1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep empati

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep empati berperan penting dalam memahami pola interpersonal
individu terhadap lingkungan sosial. Secara psikologis, empati merupakan
potensi yang dapat mendorong individu untuk lebih sensitif terhadap situasi dan
kondisi yang ada disekitarnya. Menurut perspektif psikoanalisa, empati
merupakan pusat dari hubungan interpersonal. Psikoanalisa menggambarkan
kemunculan empati lebih kepada konsep interaksi emosional antara ibu dan anak
yang berada dalam satu ikatan hubungan empatik yang saling membutuhkan
(Taufik, 2012). Empati menuntun seseorang untuk memahami maksud orang
lain, memprediksi perilaku mereka, mengalami emosi yang sama sesuai dengan
apa yang mereka rasakan, menarik seseorang untuk saling membantu serta
mampu menghentikan perilaku seseorang yang bertujuan untuk menyakiti orang
lain (Baron-Cohen & Wheelwright, 2004).
Penerapan konsep empati pada masyarakat Indonesia berlandaskan pada
nilai luhur budaya bangsa yang terangkum dalam Pancasila sebagai jati diri
bangsa Indonesia. Keberagaman masyarakat Indonesia dipersatukan oleh suatu
bentuk ideologi yang mendasari semua sisi kehidupan. Secara umum
masyarakat Indonesia diharapkan menjadi masyarakat yang agamis, humanis,
nasionalis dan demokratis yang menonjolkan musyawarah mufakat dan
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Terkhusus mengenai pembahasan empati
telah dirumuskan dalam nilai-nilai Pancasila khususnya pada sila kedua yaitu
“kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila kedua Pancasila ini mengandung
suatu nilai kesadaran moral dan tingkah laku yang didasarkan pada potensi
1
2
nurani individu dalam konteks hubungan terhadap diri sendiri, orang lain dan
lingkungan sesuai dengan norma dan kebudayaan pada umumnya. Nilai-nilai
pada sila kedua berisi tentang sifat-sifat yang mengharapkan individu dan
masyarakat untuk menjunjung tinggi hak azazi manusia, tenggang rasa, empati,
kasih sayang dan keadilan. Maka dari itu, potensi yang bersifat kultural menjadi
cerminan semua bangsa dalam menghayati nilai-nilai kemanusiaan.
Pada kenyaataannya saat ini, berbagai isu mengenai kemerosotan moral
akibat menurunnya empati remaja terhadap orang lain, mengakibatkan
terbentuknya suatu kondisi yang tidak terkontrol dalam kehidupan sosial remaja.
Kasus yang terjadi pada tahun 2014 merupakan salah satu contoh dari remaja
yang telah hilang rasa empatinya. Dikutip dari artikel surat kabar bahwa terdapat
seorang remaja putri yang mencaci maki seorang ibu yang sedang hamil ketika
meminta tempat duduk remaja tersebut. Melalui akun jejaring sosial Path, remaja
putri tersebut mengungkapkan rasa kekesalannya atas kejadian yang dialaminya
(Hilangnya rasa empati dari kaum muda, 2014).
Akibat perbuatannya, remaja putri yang berinisial “D” tersebut mendapat
kecaman dan kemarahan dari semua kalangan. “D” dianggap sebagai gadis
remaja yang apatis, cuek dan tidak memiliki rasa empati sama sekali. Ironisnya,
tindakannya tersebut mendapat dukungan dari beberapa teman Pathnya sendiri.
“D” akhirnya meminta maaf kepada publik atas perbuatannya melalui akun
jejaring sosial yang sama. Kasus ini menjadi sebuah pelajaran bahwa remaja
yang berubah menjadi egois dan hanya mementingkan diri sendiri dari pada rasa
sosialnya di masyarakat, akan menghancurkan sisi kemanusiaan yang ada
dalam
dirinya.
Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya,
perilaku ini
bertentangan dengan pendidikan Pancasila yang disebut Pedoman Penghayatan
3
dan Pengamalan Pancasila (P4). Pancasila mengajarkan untuk menjadi manusia
yang menghormati, tenggang rasa, toleransi dan menghargai kepada setiap
orang, terlebih kepada orang tua. Selain itu banyak hal yang diajarkan seperti
dalam etika pergaulan, adat dan budaya timur yang dianut oleh bangsa
Indonesia.
