Keairan KETIDAKSTABILAN REFLEKSI GELOMBANG NONLINIEAR PADA SLOPING BEACH (124A) NN Pujianiki1 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali Email: [email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki ketidakstabilan refleksi gelombang nonlinear dengan struktur vertikal pada pantai miring (sloping beach). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa ketidakstabilan gelombang meningkat, seiring dengan meningkatnya kecuraman gelombang (wave steepness), dimana pada setiap tiga puncak gelombang, salah satunya lebih curam dibandingkan tetangganya sehingga gelombang menjadi tidak periodik. Run up dari refleksi gelombang meningkat secara linear dengan meningkatnya kecuraman gelombang untuk gelombang reguler. Sedangkan untuk kasus kelompok gelombang (wave group) menunjukkan bahwa kecuraman gelombang mempengaruhi tinggi gelombang maksimum berdiri (standing wave) meningkat lebih dari dua kali lipat dari gelombang datang (incedent wave) yang telah lama diasumsikan dalam teori linear maksimal 2. Kata kunci: ketidakstabilan, koefisien refleksi, tidak periodik, nonlinear, kelompok gelombang. 1. PENDAHULUAN Sebagai insinyur pesisir, penting untuk memahami karakteristik gelombang ketika merancang struktur bangunan pantai. Untuk merancang struktur vertikal seperti caisson breakwater, adalah penting untuk mengetahui karakteristik run up gelombang, limpasan dan stabilitas yang disebabkan karena interaksi gelombang dengan dinding vertikal. Longuet-Higgins dan Drazen (2002) melakukan penyelidikan secara eksperimental dari refleksi gelombang di perairan dalam (deep water) dan menemukan bahwa ketika kecuraman gelombang progresif meningkat, profil gelombang dekat dinding vertikal mencerminkan sifat non periodic sedangkan gelombang datang (incident wave) tetap periodik. Gelombang menjadi tidak stabil, di mana salah satu gelombang dalam tiga gelombang adalah lebih tinggi. Dilanjutkan dengan penelitian Molin, dkk (2005), yang menyelidiki interaksi gelombang dengan pelat kaku yang ditempatkan di dalam air pada uji eksperimental dan perhitungan numerik menghasilkan bahwa run up meningkat dengan kecuraman gelombang dan fenomena ini adalah hasil dari interaksi antara gelombang tersier yang terpantul dari dinding tegak. Karakteristik refleksi gelombang di laut transisi (intermediate water depth), dengan kedalaman konstan juga telah diteliti secara eksperimen dan teoritis oleh Kioka dkk, (2008). Hasil percobaan gelombang reguler menunjukkan bahwa perubahan dalam kecepatan fase di depan dinding adalah signifikan dan puncak tertinggi gelombang menjadi runcing tajam yang muncul dalam setiap gelombang ketiga. Mereka juga melaporkan bahwa kecepatan fase diukur dari panjang gelombang di depan dinding vertikal tidak sesuai dengan teori gelombang yang ada seperti banyak digunakan teori amplitudo kecil (liniear). Hal ini menunjukkan bahwa efek interaksi nonlinier harus diperhitungkan dalam aplikasi teknik dimana gelombang desain yang curam masuk ke struktur vertikal. Vertical breakwater di lapangan juga dapat dibangun pada lereng alami pantai. Namun jumlah penelitian yang menyelidiki ketidakstabilan refleksi gelombang di pantai landai masih terbatas. Dengan demikian, penting untuk menyelidiki model interaksi nonlinier untuk aplikasi teknik, dalam menentukan ketinggian gelombang maksimum, run-up, limpasan dan gaya gelombang yang bekerja pada struktur vertikal di pantai yang landai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki interaksi gelombang dengan struktur vertikal di pantai dengan kemiringan landai. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 87 Keairan 2. PROSEDUR EKSPERIMENTAL Untuk menyelidiki interaksi gelombang nonlinear dengan struktur vertikal di pantai yang landai, percobaan telah dilakukan dalam tangki (flume) laboratorium dengan panjang 28 m dan lebar 0,6 m. Panjang tangki pada kedalaman konstan adalah 7,6 m dan terhubung dengan papan dengan kemiringan 1:30. Tinggi air pada kedalaman konstan adalah 0,55 m. Percobaan diset-up untuk mengamati gelombang refleksi dan progresif pada pantai landai yang dipisahkan oleh dinding seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Profil gelombang refleksi dan progresif diukur pada papan miring dengan kedalaman 0,20 m dengan menggunakan alat pengukur gelombang di titik C dan B masing-masing. Gelombang datang (incedent wave) diukur pada titik A. Pembangkit gelombang dihentikan sebelum gelombang refleksi mencapai pengukur gelombang di titik A. Dalam rangka untuk menyelidiki ketidakstabilan, profil gelombang refleksi direkam oleh Panasonic Camera tipe BB-HCM531 yang diletakkan luar tangki gelombang. Piston type wavemaker digunakan untuk membangkitkan gelombang reguler dan kelompok gelombang (wave group) dengan ketinggian dan periode yang bervariasi. Gelombang reguler dibangkitkan dengan membuat gelombang yang memiliki periode T = 0.75s dan 1.05s pada amplitudo ai = 2,0 cm ~ 5.0 cm, sedangkan kelompok gelombang diciptakan oleh gelombang komposit yang terdiri dari dua komponen dengan periode, dengan rata-rata periode 0.75s, 0.77s dan 1.1s. Amplitudo maksimum dalam kelompok adalah ai = 3,0 cm ~ 5.0 cm dan ω / Ω = 20, 40, dengan ω / Ω adalah rasio frekuensi pembawa (carrier frequency) dengan frekuensi amplop. 7.6m 0.6m 28m Gambar 1. Model eksperimen. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Interaksi gelombang nonlinier dengan dinding vertikal pada miring pantai diselidiki secara eksperimental. Ketidakstabilan diamati dengan meningkatnya kecuraman gelombang untuk gelombang reguler dan kelompok gelombang. Selain itu ketinggian gelombang maksimum dari gelombang datang, gelombang refleksi dan gelombang progresif dibandingkan juga. Elevasi permukaan bebas setelah masa transisi awal diabaikan kemudian delapan gelombang atau gelombang kelompok yang digunakan untuk mendapatkan periode rata rata dan amplitudo dari gelombang berdiri dan gelombang progresif. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) A - 88 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Keairan Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, hasil percobaan gelombang reguler menunjukkan bahwa ketidakstabilan meningkat ketika kecuraman gelombang aik = 0.24. Modulasi amplitudo gelombang berdiri menjadi signifikan untuk gelombang dengan wave steepness aik > 0.2. Saat kecuraman gelombang aik mendekati 0.3, salah satu puncak gelombang dari tiga gelombang menjadi runcing sedangkan dua puncak tetangganya berbentuk bulat jambul atau flat-topped seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, sementara gelombang datang dan progresif tetap periodik. Fenomena gelombang ini sangat mirip dengan ketidakstabilan yang diamati oleh Longuet-Higgins dan Drazen, (2002). Ketidakstabilan terjadi disebabkan karena interaksi antara gelombang tersier dan refleksi gelombang di dinding seperti yang dinyatakan oleh Molin et al. (2005). aik = 0.16 aik = 0.24 aik = 0.33 Gambar 2. Modulasi gelombang datang, progresif dan refleksi. Gambar 3. .Puncak gelombang refleksi. Koefisien refleksi (Kr) didefinisikan sebagai rasio tinggi gelombang berdiri dengan tinggi gelombang datang. Kr untuk gelombang reguler menunjukkan tidak lebih dari 2.0 (lihat Gambar 4) yang merupakan gelombang berdiri sebagai teori gelombang linier, sedangkan rasio ketinggian maksimum gelombang berdiri dengan ketinggian Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 89 Keairan gelombang progresif tersebar antara 1.5 dan 33.5 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.. Meskipun rasio letaknya tersebar, rasio tinggi gelombang cenderung meningkat lebih dari dua kali lipat untuk aik> 0.2. .2. Gambar 44. Koefisien refleksi untuk gelombang reguler. Gambar 5. Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif dari gelombang reguler. Koefisien repleksi untuk kelompok gelombang ppada aik = 0.24 mencapai 3.11 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.. Sedangkan puncak gelombang maksimum repleksi menjadi lebih dari dua kali lipat dari kelompok gelombang kasus ini akan mempengaruhi nilai run-up datang. Kasus-kasus up dan limpasan pada desain struktur vertikal. Seperti yang disampaikan oleh Goda (2009), hasil pengukuran gelombang menunjukkan bahwa gelombang berkelompok, tidak berdiri sendiri atau individu. Oleh karenanya tinggi gelombang rencana sebaiknya menggunakan analisa kelompok gelombang. Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang berdiri dengan yang di kelompok gelombang progresif ditunjukkan pada Gambar 7.. Untuk kelompok gelombang dengan aik > 0.3 gelombang lombang maksimum dalam kelompok gelombang berdiri menjadi begitu curam sehingga pecah,, mengakibatkan penurunan tinggi gelombang unjukkan dalam Gambar 8. maksimum seperti yang ditunjukkan progresif Perbedaan kecepatan terjadi antara gelombang relfeksi dengan gelombang progre sif seperti yang ditunjukkan pada gambar 9. Gelombang yang sama di investigasi kecepatnnya ternyata gelombang refleksi mempunya kecepatan yang Konferensi erensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) A - 90 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Keairan lebih lambat dari pada gelombang progresi progresif,, dengan demikian akibat tertahannya energi di depan dinding progresif. menyebabkann tinggi gelombang refleksi menjadi lebih besar dari pada gelombang progresif Gambar 6. Koefisien refleksi untuk kelompok gelombang. Gambar 7. Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang progresif dari kelompok gelombang. Gambar 8. Puncak gelombang refleksi yang telah pecah. Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri menjadi signifikan untuk gelombang kecuraman aik> 0.2, 2, di mana tidak lagi memiliki bentuk yang simetris seperti yang ditulis dalam Kioka dkk (2011). Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24 24-26 Oktober 2013 A - 91 Keairan Gambar 9. Perbedaan kecepatan gelombang progresif dan refleksi. 4. KESIMPULAN Hasil percobaan refleksi gelombang reguler dan kelompok gelombang menunjukkan bahwa ketidakstabilan tumbuh dengan meningkatnya amplitudo gelombang datang. Dengan meningkatkan parameter nonlinier aik, setiap sepertiga dari puncak menjadi curam dibandingkan dengan gelombang sebelahnya. Pada pantai yang landai, hasil percobaan gelombang menunjukkan bahwa modulasi amplitudo yang dipantulkan sangat signifikan bagi kecuraman gelombang tinggi sementara tidak ada modulasi amplitudo terjadi pada gelombang progresif. Rasio ketinggian kelompok gelombang berdiri dengan tinggi kelompok gelombang progresif menunjukkan peningkatan lebih dari dua untuk aik > 0.2, apalagi puncak maksimum gelombang berdiri menunjukkan lebih dari dua kali lipat dari puncak maksimum gelombang datang, yang akan mempengaruhi run up dan limpasan pada struktur vertikal. DAFTAR PUSTAKA Goda Yoshimi (2009). Random Seas and Design of Maritime Structure. World Scientific. Kioka Wataru, Yudai Iwatsuka, Katsunori Higo and Toshikazu Kitano (2008). “Reflection of Strongly Nonlinear Waves from a Vertical Wall”. Proceeding of Coastal Engineering, Vol. 55, pp. 11-15. Kioka, W., Okajima, M., Pujianiki, N. and Kitano, T. (2011). “Reflection of Strongly Nonlinear Waves from a Vertical Wall on Sloping Beach ( )”. JSCE-B2, Vol. 67, No.2 pp.I_1-I_5, 2011. Longuet-Higgins, M.S. and D A Drazen (2002). “On Steep gravity wave meeting a vertical wall: a triple instability”. Journal Fluid Mech., Vol. 466, pp.305-318. Molin, B., F Remy, O Kimmoun and E Jamois (2005). “The Role of Tertiary Wave Interaction in Wave-body problem”. Journal Fluid Mech., Vol. 528, pp.323-353. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) A - 92 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Keairan SISTEM ZONASI AIR TERPADU UNTUK MENDUKUNG HTI LESTARI DI LAHAN GAMBUT (127A) Budi I. Setiawan Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Email: [email protected]; Http://budindra.staff.ipb.ac.id ABSTRAK Indonesia sudah termasuk dalam 10 besar produsen pulp dan kertas dunia. Produksi ini akan terus tumbuh seiring dengan pembukaan lahan-lahan baru untuk memproduksi bahan baku pulp, yaitu kayu. Dengan semakin terbatasnya lahan kering, pembukaan lahan baru mengarah ke lahan-lahan basah, di antaranya adalah lahan gambut yang masih luas keberadaannya. Namun, pembukaan lahan gambut dalam skala besar semakin mendapat tekanan baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini dapat dipahami mengingat lahan gambut merupakan timbunan karbon yang sangat besar bila menjadi terbuka akan menimbulkan emisi karbon. Disamping itu, lahan gambut sangat rentan terdegradasi dan terbakar bila tidak dikelola sebagaimana mestinya. Kendala dan permasalahan ini bila tidak bisa dikendalikan tentu akan menghambat bahkan menggagalkan perkembangan produksi pulp dan kertas nasional. Karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan dalam mengelola lahan gambut sehingga produktvitasnya meningkat secara berkelanjutan. Dalam kaitan ini, telah dikembangkan Sistem Zonasi Air Terpadu (SZAT) untuk pengelolaan air di lahan gambut. Sistem ini bertujuan mempertahankan kelembaban gambut agar tanaman dapat tumbuh maksimal serta terhindar dari degradasi lahan, kebakaran dan emisi gas rumah kaca yang tidak terkendali. Makalah ini menyajikan konsep dan implementasi SZAT di beberapa lokasi hutan tanaman industri. Kata kunci: Lahan Gambut, Hutan Tanaman Industri, Pengelolaan Air, Sistem Zonasi Air Terpadu. 1. PENDAHULUAN Hutan tanaman industri (HTI) dikembangkan dengan tujuan memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industri bubur kertas (pulp) dan kertas yang merupakan komoditi ekspor andalan Indonesia (APKI, 2011). Mengingat luasan hutan alam semakin menipis dan berbagai bentuk tekanan untuk melestarikan hutan alam yang tersisa semakin kuat, HTI hanya mungkin dikembangkan di lahan-lahan yang marginal dan terdegradasi.Misalnya, lahan-lahan tinggalan hak pengusahaan hutan (HPH), hutan sekunder atau areal lainnya yang diperuntukan secara legal untuk hutan produksi.Dimana, di antaranya banyak yang berupa lahan gambut dengan berbagai ketebalan dan kondisi lahan landai yang lebih sering tergenang air dan dipengaruhi pasang-surut. Kondisi ini menuntut pengelolaan air secara seksama dengan memperhatikan antara lain kelestarian ekosistem kawasan gambut dengan berbagai jenis keanekaragaman hayatinya. 2. POTENSI HTI Hutan tanaman industri tidak seluruhnya ditanami tanaman kayu1 sebagai bahan baku kertas tetapi juga diwajibkan mengalokasikan lahannya untuk tanaman kehidupan (≥5%) yang pengelolaannya dikerjasamakan dengan masyarakat di sekitarnya, tanaman unggulan (≥10%) berupa pohon-pohon endemik yang bernilai tinggi, konservasi flora dan fauna yang bernilai tinggi (≥5%) dan infrastuktur (≤ 5). Dengan demikian, luasan tanaman pokoknya tidak lebih dari 70%.Mengingat luasnya HTI yang pada umumnya lebih dari puluhan ribu hektar, keberhasilan pengusahaan hutan tanaman ini sangat menentukan keberhasilan industri kertas di hilirnya. Disamping untuk tanaman kayu (Gambar 1), lahan HTI sangat berpotensi pula untuk pengembangan produksi biomass lainnya, misalnya untuk memproduksi pangan, menghasilkan energi terbarukan, karet dan lain sebagainya.Dengan adanya siklus penanaman dan penebangan sangat diharapkan pula, terjadi penyerapan karbon dari atmosfir yang mampu meningkatkan pendaman karbon (carbon sequestration) secara substansial. 1Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor : 70/KPTS-II/95, Tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 93 Keairan Gambar 1. Potensi HTI dalam memproduksi biomass 3. KENDALA DAN TANTANGAN HTI Disamping potensinya sebagai produsen biomass, HTI menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang tidak pernah berkesudahan ( ). Gambar 2. Kendala dan tantangan HTI Untuk menjadi kawasan yang mempunyai neraca karbon positif pendaman karbon di atas dan di bawah permukaan gambut harus lebih besar dari emisi karbon ke udara. Emisi karbon ini berasal dari proses respirasi dan dekomposisi gambut.Mengingat emisi karbon sulit dikendalikan tetapi ada batas maksimalnya maka HTI harus lebih produktif dalam menghasilkan biomass atau produktivitasnya harus semakin ditingkatkan. Sebagaimana