1 EFEKTIVITAS DAN EFESIENSI PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN BERBASIS SATU KESATUAN EKOSISTEM *) Oleh: Tarsoen Waryono **) Abstraks Definitifnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 walaupun masih dipandang perlu penyempurnaan lebih jauh, akan tetapi dapat digunakan sebagai pijakan awal perubahan visi dan misi pengelolaan hutan di Indonesia, karena mampu mengakomodir dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan konservasi dan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan secara lestari kinerjanya telah mengalami beberapa kali perubahan, dan kini lebih diarahkan terhadap keseimbangan antara ekosistem, sosiosistem, dan ekonominya. Atas dasar itulah pemahaman penetapan pengelolaan kawasan hutan berdasarkan satu kesatuan wilayah ekosistem, memiliki makna untuk menjawab pertanyaan bagaimana melakukan penataan, menyusun rencana pengelolaan, dan pemanfaatannya. Latar Belakang Keterpurukan sektor Kehutanan yang sudah berjalan hampir selama 10 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta terancam bangkrutnya dunia usaha di sektor Kehutanan sebagai akibat dari besarnya dominansi praktek perambahan hutan, penebangan liar, penyelundupan kayu, tumpang tindih dan pungutan berganda serta meningkatnya intensitas konflik pengelolaan sumberdaya hutan. Ujungnya keberlanjutan peran dari kontribusi sektor Kehutanan dalam proses pembangunan nasional selama hampir 4 dasawarsa ini dipertanyakan. Timbul semacam gugatan masih bisakah sektor Kehutanan dibangkitkan kembali di masa depan?. Krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensional mempengaruhi banyak sekali elemen-elemen pembangunan yang sudah berjalan. Hasil-hasil pembangunan yang secara gemilang sudah dicapai sampai pertengahan era 1990-an, seketika terpuruk ketika badai krisis menghantam bangsa Indonesia. Depresi nilai rupiah mencapai level nilai terendah yaitu Rp. 17.000,- per US dolar menghancurkan sektor riil di Indonesia. Pemerintah orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun akhirnya tumbang sebagai tumbal krisis multidimensional. Tumbangnya pemerintahan orde baru, membawa tatanan baru dalam sistem pemerintahan. Sistem sentralistik, kini dirubah dengan diimplementasikannya desentralisasi melalui penerapan otonomi daerah. Atas dasar perubahan tersebut, tampaknya sektor Kehutanan yang paling banyak kena getahnya. Rentetan reformasi yang tidak terbendung banyak menghantam sektor Kehutanan khususnya HPH-HPH di daerah. Atas nama reformasi, HPH yang dianggap sebagai produk orde baru dianulir. Masyarakat sekitar hutan yang selama ini kurang menikmati hasil hutan akhirnya menjarah dan mengkapling-kapling areal hutan. Perilaku tersebut bukan hanya pada areal hutan produksi, akan tetapi telah jauh menjarah ke kawasan-kawasan hutan yang dilindungi, karena peranan fungsinya. *). Seminar Nasional Penjabaran PP. No.6 Tahun 2007. Departemen Kehutanan, Jakarta 7 September 2007. **). Staf Pengajar Departemen Geoghrafi FMIPA UI. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 2 Penjabaran Undang-undang No. 41 tahun 1997 dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 sebagaimana hasil penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah sebelumnya (PP. No. 34 tahun 2002), tampaknya mendudukan posisi strategis untuk menelaah Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Mencermati Pasal (7) dalam PP. No. 6 tahun 2007, disebutkan bahwa ”Menteri menetapkan luas wilayah KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) dengan memperhatikan efesiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah daerah aliran sungai (DAS) atau satu kesatuan wilayah ekosistem”. Berdasarkan intisari dari Pasal (7) tersebut, paparan ini menelaah penetapan luas wilayah KPH dengan memperhatikan ”Efektifitas dan Efesiensi Pengelolaan Kawasan Hutan Berbasis Satu Kesatuan Ekosistem”. Judul ini cukup menarik, karena pengelolaan hutan secara lestari