Potret Perjalanan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di NTB

advertisement
Potret Perjalanan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di NTB
(Studi Kasus KPH Rinjani Barat/Dinas Kehutanan)
Tim GFI Nusa Tenggara Barat
[email protected]
K
ehadiran KPH Rinjani Barat sebagai satu unit
pengelolaan di tingkat tapak, merupakan salah satu
langkah strategis untuk mengoptimalkan fungsi
sumberdaya hutan, dimana sistem pengelolaan yang
dikembangkan menempatkan masyarakat sebagai subjek
pengelolaan, dan berusaha meminimalisir konflik dalam
pengelolaan SDH seperti yang marak terjadi belakangan ini.
Untuk menjamin operasionalisasi KPH di tingkat tapak, saat ini
pemerintah telah mempersiapkan instrument pengelolaan dalam
bentuk seperangkat peraturan perundangan mulai dari undangundang sampai pada peraturan teknis di tingkat daerah. Selain itu,
pemerintah juga telah mempersiapkan alokasi anggaran yang
cukup besar untuk menopang operasioalisasi KPH tersebut.
Namun sangat disayangkan kesiapan instrument dan pendanaan
yang disediakan belum mampu mendorong optimalisasi sistem dan
kinerja KPH di tingkat tapak. Meskipun instrumennya sudah
memadai namun dalam penerapannya di lapangan ternyata masih
menemui kendala-kendala yang cukup kompleks.
Temuan kajian ini menunjukan fakta menarik mengenai potret tata
kelola sumberdaya hutan di NTB, yang dilihat dari penerapan
prinsip good governance dalam pengelolaan sumberdaya hutannya.
Temuan tersebut dibagi kedalam empat prinsip utama yaitu :
Prinsip Transparansi
Penerapan prinsip transparansi dalam sistem pemerintahan
menjadi pilar penting dalam mendorong tatakelola pemerintahan
yang baik. Dengan lahirnya UU 14 tahun 2008 tentang
keterbukaan informasi publik seharusnya dapat menjadi instrumen
utama dalam mendorong penerapan prinsip terserbut. Hasil kajian
ini menunjukan bahwa penerapan prinsip transparansi dalam
tatakelola kehutanan di tingkat daerah (Nusa Tenggara Barat)
masih sangat rendah khususnya dalam konteks pengelolaan
sumberdaya hutan oleh KPH.
Sampai saat ini belum terdapat aturan teknis di tingkat daerah yang
dengan tegas mengamanatkan adanya pengembangan sistem
informasi di tingkat dinas sebagai turunan dari undang-undang
keterbukaan informasi publik tersebut.
Hal tersebut berimplikasi pada belum adanya mekanisme
tatakelola informasi di tingkat dinas/KPH. Pintu informasi selama
ini hanya diperoleh melalui satu produk yaitu statistik kehutanan.
Namun itu pun bersifat informasi umum, belum ada
pengelompokan ataupun kategorisasi informasi yang dilakukan
oleh dinas/KPH sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku misalanya dalam bentuk daftar informasi publik (DIP).
Di tingkat masyarakat belum ada upaya dari dinas kehutanan/KPH
dalam menyebarluaskan informasi secara komprehensif melalui
berbagai bentuk media yang mudah diakses dan dipahami oleh
masyarakat, selama ini penyamapaian informasi masih dilakukan
secara terbatas melalui media penyuluhan dan sosialisasi saja.
Beberapa temuan yang memperkuat argumentasi diatas meliputi :
1.
Belum terdapat aturan di tingkat daerah terkait dengan
sistem informasi dibidang kehutanan, namun informasi
secara umum tentang kehutanan disediakan dalam bentuk
statistik kehutanan. khusus untuk KPH rinjani barat saat
2.
3.
4.
5.
ini statusnya masih UPTD sehingga kewenangan
menyangkut hal-hal strategis masih dilakukan oleh dinas
kehutanan propinsi.
Aparat kehutanan (KPH) belum melakukan kategorisasi
dan pengelompokan informasi (informasi yang
dikecualikan, informasi yang tersedia, dll) sesuai dengan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Upaya yang dilakukan oleh instansi kehutanan dalam hal
mengidentifikasi informasi yang relevan dan dibutuhkan
masyarakat masih sangat sederhana. selama ini
Penyampaian informasi kepada masyarakat dilakukan
secara personal maupun dengan kegiatan sosialisasi
sederhana kapada kelompok2 masyrakat sekitar kawsan
KPH.