Ditinjau dari psikologi perkembangan, tahapan usia remaja berada pada
kondisi pergantian moralitas dari konsep-konsep moral khusus ke konsep moral
individual (Hartati, Nihayah, Shaleh, & Mujib, 2005). Selama berada dalam
keadaan tersebut, remaja mengalami ambiguitas dalam pola berpikir kognitif dan
respon afektif sebagai pengarah kepada perilaku yang akan ditampilkan. Salah
satu contoh ambiguitas yang dialami remaja adalah mencari identitas diri.
Menurut teori Psikososial Erikson, remaja berada di tahap 5 yaitu identity vs
identify confusion (identitas vs kebingungan identitas), menurut Erikson jika
remaja menerima dukungan sosial yang memadai, maka akan muncul eksplorasi
personal, kepekaan diri, perasaan mandiri, dan kontrol diri. Begitu juga
sebaliknya, remaja yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan sering kali
mendapatkan penolakan dari orang tua, maka dapat dipastikan remaja akan
terus mengalami kebingungan (Santrock 1995). Kebingungan-kebingungan inilah
yang berdampak pada ketidakstabilan emosi yang akan menimbulkan konflik.
Konflik internal antara remaja dan orang tua mempengaruhi perkembangan
empatinya. Dengan kata lain, semakin banyak konflik yang muncul akan
membuat empati semakin rendah (Van Lissa dkk, 2014). Menurut Carr emosi itu
timbul jika individu dihadapkan pada rintangan yang menghambat kebebasannya
untuk bergerak, sehingga semua tenaga dan upaya dikerahkan untuk mengatasi
4
rintangan tersebut dan merangsang individu tersebut untuk merugikan lawannya
tanpa pertimbangan terlebih dahulu (Hartati dkk, 2005).
Empati yang ditampilkan merujuk kepada kesadaran individu untuk dapat
berpikir, merasakan, dan mengerti keadaan orang lain dilihat dari perspektif
orang tersebut. Sebuah artikel yang ditulis oleh McDonald & Messinger (2014)
mendefinisikan
empati
sebagai
kemampuan
untuk
merasakan
atau
membayangkan pengalaman emosi orang lain. Menurut Cotton empati tidak
hanya sekedar kemampuan afektif untuk berbagi perasaan (sharing feeling) dan
kemampuan kognitif untuk memahami kondisi orang lain, akan tetapi individu
memiliki kemampuan berkomunikasi secara verbal dan nonverbal dalam
mengungkapkan empati tersebut (Garton & Gringart, 2005). Kemampuan dalam
berkomunikasi terus berkembang seiring bertambahnya usia dan kematangan
fisik individu. Kemampuan komunikasi harus terjalin dengan baik antara orang
tua dan anak, salah satunya dengan menghindari konflik dalam keluarga.
Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berkomunikasi dan dukungan
keluarga berpengaruh positif terhadap aspek kognitif empati yang berkaitan
dengan persepsi remaja terhadap orang lain (Henry, Sager, & Plunkett, 1996).
Terkait dengan kemampuan empati seseorang yang dapat membangun
hubungan sosial yang baik, maka konsep empati dapat menjelaskan berbagai
macam perilaku sosial yang terjadi di masyarakat, contohnya perilaku agresif.
Penelitian menunjukkan bahwa aspek kognitif dan afektif empati berhubungan
negatif terhadap perilaku agresif langsung maupun tidak langsung terutama pada
perspective taking seseorang (Heerebeek, 2010), berhubungan dengan altruisme
pada anak (Eisenberg & Lennon, 1980) serta pentingnya empati terhadap
perilaku antisosial (Schaffer, Clark, & Jeglic, 2009). Empati terlihat berbeda dari
5
masing-masing jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Beberapa
penelitian menyebutkan bahwa perempuan menunjukkan skor empati yang lebih
tinggi dari pada laki-laki (Davis, 1980; Bryant, 1982; Baron-Cohen & Wheelwright,
2004; Schieman & Van Gundy, 2000; Barr & Higgins-D’alessandro, 2007).
