Bab 2 Landasan Teori Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis tiga haiku yang didalamnya terdapat kata sakura atau dengan kata lain, haiku yang berhubungan dengan simbol sakura. Oleh karena itu, untuk analisis makna simbol sakura dalam haiku, pertama-tama penulis akan memaparkan “konsep-konsep filosofi masyarakat Jepang mengenai sakura” dalam landasan teori pada bab 2 ini. Lalu, dikarenakan makna keseluruhan dari ketiga haiku ini memiliki keterkaitan dengan konsep-konsep yang berhubungan dengan agama Buddha, maka penulis juga akan memaparkan tentang “konsep mengenai agama Buddha”. Selanjutnya, karena korpus data yang digunakan dalam penelitian ini adalah haiku Jepang, penulis akan memaparkan “teori haiku”, sedangkan untuk analisis korpus data, penulis menggunakan “teori semantik tentang makna”, “teori majas”, serta “teori pengkajian puisi” yang keseluruhannya terdapat dalam landasan teori pada bab 2 ini. 2.1 Konsep Filosofi Masyarakat Jepang Mengenai Sakura Secara etimologis, menurut Nelson (2005:500), kata sakura yang tertulis dalam kanji Jepang “ 桜 ” atau “ 櫻 ” diartikan sebagai pohon ceri yang berbunga atau suatu nama dari jenis bunga. Penggabungan kata “sakura” adalah dari kata “saku (咲く)” yang di dalam bahasa Jepang berarti “mekar”, ditambah akhiran yang menyatakan bentuk jamak “ra (ら)” (Gill, 2007:20). Menurut Hinder (1992:77), sakura pada musim semi, memiliki tempat yang spesial di dalam hati sanubari masyarakat Jepang. Keindahannya serta keistimewaan kondisi 16 mekar yang singkat dan kondisi gugur yang dramatis, membuat masyarakat Jepang memiliki bermacam-macam pemikiran yang berkaitan dengan sakura. Berdasarkan datadata yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber, penulis menemukan berapa konsep mengenai simbol bunga sakura bagi masyarakat Jepang antara lain: 1. Sakura sebagai simbol kebahagiaan dan harapan ( 喜びと願い ). Sakura yang berbunga pada musim semi, merupakan simbol kebahagiaan dan sukacita serta harapan dalam memulai segala sesuatu yang baru bagi masyarakat Jepang. Berkaitan dengan hal itu, Aikawa (1997:332), menyatakan seperti di bawah ini: 一般に桜はめでたいものとされる。桜の咲く4月に入学し、入社する習慣 のある日本では、希望に満ちた第一歩、明るい未来といったイメージが桜 と強く結び付いている。また、花びらの塩漬けに熱湯を注いだ桜湯は、め でたいものとして結婚式など祝いの席に出される。 Terjemahan: Umumnya, bunga sakura membawa nuansa perayaan. Kebiasaan di Jepang, pada saat sakura mekar dibulan April, adalah masa penerimaan siswa baru di sekolah dan penerimaan pegawai baru kantor, dimana langkah awal yang penuh harapan serta masa depan yang cerah, dikaitkan erat dengan simbol bunga sakura. Selain itu, sejenis minuman yang disebut sakura-yu, dimana kelopak sakura yang digarami, ditaburkan kedalam air panas, merupakan minuman yang melambangkan kebahagiaan, dan disajikan didalam acara pernikahan maupun acara-acara perayaan lainnya. Takahashi dalam Sari (2007:55), menyatakan bahwa ingatan masuk Sekolah Dasar bersamaan dengan bunga sakura yang mekar sempurna, merupakan pengalaman yang sama yang dialami oleh kebanyakan orang Jepang. Tidak ada sekolah yang halamannya tidak ditumbuhi pohon bunga sakura. Sakura sebagai bunga nasional ditanam di halaman sekolah, dicintai sebagai simbol musim semi yang penuh dengan harapan dan tahun fiskal baru. Ketika bunga sakura bermekaran, masyarakat Jepang melakukan 17 hanami, yaitu berpesta sambil menikmati keindahan bunga sakura yang mekar, seperti yang dipaparkan oleh Kimura (1991:249), di bawah ini: 日本全国中、桜の開花時期になると、お花見と称して、職場仲間や友人た ちが公園などに出掛け、桜の木の下に敷物を敷いて宴会をする。酒宴もた けなわとなると、歌や踊りも飛び出す。 Terjemahan: Pada masa bunga sakura mekar, diseluruh Jepang orang-orang akan pergi ke taman bersama teman-teman atau rekan kantor, lalu mereka akan menggelar tikar di bawah pohon sakura dan mereka akan berpesta, yang disebut dengan hanami. Mereka akan bergembira dan bersukaria, dan ketika pesta makin meriah mereka pun akan menyanyi dan menari. Sakura melambangkan kebahagiaan, karena ketika pohon sakura mulai memekarkan bunganya setelah musim dingin (dimana pohon sakura hanya berupa pohon dengan ranting-ranting yang gundul), itu adalah sebuah fase dari regenerasi kehidupan, ditambah lagi, sakura yang bermekaran penuh memberikan pemandangan yang luar biasa indah sehingga membawa suasana kegembiraan dan perayaan, serta menjadi hal yang selalu dinanti-nantikan oleh masyarakat Jepang. 2. Sakura sebagai simbol kesedihan ( 悲しみ ). Selain melambangkan kebahagiaan, sakura juga merupakan simbol dari kesedihan, seperti yang diungkapkan oleh Aikawa (1997:332) di bawah ini: めでたさとは逆に、日本人は桜の花に滅亡、死も見る。昔の武士や第二次 世界大戦以前の軍人は、戦場で桜のように潔く散るの本題としたし、歌舞 伎で桜の出る場面は怪異が跳梁し、悲運が起こることが多い。「桜は七日 」という言い方があるように、花の盛りがきわめて短く、一夜の風に誘わ れて散ってしまうから、桜に潔さ、はかなさを感じたためであろう。 Terjemahan: 18 Kebalikan dari kebahagiaan, orang Jepang juga melihat bunga sakura sebagai lambang dari kejatuhan dan kematian. Samurai pada jaman dahulu dan tentara pada masa perang dunia kedua, diibaratkan bagai bunga sakura yang gugur dengan mulia dan terhormat di medan pertempuran. Dalam teater kabuki, adegan yang menampilkan bunga sakura kebanyakan mengisahkan tentang amukan setan atau terjadinya malapetaka. Dikatakan ‘sakura tujuh hari’ dimana umur bunga sangat pendek, dan karena dalam satu malam apabila tertiup angin akan berguguran, maka sakura melambangkan kehampaan. Umesao dalam Sari (2007:65), menyatakan bahwa di Jepang, murid yang mengikuti ujian masuk akan mendapatkan hasil pemberitahuan berupa surat bertanda “sakura hiraku ( 桜開く )” yang berarti “sakura mekar”, bagi mereka yang lulus, dan “sakura chiru ( 桜散る )” yang berarti “sakura gugur”, bagi mereka yang gagal. Setelah mekar, hanya dalam beberapa hari, bunga-bunga sakura mulai berguguran dan membawa suasana kesedihan. Hal ini dikarenakan atmosfir perayaan, kegembiraan, serta keindahan yang dirasakan orang-orang ketika bunga sakura bermekaran, sangat disayangkan karena sudah berakhir bersamaan dengan gugurnya sakura. Hal itu menimbulkan suatu rasa kesedihan. Marainy (1999:18), memaparkan bahwa bunga sakura yang mekar dengan indahnya diseluruh penjuru negeri pada musim semi, membawa suasana sukacita dan perayaan, namun hanya dalam beberapa hari, atau bahkan beberapa jam saja, bunga-bunga itu akan segera berguguran apabila tertiup angin. Ini adalah alasan mengapa apabila sajak dan puisi di Jepang menyebutkan kata sakura, seringkali berhubungan dengan nuansa kesedihan, cinta yang telah berlalu, masa muda dan kehidupan. 