Belum Terdapat mekanisme yang jelas dan rinci terkait
dengan pengajuan keberatan dalam hal akses informasi,
selama ini apa bila ada keberatan mengenai informasi
tersebut masyrakat bisa datang langsung ke KPH untuk
melakukan klarifikasi.
BelumTerdapat sistem informasi yang komprehensif
(mencakup berbagai banyak hal) dan berisi informasi
yang dibutuhkan untuk efektivitas manajemen dan
penegakan hukum kehutanan (forest management dan
enforcement). Selama ini informasinya masih sebatas
dokumen statistic kehutanan saja.
Prinsip Partisipasi
Sebagai bagaian dari perwujudan tatakelola pemerintahan yang
baik, penerapan prinsip partisipasi dalam tatakelola sumberdaya
hutan dengan tegas di amanatkan dalam UU 41 tahun 1999
tentang kehutanan. partisipasi yang dimaksudkan adalah
keterlibatan masyarakat dalam pembangunan sumberdaya hutan
secara utuh mulai dari tahap perencanaan sampai pada proses
monitoring dan evaluasinya.
Hal tersebut di pertegas dalam beberapa peraturan turunannya di
tingkat kementerian. Namun di tingkat daerah penjabaran atas
instrument tersebut belum sepenuhnya di laksanakan. Untuk kasus
Nusa Tenggara Barat penjabaran mengenai partisipasi masyarakat
hanya diatur dalam proses pengamanan sumberdaya hutan saja,
seperti yang tertuang didalam Perda no 5 tahun 2007. Masyarakat
hanya dilibatkan pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya konsultatif
dan sosialisasi dan tidak pada kegiatan manajemen secara utuh.
Hal ini tentunya masi menjadi ironi ditengah masyarakat, dimana
masyarakat yang seharusnya ditempatkan sebagai subjek
pembangunan kehutanan saat ini masih ditempatkan sebagai objek
pembanganan tersebut.
Beberapa temuan yang memperkuat argumentasi tersebut
yaitu :
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
Dalam pelaksanaan manajemen hutan secara umum di
tingkat daerah belum terdapat aturan spesifik yang
mengatur mengenai pelibatan masyarakat kegiatan
manajemen hutan secara komprehensif. Yang diatur masih
terbatas pada pelibatan masyarakat dalam hal
pengamanan hutan saja, sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Daerah Nusa Tengara Barat No 5 Tahun 2007.
Belum terdapat aturan hukum di tingkat daerah yang
memberikan prasyarat bahwa setiap proses penatabatasan
dan pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan
masyarakat.
Belum terdapat aturan hukum di tingkat daerah yang
memberikan kesempatan dan ruang bagi masayrakat
untuk dapat melakukan pemantauan rantai suplai hasil
hutan. Kegiatan pemantauan slama ini masih dilakukan
oleh pemerintah
Belum ada keterlibatan media masa dalam proses
monitoring manajemen hutan secara komprehensif.
Dukungan teknis dari pemerintah saat ini masih terbatas
pada kegiatan sosialisasi dan pembentukan pam swakarsa
di tingkat masyarakat dalam hal pengamanan hutan.
Namun intensitasnya terbatas.
Prinsip Koordinasi
Proses koordinasi dalam manajemen kehutanan di tingkat daerah
masih menjadi salah satu kendala utama dalam sistem tatakelola
sumberdaya hutan di tingkat daerah. Beberapa hal yang
melatarbelakangi rendahnya penerapan prinsip tersebut adalah;
belum adanya regulasi di tingkat daerah yang mengatur
mekanisme koordinasi internal dinas kehutanan, sehingga proses
koordinasi yang dijalankan selama ini kurang berjalan sistematis
dan dilakukan secara terbatas jika ada keperluan saja.
Mekanisme koordinasi yang cukup intensif ditemukan pada proses
penyusunan rencana tataruang propinsi yang difasilitasi oleh
BKPRD NTB. Namun proses koordinasi tersebut terbatas pada
pembahasan sinkronisasi prencanaan tataruang saja tidak
mencakup koordinasi dalam proses manajemen kehutanan secara
utuh.