Pentingnya empati tidak hanya terbatas pada kondisi normal seseorang.
Penelitian menunjukkan bahwa anak dengan fungsi autis yang tinggi mampu
merespon empatik perasaan dan emosi orang lain, mengambil peran dan
pengalaman orang lain (Yirmiya, Sigman, Kasari, & Mundy, 1992). Baron-Cohen
& Wheelwright (2004) merancang skala baru empati untuk melihat perbedaan
yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dengan sindrom asperger. Empati
terlihat rendah pada anak-anak dengan masalah perilaku, lebih sedikit
berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, serta memiliki kualitas hubungan
pertemanan yang rendah (Schonert-Reichl, 1993).
Penelitian lain menunjukkan usia berhubungan positif dengan peningkatan
empati. Kapasitas untuk mengambil peran (role taking) berkembang setiap
tahapan usia di masa kanak-kanak terutama pada usia 2-3 dan 5 tahun. Empati
meningkat cepat pada tahapan anak-anak akhir dan remaja awal (Gurucharri &
Selman, 1982). Perubahan yang signifikan menghubungkan usia dengan
perubahan role taking terkait dengan ekspresi emosi (Robert & Strayer, 1996)
serta respon empatik berhubungan dengan penalaran moral yang mengalami
peningkatan pada usia 15 tahun. Pengambilan peran dan perasaan simpati
berkembang dari tahapan usia remaja yang ditandai dengan kematangan cara
berpikir (Eisenberg, Carlo, Murphy, & Van Court, 1995; Lovell, 1999).
Terkait dengan penelitian mengenai empati, terdapat beberapa peneliti
empati kontemporer seperti Hoffman, Eisenberg, Batson, dan Davis yang sangat
6
produktif melakukan berbagai penelitian. Mereka semua setidaknya sampai
batas tertentu berfokus secara eksplisit bagaimana empati berkaitan dengan
altruisme dan perilaku prososial. Hoffman, dan Eisenberg telah mempelajari
empati terutama dalam kaitannya dengan perilaku prososial pada masa
perkembangan anak-anak, sementara Batson meneliti empati terkait dengan
altruisme dan motivasi prososial terhadap orang-orang pada umumnya. Dari
ketiga peneliti di atas, konsep yang ditampilkan oleh Davis mengambil
pendekatan yang lebih luas dan memandang empati secara eksplisit sebagai
fenomena multidimensi dan mengusulkan model konstruksi empati (Håkansson,
2003).
Davis
berjuang dengan kebingungan terhadap persoalan-persoalan
tentang empati. Davis mencoba untuk memahami dan mengintegrasikan
pandangan-pandangan dari konsep empati yang telah ada sebelumnya, dan
kemudian mencoba untuk mengkonstruksikan kembali agar dapat memiliki
makna yang lebih tepat (Taufik, 2012).
Konsep pengukuran empati dari Mark H. Davis (1980-1983) melihat empati
melalui dua aspek yaitu kognitif dan afektif (emosional). Dalam jurnalnya “A
Multidimentional Approach to Individual Differences in Empathy” Davis (1980),
menemukan bahwa ada empat subskala yang mampu mengukur empati
seseorang, antara lain yaitu perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang
untuk mengambil sudut pandang orang lain secara spontan. Fantasy, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam
mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film,
sandiwara yang dibaca atau yang ditontonnya. Empathic concern, yaitu perasaan
simpati yang berorientasi kepada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan
7
yang dialami orang lain. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang
berorientasi pada diri sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting
interpersonal yang tidak menyenangkan. Personal distress bisa disebut sebagai
empati negatif. Dari keempat subskala inilah Davis (1980) menyebutnya sebagai
“Interpersonal Reactivity Index” (IRI).
