BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sikap 2.1.1 Pengertian sikap Sikap

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sikap
2.1.1 Pengertian sikap
Sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon
individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya (Widayatun,
1999).Notoatmodjo (2003) sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup.Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungasn
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Beberapa batasan tentang sikap yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) antara
lain, menurut Campbell (1950) mengemukakan batasan tentang sikap yaitu tingka
laku sosial seseorang merupakan sebuah syndrome atau gejala dari konsistensi
reseptor dengan nilai objek sosialnya.
Berdasarkan batasan diatas dapat dinyatakan bahwa manifestasi sikap itu tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan suatu predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi
9
10
tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingka laku yang terbuka.Sikap
merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai
suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).
Diagram di bawah ini dapat menjelaskan tentang proses terbentuknya sikap dan
reaksi.
Ransangan
stimulus
Proses
Ransangan
Reaksi
tingka laku
(terbuka)
Sikap
(tertutup)
Gambar 2.1 Proses terbentuknya sikap dan reaksi (Notoatmodjo, 2003)
Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli
psikologi terkemuka.Berkowitz (dalam Azwar, 1995:4) menemukan adanya lebih dari
tigapuluh definisi sikap.Puluhan definisi ini pada umumnya dapat dimasukkan ke
dalam salah-satu diantaratiga kerangka pemikiran (Azwar, 1995:4).Kelompok
pemikiran yang pertama diwakili oleh Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles
Osgood.Mereka mendefiniskan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan (Azwar, 1995:4).Secara lebih spesifik, Thurstone (dalam Azwar, 1995:5)
memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu
11
objek psikologis. Pendapat serupa diungkapkan oleh ahli psikologi lain seperti
Berkowitz.
Berkowitz (dalam Azwar, 1995:5) mengatakan bahwa sikap seseorang
terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Kelompok pemikiran kedua diwakili oleh para ahli psikologi sosial dan
psikologi kepribadian seperti Chaveet al. mereka mengenai sikap lebih kompleks,
tidak hanya sekedar reaksi perasaan semata. Menurut mereka sikap merupakan
semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu.
Pendapat ini juga didukung oleh ahli psikologi lainsepertiGagne, Calhoun, Thomas,
Znaniecki dan Iken.
LaPiere (dalam Azwar 1995:5) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola
perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri
dalam situasi sosial.Sedangkan Allport (dalam Sears et al. 1985:137) mengemukakan
bahwa sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui
pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau berarah terhadap respon
individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Hal serupa
diungkapkan oleh Gagne (dalam Abror 1993:108) bahwa sikap merupakan keadaan
kesiapan mental dan susunan syaraf, yang mempengaruhi atau yang dinamis terhadap
respon individu atas semua obyek atau situasi yang berhubungan.
12
Calhoun (1990:315) sikap adalah sekelompok keyakinan dan perasaan yang
melekat tentang objek tertentu dan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek
tersebut dengan cara tertentu. Sementara itu, Thomas dan Znaniecki (dalam
Ramdhani, 2009) merumuskan sikap sebagai predisposisi untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku tertentu.
Dalam istilah kecenderungan (predisposition), terkandung pengertian arah
tindakan yang akan dilakukan seseorang berkenaan dengan suatu objek (Djaali,
2008:115). Arah tersebut dapat bersifat mendekati atau menjauhi suatu objek (orang,
benda, ide, lingkungan, dan lain-lain), dilandasi oleh perasaan penilaian individu
yang bersangkutan terhadap objek-objek tersebut. Misalnya, ia menyukai atau tidak
menyukainya, menyenangi atau tidak menyenanginya, menyetujui atau tidak
menyetujuinya.
Aiken (dalam Ramdhani, 2009) mendefinisikan sikap sebagai predisposisi
atau kecenderungan yang dipelajari dari seorang individu untuk merespon secara
positif atau negatif dengan intensitas yang moderat dan atau memadai terhadap objek,
situasi, konsep, atau orang lain. Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang
berorientasi pada skema triadik (triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini,
sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan konatif yang
saling berinteraksi satu sama lain dalam memahami, merasakan dan berperilaku
terhadap suatu objek (Azwar, 1995:5). Sesuai dengan pendapat Eagly & Chaiken
(dalam Ramdhani, 2009) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan sebagai hasil
13
evaluasi terhadap objek sikap, yang diekspresikan ke dalam proses-proses kognitif,
afektif, dan perilaku.Sebagai hasil evaluasi, Katz dan Stolen (dalam Ramdhani, 2009)
mendefiniskan sikap sebagai suatu kesimpulan dari berbagai pengamatan terhadap
objek yang diekspresikan dalam bentuk respon, kognitif, afektif, dan perilaku
individu.
Sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang
bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku (Sears
et al. 1985:138).Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki
seseorang mengenai objek sikap tertentu―fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang
objek.Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap
objek, terutama penilaian.
Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau
kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek (Sears et al. 1985:138).Para pakar
psikologi sosial selalu mengkaji sikap sebagai komponen dari sistem yang terdiri atas
tiga bagian atau disebut juga skema triadik yaitu; keyakinan mencerminkan
komponen kognitif, sikap merupakan komponen afektif, dan tindakan mencerminkan
komponen perilaku (Atkinson et al. 1983:371).
Azwar (1995:6) selain pembagian kerangka di atas, ada dua pendekatan baru
dalam mendefinisikan sikap yang dikembangkan oleh para psikologi sosial
mutakhir.Pendekatan yang pertama adalah yang memandang sikap sebagai kombinasi
14
reaksi kognitif, afektif, dan perilaku terhadap suatu objek.Ketiga komponen ini secara
bersama-sama
mengorganisasikan
sikap
individu.Pendekatan
kedua
timbul
dikarenakan adanya ketidakpuasan atas penjelasan mengenai inkonsistensi yang
terjadi antara ketiga komponen kognisi, afeksi, dan konasi dalam membentuk
sikap.Pengikut pendekatan ini memandang perlu untuk membatasi konsep sikap
hanya pada aspek afektif saja. Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap
tidak lain adalah penilaian (efek) positif atau negatif terhadap suatu objek.
“Studi Özer dan Yilmaz (2011) juga menghasilkan temuan bahwa ternyata
theory of planned behavior memberi daya penjelas yang lebih baik dari pada theory
of reasoned action dalam menjelaskan niat para akuntan untuk menggunakan
teknologi informasi. TPB merupakan model dengan kekuatan prediksi yang lebih
kuat dari pada model TRA, sebab penambahan variabel perceived behavioral control
(PBC) yang dimaksukkan ke dalam model ternyata memberi kontribusi terbaik dalam
menjelaskan variasi tentang niat para akuntan untuk menggunakan teknologi
informasi. Theory of planned behavior juga diintegrasikan dengan TAM (technology
acceptance model) untuk menjelaskan perilaku konsumen dalam membeli atau
menggunakan internet (Sentosa dan Nik Mat, 2012)”.
2.1.2 Fungsi Sikap
Katz (1964) dalam buku Wawan dan Dewi (2010:23) sikap mempunyai beberapa
fungsi, yaitu:
15
1. Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat
Fungsi berkaitan dengan sarana dan tujuan.Orang memandang sejauh
mana obyek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam rangka
mencapai tujuan. Bila obyek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai
tujuannya, maka orang akan bersifat positif terhadap obyek tersebut. Demikian
sebaliknya obyek sikap menghambat pencapaian tujuan, maka orang akan
bersikap negatif terhadap sikap yang bersangkutan.
2. Fungsi pertahanan ego
Fungsi ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang untuk
mempertahankan ego atau akunya.Sikap ini diambil oleh seseorang pada waktu
orang yang bersangkutan terancam keadaan dirinya atau egonya.
3. Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk
mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri
seseorang akan mendapatkan kepuasan dapat menunjukkan kepada dirinya.
Dengan individu mengambil sikap tertentu akan menggambarkan keadaan sistem
nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.
4. Fungsi pengetahuan
Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan pengalamanpengalamannya, ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap
16
suatu obyek, menunjukkan tentang pengetahuan orang terhadap suatu obyek sikap
yang bersangkutan.
2.1.3
Komponen pokok sikap
Alport (1954) yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) ada tujuh
komponen pokok sikap yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek;
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek;
3. Pengaruh orang lain yang dianggap penting;
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau
searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Keinginan ini antara lain
dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari
konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut. Orang-orang yang biasanya
dianggap penting oleh individu adalah orang tuah, orang status sosialnya lebih
tinggi, teman sebaya, istri, suami, dan lain-lain.