19 3. Sakura sebagai simbol ketidakkekalan ( 無常 ). Bagi masyarakat Jepang, menurut ajaran agama Buddha, kehidupan manusia hanya bersifat sementara dan penuh penderitaan, seperti yang dikemukakan oleh Takada (1997:62), di bawah ini: 釈迦この世は苦しみの世界だと認識しました。すべては無常であり、私た ちはいつかは年老い、病気に係り、死ななければなりません。そのことは 私たちは憂い、悲しみ、苦痛だ感じるからです。そこで、仏教では、生ま れ、老い、病身、死ぬことを、生きとし生けるものを根本的な苦しみと捕 らえ、「四苦」と呼びます。 Terjemahan: Buddha mempersepsikan bahwa dunia ini adalah dunia yang penuh penderitaan. Semuanya tidak ada yang kekal, suatu saat nanti kita akan menjadi tua, jatuh sakit, dan pasti mati. Oleh karena hal tersebut kita merasakan ketakutan, duka cita, dan penderitaan. Dalam ajaran Buddha mengatakan bahwa kelahiran, menjadi tua, jatuh sakit, dan kematian merupakan penderitaan yang mengakar yang dialami oleh semua mahluk hidup, dan hal ini disebut dengan empat penderitaan. Selain itu, Matsushita (1997:26-27), menyatakan bahwa keadaan manusia sekarang ini hanyalah seperti stasiun perantara dalam perjalanan naik ke atas, tidak terelakkan tetapi tidak kekal. Dia juga menyatakan bahwa segala-galanya di alam semesta ini berubah dengan kecepatan dan tingkat yang berbeda-beda, tetapi perubahannya tidak dapat dielakkan. Dengan kata lain, di dunia ini tidak ada yang kekal abadi, semuanya pasti akan berubah (Matsushita, 1997:16). Berkaitan dengan ini, Khoon (1995:142), menjelaskan bahwa berdasarkan pada pengaruh ajaran agama Buddha di Jepang, orang-orang memetaforakan sakura sebagai kehidupan yang sementara, ketidakkekalan, dan kecantikan yang sesaat. Begitu juga seperti yang dinyatakan oleh Matsuda (2001:12), di bawah ini: 「花」といえば、日本では桜のことです。桜の季節がめぐってくると、人 々はさまざまな思いを桜によせます。その短い開花時期やはなびらの散る 20 様子から、人の世の無常と輪廻を思い、桜におのれの心を託し、歌を詠み ます。 Terjemahan: Bila menyebut ‘bunga’ bagi orang Jepang adalah sakura. Ketika musim sakura tiba, orang-orang memiliki bermacam-macam pemikiran yang berkaitan dengan sakura. Karena masa berbunga yang sangat singkat dan keadaan saat kelopak bunga berguguran, sakura mengingatkan akan ketidakkekalan hidup manusia dan siklus kehidupan yang terus berputar. Perasaan yang diwakilkan oleh sakura, sering dituangkan kedalam puisi. Didalam buku kumpulan lukisan yang berjudul Yoshitoshi Thirty-Six Ghost, lukisan pada halaman 28 menggambarkan seorang putri yang bernama Sakura Hime, yang sedang mengenakan kimono dengan motif bunga sakura. Menurut Stevenson (1992:28), motif sakura pada kimono Sang Putri, menggambarkan kecantikan Sang Putri dan sekaligus merupakan simbol dari kehidupan yang sesaat. Bunga sakura yang indah dan dicintai masyarakat Jepang hanya dapat berbunga pada waktu musim semi, dan membutuhkan waktu sekitar enam sampai delapan minggu untuk mencapai kondisi mekar sempurna, tapi hanya dalam waktu di bawah satu minggu bahkan beberapa hari saja, bunganya akan berguguran, sehingga dengan kata lain, bunga sakura memiliki umur yang sangat singkat. Dalam jangka waktu beberapa hari yang singkat ketika bunga sakura mekar sempurna pada puncak keindahannya itu adalah masa bagi orang Jepang untuk melakukan kebiasaan yang disebut Hanami, yaitu orang-orang berkumpul dan berpesta, serta bersuka ria di bawah pohon sakura sambil menikmati keindahan bunga sakura (Kimura, 1991:249). Tetapi, karena umurnya yang pendek, ketika bunga sakura yang indah gugur maka akan menimbulkan rasa sangat disayangkan karena keindahan bunga sakura yang membawa suasana pesta dan sukacita itu tidak dapat bertahan selamanya, tapi harus berlalu seiring dengan gugurnya bunga sakura. Oleh karena itu selain 21 merupakan simbol kehidupan yang sesaat, sakura juga melambangkan ketidakkekalan. (Matsuda, 2001:12). 4. Sakura sebagai simbol kesucian ( 純粋さ ). Menurut ajaran agama Shinto, konsep tentang kesucian adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan spiritual masyarakat Jepang. Mengenai konsep kesucian bagi masyarakat Jepang dalam agama Shinto, Akiyama (1998:483), menyatakan seperti di bawah ini: 宗教生活の原則としての清めは「清浄」、「穢れ」、「祓え」、「禊」は 非常に重要な概念で、日本の文化のすみずみにまで染み渡っている。日本 人は「罪」を聖なる戒律を犯す行為であるとは考えず、同胞とくに神から 引きはなす「不浄」または「冒瀆」であるという明確な認識を抱いている 。神社に参拝するときに儀式的に口や手をすすぐ伝統的な習慣は、神に会 う前に身を清めるという象徴的行為である。 Terjemahan: Penyucian sebagai prinsip dasar kehidupan beragama terdiri dari seijou (kesucian), kegare (kecemaran), serta harae dan misogi (prosedur dari ritual penyucian), merupakan konsep yang sangat penting sekali dalam semua aspek kebudayaan Jepang dimana dengan penyucian, segala kecemaran atau kekotoran dapat terlewatkan. Orang Jepang tidak mempunyai norma sakral mengenai tsumi (dosa) sebagai tindak pelanggaran, tetapi mereka mempunyai persepsi yang pasti bahwa ketidaksucian atau kecemaran, memisahkan mereka dari sesama, dan terutama dari Kami (dewa). Tradisi pada saat bersembahyang di jinja adalah kebiasaan melakukan ritual mencuci mulut dan tangan, sebagai tindakan simbolik dari penyucian diri sebelum mengadakan kontak dengan Kami. Tidak hanya dalam ajaran agama Shinto, kesucian juga merupakan salah satu konsep yang sangat penting dalam ajaran agama Buddha. Di dalam ajaran agama Buddha disebutkan bahwa sifat hakikat dari Kebuddhaan yaitu terdiri dari dua, yaitu kesucian dan pengajaran (Griffiths, 1994:75). 