3 bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Musik indie lekat dengan tradisi Do it yourself yang merupakan subkultur tipikal anak
muda. Mereka bekerja dengan mekanisme mandiri dengan segala potensi kreatif di bawah
kesadaran kontekstual, di luar bentuk-bentuk penanganan musik yang dilakukan oleh
industri arus utama. Intensitasnya semakin dinamis di era informasi di mana batas-batas
sosial ruang dan waktu berangsur-angsur semakin blur. Luvaas dalam Dislocating Sound (
2009 ) menuliskan bahwa sub-kultur Do it Yourself merupakan bentuk-bentuk cair yang
bahkan menimbulkan irisan-irisan kultural di antara etnisitas bangsa dan modernitas tanpa
motif untuk mengangkat narasi lokal ke ranah global.
Pramudito ( 2010 ) dalam tesisnya tentang budaya bebas dalam distribusi musik
swadaya menelusuri peredaran musik di internet yang menunjukkan peningkatan pesat dari
tahun 2008 sampai 2010 baik dalam kacamata produksi maupun konsumsi musik.
Peningkatan ini disebabkan oleh peredaran informasi dan pengetahuan yang berubah bentuk
menjadi semakin terbuka hingga memperkuat power ranah indie untuk mengalirkan
ideology mandiri. Media alternatif banyak bermunculan sebagai dampak langsung dari
perubahan tersebut dan membuka peluang besar bagi musisi di ranah Indie untuk terus
berkarya dengan instrument sub-kultur Do it yourself.
Terma indie sendiri muncul sebagai bentuk kebudayaan global dalam konteks
perlawanan dominasi industri musik yang terjadi di Eropa (Naldo, 2012). Ia harus mewujud
dalam bentuk yang sederhana, tidak selektif, mengandung militanisme serta harus mampu
3
mendemonstrasikan perlawanan pada kemewahan dan gemerlap musik kontemporer yang
komersil (Hesmondhalgh 1999; Bannister 2006 dalam Luvas, 2013).
Semangat musik indie mengandung seperangkat kemandirian dan kebersamaan
sebagai salah satu motif praktik yang berkelindan di antara kehidupan pemuda. Ketika
konteks neo-liberalisme mensyaratkan nuansa kompetisi sebagai jalan untuk memasuki
arena pekerjaan professional (Sean, 2011), maka indie menawarkan jalan alternatif
meskipun dalam praktik dan produksinya, para musisi menjalankan infrastruktur ekonomi di
dalam ranah indie dengan logika kapitalisme (Luvas, 2009; Sean, 2011). Meskipun
demikian, hal menarik yang patut disoroti adalah bahwa indie berurusan dengan musik,
sebuah produk budaya yang kerap melibatkan irrasionalitas (Andjani, 2014), terlebih di
kalangan pemuda yang sedang mengalami proses menjadi. Musik indie, di beberapa bentukbentuk radikal, bahkan lebih mulia daripada sekedar media untuk mencari uang.
Ketegangan yang kemudian muncul adalah bahwa musisi muda yang bergerak di
ranah indie berada di antara proyeksi masa depan dan kesuksesan masa kini. Musik indie
dan underground memang memiliki infrastruktur ekonomi yang strategis namun tidak
cukup kuat (Anderson, 2010). Kondisi tersebut mempengaruhi proyeksi masa depan yang
dibayangkan para musisi muda dalam konteks neoliberalisme, entah sebagai terma ekonomi
maupun sebuah era. Di lain sisi, pemuda memiliki tendensi untuk menjadi dan terlihat
sukses di antara peer group (Naafs & White, 2012).
Kerentanan untuk masuk ke dunia kerja pun sangat kental di arena musik indie.
Proses transisi yang dialami pemuda tentu saja berbicara tentang sebuah garis yang
melintang di antara pendidikan dan dunia kerja. Musik indie, seperti yang sudah
disampaikan di atas memiliki infrastruktur ekonomi yang strategis namun tidak cukup kuat.
4
Jaminan masa depan tentang keamanan finansial dan kemapanan membangun sebuah
keluarga (Nilan, 2008) menuntut perjuangan yang lebih keras ketika para musisi muda
berkeputusan untuk menggunakan musik indie sebagai jalan menuju masa depan.