4. Pengaruh kebudayaan;
Kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai
masalah karena kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaru besar terhadap pembentukan sikap kita.
5. Media massa;
Dalam penyampain informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-
17
pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat akan
memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu.
6. Lembaga pendidikan dan lembaga agama;
Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu
sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu system yang mempunyai pengaruh
dalam pembentukan sikap.
7. Pengaruh faktor emosional.
Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Peran gender sangat mempengaruhi keadaan
emosional, perempuan menekankan pada tanggung jawab sosial dalam emosinya.
Perempuan lebih merasa tanggung jawab terhadap emosi orang lain. Mereka
sangat memperhatikan keadaan emosi orang lain sehingga lebih mampu untuk
memahami perubahan emosional. Oleh sebab itu kaum perempuan biasanya jauh
lebih memiliki empati terhadap penderitaan orang lain ketimbang laki-laki.
Masyarakat cenderung menganggap bahwa perempuan lebih mudah merasakan
takut, cemas dan sedih daripada laki-laki.Sedangkan laki-laki dianggap lebih
mudah untuk marah (Smartpsikologi, 2007).
2.1.4
Berbagai tingkatan sikap
Tingkatan sikap menurut Notoatmodjo (2003) adalah sebagai berikut :
18
1. Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan mempertahankan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari
pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko.Pengukuran sikap dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung.Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat
atau pernyataan responden terhadap suatu objek.Sedangkan secara tidak langsung
dapat dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan
pendapat responden.Dan biasanya jawaban berada dalam rentang antara sangat setuju
sampai sangat tidak setuju.
19
2.1.5
Wujud Sikap menjadi Tindakan atau Perilaku
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa suatu sikap belum otomatis terwujud
dalam suatu tindakan (over behavior). Utnuk mewujudkan sikap menjadi suatu
perbuatan
nyata
diperlukan
faktor
pendukung
atau
suatu
kondisi
yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping factor fasilitas, juga
diperlukan factor pendukung (support) dari pihak lain.
Praktek ini mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :
1.
Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
2.
Respon terpimpin (guided response), indikator praktek tingkat dua adalah dapat
melakukan sesuatu sesuai dengan contoh.
3.
Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu
dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka
ia sudah mencapai praktek tingkat tiga.
4.
Adopsi (adoption), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
2.2 Norma Subyektif
Tan dan Thomson, (2000), bahwa norma-norma subyektif (subjective norms)
adalah pengaruhsosial yang mempengaruhi seseorang untuk berperilaku. Seseorang
akan memilikikeinginan terhadap suatu obyek atau perilaku seandainya ia
20
terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya untuk melakukannya atau ia meyakini
bahwa lingkungan atauorang-orang disekitarnya mendukung terhadap apa yang ia
lakukan.
Norma subjektif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan
motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Di dalam norma subjektif terdapat
dua aspek pokok yaitu :
1. keyakinan akan harapan;
2.
harapan norma referensi,
Keyakinan akan harapan dan harapan norma refrensi merupakan pandangan
pihak lain yang dianggap penting oleh individu yang menyarankan individu untuk
menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu serta motivasi kesediaan
individu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan pendapat atau pikiran pihak
lain yang dianggap penting bahwa individu harus atau tidak harus berperilaku.
Norma subjektif yaitu keyakinan individu untuk mematuhi arahan atau
anjuran orang sekitarnya untuk turut dalam aktivitas berwirausaha. Norma subjektif
diukur dengan skala subjective norm (Ramayah & Harun, 2005) dengan indikator
keyakinan peran keluarga dalam memulai usaha, keyakinan dukungan dalam usaha
dari orang yang dianggap penting, keyakinan dukungan teman dalam usaha.
2.3 Perceived Behavioral Control (PBC)
Determinan ketiga dari theory Planned Behavior adalah Perceived Behavioral
Control (PBC), sama dengan dua determinan terdahulu PBC juga terkait dengan
21
belief. Belief dalam PBC mengenai hadir atau absennya faktor yang memfasilitasi
atau menghalangi munculnya perilaku individu.
Ada lima variabel yang terkandung dalam theory of planned behavior, yaitu
sikap terhadap perilaku, norma subyektif, perceived behavioral control, niat
berperilaku, dan perilakuitu sendiri. Ajzen dan Fishbein (1980) memberi definisi
berikut:
1. Sikap terhadap perilaku (attitude toward behavior) merupakan perasaan (feeling)
positif atau negatif seseorang berkaitan dengan melakukan suatu perilaku tertentu.