22 Berkaitan dengan konsep kesucian tersebut, ternyata bunga sakura bagi masyarakat Jepang melambangkan kesucian. Hal ini didukung oleh Chevalier (1996:418), menyatakan seperti di bawah ini: 満開のサクラは日本では非常に愛好される自然の光景の1つである。確か にそれは純粋状態における美のこのうえなく感動的な発現の1つなのでは あるが、日本の観賞用のサクラは実をつけないからといって、それがなん の意味も持たない無償の唯美主義的世界にだけ属すると思ってはならない 。(桜)の花は純粋さのシンボルである。 Terjemahan: Sakura yang mekar penuh berbunga sangat dicintai oleh masyarakat Jepang sebagai salah satu pemandangan alam di Jepang. Sudah pasti, hal itu bukan hanya dikarenakan kondisi yang suci yang terkandung dalam keindahannya saja, disamping pemunculan atau pengekspresian yang sarat dengan emosi dan perasaan. Meski dikatakan bahwa buah dari sakura ornamental Jepang tidak bisa digunakan, bukan berarti di dunia ini bunga sakura tidak memiliki makna apapun selain hanya konsep aestetik yang tidak berarti apa-apa. Bunga sakura merupakan simbol kesucian. Begitu juga dengan Danandjaja (1997:320), yang menyatakan bahwa bunga sakura bagi masyarakat Jepang merupakan lambang dari kesucian. 5. Sakura merupakan simbol dari samurai ( 侍 ). Bagi masyarakat Jepang, sakura merupakan simbol dari samurai, seperti yang diungkapkan oleh Tsuruoka (2006:91), di bawah ini: 日本では桜が国を代表する花と考えられている。桜は日本の神話にも現れ ており、桜の散り方の潔さが、武土の人生観に結びつけられた。 Terjemahan: Sakura merupakan bunga nasional negara Jepang. Sakura juga muncul dalam mitologi kuno Jepang, selain itu cara gugur bunga sakura yang agung juga dihubungkan dengan jiwa samurai. Mengenai samurai, Eguchi (2004:17), menyatakan seperti di bawah ini: 23 侍とは近代以前の日本の軍人のことと言います。もともと貴族に仕える役 人でしたが、のちに警護する役回りに変化したものです。12世紀になる と侍階級が権力を握り、幕府と呼ばれる軍事政権を樹立するに至りました 。 Terjemahan: Samurai adalah prajurit pramodern Jepang. Pada awalnya, samurai merupakan orang yang bertugas untuk melayani kalangan bangsawan, tetapi kemudian tugasnya mengalami perubahan, yaitu untuk menjaga atau melindungi. Pada abad keduabelas, kelas samurai memegang kekuasaan dan mendirikan rezim pemerintahan militer yang disebut dengan Bakufu. Samurai memiliki kode etik moral yang disebut dengan bushido, sebagai pegangan bersikap dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dinyatakan oleh Tsuruoka (2006:394), di bawah ini: 武士道は鎌倉時代から発達し、江戸時代(17世紀から19世紀半まで) に儒教思想に裏付けられて大成した武士階層の道徳体系である。忠誠、犠 牲、信義、廉恥、礼儀、潔白、質素、倹約、尚武、名誉、情愛などを重ん ずる。武士が支配階級となる前、専ら戦うことを職業としていた時代、死 を讃える考え方が大きな比重を占めた。これは平和な江戸時代にも残り、 佐賀藩では、「武士道とは死ぬことである」という思想が強調されたが、 これは日本の武士道の全体系の中の一部の考え方である。 Terjemahan: Bushido adalah kode etik moral dari kelas samurai yang didukung oleh pemikiran konfusianisme, dikembangkan sejak periode zaman Kamakura dan sukses pada periode zaman Edo (abad 17 – pertengahan abad 19). Bushido menganut nilai-nilai kesetiaan, pengorbanan diri, kepercayaan, sadar malu, etiket, kesucian, kesederhanaan, berhemat, kemampuan bela diri, kehormatan, dan cinta kasih. Sebelum samurai menjadi kelas yang dominan, masa dimana pekerjaan mereka hanya bertarung, “mengagungkan kematian” merupakan pola pikir relatif yang berlaku bagi samurai. Pada masa damai di jaman Edo pun, pola pikir ini masih tertinggal, seperti dalam klan Saga, yang menekankan konsep bahwa “bushido adalah jalan kematian”. Hal ini merupakan salah satu pemikiran dari keseluruhan sistem bushido. Yang paling penting bagi seorang samurai adalah kesetiaan dalam mengabdi, dan harga diri serta kehormatan, dimana samurai siap dan rela mati kapan saja untuk itu. 24 Berkaitan dengan hal ini, menurut Hymas (1990:5), sakura dianggap sebagai simbol dari samurai, karena bunga sakura yang gugur ke tanah layaknya kematian mereka dalam masa gemilang mereka, masih berjaya dan indah. Begitu pula dengan samurai. Meskipun harus mati dimasa kejayaan mereka, kematian dianggap sebagai hal yang sangat membanggakan dan indah, dan para samurai ini melihat kepada bunga sakura sebagai sumber inspirasi mereka. Menurut Nakayama (1993:32), samurai menganggap gugurnya bunga sakura yang dalam keadaan masih mekar, mewakili nilai-nilai keberanian yang suci yang dimiliki oleh jiwa seorang samurai. Naramoto (1990:4), menyatakan seperti di bawah ini: 「花は桜木、人は武士」という言葉は江戸時代になって言われた言葉だが 、まことによく本質を貫いている。 Terjemahan: “Bunga dilambangkan dengan sakura, manusia dilambangkan dengan samurai” adalah istilah yang diucapkan pada jaman Edo. Terdapat esensi dengan kesungguhan hati yang sangat meresap kuat didalamnya. Arti dari istilah pada jaman Edo ini, menurut Wolf (1989:166), adalah, “Sakura sebagai Bunga, merupakan Samurai sebagai Pria”, dimana keduanya menjalani masa hidup yang singkat namun penuh arti. Mekarnya sakura membawa sebuah arti keindahan dan meskipun gugur dalam waktu singkat tapi keindahannya akan terus membekas dalam ingatan. Sama halnya seperti hidup dan mati seorang samurai, yang merupakan sebuah tugas yang mulia dan terhormat. Marainy (1999:18), juga menyatakan bahwa sakura merupakan simbol dari takdir seorang samurai. 6. Sakura merupakan simbol nasionalisme ( 愛国心 ). 