Konteks musik kontemporer memperlihatkan kecenderungan sebuah perkembangan
bahwa musik indie perlahan menjadi budaya populer. Namun ini bukanlah jaminan yang
patut dipegang sebagai sebuah patokan untuk mencapai hidup yang “aman.” Perjalanan
musik indie dari generasi ke generasi tidak hanya persoalan bagaimana mengedarkan dan
menjual musik. Di dalamnya terselip sebuah nilai untuk memperjuangkan ideologi tentang
kemandirian dalam kebersamaan.
Para musisi muda mengalami keadaan ambivalen. Eksternalisasi nilai-nilai
kontekstual tentang kompetisi dunia kerja dan wacana hidup linear di dalam keluarga
menuntut negosiasi sana-sini ketika mereka benar-benar masuk ke dalam ranah musik indie.
Di lain sisi, internalisasi yang berlangsung di skena musik indie mengandung pertentangan
antara perjuangan ideologi atau menghidupi diri. Dua pertentangan di luar dan di dalam
ranah musik indie membuat musisi muda mengalami proses yang menarik untuk dibaca
sebagai sebuah usaha memperjuangkan identitas diri yang belum lagi pasti.
Studi ini akan mencoba melihat dimensi “menjadi” yang dialami oleh teman-teman
musisi muda di ranah indie dalam sebuah rentang generasi. Ketegangan zaman dan
kerentanan masa depan diulas sebagai sebuah konteks yang melahirkan habitus di arena
musik indie. Rentetan sejarah panjang
yang memilah unit-unit generasi juga
dipertimbangkan sebagai sebuah tahapan perubahan yang membentuk masa kini dan
memproyeksikan masa depan musisi muda yang berjuang di ranah indie untuk tetap
menikmati masa muda dan bernegosiasi dengan masa depan.
5
2. Rumusan Masalah
2.1. Bagaimana konteks sosial munculnya musik indie di Yogyakarta?
2.2. Bagaimana strategi berkarya musisi muda dalam ranah indie?
2.3. Bagaimana praktik dan relasi antara musisi muda dengan ranah cultural musik indie
Yogyakarta?
3. Tujuan Penelitian
3.1 Mendapatkan gambaran relasi musisi muda dengan konteks ranah kultural musik
indie di Yogyakarta
3.2 Memperoleh Gambaran strategi berkarya musisi muda Yogyakarta dalam ranah
indie dalam berkarya
3.3 Mengetahui orientasi musisi muda Yogyakarta memilih ranah indie sebagai jalur
berkarya
4. Kerangka Pemikiran
4.1 Perspektif Generasi
Ide tentang studi pemuda dalam wacana perubahan sosial banyak diinspirasi oleh
Karl Mannheim melalui essay klasiknya yang berjudul The Problem of Generation
ditulis tahun 1928 (Naafs & White, 2012). Mannheim melihat sebuah generasi melalui
tiga fakta-fakta dalam sebuah rentang perubahan sosial. Pertama adalah persoalan
demografis yang memperlihatkan dinamika biologis yang mempengaruhi formasi
6
masyarakat (Mannheim, 1952). Fakta ini signifikan dengan wacana bonus demografi
yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2020. Bonus demografi yang berarti
melimpahnya jumlah penduduk produktif usia angkatan kerja (15-64 tahun) akan
melanda Indonesia pada tahun 2020 di mana sekitar 60% penduduk produktif akan
mencapai angka 160-180 juta jiwa (Konadi & Iba, 2011).
Tentu saja, prediksi tersebut perlu disikapi dengan melibatkan seluruh kategori
masyarakat. Namun, sikap ini dipengaruhi oleh diskursus pemuda yang berlaku dan
berlangsung dalam suatu konteks sosio-historis. Hal ini berkait dengan fakta kedua yang
ditawarkan Mannheim (1952) dalam melihat persoalan generasi. Dimensi relational
memperlihatkan bahwa pemuda tidak hanya persoalan relasi antara pemuda dan orang
dewasa (Alanen, 2001 dalam Naafs & White, 2012). Pemuda memiliki ruang aktualisasi
diri dalam sebuah rentang generasi di mana di dalamnya definisi tentang pemuda disusun
oleh seperangkat diskursus yang dipengaruhi oleh perubahan sosial dan ekonomi.