tanaman lainnya, pertumbuhan Akasia (Acacia crassicarpa) yang ditanam di HTI tergantung pada 5 faktor, yaitu faktor penentu (determining factors) dalam hal ini iklim dan benih yang sesuai, faktor pembatas (limiting factors) dalam hal ini air dan nutrisi yang tersedia, faktor penghambat (restricting factors) berupa hama dan penyakit tanaman, faktor penghancur (destroying factor) terutama banjir dan kekeringan, dan faktor pengancam (threatening factors) misalnya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung dan kampanye miring dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar negeri. Penggunaan lahan gambut yang memang tidak stabil dan sangat rentan terhadap subsidensi dan kebakaran merupakan kendala tersendiri yang perlu perhatian khusus.Kebakaran atau pembakaran gambut yang selalu terjadi setiap musim kemarau menyebabkan dekomposisi gambut yang menghasilkan emisi karbon. Dimana, dalam skala besar dan waktu lama akan berkontribusi pada pengkayaan konsentrasi karbon di atmosfir yang disinyalir merupakan penyebab pemanasan global (global warming). Pengaruh pemanasan global ini antara lain akan menyebabkan terjadi perubahan iklim global termasuk pula iklim mikro yang ditandai dengan musim hujan yang lebih pendek tetapi lebih intensif dan musim kemarau yang lebih panjang. Secara beruntun kemudian, perubahan iklim mikro ini dapat mempengaruhi faktor-faktor lainnya. Misalnya, bisa jadi benih tidak lagi resistan terhadap cekaman air, serangan hama dan penyakit pada saat kemarau panjang, atau tidak tahan lagi terhadap genangan air yang melebihi dari biasanya. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) A - 94 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Keairan 4. PRINSIP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN HTI Pengembangan HTI khususnya di lahan gambut dengan luasan puluhan ribu hektar harus memperhatikan prinsipprinsip keberlanjutan produksi dan kelestarian alam mengingat betapa rentannya gambut terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.Di sini diperkenalkan prinsip selaras untuk pengelolaan HTI secara lestari (Setiawan, 2011). Dimana (Gambar 3), HTI harus diupayakan terusuntuk memaksimalkan pendaman karbon (carbon sequestration) atau produktivitas lahan (land productivity) dengan tidak melupakan upaya-upaya untuk meminimalkan subsidensi lahan (land subsidence), resiko bahaya kebakaran (fire danger risk), pembalakan kayu (illegal logging) dan emisi karbon (carbon emission), serta upaya-upaya untuk memelihara atau menjaga keanenaragaman hayati (biodiversity), keindahan alam (natural amenity) dan kearifan lokal (local wisdom). Gambar 3. Potensi HTI dalam memproduksi biomass Semua indikator luaran (output indicators) tersebut di atas harus terukur dan dipantau secara periodik untuk kemudian dievaluasi apakah setiap indikator tersebut sudah sesuai dengan yang sasaran direncanakan (targets). Bila belum atau ada yang belum tercapai, perlu upaya-upaya perbaikan terhadap satu, dua atau kombinasi dari input produksi yang menyangkut material (materials), metode (methods), manajemen (management), sumber daya manusia (human resources), infrastruktur (infrastructures) maupun regulasi (regulations). Evaluasi juga harus dilakukan untuk melihat sejauh mana keberhasilan dalam mencapai sasaran produksi berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja (job opportunity) dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (localpeopleprosperity), dan terhadap pengentasan kemiskinan (proverty alleviation) dan pengurangan potensi pemanasan bumi (global warming potential).Indikator ini (outcome indicators) sangat penting untuk menilai sejauhmana manfaat keberadaan HTI bagi masyarakat luas tidak hanya yang berada di sekitar kawasan tetapi juga masyarakat dunia yang semakin peduli terhadap kelestarian lingkungan.Demikian pula bila ada yang belum memuaskan atau tidak sesuai sasaran, perlu upaya-upaya perbaikan yang terus menerus seiring juga untuk mengantisipai terjadinya perubahan sasaran menjadi lebih tinggi. 5. TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR DI HTI Teknologi pengelolaan air (water management) di HTI yang efektif sangat dibutuhkan terutama untuk mengkondisikan kelembaban gambut yang optimum agar (Setiawan dkk, 2009): 1) Kondusif bagi pertumbuhan tanaman; 2) Terhindar dari subsidensi lahan yang tak terkendali; 3) Tahan dari ancaman kebakaran atau pembakaran lahan di sekitarnya; 4) Emisi gas rumah kaca (greenhouse gas emission) yang terjadi dapat ditoleransi (tolerable emission). Disamping itu, teknologi pengelolaan air ini harus mampu menjaga ekosistem gambut dengan kandungan air segarnya yang berlimpah ruah terutama bila di kawasan tersebut terdapat kubah gambut (peat dome) dengan berbagai keanekaragaman hayatinya yang sangat tergantung pada kondisi muka air gambut (water table).Demikian pula, teknologi pengelolaan air ini harus mampu mencegah gerakan pembalakan kayu ke zona-zona yang dilindungi. Di lain pihak juga teknologi pengelolaan air ini harus mampu mendukung kelancaran transportasi barang dan personil. Sistem transportasi ganda (dual transportation system), yaitu kombinasi transportasi darat dan air merupakan pilihan yang tidak bisa diabaikan. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 95 Keairan Dalam merancang teknologi pengelolaan air ini perlu memperhatikan kondisi bentang alam, antara lain adalah topografi, hidrotopografi, jenis dan kedalaman serta sebaran gambut, kawasan yang mempunyai keanekaragaman flora dan fauna yang benilai konservasi tinggi, aspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, dan kemungkinan pengembangan kawasan HTI ini di masa yang akan datang.Data dan informasi yang akurat dari parameter biofisik lingkungan ini harus diperoleh sebagai acuan penyusunan rencana induk (master plan) pengembangan HTI. Data dan informasi ini mesti dikemas dalam sistem informasi geografis yang kompatibel dengan perangkat lunak (computer-aided design, misalnya AutoCAD) yang akan digunakan untuk merancang blok tanaman, jaringan saluran air dan jalan darat serta berbagai prasarana lainnya. Blok tanaman ditempatkan mengikuti garis kontur dengan luasan (panjang dan lebar) yang optimum sehingga kondisi muka air (water table) dapat dikondisikan pada kisaran yang sesuai pada berbagai kondisi cuaca terutama pada kondisi ekstrim musim hujan tinggi dan kemarau panjang. Disini diperlukan penggunaan model matematika keseimbangan air dinamis yang meliputi komponen hujan, evapotranspirasi, perkolasi, rembesan, pergerakan air kapiler dan sifat hidrolika yang menggambarkan kemampuan gambut itu sendiri dalam menyimpan (water retention) dan meluluskan air (hydraulic conductivity) serta sifat deformasi volumetrik (volumetric deformation) berkenaan dengan jumlah air yang dikandungnya. Proses optimisasi selanjutnya diperlukan untuk menentukan dimensi saluran masuk (inlet) dan saluran keluar (outlet) yang minimal untuk memudahkan pembuatannya serta menghemat biaya kontruksi, operasi dan pemeliharaan. Air drainase yang keluar dari setiap blok dapat dialirkan ke saluran kolektor atau langsung menuju saluran utama. Saluran utama dapat memotong kontur untuk mempercepat proses drainase tetapi panjangnya harus dibatasi agar perbedaan muka air (water level) di hulu dan di hilirnya berada pada kisaran yang aman. Juga, untuk menghindari kecepatan air yang terlalu tinggi yang dapat menggerus dinding saluran. Batas/tanggul/dam antara saluran di atas dan di bawahnya dapat berupa gambut asal yang dibiarkan tidak digali agar cukup kuat dalam menahan genangan air statis.Limpasan air dari saluran atas ke saluran bawah dilalukan melalui beberapa saluran drainase berjejer membentuk parit sisir (comb-like relocation canals). Dimensi dan jumlah parit sisir ini harus dihitung melalui proses optimisasi berdasarkan pada persamaan matematika aliran air dalam saluran dengan permukaan gambut. Dimensi (panjang, lebar dan dalam) saluran kolektor dan utama harus disesuaikan juga jenis kendaran air yang akan digunakan. 