kinerjanya telah mengalami beberapa kali perubahan, dan kini lebih diarahkan terhadap keseimbangan antara ekosistem, sosiosistem, dan teknosistemnya. Di sisi lain nilai (produk) yang diperoleh dari sumberdaya hutan, bukan terbatas pada hasil hutan yang memiliki nilai tangibel, akan tetapi sangat memungkinkan terhadap nilai-nilai intangibelnya. Atas dasar itulah pemahaman penetapan pengelolaan kawasan hutan berdasarkan satu kesatuan wilayah ekosistem, memiliki makna untuk menjawab pertanyaan bagaimana melakukan penataan, menyusun rencana pengelolaan, dan pemanfaatannya. Pergeseran Kinerja Pengelolaan Hutan Secara garis besar kinerja pengelolaan hutan di Indonesia telah bergeser, dan mengalami 4 periode, yaitu: (a) hutan sebagai komoditis modal pembangunan nasional, (b) hutan sebagai ekosistem, (c) hutan sebagai ruang, dan (d) hutan sebagai komoditas modal pembangunan daerah. Periode-1, hutan sebagai komoditas modal pembangunan nasional, kebijakan pengusahaan hutan lebih diarahkan kepada bagaimana dapat memanfaatkan kayu yang ada di hutan sebanyak mungkin dan menjualnya dalam bentuk log/kayu glondongan, untuk mendapatkan devisa yang sebesar-besarnya. Pada saat itulah hutan dikapling dan diberikan kepada siapa yang sanggup mengelolanya. Laju peningkatan lebih jauh terhadap pemanfaatan hutan juga dipacu melalui Penanaman Modal Asing (PMA) seperti tertuang dalam Undang-undang No. 1 tahun 1967 yang diimbangi dengan Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Periode-2, hutan sebagai ekosistem membawa perubahan yang sangat nyata dalam pengelolaan hutan. Kesadaran akan kelestarian ekosistem mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, sekaligus sebagai pelengkap Undang-undang No. 5 tahun 1967 yang bernuansakan pengusahaan hutan. Undang-undang inilah yang merupakan cikal bakal keluarnya kebijakan-kebijakan lain pada sektor Kehutanan, yang kemudian hari terkenal dengan istilah hutan lestari. Nuansa ekosistem terasa semakin kental pada era ini ketika berbagai tekanan internasional tentang kelestarian lingkungan muncul semakin kuat. Pemaknaan hutan sebagai ekosistem juga diimbangi dengan mulai tumbuhnya kesadaran pentingnya mengangkat derajat masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui HPH Bina Desa. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 3 Periode-3, hutan sebagai ruang yang dibawa oleh Undang-undang No. 41 tahun 1999, dimana pemaknaan hutan sebagai sebuah sumberdaya sudah melintasi batas-batas negara. Kesadaran bahwa hutan merupakan satu-satunya ”alat” yang mampu mengatasi efek rumah kaca, menjadi awal pemahaman hutan dalam prespektif ruang. Hutan yang mampu menjerap gas C02 yang dihasilkan oleh negara-negara industri diharapkan mampu membersihkan sampah udara sehingga efek rumah kaca yang memberikan pengaruh langsung pada pergeseran iklim dunia dapat ditanggulangi. Pada era inilah muncul wacana perdagangan karbon sebagai wujud insentif, bagi negara-negara yang memiliki hutan hujan tropis. Perkembangan-perkembangan kinerja pengelolaan hutan yang semakin membaik, terhambat ketika definitifnya otonomi daerah di Indonesia. Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 justru memunculkan kegoncangan hirarhi kewenangan/perijinan dan hirarhi teknis dalam sistimatika pengelolaan hutan. Di sisi lain Undang-undang No. 25 tahun 1999, juga menggiring pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut untuk berkreasi mencari sumber dana untuk pembangunan daerahnya. Akibatnya hutan menjadi target utama bagi daerah guna memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi hutan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari kembali semarak di daerah-daerah, sehingga kerusakan hutanpun tak terhindarkan. Periode ini sektor Kehutanan mengalami keterpurukan, iklim usaha sektor tersebut semakin memburuk, dan semakin maraknya praktek ilegal logging. Sebagai akibat yang dirasakan oleh masyarakat di seluruh pelosok nusantara