Fakta ketiga, dan yang paling penting dari generasi adalah bahwa pemuda berbagi
pengalaman historis yang sama. Hal ini mengandung pengertian bahwa pemuda
menggenggam dan mempraktikkan pengetahuan dan sejarah yang sama. Kondisi ini
dalam studi generasi disebut sebagai unit generasional yang membedakan satu generasi
dengan yang lain. Namun, bukan berarti bahwa setiap konteks sejarah yang sama
menggerakkan pemuda dalam tindakan particular yang serupa. Dalam sebuah generasi
terdapat concrete group yang bekerja sebagai ruang disposisi mental dan spiritual yang
dilalui oleh pemuda.
Concrete group oleh Mannheim juga didefinisikan sebagai sebuah lokasi, tempat
di mana individu menggenggam struktur ekonomi dan power di dalam masyarakat.
7
Ruang ini tidak menawarkan keanggotaan yang pasti (fixed) melainkan teridentifikasi
melalui praktik dan tindakan yang diambil oleh individu, yang dalam kajian identitas
akan berpengaruh pada eksistensi individu (Mannheim, 1952). Di mana eksistensi
menjadi sangat penting dalam logika ranah, sebab kehadiran dihitung sebagai sebuah
usaha untuk mengakumulasi modal sosial, meskipun individu dapat pergi begitu saja
ketika disposisi mental dan spiritual dalam concrete group tidak sejalan dengan orientasi
individual.
Ketiga fakta tersebut akan digunakan sebagai landasan pikir untuk melihat entitas
musik indie dari generasi ke generasi yang bergerak dalam sebuah lintasan sejarah
diskursus musik di Indonesia. Hal ini juga berkait relasi antara kontruksi pemuda yang
bergerak di setiap generasi dengan motif praktik musisi muda di dalam ranah indie.
4.2 Subkultur Pemuda
Kebudayaan adalah satu peta makna yang saling berkait satu sama lain ( Barry,
2001 ). Subkultur dalam tataran kebudayaan kemudian perlu untuk dicermati sebagai
sebuah peta tersendiri. Kata “sub” mengandung konotasi yang khas dan berbeda
dibandingkan dengan masyarakat yang dominan atau mainstream ( Barker, 2000 ).
Subkultur dalam studi pemuda kemudian disikapi sebagai sebuah ruang budaya
menyimpang untuk mengasosiasikan ulang posisi pemuda atau untuk meraih tempat bagi
dirinya ( Thornton, 1997 ). Penyimpangan dan nilai-nilai bawah tanah merupakan ekses
dari perlawanan atas budaya dominan.
Artikulasi atribut pada cara hidup pemuda dalam ranah subkultur dapat dibaca
sebagai tawaran atas makna-makna kebudayaan yang berserak. Pemuda tidak mengutip
8
serakan tersebut, melainkan menciptakannya dalam sebuah ruang yang asosiatif dengan
kebudayaan. Perwujudannya ada dalam gaya, musik, dan komunitas.
Subkultur dalam studi musik kemudian mengalami transformasi istilah menjadi
music scene atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai skena musik. Penggunaan
istilah tersebut dipopulerkan oleh kajian jurnalistik sejak tahun 1990. Di ranah akademis,
Will Straw (1991) kemudian mengadopsi istilah skena musik dalam kajian ilmiah.
Konsep skena musik berusaha untuk melihat lebih dalam keterkaitan antara produser,
musisi, dan fans dalam satu level konteks kebudayaan (Bennett & Petterson, 2004).
Skena musik memberikan sumber-sumber kebudayaan atas genre particular sebagai
sebuah ekspresi identitas kollektif atas terma underground dan alternative sebagai usaha
untuk mengidentifikasi perbedaan dengan arus utama (mainstream) (ibid).
