BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN 2.8 Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN
2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan
Menurut Peter Mahmud, kata Pailit berasal dari bahasa Perancis yaitu
failite yang artinya kemacetan pembayaran.18 Dalam bahasa Belanda
digunakan istilah failliet, sedangkan dalam bahasa Inggris digunakan istilah
faillsement, bankruptcy dan insolvency. 19
Negara
penganut
sistem
hukum
Eropa
Kontinental
umumnya
menggunakan istilah faillsement. Namun, istilah faillsement pada sistem
hukum ini diartikan berbeda dengan istilah insolvency. Terminologi insolven
dalam tahap pemberesan pailit memiliki makna khusus dibandingkan makna
insolven secara umum. Secara umum, insolven diartikan sebagai keadaan
suatu perusahaan yang utangnya (pasiva) lebih besar daripada harta
perusahaan (aktiva), sedangkan makna insolven dalam tahap pemberesan pailit
adalah suatu tahap yang akan terjadi jika tidak terjadi suatu perdamaian
sampai dihomologasi dan dalam tahap ini akan dilakukan suatu pemberesan
terhadap harta pailit. Negara penganut sistem hukum Anglo Saxon
menggunakan istilah bankcruptcy, hal ini tercermin dari hukum kepailitannya
yang dikenal dengan Bankruptcy Code.
18
Rahayu Hartini, 2003, Hukum Kepailitan, Bayu Media, Malang, (selanjutnya disingkat
Rahayu Hartini I), hal. 4.
19
Rahayu Hartini, 2009, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme
Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Edisi Pertama, Cetakan Ke-1, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Rahayu Hartini II), hal.71.
22
23
Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, bankrupt artinya bangkrut
atau pailit, sedangkan bankruptcy artinya kebangkrutan atau kepailitan.20 Pasal
1 angka 1 UUK menyebutkan, “Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang ini.” Berdasarkan rumusan pasal tersebut dapat terlihat
bahwa terdapat perbedaan antara istilah pailit dengan kepailitan. Pailit
merupakan keadaan
yang
menunjukkan ketidakmampuan
membayar,
sedangkan kepailitan merupakan sita umum atas semua harta debitor yang
diakibatkan oleh pailit yang dialaminya.
Dasar hukum kepailitan adalah dasar diperbolehkannya sita umum dan
oleh karenanya diadakan lembaga kepailitan. Dasar hukum kepailitan tersebut
adalah:
a. Pasal 1131 KUHPER
Menurut ketentuan Pasal 1131 KUHPER, “Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” 21 Pasal ini
menekankan kepada asas paritas creditorium (pertanggungjawaban
debitor), yang mengandung makna bahwa seluruh harta kekayaan
seseorang akan menjadi jaminan ketika ia mengikatkan diri pada suatu
20
John M. Echols dan Hassan Shadily, 2002, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan Ketujuh,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
21
Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan
ke-25, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 291.
24
perikatan. Harta kekayaan tersebut termasuk harta bergerak seperti
kendaraan, tidak bergerak seperti rumah dan tanah, yang sudah ada
seperti tabungan, ternak, rumah, kendaraan, serta perhiasan yang
dimiliknya sekarang, maupun yang akan ada di kemudian hari seperti
warisan. Maksud dari jaminan adalah jika debitor tidak mampu
membayar lunas utangnya, maka jaminan tersebut akan digunakan
untuk memenuhi utang tersebut.
b. Pasal 1132 KUHPER
Menurut ketentuan Pasal 1132 KUHPER:
kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua
orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan bendabenda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 22
Pasal ini menekankan kepada asas pari passu prorata parte (semua
kreditor berkedudukan sama), yang menentukan bahwa setiap kreditor
berhak atas pemenuhan perikatan dan harus mendapatkan pemenuhan
perikatan dari harta kekayaan debitor tersebut secara pari passu dan
pro rata.23 Pari passu artinya kreditor secara bersama-sama
memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan sedangkan pro
rata
atau
proporsional
artinya
pemenuhan
tersebut
dihitung
berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap
piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh harta kekayaan
22
Ibid, hal. 291.
Jono, op.cit. hal. 3, dikutip dari Kartini Muljadi, 2005, Prosiding Rangkaian Lokakarya
Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dari Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Pusat Penggkajian
Hukum, Jakarta, hal. 164.