25 Nasionalisme menurut Brown dalam Wulandari (1999:10-11), adalah suatu jenis kelompok loyalitas yang memiliki ciri khusus jika dibandingkan dengan kelompok loyalitas yang lain. Selanjutnya Brown menyatakan bahwa beberapa bangsa memiliki kondisi-kondisi konstan yang disebut elemen. Elemen yang membentuk nasionalisme Jepang adalah pada keunikan letak geografis, keyakinan pada nenek moyang yang sama, penggunaan bahasa yang sama, serta kepercayaan religius yang unik. Makna nasionalisme menurut Tahara et al. (2005:5), adalah seperti di bawah ini: ナショナリズムというのは、愛国心という意味にとってもらって、いいと 思います。 Terjemahan: Menurut saya, adalah baik apabila dapat menangkap bahwa makna dari nasionalisme adalah “cinta terhadap negara”. Sedangkan menurut Nishibe dalam Tahara et al. (2005:7), yang dimaksud dengan nasionalisme yaitu: 自分の国は自主的に自分たちで守る。国を守るということは、第一段階で は、観念的な意味での国体を守ることである。 Terjemahan: Melindungi negara dengan diri kita sendiri secara sukarela. Yang dimaksud dengan melindungi negara, pertama-tama mempunyai makna ideal yaitu melindungi kekaisaran. Kokutai ( 国体 ) dalam pernyataan di atas memiliki makna bahwa kaisar menjadi pusat entitas nasional, dimana seluruh bangsa Jepang ditetapkan sebagai anak-anaknya. Lalu Brown dalam Wulandari (1999:10-11), menyatakan bahwa dasar nasionalisme Jepang adalah kesetiaan kepada negara dimana kaisar menjadi simbolnya. Jadi dengan kata lain, karakter dasar dari nasionalisme adalah kesetiaan pada kaisar. Lalu Bellah dalam Wulandari (1999:59) menyatakan bahwa nasionalisme Jepang adalah nasionalime religius terhadap kaisar, sehingga apa yang dikatakan oleh kaisar akan dipatuhi oleh segenap rakyatnya. Pendek kata, rakyat siap mati untuk itu. 26 Berkaitan dengan hal ini, menurut Ohnuki (2002:9-10), bunga sakura yang berguguran adalah sebagai simbol pejuang yang jatuh dan mati karena keberaniannya dalam peperangan. Sakura dijadikan simbol untuk menstimulasi rasa nasionalisme, terutama apabila dihubungkan dengan prajurit Jepang dalam Perang Dunia II, sehingga dalam perwujudan arti simbol tersebut, selama Perang Dunia II, unit pasukan kamikaze Jepang menggunakan lambang sakura pada samping bom dan pesawat terbang mereka sebagai motivasi simbolnya. Kamikaze dalam bahasa Jepang secara harafiah adalah kami ( 神 ) yaitu dewa, dan kaze ( 風 ), yaitu angin, sehingga makna keseluruhan dari kamikaze adalah “angin dewa”. Ohnuki (2002:157), menyatakan bahwa kamikaze menjadi penyelamat negeri kepulauan itu dari upaya agresi bangsa Mongol pada jaman dahulu kala dengan datangnya badai dahsyat yang disebut kamikaze itu. Namun dalam perang dunia kedua, kamikaze dipakai sebagai simbol dari serangan bunuh diri yang dilakukan oleh pilot-pilot Jepang untuk menaklukan sekutu. Mengenai kamikaze, Kimura (1991:77) menyatakan seperti di bawah ini: 第二次世界体戦の末期に、苦境に立った日本軍は片道だけの燃料に大型爆 弾を積み、アメリカの艦船や爆撃機に体当たり攻撃をして、「神風」と恐 れられたが、こうした行動の背景には、元寇の奇跡再現への強い願いがこ められていた。戦後「神風」は無茶、無謀の代名詞に使われている。 Terjemahan: Pada periode akhir perang dunia kedua, tentara Jepang yang posisinya terdesak, menerbangkan pesawat yang memuat bom berkekuatan besar, dengan bahan bakar yang hanya cukup untuk sekali jalan, lalu melakukan serangan bunuh diri terhadap kapal perang dan mesin pengebom Amerika. Serangan yang disebut ‘kamikaze’ itu ditakuti oleh pihak lawan, tapi sebenarnya yang melatarbelakangi aksi ini adalah harapan yang besar agar keajaiban yang terjadi pada saat serangan bangsa Mongol terhadap Jepang pada jaman dahulu kala dapat terulang kembali. Seusai zaman perang, istilah ‘kamikaze’ digunakan sebagai pengkonotasian dari kenekatan dan keberanian. 27 Menurut Wolf (1989:166), sakura melambangkan keunikan dari negara dan jiwa masyarakat Jepang. Sakura menjadi simbol kepahlawanan dan kerelaan untuk berkorban, serta tidak takut menghadapi kematian demi membela negara. Pada masa perang, pemerintah Jepang menggalakkan masyarakat meyakini bahwa jiwa para prajurit yang gugur di medan perang mereinkarnasi dalam kelopak-kelopak sakura. 7. Sakura sebagai simbol kecantikan yang hanya sementara ( はかなさの美 ). Menurut Keene (2002:30), dalam kesusastraan Jepang, ketidakabadian dari kecantikan (bentuk fisik) tidak pernah gagal dalam membangkitkan rasa harubiru dan air mata. Ketidakabadian merupakan bagian yang sangat penting dari kecantikan (bentuk fisik). Di Jepang, salah satu konsep yang berkaitan dengan hal ini adalah konsep aware, seperti yang diungkapkan oleh Akiyama (1998:521) di bawah ini: 宣長(本居宣長、1730年~1801年)の見解によれば、「もののあ われ」は人間と自然のもっとも深い部分で起こる純化された崇高な感情で ある。この言葉は、理論的には、人間の感情の全てを含蓄するくらい広い 意味を持ち、また、人の心を十分に理解できるという人間的価値を表して いるが、実際には主として、人生のはかなさとその美しさを理解できる感 性に富んだ心を表現するのに使われる傾向がある。 Terjemahan: Menurut pandangan Norinaga (Motoori Morinaga, 1730-1801), mono no aware adalah perasaan yang murni dan agung yang terdapat pada bagian yang paling dalam dari diri manusia dan alam. Secara teoritis, istilah ini mengandung pengertian yang luas mencakup seluruh emosi manusia, dan tampak sebagai nilainilai kemanusiaan yang cukup dapat dipahami oleh manusia, tetapi sebenarnya yang paling utama adalah berfokus pada mengekspresikan kepekaan untuk dapat memahami ketidakkekalan dari kehidupan dan kecantikan (bentuk fisik). Keene (2002:30) juga menyatakan bahwa puisi yang memakai sakura sebagai tema, sebenarnya kebanyakan tidak menitikberatkan pada kemunculan bunga sakuranya, melainkan menitikberatkan pada makna 28 bunga sakura sebagai simbol dari ketidakabadian kecantikan (bentuk fisik). Danandjaja (1997:320) juga menyatakan bahwa bunga sakura memperingatkan kepada kita bahwa kecantikan itu hanya sementara saja sifatnya. 8. Sakura sebagai simbol dari berlalunya waktu ( 時の流れ ). Menurut Keene (2002:30), sakura yang merupakan subjek yang paling umum dipakai dalam puisi-puisi Jepang (selain daun momiji pada musim gugur), melambangkan berlalunya sang waktu dan berakhirnya musim semi. Sebelum periode Heian, bunga yang popular di Jepang adalah bunga ume, seperti yang dinyatakan oleh Aikawa (1997:332) di bawah ini: 梅の奈良時代を経て、国風文化の隆盛とともに, 平安時代には桜が最も愛好されるようになる。