6. SISTEM ZONASI AIR TERPADU Sistem zonasi air terpadu mempunyai tujuan untuk mengkondisikan muka air (water table) gambut di setiap zona air pada kisaran yang dikehendaki.Pada umumnya terdapat 4 zona utama (APRIL, 2009), yaitu zona lindung (protected zone), zona penyangga (buffer zone), zona tanaman pokok (zone for the main plant) dan zona tanaman kehidupan (zone for society plant).Dari kaca mata pengelolaan air, zona disebut zona air (water zone) karena muka air (water table) di setiap zona tersebut yang menjadi perhatian utama untuk dikondisikan pada kisaran yang dikehendaki. Gambar 4. Sistem zonasi air terpadu berdasarkan pada elevasi lahan di Riau (APRIL, 2009). Pada zona lindung, muka air dipertahankan berada di sekitar permukaan gambut menyerupai ekosistem alamiahnya.Di zona penyangga, muka air sedikit diturunkan menjadi di antara 30-60 cm di bawah permukaan gambut.Di zona penyangga ini dapat ditanam tanaman yang lebih tahan genangan air, misalnya gelam.Di zona tanaman pokok, muka air dipertahankan pada kisaran 50-80 cm di bawah permukaan gambut.Penentuan muka air yang optimum bagai tanaman akasia pada umumnya berada dalam batasan tersebut.Lebih tepatnya dapat dicari dari kurva retensi air (water retention curve) gambut berdasarkan pada pengujian di laboratorium fisika tanah.Di zona tanaman kehidupan, jenis tanamannya ditentukan bersama masyarakat yang diyakini dapat memberi atau menambah Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) A - 96 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Keairan penghidupannya.Misalnya karet atau tanaman pangan selama memungkinkan dikelola lebih intensif bersama dengan masyarakat. Di antara zona lindung dan zona penyangga dapat juga dipisahkan dengan pembatas air (water buffer) yang berfungsi juga untuk melindungi zona lindung dari pergerakan perambah hutan. Zona tanaman pokok dapat terdiri dari beberapa blok atau kompartemen (Gambar 5) yang masing-masing dibatasi saluran air. Gambar 5. Sistem zonasi air terpadu di Kalbar. Satu zona air berada dalam satu elevasi yang sama. Beda elevasi antara satu zona sekitar 1 m. Karena itu interval garis kontur minimal harus di lebih kecil atau sebesar 50 cm. Baik zona maupun blok ditempatkan searah garis kontur yang masing-masing di kelilingi saluran air (on-farm canals). Adakalanya, garis-garis air (water lines) perlu dibuatkan juga untuk mempercepat drainase air terutama pada lahan bergambut dangkal (<1 m) yang di bawahnya terdapat lapisan kedap. Lahan bergambut tipis (≤50 cm) yang di b awahnya terdapat lapisan kedap sebaiknya tidak ditanami tanaman pokok karena akan membatasi perkembangan akarnya yang akan mengakibatkan tanaman mudah rebah. Lahan yang bergambut tipis ini lebih potensial untuk budidaya pangan karena lebih mudah dalam pengelolaan tanah dan airnya. Tanaman pokok lebih baik ditanam pada lahan yang mempunyai tebal gambut di atas 1 m. Kedalaman garis air maupun saluran airjangan sampai menembus lapisan kedap atau tanah mineral terutama bila lapisan tersebut mengandung firit. Lapisan firit ini harus selalu tergenang air khususnya untuk menghindari aerasi agar tidak terjadi oksidasi yang dapat meningkatkan keasaman gambut. Lalu lintas transportasi air, misalnyamenggunakan sampan dapat dilakukan dalam satu zona yang sama seiring dengan arah aliran air (Gambar 6). Gambar 6. Skema penempatan blok dalam zona air. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 97 Keairan Tetapi antar dua zona yang berbeda karena mempunyai ketinggian air yang berbeda harus melintasi darat (overskipped). Hal ini sangat merepotkan.Karena itu, pemindahan barang/kayu dari sampan dapat dilakukan secara langsung (hot loading) ke truk yang menunggu di badan jalan atau barang/kayu tersebut sebelumnya ditumpuk di bahu jalan yang tersedia.Pengendalian level air (water level) di saluran dalam kanal dilakukan dengan bantuan parit sisir.Dimana, dimensi dan jumlah parit sisir ditentukan berdasarkan hitungan keseimbangan air dengan sasaran level air berkisar antara 50-80 cm di bawah permukaan lahan.Karena permukaan lahan digunakan sebagai