23
25
debitor tersebut.24 Asas ini menekankan pada pembagian harta debitor
untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara berkeadilan
sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara
sama rata.25
Harta kekayaan debitor merupakan jaminan bersama untuk para kreditor
dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika
di antara para kreditor ada yang harus didahulukan menurut undang-undang.26
Menurut Pasal 1133 KUHPER, “Hal untuk didahulukan di antara orang-orang
berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan hipotik,” 27 sedangkan
menurut Pasal 1134 ayat (1) KUHPER, “Hak istimewa adalah suatu hak yang
diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia
berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan
sifat piutang itu.”28 Hak istimewa disebut juga dengan hak privilege dan
kreditor pemeganya disebut kreditor preference.
Kreditor menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK adalah baik kreditor
konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Tingkat kedudukan
kreditor berdasarkan pelunasan piutangnya dari debitor dapat dikategorikan
sebagai berikut:
24
Ibid.
M. Hadi. Shubhan, op.cit. hal. 30.
26
Kartini Muljadi, 2001, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga,
dalam Rudhy A. Lontoh et.Al. (ed); 2001, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, hal. 300.
27
Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc.cit.
28
Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc.cit.
25
26
1. kreditor preferen (istimewa atau privilege), yang terdiri dari:
a. kreditor preferen karena undang-undang, yaitu kreditor yang oleh
undang-undang diberi tingkatan yang lebih tinggi dari pada
kreditor lainnya semata-mata berdasarkan sifat piutang yang diatur
dalam Pasal 1139 KUHPER dan Pasal 1149 KUHPER.
b. kreditor separatis (secured creditor), yaitu kreditor pemegang hak
jaminan kebendaan secara khusus dan tidak terkena akibat
kepailitan, artinya para kreditor separatis tetap dapat melaksanakan
hak-hak eksekusinya meskipun debitornya dinyatakan pailit. Pada
saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal empat macam
jaminan, antara lain:
a) gadai, diatur dalam Pasal 1150-1160 KUHPER, yang
diberlakukan terhadap benda-benda bergerak;
b) hipotek, diatur dalam Pasal 1162-1232 KUHPER, yang saat ini
hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal
20 m3 dan sudah terdaftar serta pesawat terbang. Ketentuan
mengenai hipotek terhadap kapal diatur dalam Pasal 314 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);
c) hak tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, merupakan jaminan hak-hak atas
tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah;
27
d) jaminan fidusia, diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia, merupakan jaminan terhadap benda-benda
yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotek, gadai, dan hak
tanggungan.
2. kreditor konkuren (unsecured creditor)
Disebut juga kreditor bersaing karena tidak memiliki jaminan secara
khusus dan tidak memiliki hak istimewa, sehingga kedudukannya
sama dengan kreditor tanpa jaminan lainnya berdasarkan asas paritas
creditorium.
Kreditor preferen dan separatis dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap debitor dan haknya untuk didahulukan. Pasal 138 UUK menentukan:
kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang
mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta
pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutangnya tersebut
kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan harta benda
yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki
kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak
untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, UUK memberikan hak kepada kreditor
preferen dan separatis untuk dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa
harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi
jaminan atas piutangnya dengan catatan kreditor preferen dan separatis dapat
membuktikan bahwa benda yang menjadi agunan tersebut tidak cukup untuk
melunasi utang debitor pailit.
28
Pasal 1131 dan 1132 KUHPER memberikan jaminan kepastian hukum
kepada kreditor bahwa kewajiban debitor akan tetap dilunasi dengan jaminan
harta kekayaan debitor baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada di
kemudian hari. Untuk mengeksekusi dan membagi harta debitor atas
pelunasan utangnya kepada kreditor-kreditor secara adil dan seimbang
berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 KUHPER, diperlukan pranata hukum
tersendiri yaitu hukum kepailitan. UUK diperlukan untuk:
1. menghindari pertentangan apabila ada beberapa kreditor pada waktu
yang sama meminta pembayaran piutangnya kepada debitor;
2. menghindari adanya kreditor yang ingin mendapatkan hak istimewa,
yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor atau
menguasai sendiri secara tanpa memperhatikan lagi kepentingan
debitor atau kreditor lainnya;
3. menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh
debitor sendiri, misalnya debitor berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seorang atau beberapa kreditor tertentu, yang merugikan
kreditor lainnya, atau debitor melakukan perbuatan curang yang
melarikan atau menghilangkan semua harta benda kekayaan debitor
yang bertujuan melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
kreditor.29
Suatu hukum kepailitan dapat memenuhi tujuan-tujuan:
4. meningkat upaya pengembalian kekayaan
29
Chatamarrasjid, 2000, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil)
Kapita Selekta Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 78.