Selama 35 tahun terakhir, beberapa peneliti memberikan kritik terhadap
alat ukur Interpersonal Reactivity Index (IRI). Baron-Cohen & Wheelwright (2004)
menyatakan bahwa IRI merupakan pengukuran empati yang terbaik untuk saat
ini, karena tiga dari empat faktor secara langsung relevan mengukur empati,
namun beberapa item pada setiap faktor tidak mengungkap apa yang menjadi
tujuan penelitian, contohnya item pada subskala fantasy yang berisi “Saya
berhayal dan membayangkan berulang-ulang tentang suatu hal yang akan terjadi
pada diri saya”, dan item pada subskala personal distress yang berisi “Dalam
situasi darurat, saya merasa gelisah dan mudah sakit”. Item ini terlihat mengukur
kemampuan berimajinasi atau mengontrol emosi. Hal ini terlihat jelas bahwa item
tersebut bukan hanya mengukur empati saja. Peneliti lain mengritik bahwa IRI
tidak dapat digunakan pada bidang neuroscience, karena IRI tidak mengungkap
adanya self-other awareness pada setiap subskala (Lietz dkk, 2011).
Pengukuran empati menggunakan IRI menghasilkan nilai psikometri yang baik
pada sampel orang dewasa dan tidak bisa diterapkan kepada anak-anak dan
remaja (Garton & Gringart, 2005; Hawk dkk, 2013).
Meskipun demikian, banyak kalangan yang tetap menggunakan skala IRI
untuk mengukur empati. Alasannya adalah (a) IRI merupakan satu-satunya skala
yang didasarkan pada konsep multidimensional, adapun beberapa penelitian lain
yang multidimensi (Garton & Gringart, 2005), the empathy assassment index
8
(Lietz dkk, 2011) hanyalah pengembangan dari konsep multidimensional
Interpersonal Reactivity Index (IRI) dengan mengambil beberapa aspek empati
yang mewakili dari kedua dimensi kognitif dan afektif. (b) IRI dianggap sebagai
alat ukur yang paling komprehensif dalam mengungkap empati seseorang serta
pengadministrasian IRI relatif singkat dan sederhana. (c) empat aspek IRI
merupakan konsep multidimensi yang unik, karena masing-masing aspek
terpisah satu sama lain, akan tetapi tetap mengukur satu atribut yang dinamakan
“empati”. Pengembangan alat ukur ini terbukti dari beberapa peneliti yang telah
melakukan berbagai macam adaptasi versi beberapa negara seperti Belanda,
Prancis, Chili, China dan Spanyol (Decorte dkk, 2007; Gilet, Mella, Studer,
Gruhn, & Labouvie-Vief, 2013; Fernández, Dufey, & Kramp, 2011; Siu & Shek,
2005; Tello, Egido, Ortiz, & Gandara, 2013).
Akan tetapi, beberapa upaya pengembangan alat ukur dengan proses
pengadaptasian yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa hasil pengujian kesesuaian model tidak fit berdasarkan kriteria goodness
of fit. Artinya, keempat aspek empati (perspective taking, fantasy, empathic
concern dan personal distress) terbukti tidak sesuai dengan data penelitian. Uji
kesesuaian model yang dilakukan oleh Siu & Shek (2005) menunjukkan bahwa
konstruk empati yang sesuai dengan sampel orang-orang Cina menghasilkan
tiga faktor. Pengembangan alat ukur yang sama juga dilakukan oleh Cliffordson
yang menguji kesesuaian model terhadap sampel orang-orang Swedia. Hasil
menunjukkan bahwa tiga aspek mengukur empati, kecuali personal distress
(Fernández, Dufey, & Kramp, 2011).
Meskipun IRI telah diadaptasi ke dalam beberapa bahasa, namun belum
ditemukan pengembangan skala empati versi Indonesia yang memiliki reliabilitas
9
dan validitas yang baik berdasarkan properti psikometri. Setelah menganalisis
semua
item
dalam
skala
IRI,
peneliti
memutuskan
untuk
melakukan
pengembangan alat ukur dengan proses modifikasi. Proses modifikasi alat ukur
empati IRI dilakukan dengan menambah jumlah item pada masing-masing aspek
berdasarkan hasil observasi yang akan dilakukan kepada sejumlah sampel.
Proses perubahan secara tata bahasa sangat penting untuk dilakukan, karena
pada dasarnya skala IRI dibuat untuk usia dewasa. Target penelitian ini ialah
sampel remaja, oleh karena itu harus dilakukan kesetaraan pemahaman agar
penelitian ini menghasilkan alat ukur yang sesuai dengan pemahaman remaja di
Indonesia.
