891 Potensi imunogenik sel utuh ... (Angela Mariana Lusiastuti) POTENSI IMUNOGENIK SEL UTUH (WHOLE CELL) Streptococcus agalactiae YANG DIINAKTIVASI DENGAN FORMALIN UNTUK PENCEGAHAN PENYAKIT Streptococosis PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Angela Mariana Lusiastuti*), Uni Purwaningsih*), dan Wartono Hadie**) *) Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Jl. Raya Sempur No. 1, Bogor E-mail: [email protected] **) Pusat Riset Perikanan Budidaya ABSTRAK Riset ini bertujuan untuk mengetahui potensi imunogenik sel utuh (whole cell) dari Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi dengan formalin untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Vaksin tersebut disuntikkan secara intra peritoneal dengan 4 tingkat kepadatan yang berbeda yaitu 108, 106, 104, dan 102 cfu/mL pada ikan nila sehat dengan bobot ± 50 g. Untuk kontrol, ikan uji disuntik dengan PBS. Setelah tiga minggu vaksinasi dilakukan uji tantang dengan menginjeksi S. agalactiae secara intra peritoneal pada ikan uji sebanyak 0,1 mL/ekor. Data sintasan (Survival Rate, SR), titer antibodi, dan differensial leukosit dilakukan analisis sidik ragam (Anova). Hasil yang diperoleh bahwa sel utuh (whole cell) S. agalactiae sifat immunogenic propertiesnya ternyata belum cukup untuk melindungi ikan uji terhadap penyakit Streptococcosis. Pada uji tantang setelah minggu keenam, limfosit perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi jika dibandingkan minggu-minggu sebelumnya limfosit mengalami peningkatan. Perlakuan dengan injeksi sel utuh S. agalactiae pada tingkat kepadatan 108, 106, 104 menimbulkan antibodi tertinggi yaitu sampai pengenceran 1:128 pada minggu ketiga. Tetapi setelah uji tantang, titer antibodinya menurun, tidak cukup untuk memberikan protektif terhadap S. agalactiae. KATA KUNCI: vaksin sel utuh, S. agalactiae, ikan nila PENDAHULUAN Infeksi Streptococcus, merupakan masalah penyakit yang akhir-akhir ini paling sering dijumpai sebagai konsekuensi intensifikasi pada budidaya perikanan, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang diperkirakan lebih dari US$ 100 juta per tahun (Shoemaker et al., 2001). Ikan nila (Oreochromis niloticus) adalah inang spesifik untuk Streptococcosis. Apalagi perkembangan budidaya ikan nila di Indonesia makin pesat ditunjang dengan pencanangan Menteri Kelautan dan Perikanan dari Kabinet Indonesia Bersatu II yang mengkatagorikan ikan nila masuk dalam unggulan produk perikanan selain rumput laut, udang windu, kerapu, dan catfish. Berbagai macam jenis ikan nila telah dihasilkan oleh balai riset dengan berbagai keunggulan. Ikan nila gesit yaitu ikan nila jantan super YY dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar di Sukabumi merupakan hasil inovasi teknologi perbaikan genetik yang mampu menghasilkan turunan 98% sampai 100% berkelamin jantan yang pertumbuhannya lebih cepat dari betinanya. Ikan nila Nirwana (ikan nila ras Wanayasa) dari Balai Pengembangan Benih Ikan Wanayasa di Purwakarta yang bobot badannya lebih tinggi 45% dibanding populasi awal (Pikiran Rakyat, 2007). Ikan nila BEST dari Balai Riset Budidaya Air Tawar di Bogor yang mempunyai survival rate 90% dan laju pertumbuhannya lebih cepat daripada ikan nila gesit dan nila nirwana (Majalah Trubus, 2009). Keunggulan tersebut dapat tetap dipertahankan jika dapat menanggulangi berbagai penyakit