29
Semua kekayaan debitor harus ditampung dalam suatu kumpulan dana
yang sama (harta pailit), yang disediakan untuk pembayaran tuntutan
kreditor.
5. memberikan perlakuan baik yang seimbang dan dapat diperkirakan
sebelumnya oleh para kreditor
Para kreditor dibayar secara pari passu dan mereka menerima suatu
pembagian secara pro rata parte dari harta pailit sesuai dengan
besarnya tuntutan masing-masing. Kepastian prosedur dan peraturan
dasar dalam hubungan tersebut harus bersifat terbuka sehingga kreditor
dapat mengetahui sebelumnya mengenai kedudukan hukumnya.
Tujuan ini kemudian dirmuskan dalam UUK sebagai asas keadilan dan
keseimbangan.
6. memberikan kesempatan reorganisasi usaha debitor pailit dan
mempertahankan kegiatan usaha tersebut guna memenuhi kepentingan
para kreditor dan kebutuhan sosial. Tujuan ini kemudian dirumuskan
oleh UUK melalui asas kelangsungan usaha.
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, dibentuk lembaga kepailitan untuk
mengadakan tata yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua
kreditor dengan cara seperti yang diamanatkan oleh Pasal 1132 KUHPER.
Fungsi lembaga kepailitan adalah sebagai lembaga alternatif untuk
penyelesaian kewajiban-kewajiban debitor terhadap kreditor secara lebih
30
efektif, efisien, dan proporsional. 30 Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga
kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:
1. kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditornya
bahwa debitor tidak akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab
atas semua utang-utangnya kepada semua kreditor-kreditornya;
2. memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi
massal oleh kreditor-kreditornya. 31
2.2 Sejarah Pengaturan Kepailitan
Pengaturan kepailitan di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 masa, yakni
masa sebelum Faillisements Verordening (Fv) berlaku, masa berlakunya Fv,
dan masa berlakunya UUK.32
a) Masa sebelum berlakunya Fv
Pada awalnya, Belanda mengatur hukum kepailitan dalam dua tempat,
yaitu:
a. Wet Book van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul “Van
de Voorziening in geval van Onvormogen van kooplieden” atau
peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah
peraturan kepailitan bagi pedagang.
b. Reglement op de Rechtsvoordering (Rv) S.1847-52 bsd 1849-63, buku
ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von Kenneljk
30
M. Hadi Shubhan, op.cit., hal. 3.
Rahayu Hartini II, op.cit, hal. 10-11.
32
Rahayu Hartini, 2006, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi, UMM Press, Malang,
(selanjutnya disingkat Rahayu Hartini III), hal. 9-14.
31
31
Onvermogen” atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang bukan
pedagang.
Kedua peraturan tersebut berlaku di Indonesia berdasarkan asas
konkordansi, yakni asas yang memberlakukan hukum yang berlaku di
negeri penjajah untuk dapat diberlakukan di negeri jajahannya atau paling
tidak hukum di negeri jajahan menyesuaikan dengan hukum yang berlaku
di negeri penjajahnya. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaannya, kedua
aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan, yakni:
a. banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya;
b. biaya tinggi;
c. pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan;
d. memerlukan waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, kemudian dibuatlah peraturan yang lebih sederhana, yakni
Fv S. (1905-217).
b) Masa berlakunya Fv (Fv S. 1905-217 jo. S. 1906-348)
Fv berlaku bagi semua orang yaitu baik bagi pedagang maupun bukan
pedagang, baik perseorangan maupun badan hukum. Peraturan ini hanya
berlaku untuk golongan Eropa. Maka dari itu diaturlah Lembaga
Penundukan Diri S. 1917-12, yang terdiri dari:
a. penundukan diri terhadap seluruh hukum perdata Barat;
b. penundukan diri terhadap sebagian hukum perdata Barat;
c. penundukan diri terhadap suatu perbuatan hukum tertentu.