Seseorang akan bersikap positif terhadap suatu perilaku tertentu apabila ia yakin
bahwa melakukan perbuatan itu akan memberikan hasil yang positif.
2. Norma subyektif (subjective norm) adalah persepsi terhadap adanya tekanan atau
pengaruh sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu.
3. Perceived behavioral control merupakan persepsi seseorang terhadap kemampuan
dirinya untuk melakukan suatu perilaku tertentu.
4. Niat berperilaku (intention to behavior) adalah indikasi yang menunjukkan
kesiapan seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu, dan dipandang
sebagai anteseden yang segera menyebabkan terjadinya perilaku.
5. Perilaku (behavior) adalah respon atau reaksi yang bersifat manifes atau dapat
diobservasi dalam sebuah situasi yang berkaitan dengan target tertentu.
Ajzen (1988) mendefinisikan Perceived Behavioral Control (PBC) sebagai
berikut : “this factor refresh to the perceived ease or difficulty peforming the
22
behavior and it assume to reflect past experience as well as anticipates impediment
and obstacles”, faktor ini menggambarkan persepsi individu mengenai mudah atau
tidaknya individu untuk melakukan tingkah laku dan diasumsikan merupakan refleksi
dari pengalaman yang telah terjadi sebelumnya serta hambatan-hambatan yang
diantisipasi.
Dalam Ajzen (2005), hal yang perlu diingat mengenai theory planned
behavior tidaklah secara langsung dengan banyaknya kontrol individu mempngaruhi
situasi, justru menganggap kemungkinan efek dari PBC dalam pencapaian akhir
tingkah laku. Dimana intensi merefleksikan keutamaan keinginan individu untuk
mencoba kemungkinan pengaruh tingkah laku, dan perceived control seperti
menimbang beberapa hal dari pertahanan-pertahananrealistis yang masih ada. Lebih
luasnya adalah persepsi dari kontrol tingkah laku turut menyebabkan kontrol
langsung dan mereka harus mengembangkan informasi yang melingkupi intensi.
Masihi menurut Ajzen (2005), ada dua hal penting terkait dengan teori
planned behavior. Yang pertama adalah asumsi jika PBC memiliki implikasiimplikasi motivasional terhadap intensi. Seseorang yang yakin jika dirinya tidak
memiliki sumber-sumber maupun tidak memilki kesempatan untuk memunculkan
tingkah laku, lebih cenderung tidak akan memiliki intensi yang kuat untuk
memunculkan tingkah laku tersebut meskipun ia memiliki attitude toward behavior
(sikap terhadap tingkah laku ) yang positif dan percaya bahwa orang-orang yang
23
penting dan berarti bagi dirinya (significant others) akan setuju ia memunculkan
tingkah laku tersebut. Dengan demikian menunjukkan adanya hubungan anatara PBC
dan intensi tanpa perantara sikap dan norma subyektif. Seperti yang terlihat pada
gambar 2.1, ditunjukkan dengangaris panah penghubung antara PBC ke arah intensi.
Hal kedua adalah kemungkinan adanya hubungan langsung antara PBC
dengan behavior (tingkah laku). Pada beberapa contoh pemunculan tingkah laku tidak
hanya tergantung pada motivasi untuk melakukannya tetapi jug adekuat yang
mengontrol tingkah laku dalam petanyaan. Dengan demikian PBC dapat memprediksi
tujuan bebas tingkah laku intensi, lebih luasnya PBC merefleksikan kontrol langsung
dengan derajat keakuratan. Dengan kata lain, PBC dapat mempengaruhi tingkah laku
secara tidak langsung, melalui intensi.
2.4 Niat Berwirausaha
Intensi menurut Fishbein & Ajzen (1975) merupakan komponen dalam diri
individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu.Intensi
didefinisikan sebagai dimensi probabilitas subjektif individu dalam kaitan antara
diridan perilaku.