infeksius yang mengancam kesehatan ikan nila. Suhu air dianggap sebagai faktor predisposisi terhadap munculnya penyakit Streptococcosis. Terjadinya wabah biasanya pada suhu di atas 15°C dan disebut juga warm water Streptococcosis, dengan tingkat kematian antara 30%–50% (Eldar et al., 1995). Gejala klinis yang sangat signifikan dari infeksi Streptococosis pada ikan adalah septikemia dan meningoencephalitis (Eldar et al., 1995) yang juga sama seperti pada penyakit bakterial lain yang disebabkan oleh Streptococcus parauberis, Streptococcus difficilis atau Lactococcus garvieae (Eldar & Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 892 Ghittino, 1999). Infeksi Streptococcus agalactiae lebih bersifat akut yang menyebabkan kematian 100% ikan nila dalam waktu kurang lebih satu minggu dalam uji coba penelitian yang sedang berlangsung (Lusiastuti et al., 2009). Selama ini kasus Streptococcosis ditanggulangi dengan menggunakan antibiotika, tetapi banyak jenis antibiotika potensial untuk pengobatan penyakit bakterial pada ikan telah dilarang pemakaiannya karena membahayakan konsumen dan lingkungan. Maka cara lain yang ditempuh untuk pengendalian Streptococcosis adalah pencegahan dengan menggunakan vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan pengobatan menggunakan bakteriofaga (in progess, sudah dalam tahap aplikasi secara in vivo di BRPBAT). Vaksin bakteri merupakan suspensi steril dari bakteri hidup atau dilemahkan dalam larutan garam fisiologis yang mampu menginduksi imunitas aktif. Vaksin dapat berupa mikroorganisme yang sudah mati, inaktif, atau masih hidup yang dilumpuhkan virulensinya tanpa merusak potensi antigennya. Vaksin bertujuan untuk menimbulkan kekebalan aktif dan khas terhadap infeksi mikroorganisme (Black, 2000). Vaksin bakteri yang dimatikan merupakan jenis vaksin yang banyak digunakan dewasa ini untuk merangsang imunitas inang (Volk & Wheeler, 1990). Terdapat beberapa metode inaktivasi bakteri dalam pembuatan vaksin, di antaranya adalah dengan penambahan kloroform, fenol, sodium hidroksida, perusakan dengan SDS, sonikasi, pemanasan, dan penambahan formalin. Menurut Austin & Austin (1987), penggunaan formalin dalam pembuatan vaksin lebih menguntungkan secara komersial dibandingkan zat kimia lain seperti kloroform, fenol, dan sodium hidroksida berdasarkan hasil penggunaannya dalam menginaktivasi A. hydrophila, E. ictaluri, P. piscicida, Ps. anguiliseptica, V. anguilarum, dan V. ordalii. Formalin membunuh dengan cara mendehidrasi sel bakteri dan mengganti cairan dalam sel dengan komponen yang menyerupai gel. Penambahan formalin menyebabkan protoplasma menjadi kehilangan kelembaban sehingga sel pecah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah diperolehnya kandidat vaksin Streptococcus spp. dengan inaktivasi menggunakan formalin untuk pencegahan penyakit Streptococcosis. Secara spesifik, riset ini bertujuan: untuk mengetahui potensi imunogenik sel utuh (whole cell) dari Streptococcus agalactiae yang diinaktivasi dengan formalin untuk pencegahan penyakit Streptococcosis pada ikan nila (Oreochromis niloticus). Sasaran dari riset ini adalah diperolehnya metode tahapan pembuatan vaksin Streptococcosis melalui inaktivasi sel utuh (whole cell) menggunakan formalin. Vaksin adalah bibit penyakit yang telah dilemahkan atau dimatikan. Vaksin dibuat dari antigen yang berasal dari