Di Indonesia, ketika pada masa orde baru, pemuda menjadi sasaran empuk media
atas produk konsumtif. Jakarta dan Bandung menjadi kota besar di mana pemuda urban
mengaktualisasikan diri mereka ke dalam konsumerisme. Namun, di antara entitas
tersebut terdapat potongan-potongan artikulasi yang mewujud sebagai subkultur dan
membentuk skena musik yang mandiri.
Musik populer yang kala itu menjadi salah satu produk konsumerisme
mendapatkan tandingannya ketika berhadapan dengan gaya musik underground.
Komunitas musik yang demikian sama sekali lepas dari wacana pemuda yang
dilemparkan oleh negara. Musik underground memiliki ranahnya sendiri dan bahkan
melalui aktivitas enterpreunership berjejaring sesama komunitas musik underground
mereka dapat bertahan hidup tanpa harus terkait oleh tataran ekonomi modern ( White,
2012; Wallach, 2001; Luvaas 2009 )
9
Di Yogyakarta, negosiasi macam itu juga terjadi di dalam ranah indie. Namun
kemudian persoalan menjadi berbeda karena peta makna dari tiap komunitas musik
sangatlah variatif dan memiliki karakteristik tersendiri. Bahkan, di keseluruhan ranah
kultural produksi musik di Yogyakarta, negosiasi yang berlangsung sangatlah beragam.
Perlawanan terjadi memang secara radikal, namun acapkali diinisiasi di ruang
yang sangat terbuka terhadap setiap bentuk-bentuk pergerakan. Satu berafiliasi dengan
yang lain. Karakteristik yang sama sekali tidak generatif, namun cair dan menyatu.
Perlawanan melalui ritual bricolage tidak melulu terjadi di antara mereka karena
tingkat kecairan dan lentur di antara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Inilah
perbedaan konteks ruang dan waktu antara subkultur inggris yang mereproduksi
subkultur maskulin di zaman lampau ( 1970an ) dan Yogyakarta di era kontemporer
ketika konteks ranah kultural yang berbeda dari segi perjalanan historis produksi sistem
kebudayaan.
Masa muda yang demikian kemudian akan mempengaruhi jejaring dan
pemaknaan akan dunia kerja. Namun, kebutuhan untuk hidup dalam sebuah wacana besar
di tubuh modernitas dan globalisasi kiranya menjadi pertimbangan menarik untuk
memetakan pemaknaan mereka akan harapan masa depan dari kacamata ranah indie.
Sebuah ranah yang jauh dari industrialisasi, tak kenal standar dan tentu saja sangat
komunal di tengah situasi individual.
10
4.3 Ranah Produksi Kultural
Ranah atau field merupakan sebuah lokasi pertentangan, tidak hanya perkara
makna, atau perjuangan untuk melakukan transformasi modal, melainkan sebuah
perubahan yang berkepanjangan dengan orientasi reproduksi kekuasaan yang melahirkan
kompetisi dan pengembangan jatidiri (Bourdieu, 1977; 135). Ranah juga dapat
didefinisikan juga sebagai kumpulan jejaring, sebuah konfigurasi atas relasi objektif di
antara posisi aktor-aktor. Posisi ini secara objektif didefinisikan di dalam eksistensi dan
determinasi untuk mendapatkan profit (stakes) di dalam ranah (Ibid). Bourdieu (1977)
mengungungkap bahwa setiap ranah memiliki sub-ranah yang memberlakukan
seperangkat logika, aturan, dan regulasi sendiri di mana garis batas ranah bergerak
dinamis sebagai ruang pertaruhan aktor.
Bordieu mewarnai pertentangan generatif antara alam idealisme dan kenyataan
yang benar-benar terjadi. Tradisi teoretis disadari suatu waktu bergerak terpisah dengan
kenyataan yang terjadi, meskipun korelasi antara teori dan realita sosial cenderung
dialektis, namun di sisi lain teori dapat menjadi ideologi yang lalu mengendalikan
kenyataan. Keadaan ini terkadang tidak sejalan dengan yang benar-benar terjadi empiris (
Wacquant, 1985 ).