Bandura (1986) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad
untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa
depan. Intensi menurutnya adalah bagian vital dari Self regulation individu yang
dilatarbelakangi oleh motivasi seseorang untuk bertindak.Merangkum pendapat di
24
atas, Santoso (1995) beranggapan bahwa intensi adalah hal-hal yang diasumsikan
dapat menjelaskan faktor-faktor motivasi serta berdampak kuat pada tingkah laku.Hal
ini mengindikasikan seberapa keras seseorang berusaha dan seberapa banyak usaha
yang dilakukan agar perilaku yang diinginkan dapat dilakukan.
Intensi adalah bagian penting teori aksi beralasan (Theory of reasoned action)
dari Fishbein & Ajzen (1975). Intensi merupakan prediktor sukses dari perilaku
karena ia menjembatani sikap dan perilaku. Intensi dipandang sebagai ubahan yang
paling dekat dari individu untuk melakukan perilaku, maka dengandemikian intensi
dapat dipandang sebagai hal yang khusus dari keyakinan yang obyeknya selalu
individu dan atribusinya selalu perilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975).
Selain itu Ancok (1992) menyatakan bahwa intensi dapat didefinisikan
sebagai niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intensi merupakan sebuah
istilah yang terkait dengan tindakan dan merupakan unsur yang penting dalam
sejumlah tindakan, yang menunjukan pada keadaan pikiran seseorang yang diarahkan
untuk melakukan sesuatu tindakan, yang senyatanya dapat atau tidak dapat dilakukan
dan diarahkan entah pada tindakan sekarang atau pada tindakan yang akan datang.
Intensi memainkan peranan yang khas dalam mengarahkan tindakan, yakni
menghubungkan antara pertimbangan yang mendalam yang diyakini dan diinginkan
oleh seseorang dengan tindakan tertentu.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intensi adalah
kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan suatu
perilaku tertentu.
25
Drucher (1996) menyatakan wirausaha adalah semangat, sikap, perilaku,
kemampuan seseorang dalam menangani usaha yang mengarah pada upaya, mencari,
menciptakan, menerapkan, cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan
memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Wirausaha adalah proses yang mempunyairesiko tinggi untuk menghasilkan
nilai tambah produk yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendatangkan
kemakmuran bagi wirausahawan. Wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai
dengan peluang bisnis, berani mengambil resiko dan melakukan komunikasi serta
ketrampilan melakukan mobilisasi agar rencana dapat terlaksana dengan baik.
Pendapat lain diekmukakan oleh Pekerti (1999) bahwa wirausaha adalah
individu yang mendirikan, mengelola, mengembangkan dan melembagakan
perusahaan miliknya sendiri dan individu yang dapat menciptakan kerja bagi orang
lain dengan berswadaya. Hadipranata (1999) menyatakan seorang wirausaha adalah
sosok pengambil resiko yang diperlukan untuk mengatur dan mengelola bisnis serta
menerima keuntungan finansial maupun imbalan non materi.wirausaha adalah orang
yang mengambil resiko dalam bisnis untuk memperoleh keuntungan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas peneliti menyatakan bahwa
berwirausaha adalah usahauntuk menciptakan bisnis harus berani mengambilresiko
untuk memperoleh keuntungan.
Telah diterangkan di atas bahwa pengertianintensi adalah kesungguhan niat
seseorang untukmelakukan perbuatan atau memunculkan suatuperilaku tertentu, dan
26
pengertian wirausaha adalahkemampuan individu dalam menanganai usaha
yangmengarah pada upaya menciptakan pekerjaan dan menerapkan cara kerja. Dari
pendapat tentang intensi dan wirausaha yang telah dikemukakan, intensi wiruasaha
adalah keinginan/niat yang ada pada diri seseorang (mahasiswa Fakultas Ekonomi,
Universidade da Paz) untuk melakukan suatu tindakan wirausaha.
Aspek-aspek Intensi Berwirausaha Aspek intensi merupakan aspek-aspek
yang mendorong niat individu berperilaku seperti keyakinan dan pengendalian
diri.Terbentuknya perilaku dapat diterangkan dengan teori tindakan beralasan yang
mengasumsikan manusia selalu mempunyai tujuan dalam berperilaku (Fisbein &
Ajzen, 1975). Teori ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga
determinan dasar, yaitu:
1) Keyakinan perilaku, yang merupakan dasar bagipembentukan norma subyektif.