Pengembangan alat ukur menurut Paterson dapat dilakukan dengan
memperbaiki, mengadaptasi, atau memperbaharui dan mengadaptasi. Istilah
adaptasi alat ukur perlu dilakukan ketika alat ukur psikologis tersebut akan
digunakan di negara lain yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda
dengan negara dimana alat ukur tersebut diciptakan. Oleh karena itu, harus
dilakukan standarisasi kembali untuk memastikan alat ukur psikologis tersebut
berkualitas, seperti mengevaluasi validitas, reliabilitas, dan norma sehingga
setelah proses yang dilakukan atas alat ukur tersebut, diharapkan dapat bebas
dari bias budaya yang dapat mengotori data yang diperoleh (Milanzahri, 2013).
Menurut Suyasa (2011) terdapat beberapa hal yang mendasari perlunya
suatu alat ukur dimodifikasi, antara lain sebagai berikut: (a) ketidaksesuaian
model/teori serta norma yang ada untuk diterapkan pada suatu budaya. (b)
keterbatasan alternatif alat ukur itu sendiri. Strong juga mengungkapkan bahwa
terdapat kriteria dalam memodifikasi butir/item agar menjadi item yang baik,
diantaranya: (a) familiarity, artinya objek yang dinyatakan dikenal oleh partisipan
10
sesuai dengan kondisi saat ini; (b) no-ambiguity, artinya interpretasi item hanya
mengarah pada aspek yang akan diukur; (c) daya beda item, artinya pilihan
respons dari suatu item alat ukur akan sesuai dengan pilihan dari kelompok yang
menjadi acuan (Suyasa, 2011).
Proses modifikasi akan diuji dengan analisis faktor konfirmatori (CFA).
Pada umumnya sebelum melakukan analisis model struktural, peneliti terlebih
dahulu harus melakukan pengukuran model untuk menguji validitas dan
reliabilitas dari indikator pembentuk konstruk laten. Konstruk dapat dibentuk
secara unidimensional dan multidimensional. Dalam pengujian proses modifikasi
akan
dilakukan
kedua-duanya,
baik
secara
unidimensional
maupun
ini
mampu
multidimensional (Latan, 2013).
Proses
pengembangan
alat
ukur
empati
diharapkan
memberikan kontribusi yang lebih mendalam. Alat ukur empati dianggap sangat
berguna dalam mengukur kemampuan individu untuk memahami kondisi dan
perasaan orang lain. Alat ukur empati yang telah dimodifikasi ke dalam bahasa
Indonesia dapat digunakan pada bidang pendidikan, contohnya sebagai
landasan guru bimbingan konseling untuk membuat pelatihan-pelatihan terkait
peningkatan empati siswa. Salah satu contoh pelatihan terkait empati adalah
PEACE
(Parent
Empowerment,
Empathy
Training,
Anger
Management,
Character Education, Essential Social Skills) curriculum (Salmon, 2003) sebuah
pelatihan yang dirancang untuk meningkatkan empati dan mencegah perilaku
agresif. Melalui pengukuran empati, pihak sekolah mampu membuat kebijakan
lainnya seperti membentuk ekstrakurikuler yang berbasis peningkatan empati
siswa, salah satunya ialah kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR)
dan Pusat Informasi Konselor-Remaja (PIK-R). Kegiatan tersebut mampu
11
mendidik siswa untuk membantu teman-temannya yang mengalami kesulitan
dengan bertindak sebagai konselor teman sebaya. Usaha ini harus ditanamkan
sedini mungkin supaya terbentuk hubungan interpersonal yang baik dan
berkualitas khususnya di kalangan remaja Indonesia saat ini.
Alat ukur empati yang telah dimodifikasi secara bahasa akan memberikan
kontribusi yang besar pula pada bidang psikologi perkembangan. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa empati sebagai landasan perkembangan
kualitas sosial dan emosi seseorang. Empati yang dijelaskan berdasarkan
konsep multidimensi terkait antara aspek kognitif dan afektif akan berhubungan
dengan fungsi dan proses perkembangannya. Ketika terjadi hambatan pada
fungsi
dan
proses
perkembangan
dari
kedua
aspek
tersebut,
akan
mempengaruhi pula proses untuk berempati. Anak dengan hambatan kognitif
akan berdampak pada kualitas pemahaman dan bahasa. Mereka akan
mengalami kesulitan dalam memahami maksud yang dikatakan oleh orang lain.