organisme patogen yang dilemahkan sampai tidak bersifat patogen. Vaksin tersebut akan merangsang sistem kekebalan tubuh sehingga akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit yang disebabkan oleh infeksi organisme pathogen (Ellis, 1988). Vaksin sel utuh (whole cell) merupakan vaksin yang mengandung dinding sel, membran sel dan unsur-unsur sitoplasma yang mengandung campuran kompleks enzim dan nucleoprotein (Tizard, 1987). Vaksin sel utuh juga mengandung flagel (Anderson, 1974). Vaksin lengkap (komplit) selain bahan-bahan tersebut di atas juga mengandung produk luaran sel dari bakteri. Vaksin supernatan hanya mengandung produk luaran sel dari bakteri (Munro, 1982). Ada dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (dilemahkan) dan vaksin mati (dimatikan). Biasanya vaksin yang dilemahkan lebih mampu merangsang kekebalan berperantara sel daripada vaksin yang dimatikan. Untuk menghindari kematian organisme dalam vaksin yang dilemahkan diperlukan perhatian khusus dalam pembuatan, penyimpanan, dan penanganan (Tizard, 1987). Lebih lanjut Ellis (1988) menerangkan bahwa vaksin hidup berupa patogen yang dilemahkan adalah dengan cara mengurangi toksisitasnya. Anderson (1974) dan Ellis (1982) menjelaskan berbagai macam cara pemberian vaksin pada ikan bahwa metode terbaik adalah dengan cara injeksi. Cara injeksi dapat menginduksi antibodi ikan secara optimal, menimbulkan respons antibodi yang lebih cepat dan memberikan perlindungan yang lebih lama. Injeksi dapat dilakukan di bawah kulit (subkutan), intraperitoneal maupun intramuskular. 893 Potensi imunogenik sel utuh ... (Angela Mariana Lusiastuti) Menurut Tizard (1988), antibodi yang jumlah dan konsentrasinya lebih banyak dalam serum darah merupakan penangkal serangan agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh. Terbentuknya antibodi spesifik dimulai dari masuknya antigen yaitu S. agalactiae ke dalam tubuh ikan dan difagositosis oleh makrofag. Makrofag akan memberi rangsangan ke sel limfosit untuk memproduksi antibodi sesuai jenis antigen yang masuk. Pembentukan antibodi tersebut dipengaruhi oleh faKtor antara lain, suhu, dosis vaksin, cara pemberian vaksin, umur, dan bobot badan ikan serta sifat antigen (Tizard, 1988; Ellis, 1988). Supriyadi & Taufik (1983) menyatakan bahwa suhu 25°C sampai 26°C merupakan suhu yang baik untuk produksi antibodi pada ikan air tawar. Menurut Lamers & Muinskel (1986) terdapat hubungan langsung antara jumlah antigen dan besarnya respons yang dihasilkan. Pemberian antigen dengan cara yang berbeda akan mempengaruhi hasil kekebalan. Vaksinasi pada ikan dianjurkan sewaktu ikan masih muda dengan bobot lebih dari satu gram (Supriyadi, 1985). BAHAN DAN METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan di laboratorium Patologi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor dari bulan Juli sampai Desember 2009. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila Best dari BRPBAT dengan bobot rata-rata 50 g. Ikan-ikan tersebut terlebih dahulu diaklimatisasi pada wadah percobaan selama 1 sampai 2 minggu. Bakteri uji S. agalactiae yang digunakan adalah koleksi BRPBAT. Tahap awal penelitian dimulai dengan penyediaan kultur murni bakteri Streptococcus agalactiae. yang disubkultur pada medium BHIA miring. Kemudian dilakukan pengujian tingkat patogenisitas dengan menyuntikkan satu ose biakan bakteri Streptococcus agalactiae. yang telah disubkultur pada dua ekor ikan dengan volume injeksi 0,1 mL secara intramuskuler (Schaperclaus, 1992). Setelah 48 jam, bakteri diisolasi dari organ bagian dalam (ginjal, otak, dan mata) dari ikan-ikan tersebut dan direidentifikasi untuk meyakinkan bahwa isolat tersebut adalah benar Streptococcus agalactiae. Vaksin dibuat dengan membiakkan bakteri Streptococcus agalactiae. yang sudah direidentifikasi pada BHIA dan dipanen serta disuspensikan ke dalam NaCl 0,85% hingga kepadatannya mencapai 4 tingkat kepadatan yang berbeda yaitu 10 8, 10 6, 10 4, dan 10 2 dengan melakukan pengukuran absorbansi dan plating. Selanjutnya masing-masing larutan diinaktivasi dengan penambahan formalin konsentrasi 0,3%. Pembuktian vaksin yang sudah dalam keadaan inaktif dilakukan uji viabilitas dengan membiakkan sel bakteri yang telah diinaktivasi pada BHIA dan diinkubasi selama 24–48 jam pada suhu 28°C. Jika tidak ada pertumbuhan dalam medium BHIA maka sel bakteri sudah inaktif. Vaksin yang dibuat dengan inaktivasi dengan formalin tersebut diinjeksikan secara intra peritoneal pada ikan nila sehat dengan bobot 50 g. Sebagai kontrol, ikan uji diinjeksi dengan PBS. Serum ikan diambil untuk dilakukan pengukuran antibodi berdasarkan metode Anderson (1974) yaitu aglutinasi langsung dengan menggunakan mikroplate. Pengukuran titer antibodi dan differential leukosit dilakukan mulai minggu pertama setelah vaksinasi dan satu minggu setelah uji tantang. Setelah dua minggu vaksinasi dilakukan uji tantang dengan menginjeksi S. agalactiae secara intra peritoneal ikan uji sebanyak 0,1 mL/ekor. Ketahanan ikan uji terhadap bakteri Streptococcus agalactiae diamati dari kematian atau adanya gejala klinis yang timbul (Ferdiyanto, 1993). Data sintasan (Survival rate, SR) dan differensial leukosit dilakukan analisis sidik ragam (Anova) digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang dicobakan sedangkan titer antibodi diolah secara deskriptif. HASIL DAN BAHASAN Tingkat Virulensi S. agalactiae Penentuan tingkat virulensi S. agalactiae dengan metode in vivo melalui injeksi terhadap ikan nila, diperoleh data bahwa tingkat virulensi S. agalactiae lebih tinggi dari S. iniae seperti disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 nampak bahwa S. agalactiae menunjukkan mortalitas 60% pada Postulat Koch I demikian juga pada Postulat Koch kedua mortalitasnya mencapai 80%. Sedangkan pada S. iniae, setelah Postulat Koch ketiga baru menunjukkan adanya mortalitas sebesar 40%. Dari hasil Tabel 1 894 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 dan ditegaskan dengan hasil gejala klinis pada Tabel 2, nampak terlihat bahwa S. agalactiae lebih virulen secara klinis dibandingkan S. iniae. Tabel 1. Mortalitas yang dihasilkan selama waktu satu minggu dari serial Postulat Koch yang diinjeksi dengan S. iniae dan S. agalactiae Mortalitas (%) Jenis isolat Postulat Koch (penyuntikan ke-) S. iniae S. agalactiae I (1) II (2) III (3) 0 60 0 80 40* 60 Keterangan: *) kematian tercapai setelah lebih dari 2 minggu Perbandingan gejala klinis akibat infeksi S. iniae dan S. agalactiae Tabel 2. Gejala klinis Hari ke1 2 S. iniae S. agalactiae Tampak normal, gerakan lincah, warna tubuh cerah, respons pakan bagus Tampak normal Mata berwarna putih, warna tubuh normal, tubuh utuh, gerakan lamban Sirip punggung berdiri, kornea mata bagian