Di dalam sikap terhadap perilaku terdapat dua aspek pokok, yaitu:keyakinan
individu bahwa menampilkan atautidak menampilkan perilaku tertentu akan
menghasilkanakibat-akibat atau hasil-hasil tertentu, danmerupakan aspek
pengetahuan individu tentangobyek sikap dapat pula berupa opini individu
halyang belum tentu sesuai dengan kenyataan.formal memberikan pemahaman
yang lebih baiktentang proses kewirausahaan, tantang yang dihadapinyapara
pendiri usaha baru dan masalah-masalahyang harus diatasi agar berhasil.
Sementara itu menurut Hisrich dan Peters (1998)pendidikan penting bagi
wirausaha, tidak hanya gelaryang didapatkannya saja, namun pendidikan
27
jugamempunyai peranan yang besar dalam membantumengatasi masalah-masalah
dalam bisnis sepertikeputusan investasi dan sebagainya.
Dari penelitianHisrich dan Brusch (Hisrich dan Reteter, 1989)ditemukan
bahwa 70% wirausahawati adalah lulusanperguruan tinggi.Secara lebih spesifik
penelitian inimenemukan bahwa pendidikan yang dibutuhkanuntuk berwiraswasta
termasuk dalam area finansial,strategi perencanaan, marketing (termasuk
pemasarandan manajemen).
2) Nilai Personal
Beberapa penelitian menemukan bahwa wirausahawanmemiliki sikap
yang berbeda terhadapproses manajemen dan bisnis secara umum (Hisrichdan
Peters,
1998).Nilai
personal
dibentuk
olehmotivasi,
dan
optimisme
individu.Penelitian Indarrt&Kristiansen (2003) menemukan bahwa tingkatintensi
wirausaha siswa dipengaruhi tinggi rendahnyakapasitas motivasi, pengendalian
diri
dan
optimism
Mahasiswa.Dengan
demikian
nilai
personal
juga
menentukantingkat intensi wira usaha seseorang.
3) Usia dan Jenis Kelamin
Roe (1964) mengatakan bahwa minat terhadappekerjaan mengalami
perubahan sejalan dengan usiatetapi menjadi relatif stabil pada post
abdolence.Penelitian Strong dalam Hartini (2002) terhadapsejumlah pria berusia
15-25 tahun tentang minatterhadap pekerjaan menunjukkan bahwa minatberubah
secara sedang dan cepat pada usia 15-25tahun dan sesudahnya sangat sedikit
perubahannya.
28
Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap minatberwirausaha
mengingat adanya perbedaan terhadappandangan pekerjaan antra pria dan
wanita.Mansondan Hogg (1991) mengemukakan bahwa kebanyakanwanita
cenderung sambil lalu dalam memilihpekerjaan dibanding dengan pria.Wanita
menganggappekerjaan
bukanlah
hal
yang
penting.Karenawanita
masih
dihadapkan pada tuntutan tradisionalyang lebih besar menjadi istri dan ibu rumah
tangga.Selain faktor-faktor yang mempengaruhi intensiberwirausaha di atas,
seorang wirausahawan memilikitiga dasar motif sosial : motif untuk berprestasi,
motifuntuk berafiliasi (menjalin persahabatan), dan motifuntuk berkuasa. Dari
perbandingan keduanya ternyataseorang wirausaha terlihat jelas memiliki
motifberprestasi yang menonjol (sangat tinggi) dibandingkandengan individu
yang tidak tertarik berwirausaha.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa adabeberapa faktor yang
mempengaruhi intensi berwirausahaseperti lingkungan, keluarga, pendidikan,
nilaipersonal, usia dan jenis kelamin. Lingkungan, keluargadan pendidikan
merupakan
faktor
eksternalsedangkan
nilai
personal,
usia
dan
jenis
kelaminmerupakan faktor internal yang mempengaruhiintensi individu untuk
berwirausaha.
Tarmudji (2006) menyatakan bahwa minat adalah perasaan tertarik atau
berkaitan pada sesuatu hal atau aktivitas tanpa ada yang meminta/menyuruh.
Tarmudji menyatakan bahwa minat seseorang dapat diekspresikan melalui pernyataan
29
yang menunjukkan seorang lebih tertarik pada suatu obyek lain dan melalui
partisipasi dalam suatu aktivitas.