Dunia seni dan sastra mengalami perjalanan historis yang panjang. Produksi
kultural diambil oleh Bordieu dengan pendekatan historis yang sejalan dengan
perkembangan industrialisasi. Seniman, zaman kegelapan benar-benar dikendalikan
kerajaan dan terkungkung pada egoisme bangsawan dan aristokrat. Karya seni dan sastra
11
adalah pesanan raja untuk menjunjung tinggi kerajaan. Namun, konteks itu terlalu jauh
dan telah mati. Industrialisasi memberikan jalan kepada seniman untuk membangun
jaringan dan meletakkan dasar pemikiran terpisah dari negara. Produk yang kemudian
tercipta sangatlah identik dan berada dalam ambigiutas. Di satu sisi, dia benar-benar
simbolis dan di lain sisi karya merupakan sebuah komoditas (Bourdieu, 1984).
Dalam kajian Bourdieu terjadi autonomisasi dan purifikasi antara intelektual dan
artis yang korelatif dengan perbedaan kategori sosial antara professional artis atau
intelektual yang memposisikan diri lepas dari regulasi dan kesepakatan lainnya serta
sejarah pendahulunya. Kesenian adalah sebuah bentuk spesifik yang bergerak dalam
ranah yang otentik. Setiap ranah mengedarkan dan mensyaratkan modal yang berbeda
dari ranah yang lain. Ranah pendidikan dan ranah pekerjaan, misalnya, sangatlah berbeda
tata cara mengaksesnya. Hal ini berkaitan dengan pertentangan dan perebutan modal
yang beredar di dalam tiap ranah.
Bourdieu berusaha menjembatani perdebatan antara struktur dan agensi dalam
studi sosiologi. Ranah, sebagai sebuah arena untuk melihat dunia sosial bertendensi untuk
menghindari subjetivitas yang angkuh, juga logika struktur yang mengabaikan agensi
(Bourdieu, 1977; 130). Di dalam ranah terjadi relasi dialektis antara agen dan struktur
yang menyusun praktik objetif dalam ranah. Objektivitas tersebut dihasilkan dari
hubungan antar aktor juga secara dialektis. Meskipun dalam An Invitation to Reflexive
Sociology (Bourdieu and Wacquant, 1977) Bourdieu menulis bahwa tidak ada yang
menemukan objektivitas tersebut, melainkan terjadi secara dinamis, hasil dari perjalanan
sejarah. Objektivitas yang dianut dalam ranah terabstraksi dalam konsep habitus yang
oleh Bourdieu dituliskan sebagai berikut :
12
Systems of durable, transposable dispositions, structured
structures predisposed to function as structuring structures, that is, as
principles which generate and organize practices and representations
that can be objectively adapted to their outcomes without
presupposing a conscious aiming at ends or an express mastery of the
operations necessary in order to attain them. Objectively ‘regulated’
and ‘regular’ without being in any way the product of obedience to
rules, they can be collectively orchestrated without being the product
of the organizing action of a conductor. (Bourdiue, Logic of Practice,
1990 : 53)
Pergerakan dan pertarungan dalam ranah bergantung pada jumlah dan volume
dari struktur kapitalnya sendiri (Bourdieu & Wacquant, 1977). Tapi bukan hanya juga
volume dan struktur capital, melainkan evolusi atas volume and struktur dari kapitalnya
di atas lintasan sosial dan habitus yang terkonstitusi dalam relasi yang panjang (Ibid).
Dalam rentan sejarahnya atau lintasan sosial, aktor-aktor dapat meningkatkan atau
menyimpan kapitalnya, atau bisa juga melakukan transformasi secara parsial atau
keseluruhan.
Kapital didefinisikan dari struktur dan konfrontasi di dalamnya, ia juga yang
kemudian menjadi penting di dalam ranah. Konfrontasi antar aktor tersebut menghasilkan
beberapa kepastian yang terus bertransformasi tentang nilai sebuah capital dan
hierarkinya, yang merupakan konsekuensi ranah akan sebuah bukti kemenangan yang
ditunjukkan oleh kekuatan modal. Kapital tidak akan pernah hadir dan berlaku jika ia
berada di luar ranah, sebab capital merupakan akumulasi labor yang digunakan oleh aktor
untuk bertarung di dalam ranah.