Hal serupa juga dikatakan Titchener bahwa empati membutuhkan pemahaman
yang mendalam terhadap kondisi orang lain (Taufik, 2012). Dampak serupa yang
akan terjadi ketika aspek afektif mengalami hambatan. Konsep empati terkait
aspek afektif menjelaskan bahwa empati merupakan bentuk reaksi emosi
terhadap kondisi orang lain. Pada perkembangannya, fungsi afektif tidak terlepas
dari peran orang tua terutama ibu dalam mengelola emosi anak.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik
melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana skala empati IRI dimodifikasi
ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan kondisi remaja di Indonesia.
Kelayakan alat ukur juga akan dilihat apakah memenuhi persyaratan secara
12
psikometris,
sehingga
peneliti
melakukan
penelitian
yang
berjudul
berdasarkan
konstruk
“Pengembangan Skala Empati Remaja”.
B. Rumusan Permasalahan
Apakah
skala
multidimensional
empati
Davis
yang
sesuai
dan
dikembangkan
dapat
digunakan
untuk
mengukur
kecenderungan empati remaja di Indonesia?
C. Pertanyaan dalam Penelitian
1. Apakah skala empati yang telah dimodifikasi secara bahasa dan budaya
Indonesia memiliki reliabilitas yang baik?
2. Bagaimana model struktur faktor skala empati yang telah modifikasi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah skala empati yang telah
dimodifikasi sesuai dengan pemahaman secara bahasa dan budaya Indonesia
serta dapat digunakan khususnya pada remaja di Indonesia.
2. Manfaat
a. Secara praktis
Melalui penelitian ini diharapkan mampu menyediakan skala pengukuran
empati yang baik secara karakteristik psikometri yang dapat digunakan
khususnya di bidang perkembangan sosial emosi. Selain itu, melalui
penelitian ini yaitu pengembangan skala empati berdasarkan konstruk
13
multidimesional dapat digunakan dengan mudah oleh kalangan non psikolog
sehingga dapat memudahkan pihak sekolah dalam membuat kurikulum
sekolah dan ekstrakurikuler yang berbasis pengembangan empati guru dan
peserta didik
b. Secara teoritis
Manfaat dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasiinformasi terkait dengan kesesuaian konstruk dari keempat aspek empati
(perspective taking, fantasy, empathic concern, dan personal distress)
terhadap kondisi remaja.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian telah mencoba untuk membuat alat ukur empati yang
dilihat dari sisi Personality, Social Self-Confidence, Even Temperedness,
Sensitivity, dan Nonconformity (Johnson, Cheek, & Smither, 1983). Terdapat
pula penelitian dari Zoll (in Press) yang menggabungkan beberapa skala
pengukuran empati dari Bryant’s Index of Empathy Measurement, Leibetseder’s
E-Skala, Garton & Gringart’s IRI version, dan Eisenberg’s Child-Report Sympathy
Scale, sehingga terbentuk skala pengukuran empati baru untuk anak dan remaja.
Penelitian kali ini akan mencoba menggunakan skala pengukuran Interpersonal
Reactivity Index” (IRI) dari Davis (1980) dengan subskala perspective taking,
fantasy, empathic concern, dan personal distress. Perbedaan dalam penelitian ini
ialah peneliti mencoba melakukan perakitan item dengan melakukan penulisan
item serta modifikasi terhadap beberapa item dari IRI yang dinilai tidak sesuai
dengan kondisi remaja di Indonesia saat ini. Proses modifikasi dilakukan melalui
beberapa tahap yang dimulai dari tahap menterjemahkan ke dalam bahasa
14
Indonesia melalui para ahli, keterbacaan/pra uji coba subjek, expert judgement,
setelah itu dilakukan uji coba dan dianalisis menggunakan penghitungan
psikometri untuk melihat model fit, validitas dan reliabilitas alat ukur.
Download