atas merah, gerakan lamban, respons pakan kurang Ikan mati 1 ekor, ikan yang hidup tidak ada nafsu makan, keseimbangan menurun/whirling , warna tubuh gelap, mulut dan dagu bagian bawah menghitam Satu ekor mati lagi Satu ekor mati lagi Tinggal dua ekor dalam keadaan sakit - 3 Tampak normal, ada refleks jika akuarium diraba, nafsu makan tinggi 4 5 6 Tampak normal Tampak normal Tampak normal Lebih dari 2 minggu Ikan mati Sintasan ikan nila sebelum dan sesudah diinfeksi S. agalactiae Setelah vaksinasi baik ikan kontrol maupun ikan uji, sintasan ikan nila (survival rate) berkisar antara 85% sampai 90%. Hal ini baik dan normal, andaikan ada kematian sekitar 10% sampai 15% adalah wajar saja, kemungkinan karena stres pada waktu selesai injeksi. Menurut Evans et al. (2004), selain stresor, faktor lain yang mempengaruhi sistem kekebalan adalah faktor lingkungan, nutrien, mikro-nutrien, dan immunomodulator seperti penggunaan ajuvan. Injeksi vaksin S. agalactiae tidak menggunakan ajuvan sedangkan mikro-nutrien, nutrien dan faktor lingkungan biasanya berjalan kronis, sehingga jika terjadi kematian akan memerlukan waktu yang lebih lama dibanding faktor stres. Faktor stres akibat injeksi merupakan satu-satunya faktor yang relevan untuk kematian ikan uji. Tetapi setelah dilakukan uji tantang untuk mengetahui apakah vaksin S. agalactiae memberikan level protektif ternyata terjadi kematian dalam waktu kurang dari satu minggu sehingga survival ratenya rendah sekali yaitu berkisar antara 18% hingga 24% saja walaupun masih termasuk lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol. Hasil statistik menunjukkan bahwa bahwa F hit (1,14) > dari F tabel (0,31) sehingga survival rate antara ikan uji dan ikan kontrol berbeda nyata. Survival rate ikan 895 Potensi imunogenik sel utuh ... (Angela Mariana Lusiastuti) kontrol hanya sekitar 6%. Hal ini menunjukkan bahwa sel utuh (whole cell) S. agalactiae sifat immunogenic properties-nya belum cukup untuk melindungi ikan uji terhadap penyakit Streptococcosis. Hal ini juga diperkuat dengan data bahwa antar perlakuan yaitu injeksi vaksin S. agalactiae 108, 106, 104, dan 102 tidak ada perbedaan, sehingga hal ini membuktikan bahwa vaksin sel utuh tidak memberikan proteksi dengan tingkat kepadatan bakteri yang berbeda. Data untuk sintasan ikan disajikan dalam Tabel 3. Selain itu, pada Gambar 1 disajikan uji viabilitas dan vaksin sel utuh S. agalactiae yang diinaktivasi menggunakan formalin. Tabel 3. Data sintasan ikan nila pada periode setelah vaksinasi dan setelah dilakukan uji tantang Perlakuan vaksinasi 108 106 104 102 Kontrol Periode persentasi rataan Vaksinasi Uji tantang 88,89±7,70a 90,00±3,33a 81,11±5,09b 86,67±8,82a 90,00±5,77a 13,33±6.67a 13,33±0,00a 11,11±7,7a 13,33±11,54a 6,67±6,67b Gambar 1. Uji viabilitas vaksin S. agalactiae (kiri); sediaan vaksin sel utuh S. agalactiae yang diinaktivasi dengan menggunakan formalin Penghitungan Differensial Leukosit Ellis (1988) menyatakan bahwa respons imun pada ikan terdiri atas respons seluler dan respons humoral. Respons humoral merupakan respons spesifik sedangkan respons seluler bersifat non spesifik. Respons pertahanan seluler ikan meliputi pertahanan mekanik dan kimiawi (mukus, kulit, sisik, dan insang) dan pertahanan seluler yang meliputi sel makrofag dan leukosit yaitu monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Menurut