Bourdiue (1984) membagi modal ke dalam beberapa tipe. Modal dalam ranah
terbagi dalam empat jenis. Pertama modal budaya yang memiliki tiga bentuk. Objectified
cultural capital yang memiliki bentuk fisik seperti Gitar, Buku, Pakaian, dan lain-lain.
Embodied cultural capital merupakan modal budaya yang didapatkan dengan waktu lama
13
melalui ikhtiar pengalaman pikiran dan tubuh. Insitutizionalized cultural capital adalah
modal budaya yang melekat dalam institusi dan merupakan seperangkat objektifikasi
perangkat property.
Kedua adalah modal sosial, yang merupakan seperangkat jejaring yang dapat
berisi relasi-relasi antar aktor. Modal ini berpengaruh terhadap minimal dan maksimal
akses yang dapat digenggam oleh aktor yang bergerak dalam ranah. Ketiga adalah modal
ekonomi yang berbentuk materi dan dapat dipertukarkan dengan modal budaya ataupun
modal sosial. Keempat, modal simbolis yang merupakan sebuah akumulasi pengakuan
atas tiga modal yang telah digenggam oleh aktor (Bourdieu, 1984). Keempat modal
tersebut merupakan kartu pas yang diperlukan aktor untuk ikut bertarung dalam ranah
dan mempraktikkan habitus (Bourdieu & Wacquant, 1977).
Dalam kasus ranah indie, musik adalah modal utama yang perlu dikembangkan
selain jaringan karena memang subkultur sangat spesifik dan menuntut kerja jejaring
untuk menggerakkan ranah. Kaitan inilah yang akan dicari, sejauh mana musisi muda
terintegrasi atau terdisintegrasi dalam ranah yang sangat eksklusif dalam kesepakatan
budaya pergerakan musik indie yang mencakup kawasan seantero Yogyakarta.
Pembacaan ini diperlukan untuk melihat posisi dari musisi muda dalam cara kerja ranah
indie yang notabene sedang menjadi medium transisi yang tidak liner untuk
membicarakan masa depan, yang mungkin saja akan menyentuh ranah yang lain.
Perangkat inilah yang akan digunakan untuk melihat praktik musisi muda dalam
ranah indie dengan tetap mengidentifikasi perjalanan historis yang mempengaruhi
pergerakan pengetahuan dan tingkat objektif dalam ranah dengan mempertimbangkan
distrubusi kekuasaan yang ada di dalamnya.
14
5. Tinjauan Pustaka
5.1 The Politics of Cultural Production in The DIY Hardcore Scene in Bandung, Indonesia.
Disertasi Sean Iverson, 2012. University of Western Australia.
Sean (2012) melihat paradoks dari kemandirian dan kerentanan di ranah musik
underground di Bandung. Musisi muda yang mempraktikkan semangat kemandirian
terbentur oleh kerentanan sebagai akibat dari jargon kebebasan ekspresi yang bergerak di
bawah naungan konteks neoliberalisme. Proses kreatif yang dialami oleh musisi untuk
mengatur strategi masa kini dan masa depan dilihat sebagai sebuah dilemma di antara
autonomous dan precarity.
Autonomous yang dipraktikkan oleh musisi mengandung hubungan negosiatif di
antara authentic (kesejatian) dan sell-out (sikap menjual). Hubungan ini berjalan seiring
dengan praktik reflektif yang dialami oleh musisi. Kecenderungan yang kemudian
muncul adalah musisi muda yang bergerak di ranah musik mandiri akan semakin
negosiatif dengan tradisi sell out seiring bertambahnya usia dan proyeksi kehidupan masa
depan (Sean, 2012).
Alur tersebut berkaitan dengan konsep precarity yang menyinggung kerentanan
kompetisi lapangan pekerjaan di era neoliberalisme. Kebebasan individual yang sangat
ekspresif di ranah musik mandiri membuat musisi memasuki arena pertarungan yang
tidak stabil dan tidak menjamin keamanan finansial ataupun jatidiri. Keadaan ini yang
kemudian dibicarakan sebagai sebuah proses transisi musisi muda di dalam ranah musik
mandiri di mana semangat mandiri dan kebebasan individual tidak mudah bertemu
dengan pekerjaan di sector formal. Di lain sisi, pekerjaan informal dan casual hadir
sebagai jawaban yang tidak menjanjikan keamanan masa depan.