「古今和歌集」にも桜の歌 が断然多い。以来1000年有余、その伝統は続き、桜を取り入れた文学 作品や故事。伝説は枚挙にいとまがない。 Terjemahan: Bunga ume populer selama periode zaman Nara, tapi pada periode zaman Heian, bunga sakura menjadi bunga yang paling dicintai. Didalam kokinwakashuu (kumpulan puisi kuno dan modern) pun sangat banyak sekali puisi tentang sakura. Sejak lebih dari 1000 tahun, tradisi itu terus berlanjut, dan sepertinya tidak akan ada akhir bagi karya kesusastraan dan legenda yang bertemakan bunga sakura. Keene (2002:30), memaparkan bahwa bunga ume banyak disebut-sebut di dalam Manyoshuu, sebelum kemudian bunga sakura menggantikan bunga ume menjadi bunga paling populer di Jepang. Hal ini dikarenakan alasan estetik yang dramatikal, dimana bunga ume dapat bertahan selama lebih dari satu minggu, sebelum akhirnya rontok, tidak seperti bunga sakura yang gugur dengan dramatisnya setelah dua atau tiga hari. Masa mekar dan masa gugur sakura yang sangat singkat dan cepat itu seakan-akan menjadi pengingat yang memberikan suatu rasa kesadaran akan waktu yang terus berlalu dan berjalan begitu cepat. 29 9. Sakura sebagai simbol kematian ( 死 ). Menurut Yagi dalam Burhan (2006:9), di Jepang, kematian atau 死 (shi), dianggap sebagai keadaan setelah 魂 (tamashii) roh atau jiwa, berpisah dengan 肉体 (nikutai) atau raga. Berkaitan dengan hal ini, sakura bagi masyarakat Jepang juga merupakan simbol kematian. Menurut Aikawa (1997:332), selain melambangkan kebahagiaan, orang Jepang juga melihat bunga sakura sebagai lambang dari kejatuhan dan kematian. Mengenai sakura sebagai lambang kematian dalam masyarakat Jepang, Chevalier (1996:419), menyatakan seperti di bawah ini: かよわく短命で、すぐに風に散っていくサクラの花は、日本ではまた死ぬ, そして人生のはかなさを象徴する。 Terjemahan: Bunga sakura yang jatuh berguguran oleh angin, begitu rapuh dan hidupnya berjangka waktu pendek. Oleh karena itu, di Jepang, sakura melambangkan kematian, serta kehidupan yang hanya sesaat ini. Begitu juga menurut Keene (2000:33), yang menyatakan bahwa bagi para penyair, jasad seseorang dan sakura yang gugur memiliki makna yang sama. Keduanya mengacu pada ketidakabadian. Oleh karena sakura dan kematian mempunyai makna esensial yang sama, maka dalam puisi-puisi Jepang, akan lebih berseni dan elegan dengan menyebut tentang sakura dibandingkan tentang kematian. 30 Selain itu, Yamaori (1999:211), memaparkan bahwa pada periode akhir zaman Heian, ditulis sebuah puisi mengenai sakura yang sangat terkenal, yang berbunyi,「願はくは花のしたにて春死なむその如月の望月のころ 」. Mengenai puisi tersebut, Aikawa (1997:332), menyatakan seperti di bawah ini: 平安時代末期から鎌倉時代初期に活躍し、桜の詩人と言われた西行の歌の 一つ。彼は歌のとおり2月に死に、希望に従って桜のある塚に眠っている 。西行の歌で、構成した夢幻能「西行桜」がある。 Terjemahan: Salah satu puisi yang ditulis oleh seorang penyair yang disebut “penyair sakura”, yang hidup dalam periode akhir jaman Heian dan periode awal jaman Kamakura bernama Saigyou. Dalam puisi ini, dia menyimpan harapan agar meninggal di bulan kedua, dimana dia dapat tidur untuk selama-lamanya dibukit yang dipenuhi pohon sakura. Teater Noh yang berjudul ‘Saigyou Zakura’ adalah pertunjukan yang dibuat berdasarkan puisi Saigyou ini. Dalam puisi yang ditulis oleh Saigyou dalam Aikawa (1997:332) ini, mengatakan bahwa alangkah baiknya bila dapat melepas ajal bersamaan dengan saat ketika bunga sakura sedang bermekaran pada musim semi. Menurut Yamaori (1999:211), dapat kita lihat dalam puisi Saigyou bahwa bunga sakura diasosiasikan dengan kematian. Di atas telah dipaparkan sembilan konsep filosofi masyarakat Jepang mengenai sakura. Penulis beranggapan bahwa konsep filosofi masyarakat Jepang mengenai sakura tidak terbatas hanya pada sembilan konsep diatas saja, tetapi sejauh ini, dikarenakan keterbatasan waktu dalam pencarian data, penulis telah berhasil mendapatkan sembilan konsep tersebut yang telah dirasa cukup untuk nantinya hanya akan dibatasi pada tiga konsep saja, untuk digunakan sebagai landasan teori dalam analisis makna simbol sakura di dalam tiga haiku yang berhubungan dengan simbol sakura. 31 2.2 Konsep Agama Buddha Menurut Zhao (2007:1), dalam pengertian secara luas, agama Buddha adalah religi, mencakup juga kitab-kitab, tata cara dan ritual, kebiasaan dan tradisi, serta organisasi komunitasnya. Dalam pengertian yang lebih khusus, agama Buddha adalah apa yang diajarkan oleh Buddha. Takada (1997:40), menyatakan seperti di bawah ini: 仏教とは、言うまでもなく仏の教えです。それは、キリスト教がイエス.キ リトの教えであり、イスラム教がモハメッドの教えであるのと同じです。 Terjemahan: Agama Buddha adalah ajaran yang diajarkan oleh Sang Buddha. Sama seperti agama Kristen yang merupakan ajaran yang diajarkan oleh Yesus Kristus, dan agama Islam yang merupakan ajaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Sejarah agama Buddha masuk ke Jepang adalah seperti yang dinyatakan Takada (1997:82) di bawah ini: 「日本書紀」は奈良時代の政政府が全力を傾けて作った公式の歴史書です 。その記述によると、仏教が公に伝わったのは552年ということになっ ています。 