justru datangnya malapetaka alam seperti banjir dan kekeringan. Guna mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari, diperlukan kerjasama sinergis antara seluruh pelaku pembangunan kehutanan, yaitu: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Kerjasama sinergis yang terlembaga antar pelaku pembangunan, menjadikan wadah interkoneksitas terwujudnya Pengelolaan Hutan Lestari (PHL). Interkoneksitas dimaksud merupakan kesinergian bagi para pelaku pembangunan, sehingga terciptanya keseimbangan terhadap tatanan sosial, ekonomi dan ekologi secara berkelanjutan. Prespektif Ekosistem Dalam Pengelolaan Hutan Lestari Eksploitasi sumberdaya hutan demi pencapaian target-target perolehan devisa telah meninggalkan berbagai persoalan lingkungan dan sosial di sekitar kawasan hutan. Setelah sekian lama terlena dalam gemilang devisa, baru disadari bahwa terjadi degradasi kualitas lingkungan pada areal kehutanan. Pada hampir semua areal pengusahaan hutan terdapat penurunan kualitas lingkungan baik disebabkan karena kebakaran hutan maupun karena over eksploitasi sebagai akibat dari ketidakpatuhan terhadap pelaksanaan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia), yang sebenarnya secara normatif sangat konservatif. Sementara itu pada aspek sosial higar bigar pengusahaan hutan seakan hanya menjadi tontonan masyarakat. Masyarakat kurang dapat terlibat dalam proses-proses produksi sehingga hampir selama 20 tahun pengusahaan hutan, kesejahteraan masyarakat tidak beranjak dari pola-pola subsisten. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 4 Faktor lingkungan dalam pengusahaan hutan baru mulai diperhatikan pada tahun 1982, dengan definitifnya Undang-undang No. 4 tahun 1982 yang mewajibkan semua pemegang HPH melakukan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan (SEMDAL) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Untuk mengamankan kawasan lindung dalam hutan, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1985, sebagaimana ditindaklanjuti dengan Kepres No. 32 tahun 1990, yang tidak memperbolehkan siapapun melakukan penebangan pohon dalam radius/jarak tertentu dari mata air, tepian jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang terletak di dalam kawasan hutan. Melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 Pemerintah mulai memperhatikan dan menyadari akan pentingnya pengawetan plasma nutfah flora fauna, ekosistem unik, perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan, dan pelestarian peman-faatan sumberdaya alam. Untuk mengantisipasi terjadinya ketidak seimbangan antara kebutuhan bahan baku industri pengelolaan hasil hutan dengan produksi log, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKBTM) tahun 1980, yang mengalokasikan antara besaran ekspor kayu bulat dengan kewajiban pemenuhan dalam negeri. Dampak dari kebijakan tersebut, adalah menurunnya kedudukan HPH dari suatu usaha yang berdiri sendiri menjadi hanya merupakan bagian produksi yang bertugas menyediakan bahan baku log. Secara ekonomi perubahan tersebut tidak lagi menempatkan HPH sebagai profit centre, tetapi hanya sebagai komponen penyedia bahan baku yang tidak mendatangkan keuntungan, karena harga jualnya diukur dari harga perolehan. Dengan kedudukan demikian pengusahaan hutan tidak lagi mampu menjamin kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial hutan. Guna meningkatkan potensi hutan produksi, Departemen Kehutanan mulai merintis program Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 320/Kpts-II/1986. Tujuan dari program HTI dimaksud, pada dasarnya untuk menunjang industri hasil hutan melalui penyediaan bahan baku. Mencermati bahwa usaha HTI bersifat jangka panjang dengan resiko yang cukup tinggi, sehingga diperlukan pengelolaan yang profesional dan modal yang cukup besar. Untuk memberikan landasan hukum bagi kepastian usaha HTI, pemerintah memandang perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1990. Dalam