15
5.2 Generation DIY: Youth, Class, and the Culture of Indie Production in Digital-Age
Indonesia. Disertasi Brent Adam Luvas, 2009. University of California.
Luvaas (2009) menggarisbawahi bahwa praktik musik indie di ranah lokal
merupakan sikap pemetaan diri pada entitas global. Terma indie dan semangat authentic
tidak dibicarakan dalam diskusi tentang genre atau bentuk musik yang dibawakan
melainkan wujud objektif dari komunikasi antar jejaring dari level lokal, nasional, sampai
global. Ia mewujud juga bukan dalam pertentangan di antara musisi dengan jargon
“siapa yang paling authentic” oleh sebab kesejatian direpresentasikan melaui Roots
Atitude Character yang juga menjadi kode budaya dari ranah musik mandiri.
Praktik yang menarik terjadi di Yogyakarta dalam rentang waktu di awal 2000
sampai medio 2007. Kala itu distro digunakan sebagai medium untuk menyebarkan
produk-produk dari semangat kemandirian (do it yourself). Distro masih digunakan
sebagai tempat untuk nongkrong dan lokus pengetahuan untuk memunculkan ide-ide
kreatif, serta infrastruktur ekonomi yang strategis skena musik sebagai concrete group
yang memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi generasi bekerja dalam ruang-ruang
yang tegas.
Luvaas (2009) mengungkapkan beberapa lokus pengetahuan di Jogja dengan
tradisi nongkrong yang kental. Hal ini menarik untuk diperhatikan sebab dari realitas
yang terjadi sejak tahun 2011, kehadiran distro menjamur di Yogyakarta dan semakin
populer. Kondisi ini membawa dua peluang yang kemungkinan terjadi sebagai dampak
dari konsekuensi historis ketika musik indie semakin populer.
Infrastruktur yang
semakin menjamur seharusnya dapat dijadikan sebagai kendaraan bagi musik indie untuk
bertarung di dalam ranah musik nasional.
16
6. Metodologi
Penelitian ini akan menggunakan metodologi etnografi sebagai kerangka filosofis.
Komunitas atau kelompok dalam masyarakat memiliki peta makna yang terikat satu sama lain
dan menjadi bahan pembacaan kebudayaan. Makna-makna tersebut dilakukan oleh masyarakat
melalui kegiatan real yang mewujud dalam kebudayaan ( James, 2007 ). Setiap komunitas
memilik sistem yang unik dalam mengorganisasikan fenomena material. Keunikan tersebut dapat
terbaca melalui bahasa yang digunakan masyarakat. Bahasa inilah bentuk keunikan masyarakat
dalam membentuk dunia. Mereka menyatakan, melakukan, dan memaknai dunia ini melalui
bahasa yang menjadi representasi langsung dari kebudayaan. Selain itu tentu saja tingkah laku
keseharian yang rutin.
Pemilihan metode etnografi memang mengandung konsekuensi yang berat dan perlu
eksplorasi yang mendalam. Namun, satu hal yang mendasari pemilihan metode etnografi dalam
penelitian ini adalah karena pemuda dan ranah indie sangatlah unik dan perlu dilihat dari
kacamata pemuda sebagai pelaku dari masa transisi itu sendiri. Metode etnografi mengenalkan
pembacaan dari masyarakat, bukan teori apa yang akan digunakan untuk membaca rutinitas
budaya, melainkan pemahaman seperti apa yang digunakan masyarakat untuk membaca dunia.
Hal ini penting dilakukan agar pemuda dalam ranah indie dapat dibaca seutuhnya sebagai aktor
yang sedang bergerak memaknai kebudayaan : tentang masa depan, tentang transisi, dan tentang
masa muda. Itu semua tentu saja mereka yang lebih paham dalam memaknai seluruh prosesnya.