Terjemahan: Nihonshoki merupakan catatan sejarah yang dibuat ketika pemerintahan pada zaman periode Nara berada pada puncak kejayaannya. Berdasarkan catatan tersebut, disebutkan bahwa agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada tahun 552. Dikatakan bahwa pada saat itu, Raja Song dari Paekche di Semenanjung Korea mengirim misionaris ke Jepang untuk menyebarkan patung Buddha dan sutra Buddha, dan hal ini dipercayai sebagai awal permulaan agama Buddha di Jepang (Takada, 1997:85). Pendiri agama Buddha adalah Buddha Sakyamuni, yang sebelum mencapai pencerahan dan menjadi Buddha bernama Siddharta Gautama. Siddharta hidup pada 32 pertengahan abad ke 6 SM, sejaman dengan Konfusius. Dia adalah pangeran dari kerajaan Kapilavastu, didaerah Nepal. Sejak kecil Siddharta mempunyai kebiasaan merenung dan berfikir yang mendalam. Fenomena hidup yang penuh penderitaan membuatnya mencari-cari sebuah jawaban dari sebuah pertanyaan yaitu bagaimana agar manusia dapat hidup terbebas dari penderitaan. Kemewahan hidup diistana tidak membuatnya puas dan melupakan hal itu, sehingga pada suatu ketika akhirnya dia meninggalkan istana demi mengembara mencari cara agar manusia dapat terbebas dari penderitaan. Setelah pencarian yang panjang selama bertahun-tahun, pada suatu malam dalam meditasinya akhirnya dia berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selama ini dicari olehnya dan hal itu disebut dengan “pencerahan”. Pencerahan artinya pencapaian Kebuddhaan, dan memperoleh kebijakan sempurna. Setelah mencapai Kebudhaan, sang Buddha pun mengkhotbahkan ajaran-ajarannya kepada orang-orang dan ajaran ini pun menyebar, dan inilah yang disebut dengan ajaran agama Buddha. (Zhao, 2007:2-10). Singkatnya, ajaran-ajaran Buddha mencakup yang disebut dengan “Empat Kebenaran Mulia”, yaitu duka, asal mula duka, lenyapnya duka, dan cara menuju lenyapnya duka. Hal ini sendiri berhubungan dengan alasan Buddha meninggalkan keduniawian yaitu bertujuan untuk mencari suatu cara agar manusia dapat bebas dari penderitaan yang diakibatkan oleh kelahiran, umur tua, sakit, dan kematian (Zhao, 2007:33). Agama Buddha memiliki beberapa konsep utama yang merupakan inti dari ajaran-ajaran agamanya, diantaranya adalah, Konsep Kesucian dan Pengajaran, dimana menurut Griffiths (1994:75), kedua hal tersebut merupakan hakikat dari Kebuddhaan; Konsep Ketidakkekalan, dimana menurut Piyadassi (2003:103), ketidakkekalan merupakan realitas bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini selalu berubah dan tidak ada yang 33 selamanya tetap kekal abadi; Konsep Karma, yang menurut Dhammananda (2005:22), merupakan hukum sebab akibat, aksi dan reaksi; dan Konsep Samsara, yang menurut Piyadassi (2003:103), merupakan kepercayaan akan adanya siklus kelahiran kembali setelah kematian, yang terus berulang. Dalam konsep ini dinyatakan bahwa setelah mati, manusia akan kembali dilahirkan ke dalam salah satu dari enam alam, tergantung karma (perbuatan) mereka ketika hidup, dan proses tersebut akan terus berulang. 2.3 Teori Semantik Tentang Makna Hiejima (1991:1-3), seorang ahli semantik modern menyatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari makna dari kata, frase dan kalimat. Semantik adalah studi tentang makna. Untuk memahami suatu ujaran dalam konteks yang tepat, seseorang harus memahami makna dalam komunikasi (Keraf, 2007:25). Oleh karena itu, berdasarkan dari pengertian akan semantik tersebut, makna kata dalam suatu frase atau kalimat terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Makna denotatif Adalah makna dari sebuah frasa atau kata yang tidak mengandung arti atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis yang hanya menyampaikan informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, akan cenderung mempergunakan kata-kata yang denotatif. Tujuan utamanya adalah untuk memberi pengenalan yang jelas terhadap fakta. Penulis tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap pembaca (Keraf, 2007:28). 2. Makna konotatif Adalah makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu disamping makna dasar yang umumnya. Makna tersebut sebagian terjadi 34 karena penulis ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, dan sebagainya, pada pihak pembaca. Oleh sebab itu, bahasa manusia tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya (Keraf, 2007:29). Pada dasarnya, para filsuf dan linguis mempersoalkan makna dalam bentuk hubungan antara bahasa (ujaran), pikiran, dan realitas di alam, sehingga lahirlah teori tentang makna yang bekisar pada hubungan antara ujaran, pikiran, dan realitas di dunia nyata (Parera, 1990:16). Secara umum, teori makna dibedakan menjadi empat macam, yaitu: 1) Teori referensial atau korespondensi, adalah teori yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards. Teori ini merujuk pada segitiga makna dan mengungkapkan makna sebagai hubungan antara rujukan (reference) dan objek (referent) yang dinyatakan lewat simbol bunyi bahasa, baik berupa kata, frase, maupun kalimat. Dalam teori ini, rujukan (reference) ditempatkan dalam hubungan kausal dengan kata (symbol) dan objek (referent), sedangkan antara kata (symbol) dan objek (referent) terdapat hubungan buntung (Parera, 1990:16). Objek (referent) mengacu pada “konteks fisikal” sedangkan rujukan (reference) mengacu pada “konteks psikologis”. (Parera,1990:43). Diagramnya dapat dilihat dari gambar segitiga di bawah ini (Djojosuroto, 2007:374). Diagram 1. Segitiga Makna Ogden dan Richards Rujukan (Reference) Kata (Symbol) Objek (Referent) 35 Sebagai contoh, apabila kita mengatakan “Soekarno”, maka kata atau simbol itu akan mengacu kepada objek sosok Bung Karno, seorang laki-laki Indonesia yang penuh karisma. Objek itu akan merujuk kepada citra mental (reference) dimana diketahui bahwa Bung Karno adalah Presiden RI yang pertama, atau orang yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 2) Teori kontekstual, adalah teori yang mengungkapkan makna sebagai sebuah kata terikat pada lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik bandingan antarbahasa. Teori ini mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks (Parera, 1990:17-18). 