah pencari suaka 2.591. Afganistan adalah asal negara
imigran yang paling banyak memasuki Indonesia.
Kedua, pemerintah belum memiliki kebijakan nasional yang
komprehensif dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka. Memang Pasal
25, 26, dan 27 UU No.37 Tahun 1999 mengamatkan tentang pengungsi dan
pencari suaka, namun setelah 12 tahun UU ini diberlakukan, Keputusan
Presiden (Keppres) tentang hal itu tidak pernah ada. Pihak imigrasi masih
melihat pengungsi dan pencari suaka secara legal formal (UU No.6 tahun 2011)
bahwa apabila sekelompok orang asing masuk ke wilayah Indonesia harus
memiliki paspor. Mereka dikelompokkan dalam rumpun yang sama dengan
imigran gelap yang melakukan pelanggaran administrasi imigrasi. Para
pengungsi dan pencari suaka ditahan dan ditempatkan di Rumah Detensi
Imigrasi (Rudenim).
Ketiga, kebijakan dan pola penanganan bersifat sektoral, sporadis, dan
minim perspektif HAM. Koordinasi antara Polri, TNI, Kemenlu, Dirjen Imigrasi
dan UNHCR tidak jelas. Di sisi lain, penempatan para pengungsi dan pencari
suaka di Rudenim melahirkan persoalan baru terkait perlindungan HAM
pengungsi dan pencari suaka tersebut. Kondisi rudenim sendiri tak ubahnya
seperti penjara dimana para pengungsi dan pencari suaka ditempatkan dalam
blok dan ruangan sel. Padahal mereka korban pelanggaran HAM di negara
asalnya, dan bukanlah pelaku kriminal. Di sisi lain, rudenim mengalami
overcapacity. Di Rudenim Kalideres yang berkapasitas 80 orang, misalnya, diisi
oleh 120 orang. Alhasil, banyak penghuni rudenim mengalami tekanan psikologis
dan berkeinginan kuat untuk bunuh diri atau kabur. Pada 13 November 2011
sebanyak 13 pencari suaka kabur dari Rudenim Tanjungpinang. Seorang dari
mereka gagal menembus kawat berduri Rudenim dan tewas, sementara seorang
lainnya yang juga gagal kabur mengalami luka parah. Seminggu sebelumnya,
seorang pencari suaka asal Sri Langka berusaha bunuh diri dengan memotong
urat nadi tangannya namun cepat dicegah petugas Rudenim.
Keempat, tiadanya kebijakan protektif terhadap pengungsi dan pencari
suaka telah memunculkan fenomena percaloan dan menyuburkan praktik-praktik
pencarian rente di kalangan aparat pemerintah kita. Dalam kasus Trenggalek,
2
menurut hasil penyidikan kepolisian, diketahui ada empat oknum TNI AD dan
seorang PNS Koramil yang membantu penyelundupan ilegal para pengungsi dan
pencari suaka ke Australia. Mereka diorganisir sejumlah warga asing dan
Indonesia agar bisa melewati Indonesia dan bisa mencari suaka di Australia.
Menurut keterangan para pengungsi dan pencari suaka yang selamat, mereka
dipungut bayaran sebesar 4.000—4.500 dolar (Rp 36—58,5 juta).
Kelima, Pemerintah Indonesia bukanlah negara pihak yang
menandatangani dan meratifikasi Konvensi 1951 ataupun Protokol 1967 tentang
Status Pengungsi. Akibatnya, Pemerintah Indonesia tidak dapat menentukan
sendiri status mereka sebagai pengungsi dan pencari suaka. Adapun penentuan
status dilakukan oleh UNHCR. Namun penentuan status itu memakan waktu
lama. Para deteni menunggu keputusan UNHCR tanpa kepastian. Masa tunggu
status tanpa kepastian inilah yang mengakibatkan kondisi psikologis para deteni
memburuk. Beberapa detensi mengalami stress tingkat tinggi. Ketidakpastian
penentuan status ini juga berimbas pada: (1) beban anggaran negara yang
makin berat untuk memenuhi kebutuhan dasar para pengungsi dan pencari
suaka; (2) masalah sosial baru ketika mereka membaur dengan masyarakat
setempat.
REKOMENDASI
Komnas HAM berpendapat bahwa perlindungan hak-hak pengungsi dan
pencari suaka mempunyai landasan hukum yang jelas, baik menurut hukum
internasional maupun nasional. Namun Pemerintah Indonesia belum memiliki
kebijakan komprehensif dalam perlindungan pengungsi dan pencari suaka.
Komnas HAM berpendapat bahwa pengungsi dan pencari suaka
bukanlah pelaku kriminal. Sebagian besar dari mereka justru merupakan korban
pelanggaran HAM atau tindak kekerasan lain yang menyebabkan mereka
mengalami ”ketakutan beralasan” untuk meninggalkan tanah air mereka. Mereka
berharap mendapatkan perlindungan (suaka) internasional dan dapat menikmati
hidup layak.
Komnas HAM memandang langkah ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951
dan Protokol 1967 memberikan manfaat bagi Pemerintah Indonesia,
diantaranya, pertama, Pemerintah Indonesia dapat menentukan sendiri status
para pengungsi dan pencari suaka. Hal ini memberikan kesempatan lebih besar
bagi Pemerintah Indonesia untuk terlibat langsung dan berkontribusi dalam
penanganan pengungsi dan pencari suaka sesuai kepentingan nasional. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa pencarian suaka tidak dijadikan selubung bagi
pelarian orang yang terlibat dalam tindak pidana dan kejahatan menurut hukum
internasional. Tanpa ratifikasi, keputusan tentang status para pengungsi dan
pencari suaka sangat tergantung pada keputusan UNHCR. Komnas HAM
menemukan fakta bahwa penentuan status oleh UNHCR memakan waktu yang
sangat lama dan berimbas pada situasi ketidakpastian yang dihadapi para
pengungsi dan pencari suaka—yang bermuara pada beratnya tekanan psikologis
yang dialami pengungsi dan pencari suaka serta rudenim yang overcapacity.
3
Kedua, Pemerintah Indonesia dapat memperoleh bantuan dan
kerjasama internasional terkait dengan penguatan kapasitas nasional dalam
penanganan pengungsi dan pencari suaka. Kerjasama internasional akan
mendorong penyelesaian masalah pengungsi dan pencari suaka dengan cara
yang lebih komprehensif. Dengan demikian, beban penanganan pengungsi dan
pencari suaka tidak ditanggung semata-mata oleh Pemerintah Indonesia, tetapi
juga ditopang pula oleh solidaritas dan kerjasama dengan komunitas
internasional yang bergerak pada isu pengungsi dan pencari suaka.
Jakarta, 10 Februari 2012
KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
KETUA
IFDHAL KASIM, S.H.
Kontak Person:
Elfansuri dan Asep Mulyana
HP: (021) 3925230 ext. 319
4
Download