32
Fv (S. 1905-217 jo. S. 1906-348) berlaku di Indonesia berdasar Pasal II
Aturan Peralihan UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.
c) Masa berlakunya UUK
Setelah berlakunya Fv (S.1905 No.217 jo S.1906 No.348), Republik
Indonesia telah mampu membuat sendiri peraturan kepailitan dan hingga
kini sudah dua peraturan perundang-undangan yang merupakan produk
hukum nasional, yaitu:
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan
yang kemudian diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998 Tentang Kepailitan;
b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2.3 Syarat-Syarat Permohonan Pailit
Subjek hukum yang hendak mengajukan permohonan pernyataan pailit
harus mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu karena
jika syarat-syarat pailit tidak terpenuhi, maka permohonan pernyataan pailit
tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.
Untuk dapat dinyatakan pailit, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UUK, seorang debitor harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. debitor mempunyai dua atau lebih kreditor
33
Syarat adanya minimal dua atau lebih kreditor dikenal dengan concursus
creditorum.33 Oleh karena hukum kepailitan merupakan realisasi dari Pasal
1132 KUHPER, maka dengan adanya hukum kepailitan diharapkan
pelunasan utang-utang debitor kepada kreditor-kreditor dapat dilakukan
secara seimbang dan adil, serta setiap kreditor (konkuren) mempunyai hak
yang sama untuk mendapatkan pelunasan dari harta kekayaan debitor.
Debitor tidak dapat dinyatakan pailit jika hanya mempunyai seorang
kreditor dikarenakan tidak ada keperluan untuk membagi harta kekayaan
debitor diantara para kreditor. Kreditor dalam hal ini berhak atas semua
harta kekayaan debitor dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata
dan pari passu.
Jika seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak
membayar utangnya dengan sukarela, kreditor akan menggugat debitor
secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan seluruh harta
debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut.
b. tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih
Yang dimaksud dengan utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih menurut
penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UUK adalah:
kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda
oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan,
arbiter atau majelis arbitrase.
33
Sutan Remy Sjahdeni, 2002, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 64.
34
Pengertian utang dan jatuh waktu diberi batasan secara tegas semata-mata
untuk menghindari adanya berbagai penafsiran. 34 Sutan Remy Sjahdeni
menjelaskan istilah jatuh waktu dan dapat ditagih sebagai berikut:
bahwa kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Suatu
utang dapat saja telah dapat ditagih, tetapi belum jatuh waktu.
Utang yang telah jatuh waktu dengan sendirinya menjadi utang
yang telah dapat ditagih namun utang yang telah dapat ditagih
belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. Utang
hanyalah jatuh waktu apabila menurut perjanjian kredit atau
perjanjian utang piutang telah sampai jadwal waktunya untuk
dilunasi oleh debitor sebagaimana ditentukan di dalam perjanjian
itu.35
c. atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seseorang atau lebih
kreditornya
Asalkan debitor memiliki lebih dari seorang kreditor maka seorang
kreditor saja boleh mengajukan kepailitan debitornya, karena tujuan
kepailitan adalah untuk melindungi para kreditor yaitu untuk mengadakan
pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor.
2.4 Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UUK, pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit adalah:
a. debitor sendiri (Pasal 2 ayat (1) UUK)
Debitor yang berada dalam keadaan insolven dapat mengajukan pernyataan
pailit untuk dirinya sendiri. Menurut Pasal 4 UUK, “Dalam hal permohonan
pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam perkawinan
34
35
Jono, op.cit, hal. 5.
Sutan Remy Syahdeni, op.cit, hal. 68.
35
yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau
istrinya kecuali apabila tidak ada percampuran harta dalam perkawinan.”
b. seorang kreditor atau lebih ( Pasal 2 ayat (1) UUK)
Sebagaimana penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUK, kreditor yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah kreditor preferen, separatis,
dan konkuren.
c. kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) UUK)
Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepentingan umum dapat diartikan sebagai
kepentingan yang bukan merupakan kepentingan kreditor ataupun pemegang
saham, kepentingan umum itu dapat saja masyarakat umum dalam pengguna
jasa.36
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan bahwa kepentingan bangsa dan
Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, seperti:
a) debitor melarikan diri;
b) debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c) debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milin Negara (BUMN)
atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
d) debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas;
e) debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan
masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
36
Rahayu Hartini II, op.cit, hal. 82. Dikutip dari Peter Mahmud Marzuki, 1997, Hukum
Kepailitan Menyongsong Era Global, Makalah Semiloka: Restrukturisasi Organisasi Bisnis
melalui Hukum Kepailitan, FH UNDIP-ELIPS, hal.10.