3) Teori mentalisme atau konseptual, adalah teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, menganjurkan studi bahasa secara sinkronis dan membedakan analisis bahasa atas la parole, la laangue, dan la lengage secara tidak nyata telah mempelopori teori makna yang bersifat mentalistik. Dalam teori ini, ia menghubungkan bentuk bahasa lahiriah (la parole) dengan konsep citra atau mental penuturnya (la langue). Pada umumnya penganjur dari teori mentalisme ini adalah para psikolinguis (Parera, 1990:17). 4) Teori formalisme atau teori pemakaian dari makna, adalah teori yang dikembangkan oleh filsuf Jerman Wittgenstein (1830 dan 1858), yang berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu. Sehingga dari teori ini, terciptalah postulat tentang makna, yaitu makna sebuah ujaran ditentukan oleh pemakainya dalam masyarakat bahasa (Parera, 1990:18). 36 Dari keempat macam teori makna yang telah disebutkan di atas, dalam penelitian ini, penulis hanya akan menggunakan teori referensial melalui segitiga Makna Ogden dan Richards di dalam analisis data pada bab 3. 2.4 Teori Majas Dalam suatu puisi, kata-kata dalam kalimatnya pasti menggunakan majas. Oleh karena itu, teori mengenai majas merupakan hal yang sangat diperlukan dalam melakukan sebuah analisis puisi. Menurut Keraf (2007:113), definisi majas adalah pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Lalu Pateda (2001:233), menyatakan bahwa pengertian majas merupakan sebagai cara khusus dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tertulis maupun lisan. Dari kedua pengertian majas tersebut, dapat dikatakan bahwa majas merupakan sebuah ilmu dasar dalam menulis suatu puisi. Berdasarkan teori retorika terhadap puisi-puisi Jepang, banyak teori-teori yang mengungkapkan bahwa puisi-puisi Jepang menggunakan majas perbandingan, seperti majas metafora, majas simile, dan majas personifikasi. Majas-majas ini seringkali digunakan untuk memberikan sebuah gambaran dari sebuah konsep untuk menekankan sebuah pemikiran dan membuat seseorang terpengaruh dalam tingkatan emosional dan intelektual. Tetapi, menurut Wakan (1993:63), hal tersebut memiliki pengecualian dikarenakan puisi-puisi Jepang seperti haiku tidak menggunakan ketiga-tiganya dari majas tersebut. Hal tersebut beralasan, karena dalam karya-karya sastra Jepang, khususnya haiku, majas yang paling sering digunakan dan ditemui adalah majas metafora, seperti yang dinyatakan oleh Sato (1992:113), seperti di bawah ini: 37 古代から、現代でもなお、隠喩はつねにレトリックの中心的な関心のまと である。一九世紀後半に古典レトリックがすっかり見捨てられたのちも、 隠喩だけはいつも哲学者、詩人たちの興味をひきつづけている。かぞえて みることなどとても不可能だが、古来、研究され書かれてきた隠喩書かれ てきた論の書物や論書物や論文は、何百、いや何千か、数知れず、隠喩に かかわる問題はもう出つくしているのではないかとさえ思われるありまだ 。 Terjemahan: Sejak zaman dahulu, bahkan sampai zaman sekarang ini, majas metafora selalu menjadi pusat didalam retorika. Pada pertengahan abad kesembilan belas, retorika kuno telah benar-benar ditinggalkan, namun hanya majas metafora lah yang telah menarik minat para filsuf dan penyair, sehingga apabila memang tidak mungkin bila dihitung, namun buku-buku mengenai teori majas metafora yang telah diteliti terdapat ratusan, ribuan, bahkan tidak dapat terhitung topik mengenai majas metafora yang telah muncul, bahkan yang telah terpikirkan. Berdasarkan kutipan tersebut, maka penulis hanya akan menggunakan teori majas metafora saja dari ketiga majas perbandingan, sebagai landasan teori pada analisis makna haiku. Majas metafora biasanya mudah dikenali, baik dalam teks tertulis maupun dalam situasi, karena ada hal lain dalam konteks tersebut yang berhubungan dengan citra mental yang terbentuk (Larson, 1989:263). Suharto et al (1989:137), menyatakan bahwa majas metafora adalah kata-kata yang bukan dalam arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Contoh majas metafora terdapat dalam haiku karya Kuniyoshi (1843), di bawah ini: 雪の衣を富士は着てけり (Pakaian awan yang dikenakan gunung Fuji) Pakaian awan yang dimaksudkan disini adalah pakaian yang berarti baju seperti layaknya manusia memakai baju, sedangkan maksud awan disini berarti halus, lembut, dan berwarna putih, seperti layaknya salju. Dengan kata lain, yang dimaksud pada contoh kalimat diatas adalah puncak gunung Fuji yang terselimuti oleh putihnya salju sepeti layaknya mengenakan pakaian awan. 38 2.5 Teori Haiku Reichhold (2002:24), menyatakan bahwa haiku di Jepang adalah penyusunan dari tiga bagian yang berisikan lima kesatuan suara (on) dalam bagaian pertama atau, tujuh kesatuan suara (on) pada bagian kedua, dan lima kesatuan suara (on) pada bagian akhir. Contoh haiku karya Basho: 古池ゃ蛙飛込む水の音 Furuike ya kawazu tobikomu mizu no oto Lalu dipisahkan kedalam lima, tujuh, lima kesatuan suara (on): ( 古--------池---や) (fu / ru /i / ke / ya): terdiri dari 5 “on” ( 蛙-------------飛------込---む) ( ka / wa / zu / to / bi / ko / mu): terdiri dari 7 “on” (水-------の--音) (mi / zu / no / o / to): terdiri dari 5 “on” Terjemahan: Kolam tua Seekor katak melompat Suara air Dalam pengertian tanka atau haiku Jepang, tidak sekedar menceritakan atau mendeklamasikan puisi, tapi dinyanyikan dengan nada nyanyian seperti penganut Buddha kuno, dan selalu ada pemberhentian kata antara bait kedua dengan bait ketiganya. Pemberhentian kata atau selaan tersebut juga disebut dengan kireji. Sistem cara kerja penggunaan kireji dilakukan dengan cara memakai akhiran kata ya (!) dan kana (alangkah…!) pada frasenya (Reichhold, 2002:29). Contoh: 古池や / 蛙飛込む / 水の音 Furuike ya / kawazu tobikomu / mizu no oto (Basho) 39 佛とは / さくらのはなに / 月夜かな Hotoke to wa / sakura