Beberapa temuan di tingkat daerah yang melandasi argumentasi
tersebut yaitu :
1.
2.
Belum terdapat Aturan hukum di tingkat daerah yang
mengatur secara jelas mengenai mekanisme koordinasi
internal antar staff atau lembaga dalam tubuh instansi
kehutanan
Belum terdapat Aturan hukum di tingkat daerah mengatur
tentang mekanisme tata naskah dinas dalam rangka
koordinasi di lingkup instansi kehutanan
5.
Belum terdapat Aturan hukum di tingkat daerah yang
menjamin pola koordinasi antar instansi yang terkait
dengan sektor kehutanan
Untuk kegiatan perencanaan tataruang Instansi kehutanan
melakukan kordinasi dengan berbagai sektor lain (diluar
kehutanan) yang memiliki dampak kepada sektor
kehutanan dalam melakukan manajemen kehutanan, di
fasilitasi oleh BKPRD.
Untuk koordinasi di dalam dinas masih dilakukan secara
terbatas, dan belum ada bentuk pelaporan yang sistematis
atas koordinasi tersebut.
Prinsip Akuntabilitas
Secara umum kinerja KPH dalam menjalankan sistem pengelolaan
sumberdaya hutan di tingkat tapak sangat dipengaruhi oleh
kebijakan di tingkat daerah. Saat ini kedudukan KPH secara
kelembagaan masih ditempatkan di bawah dinas kehutanan sesuai
dengan amanat peraturan gubernur NTB no 23 tahun 2008. Namun
disisi lain keberadaan peraturan tersebut menjadi dilema bagi
KPH, mengingat tugas dan tanggung jawab yang diberikan untuk
KPH begitu luas dan besar, disisi lain kewengangannya masih
terbatas.
Kehadiran permendagri no 61 tahun 2010 tentang pedoman
organisasi dan tatakerja kesatuan pengelolaan hutan lindung dan
kesatuan pengelolaan hutan produksi daerah yang mengamanatkan
kedudukan KPH setara dengan dinas di tingkat daerah,
memberikan ruang bagi KPH untuk membangun mekanisme
kelembagaan yang mandiri. Namun sampai saat ini tindak lanjut
dari permendagri tersebut belum di eksekusi di tingkat daerah,
sehingga menimbulkan potensi konflik di antara dinas dan KPH.
Dengan kondisi demikian maka implikasinya sangat dirasakan
dalam Proses pengelolaan kawasan hutan secara utuh. Beberapa
temuan yang dapat di himpun berkaitan dengan penerapan prinsip
akuntabilitas dalam pengelolaan kawasan yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
Terdapat Aturan hukum yang secara jelas mengatur
kewenangan PPNS Kehutanan untuk melakukan
penegakan hukum di sektor kehutanan seperti yang
tertuang didalam PERDA No 5 Tahun 2007. namun
belum ada aturan yang secara tegas mengatur mengenai
peran, kewenangan dan koordinasi antara PPNS
Kehutanan dengan POLRI, Jaksa dan aparat penegak
hukum lainnya
Belum ada Aturan hukum di tingkat daerah yang
mensyaratkan adanya lembaga audit internal di lingkup
instansi kehutanan yang dapat melaksanakan tugas
pokoknya secara independen
Tidak terdapat jaminan hukum di tingkat daerah atas
kegiatan evaluasi dan pengawasan secara indipenden atas
proses manajemen kehutanan
Untuk KPH di NTB terdapat Aturan hukum yang dengan
jelas menyebutkan tugas pokok dan fungsi semua unsur di
setiap level dalam tubuh instansi kehutanan seperti yang
tertuang dalam Pergub 23 tahun 2008 Pasal 159 Ayat 1
Sampai 5.
Belum Terdapat program asistensi teknis dan finansial
yang disediakan secara jelas dan terukur dapat
menguatkan kapasitas masyarakat untuk membuat dan
mengimplementasikan rencana manajemen hutan,
kegiatan yang dilakukan selama ini terbatas dalam bentuk
penyuluhan maupun pendampingan, namun Kegiatan
hanya dilakukan sesekali saja.
Download