alokasi penetapan luas areal setiap unit pengusahaan HTI yang diberikan erat kaitannya dengan industri yang didukungnya, yaitu seluas 300.000 ha untuk perusahaan yang mendukung industri pulp, dan industri kayu pertukangan atau industri lainnya seluas 60.000 ha. Tumbuh berkembangnya pengusahaan HTI yang pada awal tahun 1990-an tercatat lebih dari 300 unit HTI dan setelah tahun 1997 tercatat tinggal 112 unit HTI. Maraknya usaha HTI ini tampaknya kurang serius dan hanya tertuju terhadap pemanfaatan kayu belaka melalui Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Tahapan dan bentuk-bentuk kegiatan pengeloaan hutan baik melalui pengusahaan hutan produksi dan hutan tanaman industri, meski telah didasari dengan berbagai patokan/ pedoman yang harus dilakukan, akan tetapi perubahan ekosistem dan dampak yang terjadi tidak dapat dihindarkan. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 5 Efesiensi Dan Efektifitas Pengelolaan Hutan Secara Lestari Definitifnya Undang-undang No. 41 tahun 1999 walaupun masih dipandang perlu penyempurnaan lebih jauh, dapat digunakan sebagai pijakan awal perubahan visi dan misi pengelolaan hutan di Indonesia. Undang undang tersebut telah mampu mengakomodir dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan pengelolaan hutan sebagai sumberdaya sebagaimana tercermin dalam Undang-undang No. 5 tahun 1967, dan kepentingan konservasi sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990. Untuk itu, jelas bahwa Undang-undang Kehutanan menjadi sebuah konsep perpaduan antara semangat pengelolaan hutan dan semangat pelestarian sumberdaya hutan. Khusus mengenai persoalan konservasi hutan di Indonesia, aspek-aspek lingkungan hidup (ekosistem) yang sudah mulai ditelaah dalam Undang-undang No. 5 tahun 1990 dimantapkan serta lebih difokuskan. Seperti disebutkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, bahwa kawasan hutan menurut fungsinya dibedakan menjadi 3 kawasan, atas dasar keperidian kesamaan/kemiripan atas unsur-unsur ekosistemnya. Ketiga kawasan tersebut, adalah: (a) hutan konservasi, (b) hutan lindung, dan (c) hutan produksi. Secara bio-fisik hutan produksi mudah dibedakan dengan hutan konservasi dan hutan lindung. Namun demikian terhadap hutan konservasi dan hutan lindung banyak memiliki kemiripan-kemiripan. Dipisahkannya kawasan lindung dengan kawasan konservasi berdasarkan Undang-undang No. 41 tahun 1999, karena asumsi adanya perbedaan yang khas baik dalam aspek yang dikonversikan maupun aspek pengelolaan-nya. Hasanah hutan konservasi berdasarkan tipe ekosistem dan potensi (biotik/abiotik) di dalamnya, dibedakan menjadi 3 kawasan, yaitu: (a) Suaka Alam, (b) Pelestarian Alam, dan (c) Taman Buru. Secara umum hutan konservasi sebagai pengemban misi pelestarian plasma nutfah, prioritas pengelolaanya dirahkan kepada upaya menjaga kelestarian ekologis. Sementara pembangunan ekonomi dan sosial diarahkan kepada bentuk-bentuk kegiatan yang efektif dan efisien. Pemahaman makna efesien dalam pengelolaan hutan memiliki arti tidak boros, dan efektif memiliki pengertian mudah dilakukan tanpa memerlukan persyaratan khusus. Secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk kegiatan yang efektif dan efisien dalam pengelolaan hutan, adalah kegiatan yang secara prinsip tidak menganggu bahkan merusak fungsi ekosistem hutan. Atas dasar itulah pentingnya penataan, perencanaan, dan pemanfatan hutan secara berkelanjutan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat bahwa dalam pemanfaatan hutan bukan terbatas terhadap hasil hutan kayu, akan tetapi dapat dimanfaatkan jasa-jasa lingkungannya. Selain wisata alam, penelitian dan pendidikan, juga terhadap perdagangan korbon (carbon trade), dan atau tata air tanah, yang secara keseluruhan dapat dijadikan sumber pemasukan bagi pengelola hutan jika dilakukan dengan manajemen pengelolaan hutan yang tepat. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 6 Penataan, Perencanaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan Berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Dasar Pemikiran Mencermati Pasal-3 dan Pasal-5 dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, bahwa penataan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan, mencakup kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Bentuk-bentuk kegiatan baik penataan, perencanaan, dan pemanfaatannya pada dasarnya menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, karena merupakan bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan Nasional, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dasar Tindak Uraian ini meliputi efesiensi dan efektifitas penataan hutan, penyusunan rencana pengelolaan, dan pemanfaatan hutan yang memiliki karakteristik dan ekosistem yang sama atau mirip satu dengan lainnya, seperti tertuang dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. A. Penataan Hutan Dalam Pasal-3 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 bahwa bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atas dasar peranan fungsi kawasan dikelompokan menjadi 3 yaitu: KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). Meski demikian, berdasarkan penjabaran atas kesamaan dan atau kemiripan unsur-unsur ekosistem maupun potensi sumberdaya yang dikandungnya, secara rasional komponen dasar untuk pembentukan KPH-nya dikelompokkan menjadi 5 sumberdaya hutan yaitu: (1). Kelompok-I yaitu sumberdaya hutan yang tidak mempunyai kemungkinan untuk pembaharuan, yang masuk ke dalam kelompok ini adalah kawasan tambang. (2). Kelompok-II yaitu sumberdaya hutan yang dimungkinkan untuk pembaharuan dan perkayaan, tetapi kehadirannya sangat unik, spesifik, dan langka. Sumberdaya yang masuk kelompok ini dikatagorikan dalam kawasan konservasi yang terdiri dari Suaka Alam (Cagar Alam, Suaka Marga satwa, Cagar Biosfer, dan Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Wisata Alam, serta Taman Buru). (3). Kelompok-III yaitu sumberdaya hutan yang kehadirannya sangat bermanfaat dalam perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan. Pada kelompok sumberdaya ini dapat dilakukan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Termasuk dalam kelompok ini adalah hutan lindung, kawasan mata air, dan hutan bakau sebagai penyangga ekosistem perairan. (4). Kelompok-IV yaitu sumberdaya hutan yang berkaitan dengan produksi, yang kehadirannya dapat diperbarui, namun mempunyai peranan dalam pengaturan tata air dan tanah, sehingga ada keterbatasan dalam proses pemanfaatannya. Sumberdaya Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 7 hutan yang masuk ke dalam kategorikan sebagai kawasan hutan produksi terbatas, yang diproduksi dengan menerapkan (HPT-Tebang Pilih Tanam Indonesia). (5). Kelompok-V yaitu sumberdaya hutan yang berkaitan dengan produksi, yang kehadirannya dapat diperbarui dan dapat diperkaya maupun diubah sesuai kebutuhan berdasarkan rekayasa teknologi yang dikuasai. Sumberdaya hutan yang masuk kelompok ini adalah kawasan Hutan Produksi Bebas (HPB) yang dapat dikelola dengan Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), Hutan Tanaman Industri (HTI), kawasan perkebunan dan pertanian, Permukiman/Transmigrasi serta zona-zona industri. Mencermati uraian di atas, keterkaitannya dengan penataan hutan berdasarkan KPH, dapat disarikan sebagai berikut: (1). Kelompokan sumberdaya hutan (Kelompok-II) yang mencirikan kawasan konservasi, dapat ditetapkan menjadikan KPH Konservasi (KPKK). (2). Kelompok sumberdaya hutan (Kelompok-III) yang mencirikan peranan fungsi perlindungan terhadap sistem ekologi penyangga kehidupan, dapat ditetapkan menjadi KPH Lindung (KPHL). Kelompok sumberdaya hutan (Kelompok IV dan V), yang mencirikan kawasan hutan produksi baik terbatas maupun bebas, dapat ditetapkan menjadi KPH Produksi (KPHP). (3). (4). Terhadap sumberdaya hutan yang masuk ke dalam kelompok kawasan tambang, seyogianya dimasukan dalam KPH Khusus (KPKK), karena erat kaitannya dengan upaya pemulihan (restorasi ekologi) pasca tambang. B. Penyusunan Rencana Pengelolaan 1. Arah Pengelolaan KPH Konservasi (1). Pembagian kawasan hutan menjadi kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi, pada tatanan pelaksanaan kebijakan telah memunculkan dikotomi yang saling bertolak belakang, sehingga semakin menjauhkan dari konsep pengelolaan hutan lestari. Pengelolaan hutan konservasi hanya terfokus kepada aspek ekologis saja, dan kurang memperhatikan aspek ekonomi dan aspek sosial. Pengelolaan hutan lestari mengupayakan terjadinya efesiensi ekonomi ekologi, dan sosial dari sumberdaya hutan, hal ini berarti bahwa hutan harus dipandang sebagai modal, faktor produksi, ekosistem, dan ruang sehingga pengelolaan hutan dapat memberikan manfaat secara optimal kepada seluruh pemangku kepentingan. (2). Kawasan hutan konservasi merupakan bagian dari tata ruang Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional, dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaannya bukan hanya menjadi tanggung-jawab dan perhatian dari sektor Kehutanan saja, tetapi merupakan salah satu bagian dari suatu proses pembangunan yang menyeluruh. Oleh sebab itu dalam ekowisata atau wisata lingkungan diperlukan adanya koordinasi dengan Dinas Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 8 atau Instansi yang mengurusi pariwisata agar dapat dibangun suatu kawasan wisata alam yang dapat mendekati apa yang diinginkan oleh penikmat (pengunjung). (3). Masyarakat di sekitar kawaan dalam pengelolaan KPHK perlu disertakan, untuk memacu kesadaran mereka, sehingga integritas kawasan konservasi tidak terganggu. (4). Secara normatif bahwa intensitas bobot pengelolaan hutan konservasi yang awalnya 100% tertuju terhadap aspek ekologi, kini harus dirubah. Perubahan tersebut masih mendudukan posisi paling tinggi sesuai dengan fungsinya yaitu sebesar 70%, yang diimbangi dengan bobot intensitas ekonomi sebesar 10% dan bobot intensitas sosialnya sebesar 20%. Dengan demikian fungsi utama kawasan masih dapat dipertahankan dan di lain pihak dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial budaya melalui tranfer nilai hutan kawasan konservasi. KPH Lindung (1). Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan terhadap kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan tanah. (2). Pengelolaan hutan lindung di Indonesia karena kekhasan peranan fungsi jasa bio-ekohidrologisnya, tidak diprioritaskan sebagai areal eksploitasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi telah ditujukan sebagai kawasan yang berfungsi untuk melindungi tanah dan tata air. Perlindungan terhadap tanah diarahkan kepada upaya pencegahan erosi, sementara perlindungan terhadap air dimaksudkan untuk mengatur tata air dan pecegahan banjir serta sebagai daerah resapan yang mampu menjadi tandon air pada musim kemarau. (3). Prinsip pengelolaan hutan lindung pada dasarnya adalah pendayagunaan potensi jasa lingkungan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan antara lain: (a) pemanfaatan air, (b) pemuliaan dan penyediaan plasma nutfah, (c) pengkayaan dan penangkaran, dan (d) kegiatan masyarakat setempat yang erat kaitannya dengan wisata alam, bioprospecting, maupun kearifan lainnya. (4). Secara normatif bahwa eksistensi hutan lindung yang memiliki peranan fungsi sebagai perlindungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup, seyogianya harus dipertahankan kecukupan luas hutan dan penutupannya. Kecukupan luas dan penutupannya diperlukan untuk setiap daerah aliran sungai (DAS), dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau yang tersebar secara proposional maupun berdasarkan alokasi tata letak wilayah. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 9 KPH Produksi (1). Konsep kesatuan pengelolaan hutan produksi pertama kali muncul dalam Undangundang No. 5 tahun 1967, Pasal-10 yang mengatur bahwa untuk menjamin terselenggaranya pengurusan hutan negara yang sebaik-baikhya, maka dibentuk Kesatuan-kesatuan Pemangkuan Hutan dan Kesatuan-kesatuan Pengusahaan Hutan. (2). Kesatuan pemangkuan hutan produksi merupakan satu kesatuan manajemen terkecil dari kawasan hutan yang dikelola berdasarkan azas kelestarian dan azas perusahaan, agar kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan dapat terselenggara secara berkelanjutan. (3). Dalam penetapannya, harus mempertimbangkan areal permukiman dan atau hak-hak masyarakat lainnya. (4). Secara normatif bahwa pembentukan KPH provinsi didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah (Provinsi), dimana pada akhirnya semua kegiatan pembangu-nannya akan berpola pada rencana tata ruang tersebut. Kawasan hutan produksi rawan konflik panjang merupakan kawasan hasil paduserasi antara tata ruang (konsep budidaya dan non budidaya), peta kawaan hutan dan perairan, dan kawasan penggunaan lainnya. KPH Khusus (1). Kawasan khusus dimaksud adalah kawasan yang memiliki potensi ganda yaitu potensi hutan dan bahan mineral (tambang). (2). Urgensi tersebut ditetapkan dengan melakukan eksplorasi berapa besaran potensi tambang yang ada di dalamnya. Atas dasar potensi yang ada, maka tingkat efesiensi dapat ditentukan berdasarkan nilai jual baestorasi) ekologi yang harus dilakukan. (3). Kepentingan pertimbangan dilakukan dengan pemberian ijin pinjam pakai, oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan pajang waktu, serta hasil-hasil pemulihan yang dilakukannya. 2. Implementasi Bentuk Rencana Pengelolaan Hutan (a). Rencana Karya Tahunan, pada dasarnya merupakan rencana tahunan dari hasil penjabaran rencna karya lima tahunan. (b). Rencana Karya Lima Tahunan, merupakan rencana jangka menengah sebagai hasil penjabaran dari rencana jangka panjang 20 tahunan. (c). Rencana Karya Duapuluh Tahun merupakan rencana yang berjangka, melalui tetapan dan target pengelolaan, sehingga dalam manajemen pengelolaannya mampu menjamin kelestarian potensi sumberdaya hutan produksi. C. Pemanfaatan Hutan (1). Prinsip dasar pemanfaatan jasa lingkungan kawasan hutan berazaskan pelestarian alam dan azas multiguna. Azas pelestarian alam dimaksudkan agar bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan secara kelanjutan mampu menjamin keberadaan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008 10 potensinya. Azas multiguna, dimaksudkan sebagai suatu optimalisasi terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, tanpa menimbulkan kerusakan-kerusakan yang berarti. (2). Pemanfaatan hutan nir kayu, tampaknya kini menjadi bagian penting di masa mendatang, karena masih banyak potensi jasa dan lainnya yang belum termanfaatkan. (3). Pemanfaatan jasa lingkungan terhadap potensi sumberdaya hutan, sebagai wahana ekoturism, HPH model dan HTI Picop, tampaknya memiliki prospektif dimasa mendatang. Kesimpulan dan Saran (1). Penataan kawasan hutan seyogianya didasarkan atau potensi sumberdaya tersedia, serta peranan fungsi kawasan, sehingga dalam penetapannya tidak mengalami perubahan-perubahan yang mendasar. (2). Pengelolaan kawasan hutan secara efektif dan efisien, terhadap kawasan hutan yang difungsikan sebagai kawasan perlindungan alam, serta memiliki kesamaan dan atau kemiripan ekosistem, seyogianya kawasan-kawasan tersebut dikelola dengan memperhatikan prinsip dan kaidah konservasi terhadap tata air dan tanah. (3). Pemanfaatan sumberdaya hutan, tidak terbatas terhadap produk hasil hutan kayu, akan tetapi telah saatnya untuk mulai memanfaatkan potensi jasa-jasa lingkungannya, terutaman sebagai wahana rekreasi dan wisata, area HPH model dan HTI Picop, yang memiliki prospektif dimasa mendatang. (4). Definitifnya otonomi daerah tampaknya dapat dipergunakan sebagai wahana pemulihan sistem pengelolaan dan pemangkuan hutan yang efektif dan efisien, sehingga bentukbentuk ancaman terdegradasinya kawasan hutan tidak terjadi. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008