36
f) dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum.
Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit apabila debitor
telah memenuhi syarat Pasal 2 ayat (1) namun tidak ada pihak yang
mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Tata cara pengajuan permohonan pernyataan pailit sama dengan permohonan
pailit yang diajukan oleh kreditor atau debitor, dengan ketentuan bahwa
permohonan pailit dapat diajukan oleh kejaksaan tanpa penggunaan jasa
advokat. Hal tersebut merupakan pengecualian dari ketentuan Pasal 7 UUK.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan
Pernyataan Pailit untuk Kepentingan Umum secara tegas menyebutkan bahwa
wewenang kejaksaan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah
untuk dan atas nama kepentingan umum. Di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2)
juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit dengan alasan kepentingan umum, apabila:
a) debitor mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih;
b) tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit.
d. Bank Indonesia (Pasal 2 ayat (3) UUK)
Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa, “Dalam hal debitor adalah bank,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.”
Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, “Bank adalah badan usaha yang
37
menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) UUK menyebutkan:
pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya
merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas
penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan,
oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Bank
Indonesia untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak
menghapuskan kewenangan Bank Indonesia terkait dengan ketentuan
mengenai pencabutan izin usaha bank, pembubaran badan hukum, dan
likuidasi bank sesuai peraturan perundang-undangan.
e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) (Pasal 2 ayat (4) UUK)
Dalam hal debitor pailit adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring
dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh BAPEPAM. UU No. 8 Tahun
1995 Tentang Pasar Modal (UUPM) memberikan definisi mengenai istilahistilah tersebut sebagai berikut:
a) Pasal 1 angka 4 UUPM
“Bursa efek adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan
sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli
Efek Pihak - Pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara
mereka.”
b) Pasal 1 angka 9 UUPM
“Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan
jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa.”
38
c) Pasal 1 angka 10 UUPM
“Lembaga
Penyimpanan
dan
Penyelesaian
adalah
Pihak
yang
menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi Bank Kustodian,
Perusahaan Efek, dan Pihak lain.”
d) Pasal 1 angka 21 UUPM
“Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer
Investasi.”
Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (4) UUK, permohonan pailit tersebut hanya
dapat diajukan oleh BAPEPAM karena lembaga tersebut melakukan kegiatan
yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek
di bawah pengawasan BAPEPAM. BAPEPAM juga mempunyai kewenangan
penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansiinstansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya kewenangan
Bank Indonesia terhadap bank.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dan 4 UUPM, kewenangan BAPEPAM untuk
mengajukan permohonan kepailitan terhadap perusahaan efek berkaitan
dengan fungsi BAPEPAM untuk melaksanakan pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan sehari-hari kegiatan pasar modal dengan tujuan mewujudkan
terciptanya kegiatan pasar modal yang teratur, wajar, dan efisien serta
melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat.
39
f. Menteri Keuangan (Pasal 2 ayat (5) UUK)
Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana
pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Beberapa definisi dari istilah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi,
dana pensiun, dan BUMN akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Asuransi
Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK meyebutkan bahwa “Yang dimaksud
dengan "Perusahaan Asuransi" adalah Perusahaan Asuransi jiwa dan
Perusahaan Asuransi Kerugian.” Oleh karena itu pengertian Perusahaan
Asuransi jiwa menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian (UU Asuransi) adalah perusahaan yang memberikan
jasa dalam penganggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Definisi Perusahaan
Asuransi Kerugian berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Asuransi adalah
perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas
kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
b) Reasuransi
Pasal 1 angka 7 UU Asuransi menyebutkan bahwa, “Perusahaan
Reasuransi
adalah
perusahaan
yang
memberikan
jasa
dalam
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan
Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.”
40
c) Dana Pensiun
Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun
menyebutkan bahwa, “Dana Pensiun adalah badan hukum yang
mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun.”
d) BUMN
Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK mendifinisikan BUMN sebagai BUMN
yang bergerak di bidang kepentingan publik, yakni BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.
Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Dana Pensiun sepenuhnya
ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun
tingkat
kepercayaan masyarakat
terhadap Perusahaan Asuransi dan
Reasuransi sebagai lembaga pengelola risiko sekaligus pengelola dana
masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan
kehidupan perekonomian, serta tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
Dana Pensiun, mengingat Dana Pensiun mengelola dana masyarakat dalam
jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak
jumlahnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UUK, Panitera wajib menolak
pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan dalam ayatayat tersebut. Namun dalam perkembangannya telah
41
dilakukan judicial review terhadap isi Pasal tersebut oleh Mahkamah Konstitusi
dan telah diputuskan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) beserta dengan
penjelasannya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dengan pertimbangan
bahwa keputusan untuk menolak atau menerima suatu permohonan pernyataan
pailit akan diberikan oleh Hakim karena telah memasuki ruang lingkup judicial
dan bukan merupakan wewenang panitera yang memiliki fungsi judicial
administratif.
2.5 Pihak-Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit
Sistem hukum kepailitan di Indonesia tidak membedakan secara subtantif
antara kepailitan atas subjek hukum orang (natuurlijke persoon) dengan
kepailitan atas subjek hukum badan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu,
debitor dalam UUK dapat terdiri dari orang atau badan pribadi maupun badan
hukum. Berdasarkan hal tersebut, pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit
adalah:
a. orang atau badan pribadi
b. debitor yang telah menikah
c. badan-badan hukum, seperti perseroan terbatas, perusahaan negara,
koperasi, dan perkumpulan-perkumpulan yang berstatus badan hukum,
misalnya yayasan.
Mengenai tanggung jawab pengurus perseroan dalam kepailitan, maka
berlakulah UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang di
42
dalam Pasal 1 angka 5 dinyatakan bahwa organ PT yang
bertanggungjawab untuk mengurus dan mewakili PT adalah Direksi.
d. harta warisan
Berdasarkan ketentuan Pasal 207 UUK, harta kekayaan orang yang
meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau
lebih kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat
dapat membuktikan bahwa:
a) utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas;
atau
b) pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak
cukup untuk membayar utangnya.
Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta
kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya. Pasal
144-177 UUK menentukan dalam kepailitan harta warisan atau harta
peninggalan tidak dikenal atau tidak berlaku adanya perdamaian kecuali
apabila warisannya telah diterima oleh ahli waris secara murni.
2.6 Pihak-Pihak yang Terkait dengan Perkara Kepailitan
1. Pemohon Pailit
Pemohon pailit adalah pihak yang mengambil inisiatif mengajukan
permohonan pailit atas debitor ke pengadilan. 37 Dalam Pasal 2 UUK
37
Aria Suyudi, Eryanto Nugroho, dan Herni Sri Nurbyanti, 2004, Analisa Hukum
Kepailitan Indonesia, Kepailitan Di Negeri Pailit, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia,
Jakarta, hal. 77.
43
disebutkan bahwa permohonan pailit dapat dimintakan oleh beberapa
pihak, yaitu:
a. debitor atas permohonannya sendiri (voluntary petition);
b. kreditor;
c. Kejaksaan Atas nama untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia;
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam); dan
f. Menteri Keuangan.
2. Termohon Pailit
Pasal 2 ayat (1) UUK menentukan bahwa yang dapat diajukan atau
dimohonkan pailit adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor
dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih.
3. Hakim Pengawas
Dalam kepailitan, kurator mempunyai tugas utama yaitu melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Agar kurator menjalankan
tugasnya tersebut sesuai dengan aturan dan tidak sewenang-wenang, maka
perlu ada bentuk pengawasan terhadap tindakan-tindakan kurator.
Diperlukan peranan Hakim Pengawas untuk mengawasi setiap tindakan
kurator.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 UUK, “Hakim Pengawas adalah hakim
yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan
penundaan kewajiban pembayaran utang.” Ketentuan tersebut dipertegas
44
dengan Pasal 15 ayat (1) UUK yang menyebutkan bahwa dalam putusan
pernyataan pailit, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas
yang ditunjuk dari Hakim Pengadilan. Pasal 65 UUK pun menjelaskan
bahwa tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit.
4. Kurator
Menurut Pasal 1 angka 5 UUK, “Kurator adalah balai harta peninggalan
atau orang perorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan
memberikan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas
sesuai dengan undang-undang.”
Kurator diangkat oleh pengadilan atas permohonan debitor atau kreditor,
akan tetapi apabila kreditor atau debitor tidak mengajukan permohonan
pengangkatan kurator, maka balai harta peninggalan bertindak selaku
kurator. Pasal 69 ayat (1) UUK menyebutkan tugas kurator adalah
melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit.