Narasi-narasi kemanusiaan nantinya akan mewarnai hasil dari penelitian ini. Gambaran
pergulatan pencarian ruang untuk memesan masa depan dan perjalanan pemuda mengejarnya
akan didapat dari beberapa metode pengambilan data berikut ini.
17
6.1 Observasi Partisipatoris
Observasi partisipatoris adalah sebuah cara untuk terlibat dan mengalami ( James,
2007 ) Satu usaha yang penting adalah menjadi mereka. Di sini peneliti yang juga
aktif dalam komunitas indie akan masuk sebagai bagian dari mereka untuk ikut
mengalami rutinitas kebudayaan yang unik, sehingga narasi holistik dapat
direngkuh untuk secara spesifik menggambarkan kehidupan mereka. Tentu saja
suatu waktu perlu untuk menarik diri agar dapat memantau dari luar.
6.2 Diskusi Kasual
Ranah indie adalah sebuah ruang yang sangat cair dan kesadaran dipantau akan
membuat jarak antara peneliti dan subjek penelitian. Pada metode ini, peneliti
akan ikut berjalan bersama mereka, ikut dalam perbincangan yang terjadi spontan.
Rutinitas bukanlah hal yang sangat formal, namun begitu lentur dan sama sekali
tidak kaku. Penting untuk mengikuti mereka dengan perbincangan anak muda
yang acapkali natural dan terungkap secara jujur tanpa ada tendensius dan
atmosfer interogasi.
6.3 Wawancara Mendalam
Tahap ini dilakukan kepada informan kunci yang dipilih berdasarkan hasil
pantauan observasi. Selain itu, akan diminta juga informasi dari informan kunci
senior yang benar-benar menguasai perjalanan sejarah ranah indie di Yogyakarta,
supaya terlihat motif dari anak muda yang bergabung di dalamnya. Metode ini
juga bertujuan untuk mengorek lebih dalam pengalaman-pengalaman yang sudah
dilalui untuk melihat sejauh mana musisi memaknai ranah Indie sebagai ruang
untuk berkarya.
18
Informan yang diwawancarai terlibat aktif di skena musisi indie dengan berbagai peran
yang melekat di dalamnya.
Metodologi ini tidak dijalankan untuk tingkat ekspertis. Dinamika kebudayaan yang
sedang berlangsung tidak akan ditarik terlalu jauh dengan kedalaman historis yang mumpuni.
Perjalanan dialektika sejarah akan dijadikan pertimbangan sebagai sebuah rangkaian
perkembangan dan sikap optimis dari ranah indie. Fokus yang akan didalami adalah realitas yang
paling kontemporer dari musisi muda di ranah indie. Cara-cara yang sekarang, cara-cara yang
representatif dan spesifik tanpa ada niatan untuk menggeneralisasi.
Pembatasan metodologis yang dilakukan berkait dengan lokus penelitian terbentur oleh
keberagaman skena musik yang beraktivitas di Jogja. Kota ini memiliki beragam jenis musik dari
ranah musik mandiri yang terkategorikan melalui genre ataupun lokasi geografis. Pertimbangan
mayor yang kemudian diambil oleh peneliti untuk menentukan group yang akan diteliti berdasar
pada kenyataan bahwa musik indie menjadi populer di Yogyakarta dalam lima tahun belakangan.
Oleh karena itu, subjek penelitian yang diambil adalah musisi muda yang bergerak atau
tergerakkan di ranah populer, dengan pengertian populer secara ekonomi dan cara-cara akar
rumput yang negosiatif terhadap akses masyarakat musik secara umum.
Alur penelitian yang kemudian berjalan adalah analisis hasil temuan akan terus berjalan
dengan klarifikasi rutinitas dari musisi muda agar tercapai analisis yang paling sekarang. Narasinarasi yang memang terjadi tanpa usaha untuk memodifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk itu,
mengerti, memahami, dan bersama-sama memaknai musik dari sudut pandang musisi muda
dalam ranah indie di mana kegelisahan, keresahan, dan ketegangan antara masa muda dan masa
depan membentuk musisi muda sebagai manusia yang berada dalam sejarah besar kebudayaan,
meskipun ini muluk-muluk, namun batasan tetap ada seperti yang sudah tersampaikan di atas.
19
Download