Hurlock dalam Riyanti (2003) menjelaskan bahwa minat adalah sumber
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang ingin dilakukan bila
seseorang bebas memilih. Ketika seseorang menilai bahwa sesuatu akan bermanfaat,
maka akan terbentuk minat yang kemudian hal tersebut akan mendatangkan
kepuasan. Ketika kepuasan menurun maka minatnya juga akan menurun sehingga
minat tidak bersifat permanen, tetapi bersifat sementara atau dapat berubah-ubah.
Crow & Crow dalam Yuwono dkk (2008) menyebutkan ada tiga aspek minat
pada diri seseorang, yaitu:
1) Dorongan dari dalam untuk memenuhi kebutuhan diri sebagai sumber penggerak
untuk melakukan sesuatu.
2) Kebutuhan untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang akan
menentukan posisi individu dalam lingkungannya.
3) Perasaan individu terhadap suatu pekerjaan yang dilakukannya.
Masrun dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa banyak lulusan
perguruan tinggi belum mampu berwirausaha.Mahasiswa cenderung berpikir
bagaimana caranya mereka bisa diterima bekerja sesuai dengan gelar kesarjanaannya
dan dengan gaji yang sesuai ketika menyelesaikan kuliahnya.Mereka berpendapat
30
lebih baik menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan
keahliannya.Lebih lanjut Masrun menyatakan bahwa penduduk yang mempunyai
pendidikan tinggi justru kurang berminat menjadi wirausaha, tercatat hanya 10%
yang berminat menjadi wirausaha.Mereka yang pendidikannya rendah justru 49%
yang berminat menjadi wirausaha.
Dalam Enterpreneur.s Handbook seperti yang dikutip oleh Wirasasmita
dalam Suryana (2006: 55) dikemukakan beberapa alasan yang menumbuhkan minat
seseorang menjadi wirausaha yakni:
1. Alasan keuangan. Untuk mencari nafkah, menjadi kaya, mencari pendapatan
tambahan dan sebagai jaminan stabilitas keuangan.
2. Alasan sosial. Memperoleh gengsi/status agar dikenal dan dihormati banyak
orang, menjadi teladan untuk ditiru orang lain dan agar dapat bertemu banyak
orang.
3. Alasan pelayanan. Agar bisa membuka lapangan pekerjaan dan membantu
meningkatkan perekonomian masyarakat.
4. Alasan pemenuhan diri. Untuk bisa menjadi seorang atasan, mencapai sesuatu
yang diinginkan, menghindari ketergantungan kepada orang lain, menjadi lebih
produktif dan menggunakan potensi pribadi secara maksimum.
Mudjiarto et al. (2005: 42) menyatakan bahwa bahwa umumnya orang
berminat membuka usaha sendiri karena beberapa alasan berikut ini:
31
1. Mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan.
2. Memenuhi minat dan keinginan pribadi.
3. Membuka diri untuk berkesempatan menjadi bos bagi diri sendiri.
4. Adanya kebebasan dalam manajemen.
Zimmerer (2004) menyatakan bahwa ada 8 faktor yang menjadi pendorong
pertumbuhan minat kewirausahaan, yakni:
1. Pendapat bahwa wirausaha adalah seorang pahlawan.
2. Pendidikan kewirausahaan.
3. Faktor ekonomi dan kependudukan.
4. Pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa.
5. Kemajuan teknologi.
6. Gaya hidup bebas.
7. E-Commerce dan The World Wide Web.
8. Terbukanya peluang bisnis internasional.
Swasono (1978) menyatakan bahwa individu yang berminat wirausaha lebih
dipacu oleh keinginan berprestasi daripada hanya sekedar mengejar keuntungan.
Seseorang wirausaha tidak cepat puas akan hasil yang dicapai akan tetapi selalu
mencari cara dan kombinasi baru serta produksi baru sehingga tercapai perluasan
usahanya. Hal ini berarti individu yang mempunyai minat berwirausaha harus
memiliki sikap bertanggung jawab dengan memperhitungkan konsekuensi yang
32
mungkin ada. Minat berwirausaha akan menarik individu terhadap suatu usaha
dimana usaha tersebut dirasakan dapat memberikan suatu yang berguna, bermanfaat
dan sangat penting bagi kehidupan dirinya sehingga menimbulkan suatu dorongan
atau keinginan untuk mendapatkannya. Pada minat berwirausaha dibutuhkan
kesanggupan untuk berhubungan dengan bidang kewirausahaan sehingga individu
memiliki minat terhadap pekerjaan wirausaha.
Download