2.7 Upaya Hukum terhadap Putusan Pernyataan Pailit
Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal dua macam upaya hukum, yaitu:
a. upaya hukum biasa (ordinary attempt)
Upaya hukum ini terbuka untuk semua putusan sepanjang tenggang
waktu yang disediakan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku masih dimungkinkan untuk itu. Upaya hukum biasa terdiri atas
dua tingkatan, yakni:
45
a) upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi; dan
b) upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung.
b. upaya hukum luar biasa (extraordinary attempt)
Upaya hukum luar biasa ini berupa upaya hukum melakukan
peninjauan kembali
terhadap
putusan
pengadilan
yang
telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) maupun
perlawanan pihak ketiga.
Upaya hukum yang diatur dalam hukum acara kepailitan berbeda dengan
upaya hukum yang diatur dalam hukum acara biasa, yakni tidak dikenalnya
upaya hukum banding. Konstruksi upaya hukum demikian sangat baik
mengingat lembaga upaya hukum banding seringkali digunakan oleh pihak
yang berkepentingan untuk mengulur waktu proses beracara sehingga
meskipun pihak yang bersangkutan sudah merasa akan kalah, ia akan tetap
melakukan upaya hukum agar pemenuhan putusan hakim bisa diulur
waktunya.
Ada tiga macam upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal kepailitan,
yakni:
a. perlawanan
Perlawanan dalam kepailitan diajukan kepada pengadilan yang
menetapkan putusan pernyataan pailit.38
b. kasasi
Pasal 11 ayat (3) UUK menyebutkan bahwa:
38
Bernadette Waluyo, 1999, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Mandar Maju, Bandung, hal.30-31.
46
Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain
dapat diajukan oleh Debitor dan Kreditor yang merupakan pihak
pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh
Kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan
tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan
pernyataan pailit.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak
yang dapat mengajukan kasasi atas permohonan pernyataan pailit
adalah:
a) debitor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama;
b) kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama;
c) kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan
tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan
pernyataan pailit.
Ketentuan kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan
tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan
pernyataan pailit dapat mengajukan kasasi merupakan terobosan baru
dalam hukum acara karena dalam hukum acara peradilan apapun di
Indonesia tidak diperkenankan yang bukan pihak dalam tingkat
pertama bisa mengajukan permohonan kasasi. 39 Ketentuan ini
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap para
kreditor dari debitor pailit terutama kreditor yang memiliki piutang
mayoritas dari debitor pailit.
39
M. Hadi Shubhan, op.cit, hal. 128-129.
47
UUK memberikan pembatasan hak kepada Kejaksaan, Bank Indonesia,
BAPEPAM, dan Menteri Keuangan untuk mengajukan kasasi atas
putusan pernyataan pailit dikarenakan terdapat asumsi bahwa
permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh lembaga-lembaga
tersebut sudah pasti dikabulkan oleh pengadilan.
Selain upaya hukum kasasi yang diberikan atas putusan pernyataan
pailit, terdapat model kasasi lain yang diatur dalam UUK, yakni:
a) Pasal 19 ayat (2) UUK mengenai kasasi atas pencabutan putusan
pernyataan pailit;
b) Pasal 160 ayat (1) UUK mengenai kasasi atas penolakan
pengesahan perdamaian;
c) Pasal 196 ayat (1) UUK mengenai kasasi atas penolakan terhadap
putusan pengadilan atas daftar pembagian harta pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 194 ayat (6) UUK.
Proses upaya hukum kasasi diatur secara terperinci dalam ketentuan
Pasal 11-13 UUK. Pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan
oleh Majelis Hakim pada Mahkamah Agung yang dibentuk secara
khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi
lingkup kewenangan Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam
memeriksa dan memutus di tingkat kasasi dapat membatalkan putusan
Pengadilan Niaga yang dimohonkan kasasi karena:
a) tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b) salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
48
c) lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
batalnya putusan yang bersangkutan.
c. peninjauan kembali
Peninjauan kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa.
Terhadap putusan pernyataan pailit yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
dengan syarat sesuai dengan Pasal 295 ayat (2) UUK, yakni:
a) setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan
sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau
b) dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang
nyata.
Syarat yang dapat dipergunakan untuk mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali bersifat alternatif, artinya permohonan peninjauan
kembali akan diterima apabila telah memenuhi salah satu syarat
pengajuan permohonan peninjauan kembali tersebut.
Download