referensi atau datum dalam penentuan level air maka harus dihindari penumpukan sampah/kayu di setiap pinggir lahan.Sampah dapat diletakkan di bahu jalan untuk selanjutnya diangkut ke tempat penumpukan akhir. Gambar 7 memperlihatkan contoh penerapan sistem zonasi air terpadu atau lebih dikenal dengan istilah teknologi ekohidro di salah satu lokasi HTI di provinsi Riau (RAPP, 2012).Luasannya lebih dari 30 ribu hektar ditanami Akasia sejak tahun 2009.Tanaman kehidupannya adalah karet.Teknologi ini berhasil mempertahankan muka air gambut pada kisaran yang dikehendaki dan oleh karenanya sebagai besar indikator seperti yang telah disebutkan di butir 4 berhasil dicapai.Seperti terlihat padaGambar 8, Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11, muka air, kelembaban, indeks kekeringan dan emisi karbon dioksida berada dalam kisaran dikehendaki (Setiawan, 2011; Taufik dan Setiawan, 2012). Gambar 7. Contoh teknologi ecohidro di Riau Gambar 8. Muka air gambut Gambar 9. Kelembaban gambut Gambar 10. Indeks kekeringan gambut Gambar 11. Emisi CO2gambut terbuka Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) A - 98 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Keairan 7. PENUTUP Hutan tanaman industri di lahan gambut disamping besar potensinya bagi pengembangan produksi biomassa juga menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Tidak saja yang menyangkut kondisi biofisik lingkungan tetapi juga yang sifatnya ancaman dari berbagai pihak yang kuatir akan mengakibatkan degradasi lahan dan lingkungan. Kekuatiran ini wajar mengingat gambut tidak stabil dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.Di sini diperkenalkan sistem pengelolaan air yang disebut Sistem Zonasi Air Terpadu yang bertujuan mengkondisikan muka air yang optimum bagi pertumbuhan tanaman sekaligus mengurangi resiko terjadinya subsidensi, kebakaran dan emisi gas rumah kaca.Sistem ini diterapkan di beberapa lokasi HTI dan telah memperlihatkan kinerjanya yang cukup baik.Namun demikian, sistem ini harus terus dikembangkan dan dipantau kinerjanya secara lebih seksama.Sistem ini perlu diujicobakan atau diterapkan juga di perkebunan lainnya, misalnya sawit yang juga banyak ditanam di lahan gambut.Hal ini sangat mendesak mengingat kebakaran gambut lebih sering terjadi di areal atau di sekitar areal perkebunan kelapa sawit. PUSTAKA APRIL. 2009. Science Approach to Peat Landscapes: Eco-Hydrology Land Use Allocation. Tidak dipublikasikan. APKI. 2011. Peta Persaingan Industri Pulp dan Kertas Dunia: Potensi Indonesia naik Peringkat ke-5. Diskusi terbatas FORWAHUT. Jakarta, 3 Nopember 2011. RAPP.2012. Kontribusi Teknologi Ecohydro terhadap Mitigasi Perubahan Iklim.Laporan Pelaksanaan Measurement, Reporting, and Verification (MRV) Pengelolaan IUPHHK HTI PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Teknologi Ekohidro di Semenanjung Kampar, Riau.Oktober 2012. Setiawan, B.I. 2011.Teknologi Pengelolaan Air di Lahan Gambut untuk Menekan Emisi GRK.Simposium Nasional Penelitian Perubahan Iklim Indonesia.KementerianLingkungan Hidup dan Institut Pertanian Bogor. Bogor, 3 Oktober 2011. Setiawan, B.I. 2011.Selaras Principle for Sustainable Biomass Productions in Indonesia. International Conference on Science and Technology for Sustainability 2011, - Building up Regional to Global Sustainability: Asia vision-”. Setiawan, B.I., Ch.Arif, A.Harisman, S.Arfianto, E.Susandi, J.Ginting, Soewarso. 2009. Integrated Water Zoning For Sustainable Forest Plantation In Tropical Peatlands. Bogor Symposium and Workshop on Tropical Peatland Management: Characterization and Wise use of Tropical Peatland. Bogor, July 15-16, 2009. Taufik,M., B.I.Setiawan. 2012. Interpretasi Kandungan Air Tanah untuk Indeks Kekeringan: Implikasi untuk Pengelolaan Kebakaran Hutan. Interpretation of soil water content into dryness index: inplication for forest fire management. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. ISSN 2087-0469. Vol.XVIII (1):31-38, April 2012. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 A - 99