Tizard (1988), indikator respons imun non spesifik ikan nila dapat dilihat dari aktivitas neutrofil. Neutrofil mempunyai fungsi utama yaitu menghancurkan antigen asing melalui proses fagositosis. Baratawidjaya (2006) menyatakan, bahwa neutrofil menunjukkan aktivitas fagositik dan sitotoksik, bermigrasi ke tempat inflamasi dan infeksi karena pengaruh faktor kemotaktik. Neutrofil mempunyai kemampuan melakukan penempelan pada permukaan sel dan dapat bergerak aktif sehingga dalam waktu singkat dapat berkumpul dalam jumlah banyak di tempat jaringan yang rusak. Produk mikroba, produk sel yang rusak dan produk protein plasma dapat mengakibatkan efek kemotaksis pada neutrofil. Neutrofil merupakan garis pertahanan pertama bila ada kerusakan jaringan atau ada antigen asing yang masuk (Guyton, 1997). 896 Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Monosit disebut juga makrofag merupakan sel dengan satu atau banyak inti dan mempunyai kemampuan untuk menelan partikel ukuran 1 sampai 10 μm melalui reseptor spesifik. Limfosit terdiri atas sel limfosit B dan sel limfosit T. Keduanya berperan untuk pertahanan imun spesifik dengan pembentukan antibodi dan memori (Tizard, 1988). Tabel 4 menyajikan hasil pengamatan differensial leukosit yang terdiri limfosit, monosit, dan neutrofil sedangkan Gambar 4 memeplihatkan whole blood cell selama vaksinasi dan uji tantang. Terlihat pada Tabel 4 bahwa antara perlakuan injeksi vaksin IP sebelum dan sesudah vaksinasi terdapat perbedaan, setelah vaksinasi terdapat elevasi jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil, setelah dilakukan uji tantang terlihat jumlah ketiganya tidak mengalami peningkatan yang berarti. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga sel melakukan fungsinya dengan baik tetapi tidak maksimal akibat masuknya antigen asing ke dalam tubuh ikan, baik dalam bentuk vaksin maupun antigen S. agalactiae pada waktu uji tantang. Tabel 4. Hasil differensial leukosit selama vaksinasi dan uji tantang Whole Blood Cell Sampling Persentase rataan Limfosit Sebelum vaksinasi (masa aklimatisasi) 72±0,00 108 6 85±0,00 10 4 79±0,00 10 2 51±0,00 10 Kontrol 78±0,00 Monosit Neutrofil 1±0,00 1±0,00 2±0,00 4±0,00 3±0,00 27±0,00 14±0,00 19±0,00 45±0,00 19±0,00 Minggu ke I setelah vaksinasi (masa induksi kekebalan) 57±2,83 3,5±0,71 108 6 65,5±6,36 5±0,00 10 4 79±0,00 4±0,00 10 2 80±1,41 1±0,00 10 Kontrol 65±0,00 4±0,00 39,5±2,12 29,5±6,36 17±0,00 19±1,41 31±0,00 Minggu ke II setelah vaksinasi (masa induksi kekebalan) 80,5±0,71 2,5±0,00 108 6 69,5±4,95 3±1,41 10 4 72,5±0,71 3±2,83 10 2 80±1,41 3±0,00 10 Kontrol 73,5±3,54 1,5±0,71 17±1,41 27,5±3,54 24,5±2,12 17±1,41 25±2,83 Minggu ke III setelah vaksinasi (masa induksi kekebalan) 60,5±9,19 2±1,41 108 6 67,5±3,54 3±0,00 10 4 68±0,00 2±0,00 10 2 66,5±9,19 2±0,00 10 Kontrol 68,5±0,71 2,5±2,12 37,5±7,78 29,53±3,54 30±0,00 31,5±9,19 29±1,41 Minggu ke VI masa setelah Uji Tantang 73±0,00 4±0,00 108 6 69,5±0,71 8,5±4,95 10 60±0,00 2±0,00 104 2 59±0,00 1±0,00 10 Kontrol 53±4,53 2,95±3,89 23±0,00 17±1,13 38±0,00 45±0,00 23±0,00 897 Potensi imunogenik sel utuh ... (Angela Mariana Lusiastuti) Gambar 2. Gambaran Whole Blood Cell selama vaksinasi dan uji tantang Secara detail adalah sebagai berikut, pada minggu pertama setelah vaksinasi baik limfosit, monosit, dan neutrofil pada perlakuan tampak berbeda nyata dengan