no hana ni / tsukiyo kana (Hoitsu) Menurut Gill (2007:19), kata kana hampir selalu berada dipenghujung atau akhir haiku, dan kurang lebih diartikan sebagai “oh!”, “ah!”, “alangkah”, “betapa”, “begitu”, “ini”,“itu”, dan lain-lain yang memiliki nuansa yang sama.Disamping itu, kata kana juga bisa tidak memiliki arti atau makna apapun (nothing in particular). Dalam haiku Jepang, apabila haiku tersebut memiliki kata kana didalamnya, maka subjek akan berada sebelum kata kana, atau mendahului kata kana. Jadi, apabila subjek hanya terdiri dari tiga silabus, maka penyair akan menggunakan kata kana setelah subjeknya untuk melengkapi sehingga hitungan silabusnya menjadi sesuai dengan aturan haiku, atau apabila subjek memiliki nama yang pendek, misalnya nyamuk, yang dalam bahasa Jepangnya ka, maka kata kana akan digunakan untuk mengisi ruang tersebut digabungkan dengan kata dan frase yang lain. Kata ya ditulis dengan penulisan karakter kanji yang sama dengan kata kana, dan kurang lebih merupakan kata yang hampir sama, tetapi dikarenakan biasanya kata ya muncul dipertengahan haiku, maka nuansa artinya lebih mengacu kepada tanda baca sejenis “:” , “ - ” atau “!”. Kata ya memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata kana, jadi bisa diambil kesimpulan bahwa kedua kata itu juga dapat menjadi semacam penghubung kata dalam sebuah kalimat. Namun secara umum, kireji tidak terlalu penting dan berpengaruh pada makna keseluruhan dari sebuah haiku. Selain itu, dalam haiku Jepang juga memiliki kandungan kigo yang diartikan sebagai kata musim. Salah satu yang sangat mencolok dari kehidupan masyarakat Jepang adalah perhatian dan kesadaran mereka akan segala sesuatu yang terus berubah dalam keseharian mereka seiring dengan perubahan fenomena alam natural dan musim yang 40 dialami mereka. Bahkan ketika minuman kaleng dalam mesin penjual otomatis diganti jenisnya dari minuman yang sesuai dengan musim panas ke musim gugur pun merupakan suatu fenomena yang penuh arti bagi mereka (Dalby, 2007:xv). Sejak dulu hingga saat ini, orang Jepang mengelompokkan berbagai jenis bunga, burung, dan fenomena-fenomena alam ke dalam musim masing-masing untuk menulis haiku. Inilah yang disebut dengan kigo. Ketika orang Jepang membuka kamus untuk mencari arti kata, misalnya guntur (kaminari), setelah menemukan definisi, asal kata dan contoh pemakaian kata, dia akan menemukan catatan tentang kigo (kategori musim) dari kata guntur, yaitu musim panas (natsu) (Dalby, 2007:xxi). Kandungan kigo tersebut berfungsi untuk melambangkan atau mendalami suatu masa atau musim didalam puisi, sehingga dapat menunjukkan keterangan mengenai waktu (seperti pagi, siang, senja, dan malam), musim (semi, panas, gugur, salju), dan unsurunsur alam didunia nyata untuk menunjukkan lokasinya (Reichhold, 2002:24-25). Reichhold (2002:49-52), juga menyatakan bahwa haiku adalah jenis puisi yang dibangun dalam peraturan tertentu, sehingga kita harus dapat mematuhi peraturan tersebut untuk dapat menulis sebuah haiku. Peraturan tersebut adalah sebagai berikut (Reichold, 2002:51): 1. Penulisan haiku kedalam tiga baris, yaitu pada baris pertama yang pendek, pada baris kedua yang panjang, dan pada baris ketiga yang kembali pendek tanpa mengitung suku katanya. 2. Pastikan haiku tersebut memiliki pemenggalan dan frase. 3. Mempunyai beberapa unsur-unsur alam. 4. Mempunyai kata kerja masa kini. 5. Hindari huruf kapital atau tanda baca. 41 6. Hindari irama kata. 2.6 Teori Pengkajian Puisi Menurut Waluyo (1995:25), puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Waluyo (1995:24), memaparkan bahwa bahasa yang digunakan dalam puisi adalah bahaas konotatif yang multiinterpretable, yaitu makna yang dilukiskan dalam puisi dapat merupakan makna lugas, namun lebih banyak makna kias melalui lambang dan kiasan. Menurut Pradopo (2005:vi), puisi mempunyai sifat, struktur, dan konvensi-konvensi sendiri yang khusus dan untuk memahaminya, konvensi-konvensi dan struktur puisi tersebut perlu dimengerti dan dipelajari. Oleh Karena itu, teori pengkajian puisi bermaksud untuk menyumbang pengetahuan mengenai cara memahami struktur dan konvensi-konvensi pada umumnya, berdasarkan pada hakikat puisi sendiri sebagai karya seni sastra. Menurut Pradopo, pengkajian puisi terbagi dalam dua bagian, yaitu: 1. Analisis struktur puisi berdasarkan lapis-lapis normanya yang merupakan fenomena puisi yang ada. Pradopo (2005:15), menyatakan bahwa lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Suara, sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti, dengan adanya satuansatuan suara itu orang menangkap artinya. Maka lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), yang berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuansatuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita atau keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, 42 yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. 2. Analisis sajak satu persatu yang membicarakan kaitan antara unsur dan saranasarana kepuitisan yang menyeluruh. Dalam analisis ini, lapis-lapis norma puisi dilihat hubungan keseluruhannya dalam sebuah sajak yang utuh. Hal ini disebabkan norma-norma puisi itu saling berhubungan erat dan saling berhubungan maknanya (Pradopo, 1990:117), sehingga untuk mendapatkan makna sajak seutuhnya diperlukan analisis secara struktural (susunan unsurunsur yang bersistem), semiotik (simbol-simbol), dan intertekstual (hubungan antara teks dengan sajak-sajak yang terbit sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antar teks). 43