kontrol. Terjadi peningkatan dari ketiga jenis sel pada perlakuan, hal ini baik, karena ada respons dari tubuh terhadap vaksin yang masuk. Terutama limfosit pada perlakuan vaksin 104 dan 102 tampak tinggi menunjukkan adanya respons terhadap pembentukan antibodi dan produksi sel memori. Pada minggu kedua setelah vaksinasi, limfosit perlakuan masih meningkat berbeda nyata dengan kontrol, perlakuan vaksin 102 masih konsisten terbaik. Tetapi monosit tidak berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol, sedangkan neutrofil berbeda nyata terutama perlakuan vaksinasi 106 dan 104 mengalami peningkatan. Pada minggu ketiga, limfosit dan monosit tidak berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol, dan jika dibandingkan dengan minggu kedua jumlahnya juga tidak berubah atau tetap. Tetapi neutrofil tampak meningkat pada perlakuan vaksinasi 108 dan berbeda nyata dengan kontrol. Kemudian dilakukan uji tantang setelah minggu keenam, limfosit perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi jika dibandingkan minggu-minggu sebelumnya limfosit mengalami peningkatan. Hal ini selaras yang diperoleh dari data survival rate, bahwa ada daya protektif vaksin tetapi sangat rendah atau sangat lemah. Pembentukan Antibodi Pengukuran antibodi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat semi kuantitatif. Pengukuran antibodi dilakukan pada waktu sebelum vaksinasi dan pada minggu pertama sampai keempat setelah vaksinasi. Hasil disajikan pengukuran pada Tabel 5. Perlakuan dengan injeksi sel utuh S. agalactiae pada tingkat kepadatan 108, 106, 104 menimbulkan antibodi tertinggi yaitu sampai pengenceran 1:128 pada minggu ketiga. Rata-rata injeksi sel utuh 108 dan 104 pembentukan antibodinya lebih Gambar 3. Aglutinasi antara serum dan antigen S. agalactiae 1:01 1:02 1:04 1:08 1:16 1:32 1:64 1:1128 1:256 1:512 1:1.024 1:2.048 + + + Pengenceran SV 6 4 2 + + + + + + + + + + + + + + + + + 10 10 10 10 8 + + Kontrol Minggu ke-I 8 + + + + + + + + + 6 + + + + + 4 + + + + 2 10 10 10 10 + + + Kontrol Minggu ke-II Tabel 5. Titer antibodi ikan nila sebelum dan sesudah vaksinasi 8 + + + + + + + + + + + + + + + + 6 + + + + + + + + 4 + + + + + + 2 10 10 10 10 + + + + Kontrol Minggu ke-III + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + 8 6 4 2 10 10 10 10 Kontrol Minggu ke-VI setelah uji tantang Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 898 899 Potensi imunogenik sel utuh ... (Angela Mariana Lusiastuti) unggul dibanding yang lain. Tetapi setelah uji tantang, titer antibodi perlakuan menurun, sehingga tidak cukup level protektifnya untuk melindungi terhadap infeksi S. agalactiae. Evans et al. (2004) melakukan preparasi vaksin S. agalactiae dengan memisahkan antara sel pelet dan cairan kultur, kemudian pelet dipadatkan dalam kolom millipore proflux dan dicampur kembali dengan cairan awal yang ternyata dapat memberikan level proteksi yang lebih baik. Kombinasi whole cell dengan broth atau supernatannya dengan dikonsentrasikan atau dipadatkan terlebih dahulu mungkin dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya untuk memberikan proteksi yang lebih baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Streptococcus agalactiae lebih virulen dari pada S. iniae. Sel utuh yang diinaktivasi dengan formalin dapat menimbulkan kekebalan tetapi belum cukup untuk memberikan level protektif setelah dilakukan uji tantang. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap vaksin S. agalactiae yang berasal dari broth ataupun supernatan untuk mengetahui immunogenic properties yang potensial dan dapat memberikan level protektif yang tinggi. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya diberikan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atas dana penelitian hibah untuk peneliti dan perekayasa. Terima kasih juga diberikan kepada Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kepala Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan koordinator penelitian Diknas di BRPBAT. DAFTAR ACUAN Anderson, D.P. 1974. Fish Immunology. TFH Publication Inc. Ltd. Hongkong, 239 pp. Austin, B. & Austin, D.A. 1987. Bacterial Fish Pathogens: Disease in Farmed and Wil Fish. Ellis Horwood, U.K. Baratawidjaya, K.G. 2006. Imunologi Dasar. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Gaya Baru Jakarta. Black, G.J. 2000. Microbiology: Principles and Explorations. Prentice Hall, New Jersey. Eldar, A., Frelier, P., & Assenta, L.. 1995. Streptococcus shiloi, The Name for an Agent Causing Septichemic Infection in Fish is a Junior Synonym of Streptococcus iniae. Int. J. Syst. Bacteriol, 45: 840–842. Eldar, A. & Ghittino, C. 1999. Lactococcus garvieae and Streptococcus iniae Infections in Rainbow Trout, Oncorhyncus mykiss: Vet. Immunol. Immunopathol, 56: 175–83. Ellis, A.E. 1988. General Principle of Fish Vaccination. Academic Press, London. Evans, J.J., Philip, H.K., & Craig, A.S. 2004. Efficiency of Streptococcus agalactiae (Group B) Vaccine In Tilapia (Oreochromis niloticus) By Intraperitoneal and Bath Immersion Administration. Vaccine, 22: 3,769-3,773. Ferdiyanto. 1993. Pemakaian Vaksin A. Hydrophila pada Benih Ikan Lele Dumbo. UNJ, Jakarta. Guyton, A.C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 9th, Jakarta. Lamers, C.H.J. & Van Muiswinkel, W.B. 1986. Natural Acquired Aglutinin to A. hydrophila in Carp (Cyprinus carpio). Canadian J. Fish Aquat. Sci., p. 619-624. Lusiastuti, A.M., Soraya, S.D., & Wahyudi, A. 2009. Tingkat Resistensi Antibiotika dan Virulensi Klinis Streptococcus iniae dan Streptococcus agalactiae Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Prosiding Semnaskan UGM Jogjakarta 2009 (in press). Munro, A.L.S. 1982. Pathogens of Bacterials Diseases of Fishes in R.J. Roberts, Microbial Diseases of Fish. Academic Press, London. Schaperclaus, W. 1992. Infectious Abdominal Dropsy in Fish Diseases. Vol. 1, Akademie-Verlag, Berlin. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 900 Shoemaker, C.A., Klesius, P.H., & Evans, J.J. 2001. Prevalence of Streptococcus iniae in Tilapia, Hybrid Striped Bass, and Channel Catfish on Commercial Fish Farms in The United States. Am. J. Vet. Res., 62: 174–177. Supriyadi, H. 1985. Vaksinasi Untuk Mencegah Penyakit Bakterial Pada Ikan. Bull. Warta Mina, Jakarta, 9: 34. Supriyadi, H. & Taufik, P. 1983. Penelitian Pendahuluan Imunisasi Ikan Dengan Cara Vaksinasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bull. Pen. Perikanan Darat, 1(4): 34–36. Tizard, I.R. 1988. Pengantar Immunologi Veteriner. Partodiredjo, M. penerjemah; Hardjosworo, S. editor. Penerbit Universitas Airlangga Surabaya; 1987. Terjemahan dari An Introduction to Veterinary Immunology, 497 hlm. Volk, W.A. & Wheeler, M.F.. 1990. Mikrobiologi Dasar. Penerbit Erlangga Jakarta.